You are on page 1of 7

Tuesday, April 24, 2007

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (Bagian 1)

Teladan Keteguhan Jiwa Sang Sufi

Setiap 11 Rabi’ul Akhir, kaum muslimin memperingati haul Syaikh Abdul Qadir
Al-Jilani, pendiri Thariqah Qadiriyyah. Sayang, selama ini yang menjadi
kekaguman orang ialah keajaiban karamahnya. Padahal, keteguhan jiwa dan
istiqamahnya dalam beribadah justru merupakan karamah terbesar yang
seharusnya diteladani.

Baghdad, Ahad, 3 Shafar 555 Hijriyyah. Guru mursyid itu baru saja
menyelesaikan wudhunya. Dengan terompah yang masih basah, ia berjalan
menuju sajadahnya yang telah terhampar di lantai masjid, lalu menunaikan
shalat sunnah dua rakaat, sementara beberapa murid duduk penuh ta’zhim
menunggu, tak jauh dari tempat sang mursyid shalat.

Ketika sang allamah mengucap salam, dan baru saja mengalunkan dua-tiga
kalimat dzikir, tiba-tiba sang guru paruh baya bertubuh tegap itu melontarkan
salah satu terompahnya ke angkasa sambil berteriak keras. Belum lagi lenyap
keterkejutan para santri, tiba-tiba ia melemparkan terompah yang satu lagi.
Sepasang terompah itu pun lenyap di angkasa.

Setelah itu ia melanjutkan dzikir, seolah tak terjadi apa-apa. Tak seorang santri
pun berani menanyakan keanehan perilaku sang mursyid besar, yang tiada lain
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Sekitar 23 hari kemudian, dua orang santri Syaikh Abdul Qadir, yaitu Syaikh Abu
Umar Utsman As-Sairafi dan Syaikh Abu Muhammad Abdul Haqqi Al-
Harimiyyah, dikejutkan oleh kedatangan serombongan kafilah dagang di pintu
gerbang madrasah mereka. Mereka menyatakan ingin bertemu dengan sang
guru untuk menyampaikan nadzar.

Maka Syaikh Abu Umar pun menghadap Syaikh Abdul Qadir, menyampaikan
pesan tamunya. Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir memerintahkan agar Abu
Umar menerima apa pun yang akan diberikan oleh tamunya. Kafilah itu
menyerahkan hadiah, terdiri atas perhiasan emas dan pakaian dari sutra, serta
sepasang terompah tua – yang sangat mereka kenal sebagai terompah Syaikh
Abdul Qadir.

“Bagaimana terompah guru kami berada di tangan kalian?” tanya kedua santri
thariqah itu terheran-heran.
Pemimpin kafilah itu pun berkisah. Pada 3 Shafar 555 Hijriyyah, mereka
dihadang gerombolan perampok di sebuah gurun pasir di luar Jazirah Arab.
Karena ketakutan, semua anggota kafilah melarikan diri meninggalkan sebagian
barang dagangan mereka.

Namun tiba-tiba mereka berhenti, karena di depan mereka mulut jurang


menganga lebar. Sementara gerombolan perampok semakin mendekat. Sambil
bersorak sorai mereka mengejar anggota kafilah yang membawa lari sisa-sisa
barang dagangan. Apa boleh buat, anggota kafilah itu pun pasrah. Di tengah
ketakutan yang mencekam, pemimpin kafilah itu berdoa, “Ya Allah, dengan
berkah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, selamatkanlah kami. Jika selamat, kami
bernadzar akan memberikan hadiah kepada beliau.”

Ajaib, tiba-tiba sorak sorai perampok itu terhenti, berganti dengan teriakan
histeris ketakutan. Dan sesaat kemudian sepi, hening. Tak lama sesudah itu
kepala perampok mendatangi kafilah dagang dengan wajah ketakutan. Katanya
dengan suara gemetar terbata-bata, “Saudaraku, ikutlah denganku, ambillah
kembali barang-barang kalian yang kami rampok, dan tolong ampuni kami.”

