You are on page 1of 9

Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur

Asing: Isu dan Realita


Prof. Dr. Fuad Adbul Hamied, M.A.
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung

Makalah ini akan mengetengahkan gagasan pokok berkenaan dengan


pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) yang
sajiannya akan mencakupi landasan teoretis pengajaran bahasa asing,
berbagai fenomena pengajaran BIPA, dan pemanfaatan media
teknologi khususnya internet bagi pemelajaran BIPA. Pergeseran
pengajaran bahasa ke arah yang interaktif memunculkan kajian yang
melibatkan variabel lain seperti ciri masukan dan faktor lingkungan
yang perlu dikaji dalam seleksi dan penyuguhan bahan belajar-
mengajar. Prinsip-prinsip ini akan dilihat dari sisi relevansi dan
fisibilitasnya bagi pengajaran BIPA, termasuk pemanfaatan akses ke
wilayah rongga-siber untuk percepatan pemerolehan BIPA itu sendiri.

Pengajaran Bahasa Asing

Pembicaraan mengenai pengajaran bahasa tidak bisa dilepaskan


dari konteks pembelajaran bahasa. Keduanya berkait erat dan
melibatkan berbagai variabel yang jumlahnya banyak. Intinya
adalah bahwa proses belajar mengajar bahasa itu bukan hal yang
sederhana dan tidak bisa diamati sekedar sebagai potongan-
potongan kegiatan mengeluarkan dan menimba bahan saja.

Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan


profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis yang
melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak
sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik
dan psikologi akan menjadi landasan terbaik guna memecahkan
masalah pengajaran bahasa.

Selanjutnya, lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor


berpengaruh dalam menelorkan pedagogi bahasa, seperti model dari
Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey (baca Stern, 1983).

Pembelajaran bahasa sering hanya memusatkan perhatian pada


tingkah linguistik saja dengan mengabaikan tingkah non-
linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933:499) menyatakan
bahwa

Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and non-


linguistic behavior, will agree with the criticism that our schools deal
too much with the former, drilling the child in speech response phases
of arithmetic, geography, or history, and neglecting to train him in
behavior toward his actual environment.
Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks pembelajaran
bahasa hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak
variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara lain
variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat
akulturasi (Krashen, 1982:330).

Dalam berbagai penelitian yang dilaporkan oleh Krashen (1982:37-


43), pajanan itu terkadang berkorelasi positif dan berarti dengan
kemahiran berbahasa, tetapi terkadang juga tidak. Dalam hal
variabel usia yang sering diasumsikan sebagai suatu penduga
kemahiran B2, Krashen, Long dan Scarcella yang dikutip oleh
Krashen (1982:43) mengetengahkan generalisasi berikut
berdasarkan hasil penelitiannya: (1) Orang dewasa bergerak lebih
cepat dari pada anak-anak dalam melampaui tahapan dini
perkembangan B2-nya; (2) dengan waktu dan pajanan yang sama,
anak yang lebih tua melalui proses pemerolehan bahasa lebih cepat
dari pada anak yang lebih muda; dan (3) pemeroleh yang memulai
pajanan alamiah terhadap B2 pada masa anak-anak pada umumnya
mencapai kemahiran B2 lebih baik dari pada yang memulai pajanan
alamiahnya sebagai orang dewasa.

Tingkat akulturasi si pembelajar terhadap kelompok bahasa sasaran


akan mengontrol tingkat pemerolehan bahasanya. Menurut
Schumann yang diuraikan Larsen-Free man (di Bailey, Long & Peck
(penyunting), 1983), akulturasi itu meliputi dua kelompok faktor:
variabel sosial dan variabel afektif.

Sedikit berbeda dengan Krashen, Titone (di Alatis, Altman, dan


Alatis (penyunting), 1981:74-75) menduga bahwa motivasi, bakat
bahasa, dan jumlah waktu yang dipakai dalam belajar bahasa
merupakan tiga faktor yang paling menonjol yang memberikan ciri
pada pembelajaran B2.

Demikianlah, konteks pengajaran BIPA itu akan merambah ke


berbagai hal terkait seperti ketersediaan dukungan lingkungan
pembelajaran yang akan memberikan masukan/bahan yang akan
dipelajari, guru dengan kemahiran berbahasa Indonesia yang
memadai, siswa dengan segala cirinya, dan metode mengajar yang
keefektifannya akan sangat bergantung pada semua faktor yang
disebutkan terdahulu. Semuanya akan berinteraksi dalam membuat
kegiatan belajar-mengajar BIPA menjadi betul-betul berhasil-guna.

