You are on page 1of 15

Bercermin pada Pendikan Jepang

by lalaadhiatma on Oct.16, 2009, under Uncategorized


Kalau berbicara masalah pendidikan terkadang kita perlu juga cerminan pada negara yang sudah
sukses melahirkan warga negara yang bisa bersaing di mata internasional. Tak salah memang kalau
kita menyebut Jepang salah satu contoh negara yang perlu kita contoh. Ada apa dengan pendidikan
Jepang? Bagaimana Sistem Pendidikan Nasionalnya? Kurikulum apa yang digunakan? Sistem
Manajemen Sekolah apa yang diterapkan? Berikut akan dipaparkan sekilas mengenai pendidikan
Jepang.
Dalam kurun waktu bergulirnya Restorasi Meiji (Meiji Ishin) tahun 1868 dan dekade sesudahnya,
bangsa Jepang telah membelakakkan mata dunia menjadi bangsa yang pilih tanding dalam
kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jepang mereformasi pendidikan secara menyeluruh
yang disesuaikan dengan dunia Barat.
Padahal, sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya berdasarkan sistem feodal,
yaitu pendidikan untuk samurai, petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini
dilaksanakan di kuil dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan Terakoya
(sekolah kuil). Mirip dengan pesantren di Indonesia. Namun, semenjak Restorasi Meiji dikibarkan,
bagai bola salju, pemerintah Jepang terus “menggelindingkan” puspa ragam kebijaksanaannya
dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan pelbagai macam buku, diantaranya tentang
ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar
sesuai dengan bidangnya masing-masing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan
keyakinan bahwa Jepang akan dapat “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” dengan kemajuan
dunia Barat.
Dari upaya tersebut, lahirlah tokoh modernisasi pendidikan Jepang era Meiji seperti Fukuzawa
Yukichi, yang punya gagasan cemerlang. Gagasan yang terkenal tercetus dalam bukunya yang
berjudul Gakumen no Susume (Jepang: Di antara Feodalisme dan Modernisasi ) menyatakan pada
bagian pendahuluan buku tersebut “Sebagai jalan yang paling ampuh untuk mencapai tujuan negara
adalah melalui pendidikan sebab Tuhan tidak menempatkan manusia yang lain. Kalau kenyataan
dalam masyarakat memang ada pula yang berkedudukan lebih tinggi dan ada pula yang
berkedudukan lebih rendah. Perbedaaan ini disebabkan karena yang berkedudukan tinggi telah
mementingkan pendidikan, sedangkan yang rendah sebaliknya”.
Kemajuan Jepang bertambah “runcing” sesudah tentara pendudukan Amerika Serikat (AS) setelah
Jepang kalah pada PD II banyak memberikan dorongan pada bangsa Jepang untuk mencurahkan
perhatiannya pada bidang pendidikan. Struktur baru pendidikan yang dikembangkan Amerika
Serikat dalam Cummings (1984), ada empat hal pokok yang dapat dijelaskan.
Pertama, sekolah dasar (SD) wajib selama enam tahun dan tidak dipungut biaya. Bertujuan untuk
menyiapkan anak menjadi warga yang sehat, aktif, menggunakan pikiran, dan mengembangkan
kemampuan pembawaannya. Kedua, sesudah SD ada sekolah lanjutan pertama selama tiga tahun,
punya tujuan untuk mementingkan perkembangan kepribadian siswa, kewarganegaraan, dan
kehidupan dalam masyarakat serta mulai diberikan kesempatan belajar bekerja. Ketiga, setelah
sekolah lanjutan tingkat pertama, ada sekolah lanjutan selama tiga tahun. Bertujuan menyiapkan
siswa masuk perguruan tinggi dan memperoleh keterampilan kerja. Keempat, universitas harus
berperan secara potensial dalam mengembangkan pikiran liberal dan terbuka bagi siapa saja, bukan
pada sekelompok orang. Munculnya struktur baru pendidikan di Jepang yang dikembangkan Amerika
Serikat, merupakan bentuk “revisi” dari struktur pendidikan lama yang sudah ada sebelum Perang
Dunia II.
Kegiatan Jepang dalam mencerdaskan bangsanya telah menuai hasil yang signifikan. Korelasi antara
majunya pendidikan Jepang dan kemajuan industrinya benar-benar terwujud. Hal ini dibuktikan
dengan keberhasilan bangsa Jepang tumbuh menjadi negara industri utama di Asia, yang
kedudukannya sejajar dengan bangsa Barat lain seperti Inggris maupun Prancis.
Di samping itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh The Political and Economic Risk
Consultancy (PERC), lembaga konsultan yang berkedudukan di Hongkong pada akhir 2001
menempatkan Jepang dalam urutan ketiga di bawah Korea Selatan dan Singapura, dalam Human
Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sementara itu, kalau kita bandingkan
dengan IPM Indonesia, sungguh sangat jauh. Dari 12 negara Asia yang disurvei, Indonesia berada di
urutan juru kunci. Hasil survei tahun 2000 dari United Nation Development Program (UNDP), badan
PBB yang mengurus program pembangunan, menempatkan Indonesia di urutan ke-109 dari 174
anggota PBB. Rendahnya IPM merupakan output dari mutu sistem pendidikan.
Latar belakang
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Pada dasarnya ada kemiripan latar belakang
perkembangan kebudayaan antara Indonesia dan Jepang. Secara historis, peradaban kebudayaan
Indonsia dan Jepang dapat dilacak kembali sampai ke zaman yang sangat kuno. Peradaban
kebudayaan Indonesia dan Jepang mengembangkan kebudayaannya dengan jalan menyerap dan
mengasimilasikan unsur-unsur asing, yang berlanjut menjadi lapisan dasar budaya asli.
Di Indonesia pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-10 berkembang beberapa kerajaan yang
berorientasi pada agama Budha dan Hindu di Jawa Tengah, dengan peninggalannya yang terkenal
berupa Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Begitu pula di Jepang, pada zaman yang sama mereka
