You are on page 1of 47

PANDUAN TEORI

RANGKAIAN LISTRIK

Penyusun:

Ir. Syahril Ardi, MT


Afianto

POLITEKNIK MANUFAKTUR ASTRA


Jl. Gaya Motor Raya 8 Sunter II Jakarta Utara 14330
Telepon: 6519555, Fax: 6519821, email: sekretariat@polman.astra.ac.id
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I ALAT-ALAT UKUR LISTRIK I-1
1.1 Pendahuluan I-1
1.2 Alat Ukur Kumparan Putar I-1
1.3 Alat Pengukur Amper dan Volt untuk Arus Bolak-Balik I-2
1.4 Alat Pengukur Daya I-3
1.5 Alat Ukur Elektronik I-6
BAB II RANGKAIAN RESISTIF II-1
2.1 Pendahuluan II-1
2.2 Hukum Ohm II-2
2.3 Hukum Kirchhoff II-2
2.4 Rangkaian Seri II-3
2.5 Rangkaian Paralel II-4
2.6 Rangkaian seri-Paralel II-5
2.7 Pembagian Tegangan II-5
2.8 Pembagian Arus II-6
2.9 Daya II-7
BAB III METODE ANALISIS RANGKAIAN III-1
3.1 Pendahuluan III-1
3.2 Persamaan Simpul (Node) III-1
3.3 Persamaan Mesh III-2
3.4 Teorema Superposisi III-3
3.5 Teorema Thevenin dan Norton III-5
3.6 Transformasi Wye-Delta III-7
3.7 Transfer Daya Maksimum III-9
IV KAPASITANSI DAN INDUKTANSI IV-1
4.1 Pendahuluan IV-1
4.2 Kapasitor/Kapasitansi IV-1
4.3 Kapasitor Paralel IV-3
4.4 Kapasitor Seri IV-4
4.5 Induktor IV-4
4.6 Induktor Seri IV-5
4.7 Induktor Paralel IV-6
BAB V ARUS DAN TEGANGAN BOLAK-BALIK V-1
5.1 Pendahuluan V-1
5.2 Rangkaian Arus Bolak-Balik V-2
BAB VI DAYA DAN FAKTOR DAYA VI-1
6.1 Daya Dalam Kawasan Waktu VI-1
6.2 Daya dalam Keadaan Tunak (Steady-State) Sinusoida VI-1
6.3 Segitiga Daya, Daya Kompleks VI-3
6.4 Peningkatan/Perbaikan Faktor Daya VI-4
BAB VII LAMPU TABUNG FLUORESEN VII-1
7.1 Pendahuluan VII-1
7.2 Kumparan Hambat (Ballast) VII-2
7.3 Starter VII-2
7.4 Kompensasi Fakto Daya (cos ) VII-3
7.5 Efek Stroboskop dan Hubungan Duo VII-4
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
ALAT-ALAT UKUR LISTRIK

1.1 Pendahuluan
Besaran listrik seperti arus, tegangan, daya dan sebagainya tidak dapat secara
langsung kita respons dengan panca indera kita. Untuk pengukurannya maka besaran listrik
ditransformasikan melalui suatu fenomena fisis sehingga dapat diamati oleh panca indera
kita. Misalnya arus listrik ditransformasikan ke dalam besaran mekanis. Perubahan tersebut
bisa merupakan suatu rotasi melalui suatu sumbu tertentu, di mana besar sudut rotasi
berhubungan langsung dengan besarnya arus listrik yang diamati.

1.2 Alat Ukur Kumparan Putar


Adalah alat ukur yang bekerja atas dasar prinsip adanya suatu kumparan listrik,
yang ditempatkan pada medan magnet, yang berasal dari suatu magnet permanen. Arus
yang dialirkan melalui kumparan akan menyebabkan kumparan tersebut berputar. Jenis
arusnya dapat arus searah maupun arus bolak-balik dan dapat digunakan untuk mengukur
besaran arus dan tegangan.

Keterangan:
1. Magnet tetap
2. Kutub sepatu
3. Inti besi lunak
4. Kumparan putar
5. Pegas spiral
6. Jarum penunjuk
7. Rangka kumparan
putar
8. Tiang poros
Gambar 1.1 Prinsip kerja alat ukur jenis kumparan putar.

Gambar 1.2 Skala alat ukur jenis kumparan putar.

Gambar 1.3 Konstruksi bagian-bagian bergerak suatu alat ukur kumparan putar

1.3 Alat Pengukur Amper dan Volt untuk Arus Bolak Balik
Alat ukur kumparan putar tidak dapat digunakan untuk pengukuran arus bolak balik.
Akan tetapi karena kepekaannya yang baik dan pula pemakaian sendirinya yang kecil,
maka berbagai peralatan pembantu telah ditemukan sehingga alat ukur kumparan putar
dapat digunakan sebagai alat pengukur arus maupun tegangan pada arus bolak-balik.
Alat pembantu tersebut beraneka macam, diantaranya: penyearah arus (rectifier) bisa
dengan dioda, dengan bantuan thermoelektris dan transistor.
Ada 3 besaran arus dan tegangan pada arus bolak-balik, yaitu:
a. Harga maksimum. Harga maksimum atau harga puncak (peak), adalah harga
maksimum dari amplitudo arus bolak-balik. Diperlihatkan sebagai Im pada gambar
gelombangnya. Harga puncak ini menyatakan besarnya sinyal atau gangguan dalam
rangkaian elektronika.
b. Harga rata-rata. Yaitu harga rata-rata dari besar arus yang diambil melalui suatu
jangka waktu selama setengah periode dari arus bolak-balik. Alasan setengah periode
karena bentuk gelombang arus bolak-balik adalah simetris.
c. Harga efektif (rms: root mean square): kalau arus I dialirkan ke dalam tahanan R,
maka daya sebesar I2R dipakai dalam tahanan R. Fenomena ini juga terjadi jika arus
bolak balik I dialirkan melalui tahanan R, maka daya sebesar I2R dipakai pula di dalam
tahanan. Tetapi nilai efektif I bolak-baliknya = 0,707. Im

Tabel 1.1 Beberapa bentuk gelombang arus Bolak-Balik

1.4. Alat Pengukur Daya (Wattmeter)


Untuk arus searah, maka daya yang dipakai dalam beban dari tahanan R dapat
dinyatakan sebagai berikut:
P = VI = I2R = V2/R

Dimana V adalah tegangan beban dan I adalah arus beban.


