You are on page 1of 8

Mentalitas Berkorban : Modal Spiritual dan Sosial untuk

Berkemajuan
Oleh:

Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB

Jamaah Sholat Iidul Adha yang berbahagia,


Syukur alhamdulillah marilah kita terus panjatkan kepada Allah Swt atas
kesempatan yang diberikan kepada kita untuk menikmati momentum idul

Adha pada hari ini. Marilah kita wujudkan rasa syukur kita dengan selalu
meningkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah swt, karena derajat kita di
mata Allah semata-mata hanya karena kualitas ketaqwaan. Pada pagi ini,
khotib ingin mengajak Jamaah sekalian pada sebuah tema yakni
Mentalitas Berkorban : Modal Spiritual dan Modal Sosial Untuk
Berkemajuan. Tema ini penting untuk disajikan seiring dengan dinamika
bangsa yang kini tengah mengalami sejumlah masalah dan tantangan, baik
dalam bidang ekonomi, lingkungan, politik, maupun sosial budaya.
Idul Adha identik dengan Idul Qurban yang mengingatkan kita kepada
sebuah peristiwa sejarah penting yang menunjukkan pelajaran

amat

sangat berharga. Bayangkan seorang Bapak yang sangat mencintai anak


yang memang sudah sekian lama dinanti-nanti, tiba-tiba diperintahkan
untuk menyembelih anak tersebut.Inilah salah satu ujian terberat yang
dialami Nabi Ibrahim AS dan Ismail.Disinilah kecintaan kepada Allah Swt
dipertaruhkan ketika dihadapkan kepada kecintaan kepada seorang
anak.Dilema ini harus segera diakhiri, dan ternyata Nabi Ibrahim
menempatkan kecintaan kepada Allah Swt di atas segala-galanya
termasuk harus mengorbankan nyawa putra yang dicintainya. Namun,
Allah berkehendak lain, bahwa keputusan yang diambil oleh Nabi Ibrahim
telah dinilai sebagai bentuk pengorbanan secara ikhlas atas kecintaan
kepada Allah Swt sehingga Allah menggantikannya dengan seekor qibas
untuk disembelih. Ada sejumlah pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa
ini.
Pertama, hidup selalu dihadapkan pada ujian berupa pilihan-pilihan yang
kadang dilematis.Dasar keputusan untuk memilih jalan dalam menghadapi
ujian tersebut sangat menentukan tepat tidaknya keputusan itu.Nabi

Ibrahim telah menempatkan kecintaan kepada Allah sebagai dasar untuk


mengambil keputusan. Rasa cinta inilah yang mendasari sikap rela
berkorban atas kekayaan terpenting yang Nabi Ibrahim miliki.
Kedua, Nabi Ibrahim telah mengajarkan kepada kita sikap sabar yang luar
biasa. Kesabaran Nabi Ibrahim telah terbukti sejak peristiwa ketika beliau
belum dikarunai seorang anak untuk sekian lama. Kemudian berlanjut saat
dikaruniai anak lalu harus berpisah karena Ibrahim harus meninggalkan
sang Anak Ismail dan isterinya Siti Hajar hanya berdua di sebuah padang
pasir yang tandus diantara bukit Shofa dan Marwa. Situasi gersang dengan
minim air dan pepohonan di daerah seperti itu tentu membuat daya juang
untuk hidup semakin dituntut tinggi.Hingga untuk mencari air pun Siti Hajar
harus berlari-lari kecil tujuh kali diantara bukti Sofa dan Marwa hingga
ditemukan sumber air yang kita kenal dengan zam-zam.Inilah yang
selanjutnya

diabadikan

dalam

ritual

SaI

saat

ibadah

haji

dan

umroh.Kesabaran selanjutnya dituntut saat dihadapkan pada perintah


untuk menyembelih anak yang sangat ia cintai. Nabi Ibrahim juga seorang
manusia yang memiliki perasaan seperti kita semua. Namun kesabaran
yang ia tunjukkan telah meluluskannya sebagai hamba yang Allah cintai
dan Allah jadikan kisah penting dalam Al Quran untuk dijadikan rujukan
hidup bagi kita semua. Kesabarannya harus menjadi teladan bagi kita,
yakni sebuah kesabaran hakiki yang semata didasari rasa cinta kepada
Allah swt.Tentu kesabaran juga dimiliki oleh Ismail.
Hadirin jamaah sholat idul Adha yang berbahagia
Kesabarannya

telah

membuahkan

hasil

bahwa

Allah

kemudian

mendatangkan seekor qibas untuk dijadikan hewan kurban.Ini adalah buah

dari keikhlasan.Ismail juga seorang yang memiliki keikhlasan sangat tinggi


sehingga siap mempertaruhkan nyawanya demi perintah Allah.Akhirnya
peristiwa ini diperingati melalui momentum Idhul Adha dan kita pun
diperintahkan

untuk

berkurban

dengan

menyembelih

domba

atau

sapi.Dalam konteks kekinian ada beberapa pelajaran dari momentum Idul


Adha ini.
Pertama, Idul Adha telah mendorong kita untuk mengingat dan mengambil
pelajaran dari kisah kesabaran Nabi Ibrahim dan Ismail dalam perjalanan
cintanya kepada Allah swt. Kesabaran transendental ini merupakan modal
spiritual yang sangat berarti.Untuk konteks keIndonesiaan saat ini, kita
mestinya mentransformasi kesabaran individual sebagaimana ditunjukkan
Ibrahim menjadi kesabaran kolektif atau kesabaran social.Dimensi
persoalan yang kita hadapi semakin kompleks dan menuntut kesabaran
kolektif yang tinggi.
Kesabaran kolektif mestinya kita tunjukkan saat