Para anggota kafilah terheran-heran dan saling berpandangan. Dengan takut-


takut mereka mengikuti si perampok. Sampai di tempat mereka semula
meninggalkan barang dagangan, mereka menyaksikan pemandangan yang lebih
aneh lagi. Dua orang tetua perampok tewas dengan kepala luka parah. Di
sebelah masing-masing tergeletak sebuah terompah yang masih basah,
sementara sebagian besar anggota perampok terduduk lemas dengan wajah
ketakutan.

Menurut salah seorang perampok, ketika mereka tengah berpesta pora, tiba-tiba
sebuah terompah melesat dan menghantam kepala salah seorang pemimpin
begal. Belum hilang keterkejutan mereka, tiba-tiba sebuah terompah lagi melesat
dan menghantam kepala pemimpin begal lainnya. Keduanya tewas seketika.
“Melesatnya terompah itu diiringi dengan teriakan keras yang membuat lutut
kami gemetaran dan terduduk lemas,” katanya.

Sang guru mursyid, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, memang termasyhur sebagai
salah seorang sulthanul awliya’ (penghulu para wali Allah) yang banyak memiliki
karamah, bahkan sejak sebelum ia lahir. Ketika ia masih dalam kandungan
ibundanya, Fatimah binti Abdullah Al-Shama’i Al-Husaini, ayahandanya, Abu
Shalih Musa Zanki Dausath, bermimpi bertemu Rasulullah SAW bersama
sejumlah sahabat, para mujahidin, dan para wali. Dalam mimpi itu Rasulullah
SAW bersabda, “Wahai Abu Shalih, Allah SWT akan memberi amanah seorang
anak laki-laki yang kelak akan mendapat pangkat tinggi dalam kewalian,
sebagaimana aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.”
Saat melahirkan bayi Abdul Qadir pada 1 Ramadhan 471 Hijriyyah di Desa Jilan,
dekat Tabaristan, Irak, sang ibunda telah berusia 60 tahun lebih – bukan usia
yang lazim bagi perempuan untuk melahirkan seorang bayi. Keajaiban lainnya,
tak seperti bayi pada umumnya, bayi Abdul Qadir tidak pernah menyusu kepada
ibundanya di siang hari bulan Ramadhan. Sang bayi baru menangis minta
disusui saat mentari tenggelam di ufuk barat, yang menandakan datangnya
waktu maghrib. Uniknya, keanehan luar biasa itu dimanfaatkan oleh warga Jilan
sebagai pedoman waktu imsak dan berbuka puasa.

Kematian dalam Mimpi


Kedekatan Syaikh Abdul Qadir dengan Allah SWT dan ketinggian maqamnya
sudah tampak sejak belia. Suatu hari, Abul Muzhaffar Hasan bin Tamimi,
seorang saudagar, ketika hendak melakukan perjalanan niaga, seperti lazimnya
tradisi saat itu, menghadap Syaikh Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, ulama
sepuh yang waskita, untuk mohon doa restu. Namun, tak seperti yang
diharapkan, Syaikh Hammad malah mengatakan, rombongan kafilahnya akan
dirampok dan ia akan mati dibunuh. Maka Abul Muzhaffar pun pulang dengan
cemas dan hati berdebar-debar.

Di tengah jalan ia berjumpa dengan Abdul Qadir, yang saat itu baru berusia 17
tahun. Melihat wajah gundah sang saudagar, Abdul Qadir menyapa dan
menanyakan keadaannya. Dengan sedih Abul Muzhaffar menceritakan ramalan
Syaikh Hammad. Namun, dengan tenang Abdul Qadir berkata, “Pergilah, Tuan
akan selamat dan mendapat untung besar.”

Ternyata benar. Abul Muzhaffar mendapat untung besar.

Dalam perjalanan pulang, ketika ia buang air besar di WC umum, dompetnya


yang berisi hasil perniagaan ketinggalan. Malamnya, ia tertidur pulas di
penginapan karena kelelahan, dan bermimpi dirampok sekelompok orang Badui.
Dalam mimpinya, salah seorang perampok menghunjamkan pisau ke dadanya.
Abul Muzhaffar terkejut dan terbangun. Anehnya, ia merasakan nyeri di dada
meski tak ada luka sama sekali. Seketika ia teringat dompet yang ketinggalan di
WC umum. Ia pun lari, kembali WC umum. Ternyata dompet itu masih ada,
lengkap dengan isinya.