Untuk jala-jala arus bolak-balik, daya yang dipakai dalam beban pada saat dimana
tegangan beban dan arus beban adalah v dan i, maka harga sesaat daya dapat dinyatakan
sebagai berikut:
p = vi
Bila sekarang tegangan dapat dinyatakan sebagai fungsi sinus dan ditulis sebagai
v = Vm sin t
Bila tahanan beban adalah R maka arus beban dapat dinyatakan sebagai:
Vm
i R
sin t  I m sin t
Dengan demikian p dapat dinyatakan sebagai:

p  Vm I m sin 2 t

Vm I m
p 2
(1  cos 2t )

Sesuai dengan definisi dari harga efektif, maka harga rata-rata daya p melalui suatu periode,
yaitu harga rata-rata P, dinyatakan sebagai:
Vm I m 2
p 2
 VI  I 2 R  VR

Di mana V dan I adalah harga efektif dari v dan i masing-masing.

Misalkan sekarang beban adalah kombinasi antara tahanan dan reaktansi, yaitu dinyatakan
sebagai Z = R + j.x di mana R adalah tahanan dan x adalah reaktansi, maka:

i  I m sin t
p  Vm I m sin t. sin(t   )

Dengan tan  = X/R, dan akan didapat:

p  VI cos (1  cos 2t )  VI sin  sin 2t

Gambar 1.4 Beban umum vs. daya arus Bolak-Balik

Harga rata-rata P adalah;

p  VI cos 

V.I disebut daya semu, dan cos  sebagai faktor daya.


1.4.1 Pengukuran Daya dengan Alat Ukur Volt-meter dan Alat Ukur Amper-meter
Daya arus searah dapat diukur dengan alat pengukur volt-meter dan alat pengukur
amper-meter, yang dihubungkan seperti diperlihatkan Gambar 1.5 di bawah. Dalam hal ini
maka penting untuk memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi karena alat ukur itu sendiri.

Gambar 1.5 Pengukuran daya memakai volt-meter dan ammeter.

Misalkan bahwa bila beban tahanan adalah R, tegangan beban adalah V dan arus
beban adalah I, sedangkan alat-alat ukur volt-meter dan amper-meter mempunyai tahanan-
tahanan dalamnya Rv dan Ra, menunjukkan Vv dan Ia. Dari Gambar 1.5 (a) akan
didapatkan:
Vv = I.R + I.Ra; Ia = I

Maka daya yang akan diukur adalah:


W = I2.R = Vv.Ia - I2a.Ra
Dan dari Gambar 1.5 (b)
W = V.I = Vv.Ia - V2v/Rv

Jika tahanan dalam alat ukur volt-meter adalah 10 k, sedangkan volt-meter
menunjukkan 100 V, dan pembacaan pada alat ukur amper-meter sama dengan 5 A, maka
daya pada beban adalah:

W = 100 x 5 - (1002/104) = 499 W.

1.4.2 Pengukuran Daya Tiga Fase


Daya dalam jaringan-jaringan tiga fase dengan tiga penghantar dapat diukur dengan
menggunakan 2 alat ukur watt-meter satu fase, seperti pada gambar di bawah, dan dengan
menjumlahkan secara aljabar hasil-hasil penunjukannya. Cara ini disebut dengan metode
dengan dua alat ukur watt-meter.

Gambar 1.6 Pengukuran daya tiga fase dengan metode 2 watt-meter

Persamaan yang didapat sebagai berikut:

W1  V12 I1 cos1  1 
W2  V32 I 3 cos 3   3 

Bila tegangan dalam jaringan-jaringan tiga fase ini seimbang, maka V1,2 = V2,3 = V3,1 dan 1
= 3 = 300, lagipula bila bebannya seimbang maka I1 = I3 = I, dan 1 = 3 = . Sehingga
didapat:


W1  VI cos 30 0   
W2  VI cos30 0
 

1.5 Alat Ukur Elektronik


1.5.1 Alat ukur digital
Alat ukur digital menunjukkan besaran yang diukur (tegangan, arus, tahanan, dll)
dalam bentuk angka. Dengan alat ukur digital, kesalahan (error) pembacaan dapat
dihilangkan oleh penunjukan langsung dengan angka dari besaran yang diukur, dan titik
desimal ditunjukkan pula secara langsung untuk memudahkan pengukurannya.
Di samping itu, keuntungan lainnya adalah penggunaan sinyal digital untuk
pencetakan atau perekaman langsung yang kemudian dapat diolah dengan komputer.
Gejala-gejala yang diukur kebanyakan berubah secara kontinyu (dalam bentuk analog).
Jika digunakan alat ukur digital untuk gejala-gejala tersebut, maka perlu diubah menjadi
besaran-besaran digital.
Alat yang dipakai untuk mengubah ini disebut pengubah analog-digital (A-D
converter), merupakan bagian penting dari alat ukur digital.

Gambar 1.7 Prinsip voltmeter digital (dengan metode perbandingan)

1.5.2 Osiloskop (Oscilloscope)


1.5.2.1 Real Time Oscilloscope
Jenis ini dipakai untuk mengamati bentuk-bentuk gelombang tunggal, dan banyak
dipakai karena mudah sinkronisasinya serta kerjanya baik sekali untuk pengamatan-
pengamatan bentuk gelombang.
Pertimbangan osiloskop dalam operasinya: daerah frekuensi dan sensitivitas. Jenis
Real Time mempunyai harga maksimum 500 MHz dan 10 mV/cm bergantung pada lebar
band dalam band amplifier atau jika tanpa memakai amplifier, DC sampai 1 GHz dan 5
V/cm.
Tabung cathode-ray yang dipakai di sini adalah dasar dari teknik serat optik (fibre
optics). Layar (screen) dibuat dari bundel serat optik, dan dipakai sebuah lapisan
fluorescence pada permukaannya untuk memperbaiki terangnya.
Gambar 1.8 Penyimpangan suatu sinar elektron dalam suatu CRT

1.5.2.2 Storage Oscilloscope


Pada osiloskop biasa, bentuk cahaya akan menghilang cepat dengan bergeraknya
sinar elektron pada layar fluorescence CRT, dan agar bentuk gelombang yang diamati
merupakan suatu gambar diam pada CRT, dipersyaratkan sinar elektron menyinari jejak
yang sama secara periodik. Tetapi hal ini bukanlah suatu kerugian, karena sering
dikehendaki agar bintik cahaya yang dihasilkan oleh penyinaran dari sinar elektron
menghilang cepat.
Tabung-tabung storage telah dibuat yang memungkinkan perekaman tetap dari
gejala yang cepat atau untuk mengamati gejala yang hanya terjadi sekali pada CRT.
Osiloskop yang dilengkapi dengan tabung storage disebut storage oscilloscope.
Prinsip tabung storage adalah: jika suatu sinar elektron mengenai layar fluorescene
atau CRT, maka terjadi pemancaran elektron sekunder. Jika elektron-elektron dipercepat,
satu elektron akan menyebabkan terjadinya pancaran dua atau lebih elektron sekunder, dan
titik di mana elektron-elektron dipancarkan akan bermuatan +.

