You are on page 1of 12

IJTIHAD DAN TAKLID DALAM NU

Makalah disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Aswaja III

Dosen Pembimbing : Drs. Suyoto MR, M. Ag

Oleh :
Kelompok 9
1. Nur Azizah Ulfiyana
2. Dwi Retnowati
3. Hasyim Asy’ari
4. Siti Nur Laila

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF


METRO LAMPUNG
2009
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq, hidayah serta Inayahnya
kepada kuam muslim dengan diturunkannya Al – Qur’an yang mulia, dan telah
menjamin terpeliharanya hingga akhir zaman.
Semoga shalawat serta salam senatiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita kepada keindahan Islam, Nabi yang paling dinanti-
nantikan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Dengan segenap upaya dan kemampuan kami, akhirnya kami mampu
menghadirkan makalah ini untuk mata kuliah Aswaja III. Kami menyadari
keterbatasan dan kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang
konstruksif sangat diharapkan dari para pembaca sekalian.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Metro, Nompember 2009

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar isi

BAB I PENDULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad dan Syarat-syaratnya
B. Ijtihad pada Masa Kini
C. Taklid dalam NU
D. Dampak Ijtihad dan Taklid dalam NU

BAB III PENUTUP

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdaban manusia selalu dinamis, terus berubah seiring dengan perkembangan
zaman. Hal ini tentu terus memunculkan masalah-masalah baru, masalah
kontemporer di dalam masyarakat. Oleh karena itu para ulama-ulama NU dituntut
untuk mampu memecahkan semua masalah-masalah yang timbul dengan melalui apa
yang disebut ijtihad.
Lalu apa itu ijtihad? Apa itu taklid? Makalah ini akan mencoba sedikit
menguraikan ijtihad dan taqlid. Dengan hadirnya makalah ini diharapkan akan
semakin membuka wawasan kita. Semoga.

B. Rumusan Masalah
Pembahasan ijtihad dan taqlid tidak terlalu luas, hanya sebatas :
1. pengertian ijtihad dan syarat-syaratnya
2. Ijtihad pada masa kini
3. Taklid dalam NU
4. Dampak ijtihad dan taqlid dalam NU

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan antara lain :
1. Agar kita mengetahui dan memahami pengertian ijtihad dan syarat-syaratnya.
2. Agar kita mengetahui ijtihad yang ada pada masa sekarang ini.
3. Untuk mengetahui dan mamahami pengertian taqlid dalam NU.
4. Untuk mengetahui dampak ijtihad dan taqlid dalam NU.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad dan Syarat-Syaratnya


Arti ijtihad menurut bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau kemampuan.
Ijitihad di kelalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal
untuk istinbath (menggali) hukum syar’I yang berkaitan dengan amal perbuatan
manusia secara langsung dari dalil tafshili (Al Qur’an dan Sunnah). Ini adalah
pengertian ijtihad mutlaq, pelakunya disebut mujtahid mutlaq. Meskipun
dipertentangkan, apakah sekarang ini boleh melakukan ijtihad mutlaq atau tidak,
namun para ulama nampaknya sepakat, perlu adanya syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan tertentu bagi mujtahid mutlaq.
Syarat-syarat bagi mujtahid mutlaq; pertama, menguasai bahasa Arab, tentu
termasuk nahwu, sharaf dan balaghohnya karena Al Qur’an dan Hadits berbahasa
Arab. Tidak mungkin orang akan memahami Al Qur’an dan Hadits tanpa menguasai
bahasa Arab.
Kedua, menguasai dan memahami Al Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan
menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Contohnya,
do’a terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang menyatakan bahwa berdoa
kepada orang mati, berdekah dan membaca Al Qur’an tidak berguna dengan dalil :

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.”


(QS. An-Najum: 39)
Hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat yang menyuruh kita
mendo’akan orang mati. Dalam ayat lain tercantum :

“Orang-orang yang datang setelah mereka berkata : Ya Allah, ampunilah


kami dan saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.”
(QS. Al-Hsyr: 10)
Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku umun ( ) dan yang khusus
( ) yang mutlaq (tanpa kecuali) dan lyang muqoyyad (tebatas), yang nasikh
(hukum yang mengganti) dan masukh (hukum yang diganti), dan asbabun nuzul
(sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam memahami ayat tersebut.
Ketiga, manguasai hadits Rasulullah baik dari segi riwayat hadits untuk dapat
membedakan antara hadits yang shahih dan yang dhaif. Mengapa harus menguasai
hadits? Karena ylang berhak pertama kali untuk menjelaskan, Al Qur’an adalah
Rasulullah SAW, maka apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan manarik
kesimpulan suatu hukum brtentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad tersebut
tidak dapat dibenarkan.

“Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al Qur’an) supaya engkau


terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka mudah-
mudahan mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).

“Dan apa yang Rasul brikan kepadamu hendaklah kamu ambil , dan apa
yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah keras siksanya.”
(QS. Al Hasyr: 7)
Keempat, mengetahui ijma’ (kesepakatan hukum) para sahabat. Supaya kita
dalam menentukan hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh
sahabat,m karena lebih mengetahui Syari’at Islam. Mereka hidup bersama nabi dan
mengetahui sebab turunnya Al Qur’an dan datangnya hadits.
Kelima, mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bisa dijadikan
hukum ( ) selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits.
Dalam ijtihad, ada beberapa tingkatan, yakni ijtihad F1 Al-Mazhab, pelakunya
disebut mujtahid F1 Al-Mazhab. Lalu dibawahnya ada ijtihad Fatwa, pelakunya
disebut mujtahid Fatwa. Mujtahid tingkat kedua ini ialah mereka yang mampu meng-
istibath hukum dari kaidah-kaidah imam mazhab (mujtahid mutlaq) yang diikuti.
Misalnya imam Al-Muzani, pengikut mazhab Syarfi’i sedangkan mujtahid Fatwa
adalah mujtahid yang mempunytai kemampuan metarjih antara dua Qaul yang di-
mutlaqkan oleh imam mujtahid yang dianutnya.
Didalamnya kitab Al-Fawaid, Al-Makkiyah diuraikan tingkatan ulama Figh
itu ada enam. Pertama mujtahid muntaqil, setingkat Al-Syafi’i. Kedua mujtahid
muntasib, setingkat imam Al-Muzani. Ketiga ashhabu Al-Wujuh, setingkat imam Al-
Qaffal. Keempat mujtahid Fatwa, setingkat Al-Nawawi dan imam Al-Rofi’i. Kelima
pemikir yang mampu metarjih antara dua pendapat dari dua imam yang berbeda,
misalnya imam Al-Asnawi. Keenam hamalatu Al-Fiqih, yaitu ulama-ulama yang
menguasai aqwal (pendapat-pendapat) para imam.
Akan tetapi, Nahdlatul ulama mempergunakan istilah yang umum di kalangan
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa yang dimaksud mujtahid hanyalah mujtahid
mutlak atau mujtahid mustaqil. Dibawah tingkatan itu tergolong Muqalid (orang yang
mengikuti).

B. Itihad pada Masa Kini


Ijtihad diperlukan setelah Nabi SAW wafat karena permasalahan selalu
berkembang. Ijtihad pada zaman Nabi tidak diperlukan, sebab apabila sahabat
mempunyai persoalan langsung bertanya kepada Nabi. Sejak abad ke-II dan ke-III
hijriyah permasalahan hukum islam telah mulai perumusan hukum, diantaranya hasil
dari Al-Madhahibul Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan telah
diletakkan pula kaidah-kaidah ushul fiqih yang mampu memecahkan segala
permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini bukan periode ijtihad, tetapi
periode pengamalan.
Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup mutlaq, tentu tidak. Dalam memecahkan
masalah-masalah kontemporer, seperti cangkok mata, donor organ tubuh, bayi tabung
dan lain-lain tentu diperlukan ijtihad. Namun ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad
dalm konteks intera mazhab belaka.
Seperti halnya kaum muslimin di Indonesia yang secara umum adalah
pengikut mazhab Syafi’i. Untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer, para
ulama NU seringkali mengadakan apa yang mereka sebut bahtsul masa’il. Kegiatan
tersebut merupakan pert4emuan kyai NU dari berbagai daerah untuk membahas
masalah-masalah baru, dan yang menjadi referensi mereka adalah kita-kitab fiqih
klasik (kitab kuning). Pertemuan diadakan dalam skala regional ataupun nasional,
tergantung bersaran isu yang dijadikan subyek pembahasan.
Inilah model ijtihad yang ada di kalangan NU. NU ingin mempertahankan
kepengikutan kaum nahdliyin terhadap mazhab yang mereka anut, terutama mazhab
Syafi’i. Dan dalam anggaran dasar NU disebutkan bahwa mereka mengikuti mazhab
Syafi’i atau salah satu dari tiga mazhab lainnya (Hanafi, Maliki dan Hanbali). Oleh
karena itu, perkembangan fiqih di kalangan nahdliyyin tidak akan keluar koridor
mazhab yang mereka anut.

