You are on page 1of 14

Meningkatkan Kecerdasan Visual-Spasial Anak

Melalui Media Pembelajaran Tangram*)

Muliawan Firdaus**)

Abstrak

Kecerdasan visual-spasial adalah kemampuan memahami,


memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan
kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam
pikirannya ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Anak dengan
kemampuan ini juga mampu dengan mudah dan cepat memahami
konsep spasial serta terlihat antusias ketika melakukan aktivitas yang
berkaitan dengan kemampuan ini. Kecerdasan visual-spasial bisa
mempengaruhi proses belajar anak di sekolah. Salah satunya,
membantu anak memahami soal cerita matematika. Kemampuan ini
bukan hanya anugerah semata dari Tuhan Yang Maha Esa tapi juga
bisa ditumbuhkan. Umumnya anak cerdas spasial memiliki metode
belajar visualisasi berdasarkan penglihatannya. Latihan bisa
diterapkan saat anak di usia balita awal lewat kegiatan sehari-
harinya. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan ini adalah Tangram. Dalam makalah ini
diberikan satu bentuk aktivitas untuk anak yang dikembangkan
berdasarkan teori belajar van Hiele yang berkaitan dengan geometri.

Kata kunci: Kecerdasan visual-spasial, Teori Belajar van Hiele,


Tangram.

Pendahuluan

Kecerdasan visual-spasial merupakan salah satu aspek dari kognisi. Kecerdasan


visual-spasial merupakan konsep abstrak yang meliputi persepsi spasial yang
melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi sampai pada kemampuan yang rumit
yang melibatkan manipulasi serta rotasi mental. Dalam kecerdasan visual-spasial
diperlukan adanya pemahaman kiri-kanan, pemahaman perspektif, bentuk-bentuk
geometris, menghubungkan konsep spasial dengan angka dan kemampuan dalam
transformasi mental dari bayangan visual. Pemahaman tersebut juga diperlukan dalam
belajar matematika. Pada anak usia sekolah kecerdasan visual-spasial ini sangat penting
karena kecerdasan visual-spasial erat hubungannya dengan aspek kognitif secara umum.

*)
Disajikan pada Konferensi Nasional Pendidikan Matematika III tanggal ____
**)
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNIMED

1
2

Studi dari Guay & McDaniel (1977) dan Bishop (1980) menemukan bahwa
kecerdasan visual-spasial mempunyai hubungan positif dengan matematika pada anak
usia sekolah. Studi dari Shermann (1980) juga menemukan bahwa matematika dan
berpikir spasial mempunyai korelasi yang positif pada anak usia sekolah, baik pada
kecerdasan visual-spasial taraf rendah maupun taraf tinggi. McGee (1979) menemukan
bahwa perbedaan dalam memecahkan soal-soal matematika antara anak laki-laki dan
anak perempuan disebabkan oleh perbedaan dalam kecerdasan visual-spasial mereka.
Kecerdasan visual-spasial anak laki-laki lebih baik daripada anak perempuan.
Ike R Sugianto (dalam Zoelandari, 2009) mengatakan cerdas visual spasial
adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak
dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke
dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Menurut Howard Gardner (dalam Armstrong,
2003), anak yang memiliki kepintaran visual akan dapat menyelesaikan masalah ruang
(spasial). Anak mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan
bentuk-bentuk geometri dan tiga dimensi, serta kemampuan memvisualisasikan dengan
grafik atau ide tata ruang (spasial). Dari hasil penelitiannya, orang-orang yang memiliki
kepintaran visual spasial ini lebih banyak dipengaruhi otak kanan, yaitu bagian otak
yang bertugas memproses ruang. Anak yang cerdas visual tak hanya menggambarkan
tapi juga mengkonstruksikan obyek ide di dalam pikiran mereka. Selain itu, kepintaran
ini juga memberi kemampuan membedakan dan menemukan berbagai kombinasi atau
gradasi warna. Namun, kemampuan ini bukan hanya anugerah semata dari Tuhan Yang
Maha Esa tapi juga bisa ditumbuhkan. Asalkan orangtua bisa menstimulasi kemampuan
ini melalui beragam kegiatan. Biasanya anak tipe ini sangat menggemari permainan-
permainan “melihat melalui pikiran” seperti menggambar atau membayangkan obyek
dan permainan “acting” atau berpura-pura. Latihan bisa diterapkan saat anak di usia
balita awal lewat kegiatan sehari-harinya.
Dari pengalaman penulis dalam menangani anak usia sekolah yang mengalami
penurunan prestasi di sekolah, mereka mengeluhkan sulitnya memahami pelajaran
matematika dan sebagian besar dari mereka memperoleh nilai matematika yang lebih
rendah dibandingkan dengan nilai mata pelajaran lainnya. Selain itu, nampaknya faktor
kecerdasan visual-spasial kurang diperhitungkan sebagai kemungkinan salah satu faktor
penyebabnya.
3