Fenomena Pengajaran BIPA

Terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tawaran


BIPA di berbagai negara. Di Australia, seperti yang dituturkan
Sarumpaet (1988), hambatan khas terhadap perkembangan BIPA
adalah "kurangnya lowongan pekerjaan atau jabatan untuk mereka
yang mempunyai kemahiran dalam BI." Di Korea, menurut Young-
Rhim (1988), "hambatan lain yang kami rasakan hanyalah mengenai
materi pelajaran." Di Amerika Serikat, persoalan mutu pelajaran
masih harus diupayakan pemecahannya, sebagaimana diutarakan
oleh Sumarmo (1988). Di Jerman, karena minat mempelajari bahasa
dan kebudayaan Indonesia terus meningkat, upaya perlu dilakukan
"melalui peningkatan penulisan dan penerbitan buku tentang
Indonesia baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa
Indonesia" (Soedijarto, 1988). Di Jepang guru BIPA "membutuhkan
kamus yang lengkap, terutama kamus yang lengkap dengan contoh
pemakaian kata yang cukup banyak" (Shigeru, 1988).

Dalam menanggapi kebutuhan akan ketersediaan bahan masukan


bahasa dalam konteks pengajaran BIPA ini, perlu diamati berbagai
faktor: Misalnya, ada beberapa karakteristik masukan agar
masukan itu bisa diperoleh secara cepat dalam konteks pemerolehan
bahasa. Keterpelajaran masukan tersebut antara lain ditentukan
dengan karakteristik: keterpahaman, kemenarikan dan/atau
relevansi, keteracakan gramatis, dan kuantitas yang memadai
(Krashen, 1982:62-73).

Karakteristik keterpahaman bisa diamati dari perkembangan


pemerolehan B2 atau bahasa asihg lewat bahan yang tidak bisa
dipahami. Karakteristik kemenarikan dan/atau relevansi
diharapkan bisa mendorong si pemeroleh untuk memusatkan
perhatian pada isi ketimbang pada bentuk. Masukan yang menarik
dan relevan diharapkan mampu menciptakan kondisi pada si
pemeroleh sedemikian rupa sehingga ia "lupa" bahwa apa yang
sedang diresepsinya diproduksi dalam bahasa kedua atau asing.
Dalam situasi belajar mengajar di kelas karakteristik ini sukar
dipenuhi, karena keterikatan waktu dan keharusan meliput bahan
yang sudah tentera dalam silabus. Dalam hal karakteristik
keteracakan gramatis, diketengahkan bahwa manakala masukan itu
terpahami dan makna dinegosiasi secara berhasil, masukan yang
diisitilahkan oleh Krashen sebagai i+1 itu akan secara otomatis
hadir.

Dalam membicarakan pengajaran dan pembelajaran bahasa,


lingkungan, dalam pengertian "everything the language learner
hears and sees in the new language," (Dulay, Burt, dan Krashen,
1982:13), merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kaitan
dengan keberhasilan pembelajaran bahasa itu. Faktor lingkungan
makro meliputi (1) kealamiahan bahasa yang didengar; (2) peranan
si pembelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan rujukan konkret
untuk menjelaskan makna; dan (4) siapa model bahasa sasaran
(Dulay, Burt dan Krashen, 1982:14). Sedangkan faktor lingkungan
mikro mencakup (1) kemenonjolan (salience), yaitu mudahnya suatu
struktur untuk dilihat atau didengar; (2) umpan balik, yaitu
tanggapan pendengar atau pembaca terhadap tuturan atau tulisan si
pembelajar; dan (3) frekuensi, yaitu seringnya si pembelajar
mendengar atau melihat struktur tertentu (Dulay, Burt, dan
Krashen, 1982:32).

Berkenaan dengan faktor lingkungan mikro, yang pertama adalah


kemenonjolan (salience). Kemenonjolan ini merujuk pada
kemudahan suatu struktur dilihat atau didengar. Ia adalah ciri
tertentu yang tampaknya membuat suatu butir secara visual atau
auditor lebih menonjol dari pada yang lain. Faktor lingkungan
mikro yang kedua adalah umpan balik. Salah satu jenis umpan balik
adalah pembetulan, yang lainnya adalah persetujuan atau umpan
balik positif.

