You are on page 1of 17

KAIDAH-KAIDAH DAKWAH

(Upaya Mengkonstruksi Rambu-Rambu dalam Dakwah)


Oleh: Dikdik M.Tasdik

A. Pendahuluan

Dakwah adalah upaya merubah dan mentranformasi manusia


dari dzulumat (non Islam) kepada nur (Islam) agar mereka menjadi
hamba Allah dalam ranah kehidupan individual dan komunalnya
(keluarga, masyarakat dan negara). Tentu hal ini merupakan
pekerjaan yang cukup berat sehingga wajar jika pahala orang yang
berdakwah di jalan Allah sangat istimewa1 dibanding dengan amal-
amal lain karena memang dakwah merupakan amal yang
memerlukan ilmu dan amal sekaligus ijtihad dalam menentukan
arah dakwah agar tetap berada di atas jalan kebenaran.
Terlebih tantangan dakwah dari masa ke masa semakin
akseleratif, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitasnya, masih
kurang sepadan dengan para da’iyah yang terjun ke medan dakwah
dengan segala kapasitas ilmu yang dimilikinya dimana jika saja
dihadapkan dengan problematika dakwah maka sikap yang muncul
seringkali mengedepankan tasahul dan tathorruf, kurang
mempertimbangkan fiqh wahyi (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan atau
fiqh waqi’ (realitas dakwah mad’u)2.
Sikap tasahul dalam dakwah artinya menganggap gampang
segala permasalahan dakwah tanpa mengindahkan niali-nilai
kemaslahatan sebagai tujuan dari syari’at agama Islam, dilakukan
sambil lalu tanpa managemen sama sekali. Sementara tathorruf
artinya sikap berlebihan dalam melihat permasalahan dakwah
sehingga kemaslahatan syari’atpun menjadi sempit maknanya. Hal
ini terjadi karena para da’iyah tidak memahami fiqh wahyi atau fiqh
waqi’ dengan baik. Upaya memadukan fiqh wahyi dan fiqh waqi’
inilah sebenarnya yang dalam lapangan dakwah disebut fiqh
dakwah3 dimana kaidah-kaidahnya dapat ditarik dari ushul fiqh
sebagai kaidah yang menjadi rambu-rambu dalam fiqih sebagai
amaliah praktis.
Bertolak dari hal inilah, penulis melihat bahwa para da’i perlu
untuk mengembangkan kaidah-kaidah fiqh yang menjadi acuan
para ahli fiqh (fuqaha) dalam berijtihad dapat diselaraskan dengan
lapangan amal dakwah karena keduanya merupakan dua sisi yang
ekleptis satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan yang erat.

1
Hadis tersebut adalah “ seseorang diberi hidayah oleh Allah karenanmu (pahalanya)
lebih baik dari unta merah (unta terbaik dan termahal)”H.R. Bukhari. Lihat Muhamad
Fu’ad Abd Al-Baqy, al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, Beirut : Dar el-Fikr, 2001, Juz 1, hlm.757.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pahalanya adalah lebih baik dari dunia dan
seisinya, Lihat dalam ‘Ala al-din Faury, Kanz al-Umal Fi Sunan Al-al-Aqwal wa al-‘Af’al,
Mu’asasah al-Risalah: Damascus, 1401/1981,juz 15, hlm. 344
2
Terkait fiqh al-Waqi (fiqih realitas) dapat dibaca dalam Dr.Nashir bin Sulaiman al-Umar
dengan judul Fiqh al-Waqi’ ; muqawwimatuh, atsaruh, mashadiruh.
3
Demikian Ust Anis Mata Lc mengemukakan dalam beberapa tausiyahnya
1
B. Pengertian Kaidah Dakwah
Kaidah dakwah terdiri dari dua kata yaitu kaidah dan dakwah.
Menurut bahasa kaidah adalah serapan dari bahasa Arab yang
artinya “al-asas” (dasar dan asal, baik bersifat materil ataupun
immateril)4. Ia adalah ism mufrad (kata benda tunggal) dan bentuk
jamaknya adalah qawa’id. Pengertian ini dapat kita lihat dalam
firman Allah Swt :
    
   
   
    
“ Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-
dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami
terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui"5.
Sedangkan menurut istilah al-Jurjani menjelaskan bahwa
kaidah adalah hukum-hukum umum yang berlaku pada bagian-
bagiannya6. Hukum umum tersebut diletakan untuk membatasi
hukum-hukum pada bagian-bagian khususnya agar tidak terlepas
dan keluar darinya. Batasan ini hampir sama seperti yang
disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
mendefinisikan kaidah sebagai rumusan asas yg menjadi hukum
atau aturan, patokan dan dalil yg sudah pasti7.
Sementara dakwah, menurut bahasa adalah masdar marroh
dari kata da’a yad’u da’watan yang artinya berkutat seputar
permohonan, ajakan, seruan serta anjuran terhadap suatu perkara8.
Dalam al-Qur’an kata “dakwah” disebutkan untuk ajakan kepada
kebaikan (haq) dan keburukan (batil). Dakwah yang digunakan
untuk ajakan kepada kebaikan kita dapatkan dalam ayat al-Qur’ann
berikut ini :
          
      
   
   
   