menyerap dan mengasimilasikan kebudayaan Cina, dengan mengembangkan kebudayaan Nara-
Heian dan pembanguan kuil Horyuji serta Bangsal Budha Agung di Nara. Menurut Taroo Sakamoto,
persamaan waktu antara petunjuk akan adanya persamaan antara Borobudur dan Bangsal Budha
Agung merupakan petunjuk akan adanya persamaan antara kebudayaan Indonesia dan Jepang.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu pada abad ke-17, Jepang dengan politik isolasinya,
melaksanakan pendidikannya dengan sistem Terakoya (sekolah kuil). Menjelang akhir zaman
Shogun terdapat lebih dari 7.000 terakoya. Ini merupakan dasar bagi pelaksanaan sistem wajib
belajar (gimu kyooiku) yang lebih komprehensif setelah dimulainya Restorasi Meiji.
Pendidikan yang meluas dan membumi telah membuat orang Jepang hampir semuanya melek huruf
mendekati 100 %, dan orang yang buta huruf kurang lebih hanya 0,7 % pada tahun 1979. Tingginya
standard pendidikan Jepang di atas tidak semata-mata muncul dengan sendirinya, namun yang perlu
diungkap di sini adalah ciri utama bangsa Jepang yaitu kehausan yang tak pernah puas akan
pengetahuan. Sebagai bangsa literal dan minat baca yang tinggi, wajar dan mengamini bila bangsa
Jepang maju dalam bidang pendidikan. Bukan hanya bacaan berupa buku ilmu pengetahuan,
teknologi, dan sastra saja yang menjadi bahan bacaan mereka, tetapi koran pun masih menjadi
bacaan wajib setiap hari. Sebagaimana dikatakan Tanaka dalam Dahidi, “Even today, Japanese still
expect to act as the national conscience…newspapers are still the trusted medium in Japan”.
Membaca bagi kebanyakan orang Jepang bukan merupakan kegiatan yang dipaksakan, tetapi karena
dalam diri mereka telah tertanam suatu sifat kebutuhan akan bacaan. Akibatnya, tidak heran bila
kita lihat kehidupan sehari-hari bangsa Jepang tidak akan lepas dari membaca.
Karakteristik
Bagaimana Jepang berhasil dalam merombak masyarakat melaui pendidikan? Menurut Wiliam K.
Cummings, beberapa faktor yang mendukung adalah sebagai berikut. Pertama, perhatian pada
pendidikan datang dari pelbagai macam pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga, di Jepang
tidak ada diskriminasi terhadap sekolah. Keempat, kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima,
sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Kedelapan,
guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan “manusia seutuhnya”. Kesembilan, guru Jepang
bersikap adil.
Disamping hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat
pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal, misalnya, (1) Minat
masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relatif
setaraf; (3) prestasi kognitif siswa di atas rata-rata tinggi; (4) munculnya pelajaran ide
egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi
semua lapisan masyarakat.
Menurut Danasasmita, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa
ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan “ringannya”
mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan dari orang lain dan
tidak menganggap remeh jarih payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa. Kedua, orang
Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita
(maaf, Anda telah bersusah payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan
dengan ucapan banbatte kudasai (berusahalah). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak
pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal denagn
semangat bushido (semangat ksatria).
Dari beberapa karakteristik yang disebutkan di atas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas
hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di
dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan tidaklah sekadar proses
kegiatan belajar mengajar saja, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan
manusia sebagai “manusia”, bukan seolah-olah manusia dijadikan “jagung” atau “padi” yang setiap
tiga atau enam bulan sekali mengganti metode “penanamannya”, apabila bagus dilanjutkan dan
sebaliknya bila jelek ditinggalkan.
Bukanlah membutuhkan satu generasi untuk melihat hasil pendidikan bagi manusia? Dengan kata
lain, pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai “manusia yang sadar diri”
dalam generasi itu. Artinya, menjadikan manusia itu “mengerti” apa yang seharusnya diperbuat dan
apa yang tidak, memahami yang baik dilakukan dan jelek ditinggalkan, serta mengetahui mana
yang merupakan hak dan mana yang merupakan kewajiban.
Apalagi sektor pendidikan di Indonesia menjadi salah satu buah bibir yang terus diperbincangkan.
Kita pun menunggu-nunggu program yang baru dari Bapak Menteri yang baru (Moh. Nuh). Mudah-
mudahan Sistem Pendidikan Nasionalnya, kurikulum yang diterapkan, serta manajemen sekolah,
yang sudah baik (warisan Menteri sebelumnya) janganlah diobok-obok terlalu banyak atau bahkan
baru sama sekali. Kalau memang masih baik mengapa harus dibuang, pakai saja. Jangan sampai ada
kesan Ganti Menteri Ganti Kebijakan sehingga biaya untuk membuat program yang baru
membutuhkan biaya yang besar.Gantilah sistem atau undang-undang yang tidak pro rakyat (UU
BHP) yang menyebabkan biaya sekolah menjadi mahal.
Proses pendidikan yang kita harapkan adalah proses pendidikan yang selalu mengikuti
perkembangan jaman dengan tidak mengindahkan kebudayaan lokal. Sudah jelas bahwa memang
pendidikanlah yang mampu menolong bangsa dari arus globalisasi. So, dukunglah program
pemerintah yang selalu memprioritaskan pendidikan seperti Jepang.
Rabu, 16 Desember 2009

PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN


Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu,
pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda,
pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono:
1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda.
Beberapa praktek pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah: pendidikan
modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965,
yang sering kita sebut sebagai orde lama, praktek pendidikan dalam masa pembangunan orde baru,
dan praktek pendidikan di era reformasi sekarang.
PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN
Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang
penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan
adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam
kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang
RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem
pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak
dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat.
Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas
menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini
tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap
saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan
adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan
tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan
kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul
kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan.
Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula
bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda)
memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia
memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan.
Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil merebut
kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan
nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan
menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis
bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik,
ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek
pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga
menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
KEADAAN MASYARAKAT PADA MASA ORDE LAMA
Sesudah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan kehidupan sosial
dalam masyarakat Indonesia. Pada waktu zaman kolonial Belanda adanya diskriminasi sebagai ciri
pokoknya menempatkan bangsa Belanda sebagai warga negara kelas satu, kemudian timur asing
dan yang terakhir adalah golongan pribumi Indonesia. Struktur itu berubah lagi setelah zaman
pendudukan Jepang tingkatannya meliputi kelas 1 adalah orang Jepang, Pribumi Indonesia kelas 2,
dan Timur Asing dan Indo menjadi warga negara kelas 3.
Setelah Indonesia merdeka diskriminasi yang pernah dilakukan oleh kolonial Belanda maupun
Jepang dihapuskan. Indonesia tidak mengadakan perbedaan perlakuan berdasarkan ras, keturunan,
agama, atau kepercayaan yang dianut warga negaranya. Semua warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama. Namun, di sana-sini masih terdapat sisa-sisa semangat diskriminasi dari
zaman penjajahan yang harus kita lenyapkan.
Tetapi zaman permulaan yang penuh semangat kebangsaan dalam menghadapi musuh dari luar,
seperti ancaman Belanda yang masih selalu berusaha kembali ke Indonesia bersama NICA, juga
mulai masuk musuh dari dalam yang berbentuk pengaruh ideologi Komunis. Akhirnya PKI menjadi
partai politik yang terbesar dan terkuat. Pengaruh ini mulai masuk ke dalam parpol seperti PNI
dengan mengubah namanya menjadi Marhaenism dari PNI menjadi Marxisme yang diterapkan dalam
kondisi Indonesia.
Ke dalam dunia pendidikan, pengaruh ideologi kiri masuk melalui pengangkatan Menteri PP dan K
Prof. Dr. Priyono dari partai kiri Murba.
SEMANGAT BERGULIRNYA PEMIKIRAN DARI TOKOH PENDIDIKAN KLASIK
a. Ki Hajar Dewantoro
Ki Hajar Dewantoro adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang banyak mengkonsep sistem
pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan. Visi, misi dan tujuan pendidikan yang digagas
oleh Ki Hajar Dewantoro adalah bahwa pendidikan sebagai alat perjuangan untuk mengangkat
harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal. Sehingga mereka mampu berdiri
kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan tetap berpijak kepada identitas
dirinya sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang berbeda dengan
bangsa lain.
Selanjutnya Ki Hajar Dewantoro juga menginginkan agar pendidikan yang diberikan kepada bangsa
Indonesia adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu pendidikan yang dapat
membawa kemajuan bagi peserta didik. Ungkapan ini merupakan respon dari adanya pendidikan
yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu pendidikan yang mengajarkan
hal-hal yang sulit dipelajari tetapi tidak berfungsi untuk masa depan.
b. Hasyim Asy’ari
Gagasan Hasyim Asy’ari adalah bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-cita nasional termasuk
dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia mendirikan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dalam organisasi ini Hasyim Asy’ari berjuang membina dan
menggerakkan masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren sebagai
basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda.
c. K.H. Ahmad Dahlan
Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia. Oleh karena itu,
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dimana siswa itu
hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum
tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa
mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor
pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk
masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya
dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai perkembangan zaman
bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan mengutip ayat 13 surat al-Ra’d
yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan
lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu kegiatan atau program
unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Sekolah Muhammadiyah yang pertama berdiri
satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Ahmad
Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin
terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum.
KESIMPULAN
Sistem pendidikan nasional di Indonesia pada zaman orde lama masih banyak dipengaruhi oleh
sistem pendidikan zaman Belanda. Dalam usahanya Ki hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan mencoba merumuskan Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan
budaya bangsa Indonesia sendiri demi mewujudkan bangsa yang terhormat dan maju.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.
Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983.
Tim Sejarah, Sejarah 2, Jakarta: Yudhistira, 1994.

Diposkan oleh Irnantry Miftahudin di 01:51

http://panoramahati.blogspot.com/2009/12/pendidikan-pada-masa-kemerdekaan.html
Kamis, 14 Januari 2010

