You are on page 1of 9

INOVASI MODEL PEMBELAJARAN

BAB I

PENDAHULUAN

Berlakunya kurikulum 2004 ( Kurikulum Berbasis Kompetensi ), yang telah direvisi


melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) menutut perubahan paradikma
dalam pendidikan. Perubahan tersebut haruspula diikuti oleh guru yang bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. Salah satu perubahan paradikma
pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru
( teacher centered) beralih berpusat pada murid ( student centered ), metodologi yang
semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori , dan pendekatan yang
semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan
tersebut dimaksut untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun
hasil pendidikan.

Berdasarkan alasan tersebut, maka sangatlah urgen bagi para pendidik khususnya guru
memahami karakteristik materi, peserta didik dan metodologi pembelajaran dalam proses
pembelajaran terutama berkaitan pemilihan terhadap model- model pembelajaran
modern. Dengn demikian proses pembelajaran akan lebih variatif, inova dan kontruktif
dalam merekontruksi wawasan pengetahuan dan implementasinya sehingga dapat
meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.

Satu inovasi yang menarik mengiringi paradikma tersebut adalah ditemukan dan
ditrapkanya model model pembelajaran inovatif dan kontruktif atau lebih tepat dalam
mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik secara kongrit dan mandiri.
Inovasi ini bermula dan diadopsi dari metode kerja para ilmuan dalam menemukan suatu
pengetahuan baru.

Fullan (1996) menerangkan bahwa tahun 1960-an adalah era dimana banyak inovasi-
inovasi pendidikan kontemporer diadopsi, seperti matematika, kimia dan fisika baru,

1
mesin belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran individu, pengajaran
secara team (team teaching) dan termasuk dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.

Menurut Buchori ( 2001 ) dalam Khabibah ( 2006: 1 ), bahwa pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk sesuatu profesi
atau jabatan, tetapi untuk menyelesaikan masalah- masalah yang dihadapi dalam
kehidupan. Dengan demikian materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal- hal
sederhana yang bersifat hafalan dan pemahaman, tetapi juga tersusun atas materi yang
komplek yang memerlukan analisis, aplikasi dan sintesis.

( Sujana, 2005 ) menganggab bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari obyek
semata, akan tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subyek yang menangkap
setiap objek yang adalah, proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam
struktur koknitif siswa berdasarkan pengalaman (Udin Saefudin Sa’ud , 2008: 168 ).

Makalah ini memaparkan model pembelajaran inovasi, sebelum diuraikan lebih jauh serta
pemahaman tentang model pembelajaran inovasi tidak bias maka pembahasan dalam
makalah ini dibatasi pada pembelajaran inovasi yang berorientasi pada konstruktivistik.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Inovasi

Secara umum, inovasi didefinisikan sebagai suatu ide, praktek atau obyek yang
dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain.
Thompson dan Eveland (1967) mendevinisikan inovasi sama dengan teknologi yaitu
suatu desain yang digunakan untuk tindakan instrumental dalam rangka mengurangi
ketidak teraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu tujuan tertentu

Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu.

2
2. Model Pembelajaran

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial
Pengertian dan untuk menentukan perangkat- perangkat pembelajaran termasuk
didalamnya buku-buku, film,, komputer, kurikulum, dan lainya ( Joyce, 1992: 4 )

3. Pendekatan Kontruktivisme

Warrington dalam Jica ( 2001: 70 ) memperluas kerja ini di kelas 5 dan 6 sekolah
dasar dan menjelaskan sesuatu pendekatan pembelajaran pembagian dengan
mengunakan pecahan tanpa mengajarkan algoritma tentang mengali dan membagi.
Dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana
menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan meng’encourage’
(mendorong) siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam yelesaikan
permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak
mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa
untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide
sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akalnya.

