Professional Documents
Culture Documents
Muliawan Firdaus**)
Abstrak
Pendahuluan
*)
Disajikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika III tanggal ____
**)
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNIMED
1
2
Studi dari Guay & McDaniel (1977) dan Bishop (1980) menemukan bahwa
kecerdasan visual-spasial mempunyai hubungan positif dengan matematika pada anak
usia sekolah. Studi dari Shermann (1980) juga menemukan bahwa matematika dan
berpikir spasial mempunyai korelasi yang positif pada anak usia sekolah, baik pada
kecerdasan visual-spasial taraf rendah maupun taraf tinggi. McGee (1979) menemukan
bahwa perbedaan dalam memecahkan soal-soal matematika antara anak laki-laki dan
anak perempuan disebabkan oleh perbedaan dalam kecerdasan visual-spasial mereka.
Kecerdasan visual-spasial anak laki-laki lebih baik daripada anak perempuan.
Ike R Sugianto (dalam Zoelandari, 2009) mengatakan cerdas visual spasial
adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak
dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke
dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Menurut Howard Gardner (dalam Armstrong,
2003), anak yang memiliki kepintaran visual akan dapat menyelesaikan masalah ruang
(spasial). Anak mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan
bentuk-bentuk geometri dan tiga dimensi, serta kemampuan memvisualisasikan dengan
grafik atau ide tata ruang (spasial). Dari hasil penelitiannya, orang-orang yang memiliki
kepintaran visual spasial ini lebih banyak dipengaruhi otak kanan, yaitu bagian otak
yang bertugas memproses ruang. Anak yang cerdas visual tak hanya menggambarkan
tapi juga mengkonstruksikan obyek ide di dalam pikiran mereka. Selain itu, kepintaran
ini juga memberi kemampuan membedakan dan menemukan berbagai kombinasi atau
gradasi warna. Namun, kemampuan ini bukan hanya anugerah semata dari Tuhan Yang
Maha Esa tapi juga bisa ditumbuhkan. Asalkan orangtua bisa menstimulasi kemampuan
ini melalui beragam kegiatan. Biasanya anak tipe ini sangat menggemari permainan-
permainan “melihat melalui pikiran” seperti menggambar atau membayangkan obyek
dan permainan “acting” atau berpura-pura. Latihan bisa diterapkan saat anak di usia
balita awal lewat kegiatan sehari-harinya.
Dari pengalaman penulis dalam menangani anak usia sekolah yang mengalami
penurunan prestasi di sekolah, mereka mengeluhkan sulitnya memahami pelajaran
matematika dan sebagian besar dari mereka memperoleh nilai matematika yang lebih
rendah dibandingkan dengan nilai mata pelajaran lainnya. Selain itu, nampaknya faktor
kecerdasan visual-spasial kurang diperhitungkan sebagai kemungkinan salah satu faktor
penyebabnya.
3
Kecerdasan visual-spasial
Kerangka acuan adalah kemampuan yang berhubungan dengan orientasi, lokasi dan
perpindahan objek dalam ruang. Piaget & Inhelder (1971) mencirikan kerangka acuan
sebagai organisasi yang simultan dari segala posisi dalam tiga dimensi, dimana poros
dalam kerangka acuan menjadi objek atau posisi yang tidak berubah yang disebabkan
oleh perubahan dalam sistem. Spasial proyektif meliputi kemampuan untuk berespon
saling koordinasi objek yang terpisah dalam ruang. Spasial euclidis menunjukkan
kriteria ukuran dan jarak antara objek dan letak lokasi. Hubungan spasial diterapkan
pada tiga dimensi yaitu kiri-kanan, atas-bawah dan depan belakang.
