You are on page 1of 18

REINTERPRETASI SERTA REKONSTRUKSI

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA


MELALUI PARADIGMA FUNGSIONAL
Disusun guna memenuhi tugas Filsafat Pancasila

UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
BAB I. PENDAHULUAN.
I.1. Latar Belakang.
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa
sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal lahirnya Pancasila.
Adalah Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila
tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan
hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau
sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali
applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang
Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada
malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap
pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar
negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu
beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara
mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren,
lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun
dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika
pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran
yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa
sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum
satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi
persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat
rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan
terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai
kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam
perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan
Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti
penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan
makmur. Jelasnya, relevansi pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut
akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa
Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat
dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat
dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir
Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar
negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara
politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara
personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi
substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang
diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara
kesatuan Republik Indonesia ini.
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan
Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan
rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam
istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grooste gemene
deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara
konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru
sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam
masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme, islamisme,
marxisme“.
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap
pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa
Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi
Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong“ yang dimaksudkan
sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara
yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua dan semua buat
satu“. Dengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila
sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun
Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang
tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin
politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam
konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia
Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan
urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir.
Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih
mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan
lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah
filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs.
Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian
renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan
berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila
belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh
karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang
masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain,
tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga
belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward
Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari
Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi
kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka.
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan
yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang
BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam
rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni
1945 yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa
secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih
tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para
pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat
tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat
yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam
ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta
dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen
bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator
besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif
dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan
ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus. Sehubungan dengan itu,
baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan
tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan
proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal
yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah,
lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat
tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam
suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,
seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri.
I.2. Tujuan Penulisan.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah
pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai
Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra
sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti
ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.

I.3. Rumusan Masalah.


Berikut beberapa permasalahan yang saya angkat dalam pembuatan makalah ini :
1. Bagaimana Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila Sebagai
Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional ?
2. Bagaimanakah keterkaitan antara sila-sila di dalam Pancasila ?
BAB II. PEMBAHASAN.

Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada


seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux
preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi
kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus
nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal
Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang
melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam
konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran
Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari,
bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah
lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi
gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan
atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus
dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara
berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap
perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau melahirkan Pancasila pada
tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno
menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri
maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara
lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang
berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika
Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga
beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai marxisme yang diterapkan di
Indonesia, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945.
Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap
pembaruan terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara
tahun 1965-1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila
sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi
menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir
Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi
kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.

II.1. Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila.


Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang yang
pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi
pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya
secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan adalah mengadakan
reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila,
maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam
Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran yang saya tulis, menjelang munculnya
tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.
Tawaran ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah
suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara
yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia
dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat
norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara pernyataan
kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara
rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat
tugas pokok pemerintah.
Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara
konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang
serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur
penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas
kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya,
seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota
maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar
suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent
(FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan
substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan
perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi
manusia, saya berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut
secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan
berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah
berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila
Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir,
sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat
Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi
manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable
rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam
keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak
atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun
agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun
juga.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan,
perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of
achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama
(yang harus diwujudkan) oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa.
Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan
saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta
instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif
menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan
dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum
nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah
relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan
dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk
sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi
terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan
Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat
kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam
suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah
menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem
pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang
amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan
serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak
taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun
1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika“
dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka
Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma“, yang artinya: “walau berbeda-
beda namun tetap satu jua. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A
Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik
di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit,
pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti
pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts
gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum
dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme
pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling
dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara,
kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam
pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih
dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee)
dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya
dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam
instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak
rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak
politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on
Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa
Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri
yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai
hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia apapun makna filsafati
yang terkandung dalam frasa ini jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta
benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur
penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara
maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum
internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk
memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya,
yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih
lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg
Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights
(1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and
Cultural Rights (1997).
Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai
demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam
bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk
menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

II.2. Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila.


Kita dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir.
Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang
bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua
tugas besar dan berat sekaligus, yaitu
1. Memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat
memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu
membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan
itu, dan
2. Membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar
negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti
itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang
secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada
filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang
dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan
negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana
sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum
sempat ditangani beliau dengan baik.

Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan yang nota bene
sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan
antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan
yang utuh.
Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan
bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan
Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri
khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang
berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa
Pancasila adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan
kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga
terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta
mekanisme kenegaraan.
Setelah dapat mengintegrasikan seluruh sila-sila Pancasila sebagai suatu
kesatuan yang utuh dan bergerak dinamis dalam suatu arus pemikiran yang bukan
hanya mencakup sistem nilai tetapi juga dimensi kelembagaannya dengan
menegaskan bahwa Sila Keadilan Sosial setidak-tidaknya merupakan benchmark,
kalaulah tidak merupakan core value untuk menguji terwujud tidaknya Pancasila
sebagai Dasar Negara tantangan berikutnya adalah menjawab pertanyaan
bagaimana menjabarkannya ke dalam sistem kenegaraan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

II.3. Dimana Letak Kesulitan Penjabaran Pancasila?


Sebuah pertanyaan kecil rasanya perlu diajukan terhadap kenyataan bahwa
demikian lama wacana tentang Pancasila ini hanya berputar-putar pada tataran
yang amat abstrak dan tidak dapat dicari kaitannya dengan mekanisme serta
proses pembuatan kebijakan serta strategi pemerintahan yang akan
melaksanakannya. Mengapa Pancasila yang sampai sekarang masih diakui
sebagai Dasar Negara tidak atau belum dapat ditindaklanjuti secara konsisten dan
koheren ke dalam sistem nasional? Mengapa demikian sulit menjabarkan
orthodoxy Pancasila ke dalam orthopraxis Pancasila ?
Pertanyaan ini mungkin bukan hanya dapat ditujukan terhadap bangsa
Indonesia, tetapi juga terhadap bangsa-bangsa Asia pada umumnya. Dalam hal ini
saya merujuk pada pertanyaan Mahbubani (2002) seorang doktor ilmu filsafat
yang berasal dari Singapura yang sangat menggelitik: Mampukah Orang Asia
Berpikir?
Mahbunani mempertanyakan mengapa orang Eropa yang masih
terbelakang sewaktu orang-orang Asia sudah mencapai tingkat peradaban yang
tinggi, kemudian bisa dikalahkan oleh orang-orang Eropa setelah kebangkitan
mereka yang dimungkinkan oleh Renaissance sekitar abad ke-16 serta kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad ke-17 dan 18. Mahbubani
memberikan tiga kemungkinan jawaban, masing-masing dengan argumen pro-
kontra. Namun bagaimanapun, Mahbubani menunjukkan kenyataan bahwa
kemajuan bangsa-bangsa Eropa dimulai dengan kemajuan dalam cara berpikir,
yang kelihatannya belum berlangsung di Asia pada umumnya, dan di Indonesia
pada khususnya.
Mengenai masalah ini Hajime Nakamura (1971) mengingatkan bahwa
terdapat perbedaan dalam cara berfikir sesama orang Asia, khususnya antara
orang India, Cina, Tibet, dan Jepang. Sayang Nakamura tidak mencantumkan ciri
khas cara berpikir orang Arab, yang dari segi geografis sesungguhnya masih dapat
disebut sebagai orang Asia.
Untuk bangsa Indonesia yang secara kultural sangat dipengaruhi oleh cara
berpikir India, perlu kita perhatikan pengamatan Nakamura terhadap beberapa ciri
khasnya, yaitu stress on universals, preference for the negative, minimizing
individuality and specific particularities, the concept of the unity of all things, the
static quality of all things, subjective comprehension of personality, subservience
to universals, alienation from the objective natural world, the introspective
character of Indian thought, the metaphysibal character of Indian thought, dan
the spirit of tolerance and conciliation. Sungguh menarik untuk mengetahui
sampai berapa jauhkah pengaruh cara berpikir India tersebut terhadap
kecenderungan mengabstrahir Pancasila pada sisi yang satu dan untuk
menghindari wacana pelaksanaannya pada sisi yang lain. Untuk aspek
pelaksanaan ini, mungkin kita perlu memperhatikan cara berpikir orang Asia
lainnya, yaitu cara berpikir Cina.
Nakamura mencatat hal-hal berikut tentang cara berpikir Cina: emphasis
on the perception of the concrete, non-development of abstract thought, emphasis
on the particular, conservatism expressed in exaltation of antiquity, fondness for
complex multiplicity expressed in concrete form, formal conformity, the tendency
toward practicality, individualism, esteem for hierarchy, esteem for nature,
reconciling and harmonizing tendencies.
Sungguh akan sangat menarik jika dapat disusun dan dikembangkan suatu
naskah yang memuat cara berpikir orang Indonesia pada umumnya, dan cara
berpikir suku-suku bangsa Indonesia pada khususnya, untuk memahami pola serta
dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada khususnya,
yang akan menjadi konteks kultural pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara.
Tidak dapat disangkal, bahwa suku bangsa Indonesia yang sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan India (baca: Hindu) adalah suku bangsa Jawa, dan
bahwa perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh BPUPKI untuk
pulau Jawa, yang dipimpin oleh Dr Radjiman Wedyodiningrat, salah seorang
tokoh Boedi Oetomo yang sangat bernuansa kultur Jawa.
Kelihatannya masih panjang waktu yang harus dilewati sebelum benar-
benar terbentuk suatu cara berpikir yang benar-benar Indonesia, an Indonesian
mindset, yang dapat dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan
melalui rangkaian konsensus-konsensus nasional.

