You are on page 1of 20

Surah Al-Fatihah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Langsung ke: navigasi, cari
al-Fatihah
‫الفاتحة‬
Ayah 1 s.d. Ayah 7
Ayah 1 s.d. Ayah 7
Informasi
Arti Pembukaan
Nama lain Fatihatul Kitab[1], Ummul Qur'an, Ummul Kitab, as-Sab'ul Masani[2], al-Kanz[1], al-
Wafiyah[1], al-Kafiyah[1], al-Asas[1], asy-Syafiyah[3], al-Hamd[1], as-Shalah[1], al-Ruqyah[1], asy-
Syukru[1], ad-Du'au[1], asy-Syifa[1], al-Waqiyah[1]
Klasifikasi Makkiyah
Madaniyah[2]
Surah ke 1
Juz Juz 1
Statistik
Jumlah ruku' 1 ruku
Jumlah ayat 7 ayat
Jumlah kata 25 kata
Jumlah huruf 113 huruf
Mushaf Surah al-Fatihah

Surah Al-Fatihah (Arab: ‫ الفاتح‬, al-Fātihah, "Pembukaan") adalah surah pertama dalam al-Qur'an. Surah
ini diturunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat. Al-Fatihah merupakan surah yang pertama-tama
diturunkan dengan lengkap diantara surah-surah yang ada dalam Al-Qur'an. Surah ini disebut Al-Fatihah
(Pembukaan), karena dengan surah inilah dibuka dan dimulainya Al-Quran. Dinamakan Ummul Qur'an
(induk Al-Quran/‫ )أ ّم القرءان‬atau Ummul Kitab (induk Al-Kitab/ ‫ )أ ّم الكتاب‬karena dia merupakan induk dari
semua isi Al-Quran. Dinamakan pula As Sab'ul matsaany (tujuh yang berulang-ulang/ ‫ )السبع المثاني‬karena
jumlah ayatnya yang tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Unsur Pokok
o 1.1 Keimanan
o 1.2 Hukum-hukum
o 1.3 Kisah-kisah
* 2 Al-Fatihah dalam Shalat
* 3 Penutup
* 4 Nama Lain
* 5 Lihat pula
* 6 Catatan kaki
* 7 Referensi
* 8 Pranala luar

[sunting] Unsur Pokok


[sunting] Keimanan

Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat dalam ayat 2, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa
segala puji dan ucapan syukur atas suatu nikmat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber
segala nikmat yang terdapat dalam alam ini. Diantara nikmat itu ialah : nikmat menciptakan, nikmat
mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rabb ( ّ‫ )رب‬dalam kalimat Rabbul-'aalamiin ( ‫ )ربّ العالمين‬tidak
hanya berarti Tuhan atau Penguasa, tetapi juga mengandung arti tarbiyah ( ‫ )التربية‬yaitu mendidik dan
menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala nikmat yang dilihat oleh seseorang dalam dirinya
sendiri dan dalam segala alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhan-lah Yang Maha Berkuasa di alam
ini. Pendidikan, penjagaan dan Penumbuhan oleh Allah di alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan
oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang
dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi
masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka didalam
surat Al-Faatihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat
5, yaitu : Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin/ ‫ك َنسْ َتعِين‬
َ ‫َّاك َنعْ ُب ُد َوإِيَّا‬
َ ‫( إِي‬hanya kepada Engkau-lah kami
menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan). Janji memberi pahala terhadap
perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.

Yang dimaksud dengan Yang Menguasai Hari Pembalasan ialah pada hari itu Allah-lah yang berkuasa,
segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya sambil mengharap nikmat dan takut kepada siksaan-Nya.
Hal ini mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman
terhadap perbuatan yang buruk. Ibadat yang terdapat pada ayat 5 semata-mata ditujukan kepada Allah.
[sunting] Hukum-hukum

Jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Maksud "Hidayah" disini ialah hidayah yang menjadi sebab dapatnya keselamatan,
kebahagiaan dunia dan akhirat, baik yang mengenai kepercayaan maupun akhlak, hukum-hukum dan
pelajaran.
[sunting] Kisah-kisah

Kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang Allah. Sebahagian besar dari ayat-ayat
Al -Quran memuat kisah-kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang. Yang dimaksud
dengan orang yang diberi nikmat dalam ayat ini, ialah para Nabi, para shiddieqiin/ ‫( صدّيقين‬orang-orang
yang sungguh-sungguh beriman), syuhadaa'/ ‫( شهداء‬orang-orang yang mati syahid), shaalihiin/ ‫صالحين‬
(orang-orang yang saleh). Orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat, ialah golongan yang
menyimpang dari ajaran Islam.

Perincian dari yang telah disebutkan diatas terdapat dalam ayat-ayat Al Quran pada surat-surat yang lain.
[sunting] Al-Fatihah dalam Shalat

Al-Fatihah merupakan satu-satunya surah yang dipandang penting dalam shalat. Shalat dianggap tidak
sah apabila pembacanya tidak membaca surah ini.[4] Dalam hadits dinyatakan bahwa shalat yang tidak
disertai al-Fatihah adalah shalat yang "buntung" dan "tidak sempurna".[5] Walau begitu, hal tersebut tidak
berlaku bagi orang yang tidak hafal Al-Fatihah. Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang tidak
hafal Al-Fatihah diperintahkan membaca:

"Maha Suci Allah, segala puji milik Allah, tidak ada tuhan kecuali Allah, Allah Maha Besar, tidak ada
daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah."[6]

Dalam pelaksanaan shalat, Al-Fatihah dibaca setelah pembacaan Doa Iftitah dan dilanjutkan dengan
"Amin" dan kemudian membaca ayat atau surah al-Qur'an (pada rakaa'at tertentu). Al-Fatihah yang
dibaca pada rakaat pertama dan kedua dalam shalat, harus diiringi dengan ayat atau surah lain al-
Qur'an. Sedangkan pada rakaat ketiga hingga keempat, hanya Al-Fatihah saja yang dibaca.[7]

Disebutkan bahwa pembacaan Al-Fatihah seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad adalah dengan
memberi jeda pada setiap ayat hingga selesai membacanya[8], misal:

Bismillāhir rahmānir rahīm (jeda) Alhamdu lillāhi rabbil ʿālamīn (jeda) Arrahmānir rahīm (jeda) Māliki
yaumiddīn (jeda) dan seterusnya.

Selain itu, kadang bacaan Nabi Muhammad pada ayat Maliki yaumiddīn dengan ma pendek dibaca Māliki
yaumiddīn dengan ma panjang.[9]

Dalam shalat, Al-Fatihah biasanya diakhiri dengan kata "Amin". "Amin" dalam shalat Jahr biasanya
didahului oleh imam dan kemudian diikuti oleh makmum. Pembacaan "Amin" diharuskan dengan suara
keras dan panjang.[10] Dalam hadits disebutkan bahwa makmum harus mengucapkan "amin" karena
malaikat juga mengucapkannya, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa "amin" diucapkan apabila
imam mengucapkannya.[11]

Pembacaan Al-Fatihah dan surah-surah lain dalam shalat ada yang membacanya keras dan ada yang
lirih. Hal itu tergantung dai shalat yang sedang dijalankan dan urutan rakaat dalam shalat. Shalat yang
melirihkan seluruh bacaannya (termasuk Al-Fatihah dan surah-surah lain) dari awal hingga akhir shalat,
disebut Shalat Sir (membaca tanpa suara). Shalat Sir contohnya adalah Shalat Zuhur dan Shalat Ashar
dimana seluruh bacaan shalat dalam shalat itu dilirihkan. Selain shalat Sir, terdapat pula shalat Jahr, yaitu
shalat yang membaca dengan suara keras. Shalat Jahr contohnya adalah shalat Subuh, shalat Maghrib,
dan shalat Isya'. Dalam shalat Jahr yang berjamaah, Al-Fatihah dan surah-surah lain dibaca dengan
keras oleh imam shalat. Sedangkan pada saat itu, makmum tidak diperbolehkan mengikuti bacaan Imam
karena dapat mengganggu bacaan Imam dan hanya untuk mendengarkan. Makmum dipererbehkan
membaca (dengan lirih) apabila imam tidak mengeraskan suaranya.[11] Sementara dalam Shalat Lail,
bacaan Al-Fatihah diperbolehkan membaca keras dan diperbolehkan lirih, hal ini seperti yang tertera
dalam hadits:

