Professional Documents
Culture Documents
Fawaizul Umam∗
A. Pendahuluan
Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan,
ketertindasan, ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih
merupakan realitas keseharian sebagian besar umat Islam di banyak belahan
dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak hal bisa dituding sebagai sebab, baik
berupa anasir absolut maupun struktural-sistemik. Namun, terlepas apapun
prime cause dari realitas dimaksud, impotensi umat Islam menghadapi kenyataan
itu tentu ironis demi menyadari betapa sesungguhnya Islam sarat akan spirit
revolusioner, nilai-nilai moral yang membebaskan, yang mendorong ke arah
terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, layak, dan manusiawi.
Banyak alasan yang bisa disebut mengapa ketakberdayaan itu tak kunjung
usai. Salah satunya ialah ketiadaan motivasi religius. Sejauh menyangkut élan-
vital ajaran Islam sendiri, fakta ketakberdayaan umat itu memang berkait rekat
dengan ketiadaan motivasi religius yang mampu berperan sebagai motivator
perubahan, yang berperan transformatif dan menggerakkan mereka untuk
membebaskan diri dari serimpung realitas sosial tak mengenakkan. Di situ
kuncinya. Ketiadaan motivasi religius itu membuat apa yang disebut
transformasi sosial1 nyaris tak pernah berlangsung secara signifikan di dunia
Islam, termasuk Indonesia!
Dalam kerangka itulah studi ini bermaksud menggagas suatu reformulasi
paradigmatik dari apa yang dikehendaki di sini sebagai teologi Islam
transformatif-membebaskan. Studi ini sendiri merupakan sebuah library research
(penelitian kepustakaan). Ia dilangsungkan dengan desain library research
(penelitian kepustakaan). Data critically dipulung dari berbagai sumber, antara
lain teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengandung spirit pembebasan,
literatur yang berkait langsung dengan wacana teologi pembebasan Amerika
∗
Penulis adalah dosen fakultas Dakwah IAIN Mataram
1Pengertian ‘transformasi sosial’ yang digunakan untuk menyemangati tulisan ini ialah
perubahan sosial yang terencana (planned social change), yakni proses perubahan yang didesain
secara sengaja, ada penentuan strategi dan penetapan tujuan. Less dan Presley menyebut
rekayasa sosial (social engineering), perencanaan sosial (social planning) oleh M.N. Ross, bahkan
secara agak berbeda Ira Kaufman mengistilahkannya manajemen perubahan (change
management). Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi? (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999), 45-6.
1
Reformulasi Teologi Islam
Latin,2 aneka buku/kitab yang mengungkap realitas teologi Islam klasik (‘ilm al-
kalâm), dan yang mengulas beragam discourse seputar sosialisme, kapitalisme,
dan marxisme. Proses akumulasi data dilakukan dengan penggunaan content
analysis (analisis isi) untuk selanjutnya, setelah terhimpun, didekati secara kritis
dengan metode hermeneutik3 dan deskriptik.
B. Mencari Motivasi Religius
Kebutuhan akan motivasi religius dimaksud secara khusus menunjuk
pada eksistensi teologi-teologi anutan umat―yang merupakan manifestasi
ajaran dasar Islam hasil derivasi para mutakallimûn dari teks-teks suci (al-Qur’an
dan al-Sunnah), yang sebagai wacana historis telah mengeras menjadi “ilmu”
tersendiri, ‘ilm al-kalâm (atau ‘ilm al-tawhîd, ‘ilm ushûl al-dîn, ‘ilm al-‘aqâ’id).
Penunjukan itu bukan hanya lantaran teologi (baca: tawhîd) merupakan alas
fundamental seluruh ajaran Islam, tapi lebih jauh karena konstruk-
paradigmatik suatu teologi anutan pada dasarnya menentukan cara pandang
dan pola pemahaman umat atas realitas sekaligus juga pembacaan akan pesan-
pesan ajaran. Dan itu artinya secara langsung bakal memberi impact pada
pilihan performa penyikapan mereka terhadap realitas di dataran praktis.
Dengan lain kata, suatu konstruk teologi tidak hanya memberi suatu cara
pandang eskatologis, melainkan juga memberi implikasi sosiologis.