   
“ Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan
berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti
orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air
4
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an, hlm 406 dalam Maktabah
Syamilah, versi 3.2
5
Q.S. al-Baqarah : 127. Kata “qawa’id” dalam bentuk jamak juga dapat dilihat dalam
Q.S.al-Nahl : 26
6
Lihat Ali al-Jurjani, “al-Ta’rifat”, Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1, hlm 171
7
Lihat KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
8
Lihat Muhamad Al-Razi, “Mukhtar al-Shihah”, Maktabah Libnan : Beirut, 1415/1995,
hlm.218
2
supaya sampai air ke mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai
ke mulutnya dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia
belaka” 9.
Sedangkan kata dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada
keburukan adalah :
     
              
    
    
“ Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada
memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau
hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk
orang-orang yang bodoh10."
Penggunaan kata dakwah dalam dua pengertian ini juga kita
dapatkan dalam sabda Rasulullah Saw berikut ini:
‫م‬
ْ ‫جججوِره‬
ُ ‫نأ‬ْ ‫مج‬ِ ‫ك‬َ ‫ص ذل ِج‬ ُ ‫قج‬ ُ ْ ‫ ل َ ي َن‬، ‫ن ت َب ِعَججه‬
ْ ‫م‬َ ِ‫جور‬ ُ ْ ‫مث‬
ُ ‫لأ‬ ِ ِ‫جر‬ْ َ ‫ن ال‬
َ ‫م‬ ُ َ‫ن ل‬
ِ ‫ه‬ َ ، ً‫عا إ َِلى هُد َى‬
َ ‫كا‬ َ َ‫ن د‬ْ ‫م‬ َ
‫ن‬ْ ‫مج‬ َ
ِ ‫ص ذل ِجك‬ُ ‫قج‬ َ
ُ ْ ‫ ل ي َن‬، ‫ه‬
ُ ‫ن ت َب َِعج‬ ْ ‫مج‬ َ
َ ِ ‫مثل آثججام‬ُ ْ ْ
ِ ِ ‫ن الثم‬ َ ‫م‬ َ
ِ ِ‫ن ع َليه‬ َ
َ ‫ كا‬،‫ة‬ َ َ
ٍ ‫ضلل‬ َ
َ ‫عا إ ِلى‬َ َ‫ن د‬ ْ ‫م‬ ً
َ َ‫ و‬،‫شيئا‬ َ
ً ‫شيئا‬َ ‫م‬ ِ ‫آَثا‬
ْ ِ‫مه‬

“ Barang siapa menyeru kepada petunjuk (Allah), maka baginya


pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, pahala
tersebut sedikitpun tidak mengurangi pahala mereka, dan barang
siapa menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa
orang-orang yang mengikutinya, dosanya tersebut sedikitpun tidak
mengurangi dosa-dosa mereka “11.
Sedangkan menurut istilah, dakwah adalah upaya seorang
da’iyah atau beberapa da’iyah dalam mengajak manusia kepada
Islam dengan cara-cara tertentu sehingga mereka mengingkari
thagut dan beriman kepada Allah 12 .
Merujuk kepada dua pengertian di atas, dapat didefinisikan bahwa
kaidah dakwah adalah hukum atau aturan yang menjadi pedoman
bagi da’i dalam mengajak manusia melakukan kebaikan dan
menjauhkan dari keburukan.