Tingkatan 1: Visual
Tingkatan ini dimulai dari pemikiran non-verbal. Bentuk dipastikan dengan rupa
dan secara umum diperlihatkan sebagai “satu keseluruhan”, bukan bagian-bagian yang
7
Tingkatan 2: Deskriptif
Pada tingkatan ini, seorang anak dapat mengidentifikasi dan menggambarkan
bagian-bagian komponen dan sifat-sifat dari bangun. Sebagai contoh, segitiga sama sisi
dapat dibedakan dari segitiga lainnya karena ketiga sisinya yang sama panjang, sudut-
sudut yang sama besar dan kesimetrisannya. Seorang anak perlu mengembangkan
bahasa (kosakata) yang sesuai untuk dapat melanjutkan pada konsep-konsep spesifik
yang baru. Namun demikian, pada tahap ini sifat-sifat tidaklah terurut secara logis, yang
berarti bahwa seorang anak belum mengerti hubungan esensial diantara sifat-sifat
tersebut. Jadi, dengan segitiga sama sisi sebagai contoh, mereka belum paham bahwa
jika sebuah segitiga memiliki tiga sisi yang sama panjang, segitiga tersebut pastilah
memiliki tiga sudut yang sama besar.
Dalam teori van Hiele terdapat serangkaian lima fase tipe aktifitas yang
dirancang untuk mempercepat perkembangan pemikiran seorang anak dari satu
tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Ada bermacam cara dalam penerapan fase-fase ini
bilamana seorang guru hendak menyusun sebuah rencana pembelajaran. Sebagai
contoh, guru mungkin memilih topik persegi, lalu merancang semua kegiatan yang
melibatkan manipulasi, konstruksi, diskusi dan sebagainya, tentang persegi. Cara lain
untuk menggunakan fase-fase ini adalah dengan mengambil satu pendekatan yang lebih
umum dan mengeksplorasi sejumlah bangun yang berbeda-beda secara bersamaan.
Dengan melewati semua fase-fase ini menggunakan media pembelajaran seperti
tangram atau potongan-potongan puzzle membuat anak dapat membangun
latarbelakang yang cukup kaya dalam visual dan pemikiran deskriptif tentang bangun
dan sifat-sifatnya.
Fase 1: Inkuiri
Pembelajaran dimulai dengan bermain. Anak sebaiknya didorong untuk secara
bebas mengeksplorasi media pembelajaran tangram dan dengan demikian menemukan
beberapa sifat dan struktur. Sementara anak sedang bermain, guru memiliki kesempatan
untuk mengamati dan secara informal menaksir pemikiran dan bahasa atau kosakata
yang digunakan anak.
Contoh: Berikan pada setiap anak di kelas satu set tangram dan kemudian berikan
pertanyaan yang sederhana: “Apa yang dapat kamu perbuat dengan potongan-potongan
ini?” Berikan dorongan kepada anak untuk berbagi dan berbicara tentang bangun-
bangun dan gambar-gambar yang telah mereka buat. Berikan waktu yang banyak pada
anak untuk secara bebas mengeksplorasi potongan-potongan tersebut. Selama itu
berlangsung anak akan menjadi terbiasa dengan ukuran dan bentuk dari potongan-
potongan tersebut, dan mereka mulai mengerti bagaimana mereka mencocokkan tiap
potongan. Dengan kata lain, mereka mulai menemukan sifat-sifat dan hubungan-
hubungannya.
Contoh: Dalam bermain bebas seorang anak mungkin telah menggunakan potongan
bernomor 3 dan 5 untuk membuat potongan 6. Maka mintalah anak tersebut untuk
menemukan apakah semua potongan dapat dibuat dari dua potongan yang lebih kecil.
Mereka mungkin akan melakukannya dengan mencocokkan dua potongan secara
bersama dan meletakkannya di atas potongan yang lebih besar. Pertanyaan-pertanyaan
lain yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi adalah:
1. Potongan mana yang dapat dibuat dari tiga potongan lainnya? Arahkan anak untuk
mencatat atau menggambar apa yang mereka temukan dengan cara meletakkan
potongan di atas kertas kemudian melukiskan garis-garis mengikuti keliling bangun.
10
2. Satu aktifitas akan selalu mengarah pada aktifitas lain; Berapa banyak cara yang
berbeda yang dapat dilakukan untuk membuat segitiga terbesar (potongan 1) dengan
menggunakan potongan-potongan lainnya?
3. Pilih dua bangun. Berapa banyak bangun yang berbeda yang dapat kamu buat
dengan dua bangun itu? Gambarkan bangun-bangun itu dan beri mereka nama.