Gambar 1.9 Prinsip penyimpanan "storage CRT"


BAB II
RANGKAIAN RESISTIF

2.1 Pendahuluan
Semua benda tersusun atas atom-atom, dan setiap atom terdiri atas pertikel-partikel
yang dinamakan proton, elektron, dan neutron. Elektron bermuatan negatif, proton
bermuatan positif, sedangkan neutron tidak bermuatan (netral).
Satuan dari muatan adalah Couloumb, dan disimbolkan dengan Q. Dalam hal ini muatan
sebuah elektron adalah –1,60219  10-19 C.
Bila dalam suatu konduktor, muatan bergerak terus-menerus, kita katakan bahwa
pada konduktor tersebut terdapat arus. Bila pergerakan muatan mempunyai arah yang tetap
(tak berubah oleh waktu) dikatakan arus searah (DC: Direct Current), tetapi jika
pergerakannya berubah terhadap waktu disebut arus bolak-balik (AC: Alternating Current).
Jika muatan sebesar q (C) bergerak melalui suatu luasan penampang suatu
konduktor selama t detik (s), arusnya adalah:

q
i t

dq
Atau i dt

Satuan dari arus adalah ampere (A) dan disimbolkan dengan huruf I atau i.
Arus akan mengalir apabila dalam ujung-ujung kawat penghatar terdapat beda
potensial atau tegangan. Satuan tegangan adalah Volt dan dilambangkan dengan huruf V
atau v terkadang juga disimbolkan dengan E atau e.
Penggunaan simbol dengan huuf besar untuk menyatakan nilai-nilai rms, rata-rata
atau nilai maximum, sedangkan simbol dengan huruf kecil digunakan untuk menyatakan
nilai sesaat atau nilai yang terhadap waktu.

2.2 Hukum Ohm


Hukum Ohm mengatakan bahwa arus yang mengalir dalam suatu rangkaian adalah
berbanding lurus dengan tegangan dan berbanding terbalik dengan resistansi (hambatan).

i  VR

Satuan hambatan adalah ohm dan dilambangkan dengan huruf .

2.3 Hukum Kirchhoff


2.3.1 Hukum Arus Kirchhoff
Hukum Arus kirchhoff mengatakan bahwa jumlah aljabar dari semua arus yang
memasuki suatu node (titik percabangan) sama dengan nol.

In = 0
Biasanya kita memberi tanda positif untuk arus yang masuk dari titik percabangan
dari tanda negatif untuk arus yang keluar titik percabangan. Dalam kasus seperti Gambar
2.1. kita dapat menuliskan persamaan hukum arus kirchhoff sebagai berikut :

I1 + I2 + I3 - I4 = 0

I1
I4

I2
I3

Gambar 2.1 Hukum arus Kirchhoff

2.3.2 Hukum Tegangan Kirchhoff


Hukum tegangan ini mengatakan bahwa jumlah aljabar dari tegangan-tegangan di
sekeliling suatu rangkaian tertutup sama dengan nol.
En = 0

Untuk tegangan searah jarum jam kita beri tanda positif dan untuk yang berlawanan
dengan arah jarum jam kita beri tanda negatif. Dalam kasus seperti Gambar 2.2 kita dapat
menuliskan hukun tegangan kirchhoff sebagai berikut:

E1 + I1.R1 + I2.R2 + I3.R3 - E2 + I4.R4 = 0

I1 R1 I2
E1
R4
R2
I4 I3

E2 R3

Gambar 2.2 Hukum tegangan Kichhoff.

2.4 Rangkaian Seri


Dua elemen dikatakan seri, jika dan hanya jika:
1. Ujung terminal dari dua elemen tersebut terhubung dalam suatu simpul.
2. Ujung elemen yang lain tidak terhubung dalam satu (terpisah).

Jika kita memiliki rangkaian gabungan seri dari n tahanan seperti Gambar 2.3, maka kita
dapat mengganti tahanan-tahanan ini dengan satu tahanan tunggal yaitu Rek atau dapat
pengganti, di mana:
Rek = R1 + R2 + … + Rn

+ V1 - + V2 - + Vn -

R1 R2 Rn
R ek
E E
Gambar 2.3 Rangkaian yang berisi gabungan seri n tahanan

2.5 Rangkaian Paralel


Dua elemen dikatakan paralel, jika dan hanya jika:
1. ujung dari dua elemen terhubung dalam satu simpul.
2. Ujung-ujung elemen yang lain terhubung dalam satu simpul yang lain pula.
Jika kita mempunyai gabungan paralel dari n tahanan, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.4, maka kita dapat mengganti tahanan ini dengan satu tahanan tunggal:

1
Rek
 1
R1
 1
R2
 ...  1
Rn

I1 I2 In I
R1 R2 Rn R ek
E E

Gambar 2.4 Rangkaian yang berisi gabungan paralel n tahanan

2.6 Rangkaian Seri-Paralel


Rangkaian ini terdiri dari beberapa tahanan yang tersusun seri maupun paralel yang
dapat diganti dengan satu tahanan yang lebih sederhana.
Adapun tahapan-tahapan dalam menyelesaikan rangkaian gabungan seri-paralel ini adalah
sebagai berikut;
1. Gambarkan lagi rangkaian aslinya dengan rangkaian baru yang lebih mudah dimengerti.
2. Jika dalam suatu rangkaian kombinasi paralel terdapat dua atau lebih tahanan seri,
dapatkan nilai total dari tahanan seri tersebut dengan menjumlahkannya.
3. Gunakan rumus tahanan paralel untuk mendapatkan tahanan total dari rangkaian bagian
paralel.
4. Tambahkan rangkaian yang tersusun paralel tersebut dengan yang tersusun seri
dengannya.

2.7 Pembagian Tegangan


Seringkali terjadi dalam suatu analisis rangkaian, kita sudah mengetahui tegangan
total dari resistor yang terhubung seri, kemudian kita ingin mendapatkan tegangan di salah
satu resistornya seperti Gambar 2.5.
Karena arus yang mengalir dalam rangkaian yang terhubung seri adalah sama di
setiap elemennya, maka kita dapat menyelesaikannya melalui persamaan arus I..

I + V1 -

+ R1
+
V0 V2 R2
-
-
Gambar 2.5 Pembagian Tegangan
V0 V0
I Rek
 R1 R2

Dengan menggunakan hukum Ohm pada R2, maka:

V2  I .R2
R2
 .V
R1 R2 0

Dengan cara yang sama kita bisa mendapatkan tegangan di R1.

R1
V1  .V
R1 R2 0

2.8 Pembagian Arus


Diberikan arus total I0 untuk 2 resistor yang terhubung paralel seperti Gambar 2.6
di bawah. Arus I0 bercabang menjadi I1 dan I2.
Karena tegangan pada resistor yang terhubung paralel adalah sama, maka kita dapat
menyelesaikannya melalui persamaan tegangan V.