Faktor lingkungan mikro yang ketiga adalah frekuensi yang


diasumsikan sebagai faktor berpengaruh terhadap pemerolehan
bahasa. Makin banyak si pembelajar mendengar suatu struktur,
makin cepat proses pemerolehan struktur itu. Tetapi penelitian lain
ternyata telah menelorkan hasil yang berbeda (Dulay, Burt,
Krashen, 1982:32-37).

Ciri-ciri bahan masukan dalam pengajaran BIPA ini termasuk


bahan masukan itu sendiri dalam bentuk bahan belajar-mengajar
telah tersedia cukup banyak bila guru BIPA mau melanglangbuana
ke sana ke mari lewat berbagai media yang ada. Salah satu di antara
media yang akan membantu pengembangan bahan ajar serta akan
berkontribusi pada upaya peningkatan berbahasa itu adalah media
teknologi, khususnya internet.

Pemanfaatan Media Teknologi

Dewasa ini, sebuah lembaga pendidikan tanpa dilengkapi jaringan


internet akan kehilangan dinamikanya sendiri. Dalam lingkupnya
yang lebih kecil, tampaknya sudah mulai diancangkan bahwa
seorang akademisi tanpa menceburkan diri ke lautan internet, akan
menciptakan rongga kekosongan yang banyak dalam bidangnya
masing-masing. Jaringan internet bagi seorang ilmuwan dapat
berfungsi sebagai gudang informasi yang sangat luas liputannya.
Dalam kaitannya dengan pengembangan pendidikan, internet dapat
berfungsi baik sebagai sumber bahan maupun sebagai penata
kerangka pemahaman dan kerangka berpikir bagi pendidikan
maupun peserta didik itu sendiri.

Mengakses internet menjadi lebih mudah dewasa ini tentu saja


dengan catatan si pengakses mempunyai penguasaan akan bahasa
asing. Penyedia akses menjadi lebih banyak terus. Di kota Bandung
saja, terdapat beberapa pilihan penyedia akses internet, seperti
netura, sidola, melsa, pos-giro, dan ibm. Salah satu di antara aplikasi
standar internet adalah the world wide web yang lebih dikenal
dengan singkatan www. Jaringan ini merupakan database yang
terdistribusi yang di dalamnya berisi informasi dengan berbagai
bidang liputan. Bahkan jurnal-jurnal pun beribu jumlahnya dapat
diakses melalui jaringan ini.

Dalam sebutan sehari-hari kita mendengar kata e-mail, yang


merupakan kependekan dari electronic mail. Istilah ini
diindonesiakan menjadi surat elektronik, mungkin bagus kalau saya
sebut saja ratnik. Sekarang alamat ratnik yang dimiliki seseorang
sudah menjadi penanda kecanggihan orang tersebut.

Dengan menggunakan ratnik ini, seseorang dapat menerima dan


membalas surat atau mengirimkan makalah secara langsung tanpa
harus pergi ke kantor pos. Seorang mahasiswa dapat berhubungan
langsung dengan tidak terbatas oleh jarak ruang maupun perbedaan
waktu kepada dosen atau pembimbingnya. Ratnik ini sangat efektif
dan efisien. Dalam waktu yang singkat, bila si penerima membuka
internetnya, surat kita telah sampai dengan lengkap. Biaya
pengirimannya menjadi sangat murah. Sebuah surat yang panjang
akan beralih ke provider dari komputer orang yang akan menerima
surat itu hanya dalam beberapa detik saja, walaupun orang tersebut
berada di balik belahan bumi ini. Biaya pengiriman kita sangat
murah karena akan hanya setara dengan penggunaan telpon lokal
beberapa detik saja, tak peduli ke bagian dunia mana kita
mengirimkan surat tersebut. Bahkan dengan menggunakan aplikasi
seperti telnet kita bisa berkomunikasi secara tertulis dengan orang
yang mempunyai akses ke internet di manapun di dunia ini.

Dengan memanfaatkan berbagai aplikasi yang ada dalam jaringan


internet, berbagai upaya pendidikan dapat lebih ditingkatkan.
Tawaran program pendidikan, penggunaan perpustakaan, akses ke
ensiklopedia, penjelajahan penerbitan, dan penelusuran jurnal
ilmiah merupakan hal yang mudah diperoleh lewat internet itu.