Pendidikan Islam Masa Penjajahan Jepang


B. PEMBAHASAN
Mencermati pendididkan Islam pada masa Jepang, tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan politik
pemerintah Jepang terhadap Negara jajahannya. Pada mulanya, pemerintah colonial Jepang
mengambil siasat dengan merangkul umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia. Dengan
mendekati dan mengambil hati umat Islam, mereka akan dapat memperkuat kekuatannya di
Indonesia. Mengenai usaha-usaha ini Zuhairini mencatatnya sebagai berikut:
a. Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut Kantor Voor Islamistiche Saken yang
dipimpin orang-orang Orientalisten Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang
dipimpin oleh Ulama Islam, yaitu KH. Hasyim Asy’ari, sedangkan di daerah dibentuk Sumuka.
b. Pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar
Jepang.
c. Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
d. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah untuk memberikan latihan dan
dasar-dasar kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam, yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin.
e. Pemerintah Jepang juga mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin
oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakar, dan Bung Hatta.
f. Melalui kerjasama dengan pemimpin-pemimpin nasional, ulama Islam diizinkan membentuk
Barisan Pembela Tanah Air (PETA).
g. Umat Islam juga diperbolehkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis A’la Islam
(MAI) yang bersifat kemasyarakatan.
Berdasarkan hal diatas, diketahui bahwa Jepang ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap
kehidupan beragama di Indonesia yang diwujudkannya dengan munculnya organisasi keagamaan
yang sebelumnya belum tercover. Kendati demikian, setelah pecahnya Perang Dunia II dan
kedudukan Jepang terancam oleh Sekutu, keadaan itu berubah secara drastis, tekanan terhadap
penduduk kembali terjadi.
Jepang mulai menekan dan menjalankan kekerasan untuk pembiyayaan perang Asia Timur Raya-
nya. Karena mereka memberlakukan kerja paksa (ROMUSHA) juga membentuk pertahanan rakyat
semesta, seperti Haiho, Peta dan Keiboda. Kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita.
Karenanya lahirlah pemberontakan-pemberontakan, hal ini berakibat banyaknya kyai yang di
tangkap. Pendidikan pun semakin menjadi terbengkalai dan terabaikan. Namun semikian Madrasah-
madrasah di lingkungan pesantren beruntung karena terbebas dari pengawasan langsung
pemerintah Jepang, sehingga pendidikan dalam pondok pesantren masih berjalan dengan agak
wajar. Hal ini dapat terjadi karena letak pesantren yang terpisah dan terpencil.
Terlepas dari tragedi kemanusiaan yang dilakukan Jepang, berikut ini gambaran pendidikan islam
dimasa pemerintahan Jepang yang berkuasa di Indonesia.
1. Kurikulum Pendidikan
Pada masa pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia terjadi beberapa perubahan yang penting
artinya dalam dunia pendidikan dan pengajaran selanjutnya di Indonesia. Perubahan-perubahan itu
sedikitnya adalah:
a. Hapusnya Dualisme Pengajaran, berbaga Jenis Sekolah Rendah yang diselenggarakan oleh
Pemerintah colonial Belanda dihapuskan. Oleh karena itu, riwayat susunan pengajaran yang dualistik
telah berakhir. Dualism yang dimaksudkan adalah pengajaran barat dan pengajaran bumi putra.
Hanya satu jenjang sekolah yang diadakan untuk seluruh lapisan masyarakat ialah sekolah rakyat
(SR) yang saat itu lebih popular dengan sebutan “kokumun gakkoo”. Adapun Sekolah Desa masih
tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah Pertama. Mengenai susunan pengajaran menjadi:
1) Sekolah Rakyat enam tahun (termasuk Sekolah Pertama).
2) Sekolah Menengah tiga tahun
3) Sekolah Menengah Tinggi tiga tahun (SMU pada zaman Jepang)
b. Pemakaian bahasa Indonesia yang sebelumnya mengalami “keterkungkungan” p[ada era Nippon
cukup diberikan aangin segar. Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa resmi dan bahasa pengantar
di sekolah-sekolah. Hanya saja kemudian, ada konpensasi lain yaitu bahasa Jepang ditetapkan
sebagai mata pelajaran dan adat istiadat Jepang yang harus dipelajari.
Berdasarkan hal di atas, diketahui bahwa Jepang lebih toleran dalam persoalan ini. Hal ini pula yang
kemudian ditindak lanjuti oleh Ulama Minangkabau. Mengenai hal ini Mahmud Yunus
menuturkannya:
“Hampir diseluruh Kampung atau Desa ada Madrasah Awaliyah yang dikunjungi oleh beratus-ratus
anak laki-laki dan perempuan sehingga dapat dikatakan, bahwa anak-anak yang berumur 7 tahun
semuanya memasuki Madrasah Awaliyah itu. Madrasah Awaliyah itu diadakan sore… Pelajarannya
ialah belajar membaca Al-Qur’an, Hadist, Akhlaq dan Keimanan sebagai latihan pelajaran agama.
Selain daripada itu pendidikan islam untuk masyarakat berupa tabligh dan khutbah…”
Berdasarkan hal diatas diketahui bahwa kurikulum pendidikan yang dilaksanakan sudah cukup
mapan. Hal itu terbukti dari beragamnya pendidikan agama yang diberikan kepada para siswa.
Sebagaimana disebutkan bahwa dalam Madrasah Awaliyah maata pelajaran Al-Qur’an, Hadist,
Akhlaq dan Keimanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan disamping tabligh dan khutbah.
Hal lain yang perlu dicatat pula pada periode ini adalah bahwa kendati kendati. “Pemerahan” telah
dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia, pemberian kesempatan anak Bangsa untuk membentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan dengan terbentuknya BPUPKI semakin membuka mata anak Negri
untuk merdeka. Dari usaha panitia tersebut juga dibentuk panitia kecil yang mengurusi persoalan
pendidikan yang diketuai oleh KH. Dewantara dan beberapa orang anggota yaitu: Prof. Dr. Hoesein
Djadjadiningrat, Prof. Dr Asikin, Prof. Dr. Roesomo, Ki Bagus Hadi Koesoemoe, dan KH. Mansur
Dari panitia inilah lahir pemikiran-pemikiran pendidikan dan pengajaran.
Memperhatikan hal di atas terlihat jelas bahwa masa ini pentingnya kurikulum dalam system
pendidikan sudah terpikirkan oleh para politisi. Sehinga dimungkinkan arah dan tujuan pendidikan,
khususnya pendidikan islam, dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan.
Selain itu, untuk memperoleh dukungan dari umat islam pemerintah Jepang mengeluarkan
mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Berbeda
dengan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Jepang membiarkan kembali dibukanya madrasah-
madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Dan ini dilakukan karena kenyataan bahwa
pengawasan pemerintah Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang
sebagian berlokasi di desa-desa terpencil. Namun demikian , pemerintah Jepang tetap mewaspadai
bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potebsi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan
Jepang di Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa dengan dibukanya kembali madrasah-madrasah maka dalam pendidikan
islam ada kesempatan untuk memasukan unsr-unsr islam dalam kurikulumnya. Sekolah dan
madrasah dapat melakukan tugasnya secara efektif, sehingga diharapkan kualitas pendidikan islam
dapat meningkat.

