Professional Documents
Culture Documents
UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
BAB I. PENDAHULUAN.
I.1. Latar Belakang.
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa
sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal lahirnya Pancasila.
Adalah Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila
tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan
hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau
sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali
applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang
Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada
malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar
negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu
beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara
mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren,
lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun
dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika
pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran
yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa
sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum
satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi
persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat
rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan
terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai
kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam
perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan
Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti
penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan
makmur. Jelasnya, relevansi pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut
akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa
Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat
dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat
dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir
Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar
negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara
politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara
personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi
substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang
diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara
kesatuan Republik Indonesia ini.
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan
Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan
rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam
istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grooste gemene
deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara
konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru
sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam
masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme, islamisme,
marxisme“.
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap
pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa
Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi
Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong“ yang dimaksudkan
sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara
yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua dan semua buat
satu“. Dengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila
sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun
Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang
tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin
politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam
konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia
Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan
urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir.
Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih
mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan
lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah
filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs.
Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian
renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan
berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila
belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh
karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang
masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain,
tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga
belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward
Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari
Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi
kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka.
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan
yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang
BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam
rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni
1945 yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa
secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih
tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para
pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat
tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat
yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam
ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta
dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen
bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator
besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif
dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan
ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus. Sehubungan dengan itu,
baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan
tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan
proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal
yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah,
lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat
tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam
suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,
seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri.
I.2. Tujuan Penulisan.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah
pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai
Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra
sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti
ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan yang nota bene
sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan
antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan
yang utuh.
Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan
bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan
Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri
khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang
berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa
Pancasila adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan
kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga
terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta
mekanisme kenegaraan.
Setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan
hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya dengan
menegaskan bahwa Sila Keadilan Sosial setidak-tidaknya merupakan benchmark,
kalaulah tidak merupakan core value untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila
sebagai Dasar Negara tantangan berikutnya adalah menjawab pertanyaan
bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Http://www.Hukumonline.com/rubrik_hukumpancasila//