I0

+ I1 I2

V R1 R2

Gambar 2.6 Pembagian Arus

V  I 0 .Rek
 I0.  R1. R2
R1 R2

Kemudian:
V
I
R1
 R2 
 I 0 . 
 R1  R2 

Dengan cara yang sama kita bisa mendapatkan I2:

 R1 
I2  I 0 . 
 R1  R2 

2.9 Daya
Jika arus I mengalir melalui hambatan R dan tegangan pada ujung-ujung hambatan
adalah V, maka daya yang diserap oleh hambatan tersebut adalah:

P = V.I
Satuan daya adalah Watt = Joule/detik.
Karena I = V/R dan V = I.R, maka rumus daya di atas dapat dinyatakan pula:
2
P  VR
P  I 2 .R
BAB III
METODE ANALISIS RANGKAIAN

3.1 Pendahuluan
Ada berbagai macam cara untuk menyelesaikan suatu jaringan listrik, diantaranya :
 Persamaan Simpul
 Persamaan Mesh
 Teorima superposisi
 Teorima Thevenin dan Norton
 Transformasi Wye – Delta
 Transfer Daya Maksimum

3.2 Persamaan Simpul (Node)


Metode ini didasarkan atas hukum arus Kirchhoff. Langkah-langkah penggunannya
bisa dijelaskan sebagai berikut :
 Gambarlah diagram rangkaian yang lebih sederhana. Anggaplah bahwa rangkaian
mempunyai n simpul. Pilih salah satu simpul referensi, lalu groundkan simpul referensi
tersebut.
 Tuliskan persamaan untuk masing-masing tegangan sumber.
a. Besarnya tegangan pada setiap simpul yang terhubung ke ground dengan sumber
tegangan sama dengan sumber tegangan itu sendiri.
b. Untuk sumber tegangan yang tidak terhubung ke ground, tulislah persamaan
tegangan dari tegangan simpul yang satu ke tegangan simpul yang lain.
 Tulislah persamaan KCL (Kirchhoff Current Law) untuk masing-masing simpul yang
tersisa. (V1-V2) diartikan sebagai tegangan simpul 1 terhadap tegangan simpul 2.
 Selesaikan persamaan pada step 1 dan step 3.
Contoh 1:
+ v1 - - v2 +
a 6 ohm b 2 ohm a 6 ohm b 2 ohm
c c

i2
i1 i3
+
6V 3 ohm 22 V 6V 3 ohm 22 V
v3
-

d d

Penyelesaian :
Step 1 Node d mempunyai 2 sumber tegangan yang terhubung dengannya. Sedang node
yang lain mempunyai satu atau tidak sama sekali. Groundkan node d.
Step 2 Va = 6V dan Vc =2 2V
Step 3 pada node b i1 + i2 + i3 = 0

V1 V2 V3
6
 2
 3
0

Di mana: V1 = Va – Vb = 6 - Vb
V2 = Vc – Vb = 22 – Vb

Step 4 6 Vb 22Vb Vb


6
 2
 3
0

Vb = 12 V
Maka kita akan mendapatkan arus:

6 Vb
i1  6
 1A
22V
i2  2 b  5 A
i3   I1  I 2  4 A

3.3 Persamaan Mesh


Metode ini didasarka atas hukum tegangan Kirchhoff (KVL). Konsep dasar dari
analisa ini adalah loop arus.
Metode ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
 Pastikan bahwa rangkaian adalah sebidang (tidak terjadi cross over).
 Dengan menganggap rangkaian mempunyai n mesh, tentukan arus mesh sesuai dengan
arah jarum jam atau sebaliknya.
 Tulislah persamaan tegangan dari masing-masing resistor yang dilalui arus mesh.
 Selesaikan persamaan-persamaan yang sudah ditentukan tadi.

Contoh 2:
i1 i2
3 ohm 2 ohm 3 ohm 2 ohm
+ -
+ -
+ v1 - i3 - v2 +
+
-
+
26 V 1 ohm 12 V 6V 12 V
v3
- 1 ohm
- +

Penyelesaian :
26 – 3ia – 1ia + 1ib = 0
- 1ia – 1ib – 2ib – 12 = 0
atau 4ia – 1ib = 26
- 1ia + 3ib = -12
sehingga ia = 6 A
dan ib = - 2 A
dengan demikian elemen – elemen yang lain bisa diperoleh dengan cepat :
i1 = ia = 6A V1 = i1.R1 = 18 V
i2 = -ib = 2A V2 = i2.R2 = 4 V
i3 = ia – ib = 8 A V3 = i3.R3 = 8V

3.4 Teorema Superposisi


Teorema Superposisi menyatakan bahwa: Arus yang mengalir dalam suatu jaringan
yang mengandung beberapa sumber tegangan atau arus, atau kombinasi keduanya
merupakan penjumlahan dari arus-arus yang mengalir dalam rangkaian tersebut jika setiap
sumber bekerja dengan sumber lain diganti dengan impedensi dalamnya masing-masing,
yaitu terhubung singkat untuk sumber tegangan dan terbuka untuk sumber arus.

Contoh 3:
Carilah Va dan I dari rangkaian di bawah ini :
4 ohm a 2 ohm

2ohm 2A
10 V

Penyelesaian:
Pertama set-lah sumber tegangan menjadi nol dengan membuat rangkaian menjadi
hubung singkat, seperti rangkaian berikut ini :

4 ohm v1 2 ohm

i1

2ohm 2A

Kemudian carilah i1 dan V1. Dengan pembagian arus kita dapatkan:

 4  4
i1  2  3 A
 42
V1  i1.R  34 .2  83 V
Kemudian set-lah sumber arus menjadi nol dengan membuat rangkaian menjadi terbuka
seperti gambar berikut ini:

4 ohm v2 2 ohm

i2

2ohm
10 V
Dengan pembagian tegangan kita bisa mendapatkan i2 dan V2:

 2  10
V2  10  3 V
24
10
V2
i2  R
 3
 53 A
2

Setelah itu jumlahkan masing-masing arus dan tegangan yang sudah didapat tadi :

V  V1  V2 i  i1  i2
 83  10
3
 4
3
 55
 6V  3A

3.5 Teorema Thevenin dan Norton


Jika kita ingin menentukan arus, tegangan dan daya yang diberikan pada tahanan
beban yang berbeda-beda dari suatu rangkaian yang mungkin terdiri dari beberapa sumber
dan tahanan, maka dengan teorema Thevenin kita bisa menyelesaikannya dengan mudah.
Sedangkan teorema Norton merupakan kelanjutan dari adanya teorema Thevenin.
Teorema Thevenin menyatakan bahwa: Adalah mungkin mengganti semua
rangkaian kecuali tahanan beban, dengan sebuah rangkaian ekivalen yang hanya
mengandung sumber tegangan bebas yang seri dengan sebuah tahanan.
Dengan menggunakan teorema Norton kita dapatkan sebuah rangkaian ekivalen
yang terdiri dari sebuah sumber arus bebas dan paralel dengan sebuah tahanan.
Ada beberapa hal yang harus diingat berkenaan dengan rangkaian ekivalen
Thevenin dan Norton :
 Sumber tegangan dalam rangkaian ekivalen Thevenin (VTH) adalah tegangan open
circuit.
 Sumber arus dalam rangkaian ekivalen Norton adalah arus short circuit (ISC).
 Resistor seri dalam rangkaian Thevenin identik dengan resistor paralel dalam rangkaian
Norton. Nama lain dari rangkaian tersebut adalah RTH dan RN.
 Sesuai dengan hukum Ohm, hubungan antara VTH, RTH, dan ISC adalah VTH = ISC. RTH.