"Rasulullah bersabda, "Wahai Abu Bakar, saya telah lewat di depan rumahmu ketika engkau shalat Lail
dengan bacaan lirih." Abu Bakar menjawab, "Wahai Rasulullah, Dzat yang aku bisiki sudah mendengar."
Beliau bersabda kepada Umar, "Aku telah lewat di depan rumahmu ketika kamu shalat Lail dengan
bacaan yang keras." Jawabnya, "Wahai Rasulullah, aku membangunkan orang yang terlelap dan
mengusir setan." Nabi SAW. bersabda, "Wahai Abu Bakar, keraskan sedikit suaramu." Kepada Umar
beliau bersabda, "Lirihkan sedikit suaramu."[12]

[sunting] Penutup

Surat Al-Fatihaah ini melengkapi unsur-unsur pokok syari'at Islam, kemudian dijelaskan perinciannya oleh
ayat-ayat Al-Quran yang 113 surat berikutnya.

Persesuaian surat ini dengan surat Al Baqarah dan surat-surat sesudahnya ialah surat Al Fatihah
merupakan titik-titik pembahasan yang akan diperinci dalam surat Al Baqarah dan surat-surat yang
sesudahnya.

Dibahagian akhir surat Al Faatihah disebutkan permohonan hamba supaya diberi petunjuk oleh Tuhan
kejalan yang lurus, sedang surat Al Baqarah dimulai dengan penunjukan al Kitaab (Al Quran) yang cukup
sempurna sebagai pedoman menuju jalan yang dimaksudkan itu.
[sunting] Nama Lain

Selain dinamai Al-Fatihah (Pembuka), surah ini sering juga disebut Fatihatul Kitab (Pembukaan Kitab),
Ummul Kitab (Induk Kitab), Ummul Qur'an (Induk Al-Qur'an), As-Sabu'ul Matsani (Tujuh yang Diulang).
Selain keempat sebutan tersebut, banyak ulama tafsir yang menyebutnya dengan: Ash-Shalah (Arab:
‫الصالة‬, Shalat), al-Hamd (Arab: ‫الحمد‬, Pujian), Al-Wafiyah (Arab: ‫الوافية‬, Yang Sempurna), al-Kanz (Arab:
‫الكنز‬, Simpanan Yang Tebal), asy-Syafiyah (Yang Menyembuhkan), Asy-Syifa (Arab: ‫الشفاء‬, Obat), al-
Kafiyah (Arab: ‫الكافية‬, Yang Mencukupi), al-Asas (Pokok), al-Ruqyah (Mantra), asy-Syukru (Syukur), ad-
Du'au (Do'a), dan al-Waqiyah (Yang Melindungi dari Kesesatan).[1]
[sunting] Lihat pula

* Al-Fatihah dalam berbagai bahasa

[sunting] Catatan kaki

1. ^ a b c d e f g h i j k l m "Banyak nama untuk sebutan Surah al-Fatihah", Hidayah, Februari 2009