2. Kegiatan Belajar Mengajar


Untuk melipat gandakan hasil bumi demi kepentingan Asia Timur Raya, pihak Jepang terpaksa
mendongkrak hasil pertanian dengan berbagai cara, mulai dari tragedy kemanusiaan seperti
eksploitasi wanita muda hingga kerja paksa. Karena dampak situasi ini menyebar ke berbagai sector
kehidupan rakyat Indonesia yang menurunkan martabat anak-anak Bangsa. Bagi kalangan pelajar
situasi ini memiliki imbas pada proes belajar mengajar yang orientasinya pada suplai, bahan
kebutuhan perang, yang wajib dipenuhi oleh para pelajar. Menyoal kegiatan belajar mengajar pada
masa pendudukan Jepang di Indonesia, berdasarkan pendapat jumhur sebagai berikut:
a. Murid-murid seringkali diharuskan melakukan kinrohooshi (kerjabakti), seperti membersihkan
bengkel-bengkel, asrama, kantor-kantor, dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung kebutuhan
militer jepang di medan perang.
b. Murid-murid juga diharuskan membuat rabuk kompos atau secara bersama-sama membasmi
hama tikus disawah. Sebaggian waktu belajar juga dihabiskan untuk bercocok tanaman jarak dan
tanaman-tanaman lain baik di lingkungan sekolah maupun di pingir-pinggir jalan, sebagai cara untuk
menghasilkan bahan “penting”yang dibutuhkan bagi kelangsungan peperangan.
c. Latihan-latihan jasmani yang bersifat militerisme juga dilakkukan agar berjalan lancer maka
dibentuklah barisan-barisan tiap sekolah, Seinentai yaitu barisan murid Sekolah Rakyat dan Gakuto-
tai yaitu barisan murid-murid Sekolah lanjutan.
d. Guna menanamkan semangat ke-Jepangan, maka setiap hari setiap murid harus mengucapkan
sumpah pelajar, menghadap ke matahari terbit dan nyanyian serta mengikuti pelajaran bahasa
Jepang. Agar siswa terpacu, maka kadang-kadang diadakan perlombaan bahasa dan nyanyian-
nyanyian Jepang. Hal ini juga berlaku bagi guru, pegawai dan orang yang sudah dewasa. Meski
kekerasan tidak dapat dihindari bila siswa ada yang melanggar aturan tersebut.
Berdasarkan hal di atas diketahui bahwa situasi belajar mengajar pada saat itu kurang kondusif,
sebab hamper separuh waktu belajar siswa dihabiskan untuk melakukan kinrohooshi (kerjabakti),
sehingga tenaga untuk belajar telah terkuras habis untuk kerja sukarela. Ditambah lagi belajar
dibawah tekanan dan kekerasan membuat siswa semakin tertekan.
3. Tenaga Pengajar
Tersedianya guru-guru yang dapat menunjang kegiatan Jepang di tanah jajahannya dirasakan
sangat perlu. Oleh karena itu, dalam menyediakan tenaga guru pemerintah Jepang menyediakan
kursus sekolah dan latihan bagi calon-calon guru. Adapun sekolah yang dimaksud bagi calon tenaga
pengajar yaitu:
a. Sekolah Guru (SG) lama belajar 2 tahun yang dinamakan Sjootoo Sihan Gakkoo.
b. Sekolah Guru Menengah (SGM) lamanya 4 tahun yang dinamakan Cutoo Sihan Gakkoo.
c. Sekolah Guru Tinggi (SGT) lamanya 6 tahun yang dinamakan kootoo Sihan Gakkoo.
Pengadaan sekolah seperti ini semakin penting, manakala bersinggungan dengan usaha penanaman
ideology Hakko Ichiu (kemakmuran bersama) melalui sekolah-sekolah dimulai dengan mengadakan
latihan guru-guru. Guru-guru dibebani tugas sebagai penyebar ideology baru. Latihan itu dipusatkan
di Jakarta. Tiap-tiap kabupaten mengirimkan wakilnya untuk mendapat gemblengan dari pimpinan
Jepang. Sekembalinya ke daerahnya masing-masing, guru itu diwajibkan untuk meneruskan ideology
baru itu kepada teman-temannya.
Ternyata cara ini cukup efektif, dengan serentak tiap-tiap kabupaten membuka latihan guru-guru.
Gemblengan ini berlangsung lebih kurang tiga bulan lamanya. Tiga bulan dianggap cukup untuk
“men-Jepang-kan” guru-guru.
Di Minangkabau hal serupa juga dilakukan, yaitu memasukkan pendidikan agama Islam ke sekolah-
sekolah pemerintaah. Dan untuk melaksanakannya, Majelis Tinggi mengadakan latihan guru-guru
agama. Kemudian disebarkanlah guru-guru agama itu ke seluruh daerah Minangkabau. Dengan
demikian, dimulailah pendidikan islam di sekolah-sekolah pemerintah. Tetapi amat sayang,
pemerintah tidak menyediakan anggaran belanja untuk guru-guru agama itu sehingga guru-guru
tidak menerima gaji sama sekali dari pemerintah Jepang.
Berdasarkan hal di atas jelas, bahwa tersedianya tenaga-tenaga guru yang dilakukan oleh Jepang
tidak dibarengi dengan “upah” yang seharusnya didapat oleh guru. Ini juga membuktikan arogansi
penjajah terhadap negeri jajahannya.

C. PENUTUP
Mencermati uraian di atas terlihat bahwa pendidikan islam di zaman Jepang adalah sebuah usaha
untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, sehingga eksploitasi kemanusiaan benar-
benar terjadi. Kerja paksa tidak hanya pada laki-laki dewasa, tetapi juga pada siswa-siswa sekolah.
Meskipun demikian dualisme pendidikan yang pada zaman Belanda, pada masa ini tidak terjadi. Ada
perubahan yang cukup penting, yaitu dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan
pengantar dalam dunia pendidikanIslam, meski dengan kompensasi yang cukup berat yaitu
pengajaran bahasa Jepang dan pengajaran adat istiadat Jepang yang cukup menekan.
Selain hal itu, perlu dicatat pula bahwa rangkulan pihak Jepang terhadap umat Islam, membuka
celah bagi pendidik Islam untuk memasukkan nilai-nilai islam dalam system pendidikannya,
sehingga ajaran islam tetap terpercaya.

http://ndopaar.blogspot.com/2010/01/pendidikan-islam-masa-penjajahan-jepang.html

Rabu, November 18, 2009

PENDIDIKAN MASA PENJAJAHAN


PENDIDIKAN MASA PENJAJAHAN

1. Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda


reaksi belanda dengan adanya perkembangan usaha sosial paedagonis ini, selain tidak menghargai
pendidikan atau abituren sekolah islam yang telah ada pada masa itu, juga mencegah kalangan
bangsawan untuk tidak terpengaruh golongan bangsawan terutama dari pihak islam yang akan
memungkinkan mengedor kepercayaan terhadap belanda yang berari melemahkan kekuatan
mereka.