Contoh 4:
Dapatkan rangkaian ekivalen Thevenin dan Norton untuk rangkaian yang
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
2 ohm

3ohm 10 V

Penyelesaian:
Selesaikan rangkaian untuk tegangan open circuit dengan pembagian tegangan:
 3 
Vab  VOC   .10
32
VOC  6V  VTH

Selesaikan rangkaian untuk arus short circuit :

2 ohm 2 ohm

i sc 3ohm 10 V R 3ohm

Tidak ada arus yang mengalir di tahanan 3  , sehingga :

i  iSC  10
2
 5A  IN

Tahanan output (RTH = RN) diperoleh dengan mengganti sumber 10 V dengan rangkaian
short circuit.
Dengan demikian rangkaian ekivalen Thevenin dan Norton bisa digambarkan seperti
rangkaian berikut ini :

6/5 ohm

6V 6/5 ohm 5A
3 ( 2)
R  RTH  RN  3 2
 65 
Hasil ini bisa dicek dengan hukum Ohm:
VTH = IN . RTH 6 = 5(6/5)

3.6 Transformasi Wye - Delta


Sebelumnya sudah dibahas rangkaian ekivalen dari resistor-resistor hubungan seri
maupun paralel. Sekarang kita akan memperoleh rangkaian ekivalen dari resistor-resistor
yang terhubung pada tiga terminal, yang biasa dikenal dengan rangkaian wye dan delta.
Lihat gambar 3.1, asumsikan bahwa resistor delta R1, R2, dan R3 diketahui. Maka
nilai Ra, Rb, dan Rc dari rangkaian wye bisa diturunkan lewat persamaan di bawah ini:

Gambar 3.1 jaringan resistive 3 terminal hubungan delta dan hubungan wye.

Resistensi pada titik a-b = Ra+Rb = R3//(R1+R2)


R3 R1  R2 
Ra  Rb 
R1  R2  R3

Resistansi pada titik b-c = Rb+Rc = R1//(R2+R3)

R1R2  R3 
Rb  Rc 
R1  R2  R3
Resistansi pada titik a-c = Ra+Rc = R2//(R1+R3)

R2 R1  R3 
Ra  Rc 
R1  R2  R3
Kalikan persamaan kedua dengan -1, kemudian jumlahkan ketiga persamaan
tersebut, maka hasilnya adalah:

R2 .R3
Ra 
R1  R2  R3
R1.R3
Rb 
R1  R2  R3
R1.R2
Rc 
R1  R2  R3

Untuk mengubah nilai resistansi wye menjadi resistansi delta, didapatkan:

Ra .Rb  Rb .Rc  Rc .Ra


R1 
Ra
Ra .Rb  Rb .Rc  Rc .Ra
R1 
Ra
Ra .Rb  Rb .Rc  Rc .Ra
R1 
Ra

Contoh 5:
Dapatkan tahanan ekivalen rangkaian Gambar (a). Semua tahanan bernilai 1 

Penyelesaian:
Gunakan tranformasi wye-delta. Lihat gambar (b), dari persamaan diperoleh :

R  1111  3

Kemudian pada gambar (c), tahanan 3  paralel dengan 1 :

3 (1)
Rp  3 1
 34 
3(6 4)
Sehingga : Rek  3 6 4
 1

3.7 Transfer Daya Maksimum


Dalam suatu rangkaian yang hanya terdiri dari arus-arus searah (DC), daya
maksimum ditransfer ke suatu elemen ketika resistensinya sama dengan resistensi ekivalen
Thevenin dari rangkaian yang tersisa.
Pernyataan ini adalah prinsip transfer daya maksimum versi dc.

R'=10 ohm I

10 V PL RL

Gambar 3.2 rangkaian ekivalen Thevenin dengan resistansi beban variabel.

Dalam Gambar 3.2, tegangan dan hambatan Thevenin E’ dan R’ harus dipandang sebagai
rangkaian ekivalen yang sederhana atau lomplek. RL adalah elemen, di mana kita
menginginkan untuk memaksimalkan daya.

E'
IL 
R' RL

PL  I 2
.R L 
 E '2  RL

(10) 2  RL
R' RL 2 (10  RL ) 2
BAB IV
KAPASITANSI DAN INDUKTANSI

4.1 Pendahuluan
Pada bab ini akan dijelaskan dua elemen rangkaian penyimpan energi, yaitu
kapasitor dan induktor. Dua elemen ini mempunyai kemampuan untuk menyerap energi
dalam suatu rangkaian. Energi ini disimpan sementara kemudian dikembalikan lagi ke
rangkaian.
Kapasitor menyimpan energi dalam bentuk medan listrik, sedangkan induktor
menyimpan energi dalam bentuk medan magnet.

4.2 Kapasitor/Kapasitansi
Gambar 4.1 memperlihatkan bagian yang penting dari suatu kapasitor. Dia terbuat
dari dua pelat penghantar paralel yang dipisahkan oleh bahan yang bersifat insulator, yang
dinamakan dielektrik. Sebuah sumber tegangan dihubungkan ke ujung-ujung kapasitor
akan membangkitkan medan listrik di antara pelat penghantar, di mana energi yang
disimpan diambil dari sumber.

Gambar 4.1 (a) kapasitor dengan 2 pelat penghantar paralel


(b) Simbol kapasitor
(a) (b)

(c)

Gambar 4.2 Berbagai jenis kapasitor: (a) kapasitor elektrolit;


(b) kapasitor kertas; (c) kapasitor variabel

Dielektrik akan mencegah arus yang megalir saat tegangannya konstan (dc), tetapi
pada tegangan yang berubah terhadap waktu akan menghasilkan arus yang proporsional
terhadap kecepatan perubahan tegangan, yaitu :

i (t )  C dv
dt

Kapasitas dari suatu kapsitor (C), menyatakan suatu kemampuan untuk menyimpan
energi, diukur dalam satuan Farad. Besarnya kapasitansi itu sendiri dinyatakan sebagai:

C  d A

Di mana A adalah luas penampang pelat, d jarak antara dua pelat paralel, sedangkan
 permitivitas dari bahan dielektrik, untuk ruang hampa o= 8.854 pF/m. Simbol kapasitor
ditunjukkan pada Gambar 4.1b.
Muatan kapasitor berbanding langsung dengan tegangan:

q  C  v(t )
Gambar 4.3 Kapasitor dihubungkan dengan sumber tegangan V

Ini menunjukkan bahwa tegangan tidak dapat berubah dengan tiba-tiba dari satu nilai ke
nilai yang lain.
Sedangkan energi yang tersimpan di dalam kapasitor dirumuskan:

W  q.Vrata  rata
2
 q. 21 V  21 CV 2  1q
2 C

4.3 Kapasitor Paralel


Kapasitansi ekivalen Cp dari dua kapasitor yag terhubung paralel, dapat dihitung
secara mudah. Lihat Gambar 4.4, arus total ip adalah jumlah dari arus yang melewati tiap-
tiap kapasitor, sedangkan tegangannya adalah sama.