C. Urgensi kaidah Dakwah

Karena objek dakwah itu manusia, tentu selaiknya ia dipahami


secara utuh dikarenakan dakwah adalah aktifitas mengajak manusia
baik umat istijabah (umat seagama) ataupun umat dakwah (umat
beda agama)13. Dengan dakwah diharapkan umat istijabah dapat
berubah dari kondisi buruk kepada baik atau dari baik kepada yang
9
Q.S.al-Ra’d : 14. Lihat juga firman-Nya dalam Q.S.al-Hajj : 67
10
Q.S. Yusuf : 33. Lihat juga dalam Q.S.al-Baqarah : 221
11
H.R.Muslim dari Abu Hurairah. Lihat dalam al-Nawawi, Riyad al-Shalihin dalam Bab fi al-
Dalalah ala khoir wa al-Du’a ila Hudan au al-Dholalah, Cairo : Dar al-Taqwa, 2001
12
Miswan Thahadi, Quantum Dakwah dan Tarbiyah, Jakarta: Al-I’Tishom, 2008, hlm 12.
13
Drs.H. Misbach Malim,Lc.Msc, Shibghah Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indoensia,2008, hlm 4
3
lebih baik. Sedangkan dakwah kepada umat dakwah diharapkan
mereka dapat mengimani Allah Swt dengan sebanar-benar iman
dan meninggalkan unsur-unsur syirik yang akan dapat membatalkan
keimananannya .
Memahami dakwah dengan utuh ini tidak akan tercapai jika
para da’i tidak mengetahui rambu-rambu yang harus dipatuhi
selama berlangsungnya aktifitas dakwah tersebut. Dakwah yang
dilakukan setiap da’i sejatinya dibatasi dengan kaidah-kaidah agar
tercipta keselarasan wasilah (perantara) dan ghoyah (tujuannya),
jangan sampai dakwah yang dilakukan termasuk kategori “al-
Ghoyah tubarrir al-Wasilah” sebagai derivasi kaidah ushul fiqh “lil
wasa’il hukm al-maqashid”14, yang dalam bahasa dakwah artinya
demi tujuan dakwah segala perantara menjadi sah dilakukan meski
secara hukum dilarang. Hal ini menuntut upaya penyelarasan antara
kaidah-kaidah ushul fiqh dengan lapangan dakwah. Seluruh upaya
dakwah harus dikoridori kaidah-kaidah dakwah yang secara
substansial dapat ditarik derivasinya dari kaidah-kaidah ushul fiqh
sebagai kumpulan kaidah-kaidah umum yang digunakan untuk
melakukan istinbath (mengambil kesimpulan) hukum-hukum
syari’at dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang terperinci.
Sebagaimana seorang Ulama Fiqih tidak dapat berijtihad
dalam beberapa amaliah praktis yang dihadapinya jika ia tidak
memiliki kecakapan khusus terkait dengan kaidah-kaidah ushul fiqh,
begitupun dengan seorang da’iyah tidak dapat melakukan dakwah
dengan baik jika seandainya ia tidak memiliki ilmu tentang kaidah-
kaidah dakwah yang dapat menyelamatkan perahu dakwahnya
kepada tujuan yang dikehendakinya. Syaikh Jum’ah Amin berkata :
“Kita harus mengembangkan kaidah-kaidah ushul fiqh dari lingkup
hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah ke lingkup dakwah
secara umum, agar setiap da’i mampu membekali diri dengan
kaidah-kaidah dan tolok ukur yang menentukan dakwahnya,
sehingga tidak menyimpang dari manhaj yang benar”15 .
Singkatnya, urgensi kaidah-kaidah dakwah adalah sebagai
batasan atau rambu-rambu baku yang dapat menjadi pedoman
dakwah bagi setiap da’i agar dakwahnya tetap berada dalam
manhaj yang benar tidak “tasahul” dan atau “tathoruf” apalagi
masuk pada kategori “dakwah ‘ala bab jahanam” yang disebut
dalam hadis Khudzaifah ibn Yaman16 yang terkadang tidak disadari
bahwa dakwahnya justru akan merugikan Islam yang berujung pada
dakwah yang gagal dan tidak menuai hasil gemilang17.

14
Lihat dalam Muhamad al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah Wa al-
Jama’ah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H, cet.5.hlm.297
15
Muhamad Amin Jum’ah,” Al-Dakwah Qawa’id Wa Ushul”, Cairo : Maktabah misriyah,
1997, hlm 18
16
H.R. Bukhari, no. 7084. Lihat dalam Al-Bukhari, Al-Jami’ al-musnad al-Shahih al-
mukhtashar Min Umur Rasulillah Wa Ayyamihi (Shahih Bukhari), Dar Thauq an-Najah :
Mauqi al-Islam, 1422 H, juz 9 hlm 51.
17
Dalam batasan Islam selama dakwah dilakukan dengan baik dan benar, yakni
berpedoman pada wasa’il dan maqashid yang benar, maka meski dakwah kurang
4
D. Kaidah-Kaidah Dakwah

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kaidah-kaidah dakwah


dibangun di atas kaidah-kaidah ushul fiqh agar dapat bersesuaian
dengan tuntutan-tuntutan amal ibadah praktis, karena dakwah
dilakukan agar madl’u dapat melakukan tuntutan-tuntutan agama di
atas dasar pemahaman aqidah yang benar.Tuntutan-tuntutan
agama (takalif syar’iyah) tersebut tujuan akhirnya adalah
terwujudnya kemaslahatan (hayatan thoyyibah), yaitu
kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya
(dharuriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder ( hajiyah) serta
kebutuhan pelengkap ( tahsiniyah)18 .
Kemaslahatan tahsiniyah tidak dipelihara jika dalam
pemeliharaannya terdapat kerusakan bagi hajiyah. Hajiyah dan
tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah
satunya terdapat kerusakan bagi dharuriyah. Kemaslahatan inilah
yang menjadi tujuan syariat-syari’at Islam secara keseluruhan, dan
fatwa-fatwa hukum yang mucul dari para mufti pun harus selalu
mengacu kepada konsep masalahat ketiganya, dengan tetap
memperhatikan ketepatan dalam menghukumi suatu perkara
amaliah praktis tersebut19.
Ada beberapa kaidah Ushul fiqih20 yang dapat di-
implementasikan dalam lapangan dakwah yaitu sebagai berikut:
1. Al-Dhararu Yuzalu Syar’an (bahaya itu menurut syara harus
dilenyapkan).
2. Al-Dhararu La Yuzalu Bi Al-Dharari ( Suatu bahaya tidak
boleh dilenyapkan dengan bahaya yang sama).
3. Yuhtamalu al-Dhararu Al-Khash li Daf’i al-Dharar al-‘Am
(bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk
mencegah bahaya yang bersifat umum) .
4. Yurtakabu Akhoff al-Dhararain li Ittiqa’i Asyaddihima ( Yang
lebih ringan diantara dua bahaya boleh dilakukan untuk
menjaga dari yang lebih membahayakan).
5. Daf’u al-Madharri Muqaddamun ‘ala Jalb al-Manafi’
(menolak bahaya itu harus didahulukan dari pada menarik
manfaat).
6. Al-Dharuratu Tubihu al-Mahdhurat (keterpaksaan
membolehkan dilakukannya hal-hal yang dilarang).
7. Al-Dharuratu Tuqaddaru Biqadariha ( keterpaksaan diukur
dengan tingkat keadaannya).