Kecerdasan visual-spasial

Menurut Spearman, kecerdasan ialah kemampuan umum untuk


berpikir dan menimbang. Thurstone melihat kecerdasan sebagai
suatu rangkaian kemampuan yang terpisah. Kemampuan-
kemampuan seperti kemampuan numerik, ingatan, dan kefasihan
berbicara secara bersama-sama membentuk perilaku pandai. Heim
mendefinisikan kemampuan sebagai perbuatan pandai yang terdiri
dari pemahaman hal-hal yang pokok di dalam suatu keadaan dan
penanggapan secara tepat terhadap keadaan tersebut. Definisi Heim
ini mempunyai persamaan dengan pemikiran Piaget dan Bruner
tentang perkembangan kognitif yaitu seseorang yang melakukan
usaha-usaha untuk berhubungan secara efektif dengan
lingkungannya (Hardy dan Heyes, 1988).
Kognisi sebagai salah satu aspek dalam diri manusia berfungsi pada adaptasi
seseorang terhadap lingkungan yaitu bagaimana seseorang mengatasi lingkungan serta
mengorganisasikan pikiran dan tindakannya. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2005)
adaptasi tersebut melibatkan asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
pengambil-alihan informasi baru dan menyesuaikannya dengan konsep yang ada pada
dirinya. Akomodasi adalah proses dimana seseorang menyesuaikan yang ada pada
dirinya sebagai akibat dari informasi baru agar sesuai dengan pengalaman baru.
Selanjutnya Piaget menambahkan bahwa kognisi adalah hasil interaksi yang
berkesinambungan antara seseorang dengan lingkungannya.
Salah satu aspek dari kognisi adalah kecerdasan visual-spasial. Piaget &
Inhelder (1971) menyebutkan bahwa kecerdasan visual-spasial sebagai konsep abstrak
yang di dalamnya meliputi hubungan spasial (kemampuan untuk mengamati hubungan
posisi objek dalam ruang), kerangka acuan (tanda yang dipakai sebagai patokan untuk
menentukan posisi objek dalam ruang), hubungan proyektif (kemampuan untuk melihat
objek dari berbagai sudut pandang), konservasi jarak (kemampuan untuk
memperkirakan jarak antara dua titik), representasi spasial (kemampuan untuk
merepresentasikan hubungan spasial dengan memanipulasi secara kognitif), rotasi
mental (membayangkan perputaran objek dalam ruang).
4