2. ^ a b Departemen Agama RI (1987). hal 3
3. ^ Hamzah (2003). hal 47
4. ^ "Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca Al-Fatihah". HR. Bukhari, Muslim, Abu Awanah,
dan Baihaqi. Baca Irwa' Hadits no. 302
5. ^ HR. Muslim dan Abu 'Awanah
6. ^ HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim, Thabarani, dan Ibnu Hibban. Disahkan oleh Hakim dan
disetujui Dzahabi. Baca Al-Irwa' Hadits no. 303
7. ^ HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih. Baca Al-Irwa' Hadits no.506
8. ^ HR. Abu Dawud dan dan Sahmi, disahkan oleh Hakim dan disetujui oleh Dzahabi. Baca Al-Irwa'
Hadits no. 343. Diriwayatkan pula oleh 'Amr ad-Dani dalam Kitab Muktafa 5/2.
9. ^ HR. Tamam ar-Razi dalam Al-Fawaaid, Ibnu Abu Dawud dalam Al-Mushahif 7/2, Abu Nu'aim dalam
Akhbaari Asbahan 1/104, dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi.
10. ^ HR. Bukhari dan Abu Dawud dengan sanad sahih.
11. ^ a b Muhammad Nashrudin Al-Albani. Sifat Shalat Nabi. 2000. Yogyakarta: Media Hidayah
12. ^ HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi.

[sunting] Referensi

* Al-Qur'an dan Terjemahannya (1978). Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia


* Hamzah, Muchotob (2003). Studi Al-Qur'an Komprehensif. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-
95526-1-3
Wiki: Surah Al-Ikhlas
Search Wikipedia!

Surah Al-Ikhlas (Arab:‫اإلخالص‬, "Memurnikan Keesaan Allah") adalah surah ke-112 dalam al-Qur'an.
Surah ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 4 ayat dan pokok isinya adalah menegaskan keesaan
Allah sembari menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Kalimat inti dari surah ini, "Allahu
ahad, Allahus shamad" (Allah Maha Esa, Allah tempat bergantung), sering muncul dalam uang dinar
emas pada zaman Kekhalifahan dahulu. Sehingga, kadang kala kalimat ini dianggap sebagai slogan
negara Khilafah Islamiyah, bersama dengan dua kalimat Syahadat.

Kalligrafi Surah al-Ikhlas naskah Maghribi tulisan abad ke-18

Daftar isi:
1. Asbabun Nuzul
2. Keutamaan
3. Referensi
4. Pranala luar
al-Ikhlas
‫اإلخالص‬

Informasi
Arti Memurnikan Keesaan Allah
Nama lain Qul Huwallah, Nisbatur Rabbi[1], at-Tafrid[2], at-Tajrid[2], al-Wilayah[2], al-Ma'arifah[2], al-
Jamal[2], Qasyqasy[2], al-Mudzakkirah[2], as-Shamad[2], al-Amin[2]
Klasifikasi Makkiyah
Surah ke 112
Juz Juz 30
Statistik
Jumlah ruku' 1 ruku'
Jumlah ayat 4 ayat
1. Asbabun Nuzul

Ada beberapa hadits yang menjelaskan Asbabun Nuzul surah ini yang mana seluruhnya mengacu pada
inti yang sama yaitu jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah dimana Allah itu Esa (Al-
Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya (Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan
(Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).

Dilihat dari peristiwa paling pertama, Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa sekelompok Bani Quraisy
pernah meminta Nabi Muhammad untuk menjelaskan leluhur Allah dan kemudian turun surah ini. Riwayat
lain bersumber dari Ubay bin Ka'ab dan Jarir bin Abdillah yang menyebutkan bahwa kaum Musyrikin
berkata kepada Nabi Muhammad, "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Kemudian turun surah ini
untuk menjelaskan permintaan itu.[3] Dalam hadits ini, hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdullah
dijadikan dalil bahwa surah ini Makkiyah. Selain itu dari Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair menyebutkan
bahwa kaum Yahudi yang diantaranya Kab bin Ashraf dan Huyayy bin Akhtab datang menemui Nabi dan
bertanya hal yang sama dengan hadits pertama, kemudian turun surah ini.[4] Dalam hadits ini Sa'id bin
Jubair menegaskan bahwa surah ini termasuk Madaniyah. Dan juga riwayat Qatadah menyebutkan Nabi
Muhammad didatangi kaum Ahzab (Persekutuan antara kaum Bani Quraisy, Yahudi Madinah, Bani
Ghatafan dari Thaif dan Munafiqin Madinah dan beberapa suku sekitar Makkah) yang juga menyanyakan
gambaran Allah dan diikuti dengan turunnya surah ini.