Sebenarnya masalah pendidikan islam tidak dapat dibatasi oleh kekuatan belanda, sadar atau tidak
disadari oleh belanda kenyataan pendidikan islam dapat mengimbangi pendidikan belanda.

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar yaitu :

1. Pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie)

2. Masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie).

Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di
Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan
kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-
organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus
berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap
dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang
memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada
ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di
masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas,
mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya
mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.

Melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk
memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-
sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik
penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang
dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan
Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi
mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat
konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.

Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pendidikan Dasar

2. Sekolah Latin

3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)

4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)

5. Sekolah Cina

6. Pendidikan Islam

Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara
tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC
tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.

Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya
diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai
memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah
Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau
tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan
sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan
kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di
Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat
dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.

Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya
Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan
pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS),
dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS)
dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.

Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat
rintangan.hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya
berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturienya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin
kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi
perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang masih berlaku sampai sekarang sehingga
orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah
melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat
banyak.

2. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang

Pendidikan islam zaman penjajahan jepang dimulai pada tahun 1942-1945, sebab bukan hanya
belanda saja yang mencoba berkuasa di Indonesia.

Ketika berakhirnya pemerintahan belanda datanglah jepang. Menurut sejarah jepang pada masa itu
sedang dihadapkan usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya untuk
mendekati umat islam. Bahkan dapat dikatakan kedudukan jepang di Indonesia sangat bergantung
pada bantuan umat islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan
antara umat islam dan jepang mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan
barat.

Kerja sama antara islam dan jepang mungkin akibat propaganda yang licin sehingga umat islam
sementara tidak melihat niat jepang sebagai penjajah. Hal ini terkait pada penghargaan jepang atas
arbituren sekolah yang berjalan pada zaman penjajahan belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan
umat islam untuk mencoba mendirikan perguruan tinggi tetapi jepang hanya memberikan prioritas
hanya untuk kepentingan perang dan berdirilah apa yang disebut dengan Tentara Pembela Tanah
Air yang dipimpin langsung oleh para kiai dan para ulama’.

Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan
di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan
militer dalam peperangan pasifik.

Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan
akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan
beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan
di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:

1. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan


Bahasa Belanda

2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas
sosial di era penjajahan Belanda.

Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:

1. Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis
menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.

2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;

3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran
bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.

4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakkir dan Bung Hatta.

5. Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang
belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan

6. Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan
dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar
Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas
kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya
setelah tercapainya kemerdekaan.

a. Pendidikan islam pada masa Akhir penjajahan jepang

Kepercayaan jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat islam untuk bagkit memberontak melawan
jepang sendiri. Pada tanggal 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di Jakarta. Kalau ditinjau dari
segi pendidikan zaman jepang umat islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan
pendidikan islam, sehingga tanpa disadari oleh jepang sendiri bahwa umat islam sudah cukup
mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.

3. Tujuan pendidikan islam zaman penjajahan

Misi islam itu sendiri secara garis besar adalah untuk memperbaiki prikehidupan manusia dimana
saja berada. Islam tidak lain adalah agama yang demokrasi, yang menghendaki hidup damai antar
sesama manusia baik sesame muslim maupun muslim yang lain. Berikut diuraikan bahwa tujuan
pendidikan islam secara garis besar adalah dibagi menjadi dua bagian:

1. mempertebal akan keyakinan itu sendiri,dan membentuk kecerdasan bangsa sebagai mana dalam
buku sejarah dikatakan bahwa kedatangan islam di Indonesia itu membawa kecerdasan dan
peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia

2. untuk mempertahankan HAM dengan jalan politik atau perlawanan perang demi tercapainya HAM
tersebut menurut islam, yaitu mempertahankan kebenaran, jika kebenaran telah terjelma maka
itulah sebagian yang dikehendaki islamuntuk tercapainya tujuan islam secara keseluruhan.

Ringkasnya dalam usaha untuk memajukan pendidikan tidak lepas dari tujuan untuk
memperjuangkan bangsa Indonesia dari pengaruh imperialis,kata KH. Saifudin zuhri (1976:322)

Disini beberapa tujauan pendidikan islam ketika zaman penjajahan antara lain:

a. azaz tujuan muhamadiyah: mewujudkan masyarakat islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan
dakwah islamiyyah dan amar ma’ruf nahi Munkar

b. INS(Indonesische Nadelanshe School) dipelopori oleh Muhammad syafi’i )1899-1969) bertuan


memdidik anak untuk berpikir rasional, mendidik anak agar bekerja sungguh-sungguh, membentuk
manusia yang berwatak dan menanam persatuan.

c. Tujuan Nahdlatul Ulama’, sebelum menjadi partai politik memgang teguh mahzab empat,
disamping mejadi kemaslahatan umat islam itu sendiri.

Kesimpulanya ialah bahwa tujuan pendidikan islam yang pertama adalah menanamkan rasa
keislaman yang benar guna kepentingan dunia dan Akhirat, dan yang kedua membelah bangsa dan
tanah air untuk memdapatkan kemerdekaan bangsa itu sendiri ataupun kemerdekaan secara
manusiawi.
Diposkan oleh the darkness di Rabu, November 18, 2009