Gambar 4.4 Kapasitor Paralel.

dv p
ip  Cp dt
dv p dv p
i p  i1  i2  C1 dt
 C2 dt
dv p
i p  (C1  C2 ) dt
Kita bandingkan, terlihat bahwa kapasitor ekivalen dari dua kapasitor yang tersusun paralel
adalah:
Cp = C1 + C2

4.4 Kapasitor Seri


Kapasitor ekivalen seri dari dua kapasitor C1 dan C2 dapat ditentukan dengan cara
yang sama. Dalam hubungan seri, arus masing-masing kapasitor adalah sama. Tegangan
pada kapasitor ekivalen tunggal pada tiap-tiap kapasitor, lihat Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Kapasitor Seri

1
Cs
 1  1
C1 C2
C1C2
Cs  C1C2

4.5 Induktor
Sebuah induktor fisis dapat dibuat dengan melilitkan sepotong kawat menjadi
sebuah koil. Energi disimpan dalam medan magnet di sekitar koil tersebut saat arus
melewatinya. Tidak ada tegangan yang melintasi sebuah konduktor pada arus yang konstan.
Dengan kata lain, induktor dapat dipandang sebagai hubungan pendek bagi arus dc, tetapi
pada arus yang berubah-ubah terhadap waktu, tegangan yang melintasi induktor akan
sebanding dengan laju perubahan arus yang melewati induktor terhadap waktu, pernyataan
ini bisa dituliskan sebagai :
v(t )  L dt
di

L adalah induktansi dari suatu konduktor, yang menyatakan kemampuan untuk


menyimpan energi dalam suatu medan magnet, atau kemampuan suatu induktor untuk
menghasilkan e.m.f induksi. Diukur dalam satuan Henry (H).
Nilai induktansi (L), dipengaruhi oleh jumlah lilitan (N), luas penampang (A), dan
panjang kawat (I), sesuai dengan persamaan di bawah ini :

 .N 2 . A
L I

Persamaan energi yang disimpan dalam suatu konduktor:

W  21 L.i 2
Induktor terdapat pada gulungan kumparan dalam motor listrik, transformator dan
alat-alat yang serupa memiliki induktansi dalam model-model rangkaiannya.

4.6 Induktor Seri


Kita bisa mendapatkan induksi ekivalen Ls dan dua induktor L1 dan L2 yang
terhubung seri dengan menjumlahkan tegangan pada masing-masing induktor, seperti
Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Induktor Seri.

Kita dapatkan bahwa untuk induktor seri berlaku:


Ls = L1 + L2

4.7 Induktor Paralel


Induktansi ekivalen Lp dari dua induktor L1 dam L2 dalam hubungan paralel bisa
diperoleh dengan rumus berikut ini. Kita lihat Gambar 4.7

Gambar 4.7 Induktor Paralel

1
Lp
 1
L1
 1
L2
BAB V
ARUS DAN TEGANGAN BOLAK-BALIK

5.1 Pendahuluan
Arus atau tegangan bolak-balik adalah arus atau tegangan yang mengalir dalam dua
arah dan nilainya selalu berubah terhadap waktu. Bentuk sinyal arus atau tegangan bolak-
balik ini kalau dilihat dengan menggunakan osiloskop merupakan bentuk gelombang sinus.
Bentuk gelombang sinus dapat digambarkan sbb:

Gambar 5.1 Gelombang sinus

Secara matematis, tegangan gelombang sinus ini dapat dinyatakan dengan persamaan:
v  V sin(t   )
Atau
v  V cos(t    90 0 )
Di mana kita biasanya akan menganggap t dinyatakan dalam radian dan  dalam derajat.
Frekuensi gelombang f dalam Hz dan periode T dalam detik, diberikan oleh:

f  T1  
2

Di mana  adalah dalam rad/detik.


Sedangkan untuk arus listrik:

i  I cos(t   )
Atau

i  I sin(t    900 )
5.2 Rangkaian Arus Bolak-Balik
5.2.1 Resistor
Perhatikan rangkaian arus bolak-balik yang terdiri dari sebuah resistor seperti Gambar di
bawah.

Gambar 5.2 (a) Rangkaian seri resistor R dengan sumber tegangan ac;
(b) grafik arus dan tegangan mempunyai fase yang sama;
(c) diagram fasornya

Tegangan pada resitor Vr sama dengan tegangan sumber ac sehingga untuk rangkaian
resistif dapat ditulis:

VR  Vm sin t
Vm
IR  R
sin t  I m sin t

5.2.2 RL Seri
Rangkaian yang diperlihatkan pada Gambar 5.3 di bawah, memiliki arus terpasang
i = I.sint. Maka:
VR  R.i  Vm sin t
VL  L dt
di
 LI sin(t  90 0 )

XL = L (Ohm), disebut juga sebagai reaktansi induktif.

Sedangkan tegangan totalnya:

V  VR2  VL2
Gambar 5.3 (a) Rangkaian RL seri; (b) grafik sinusoida tegangan dan arus

Beda fasenya dapat menggunakan hubungan:

VL V

VR I

Gambar 5.4 Diagram fasor

tan   VL
V
R

5.2.3 RC Seri
Rangkaian yang diperlihatkan pada gambar di bawah, memiliki arus terpasang I = I.sint.
Maka:
VR  R.i  Vm sin t
VC  X C .i  1.C I sin(t  90 0 )
XC = 1/C (Ohm), disebut juga sebagai reaktansi kapasitif.