Kecerdasan visual-spasial diperoleh anak secara bertahap, dimulai dari


pengenalan objek melalui persepsi dan aktivitas anak di lingkungannya. Pada awalnya,
kecerdasan visual-spasial anak belum menunjukkan pengetahuan konseptual dari
hubungan spasial. Dalam menentukan letak posisi objek dan orientasi dalam ruang,
anak masih menggunakan patokan diri. Dengan bertambahnya usia, patokan tersebut
berkembang menjadi patokan orang dan patokan objek. Mulai dari orientasi yang
sifatnya egosentris yaitu menekankan pada dirinya sebagai patokan dalam melihat
hubungan spasial, arah kiri-kanan dari dirinya, berkembang menjadi kerangka acuan
objek pada salib sumbu pasangan titik yaitu salib sumbu utara-selatan dan timur barat.
Menurut Piaget & Inhelder (1971) kecerdasan visual-spasial yang merupakan
aspek dari kognisi berkembang sejalan dengan perkembangan kognitif yaitu konsep
spasial pada tahapan sensori-motor, konsep spasial pada tahapan pra-operasional,
konsep spasial pada tahapan konkret-operasional dan konsep spasial pada tahapan
formal-operasional. Kecerdasan visual-spasial ini diperoleh anak melalui alur
perkembangan berdasarkan hubungan spasial topologi, proyektif dan euclidis.
Pada hubungan spasial topologi anak mengerti spasial dalam hubungannya
dengan relasi topologi yaitu “di samping” atau “di depan”. Dalam mengorganisasikan
dan membangun bagian gambar atau pola masih didasarkan pada hubungan yang
bersifat proksimitas, keterpisahan, urutan, ketertutupan dan kontinuitas. Objek atau
gambar masih dilihat dalam isolasi, tidak dihubungkan dengan objek lain. Hubungan
spasial semacam ini adalah bersifat hubungan satu-satu atau hubungan
berkesinambungan. Penekanan hubungan spasial topologi adalah pada suatu kenyataan
yang berkaitan atau keberikatan. Pada tahapan topologi, anak mulai mampu
merepresentasikan spasial untuk dirinya dan patokan yang digunakan untuk menetukan
posisi objek adalah dirinya.
Tahapan proyektif dan tahapan euclidis berkembang pararel pada saat anak
memasuki tahapan konkret-operasional. Anak mulai dapat melihat objek dari berbagai
sudut pandang. Lambat laun, anak memahami bahwa perspektif merupakan suatu sistem
yang terintegrasi dan saling berkaitan secara logis, yaitu kanan menjadi kiri bila dilihat
dari arah yang berlawanan. Secara pararel tahapan proyektif dan euclidis dicapai bila
anak sudah dapat melihat objek dengan mempertimbangkan hubungan terhadap sudut
pandang. Pada saat ini anak mencapai apa yang disebut dengan kerangka acuan.
5

Kerangka acuan adalah kemampuan yang berhubungan dengan orientasi, lokasi dan
perpindahan objek dalam ruang. Piaget & Inhelder (1971) mencirikan kerangka acuan
sebagai organisasi yang simultan dari segala posisi dalam tiga dimensi, dimana poros
dalam kerangka acuan menjadi objek atau posisi yang tidak berubah yang disebabkan
oleh perubahan dalam sistem. Spasial proyektif meliputi kemampuan untuk berespon
saling koordinasi objek yang terpisah dalam ruang. Spasial euclidis menunjukkan
kriteria ukuran dan jarak antara objek dan letak lokasi. Hubungan spasial diterapkan
pada tiga dimensi yaitu kiri-kanan, atas-bawah dan depan belakang.

Hubungan Antara Kecerdasan visual-spasial dengan Matematika

Menurut Hamley (dalam McGee, 1979) kemampuan matematika adalah


gabungan dari inteligensi umum, pembayangan visual, kemampuan untuk mengamati
angka, konfigurasi spasial dan menyimpan konfigurasi sebagai pola mental. Dalam
kecerdasan visual-spasial diperlukan adanya pemahaman kiri-kanan, pemahaman
perspektif, bentuk-bentuk geometris, menghubungkan konsep spasial dengan angka,
kemampuan dalam mentransformasi mental dari bayangan visual. Faktor-faktor tersebut
juga diperlukan dalam belajar matematika. Peranan kecerdasan visual-spasial terhadap
matematika disokong beberapa studi validitas. Hills (dalam McGee, 1979) meneliti
hubungan antara berbagai tes kecerdasan visual-spasial yang melibatkan visualisasi dan
orientasi dari Guiford dan Zimmerman dengan nilai matematika Ditemukan ada korelasi
yang tinggi antara kecerdasan visual-spasial dengan nilai matematika, bila dibandingkan
dengan tes verbal dan penalaran.
Demikian pula studi yang dilakukan oleh Bishop (1980), Benbow dan
McGuinness (dalam Geary, 1996) menemukan adanya hubungan antara pemecahan
masalah matematika dengan kemampuan visuospasial. Dalam mempelajari peran
kecerdasan visual-spasial terhadap prestasi belajar matematika, Smith (1980)
menyimpulkan bahwa antara kecerdasan visual-spasial dengan konsep matematika taraf
tinggi terdapat hubungan yang positif, tetapi kurang mempunyai hubungan dengan
perolehan konsep-konsep matematika taraf rendah seperti hitungan.
Penggunaan contoh spasial seperti membuat bagan, dapat membantu anak
menguasai konsep matematika. Metode pengajaran matematika yang memasukkan
berpikir spasial seperti bentuk-bentuk geometris, mainan (puzzle) yang menghubungkan
6