BAB III. KESIMPULAN DAN PENUTUP.


Suatu masalah dasar yang dihadapi Pancasila sebagai dasar Negara selain
berubah-ubahnya penjelasan Ir. Soekarno sebagai perumus pertama Pancasila
sebagai respons terhadap kondisi dunia dalam era Perang Dingin adalah belum
jernihnya esensi substansi, keterkaitan antar sila-silanya, hubungannya dengan
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, serta bagaimana format pelaksanaannya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Masalah dasar tersebut timbul sebagai akibat interpretasi yang amat
personalistik, elitis, dan miopik terhadap Pancasila, sehingga Pancasila hanya
difahami sebagai hasil karya pemikiran pribadi Ir. Soekarno, dan merupakan
serangkaian asas yang perlu dikembangkan dan disosialisasikan oleh para
pemimpin kepada rakyat, serta terbatas pada sejarah Indonesia setelah tahun 1945.
Masalah dasar tersebut di atas akan dapat diselesaikan dengan
menempatkan Pancasila secara historis sebagai kristalisasi dari perjuangan
panjang bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari penjajahan, membentuk
suatu negara nasional baru, serta membangun suatu masyarakat yang adil dan
makmur dalam negara baru yang dibangun bersama tersebut. Oleh karena itu
diperlukan reinterpretasi serta rekonstruksi terhadap Pancasila yang
memungkinkan Pancasila bisa dipahami secara konsisten dan koheren serta dapat
ditindaklanjuti dalam konteks dan dalam kerangka institusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Menjelang timbulnya berbagai wujud reinterpretasi dan rekonstruksi
lainnya, saya menawarkan suatu paradigma fungsional Pancasila, yang bertumpu
pada kenyataan bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu
kategori yang sama, dan bahwa kelima sila tersebut dapat dikembangkan menjadi
bagian-bagian dari suatu paradigma yang fungsional, dan sesuai dengan
perkembangan dan komitmen mutakhir Republik Indonesia dalam melindungi,
menghormati, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia. Sila pertama, Ke-
Tuhanan yang Maha Esa adalah pengakuan Negara terhadap agama dan
kepercayaan yang dianut oleh Rakyat Indonesia, yang dewasa ini diakui sebagai
salah satu non-derogable rights. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
merupakan landasan bagi dan pengukuhan terhadap berbagai instrumen hukum
internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, baik hak sipil dan politik
maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sila ketiga, Persatuan Indonesia,
merupakan pengukuhan terhadap rangkaian panjang proses pembentukan Bangsa
Indonesia serta terhadap pembentukan sebuah negara nasional Indonesia, yang
memberi tempat kepada seluruh bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk
dari segi ras, etnik, serta golongan. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan adalah merupakan
penegasan terhadap asas kedaulatan rakyat dan mekanisme pengambilan
keputusan politik. Dan akhirnya, sila kelima Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat
Indonesia, merupakan tujuan akhir terbentuknya negara nasional Republik
Indonesia yang merupakan tolok ukur serta benchmark kinerja pemerintah.
Keterkaitan fungsional antara lima sila Pancasila tersebut dapat divisualisasikan
dalam sebuah diagram.
Dewasa ini terdapat cukup banyak kerangka konseptual sebagian di
antaranya sudah merupakan program dan komitmen pemerintah Republik
Indonesia serta wawasan baru dari kalangan terpelajar sendiri untuk
menindaklanjuti sila kelima ini ke dalam kenyataan, seperti Millenium
Development Goals 2015, Prakarsa Pembangunan Manusia Indonesia (PPMI),
Corporate Social Reponsibility, serta Kybernologi.
Ringkasnya, ambiguitas dan ambivalensi terhadap Pancasila dapat diakhiri
dengan mengembangkan sebuah paradigma fungsional terhadap Pancasila, yang
berujung pada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan yang
harus diwujudkan serta sebagai benchmark yang harus digunakan untuk
mengukur kinerja pemerintahan pada umumnya serta kinerja presiden dan wakil
presiden pada khususnya.
DAFTAR BACAAN

UUD 1945 dengan Amandemen.

Notonagoro; “Dasar Falsafah Negara”; Pantjuran Tudjuh; Jakarta; 1974.

Pranarka, Anthonius Moerdyanto Wignyo; “Sejarah Perkembangan Pemikiran


Tentang Pancasila Sebagai Ideologi, Dasar Negara Dan Sumber
Hukum”; PT Citra Aditya Bakti; Bandung; 1994.

Purbopranoto, Kuntjoro; “Pancasila Sebagai Dasar Negara”; Gunung Agung;


Jakarta; 1984.

Http://www.Hukumonline.com/rubrik_hukumpancasila//

You might also like