Ia pun segera pulang. Sampai di Baghdad ia berniat menemui Syaikh Hammad


dan Syaikh Abdul Qadir. Ia berpikir keras, sowan ke Syaikh Hammad yang lebih
tua dulu, ataukah menemui Abdul Qadir, yang meski masih belia ucapannya
benar. Tiba-tiba ia berpapasan dengan Syaikh Hammad, yang langsung
menyuruhnya menemui Abdul Qadir. “Pemuda itu adalah waliyullah yang benar-
benar dicintai Allah. Ia telah mendoakan keselamatanmu sebanyak 17 kali,
sehingga takdir kematianmu hanya kamu rasakan dalam mimpi, sedangkan
takdir kefakiranmu hanya berupa lupa meletakkan dompet,” tuturnya.

Dengan bergegas Abul Muzhaffar menemui sang waliyullah. Begitu berjumpa,


belum sempat ia membuka mulut, Syaikh Abdul Qadir sudah mendahului
berkata, “Ia memang benar. Aku memang telah mendoakanmu 17 kali, kemudian
berdoa lagi sampai 70 kali, sehingga terjadilah seperti yang diungkapkan oleh
Syaikh Hammad itu.” Ajaib, Syaikh Abdul Qadir tahu belaka apa yang diucapkan
oleh Syaikh Hammad.

Masih banyak karamah pendiri Thariqah Qadiriyyah yang mendunia ini. Bahkan,
dalam salah satu manaqibnya, An-Nurul Burhani fi Manaqibi Sulthanil Awliya’
Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, terdapat satu bab khusus yang mengisahkan
berbagai karamah sang wali yang pernah disaksikan oleh banyak orang.

Karamah-karamah Syaikh Abdul Qadir memang melegenda, hingga tak jarang


masyarakat awam menyebut-nyebut namanya sebagai upaya mendapatkan
keluarbiasaan atau kesaktian. Beberapa perguruan bela diri tenaga dalam yang
“Islami”, misalnya, menjadikan pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qadir sebagai
ritus untuk meyempurnakan ilmu kesaktian, dan sebagainya.

Sayang sekali jika untuk menghormati atau meneladani perikehidupan sang


waliyullah, selama ini (sebagian) kaum muslimin hanya mengingat atau
mengagumi keajaiban karamah-karamahnya. Padahal, yang paling afdhal ialah
mempelajari manaqib alias biografi Syaikh Abdul Qadir, yang sarat dengan
perilaku keshalihan dan kegigihan dalam belajar serta beribadah, yang
membuatnya layak diangkat sebagai wali quthb alias penghulu para wali. Dalam
manaqib, misalnya, dikisahkan betapa dengan keluhuran budi dan semangat
baja untuk mencapai kebenaran sejati, Syaikh Abdul Qadir melakukan riyadhah
bathiniyyah, tirakat yang sangat berat.

Salah satu contohnya kisah kejujuran Abdul Qadir kecil – sebagai warisan dari
leluhurnya yang mulia – ketika akan berangkat nyantri ke Baghdad. Ketika itu
ibundanya membekalinya 40 keping uang emas warisan ayahandanya. Supaya
aman dalam perjalanan, uang yang sangat berharga itu dijahitkan dalam
jubahnya. Ibunya berpesan agar Abdul Qadir selalu bersikap benar dan jujur,
tidak berbohong. Maka, selama hayatnya pesan ibundanya itu senantiasa ia
pegang teguh.

Dalam perjalanan ia dihadang sekelompok perampok. Salah seorang perampok


bertanya, apakah ia memiliki barang berharga. Abdul Qadir menjawab dengan
jujur, ia memiliki 40 keping uang emas. Anehnya, perampok itu malah tidak
percaya, dan berlalu pergi.