konsep spasial dengan angka, menggunakan tugas-tugas spasial dapat membantu


terhadap pemecahan masalah dalam matematika (Newman, dalam Elliot, 1987).
Demikian pula pengertian terhadap konsep pembagian, proporsi tergantung dari
pengalaman spasial yang mendahuluinya (Clements, dalam Eliot, 1987). Penelitian oleh
Tambunan (2003) yang dilakukan terhadap 220 anak usia sekolah, berusia 7-11 tahun
dengan memberikan tes kecerdasan visual-spasial yang terdiri dari hubungan spasial
topologi, proyektif, euclidis dan tes matematika. Hasil menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara kecerdasan visual-spasial total, topologi dan euclidis dengan prestasi
belajar matematika, tetapi tidak terdapat hubungan antara kecerdasan visual-spasial
proyektif dengan prestasi belajar matematika.

Teori Belajar van Hiele

Teori ini menekankan bahwa meskipun perkembangan pemikiran spasial dalam


diri seorang anak berlangsung secara alami, tindakan instruksional juga dibutuhkan
untuk menghantarkannya melalui beberapa tingkatan dalam pemahaman geometris dan
kemampuan berfikir. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa adalah tidak cukup
mengajarakan geometri Euclid pada seorang anak dengan mengikuti persis konstruksi
logis dari aksioma, definisi, teorema dan pembuktian yang digunakan oleh Euclid untuk
membangun sistem tersebut. Seorang anak tidak berfikir dalam tingkat deduktif formal,
dan dengan demikian hanya dapat menghafal fakta-fakta geometris dan aturan-aturan
saja, tetapi tidak memahami keterkaitan antara ide-idenya, jika diajarkan dengan
pendekatan ini.
Teori van Hiele menempatkan sebuah hirarki tingkatan pemikiran yang
merentang antara usia sekitar lima tahun sampai dewasa di bagian terdepan. Awalnya,
pada teori ini terdapat lima tingkatan yang telah diadaptasi dan dinamakan kembali oleh
beragam peneliti, tetapi van Hiele memusatkan perhatian pada tiga tingkatan yang
melingkupi periode normal pendidikan sekolah. Pokok pembahasan dari isi makalah ini
adalah bentuk (bidang) dua-dimensi.

Tingkatan 1: Visual
Tingkatan ini dimulai dari pemikiran non-verbal. Bentuk dipastikan dengan rupa
dan secara umum diperlihatkan sebagai “satu keseluruhan”, bukan bagian-bagian yang
7

terpisah. Meskipun anak menggunakan nama-nama dasar untuk menyebutkan sebuah


bidang, mereka biasanya tidak memberikan penjelasan tentang penggunaan nama
tersebut atau mereka hanya mengaitkan bidang dengan objek yang biasa mereka lihat.
Sebagai contoh, seorang anak mungkin berkata, “Ini adalah persegi karena memang
terlihat demikian”, atau “Saya tahu ini adalah segiempat karena terlihat seperti sebuah
kotak”. Hal seperti ini dapat dihubungkan dengan kemampuan anak dalam mengenal
beberapa kata, sebelum mereka memahami bunyi huruf yang berdiri sendiri dan
bagaimana huruf-huruf itu tercampur bersama untuk membentuk kata-kata.