Karena adanya berbagai sumber yang berbeda, status surah ini Makkiyah atau Madaniyah masih
dipertanyakan dan seolah-olah sumber-sumbernya tampak kotradiksi satu-sama lain. Menurut Abul A'la
Maududi, dari hadits-hadits yang meriwayatkannya, dilihat dari peristiwa yang paling awal terjadi, surah
ini termasuk Makkiyah. Peristiwa yang pertama terjadi yaitu pada periode awal Islam di Mekkah yaitu
ketika Bani Quraisy menanyakan leluhur Allah. Kemudian peristiwa berikutnya terjadi di Madinah dimana
orang Nasrani atau orang Arab lain menanyakan gambaran Allah dan kemudian turun surah ini. Menurut
Madudi, sumber-sumber yang berlainan tersebut menujukkan bahwa surah itu diturunkan berulang-ulang.
Jika di suatu tempat ada Nabi Muhammad dan ada yang mengajukan pertanyaan yang sama dengan
peristiwa sebelumnya, maka ayat atau surah yang sama akan diwahyukan kembali untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Selain itu, bukti bahwa surah ini Makkiyah adalah ketika Bilal bin Rabah disiksa
majikannya Umayyah bin Khalaf setelah memeluk Islam. Saat disiksa ia menyeru, "Allahu Ahad, Allahu
Ahad!!" (Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Esa!!). Peristiwa ini terjadi di Mekkah dalam periode
awal Islam sehingga menunjukkan bahwa surah ini pernah diturunkan sebelumnya dan Bilal terinspirasi
ayat surah ini.[5]

Pendapat lain yaitu menurut as-Suyuthi. Menurutnya kata "al-Musyrikin" dalam hadits yang bersumber
dari Ubay bin Ka'ab tertuju pada Musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga mengindikasikan bahwa surah ini
Madaniyyah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dan dengan begitu menurutnya tidak ada pertentangan
antara dua hadits tersebut jika surah ini Madaniyah. Keterangan ini diperkuat juga oleh riwayat Abus
Syaikh di dalam Kitab al-Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang meriwayatkan bahwa
Yahudi Khaibar datang menemui Nabi dan berkata, "Hai Abal Qasim! Allah menjadikan malaikat dari
cahaya hijab, Adam dari tanah hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari buih
air. Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu." Nabi tidak menjawab dan kemudian Jibril
membawa wahyu surah ini untuk menjawab permintaan Yahudi Khaibar.[6]
2. Keutamaan
2. 1. Dalam kisah-kisah Islam

Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa pahala membaca
sekali surah Al-Ikhlas sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an sehingga membaca 3 kali surah ini
sama dengan mengkhatam Al-Qur'an. Kisah terkait hadits itu terekam dalam beberapa kisah. Seperti
kisah ketika Nabi bertanya kepada sahabatnya untuk mengkhatam Al-Qur'an dalam semalam. Umar
menganggap mustahil hal itu, namun begitu Ali menyanggupinya. Umar kemudian menganggap Ali belum
mengerti maksud Nabi karena masih muda. Ali kemudian membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 3 kali dan
Nabi Muhammad membetulkan itu. Dalam hadits-hadits terkait hal ini, keutamaan surah Al-Ikhlas sangat
memiliki peran dalam Al-Qur'an sehingga sekali membacanya sama dengan membaca sepertiga Al-
Qur'an.

Riwayat Anas bin Malik juga merekam kisah berkaitan surah Al-Ikhlas yaitu dimana 70.000 malaikat
diutus kepada seorang sahabat di Madinah yang meninggal hingga meredupkan cahaya matahari.
70.000 malaikat itu diutus hanya karena ia sering membaca surah ini. Dan karena banyaknya malaikat
yang diutus, Anas bin Malik yang saat itu bersama Nabi Muhammad di Tabuk merasakan cahaya
matahari redup tidak seperti biasannya dimana kemudian malaikat Jibril datang memberitakan kejadian
yang sedang terjadi di Madinah.
2. 2. Keutamaan lain

Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan Nabi Muhammad ketika melakukan Isra' ke langit, melihat Arsy di
atas 360.000 sendi dimana jarak antar sendi 300.000 tahun perjalanan. Pada tiap sendi terdapat padang
Sahara sebanyak 12.000 dan luas tiap satu padang sahara itu adalah dari timur ke barat. Pada setiap
padang Sahara itu juga terdapat 80.000 malaikat dimana setiap malaikat membaca surah Al-Ikhlas dan
setelah membaca itu mereka berdoa agar pahala mereka diberikan kepada orang yang membaca al-
Ikhlas, laki-laki maupun perempuan.