Gambar 5.5 Arus (i) tertinggal (lagging) terhadap tegangan (v)

 VR I

VC V

Gambar 5.6 Diagram fasor

5.2.4 RLC Seri


Rangkaian yang diperlihatkan pada Gambar 5.7 di bawah,

Gambar 5.7 Rangkaian RLC seri


Efek hambatan total yang diakibatkan oleh R, XL, dan XC dalam rangkaian arus bolak-balik
disebut impedansi (simbol Z). Persamaannya:

V  VR2  VL  VC 2

I .Z  I .R 2  I . X L  I . X C 2
I .Z  I R 2   X L  X C 2

XL

X L -X C Z


R

XC

Gambar 5.8 Diagram fasor


BAB VI
DAYA DAN FAKTOR DAYA

6.1 Daya Dalam Kawasan Waktu


Sebuah jaringan pasif yang umum, dengan tegangan v(t) dan arus yang dihasilkan
i(t) diperlihatkan pada Gambar 6.1. Daya yang berubah terhadap waktu (time variable
power) atau daya sesaat (instantenous power) ke dalam jaringan adalah perkalian tegangan
dan arus:
p(t) = v(t).i(t) (W)
Jika v(t) adalah sinusoida, maka setelah periode peralihan lewat, tegangan dan arus
periodik menghasilkan suatu daya periodik pula. Di mana daya positif sesuai dengan
pengalihan energi dari sumber ke jaringan (beban); dan daya negarif sesuai dengan
pengembalian energi dari jaringan ke sumber. Tentunya pada sebuah jaringan pasif,
pengalihan energi total haruslah dari sumber ke jaringan, karena itu daya rata-rata waktu
haruslah salah satu dari positif atau nol. Daya rata-rata nol akan diperoleh dari sebuah
jaringan reaktif murni, di mana terjadi penyimpanan energi secara periodik tetapi tanpa
adanya disipasi (pengeluaran) energi.

Gambar 6.1

6.2 Daya dalam Keadaan Tunak (Steady-State) Sinusoida


Pada sebuah jaringan pasif yang mengandung elemen induktif tunggal (sebuah
induktor/kumparan), tegangan terpasang v = Vm.cos t akan menghasilkan suatu arus
sinus yang tertinggal (lagging) sejauh 900, I = Im.cos (t - 900). Maka daya sesaat
diberikan oleh:

 
p  v.i  Vm I m cos t. cos t  900  21 Vm I m sin 2t
Hasil ini dilukiskan pada Gambar 6.2 dan Gambar 6.3. Dalam selang waktu di
mana v dan i adalah dari tanda yang sama misal 0  t  /2, p adalah positif. Energi akan
dialihkan dari sumber ke elemen rangkaian induktif selama waktu-waktu tersebut. Dalam
selang waktu lainnya seperti /2  t  , p adalah negatif dan energi dikembalikan dari
elemen rangkaian ke sumber.

Gambar 6.2

Gambar 6.3

Nilai efektif atau rms (root mean square) adalah:


Veff  Vm / 2
I eff  I m / 2

Daya rata-rata P = Veff.Ieff cos

Perkalian Veff.Ieff disebut daya nyata (apparent power), yang diberikan oleh simbol S dan
diukur dalam volt-amper, VA, di mana 1 VA = 1V.A = 1 W. Faktor dengan mana daya
nyata harus dikalikan agar mendapatkan daya rata-rata disebut faktor daya (power factor,
pf).
Pf  cos 

Sewaktu menyebut faktor daya, adalah lazim memasukkan informasi mengenai


tanda  dengan menyatakan sebuah faktor daya tertinggal (lagging) jika   0 (arus
tertinggal dari tegangan), atau faktor daya mendahului (leading) jika   0 (arus
mendahului tegangan). Dalam setiap hal, 0  faktor daya  1.

6.3 Segitiga Daya, Daya Kompleks


Dengan menyatakan jaringan pasif dalam kawasan frekuensi dengan impedansi
pengganti Z = Z, diperoleh
Faktor daya = cos = R/Z
Dan, karena Veff = Ieff.Z,

2
Daya nyata S = Veff.Ieff = I eff .Z
2
Daya rata-rata P P = Veff.Ieff.cos  = I eff .R

Selanjutnya S dan P dapat dinyatakan secara geometris sebagai sisi miring dan sisi
horisontal dari sebuah segitiga siku-siku. Segitiga ini secara sederhana merupakan diagram
impedansi yang diskala dengan faktor Ieff2 . Lihat gambar 6.4.

Gambar 6.4

Daya kuadratur Q  Veff I eff sin   I eff


2
X (var)
Satuan Q adalah voltamper reaktif, var, di mana sekali lagi, 1 var = 1 W. Adalah lazim
mengambil Q sebagai bukan negatif. Jadi, bila   0 (seperti Gambar 6.5), kita
menyebutkan "Q = 13,2 var (kapasitif)" sebagai pengganti "Q = -13,2 var". Bila Q  0; Q
diberikan dalam var (induktif).

Gambar 6.5

Berbagai besaran daya semuanya dapat diturunkan secara menyenangkan dari:

Daya kompleks
S  Veff I eff
*
 S  P  jQ

Di mana Veff adalah tegangan efektif fasor dan Ieff* adalah konyugasi kompleks dari arus
fasor efektif. Rumus penggantinya adalah S = Ieff2.Z

Contoh 1. Sebuah jaringan pasif tertentu mempunyai impedansi pengganti Z = 3 +j4 


dan tegangan terpasang: v = 42,5 cos(1000t + 300) (V)
Berikan informasi lengkap mengenai daya.
Jawab:

Veff  42,5
300
2
Veff ( 42,5 / 2 ) 300
I eff    8,5   23,130
Z ek 5 53,130 2

S  Veff I eff
*
 180,653,130  108,4  j144,5
Maka:
P = 108,4 Watt; Q = 144,5 var (induktif); S = 180,6 VA, dan faktor daya = cos 53,130 =
0,6 tertinggal (lagging).

6.4 Peningkatan/Perbaikan Faktor Daya


Pelayanan listrik untuk konsumen industri adalah tiga fase, sedangkan konsumen
rumah tangga biasanya menggunakan daya satu fase. Pemakai-pemakai besar daya listrik
berusaha mendapatkan keuntungan dengan menurunkan komponen kuadratur dari segitiga
dayanya; ini disebut "peningkatan faktor daya". Sistem-sistem industri umumnya
mempunyai komponen induktif menyeluruh karena jumlah motornya banyak.
Guna memperbaiki faktor daya, kapasitor-kapasitor dalam tumpukan-tumpukan
tiga fase (bank-bank capacitors) dihubungkan ke sistem pada salah satu sisi primer atau
sisi sekunder transformator utama sedemikian, sehingga gabungan beban bangunan dan
tumpukan-tumpukan kapasitor menyatakan sebuah beban guna melayani keperluan yang
lebih mendekati faktor daya satu.

Contoh 2. Berapa besarnya Q yang harus disediakan oleh tumpukan kapasitor pada
Gambar di bawah untuk meningkatkan faktor daya menyusul menjadi 0,95?

Sebelum penambahan tumpukan kapasitor, faktor daya menyusul = cos 250 = 0,906, dan

I1  240 00  68,6  25 0


3,5 250

S  Veff I eff
*
  
240 0 0 68,6   25 0
2 2
  823225 0
 7461  j 3479

Setelah peningkatan, segitiga mempunyai P yang sama, tetapi sudutnya adalah cos-10,95 =
18,190. Maka

3479  Qc
 tan 18,190
7461
Qc  1027 var(kapasitif )

Nilai baru dari daya nyata adalah S' = 7854 VA jika dibandingkan dengan yang mula-mula
S = 8232 VA. Pengurangan 378 VA adalah sebesar 4,6%.