Tingkatan 2: Deskriptif
Pada tingkatan ini, seorang anak dapat mengidentifikasi dan menggambarkan
bagian-bagian komponen dan sifat-sifat dari bangun. Sebagai contoh, segitiga sama sisi
dapat dibedakan dari segitiga lainnya karena ketiga sisinya yang sama panjang, sudut-
sudut yang sama besar dan kesimetrisannya. Seorang anak perlu mengembangkan
bahasa (kosakata) yang sesuai untuk dapat melanjutkan pada konsep-konsep spesifik
yang baru. Namun demikian, pada tahap ini sifat-sifat tidaklah terurut secara logis, yang
berarti bahwa seorang anak belum mengerti hubungan esensial diantara sifat-sifat
tersebut. Jadi, dengan segitiga sama sisi sebagai contoh, mereka belum paham bahwa
jika sebuah segitiga memiliki tiga sisi yang sama panjang, segitiga tersebut pastilah
memiliki tiga sudut yang sama besar.

Tingkatan 3: Deduksi Informal


Dalam tingkatan ini, sifat-sifat dari bangun sudah terurut secara logis. Seorang
anak mampu memahami bahwa satu sifat mendahului atau mengikuti sifat yang lainnya,
dan dengan demikian dapat mengenali satu sifat dari sifat yang lainnya. Mereka mampu
untuk menerapkan apa yang telah mereka ketahui untuk menjelaskan keterkaitan antara
bentuk, dan mereka juga mampu merumuskan definisi. Meskipun deduksi informal
seperti ini akan membentuk deduksi formal, peran dari aksioma, definisi, teorema dan
kebalikannya, masih belum dipahami.

Fase-fase Aktifitas untuk Mengembangkan Pemikiran Geometris


8

Dalam teori van Hiele terdapat serangkaian lima fase tipe aktifitas yang
dirancang untuk mempercepat perkembangan pemikiran seorang anak dari satu
tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Ada bermacam cara dalam penerapan fase-fase ini
bilamana seorang guru hendak menyusun sebuah rencana pembelajaran. Sebagai
contoh, guru mungkin memilih topik persegi, lalu merancang semua kegiatan yang
melibatkan manipulasi, konstruksi, diskusi dan sebagainya, tentang persegi. Cara lain
untuk menggunakan fase-fase ini adalah dengan mengambil satu pendekatan yang lebih
umum dan mengeksplorasi sejumlah bangun yang berbeda-beda secara bersamaan.
Dengan melewati semua fase-fase ini menggunakan media pembelajaran seperti
tangram atau potongan-potongan puzzle membuat anak dapat membangun
latarbelakang yang cukup kaya dalam visual dan pemikiran deskriptif tentang bangun
dan sifat-sifatnya.

Contoh Aktifitas: Tangram klasik dengan sekumpulan tujuh-potongan bangun dua-


dimensi biasanya adalah media pembelajaran yang mudah didapatkan bahkan dibuat,
dan dengan demikian dapat digunakan sebagai dasar aktifitas untuk mengilustrasikan
setiap fase. Perhatikan bahwa topiknya bukanlah “tangram”, tetapi “sifat-sifat bangun
dua-dimensi”, aktifitas tidak dibatasi pada anak usia tertentu, tetapi aktifitas ini akan
lebih cocok untuk anak dalam rentang usia 7 sampai 10 tahun. Sebaiknya setiap anak
dalam kelas memiliki tangramnya masing-masing. Tangram dapat diduplikasi pada
selembar kertas karton dan dimasukkan kedalam amplop untuk dibagikan kepada anak.
Potongan-potongan dalam contoh di bawah ini telah dinomori dengan alasan
kemudahan referensi dalam makalah ini, tetapi akan sangat baik jika tangram yang
diberikan pada anak, penomoran seperti pada contoh dibawah ini diganti dengan warna-
warna yang berbeda untuk tiap potongannya.
9

Fase 1: Inkuiri
Pembelajaran dimulai dengan bermain. Anak sebaiknya didorong untuk secara
bebas mengeksplorasi media pembelajaran tangram dan dengan demikian menemukan
beberapa sifat dan struktur. Sementara anak sedang bermain, guru memiliki kesempatan
untuk mengamati dan secara informal menaksir pemikiran dan bahasa atau kosakata
yang digunakan anak.