Selain itu Nabi Muhammad juga pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada sayap
Jibril, Allahus Shamad (ayat 2) pada sayap Mikail, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada sayap Izrail,
dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada sayap Israfil. Dan yang membaca al-Ikhlas
memperoleh pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Lalu berkaitan sahabat, Nabi pernah
berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada dahi Abu Bakar, Allahus Shamad (ayat 2) pada
dahi Umar, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada dahi Utsman, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad
(ayat 4) pada dahi Ali.[7]

Sedangkan hadits lain menyebutkan bahwa ketika orang membaca al-Ikhlas ketika sakit hingga ia
meninggal, ia tidak membusuk dalam kubur dan akan dibawa malaikat dengan sayapnya melintasi Siratul
Mustaqim menuju surga.[8]
3. Referensi

1. Thabathaba'i, Allamah MH. 1987. Mengungkap Rahasia Al-Qur'an. Bandung: Mizan


2. ^ "Nama-nama lain dari Surah Al-Ikhlas", Hidayah, Februari 2009
3. Musnad Ahmad, Ibnu Abi Harim, Ibnu Jarir, Tirmidhi, Bukhari dalam At-Tarikh, Ibnu al-Mundhir,
Hakim, Baihaqi
4. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Adi, Baihaqi dalam Al-Asma was-Sifat
5. The Noble Qur'an. Madudi's Introduction of Al-Ikhlas.
6. Al-Qur'an Digital. Ver.2.1. Surah Al-Ikhlas:1
7. Kitab Hayatun Quluubi
8. Kitab Tadzikaratul Qurthuby

4. Pranala luar

Surah Sebelumnya:
Surah Al-Lahab Al-Qur'an Surah Berikutnya:
Surah Al-Falaq
Surah 112

Surah-surah Al-Qur'an
1.Al-Fatihah | 2.Al-Baqarah | 3.Ali 'Imran | 4.An-Nisa' | 5.Al-Ma'idah | 6.Al-An'am | 7.Al-A’raf | 8.Al-Anfal |
9.At-Taubah | 10.Yunus | 11.Hud | 12.Yusuf | 13.Ar-Ra’d | 14.Ibrahim | 15.Al-Hijr | 16.An-Nahl | 17.Al-Isra' |
18.Al-Kahf | 19.Maryam | 20.Ta Ha | 21.Al-Anbiya' | 22.Al-Hajj | 23.Al-Mu’minun | 24.An-Nur | 25.Al-
Furqan | 26.Asy-Syu'ara' | 27.An-Naml | 28.Al-Qasas | 29.Al-'Ankabut | 30.Ar-Rum | 31.Luqman | 32.As-
Sajdah | 33.Al-Ahzab | 34.Saba’ | 35.Fatir | 36.Ya Sin | 37.As-Saffat | 38.Sad | 39.Az-Zumar | 40.Al-
Mu'min | 41.Fussilat | 42.Asy-Syura | 43.Az-Zukhruf | 44.Ad-Dukhan | 45.Al-Jasiyah | 46.Al-Ahqaf |
47.Muhammad | 48.Al-Fath | 49.Al-Hujurat | 50.Qaf | 51.Az-Zariyat | 52.At-Tur | 53.An-Najm | 54.Al-
Qamar | 55.Ar-Rahman | 56.Al-Waqi’ah | 57.Al-Hadid | 58.Al-Mujadilah | 59.Al-Hasyr | 60.Al-Mumtahanah
| 61.As-Saff | 62.Al-Jumu’ah | 63.Al-Munafiqun | 64.At-Tagabun | 65.At-Talaq | 66.At-Tahrim | 67.Al-Mulk |
68.Al-Qalam | 69.Al-Haqqah | 70.Al-Ma’arij | 71.Nuh | 72.Al-Jinn | 73.Al-Muzzammil | 74.Al-Muddassir |
75.Al-Qiyamah | 76.Al-Insan | 77.Al-Mursalat | 78.An-Naba’ | 79.An-Nazi’at | 80.'Abasa | 81.At-Takwir |
82.Al-Infitar | 83.Al-Tatfif | 84.Al-Insyiqaq | 85.Al-Buruj | 86.At-Tariq | 87.Al-A’la | 88.Al-Gasyiyah | 89.Al-
Fajr | 90.Al-Balad | 91.Asy-Syams | 92.Al-Lail | 93.Ad-Duha | 94.Al-Insyirah | 95.At-Tin | 96.Al-'Alaq |
97.Al-Qadr | 98.Al-Bayyinah | 99.Az-Zalzalah | 100.Al-'Adiyat | 101.Al-Qari'ah | 102.At-Takasur |
103.Al-'Asr | 104.Al-Humazah | 105.Al-Fil | 106.Quraisy | 107.Al-Ma’un | 108.Al-Kausar | 109.Al-Kafirun |
110.An-Nasr | 111.Al-Lahab | 112.Al-Ikhlas | 113.Al-Falaq | 114.An-Nas