http://punyahari.blogspot.com/2009/11/pendidikan-masa-penjajahan.html

Mengintip Sejarah Pendidikan Indonesia Masa Kolonial


Written on June 17th, 2009 by Smart Admin

Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis
di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik
Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua
kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda,
sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi
pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis
karena berbagai masalah peperangan.
Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko
dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya
yang mahal dan menelan banyak korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk
peperangan dapat ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh untuk
memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa
(Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup
keuntungan sebesar-besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena
digunakan sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai petani juga
dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.
Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah
mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat untuk mempermudah
komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi syarat Klein
Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7).
Syarat tersebut harus dipenuhi para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat
mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan
berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak dari kaum
ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, karena masyarakat
biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari
lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri
terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.
Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia
melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor ekonomi di dalam maupun di luar
Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara modern yang mampu
menaklukkan Rusia, dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai
alat perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin untuk
mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan pendidikan yang dicanangkan
sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan. Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal
dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga
kerja, salah satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan rakyat.
Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis dunia, tidak
terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123).
Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan
dibuat dengan biaya yang lebih murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga
pengajar yang terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang
pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dianggap layak menjadi
guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga
pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit
dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan
menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah.
Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme yang luar biasa
untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia
dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu
diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum
tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada
pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat.
Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan
atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai
pengeruh langsung politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai.
Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja
yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai
kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak
sekolah di pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan
dengan ciri-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda
lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak
Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan
biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yang dianggap
paling cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari
kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas
dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan tetap menjadi
tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.
Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yang
memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan umum. Cara tersebut
dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya
(Nasution, 1987:80). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi
guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia untuk mengajar
di lingkungan desa.
Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan sejarah yang kelam.
Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah.
Sekolah juga dibuat dengan biaya yang murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis
menjadi tidak etis dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan
berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah pendidikan masa Belanda.
Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah
liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga
cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985
dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang
untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko
Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia
raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan
sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang
menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan
sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang
melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan
untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang
pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan
kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan
pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah
mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan
dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan
K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa,
bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut menunjukkan
jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta huruf
pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi,
kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan
kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian
menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling
terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas
gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena
merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk
meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277,
Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu
sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37.
Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan
penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara
tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk
menghasilkan panen yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian
yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup dalam
kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir
tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari
rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak
penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang
maksimal. Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi
sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat
penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan
pemasukan pemerintah.
*) Ayyash ‘Aqiel (Pendidikan Sejarah) dari beberapa sumber.
http://smart.stkip-persis.ac.id/2009/06/mengintip-sejarah-pendidikan-indonesia-masa-
kolonial/comment-page-1/

PENDIDIKAN PADA MASA KEMERDEKAAN


Perkembangan pendidikan semenjak kita mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang
penuh dengan kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia pada permulaan
adalah tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam
kongres pendidikan, Menteri Pengajaran dan Pendidikan tersebut membentuk panitia perancang
RUU mengenai pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem
pendidikan yang berlandaskan pada ideologi Bangsa Indonesia sendiri.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak
dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat.
Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas
menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja". Praktek pendidikan kolonial ini
tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap
saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan
adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan
tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan
kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul
kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan.
Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula
bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda)
memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan
kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan
Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan
disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing dengan pengantar bahasa Belanda.
Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan se telah bangsa Indonesia berhasil
merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan
pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional
adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan
siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas
penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa
dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial,
politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir
praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan,
sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
KEADAAN MASYARAKAT PADA MASA ORDE LAMA
Sesudah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan kehidupan
sosial dalam masyarakat Indonesia. Pada waktu zaman kolonial Belanda adanya diskriminasi sebagai
ciri pokoknya menempatkan bangsa Belanda sebagai warga negara kelas satu, kemudian timur
asing dan yang terakhir adalah golongan pribumi Indonesia. Struktur itu berubah lagi setelah zaman
pendudukan Jepang tingkatannya meliputi kelas 1 adalah orang Jepang, Pribumi Indonesia kelas 2,
dan Timur Asing dan Indo menjadi warga negara kelas 3.
Setelah Indonesia merdeka diskriminasi yang pernah dilakukan oleh kolonial Belanda maupun
Jepang dihapuskan. Indonesia tidak mengadakan perbedaan perlakuan berdasarkan ras, keturunan,
agama, atau kepercayaan yang dianut warga negaranya. Semua warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama. Namun, di sana-sini masih terdapat sisa-sisa semangat diskriminasi dari
zaman penjajahan yang harus kita lenyapkan.
Tetapi zaman permulaan yang penuh semangat kebangsaan dalam menghadapi musuh dari
luar, seperti ancaman Belanda yang masih selalu berusaha kembali ke Indonesia bersama NICA, juga
mulai masuk musuh dari dalam yang berbentuk pengaruh ideologi Komunis. Akhirnya PKI menjadi
partai politik yang terbesar dan terkuat. Pengaruh ini mulai masuk ke dalam parpol seperti PNI
dengan mengubah namanya menjadi Marhaenism dari PNI menjadi Marxisme yang diterapkan dalam
kondisi Indonesia.
Ke dalam dunia pendidikan, pengaruh ideologi kiri masuk melalui pengangkatan Menteri PP
dan K Prof. Dr. Priyono dari partai kiri Murba.
SEMANGAT BERGULIRNYA PEMIKIRAN DARI TOKOH PENDIDIKAN KLASIK
a. Ki Hajar Dewantoro
Ki Hajar Dewantoro adalah Bapak Pendidikan Nasional Indonesia yang banyak
mengkonsep sistem pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan. Visi, misi dan tujuan
pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantoro adalah bahwa pendidikan sebagai alat
perjuangan untuk mengangkat harkat, martabat dan kemajuan umat manusia secara universal.
Sehingga mereka mampu berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan
tetap berpijak kepada identitas dirinya sebagai bangsa yang telah memiliki peradaban dan
kebudayaan yang berbeda dengan bangsa lain.
Selanjutnya Ki Hajar Dewantoro juga menginginkan agar pendidikan yang diberikan
kepada bangsa Indonesia adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman, yaitu
pendidikan yang dapat membawa kemajuan bagi peserta didik. Ungkapan ini merupakan respon
dari adanya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada rakyat kita, yaitu
pendidikan yang mengajarkan hal-hal yang sulit dipelajari tetapi tidak berfungsi untuk masa
depan.

b. Hasyim Asy’ari
Gagasan Hasyim Asy’ari adalah bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-cita nasional
termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan wadah berupa organisasi pada tahun 1926 ia
mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, dalam organisasi ini Hasyim Asy’ari berjuang membina
dan menggerakkan masyarakat melalui pendidikan. Beliau juga mendirikan pondok pesantren
sebagai basis pendidikan dan perjuangan melawan Belanda.