direspon madl’u tidak berarti gagal. Berbeda jika dakwah yang dilakukan kurang
maksimal dalam mempertimbangkan wasa’il dan maqashidnya maka kegagalan dakwah
dapat terjadi karenanya.
18
Al-Syatibi,” al-Muwafaqat” , tahqiq Abu Ubaidah Ali Salman, Dar Ibn Affan: Riyad,
1427/1997 M, Juz 2, hlm.17
19
Miswan Thahadi, ibid, hlm 21
20
Lihat dalam: Taj al-Din Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadza’ir, Syria : Dar al-Kutub al-
ilmiyah, 1411/1991, Juz 1 , hlm.57
5
8. Al-Masyaqqatu Tajlib al-Taisir ( Kesulitan membawa
kemudahan).
9. Al-Haraju Syar’an Marfu’ ( menurut syara’ kesulitan itu
harus dihilangkan).
10. Al-Hajatu Tanzilu Manzilat al-Dharurati Fi Ibahat
Mahdhurat ( Kebutuhan-kebutuhan dapat menempati posisi
keterpaksaan dalam kebolehan melakukan yang haram). Dan
kaidah-kaidah lain yang dapat kita baca dalam buku-buku ushul
fiqih dimana semuanya dapat kita kembangkan untuk kemudian
menjadi pedoman atau standar dalam berdakwah.
Syaikh Jum’ah Amin mencoba mengembangkan kaidah-kaidah
ushul fiqih tersebut dalam kerangka dakwah setelah sebelumnya
mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam lapangan dakwah,
beliau merumuskan sepuluh (10) kaidah yang dapat kita pedomani
saat berdakwah sebagai berikut :

1. Al-Qudwah Qabl al-Dakwah (Menjadi Teladan Sebelum


Berdakwah)
Pepatah Arab mengatakan “Lisan al-Hal Afshah Min
Lisan Al-Maqal” (bahasa kenyataan lebih fasih daripada
bahasa lisan)21. Dalam lingkup dakwah kenyataan ini benar
adanya, hal itu dikarenakan dakwah adalah upaya mengajak
manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan
sesuai petunjuk agama. Tentu hal ini akan cepat
mendapatkan respon atau pengaruh besar ketika kepribadian
positif seorang da’i dan keluarganya lebih dulu mewujud
sebelum orang lain.
Untuk itulah al-Qur’an menyindir setiap da’i yang sering
mengajak orang lain untuk berbuat baik, namun dirinya tidak
melakukan kebaikan tersebut sebagai sesuatu yang aneh,
bahkan Allah menyebut orang tersebut sebagai tidak berakal.
Allah berfirman :
    
  
   
 
mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal
kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir?22.
Oleh karena itu, Allah Swt sangat benci terhadap orang-
orang seperti ini, Allah berfirman:
  
     
     
    
21
Muhamad Rasyid Ridha, “Majalah Al-Manar “ (dalam Bab al-Mas’alah al-Syarqiyyah),
Juz 14, hlm. 833
22
Q.S. Al-Baqarah : 44
6
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? . Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan23.
Berkaca kepada da’i pertama, Nabi Saw, sebelum
berdakwah ia telah menunjukkan kepribadian baik kepada
orang-orang kafir quraisy sehingga dikenal sebagai al-Amin
(jujur dan terpercaya), termasuk kepribadian baik istri dan
anak-anaknya, sehingga wajarlah jika dakwahnya
mendapatkan sambutan bagus dari banyak pihak dalam
jangka waktu yang relatif singkat, Beliau mampu merubah
kiblat peradaban manusia yang sebelumnya kepada Romawi
dan Persia menjadi berkiblat ke Arab. Untuk itulah Al-Qur’an
menyuruh kita untuk mengambil qudwah (teladan) kepada
Nabi Saw :
    
    
   
   
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah24.