Tak lama kemudian Abdul Qadir dihadang lagi oleh perampok yang lain. Kali itu
mereka adalah para perampok yang jeli. Mereka menguras habis semua harta
milik rombongan kafilah yang seperjalanan dengan Abdul Qadir.

Ketika tiba giliran untuk memeriksa Abdul Qadir, mereka membentak apakah dia
punya harta berharga. Abdul Qadir menjawab dengan jujur, ia punya 40 keping
emas, sambil menunjukkan jahitan tempat menyimpan bekal dari ibundanya itu.
Tapi, pemimpin perampok yang memeriksanya malah terkejut dan heran,
mengapa dia mengaku dengan jujur.
“Aku sudah berjanji kepada Ibu untuk selalu jujur dan benar dalam keadaan apa
pun,” kata Abdul Qadir.

Karena penasaran, perampok itu membentak lagi, “Tapi, sekarang ibumu kan
tidak ada di sini. Ia tidak akan tahu jika engkau berbohong.”

“Betul. Tetapi janjiku untuk selalu jujur dan benar itu disaksikan Allah SWT, yang
tidak pernah tidur dan alpa dalam mengawasi hamba-hamba-Nya,” jawab Abdul
Qadir dengan tenang.

Ajaib. Kontan si pemimpin perampok langsung lemas, kemudian bersimpuh di


hadapan Abdul Qadir, yang masih muda itu. “Engkau telah menjaga janji kepada
ibumu, sedangkan kami melupakan janji kami kepada Sang Pencipta,” ujarnya,
yang kemudian bertobat.
Sejak itu, para perampok tersebut menjadi murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.

Suci Sepanjang Malam


Usai menuntut ilmu dari para ulama dan sufi besar, Syaikh Abdul Qadir
mengembara mengarungi sahara Irak selama 25 tahun, melewati rumput berduri
dan tanah terjal. Pengembaraan ini merupakan jawaban atas kegelisahannya
melihat kebobrokan moralitas sebagian besar masyarakat waktu itu, sekaligus
untuk mengasah kepekaan batiniahnya. Selama pengembaraan spiritual itu,
sang sufi selalu berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain. Ia
hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta
tutup kepala dari sesobek kain, tanpa alas kaki.

Selama mengembara, ia hanya makan buah-buahan segar dari pepohonan,


rerumputan muda di tepi sungai, dan sisa sayur-mayur yang sudah dibuang.
Minum pun hanya secukupnya. Sementara waktu tidurnya begitu singkat,
sehingga nyaris selalu terjaga. Di kemudian hari, kesederhanaan itu tetap
dipertahankannya: mengenakan jubah thoilusan, yang menutup sampai kepala,
dan selalu mengendarai bighal alias keledai ke mana pun ia pergi

Upaya pembersihan jiwa itu juga dengan cara menghindarkan diri secara total
dari segala hal yang meragukan, bahkan juga mengurangi makan dan minum
yang halal. Berkat upayanya yang sangat keras itulah, ia kemudian mendapat
penjagaan dari Allah SWT.

Pernah, dalam suatu perjalanan ketika ia tidak makan dan minum selama
beberapa hari, tiba-tiba datanglah seseorang menyerahkan sekantung uang
dirham. Meski uang itu cukup untuk bekal perjalanan selama beberapa hari,
Syaikh Abdul Qadir hanya mengambil sedikit untuk membeli beberapa kerat roti
sebagai pengganjal perut.

Namun, inilah penjagaan Allah SWT itu. Belum lagi makanan itu masuk ke
mulutnya, tiba-tiba selembar kertas jatuh dari langit bertuliskan peringatan yang
sangat mengejutkan: Sesungguhnya syahwat itu hanya untuk hamba-Ku yang
lemah, sebagai penolong dalam melaksanakan ketaatan kepada-Ku. Sedangkan
hamba-Ku yang kuat seharusnya tidak lagi mempunyai syahwat apa pun.

Tentu saja Syaikh Abdul Qadir terkejut. Ia pun segera meninggalkan makanan
halal tersebut.