Namun, apa hendak dikata, sejauh urgensi teologi sebagai motivasi
religius itu menunjuk pada teologi Islam klasik kita pun segera tahu betapa
warisan kalâm Abad Pertengahan itu secara paradigmatik tidak transformatif-
membebaskan dan karena itu inadequate sebagai suatu motivasi religius yang
revolusioner bagi kemanusiaan. Logis saja, karena apa yang secara
2Pilihan atas discourse teologi pembebasan Amerika Latin tersebut berkait rekat dengan
(dengan sedikit sentuhan pola hermeneutics philosophy) seraya menahan diri untuk tidak
melibatkan hermeneutics critique. Lihat relevansi pengenaannya, terkhusus pada Josef Bleichert,
Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique (London: Routledge
and Kegan Paul, 1980). Karena itu, konteks penggagasan apa yang disebut di sini sebagai
(paradigma) teologi Islam transformatif-membebaskan lebih terfokus pada upaya reformulasi
doktrin-doktrin teologis berdasar produksi makna baru yang secara hermeneutis diderivasi
dari teks-teks suci (al-Qur’an dan/atau al-Hadits). Di situ, pemaknaan atas teks tidak
terutama diarahkan untuk mengkritisi dan/atau mendekonstruksi aneka produk pemahaman
interpretatif atas teks yang selama ini ada, tetapi untuk suatu pemaknaan baru (produksi
makna) sejalan dengan realitas kekinian yang teralami. Lebih lanjut lihat operasionalisai
pengenaan metode ini pada sub Hermeneutik sebagai Rangka Kerja di tulisan ini.
2
Antologi Tesis
4Bila dipilah sekurangnya terdapat tiga paradigma dari teologi-teologi anutan umat
Islam hari ini yang pada prinsipnya sama berkecenderungan teosentris, yakni (1) tradisional,
(2) rasional, dan (3) “fundamentalis”. Secara umum ketiganya mendasarkan derivasi
keyakinan teologisnya pada khazanah kalâm klasik, yakni yang pertama pada Jabariyah,
As‘ariyah, dan Maturidiyah (sayap Bukhara); sedang yang kedua pada Qadariyah, Mu‘tazilah,
dan Maturidiyah (Samarkand); dan yang ketiga pada Khawarij. Bdk. dengan pemetaan
Mansour Faqih, “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru:
Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei, 1994): 203-42. Khusus untuk
relevansi pelekatan label neo-Khawarij terhadap kelompok-kelompok Islam “fundamentalis”,
lihat Said Agiel Siradj, Ahlussunnah wal Jama‘ah dalam Lintas Sejarah (Jogjakarta: LKPSM,
1997), 7-8.
5Untuk pemaknaan problem individual dan bedanya dengan problem sosial berikut
2000), 296.
3
Reformulasi Teologi Islam
pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan/atau tema pemikiran.
Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan situasi sosial,
untuk memberi kerangka konsepsi dalam memaknai realitas. Kekuatan suatu paradigma
terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara melihat
sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang sekiranya bermanfaat untuk
dipecahkan, dan apa metode yang sepatutnya kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Selengkapnya, untuk ulasan seputar paradigma, lihat Thomas Kuhn, The Structures of Scientific
Revolution (Chicago: the University of Chicago Press, 1970).
9Pendasaran normatifnya, antara lain, Qs. al-Hadîd (57): 25; al-Nisâ’ (4): 40; dan al-
Hujurât (49): 9.
10Lihat, misalnya, Qs. al-Isrâ’ (17): 70.
11Bahkan kemerdekaan dalam memilih agama, Qs. al-Baqarah (2): 256.
12Dalam sejarah keilmuan Islam terungkap bahwa apa yang dimaksud ‘ilm al-kalâm
(baca: teologi Islam) tak lain adalah ilmu yang memusatkan pembicaraannya pada dan tentang
Tuhan dengan segala dimensinya. Taruh missal, soal wujudNya, sifat-sifatNya,
perbuatanNya, dan semacamnya; juga soal relasi Tuhan dengan alam semesta dan manusia,
seperti proses terjadinya atau penciptaan alam, kebijaksanaan dan keadilan Tuhan, qada’ dan
4
Antologi Tesis
qadr; termasuk ke dalam konteks hubungan Tuhan dengan manusia adalah pengutusan para
rasul, penerimaan wahyu, dan berita-berita alam ghaib, misalnya tentang alam akhirat.
13Logika pemaknaannya mengekor Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan,
5
Reformulasi Teologi Islam
anthropos dalam suatu tataran sosial praktis, yakni transformasi dunia dan/atau
masyarakat. Pada studium inilah shifting paradigm (pergeseran paradigma)
diharapkan berlangsung.15
Tuntutan selanjutnya dari redefinisi teologi ialah merumuskan ulang
konsep-konsep (doktrinal) teologis agar sejalan dengan semangat
pembebasannya. Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses
reflektif-kritis secara teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-
Qur’an dan hadits) dan pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual).