Contoh: Berikan pada setiap anak di kelas satu set tangram dan kemudian berikan
pertanyaan yang sederhana: “Apa yang dapat kamu perbuat dengan potongan-potongan
ini?” Berikan dorongan kepada anak untuk berbagi dan berbicara tentang bangun-
bangun dan gambar-gambar yang telah mereka buat. Berikan waktu yang banyak pada
anak untuk secara bebas mengeksplorasi potongan-potongan tersebut. Selama itu
berlangsung anak akan menjadi terbiasa dengan ukuran dan bentuk dari potongan-
potongan tersebut, dan mereka mulai mengerti bagaimana mereka mencocokkan tiap
potongan. Dengan kata lain, mereka mulai menemukan sifat-sifat dan hubungan-
hubungannya.

Fase 2: Orientasi Langsung


Aktifitas-aktifitas dipresentasikan dalam cara sedemikian rupa, sehingga
perhatian anak terpusat pada karakteristik tertentu dari bangun-bangun atau potongan-
potongan puzzle. Gagasan untuk aktifitas-aktifitas langsung akan muncul dari
memperhatikan anak yang sedang asyik memainkan potongan-potongan tersebut,
sebagaimana beberapa kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya.

Contoh: Dalam bermain bebas seorang anak mungkin telah menggunakan potongan
bernomor 3 dan 5 untuk membuat potongan 6. Maka mintalah anak tersebut untuk
menemukan apakah semua potongan dapat dibuat dari dua potongan yang lebih kecil.
Mereka mungkin akan melakukannya dengan mencocokkan dua potongan secara
bersama dan meletakkannya di atas potongan yang lebih besar. Pertanyaan-pertanyaan
lain yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi adalah:
1. Potongan mana yang dapat dibuat dari tiga potongan lainnya? Arahkan anak untuk
mencatat atau menggambar apa yang mereka temukan dengan cara meletakkan
potongan di atas kertas kemudian melukiskan garis-garis mengikuti keliling bangun.
10

2. Satu aktifitas akan selalu mengarah pada aktifitas lain; Berapa banyak cara yang
berbeda yang dapat dilakukan untuk membuat segitiga terbesar (potongan 1) dengan
menggunakan potongan-potongan lainnya?
3. Pilih dua bangun. Berapa banyak bangun yang berbeda yang dapat kamu buat
dengan dua bangun itu? Gambarkan bangun-bangun itu dan beri mereka nama.
Gunakan tiga bangun untuk membuat satu bangun (bukan seperti yang satu dari
potongan yang lainnya). Berapa banyak cara yang dapat kamu lakukan untuk
membuat bangun ini? Dapatkah kamu membuatnya dengan dan tanpa melihat
nomornya? Gambarkan semua hasil pekerjaanmu.

Dari aktifitas-aktifitas ini anak memperoleh pemahaman yang lebih spesifik


akan sifat-sifat dari bangun-bangun. Mereka akan memperhatikan panjang sisi-sisi, ada
beberapa sisi yang sama dan sisi lainnya yang setengah atau dua kali panjang yang
lainnya. Mereka akan memvisualisasikan bagaimana sudut-sudut akan cocok secara
bersama dan bagaimana membalik dan memutar bangun untuk disesuaikan pada
berbagai ruang.

Fase 3: Eksplikasi
Fase ini melibatkan kegiatan-kegiatan dan permainan-permainan yang dengan
secara sengaja membangun kosakata yang dikaitkan dengan gagasan-gagasan yang telah
ditemukan sejauh ini, sementara melanjutkan untuk mengeksplorasi sifat-sifat dari
bangun-bangun tersebut. Guru mengklarifikasi istilah-istilah yang telah digunakan oleh
anak dan memperkenalkan istilah-istilah baru. Aktifitas-aktifitas yang mendorong anak
untuk menggunakan kosakata sebagaimana yang telah mereka katakan dan tuliskan
tentang pengalaman mereka sebaiknya diterapkan.