Riyadhah lain yang dilakukan oleh waliyullah ini sebagai upaya untuk
membersihkan jiwa ialah dengan selalu menjaga kesucian dari hadats kecil
maupun besar. Salah seorang khadimnya, Syaikh Abu Abillah Muhammad bin
Abdul Fatah Al-Harawi, yang melayani Syaikh Abdul Qadir selama 40 tahun,
bersaksi bahwa sang waliyullah selalu melaksanakan shalat Shubuh dengan
wudhu shalat Isya. Artinya, sepanjang waktu itu Syaikh Abdul Qadir hampir-
hampir tak pernah tidur di malam hari, dan dalam keadaan suci.

Kisah lain yang mengungkapkan upaya penjagaan kesucian jasmani dan


ruhaninya termaktub dalam kitab Lujjainid Dani fi Manaqibi Sulthanil Awliya'
Syaikh Abdil Qadir Al-Jilani, karya Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdulkarim Al-
Barzanji.

Dikisahkan, pada suatu malam yang sangat dingin, ketika Syaikh Abdul Qadir
tengah duduk bersandar pada salah satu tiang bekas reruntuhan istana Kisra,
Persia, tiba-tiba ia terserang kantuk sangat hebat sehingga tertidur. Tak lama
kemudian ia terbangun dan mendapati dirinya mimpi basah. Tak ingin berlama-
lama menanggung hadats, ia pun segera bangkit dan mandi besar di salah satu
anak sungai yang mengalir tak jauh dari situ.

Usai bersuci ia meneruskan dzikirnya sambil bersandar di tiang yang sama.


Ternyata ia tertidur kembali dan mimpi basah lagi. Tanpa menghiraukan
dinginnya cuaca dan derasnya angin gurun pasir di malam hari, ia mandi junub
lagi di sungai, lalu kembali berdzikir.

Namun peristiwa yang sama terulang lagi, dan sang mursyid pun kembali mandi
junub. Konon, peristiwa ajaib itu berulang hingga 40 kali dalam semalam hingga
waktu fajar. Kemudian sang wali beranjak dari tempat itu.

Dalam beberapa buku manaqib Syaikh Abdul Qadir, pengalaman spiritual


menyangkut mimpi basah sampai 40 kali dalam semalam itu terlalu ditonjolkan.
Padahal, makna terpenting dari kejadian itu ialah sikap keistiqamahan sang wali
yang tetap mandi junub walaupun dalam keadaan cuaca sangat dingin,
sementara mimpi basah itu hanyalah sebagai sarana bagi Allah SWT untuk
menguji kekasih-Nya. Adapun angka 40 kali merupakan simbol sangat seringnya
suatu kejadian.

Keseriusannya menunaikan syari’at dan mengamalkan tasawuf, akhirnya


mempertemukannya dengan Nabi Khidhir AS. Uniknya, meskipun bersahabat
selama tiga tahun, mereka tidak pernah saling mengenal. Dalam persahabatan
ini pun keteguhan hati Syaikh Abdul Qadir kembali diuji.

Agar persahabatan mereka tidak terputus, Nabi Khidhir mensyaratkan agar sang
wali tidak meninggalkan tempat duduknya sampai ia kembali. Maka selama tiga
tahun Syaikh Abdul Qadir tidak meninggalkan tempat yang mereka sepakati,
kecuali untuk bersuci.

Berbagai godaan menghampirinya, namun ia tetap bertahan. Nabi Khidhir AS


hanya menjenguk setahun sekali, itu pun hanya sejenak.

Masih banyak kisah yang menceritakan kesungguhan mujahadah Syaikh Abdul


Qadir Al-Jilani dalam membersihkan qalbu dan jiwanya. Perjuangan berat
disertai sikap istiqamahnya mengantarkannya menjadi penghulu para awliya dan
kaum sufi sepanjang masa.

Jika selama ini orang selalu mengidentikkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan
kehebatan dan keajaiban karamahnya – sehingga sosoknya selalu dijadikan
wasilah untuk meraih kesaktian secara instan – sekaranglah saatnya untuk
berubah. Caranya, dengan meneladani kebersihan jiwa dan keteguhan hatinya
dalam mengistiqamahkan ibadah dan menunaikan syari’at. (Kang Iftah, 2007)

You might also like