Bahkan guru bahasa Indonesia bagi penutur asing dapat


mengggunakan berbagai sumber tentang Indonesia dan daerah
melalui surat kabar atau majalah yang dapat diakses secara cuma-
cuma diberbagai homepage, seperti majalah Tempo, surat kabar
Republika dan Kompas. Bahan-bahan lainnya dapat diperoleh
melalui akses ke berbagai lembaga yang telah memunculkan
informasi dan produknya di jaringan internet.

Semua sumber-sumber informasi yang dapat diakses itu memberi


peluang bagi guru yang kreatif untuk menciptakan cara baru dalam
menyajikan bahan pelajaran. Dari situ juga dapat dilakukan upaya
pemilihan bahan utama maupun bahan pelengkap untuk kegiatan
belajar mengajar. Bahkan dengan cara tersendiri, guru-guru dapat
mengambil bahan tertentu dengan mencetaknya sebagai bahan yang
dapat dimodifikasi guna kegiatan belajar-mengajarnya.

Laman APBIPA yang untuk sementara terdapat pada


http://www.ikip-bdg.ac.id/~apbipa atau http://www.apbipa.org
mencoba antara lain memasukkan berbagai situs BIPA yang segera
dapat dirambah oleh para anggotanya. Terdapat bahan substansial
yang bisa diakses baik oleh guru maupun oleh pembelajar BIPA
lewat internet. Misalnya, SEAsite yang dapat diakses lewat
http://www.seasite.niu.edu/ menyediakan latihan interaktif, teks
bacaan dengan fasilitas kamus dan pertanyaan pilihan ganda. Ada
juga bagian percakapan untuk pemahaman menyimak dan
hubungan ke sumber berita dan seni budaya Indonesia. Guru dan
pembelajar BIPA dapat pula memperoleh pengajaran tata bahasa
dan pelafalan dengan format tradisional terdapat dalam laman
Learn Indonesian in Seven Days dalam:
http://infoweb.magi.com/~mbordt/bahasa8c.htm yang dikembangkan
berdasarkan sebuak buklet sehingga belum mencakupi interaktivitas
tetapi cukup berguna untuk menyegarkan pengetahuan.

Bagi guru BIPA yang kekurangan ide, dapat memperoleh bantuan


dari rancangan pengajaran terstruktur untuk menciptakan tugas
interaktif di laman Ayo, Berselancar Berita Indonesia! dalam
http://www.epub-research.unisa.edu.au/

AFMLTA/resgideO.htm, sebuah gambaran kelas kolaboratif


berdurasi 5 minggu yang dikembangkan berdasarkan telaahan
terhadap koran-koran Indonesia on-line sebagai bahan gagasan yang
dapat digunakan bagi pengembangan laman kelas. Di dalamnya ada
juga 10 rencana pelajaran berdasarkan telaahan terhadap gunung
berapi di Indonesia.

Untuk melengkapi bahan kegiatan belajar-mengajar BIPA kita


dapat mengakses berbagai bahan dan informasi lewat Jendela
Indonesia di http://www.iit.edu/~indonesia/ dan Academic Internet
Resources on Indonesia, The University of Auckland di
http://www.auckland.ac.nz/asi/indo/links2.html.

Penutup

Pembelajaran BIPA memerlukan upaya yang beraneka, seperti


halnya pembelajaran bahasa asing lainnya. Berbagai variabel turut
terlibat di dalam upaya membuat pembelajaran BIPA itu berhasil
dengan baik. Bila kita mau memilih variabel kunci dari sekian
banyak variabel itu, pilihan akan jatuh pada variabel guru. Guru
BIPA yang baik akan menjadi model bagi murid-muridnya. Guru
yang baik akan berupaya memanfaatkan segala fasilitas dan peluang
yang ada dalam membuat kegiatan belajar-mengajarnya berhasil
guna. Termasuk di dalam upaya ini ialah kemauan guru BIPA untuk
memanfaatkan berbagai masukan bahasa Indonesia dari berbagai
media teknologi, khususnya internet. Dengan itu, kekurangan bahan
dan model berbahasa Indonesia akan teratasi.

Referensi

Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan


Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa II Unika
Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.

Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni


lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet,
FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.

Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom;


directions for the 1980's.

Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second


Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers.

Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and


Winston.
Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language
Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.

Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York:
Oxford University Press.

Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the
pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute
of Australia Ltd.

Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language


Acquisition. Pergamon Press.

Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins
Publishers.

Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge


University Press.

Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia.


Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra


Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa


Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri


sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah
Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah
Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching.


London: Oxford University Press.

Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa


dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa
Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language


teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University
Press.

You might also like