c. K.H. Ahmad Dahlan


Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai kehidupan dunia. Oleh
karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat
dimana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan
mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun
temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor
pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim
untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha
memperbaikinya dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai
perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan
mengutip ayat 13 surat al-Ra’d yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib
suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas
dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Salah satu
kegiatan atau program unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan. Sekolah
Muhammadiyah yang pertama berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai sebuah
organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang
diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada
saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum.
KESIMPULAN
Sistem pendidikan nasional di Indonesia pada zaman orde lama masih banyak dipengaruhi oleh
sistem pendidikan zaman Belanda. Dalam usahanya Ki hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan mencoba merumuskan Sistem pendidikan nasional yang berlandaskan
budaya bangsa Indonesia sendiri demi mewujudkan bangsa yang terhormat dan maju.
DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.

Muh. Said dan Junima Affan, Mendidik dari Zaman ke Zaman, Bandung: Jemmars, 1987.

Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, 1983.

Tim Sejarah, Sejarah 2, Jakarta: Yudhistira, 1994.


http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-pada-masa-orde-lama.html

2.8 ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)


Meski zaman pendudukan Jepang di bumi nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi
perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu
telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk
membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai
yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka. Pertemuan antara
32 ulama dengan Gunseikan pada 7 Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an
dan komitmen Jepang untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga
keagamaan bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi
kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa membeda-
bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005). Intinya, misi Nipponisasi tersebut dianggap akan
tertanam lebih mudah pada rakyat kecil bila mereka sudah terebut hatinya dengan perlakuan
istimewa Jepang terhadap mayoritas rakyat yang beragama Islam. Efek samping yang tidak disadari
oleh Jepang karena kebijakan tersebut adalah perkembangan lembaga pendidikan ke-Islam-an non
formal seperti pesantren dan yang formal seperti madrasah, menjadi begitu pesat.
Demi melancarkan usaha Nipponisasi-nya, Jepang juga melakukannya lewat kebijakan pelarangan
penggunaan bahasa Eropa (Inggris dan Belanda) dalam komunikasi lisan dan tulisan, dan hanya
memperbolehkan komunikasi dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Pengaruh tersebut sangat terasa
dalam dunia pendidikan karena semasa pendudukan Belanda, bahasa pengantar yang dipergunakan
di sekolah-sekolah adalah bahasa Belanda. Sehingga pada masa itu, Jepang membentuk juru bahasa
sebagai penerjemah ketika guru sedang mengajar, mempopulerkan bahasa Jepang sebagai
pengganti bahasa Belanda dengan membuka sekolah bahasa Jepang, mengadakan perlombaan
bahasa Jepang, memasukkan bahasa Jepang dalam ujian calon guru dan ujian akhir murid. Selain itu,
Jepang juga mengganti seluruh istilah yang digunakan baik dalam dunia pendidikan,
persuratkabaran, hingga nama lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan bahasa
Jepang. Propaganda tersebut juga dilakukan melalui radio dan dunia hiburan seperti film layar lebar,
drama, wayang kulit, tari-tarian dan nyanyian. Selain itu, Jepang juga membentuk panitia
penyempurnaan bahasa Indonesia, yang mana imbasnya sangatlah menguntungkan bagi
perkembangan bahasa Indonesia.
Demi kepentingan perangnya, Jepang melakukan banyak upaya untuk memberdayakan bangsa
Indonesia, misalnya melalui indoktrinasi dengan pengasramaan kiai dan santri-santri untuk dibekali
kemampuan bela diri dan kemiliteran untuk membantu Jepang. Malah tanpa disadari Jepang,
kebijakan tersebut malah menumbuhkan semangat nasionalisme dan keinginan untuk merdeka
yang meluap-luap pada pemuda kalangan pesantren tersebut (Assegaf, 2005). Di lain tempat,
pekarangan sekolah-sekolah ditanami umbi-umbian dan sayur-sayuran untuk tambahan bahan
makanan, serta pohon jarak untuk menambah minyak demi kepentingan perang Jepang, tentunya
semua hal tersebut dilakukan oleh para pelajar (Said dan Affan, 1987). Selain itu, mereka juga
disuruh untuk bergotong royong mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir untuk kepentingan
pertahanan. Para pelajar juga dibekali dengan berbagai macam ketangkasan dalam perang untuk
mempertahankan diri. Ditambahkan pula dengan kewajiban untuk senam pagi untuk menguatkan
fisik pelajar dalam membantu Jepang. Indoktrinasi dilakukan melalui lagu senam yang berbahasa
Jepang, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang sebelum masuk kelas, melakukan penghormatan
kepada Kaisar Jepang, mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka
mewujudkan Asia Raya, dan seterusnya.
Diskriminasi dan diferensiasi pendidikan yang diberlakukan pada zaman Belanda dengan
menggolongkan sekolah menurut golongan bangsa dan status sosial dihapuskan oleh Jepang.
Sehingga hanya berlaku satu macam sekolah tiap tingkatnya untuk segala kalangan dan bangsa
Indonesia pun bebas untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut. Meskipun kebijakan tersebut
diambil oleh Jepang dengan tujuan untuk memudahkan proses pengawasan dan manajerial
administratif saja, tetapi dampak penghapusan diskriminasi dan diferensiasi tersebut begitu besar
bagi dunia pendidikan pada masa itu. Tentunya selain dampak positif, dampak negatifnya adalah
penurunan drastis jumlah sekolah, guru, dan murid secara kuantitatif. Hal itu sangat jelas terasa
karena banyak sekolah yang ditutup karena penyederhanaan sistem persekolahan tersebut dan
guru-guru sekolah banyak yang terserap di bidang profesi lainnya seperti menjadi pegawai
pemerintah dan tentara militer.
Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-
olah ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah gratis,
pemberian tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem persekolahan), tetapi pada
kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan politis yang membawa misi Nipponisasi dan
pemberdayaan bangsa Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi militer.

You might also like