C. Taklid Dalam NU
Taklid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-
kitab Syafi’iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu
dalil-dalilnya atau hujjahnya. Tentang status hukumnya, taklid di bidang figh (bukan
aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembasannya. Dalam hal ini Dr.
Said Ramadlan mengutip kata imam Ibnu Al Qoyyim yang disetujui oleh beberapa
ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab Al-Sunan saja belum
cukup untuk dijadikan landasan Fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan
istinbath dan kahlian berfikir serta menganalisa. Bagi yang tidak memiliki
kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah :

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu


tidak mengetahui.” ( QS. An-Nahl: 43)
Yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.

Ibnu Khaldun juga menceritakan, para sahabat tidak semuanya ahli Fatwa.
Begitu pula tabi’in. Ini berarti sebagian para sahabat dan tabi’in yang paling banyak
jumalahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli Fatwa. Tidak satupun dari
sahabat dan tabi’in mengingkari taqlid. Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa
mengatakan, para sahabat telah sepakat (Ijma) menganai keharusan bertaqlid bagi
orang awan.

D. Dampak Ijtihad dan Taklid dalam NU


NU memang terkesan sangat kental dengan budaya taqlid. Artinya hampir
seluruh gerak hidup komunitas NU khususnya yang terkait dengan bidang keagamaan
(Fiqh) mengikuti oleh apa yang dikatakan oleh para kyai. Peran kyai dalam NU
memang sangat sentral dan dapat menentukan seluruh aspek kebijakan, termasuk
didalamnya kebijakan organisasi. Hal ini disebabkan, barangkali, NU terikat pad
paham keagamaan yang telah disepkatinya, yaitu sebagai penganut paham
Ahlussunnah waljama’ah. Dengan paham ini para kyai dapat saja
menterjemahkannya dalam bahasa konkret, bahwa para santri atau komunitas NU
dilarang keluar dari koridor paham ahlussunnah waljamaah tersebut. Dan bisa saja,
ada semacam pembenaran, bahwa kebenaran untuk menterjemahkan paham
ahlussunnah waljama’ah (agar tidak melenceng) datangnya hanya berasal dari para
kyai yang dianggap telah mempunyai derajat validasi tinggi.
Akibat dari pemahaman demikian, NU terkesan mandeg, stagnan, kurang
daya kritis dan daya kreatif. Seperti halnya kenyataan yang ada, dalam contoh
masalah administrasi dan manajemen, NU masih sangat kurang. NU kultural lebih
membumi daripada, NU struktural, padahal jika keduanya bisa seimbang, menurut
hemat kami NU akan semakin maju dan berkembang daripada sekarang.
BAB III
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa ijtihad di kalangan ulama
NU dipahami sebagai upaya berfikir secara maksimal untuk menggali hukum syar’i
yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari Al Qur’an dan
Hadits.
Pelaku ijtihad disebut mujtahid dan dalam hal ini ada beberapa tingkatan;
mujtahid mutlaq, mujtahid Fatwa, dan lain-lain.
Seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab berikut nahwu, sharaf dan
juga balaghohnya, menguasai dan mamahami Al Qur’an secara keseluruhan,
menguasai hadits-hadits Rasulullah, mengetahui yina para sahabat, dan juga
mengetahui adat kebiasaan manusia.
Adapun taqlid menurut KH. Ahmad Siddiq adalah mengikuti pendapat orang
lain yang diyakini kebenarannya sesuai dengan Al Qur’an dan hadits pelakunya
disebut muqallid.
Bagi orang awam, yang tidak memenuhi kriteria sebagai mujtahid alias tidak
memiliki kemampuan untuk berijtihad maka taqlid adalah wajib hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA

www.nu.or.id
www.kmnu.org
www.ermuslim.com
www.td.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul-Ulama
www.gusmus.net
www.Fatimah.org
http://anshori.wordpress.com
hasanuddin, Moh. As’ad Toha, Pendidikan ASWAJA SMA, Al-Ihsan, Surabaya, 1992.

You might also like