(Steffe dan Kieren1995:723). Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivisme


aktivitas matematika diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok
kecil, dan diskusi kelas menggunakan apa yang bisa muncul dalam dalam materi
kurikulum kelas . Dalam konstruktivisme pembelajarannya senantiasa “problem
centered approach” di mana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki
makna matematika(Jika 2001: 71). Beberapa ciri itulah mendasari pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme

4. Belajar Matematika menurut Paham Konstruktivisme

Para ahli konstruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan


tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan matematika dikonstruksi secara aktif (Wood,
1990; Cobb, 1992). Para ahli konstruktivis yang lain mengatakan perspektifiiya

3
konstruktivis, belajar matematika bukanlah suatu proses ‘pengepakan’ pengetahuan
secara hati-hati, melainkan hal mengorganisir aktivitas, di mana kegiatan ini
diinterpretasikan secara luas termasuk aktivitas dan befikir konseptuál

(Cobb dalam Jica 2001: 71). Pada belajar matematika melibatkan manipulasi aktif
dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja.

5. Pembelajaran Konstruktivis dalam Matematika

Confrey (1991:111) menyatakan: ....sebagai seorang konstruktivis ketika saya


mengajarkan matematika, saya tidak mengajarkan siswa tentang struktur matematika
yang objeknya ada di dunia ini. Saya mengajar mereka, bagaimana mengembangkan
kognisi mereka, bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif yang
saya percaya akan menyediakan suatu cara yang powerful untuk memahami dunia,
bagaimana merefleksikan lensa -lensa itu untuk menciptakan lensa-lensa yang lebih
kuat, dan bagaimana mengapresiasi peranan dan lensa dalani memainkan pengembangan
kultur mereka. Saya mencoba untuk mengajarkan mereka untuk mengembangkan satu
alat intelektual yaitu matematika.

Hal mi mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir, fokus
utama r inatematika aclalah memberdayakan siswa untuk berfikir n’engkonstruksi
pengetahuan iatika yang pemah ditemukan oleh ahli-ahli sebelunmya.

6. Implementasinya dalam Pembeiaiaran Matematika

Dan sudut pandang konstruktivis, Koehier and Grouws (1992: 199) menyatakan
bahwa pembelajaran telah dipandang sebagai suatu kontinum antara negosiasi dan
imposition pada ujung- ujungnya. Lebih jauh lagi, Cobb and Steffe (1992: 119 )
rnenambahkan bahwa “...dalam

Pandangan konstruktivisme guru harus secara terus menerus menyadarkan untuk


mencoba melihatkeduanya siswa dengan dirinya dan sudut pandang siswa .perbedaan
individu di kelas berimplikasi bahwa guru disyaratkan untuk mempertimbangkan
bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup
perbedaan-perbedaan individu siswa.

4
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies (1995: 12) menyatakan bahwa
“siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara
kualitatif dalam cara-cara yang berbeda-beda . Lovitt and Clarke dam Jica ( 2001 : 74 )
mengemukakan bahwa “kualitas pembelajaran ditandai seberapa luas dalam
lingkungan belajar:

• mulai dari mana siswa ini berada.

• mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda, dan cara yang
berbeda.

• melibatkan siswa secara fisik dalam proses belajar.

• meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner....

Dengan demikian ada suatu perbedaan yang sangat berarti pembelajaran matematika
dengan paradigma kosntruktivisme dan dengan pendekatan tradisional. Di dalam
konstruktivisme peranan guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa,
melainkan mereka untuk membentuk (mengkonstruksi) pengetahuan matematika
sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam paradigma tradisional, guru
mendominasi pembelajaran dan guru senantiasa menjawab ‘dengan segera’ terhadap
pertanyaan-pertanyaan siswa. Dan perbedaan-perbedaan di atas menjadikan posisi guru
dalam pembe1ajaran untuk benegosiasi dengan siswa, bukan memberikan jawaban
akhir yang telah jadi Negosiasi yang dimaksudkan di sini adalah berupa pengajuan
pertanyaan-pertanyaan kembali, atau pemyataan-pernvataan yang matematika Implikasi
menantang siswa untuk berfikir lebih lanjut yang dapat mendorong mereka sehingga
penguasaan konsepnya semakin kuat.

7. Evaluasi Pembelajaran Matematika menurut Konstruktivisme

Menurut Webb (1992) evaluasi dalam pendidikan adalah suatu investigasi sitematis

tentang nilai atau merit tentang suatu tujuan. Termasuk di dalam evaluasi adalah

kumpulan bukti-bukti secara sistematis untuk membantu membuat keputusan tentang


(1) siswa ( 2 ) pengembangan materi; (3) program.