kita menghadapi ujian

kemarau panjang yang kini makin lama. Hujan telah menjadi barang amat
mahal yang dinanti-nantiapalagi bagi saudara-saudara kita yang kini
ditimpa musibah asap akibat kebakaran hutan. Kesabaran mestinya kita
tunjukkan saat kita menghadapi ujian berupa hujan lebat tiada henti disertai
badai topan. Jepang baru-baru ini dihadapkan pada bencana badai taifu
membuat banjir melanda kota dan membuat ribuan orang mengungsi.
Begitu pula tsunami yang menimpa Amerika Latin. Air di satu tempat
menjadi berkah, di tempat lain dianggap menjadi musibah. Air di satu
tempat dinanti-nanti, dan di tempat lain justru diminta untuk pergi.

Kesabaran kolektif juga kita tunjukkan saat kita kini menghadapi depresiasi
rupiah, melambatnya pertumbuhan ekonomi, gejolak politik, maupun
gejolak social lainnya. Tanpa kesabaran kolektif maka yang akan terjadi
adalah kepanikan, dan keputusan-keputusan penting yang dibuat dalam
suasana panik akan berbuntut panjang, karena bisa saja keputusan yang
dimunculkan malah memperkeruh suasana dan tidak menyelesaikan
persoalan.
Namun demikian, kesabaran kolektif bukanlah sebuah sikap pasif,
melainkan sebuah sikap proaktif.Kesabaran kolektif bukanlah bentuk
kepasrahan tanpa aksi, melainkan situasi jiwa kolektif kita yang penuh
kesadaran bahwa Allah tengah menguji sejauhmana kita mampu
mengerahkan

daya

upaya

secara

maksimal

untuk

menyelesaikan

persoalan-persoalan tersebut.
Kesabaran yang ditunjukkan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar bukanlah dalam
bentuk kepasrahan tanpa aksi.Siti hajar harus bekerja keras untuk mencari
air hingga setelah tujuh kali berlari antara bukit sofa dan marwa sehingga
akhirnya Allah memberi jalan dengan mengaruniai air zam-zam.Kerja
individual Siti Hajar seperti itu harus kita transformasi menjadi sebuah kerja
kolektif untuk konteks kekinian.Artinya, sekali lagi kita harus tunjukkan
kesabaran kolektif kita dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas
secara kolektif. Dimensi transendental kesabaran kolektif kita ini bisa kita
tunjukkan melalui kerja ikhlas. Kerja ikhlas adalah sebuah kerja karena
sebuah panggilan (as a calling).Kerja ikhlas adalah kerja yang dimaknai
sebagai ibadahyang senantiasa mencari ridho Allah swt.

Kerja keras dan ikhlas secara kolektif harus terus kita tingkatkan sebagai
wujud kesabaran kita untuk perubahan yang lebih baik. Hal ini karena
Allah telah menegaskan bahwa perubahan hanya bisa terjadi bila kita mau
dan mampu mengubahnya sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt pada
QS Ar-Rad: 11

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.di

Kedua,Idul Adha mengajarkan kepada kita untuk membangun solidaritas


social melalui mekanisme saling berbagi. Pembagian hewan kurban
kepada yang berhak hanyalah simbol pentingnya semangat berbagi.
Mestinya semangat berbagi tidak hanya saat idul adha tetapi juga pada
hari-hari yang lain. Semangat berbagi adalah sebuah modal sosial penting
bagi keberlanjutan kehidupan kita.
Fukuyama penulis buku Trust yang sangat popular juga mengatakan
bahwa kemajuan bangsa ditentukan sejauhmana kekuatan modal social
masyarakatnya.Bila masyarakat tersebut memiliki jaringan social yang

kuat, norma-norma yang diikuti, dan tergolong high-trust society maka


masyarakat tersebut memiliki modal social.Jadi, semangat berbagi diantara
kita bisa mendorong jaringan social yang makin kuat dan tumbuhnya rasa
saling percaya, dan ini semua bekal social yang sangat penting bagi
kemajuan kita.
Tentu semangat berbagi juga telah menjadi perhatian Al Quran seperti
tercantum dalam Surah Saba: 39

Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang


dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang
dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.

Itulah janji Allah bahwa semangat berbagi sebenarnya bukanlah cost atau
biaya melainkan sebuah investasi. Hasil investasi dari kemurahan hati kita
akan dibayar lunas oleh Allah baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan
orang yang selalu memberi akan dijanjikan selalu mendapat kemudahan,
sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Lail: 5-21

(5) Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, (6) dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), (7) maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Hadirin sidang sholat Idul Adha yang dirahmati Allah Swt,

Demikianlah khotbah singkat untuk memetik hikmah dari ibadah idul


adha.Marilah kita berdoa semoga Idhul Adha kali ini menjadi momentum
kita untuk meningkatkan modal spiritualitas dan modal social untuk
perubahan Indonesia yang lebih baik.Semoga kita semua dikaruniai benih
semangat berbagi yang terus meningkat.Semoga kita semua dikaruniai
semangat untuk selalu proaktif mampu menyelesaikan persoalan bangsa
kita.

You might also like