Professional Documents
Culture Documents
Setiap 11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir
Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi
kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan
istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang
seharusnya diteladani.
Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555 Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja
menyelesaikan wudhunya. Dengan terompah yang masih basah, ia berjalan
menuju sajadahnya yang telah terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan
shalat sunnah dua rakaat, sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim
menunggu, tak jauh dari tempat sang mursyid shalat.
Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga
kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan
salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap
keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi.
Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa.
Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri
pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu
Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-
Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu
gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang
guru untuk menyampaikan nadzar.
Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan
pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu
Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu
menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta
sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh
Abdul Qadir.
“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri
thariqah itu terheran-heran.
Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka
dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab.
Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian
barang dagangan mereka.
Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan
histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu
kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya
dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah
kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.”
Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba
sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin
begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat
dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika.
“Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut
kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya.
Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai
salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki
karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan
ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu
Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama
sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah
SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang
anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian,
sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”
Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan,
dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia
yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya,
tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada
ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta
disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya
waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan
sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa.
Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru berusia 17
tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir menyapa dan
menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar menceritakan ramalan
Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir berkata, “Pergilah, Tuan
akan selamat dan mendapat untung besar.”
Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini. Bahkan,
dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’
Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus yang mengisahkan
berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh banyak orang.
Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai warisan dari
leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke Baghdad. Ketika itu
ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan ayahandanya. Supaya
aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu dijahitkan dalam
jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap benar dan jujur,
tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan ibundanya itu senantiasa ia
pegang teguh.
Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain. Kali itu
mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis semua harta
milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul Qadir.
Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak apakah dia
punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia punya 40 keping
emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal dari ibundanya itu.
Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah terkejut dan heran,
mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa
pun,” kata Abdul Qadir.
Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi, sekarang ibumu kan
tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau berbohong.”
“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar itu disaksikan Allah SWT, yang
tidak pernah tidur dan alpa dalam mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul
Qadir dengan tenang.
Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara total
dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan minum
yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian mendapat
penjagaan dari Allah SWT.
Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama
beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang
dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa hari,
Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa kerat roti
sebagai pengganjal perut.
Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk ke
mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan peringatan yang
sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk hamba-Ku yang
lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan kepada-Ku. Sedangkan
hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai syahwat apa pun.
Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan
halal tersebut.
Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk
membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil
maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin
Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun,
bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan
wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir hampir-
hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.
Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul Qadir
tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan istana Kisra,
Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat sehingga tertidur. Tak lama
kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya mimpi basah. Tak ingin berlama-
lama menanggung hadats, ia pun segera bangkit dan mandi besar di salah satu
anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.
Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali mandi
junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam semalam hingga
waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.
Agar persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang
wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama tiga
tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka sepakati,
kecuali untuk bersuci.
Jika selama ini orang selalu mengidentikkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan
kehebatan dan keajaiban karamahnya – sehingga sosoknya selalu dijadikan
wasilah untuk meraih kesaktian secara instan – sekaranglah saatnya untuk
berubah. Caranya, dengan meneladani kebersihan jiwa dan keteguhan hatinya
dalam mengistiqamahkan ibadah dan menunaikan syari’at. (Kang Iftah, 2007)