Contoh: Selama kegiatan berlangsung, guru memberi nama pada bangun seperti persegi,
segitiga sama kaki, dan jajaran genjang, sebagaimana kosakata lain yang dikaitkan
dengan sifat-sifatnya seperti: serupa, sisi yang sama, sudut yang sama, sudut siku-siku,
sisi-sisi simetri dan sejajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang berikut ini akan
memberikan peluang pada istilah-istilah tersebut untuk digunakan sebagaimana
mengklarifikasi konsep-konsep terkait:
11

1. Bangun-bangun mana yang memiliki sudut siku-siku? Cocokkan mereka dalam satu
tumpukan. (Berapa besar ukuran sudut-sudut yang lain?)
2. Tempelkan setiap bangun pada selembar kertas, kemudian buat gambar pada kertas
dengan mengikuti garis di sekeliling bangun itu, kemudian potonglah. Berapa
banyak garis simeti yang dimiliki setiap bangun?
3. Apa yang sama dari semua segitiga?
4. Bangun-bangun mana yang memiliki sisi-sisi sejajar?
5. Bangun-bangun mana yang memiliki sisi sama panjang? Bangun-bangun mana yang
memiliki sisi sama panjang dengan bangun yang lainnya? Setengahnya atau dua kali
panjangnya?
6. Mainkan permainan “Kantung Misteri” dimana seorang anak meraba bangun yang
tersembunyi dalam kantung dan menggambarkannya.

Anak sebaiknya didorong untuk menjelaskan dan mendemonstrasikan apa yang


mereka temukan, mungkin dengan menggunakan proyektor, atau membuat sebuah
poster.

Fase 4: Orientasi Bebas


Anak diikutsertakan dalam aktifitas-aktifitas dan kegiatan-kegiatan pemecahan
masalah yang berbentuk open-ended atau dapat dilengkapi dengan cara-cara yang
berbeda. Tujuannya adalah agar anak menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan
agar anak menjadi lebih cakap.

Contoh: Anak sebaiknya dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih menantang,


yang diambil dari pengetahuan dan kemampuan yang telah dikembangkan sebelumnya,
seperti:
1. Berapa banyak cara yang dapat kamu lakukan untuk membuat sebuah persegi dari
beberapa atau semua potongan?
2. Lengkapi puzzle tangram klasik dengan outline burung dan binatang atau benda-
benda lainnya seperti gambar di bawah ini.
12

3. Gambarkan sebuah persegi tangram yang lengkap (seperti yang diilustrasikan di


atas) pada kertas dengan grid persegi 8×8, periksa potongan-potongan tersebut
dengan hati-hati terutama hubungan pada grid tersebut, kemudian temukan cara
untuk memperbesar semua potongan.

Fase 5: Integrasi
Kesempatan-kesempatan diberikan pada anak untuk menarik secara bersama
pengetahuan baru mereka dan merefleksikannya sebagai satu keseluruhan. Mereka
harus mampu mengekspresikan atau menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari
dalam beberapa cara.

Contoh: Kelompok kecil dari anak-anak dapat merancang grafik, buku-buku


dokumentasi kelas dan suatu bentuk tayangan yang memperlihatkan apa yang telah
mereka pelajari tentang bangun-bangun tangram. Pasangan-pasangan dari anak-anak
dapat mempersiapkan kartu-kartu “Bangun apakah saya?” yang dapat digunakan dalam
permainan individu atau pun tim. Permainan kelas seperti “Duapuluh Pertanyaan” akan
membantu anak untuk mengorganisasi pengetahuan mereka tentang sifat-sifat dari
bangun-bangun secara logis. Penaksiran individual dapat dilakukan dengan memberikan
kegiatan-kegiatan open-ended pada anak seperti “pilih satu bangun dan tuliskan apa
yang kamu ketahui tentang bangun itu”, dan “pilih bangun lain dan rancang sebuah
kartu “Bangun apakah saya?”.