2. Al-Ta’lif Qabla al-Ta’rif (Mengikat Hati Sebelum Mengenalkan)


Objek dakwah adalah manusia dimana sikap dan
perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah
penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar. Nabi
Saw bersabda :
َ
‫ت‬
ْ َ‫سد‬
َ ‫ف‬َ ‫ذا‬
َ ِ ‫وإ‬ ُ ّ ‫سدُ ك ُل‬
َ ‫ه‬ َ ْ ‫ح ال‬
َ ‫ج‬ َ َ ‫صل‬
َ ‫ت‬ َ َ ‫صل‬
ْ ‫ح‬ َ ‫ذا‬ َ ِ‫ة إ‬
ً ‫غ‬
َ ‫ض‬ْ ‫م‬ُ ‫د‬
ِ ‫س‬َ ‫ج‬َ ْ ‫في ال‬ ِ ‫ن‬ َ ‫أَل‬
ّ ِ ‫وإ‬
َ ّ ‫فسد ال ْجسد ك ُل‬
‫ب‬ُ ْ ‫قل‬
َ ْ ‫ي ال‬َ ‫ه‬ِ ‫و‬َ ‫ه أَل‬ُ ُ َ َ َ َ َ
Ketahuilah, sesungguhnya pada setiap jasad terdapat
segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka
baiklah seluruh jasad itu. Tapi jika segumpal daging itu buruk,
maka buruk pulalah seluruh jasad itu. Ketahuilah, segumpal
daging itu adalah hati25.
Ustadz Hidayat Nurwahid berkata : Da’watuna Hubb,
Wa bihi naftah al-Qulub. Idza Fatah al-Qulub fatah al-Uqul wa
al-Juyub ( landasan dakwah kita cinta, dengan cinta itulah kita
membuka hati manusia, jika hati manusia itu telah terbuka
maka terbukalah akal pikiran dan kantong-kantong)26. Artinya
seorang da’i harus berusaha menumbuhkan simpati, empati
dan selalu menjalin hubungan saling mencintai dengan
mad’unya, bahkan hal ini merupakan keniscayaan dakwah.
23
Q.S.As-Shaff: 2-3
24
Q.S. Al-Ahzab : 21
25
H.R. Al-Bukhari no. 52. Lihat dalam “ Shahih Bukhari” Bab Fadhl Man Istabro’a Lidinihi,
Mesir : Dar Thauq al-najat, 1422 H, Juz 1, hlm 20
26
Miswan Thahadi, Ibid, hlm. 24
7
Jika kita amati dakwah Nabi Saw akan kita dapati
bahwa beliau selalu mengedepankan empati, simpati,
persuasi, lemah lembut dan tidak kasar dalam berinteraksi
dengan orang-orang beriman. Allah berfirman :
   
   
  
  
 
sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat
belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin
27
.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa keberhasilan dakwah
Nabi Saw adalah karena sikap empati yang cukup besar dari
Nabi kepada orang-orang kafir, sehingga mereka sangat
familiar dengannya. Al-Qur’an menggambarkannya dalam
firman-Nya berikut ini :
    
    
  
    
 
   
   
    
 
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.28

3. Al- Ta’rif Qabla Al-Taklif (Mengenalkan Sebelum Membebani)


Kesalahan dakwah terbesar adalah membebankan
suatu amalan kepada madh’u sebelum diajarkan dengan
baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun
sunat. Karena dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan
dalil yang jelas, dan bukan doktrin-doktrin yang membabi
buta. Allah berfirman :

27
Q.S.Al-Taubah : 128
28
Q.S. Ali imran: 159
8
  
    
  
   
  
 
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk
orang-orang yang musyrik"29.
Ketika seorang da’i membebankan suatu amalan
sebelum dipahamkan, maka akan muncul konsekuensi
penolakan terhadap dakwahnya dan atau menjadikan madh’u
selalu taqlid, menerima apa adanya meski mereka belum
mengetahui dasar amalan tersebut hingga akhirnya mereka
menjadi orang yang taqlid buta (muqallid a’ma).
Di samping itu, mengenalkan Islam secara utuh akan
menangkal setiap kesalahan ajaran yang dikembangkan oleh
orang-orang yang fobi terhadap Islam dan akan menjadikan
madh’lu selalu beramal atas dasar ilmu, sbegaimana disebut
imam Al-Bukhari al-ilmu qabla al-qauli wa al-amal30.

4. Al-Tadarruj fi Al-Taklif (Bertahap Dalam Membebankan Suatu


Amal)
Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik
dari sudut latar belakang pendidikan ataupun kondisi sosial
yang melahirkannya.Oleh karena itu, dakwah kepada
manusia dengan ragam tipologinya itu tentu
mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan. Hal
ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :
"‫أمرنا أن نكلم الناس على قدر عقولهم‬
“Kami diperintah untuk berbicara kepada manusia
sesuai dengan tingkat berfirkir mereka “31.
Karena manusia itu bertingkat dan berkelas-kelas,
maka dakwah yang dilakukan kepada masing-masing kelas
itu juga harus sesuai, dengan cara itu maka tidak ada
dakwah yang disajikan kepada semua orang dengan cara dan
model yang hantam kromo (disamaratakan) karena hal itu
akan membuat madh’u menjadi malas dan bahkan kemudian
ia tidak lagi tertarik dengan Islam.
Dasar yang menjadi dalil kaidah ini adalah bahwa al-
Qur’an turun kepada Nabi Saw dengan bertahap (tadarruj)32,
disesuaikan dengan kondisi madh’u yang belum memiliki
29
Q.S. Yusuf : 108
30
Lihat dalam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Mesir : Dar Thauq an-najah, 1422, juz. 1
hlm.24
31
H.R.Al-Dailami dari Ibnu Abbas. Lihat dalam al-Burhan Faury dalam “Kanz al-Ummal fi
Sunan al-Aqwal wa Al-Af’al, Syria : Mu’asasah Al-Risalah, 1402/1981, Juz 10. hlm.242
32
Lihat Q.S.al-Isra :106
9
kesiapan penuh untuk menerima ajaran Islam. Di samping
itu, tadarruj dalam suatu gerak kehidupan adalah sunnatullah
pada semua mahluk33.