Gunakan tiga bangun untuk membuat satu bangun (bukan seperti yang satu dari
potongan yang lainnya). Berapa banyak cara yang dapat kamu lakukan untuk
membuat bangun ini? Dapatkah kamu membuatnya dengan dan tanpa melihat
nomornya? Gambarkan semua hasil pekerjaanmu.
Fase 3: Eksplikasi
Fase ini melibatkan kegiatan-kegiatan dan permainan-permainan yang dengan
secara sengaja membangun kosakata yang dikaitkan dengan gagasan-gagasan yang telah
ditemukan sejauh ini, sementara melanjutkan untuk mengeksplorasi sifat-sifat dari
bangun-bangun tersebut. Guru mengklarifikasi istilah-istilah yang telah digunakan oleh
anak dan memperkenalkan istilah-istilah baru. Aktifitas-aktifitas yang mendorong anak
untuk menggunakan kosakata sebagaimana yang telah mereka katakan dan tuliskan
tentang pengalaman mereka sebaiknya diterapkan.
Contoh: Selama kegiatan berlangsung, guru memberi nama pada bangun seperti persegi,
segitiga sama kaki, dan jajaran genjang, sebagaimana kosakata lain yang dikaitkan
dengan sifat-sifatnya seperti: serupa, sisi yang sama, sudut yang sama, sudut siku-siku,
sisi-sisi simetri dan sejajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang berikut ini akan
memberikan peluang pada istilah-istilah tersebut untuk digunakan sebagaimana
mengklarifikasi konsep-konsep terkait:
11
1. Bangun-bangun mana yang memiliki sudut siku-siku? Cocokkan mereka dalam satu
tumpukan. (Berapa besar ukuran sudut-sudut yang lain?)
2. Tempelkan setiap bangun pada selembar kertas, kemudian buat gambar pada kertas
dengan mengikuti garis di sekeliling bangun itu, kemudian potonglah. Berapa
banyak garis simeti yang dimiliki setiap bangun?
3. Apa yang sama dari semua segitiga?
4. Bangun-bangun mana yang memiliki sisi-sisi sejajar?
5. Bangun-bangun mana yang memiliki sisi sama panjang? Bangun-bangun mana yang
memiliki sisi sama panjang dengan bangun yang lainnya? Setengahnya atau dua kali
panjangnya?
6. Mainkan permainan “Kantung Misteri” dimana seorang anak meraba bangun yang
tersembunyi dalam kantung dan menggambarkannya.
Fase 5: Integrasi
Kesempatan-kesempatan diberikan pada anak untuk menarik secara bersama
pengetahuan baru mereka dan merefleksikannya sebagai satu keseluruhan. Mereka
harus mampu mengekspresikan atau menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari
dalam beberapa cara.
Penutup
Daftar Pustaka
Armstrong, T. 2003. Sekolah Para Juara, Bandung: Mizan Media Utama.
_________. 2002. Setiap Anak Cerdas disadur oleh Rina Buntaran, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Bishop, A.J. 1980. Spatial Abilities and Mathematic Education: A review. Education
studies in mathematic, 11, (pp. 257-269)
Fuys, Geddes & Tischler. 1988. The van Hiele model of Geometric Thinking Among
Adolescents. Journal of Research in Mathematics Education Monograph 3.
Guay, R. dan E. McDaniel. 1977. The Relation between Math Achievement and Spatial
Abilities among Elementary School Children. Journal of Research in Mathematics
Education, 7, (pp. 211-215)
McGee, M.F. 1979. Human Spatial Ability: Psychometric Studies and Environment:
Genetic, Hormonal, and Neurological Influences. Psychological Bulletin, 5, (pp. 887-
902)
14
Pegg, J. & Davey, G. 1991. Levels of Geometric Thought. The Australian Mathematics
Teacher. Vol.7. No.2.
Piaget, J. dan Inhelder, B. 1971. Mental Imagery in Child. New York: Basic Books.
Sherman, J.A. 1980. Mathematics, Spatial Visualization, and Related Factors: Changes
in Girl and Boys grade 8-11. Journal of Educational Psychology, 72, (pp. 476-482)
Van Hiele, P. 1999. Developing Geometric Thinking Through Activities that Begin with
Play. Teaching Children Mathematics. February 1999. (pp. 310-316)