Penutup

Sebagai satu konsekuensi dari penerapan sederetan aktifitas sebagaimana yang


telah dijelaskan di atas, sebagian besar anak akan mengalami kemajuan dari pengenalan
secara sederhana beberapa bangun, kepada kemampuan untuk mendiskusikan bangun-
bangun dalam istilah sifat-sifat geometris spesifik dan mungkin membuat beberapa
perbandingan diantara bangun-bangun. Dengan kata lain, mereka akan melangkah dari
tingakatan 1 Pemikiran Visual ke tingkatan 2 Pemikiran Deskriptif dalam hal bangun-
bangun yang diberikan pada aktifitas-aktifitas di atas. Meskipun pengetahuan dan
kosakata dikembangkan dengan mengacu pada sekumpulan bangun-bangun spesifik,
akan membantu anak dalam pelajaran bangun-bangun lainnya, banyak pengalaman-
13

pengalaman serupa lainnya yang akan dibutuhkan untuk mengembangkan pemikiran


geometris tentang bidang-bidang yang berbeda. Sebagai contoh, bidang-bidang puzzle
yang diberikan di bawah ini akan memberikan kesempatan yang bagus pada anak untuk
mengeksplorasi jenis-jenis segitiga dan segiempat.

Daftar Pustaka
Armstrong, T. 2003. Sekolah Para Juara, Bandung: Mizan Media Utama.

_________. 2002. 7 Kinds of Smart, disadur oleh T Hermaya, Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

_________. 2002. Setiap Anak Cerdas disadur oleh Rina Buntaran, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Bishop, A.J. 1980. Spatial Abilities and Mathematic Education: A review. Education
studies in mathematic, 11, (pp. 257-269)

Eliot, J. 1987. Model of Psychological Space:Psychometric, Developmental and


Experimental Approaches. New York: Springer-Verlag.

Fuys, Geddes & Tischler. 1988. The van Hiele model of Geometric Thinking Among
Adolescents. Journal of Research in Mathematics Education Monograph 3.

Geary, D.C. 1996. Children’s Mathematical Development. Washington: American


Psychological Association.

Guay, R. dan E. McDaniel. 1977. The Relation between Math Achievement and Spatial
Abilities among Elementary School Children. Journal of Research in Mathematics
Education, 7, (pp. 211-215)

Hardy, Malcolm dan Heyes, Steve. 1988. Pengantar Psikologi.


Terjemahan Soenardji. Beginning Psychology. Jakarta: Erlangga

McGee, M.F. 1979. Human Spatial Ability: Psychometric Studies and Environment:
Genetic, Hormonal, and Neurological Influences. Psychological Bulletin, 5, (pp. 887-
902)
14

Pegg, J. & Davey, G. 1991. Levels of Geometric Thought. The Australian Mathematics
Teacher. Vol.7. No.2.

Piaget, J. dan Inhelder, B. 1971. Mental Imagery in Child. New York: Basic Books.

Santrock, J.W. 2005. Life-Span Development. USA: Brown & Benchmark.

Sherman, J.A. 1980. Mathematics, Spatial Visualization, and Related Factors: Changes
in Girl and Boys grade 8-11. Journal of Educational Psychology, 72, (pp. 476-482)

Smith, P.K. 1980. Spatial Ability. London: University of London Press.

Tambunan, S.M. 2006. Hubungan Antara Kemampuan Spasial dengan Prestasi


Belajar Matematika, Makara, Sosial Humaniora, vol. 10, no. 1, hal: 27-32

Van Hiele, P. 1999. Developing Geometric Thinking Through Activities that Begin with
Play. Teaching Children Mathematics. February 1999. (pp. 310-316)

Zoelandari, M. 2009. Jika Anak Berimajinasi Lewat Gambar,


http://www.inspiredkidsmagazine.com/ArtikelEducation.php?artikelID=68. 20 Maret
2009.

You might also like