5. Al-Taisir La al-Ta’sir (Memudahkan Bukan Menyulitkan)


Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah,
tidak menyulitkan. Demikian firman Allah Swt:
    
    
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur34.
Di samping itu Nabi Saw bersabda :

ّ َ ‫ول َ ت ُن‬
‫فُروا‬ ّ َ ‫وب‬
َ ‫شُروا‬ َ ، ‫سُروا‬ َ ُ ‫ول َ ت‬
ّ ‫ع‬ َ ‫سُروا‬
ّ َ‫ي‬
“Permudahlah dan jangan kamu persulit,
gembirakanlah dan jangan membuat mereka berlari ” 35.
Setiap da’i harus mengetahui bahwa setiap hukum
dalam syari’at Islam – baik perintah ataupun larangan-
bertingkat-tingkat. Ada perintah ibadah yang hukumnya
wajib ‘ain yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap
individu dan ada juga perintah yang hukumnya wajib kifayah
dimana cukuplah sebagian orang untuk melakukan kewajiban
tersebut36. Di samping itu ada perintah lain tapi tidak sampai
kepada batasan wajib yaitu sunnat saja. Sunnat pun ada
yang mu’akadah yang ditekankan untuk dapat dilakukan,
menyerupai hukum wajib, dan ada pula yang ghoir
mu’akkadah yang tidak terlalu ditekankan. Demikian juga
terkait dengan larangan, ada yang hukumnya haram sebagai
larangan keras, ada pula larangan yang tidak terlalu keras
yang disebut dengan makruh37.
Perintah dan larangan ibadah dalam Islam dapat
dipastikan mudah untuk dilakukan, dan jika berada dalam
kondisi yang sulit maka perintah tersebut menetapkan
pilihan-pilihan yang dapat dilakukan sebagai penggantinya.
Namun, bukan berarti perintah ibadah tersebut dapat se-
enaknya diganti dan dirubah atas dasar kaidah ini, karena
yang dimaksud adalah bahwa agama ini meski ia sebagai

33
Muhamad Amin Jum’ah, ibid, hlm. 34
34
Q.S. Al-Baqarah : 185
35
Muttafaq ‘Alaih. Lihat Al-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Cairo : Dar al-Taqwa, Juz 1, hlm
367.
36
Lihat dalam Zakaria al-Bakistany, “Min Ushul al-Fiqh ‘Ala manhaj ‘Ahl al-Hadits”,
Madinah : Dar al-Kharraz, 1423/2002, Juz 1, hlm. 153
37
Lihat dalam Hasan al-Atthor, “ Hasyiah al-‘Athhor ‘ala Jam’i al-Jawa’mi’”, Beirut : Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1420/1999, Juz.1 hlm.116
10
perintah ibadah namun tetap didasarkan kepada kemampuan
manusia sebagai mukallafnya. Allah berfirman :
    
  
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”38.
Da’i yang tidak mengetahui tingkatan hukum syari’ah
dapat dipastikan dakwahnya akan membuat mad’u lari dan
merasa sulit untuk dapat melakukan suatu amalan, karena
semuanya dianggap sama dalam tingkatan hukum.

6. Al-Ushul Qabla Al-Furu’ ( Perkara Pokok Sebelum Perkara


Cabang)
Yang dimaksud dengan al-Ushul dalam Islam adalah
masalah-masalah pokok yang terkait dengan keimanan dan
komitmen dengan “syahadatain” (Laa Ilaaha Illa Allah,
Muhammad Rasulullah) yang akan merubah cara pandang
dan sikap hidup seorang muslim secara total. Masalah ushul
inilah yang menjadi sentral bahasan Nabi pada peroide
dakwah di Mekah selama + 13 tahun39. Dan tugas pokok
setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah kepada manusia
adalah untuk memahamkan ushul ini, demikian Allah
berfirman:
     
   
  ............. 
“ Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-
orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul)40.
Sedangkan yang dimaksud dengan al-furu’ adalah
masalah-masalah cabang yang bersifat amaliah praktis
dimana ikhtilaf seringkali terjadi karena terdapat pandangan
fiqih yang berbeda terhadap nash, baik dari sisi kualitas
ataupun kuantitas orang yang memahaminya. Berbeda
dengan ushul, ia adalah masalah-masalah pokok agama yang
sebagian besar temanya tidak diperselisihkan41.
38
Q.S. Al-Baqarah : 286
39
Shafy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Rahiq al-Makhtum, Madinah: Dar Ibn al-Jauzi,
hlm.49
40
Q.S. Al-Nahl : 36
41
Sebagian besar tema-tema pokok aqidah Islam tidak diperselisihkan, kecuali beberapa
tema saja, seperti dalam masalah iman dan kufur antara beberapa madzhab dan takdir
yang melahirkan beberapa sekte dalam Teologi Islam. Meski demikian, dalam masalah
yang prinsif, yaitu syahadatain mereka sepakat.
11
Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz bin Jabal untuk
berdakwah kepada penduduk Yaman, Nabi Saw bersabda :
‫فليكن أول مللا تللدعوهم إليلله شللهادة أن ل إللله إل الللله وأن‬
‫محمدا ً رسول الله‬
“Hendaklah materi pertama yang disampaikan kepada
mereka adalah syahadatain” 42
Dakwah yang dilakukan mesti memegang kaidah ini,
jangan sampai isu-isu agama yang sifatnya furu’ menjadi
ushul, atau yang sifatnya furu’ merusak ushul hanya karena
perbedaan pandangan. Inilah yang dimaksud dengan fiqh
aulawiyat dalam dakwah dimana seorang da’i harus selalu
memahami masalah-masalah ushul dan furu’ dalam agama
agar ia mampu mengarahkan umat secara proporsional.
Da’i yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan
furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai
maslahat, bahkan ia akan melahirkan kontra produktif bagi
dakwah itu sendiri. Karena ushul harus lebih didahulukan dari
pada furu’ karena furu’ akan dapat dilaksanakan dengan baik
dan benar ketika ia berpijak pada ushul yang baik dan benar
pula.