Transformator, sistem distribusi, dan alternator keperluan perusahaan-perusahaan


semuanya dinilai dalam kVA atau MVA. Akibatnya, suatu peningkatan dalam faktor daya
dengan pengurangan dalam kVA yang sesuai, membebaskan sebagian dari pembangkitan
dan kemampuan transmisi ini sehingga dia dapat digunakan untuk melayani langganan lain.
BAB VII
LAMPU TABUNG FLUORESEN

7.1 Pendahuluan
Bentuk standar tabung fluoresen dipasarkan oleh Philips menggunakan kode TL.
Diameter tabungnya 38 mm; sedangkan panjangnya tergantung pada besarnya daya tabung.
Bagian dalam tabung diberi lapisan serbuk fluoresen.
Pada setiap ujung tabung terdapat sebuah elektroda. Elektroda ini terdiri dari kawat pijar
dari wolfram dengan sebuah emitter untuk memudahkan emisi elektron.
Tabung fluoresen diisi dengan uap air raksa dan gas mulia argon. Dalam keadaan
menyala, tekanan uap air raksa dalam tabung sangat rendah. Uap air raksa ini
memancarkan sinar ultaungu yang memiliki panjang gelombang 253,7 m. Sinar ini
kemudian diserap oleh serbuk fluoresen dan diubah menjadi cahaya tampak.

Gambar 7.1 Rangkaian dasar pemasangan lampu fluoresen (TL):


(1) kumparan hambat (ballast); (2) filamen (elektroda);
(3) starter; (4) detil starter
Gambar 7.2 Pemasangan 2 buah lampu TL dengan auto transformator
(1) tabung lampu TL; (2) starter; (3) auto transformator;
(4) dua buah ballast; (5) sumber listrik AC.

7.2 Kumparan Hambat (Ballast)


Kumparan hambat (ballast) pada lampu fluoresen terdiri dari: kawat tembaga A,
bahan isolasi B, teras besi D, massa pengisi poliester E. Ballast pada dasarnya merupakan
kumparan hambat (choke coil) yang berinti besi, fungsinya:
 Memberikan pemasangan awal pada elektroda guna menyediakan elektron bebas dalam
jumlah yang banyak.
 Memberikan gelombang potensial yang cukup besar untuk mengadakan bunga api
antara kedua elektrodanya.
 Mencegah terjadinya peningkatan arus bunga api yang melebihi batas tertentu bagi
setiap ukuran lampu.

7.3 Starter
Starter terdiri dari sebuah balon kaca kecil yang diisi dengan gas mulia. Di dalam
balon kaca terdapat dua elektroda dwilogram A dan B.
Tabel 7.1 Data tabung TL
Daya Tabung 4W 6W 8W 20 W 25 W 40 W 65 W 125 W
Tegangan tabung (V) 30 45 58 58 95 103 108 100
Arus tabung (A) 0.15 0.155 0.165 0.39 0.30 0.44 0.7 1.5
Panjang tabung (mm) 136 212 288 590 970 1199 1500 1500

7.4 Kompensasi Faktor Daya (cos )


Karena adanya induktansi kumparan hambat (ballast), maka arus tabung akan
menyusul (leading) tegangannya. Faktor dayanya antara 0.35 sampai 0.5. Untuk
memperbaiki faktor daya ini digunakan kondensator yang dihubungkan secara seri dengan
kumparan hambat. Kapasitas kondensator ini dipilih sedemikian rupa sehingga membuat
rangkaiannya cukup kapasitif untuk mengimbangi cos  dari rangkaian kedua yang
induktif. Hubungan demikian disebut hubungan duo.
Hubungan duo ini tidak hanya memberi kompensasi bagi cos  kedua rangkaian, tetapi
juga mengurangi efek stroboskopnya. Untuk tabung-tabung TL 20 W digunakan hubungan
tandem, yaitu dua tabung dihubungkan seri.

Gambar 7.3 hubungan kapasitif

Gambar 7.4 Hubungan tandem


7.5 Efek Stroboskop dan Hubungan Duo
Dimisalkan suatu piringan dengan tanda titik di pinggirnya. Kalau piringan ini
diputar, dan hanya diterangi setiap kali tanda titiknya berada di sebelah atas, maka piringan
itu akan tampak seolah-olah tidak bergerak.
Misalkan kemudian piringan tersebut membuat satu putaran per detik. Kalau
diterangi setiap 0,9 detik, maka piringan ini akan tampak seolah-olah berputar mundur
dengan kecepatan satu putaran setiap 9 detik.
Kalau diterangi setiap 1,1 detik, piringannya akan tampak seolah-olah berputar
maju dengan kecepatan satu putaran setiap 11 detik.
Gejala seperti diuraikan di atas disebut efek stroboskop, dan akan tampak di ruangan-
ruangan yang diberi penerangan lampu tabung gas.
Flux cahaya lampu tabung yang sedang menyala selalu berkurang pada saat-saat
arus bolak-baliknya mencapai nilai sesaat nol, jadi setiap 1/1000 detik. Reaksi mata
manusia tidak cukup cepat untuk menangkap perubahan-perubahan ini. Jadi bagi mata
manusia cahaya lampu TL tampak seolah-olah konstan.
Efek stroboskop dapat dihilangkan dengan hubungan duo atau dengan membagi
rata semua lampu dalam suatu ruangan menjadi tiga fase.

Gambar 7.5 Hubungan duo


DAFTAR PUSTAKA

1. Rangkaian Listrik, Seri Buku Schaum, Joseph A. Edminister, Penerbit

Erlangga, Edisi kedua.

2. Hukum Kirchhhoff, penuntun berencana 07, Siemens, Alois Koller.

3. Instalasi Listrik Arus Kuat 2, P.van.Harten, Penerbit Binacipta, 1995

4. Pengukuran dan Alat-alat Ukur Listrik, Soedjana Sapiie & Osamu Nishino,

Pradnya Paramita, cet. 6, 2000.

5. Ketrampilan Teknik Listrik Praktis, John B Robertson, Penerbit Yrama Widya,

cet.3, 1995.

6. Teknik Pengerjaan Listrik, Daryanto, Penerbit Bumi Aksara, cet.1, 2000.

7. Teknik Listrik Instalasi Penerangan, F Suryatmo, Penerbit Rineka Cipta, 1998.

8. Panduan Teori Instalasi Listrik, Polman Astra, Syahril Ardi, 2002.

9. Belajar Instalalasi Listrik, Dedi Rusmadi, Penerbit CV Pionir Jaya, Juli 2001.

10. Elektronik Industri, Frank D Petruzella, Penerbit ANDI Yogyakarta, 2001.

11. Pemasangan Instalasi Listrik Dasar, Priyo Handoko, Penerbit kanisius, 2000.

You might also like