Dalam hal ini, setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang mendesak untuk
dirumus-ulang dalam kerangka paradigma transformatif yang berpihak pada
kepentingan pembelaan dan pembebasan kaum mustdl‘afîn.16 Pertama, konsep
Tawhîd. Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam
keseluruhan teologi Islam klasik. Di sini ia merupakan sintesis dari dua
polaritas trend paradigmatik dari teologi klasik, tradisionalisme dan modernisme
(rasionalisme?). Terdapat dialektika antara kebebasan manusia (free will, free act)
seperti digagas teologi-teologi rasional dan ketentuan mutlak di luar manusia
(predestinasi Tuhan) sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional.
Dialektika itu menunjuk pada faktor di luar keduanya, yaitu sistem dan struktur
yang menindas. Manusia dengan segala potensinya sebagai pusat yang
mengendalikan rekayasa sejarah (historical engineering) dapat melakukan
perubahan dengan mendudukkan sejarah sebagai esensi dari seluruh proses
perubahan.
Oleh sebab itu tawhîd harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran
adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atasnya menurunkan
konsep penegas adanya unity of creation (kesatuan penciptaan). Dalam konteks
sosial-horisontal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan adanya
unity of mankind (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan
kemanusiaan menegaskan bahwa tawhîd menolak segenap bentuk penindasan
atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu
menghendaki adanya unity of guidance (kesatuan pedoman hidup; al-Qur’an dan
hadits) bagi orang-orang Mukmin. Dengan demikian tawhîd secara konseptual
15Pengalihan locus teologis dimaksud pada dasarnya adalah menghindarkan teologi yang
melambari konstruk mentalitas umat dari kecenderungan ahistoris. Untuk itu, agar
berkesadaran historis, ia―dengan segenap anasir normatif-metafisisnya―musti dihadapkan
dan/atau didialogkan dengan persoalan-persoalan riil di dataran historis-lokal. Sebab,
mengutip Abdullah, selagi teologi tidak atau kurang memahami relasi dialektis antara
historisitas al-Qur’an dan normativitasnya, maka sulit diharapkan terjadi pergeseran
paradigma dalam the body of knowledge (bangunan pengetahuan) wacana teologi Islam klasik.
Lihat M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), 91.
16Untuk elaborasi lebih lanjut seputar reformulasi tiga konsep teologis tersebut, lihat
6
Antologi Tesis
memberi arahan kepada adanya unity of purpose of life (kesatuan tujuan hidup),
bergerak menuju muara tunggal, Allah swt.17
Pemahaman tawhîd sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal
untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan (‘aqîdah
wahdaniyah), tapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai
‘aqîdah taharruriyah, teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari
seluruh anasir penindasan. Cita pembebasan manusia dari ketertindasan,
karena itu, merupakan salah satu ‘aqîdah ilâhiyah. Elaborasi lebih jauh dari
pemahaman tawhîd semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas
makna îmân, nilai kufr dan sebutan kâfir,18 dan pada akhirnya reposisi entitas
makna ‘Islam’ dan ‘Muslim’ searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
Kedua, konsep Keadilan Sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari
kesadaran bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan,
kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumaisasi) merupakan produk dari
suatu proses sosial via struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi lantaran
proses sejarah manusia. Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah
predestinasi Tuhan (taqdîr), seperti umum diyakini teologi-teologi tradisional,
melainkan hasil dari proses sejarah yang by design, disengaja. Bukan pula belaka
akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia,” seperti
keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari
diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatif, dan
menindas.
Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung
terkesampingkan. Wacana keadilan, misalnya, dalam teologi klasik cenderung
terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-‘adl).
Sebaliknya, dalam teologi reformulatif ini, ia justru menempati posisi sebagai
prime theme (tema utama), menjadi satu bagian penting dari keseluruhan konsep
teologisnya.
Kemudian ketiga, konsep Spiritualitas Pembebasan. Konsep ini
merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat)
di satu sisi dan atas élan-vital Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain.
Proses reflektif itu bermuara pada satu titik: spiritualitas pembebasan. Ialah
yang sesungguhnya mewarnai seluruh bangunan paradigmatik teologi Islam
yang transformatif dan membebaskan ini. Pembebasan (liberation, tahrîr) dalam
kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang
menindas, tapi juga secara terus-menerus pada upaya membebaskan manusia
dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu,
misalnya spiritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif
dalam proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
17Bdk. dengan pemaknaan senafas oleh M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula
Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), 109-10.