7. Al-Targhib Qabla Al-Tarhib (Memberi Harapan Sebelum


Ancaman)
Islam memuat targhib (harapan) dan tarhib (ancaman),
hanya saja ada beberapa madh’u yang bisa lari dari dakwah
ketika selalu dihadapkan oleh da’i kepada tarhib, sehingga
dakwahnya terlihat menakutkan. Padahal dakwah itu
selaiknya menjadikan mad’u akrab dengan Islam, dan salah
satu pedoman untuk dapat mengakrabkan da’i kepada Islam
adalah mengarahkan mad’u untuk dapat memahami hal-hal
targhib (kabar gembira dan harapan) sebelum tarhib.
Mengambil teladan dari dakwah Nabi Saw yang selalu
mempedomani kaidah ini secara proporsional,
memperlakukan para sahabat dengan penuh kasih sayang
dan memberikan motivasi kuat agar bersemangat dalam
beramal dan tidak berputus asa karena Allah Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Seperti cerita seorang pembunuh yang
telah membunuh 99 manusia yang ingin bertaubat yang
cerita hidupnya diakhiri dengan kesalehan meski ia belum
sempat beramal43.
Seorang da’i harus selalu memberikan semangat
kepada mad’unya untuk dapat beramal, dan jika ia
melakukan dosa harus diberi harapan besar bahwa Allah
selalu membuka pintu tobat bagi siapa saja, dengan cara itu
dakwah – insya Allah- akan menuai hasil yang diharapkan.
42
H.R.Bukhari-Muslim, lihat dalam Muhamad bin Abd al-Wahab, “al-Qaul al-Sadid Syarh
Kitab al-Tauhid”, Saudi Arabia: Kementerian: Departemen Agama dan Dakwah Saudi,
1421H. hlm. 31
43
H.R. Al-Bukhari dan Muslim
12
8. Al-Tafhim La al-Talqin (Memberikan Pemahaman Bukan
Mendikte)
Dakwah adalah upaya merubah dan mentransformasi
manusia untuk dapat melakukan tuntutan ajaran Islam.
Untuk dapat merealisasikan itu, seorang da’i harus selalu
memahamkan ajaran Islam itu secara baik agar dapat
diamalkan atas dasar kepahaman dan bukan keterpaksaan.
Itulah makna dakwah ‘ala bashirah” dan hujjah44.
Dakwah ini harus dapat memahamkan mad’u terlebih
dahulu dengan ajaran Islam yang benar, memperhatikan
kondisi mad’unya dengan baik dari sisi latarbelakang
pemahamannya. Dakwah yang mendikte mad’u untuk
melakukan suatu amalan tanpa ada proses pemahaman
sebelumnya, akan menyebabkan dakwah menjadi kurang
atau bahkan tidak direspon dengan baik. Hal itu dikarenakan
Islam adalah ajaran yang memerintahkan umatnya untuk
beramal atas dasar ilmu. Allah Swt berfirman :
      
   
   
  
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya45.

9. Al-tarbiyah La Al-Ta’riyah (Mendidik Bukan Menelanjangi)


Menjaga kehormatan adalah termasuk dari tujuan
syari’at Islam, oleh karena itu dakwah harus selalu berupaya
memberikan didikan yang baik kepada mad’unya, tidak
menelanjangi setiap ada hal-hal yang tidak bersesuaian
dengan agamanya. Tapi bukan berarti seorang da’i diam di
hadapan kemaksiatan mad’unya yang melakukan
kemaksiatan, karena kemaksiatan harus selalu dihilangkan,
hanya saja cara menghilangkan kemaskiatan itu tidak sampai
menelanjangi mad’u, terlebih dilakukan dihadapan khalayak.
Dalam hal ini Nabi Saw bersabda :
‫من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والخرة‬
“Siapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan
menutupi aibnyua di dunia dan di akhirat “ 46.
Al-Qur’an memberikan petunjuk cara meniadakan
kemungkaran dengan hikmah (arip dan bijaksana),
mau’idzah hasanah (nasihat-nasihat yang baik) dan jika

44
Q.S. Yusuf : 108
45
Q.S. Al-isra: 36
46
H.R. Ibnu Majah, no. 2544, lihat dalam Abu Abdullah al-Qazwiny, “Sunan Ibn Majah”,
Beirut:Dar el-Fikr, 1424
13
seandainya harus berdebat, maka ia dilakukan dengan cara
yang baik (mujadalah bi al-husna), Allah Swt berfirman:
    
 
  
    
    
    
 
“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk “ 47.

