Professional Documents
Culture Documents
http://panoramahati.blogspot.com/2009/12/pendidikan-pada-masa-kemerdekaan.html
Kamis, 14 Januari 2010
C. PENUTUP
Mencermati uraian di atas terlihat bahwa pendidikan islam di zaman Jepang adalah sebuah usaha
untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, sehingga eksploitasi kemanusiaan benar-
benar terjadi. Kerja paksa tidak hanya pada laki-laki dewasa, tetapi juga pada siswa-siswa sekolah.
Meskipun demikian dualisme pendidikan yang pada zaman Belanda, pada masa ini tidak terjadi. Ada
perubahan yang cukup penting, yaitu dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan
pengantar dalam dunia pendidikanIslam, meski dengan kompensasi yang cukup berat yaitu
pengajaran bahasa Jepang dan pengajaran adat istiadat Jepang yang cukup menekan.
Selain hal itu, perlu dicatat pula bahwa rangkulan pihak Jepang terhadap umat Islam, membuka
celah bagi pendidik Islam untuk memasukkan nilai-nilai islam dalam system pendidikannya,
sehingga ajaran islam tetap terpercaya.
http://ndopaar.blogspot.com/2010/01/pendidikan-islam-masa-penjajahan-jepang.html
Sebenarnya masalah pendidikan islam tidak dapat dibatasi oleh kekuatan belanda, sadar atau tidak
disadari oleh belanda kenyataan pendidikan islam dapat mengimbangi pendidikan belanda.
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar yaitu :
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di
Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan
kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-
organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus
berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap
dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang
memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada
ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di
masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas,
mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya
mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk
memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-
sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik
penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang
dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi
mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat
konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara
tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC
tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya
diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai
memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah
Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau
tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan
sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan
kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di
Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat
dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya
Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan
pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS),
dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS)
dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat
rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya
berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin
kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi
perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang masih berlaku sampai sekarang sehingga
orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah
melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat
banyak.
Pendidikan islam zaman penjajahan jepang dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya
belanda saja yang mencoba berkuasa di Indonesia.
Ketika berakhirnya pemerintahan belanda datanglah jepang. Menurut sejarah jepang pada masa itu
sedang dihadapkan usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya untuk
mendekati umat islam. Bahkan dapat dikatakan kedudukan jepang di Indonesia sangat bergantung
pada bantuan umat islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan
antara umat islam dan jepang mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan
barat.
Kerja sama antara islam dan jepang mungkin akibat propaganda yang licin sehingga umat islam
sementara tidak melihat niat jepang sebagai penjajah. Hal ini terkait pada penghargaan jepang atas
arbituren sekolah yang berjalan pada zaman penjajahan belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan
umat islam untuk mencoba mendirikan perguruan tinggi tetapi jepang hanya memberikan prioritas
hanya untuk kepentingan perang dan berdirilah apa yang disebut dengan Tentara Pembela Tanah
Air yang dipimpin langsung oleh para kiai dan para ulama’.
Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan
di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan
militer dalam peperangan pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan
akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan
beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan
di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas
sosial di era penjajahan Belanda.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
1. Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis
menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran
bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta.
5. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang
belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
6. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan
dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar
Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas
kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya
setelah tercapainya kemerdekaan.
Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan
jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari
segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan
pendidikan islam, sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup
mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.
Misi islam itu sendiri secara garis besar adalah untuk memperbaiki prikehidupan manusia dimana
saja berada. Islam tidak lain adalah agama yang demokrasi, yang menghendaki hidup damai antar
sesama manusia baik sesame muslim maupun muslim yang lain. Berikut diuraikan bahwa tujuan
pendidikan islam secara garis besar adalah dibagi menjadi dua bagian:
1. mempertebal akan keyakinan itu sendiri,dan membentuk kecerdasan bangsa sebagai mana dalam
buku sejarah dikatakan bahwa kedatangan islam di Indonesia itu membawa kecerdasan dan
peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia
2. untuk mempertahankan HAM dengan jalan politik atau perlawanan perang demi tercapainya HAM
tersebut menurut islam, yaitu mempertahankan kebenaran, jika kebenaran telah terjelma maka
itulah sebagian yang dikehendaki islamuntuk tercapainya tujuan islam secara keseluruhan.
Ringkasnya dalam usaha untuk memajukan pendidikan tidak lepas dari tujuan untuk
memperjuangkan bangsa Indonesia dari pengaruh imperialis,kata KH. Saifudin zuhri (1976:322)
Disini beberapa tujauan pendidikan islam ketika zaman penjajahan antara lain:
a. azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan
dakwah islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar
c. Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat,
disamping mejadi kemaslahatan umat islam itu sendiri.
Kesimpulanya ialah bahwa tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa
keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan
tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara
manusiawi.
Diposkan oleh the darkness di Rabu, November 18, 2009
http://punyahari.blogspot.com/2009/11/pendidikan-masa-penjajahan.html
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis
di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik
Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua
kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda,
sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi
pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis
karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko
dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya
yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk
peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk
memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa
(Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena
digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga
dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein
Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7).
Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat
mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan
berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum
ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat
biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari
lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri
terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia
melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar
Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai
alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk
mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanangkan
sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal
dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga
kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak
terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123).
Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan
dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga
pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang
pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi
guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga
pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit
dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan
menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa
untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia
dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu
diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum
tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada
pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat.
Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan
atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai
pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai.
Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja
yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai
kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak
sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan
dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda
lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak
Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan
biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap
paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari
kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas
dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi
tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang
memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut
dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya
(Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi
guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar
di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam.
Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah.
Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis
menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan
berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah
liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga
cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985
dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang
untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko
Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia
raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan
sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang
menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan
sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang
melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan
untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang
pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan
kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah
mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan
dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan
K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa,
bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan
jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf
pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi,
kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan
kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian
menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling
terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas
gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena
merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk
meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277,
Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu
sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37.
Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara
tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk
menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam
kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir
tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari
rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak
penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang
maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi
sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat
penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan
pemasukan pemerintah.
*) Ayyash ‘Aqiel (Pendidikan Sejarah) dari beberapa sumber.
http://smart.stkip-persis.ac.id/2009/06/mengintip-sejarah-pendidikan-indonesia-masa-
kolonial/comment-page-1/
b. Hasyim Asy’ari
Gagasan Hasyim Asy’ari adalah bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-cita nasional
termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dalam organisasi ini Hasyim Asy’ari berjuang membina
dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren
sebagai basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda.
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.