18Lihat Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
7
Reformulasi Teologi Islam
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi ‘mengerti’. Lihat Richard E. Palmer,
Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 3. Secara kategoris hermeneutik terpilah pada tiga,
yakni sebagai metode, filsafat, dan kritik. Kategori pertama memfokuskan bahasannya selaku
metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (geistesswissenchaften); yang kedua lebih menekankan
pada status ontologis ‘memahami’ itu sendiri; sedang yang terakhir, mengarahkan penyisiran
pada penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi. Lihat Josef Bleichert,
Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge
and Kegan Paul, 1980), 1. Prinsipnya ia adalah ilmu dan/atau teori metodis tentang
penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik secara objektif (arti
gramatikal kata-kata dan variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Teks-teks
yang dihampiri terutama berupa teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks kitab
suci (sacred scripture). Selengkapnya lihat Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics,” dalam Dagobert
8
Antologi Tesis
dikendarai bukan cuma untuk membaca kenyataan, tapi sekaligus juga sebagai
titik tolak mengubah struktur kenyataan dalam suatu proses yang utuh-
integral,22 karena itu mau tak mau ia musti pula bersemangat pembebasan.23
Untuk kepentingan tersebut gagasan hermeneutik di sini membangun
nalar epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar24 (lihat
BAGAN 1). Seluruh proses dimulai dengan bertolak dari realitas yang dialami,
yang dihadapi―yang berada di “alas struktur” (fundamental structure). Melalui
cara mengalami yang baru, kaya, dan mendalam, proses tahap pertama
dilakukan dengan merumuskan realitas. Bagaimana wujud hasil perumusan
realitas akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami.
Hal itu sangat terkait dengan ketepatan analisis sosial yang dipilih untuk
membaca realitas dan keterlibatan penafsir (khususnya, para mustadl‘afîn
sendiri). Itulah mengapa, gerak melingkar tahap pertama ini sekurangnya
menegaskan keterlibatan dan/atau kedekatan penafsir dengan konteks realitas
sebagai syarat mesti. Penafsir (intelektual) yang baik adalah yang lebih jauh
aktif terlibat dalam proses-proses sosial. Proses refleksi teoretis menuntut aksi
sistematis. Sebab, mengutip Freire,25 refleksi tanpa aksi akan berujung pada
D. Runes, Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1976), 126.
Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud dengan exegesis―atau tafsîr dalam
khazanah Islam. Lihat Nasr Hamid Abu-Zayd, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Liyyât al-Ta’wîl (Al-Dâr
al-Baydlâ’: Al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1994), 13.
22Proses hermeneutis ini, pada saat yang sama, sebenarnya telah dilakukan pada tahap
pemaknaan teologi secara baru di atas, terkhusus dalam pembentukan kesadaran teologis di
level a postereori tentang kenyataan.
23Secara ontologis rangka hermeneutik pembebasan dimaksud disandarkan pada
pemerian Gadamer. Situasi hermeneutis, baginya, merupakan starting point ontologis dari
seluruh prilaku dan pemikiran manusia. Lihat Palmer, Hermeneutics..., 33, 42. Menurutnya,
proses hermeneutik sebagai suatu upaya interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli
yang diletakkan pengarang (the author) ke dalam teks (the text) bikinannya, tapi menampilkan
makna baru yang sesuai dengan kondisi kekinian penafsir (the reader). Tindak interpretatif
bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan sungguh-
sungguh memproduksi makna (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. Sebab,
orang mustahil menghindar dari keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni
faktisitas ke-ada-annya di dunia. Tuntutan rekonstruksi makna teks adalah impossible, karena
tatkala teks itu dilepas, seketika itu pula teks menjadi otonom. Proses hermeneutik justru
menuntut dilibatkannya dimensi historis kekinian penafsir. Menanggalkan dimensi historis
diri saat menafsiri teks selain tidak mungkin juga tidak perlu, sebab justru dimensi itu yang
akan memperkaya penafsiran. Lihat Hans Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed
& Ward, 1975), 264.
24Lingkar hermeneutik pembebasan ini diotak-atik gathuk dari beberapa tawaran
lingkaran dan konsep hermenuetik. Lihat dan bdk., Esack, Qur’an…, 82-6; Mohammed
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S.
Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 15-29, 43-124; dan, John Goldingay, “The Hermeneutics of
Liberation Theology,” dalam Horizon in Biblical Theology, 11 (1989), 133-161.
25Freire menyebut kesatuan aksi dan refleksi itu sebagai praksis. Lihat Paulo Freire,
Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya, et. al. (Jakarta: LP3ES, 1985), 71-3.