5
Di sini guru mencoba mengumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah pembelajarannya telah sukses?. Apakah yang semestinya guru
lakukan untuk mengukur pemahaman konsep maternatika? Bagaimana guru akan
mengetahui bahwa siswanya telah mengetahui matematika? Dalam memberikan
assesmen pengetahuan matematika siswa, mestinya diperoleh data kemampuan siswa
dalam matematiaka. Harus memasukkan tentang pengetahuan siswa pada konsep
matematika,

8. Posisi Pengajaran Konstruktivisme diantara pendekatan lain

Brady (1985) menawarkan lima model dan metoda pembelajaran (1) Model eksposisi;
(2) Model behavioristik; (3) Model Kognitif, (4) Model interaksional, dan (5) Model
transaksional. Apabila kelima model-model di atas diletakkan pada garis kontinum,
dan pendekatan yang berpusat berada di antara titik-titik ekstrim ujung-ujungnya.
Adalah tidak sederhana untuk mengatakan bahwa suatu pendekatan lebih mudah
daripada pendekatan lain. Seperti telah dikatakan oleh Nisbet (1985: 43 ) bahwa ‘Tak
ada cara tunggal yang tepat untuk belajar dan tak ada cara terbaik untuk mengajar”
Namun demikian seorang guru dapat menerapkan salah sam pendekatan yang cocok
dengan mempertimbangkan kondisi siswa. Dalam pendekatan konstruktivis siswa
menjadi pusat perhatian. Siswa diharapkan mengkonstruksi pengetahuannya menurut
mereka sendiri. Karenanya peranan guru cenderung sebagai fasilitator ketimbang
penyedia informasi (Cain, Kenney, & Schloemer, 1994, h. 93).

Menurut Burton (1993) pandangan tradisional memandang matematika sebagal


pengetahuan dan ketrampilan yang terdefinisi secara ketat (a) belajar melalui transmisi,
(b) belajar derigan sikap yang compliant (selalu mengalah), (c) menilai siswa melalui
tes menggunakan kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Sebaliknya padangan
konstruktivisme menolak pembelajaran yang dilakukan oleh pandangan tradisional dan
meletakkan tanggung jawab belajar dari guru kepada murid. Lebih jauh Burton (1993)
mengusulkan bahwa “tanggung jawab guru dalam proses belajar adalah untuk:

- menstimulasi dan memotivasi siswa

- menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman

6
- mendiagnosa dan mengatasi kesulitan siswa

- mengevaluasi”

(Kamii dalam Jica, 2001: 76 ) menambahkan bahwa “kenyataan anak mengkonstruksi


pengetahuan logi matematikanya sendiri tidak lantas menyebabkan bahwa peranan guru
hanya duduk dan tidak mengerjakan apa-apa, sebaliknya peranan guru menjadi tidak
langsung dan lebih sulit dibandingkan dengan kelas tradisional.

Memperhatikan uraian di atas, maka pembelajaran matematika dengan menggunakan


pendekat konstruktivis tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

- Seorang guru matematika hendaknya mempromosikan dan mendorong


pengembangan setiap individu di dalam kelas untuk menguatkan konstruksi
matematika, untuk pengajuan pertanyaan (posing), pengkonstruksian,
pengeksplorasian, pemecahan, dan pembenaran masalah-masalah matematika
serta konsep-konsep matematika.

- Guru juga diharapkan mencoba berusaha mengembangkan kemampuan siswa


untuk merefleksikan dan mengevaluasi kualitas konstruksi mereka (para siswa).

DAFTAR PUSTAKA

Sa’ud, Udin Saefudin. 2008.Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations, London: The
Free Press.
Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree
Press.
Brown, Lawrence A., Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York: Methuen and
Co

Mulyasa, E. (2008). Menjadi Guru Profesinal Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan


Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

JICA UPI Bandung

7
INOVASI MODEL PEMBELAJARAN

(Tugas Individu)

Mata Kuliah Difusi dan Inovasi Pendidikan

Dosen Pengampu :

1.Dr. Budi Koestoro, M.Pd.


2. Dra. Adelina Hasyim, M.Pd.

Oleh :

SUMINTO / 0823011087

PROGRAM PASCASARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

8
UNIVERSITAS LAMPUNG
2009

You might also like