10. Tilmidzu Imam La Tilmidzu Kitab (muridnya Guru bukan


Muridnya buku)
Guru adalah nara sumber ilmu pengetahuan yang
menjadi ayah psikologis, syaikh dalam tarbiyah, komandan
dalam hal kebijakan-kebijakan dalam lapangan dakwah48.
Ada banyak hal khusus yang dapat kita harapkan dari
guru yang tidak didapatkan dari buku, yaitu berkah dan do’a.
Berkah karena keikhlasan hubungan antara murid dan guru
diikat dalam kebutuhan keilmuan dan akhlak. Di samping itu
guru akan membentuk kepribadian murid secara maksimal.
Tentu hal ini berbeda dengan buku yang hanya bersikap
diam dengan orang yang membacanya.
Dalam bahasa Ulama Qiroat al-Qur’an dan Hadits
“talaqqy” adalah salah satu cara belajar yang baik, karena
pemahaman seseorang dibatasi oleh kondisi-kodisi tertentu
sebelumnya, sementara buku yang telah dikaji sebelumnya
oleh seseorang dihadapan guru, pasti lebih utuh dipahami.
Cara belajar seperti ini, dapat dilihat dari cara yang dilakukan
oleh para sahabat yang belajar al-Qur’an kepada Nabi Saw,
meski mereka orang Arab asli yang bahasanya belum banyak
terkontaminasi, namun tetap saja mereka berguru kepada
Nabi untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dan cara yang
benar dalam membacanya49.

E. Penutup.

Kaidah-kaidah dakwah di atas adalah merupakan ijtihad dari


Syaikh Jum’ah Amin yang diambil dari kaidah-kaidah ushul fiqih,
kemudian pemahaman terhadap kaidah ushul fiqih itu dipadukan
47
Q.S. An-Nahl : 125
48
Miswan Thahadi, hlm 37
49
Muhamad Jum’ah Amin, hlm.229

14
dengan pengalaman dakwahnya di lapangan. Sebagai ijtihad
seorang da’i tentu akan dihadapkan dengan ijtihad lain yang kontra
terhadapnya.
Terlepas dari kaidah-kaidah yang antitesif dengannya,
sesungguhnya dakwah yang dilakukan setiap da’i harus selalu
mengacu kepada kaidah-kaidah dasar dakwah yang nilai-nilai
dasarnya telah ditetapkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal itu
dilakukan agar dakwah yang dilakukan tidak kabur dan malah
menghantarkan dakwahnya menjadi tathorruf dan tasahul.
Kenyataan di lapangan dakwah, ada beberapa da’i yang
melakukan dakwah dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah
dakwah ini, dilakukan seadanya, saklek tanpa memadukan antara
materi dakwahnya sebagai fiqih wahyu dengan materi lain yang
secara substantif tidak kontradiksi dengan nilai-nilai yang
ditetapkan dalam nash-nash aL-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu fiqih
al-waqi’. Karena dakwah yang dilakukan Nabi juga tidak terlepas
dari perpaduan antara kebenaran wahyu dengan ketepatan strategi
dalam melakukan transformasi individual dan sosial menuju
keadaan yang lebih baik. Wallahu A’lam

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, 2000

2. Abu Abdullah al-Qazwiny, “Sunan Ibn Majah”, Beirut : Dar el-Fikr,


1424 H

3. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Mesir : Dar Thauq an-najah, 1422 H

4. Ali al-Jurjani, “al-Ta’rifat”, Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1

5. Al-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Cairo : Dar al-Taqwa, 1428 H

6. Al-Syatibi,” al-Muwafaqat” , tahqiq Abu Ubaidah Ali Salman, Dar Ibn


Affan: Riyad, 1427/1997

7. Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an, hlm 406


dalam Maktabah Syamilah, versi 3.2
15
8. Hasan al-Atthor, “ Hasyiah al-‘Athhor ‘ala Jam’i al-Jawa’mi’”, Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1420/1999

9. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam


http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

10. Miswan Thahadi, Quantum Dakwah dan Tarbiyah, Jakarta: Al-


I’Tishom, 2008

11. Misbach Malim,Lc.Msc, Shibghah Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah


Islamiyah Indoensia,2008

12. Muhamad bin Abd al-Wahab, “al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-
Tauhid”, Saudi Arabia: Kementerian: Departemen Agama dan
Dakwah Saudi, 1421H

13. Muhamad Rasyid Ridha, “Majalah Al-Manar “ (dalam Bab al-


Mas’alah al-Syarqiyyah), Juz 14

14. Muhamad Fu’ad Abd Al-Baqy, al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, Beirut :


Dar el-Fikr, 2001,

15. Muhamad Amin Jum’ah,” Al-Dakwah Qawa’id Wa Ushul”, Cairo :


Maktabah misriyah, 1997

16. Muhamad al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah


Wa al-Jama’ah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H

17. Muhamad Al-Razi, “Mukhtar al-Shihah”, Maktabah Libnan : Beirut,


1415/1995

18. Shafy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Rahiq al-Makhtum, Madinah:


Dar Ibn al-Jauzi, 1427 HTaj al-Din Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadza’ir,
Syria : Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1411/1991
19. Zakaria al-Bakistany, “Min Ushul al-Fiqh ‘Ala manhaj ‘Ahl al-Hadits”,
Madinah : Dar al-Kharraz, 1423/2002

16
17

You might also like