9
Reformulasi Teologi Islam
verbalisme, dan sebaliknya, aksi tanpa disertai refleksi akan terjerembab pada
aktivisme.
10
Antologi Tesis
Kerangka Teoretis:
• Derivasi dari teks
• Derivasi dari sejarah
TEORI SOSIAL
Amatan,
Pelibatan, Hipotesis
Perumusan
REALITAS SOSIAL
Proses analisis tersebut bertolak dari kesadaran akan teks suci (wahyu: al-
Qur’an dan/atau hadits) dan keterikatannya pada konteks (sejarah, bagian dari
dunia teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis
timbal-balik―menandakan baik adanya hubungan dialektis pada keduanya
(yakni sejarah yang melatari kehadiran teks; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lazim
disebut asbâb al-nuzûl) ataupun tidak. Kemudian dilakukan teoretisasi dari dan
berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut untuk kepentingan
membangun suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general
theory). Penderivasian teoretis dari keduanya merupakan langkah pertama
analisis. Di tahap itulah analisis tekstual secara kritis dilakukan.
11
Reformulasi Teologi Islam
12
Antologi Tesis
13
Reformulasi Teologi Islam
teologi. Di situ jargon-jargon semisal “membukan pintu ijtihad” di satu sisi vis-
à-vis “pintu ijtihad telah tertutup” di sisi beriringan akan menemukan
momentumnya dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan
memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat
dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang
melahirkan ketidakadilan, kemikinan, keterbelakangan, diskriminasi,
dehumanisasi, dan sejenisnya. Pada saat yang sama ia akan mendorong (dengan
social analysis yang tepat) pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu
berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan suatu yang
given dan taken for granted, melainkan sudah bersifat sosial―tercipta oleh
struktur-sistem yang memang menghendaki demikian.
Sekurangnya melalu dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan
menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali
menjadi buah bibir di dunia Barat dan Timur!
Daftar Kepustakaan
Antonio M. Pernia, “The Kingdom of God in the Liberation Theology of G.
Gutiérrez, L. Boff, and J.L. Segundo.” dalam DIWA: Studies in Philosophy
Theology, Vol. XIII No. 1 (Mei, 1988): 30-7.
Denis Carroll, What is Liberation Theology? (Sidney: E.J. Dwyer, t.th.).
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997).
Fawaizul Umam, Paradigma Teologi Pembebasan: Suatu Upaya Reformulasi Teologi
Islam. Tesis (tidak diterbitkan), PPs IAIN Sunan Ampel Surabaya (1999).
F. Wahono Nitiprawira, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).
Gustavo Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation
(Maryknoll: Orbis Books, 1973).
Hans Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed & Ward, 1975).
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh (Jakarta:
P3M, 1991).
Hugo Assmann, Practical Theology of Liberation (London: Search Press Limited,
1975).
Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi? (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999).
John Goldingay, “The Hermeneutics of Liberation Theology,” dalam Horizon
in Biblical Theology, 11 (1989): 133-61.
Josef Bleichert, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and
Critique (London: Routledge and Kegan Paul, 1980).
Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics,” dalam Dagobert D. Runes, Dictionary of
Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1976).
14
Antologi Tesis
Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western
Methods of Inquiry (Selangor Darul Ehsan: International Islamic University
Press, 1996).
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995).
M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung:
Mizan, 1998).
Mansour Faqih, “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad Suaedy (eds.),
Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut
Dian/Interfidei, 1994): 203-42.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam (Washington, D.C.: Center for
Contemporary Arab Studies, 1987).
______________, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru. ab. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994).
______________, Al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlat al-Ta’shîl, Nahwa Târîkhin Akhar
li al-Fikr al-Islâmî (London: Dâr al-Sâqî, 1999).
______________, “Logocentrisme et Vérité Religieuse dans la Pensée
Islamique,” dalam Studia Islamica, No. 35 (1972): 5-51.
Nasr Hamid Abu-Zayd, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Liyyât al-Ta’wîl (Al-Dâr al-
Baydlâ’: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 1994).
______________, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an. terj.
Khoiron Nahdliyyin (Jogjakarta: LKíS, 2002).
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya, et.al. (Jakarta:
LP3ES, 1985).
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969).
Said Agiel Siradj, Ahlussunnah wal Jama‘ah dalam Lintas Sejarah (Jogjakarta:
LKPSM, 1997).
Thomas Kuhn, The Structures of Scientific Revolution (Chicago: the University of
Chicago Press, 1970).
Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al Khattab (Jogjakarta:
LKíS, 2000).
15