PENAKWILAN ISTI'ADZAH :

'A Udzhubillahi Minassaitha nirrajiem ; (Aku berlindung kepada Allah dari godaan Syetan yang terkutuk)."
Penakwilan kata : 'A Udzhu ( Aku berlindung).

Abu Ja'far mengakatakan: Isti'azah artinya memohon perlindungan. Dan kalimat 'A Udzhubillahi
Minassaitha nirrajiem , artinya Aku berlindung kepada Allah dari godaan Syetan yang terkutuk yang
hendak mencelakakanku dalam agama atau memalingkanku dari kebenaran yang ditetapkan Tuhan
atasku."
Penakwilan kata :Minassaithan (dari godaan syetan).

Abu Ja'far mengakatakan: Syetan dalam perkataan Arab berarti segala yang membangkang dari jenis jin,
manusia, binatang atau lainnya.

Allah Ta'ala berfirman :" Dan demikianlah Kami jadikan tiap - tiap nabi itu musuh, yaitu sytan - syetan
(dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan - perkataan yang indah - indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki,
niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada - adakan."
(Qs Al An'aam (6) : 112)

Pada suatu ketika Umar bin Khathab mengendarai seekor kuda yang berjalan dengan gaya sombong dan
membangkang, Umar pun memukulnya, namun kuda itu tersebut semakin membangkang, maka Umar
pun turun darinya dan berseru, " Sungguh kalian telah menaikkanku diatas syetan! Aku tidak turun hingga
jiwaku mengingkarinya!

(387). Yang menceritakan hal itu kepada kami adalah Yunus bin Abdul A'la katanya, Ibnu Wahb
memberitahukan kepada kami, katanya, Hisyam bin Sa'ad memberitahukan kepadaku dari Zaid bin
Aslam dari bapaknya dari Umar.

bu Ja'far mengatakan alasan kenapa setiap yang membangkang disyebut syetan, karena prilakunya
menyalahi prilaku makhluk - makhluk yang sejenisnya, dan karena ia jauh dari kebaikan. Dan ada yang
mengatakan , karena ia seperti ucapan orang, " Rumahku syetan dari rumahmu", maksudnya jauh dari
rumahmu.
Penakwilan kata : Arajiem (yang terkutuk).

Artinya yang terkutuk/dikutuk, baik dikutuk dengan perkataan yang buruk maupun dengan celaan yang
kotor. Namaun secara bahasa, kata Arajiem berarti melemparkan tuduhan, baik dengan perkataan
maupun perbuatan.

Diantaranya tuduhan dengan perkataan, adalah tuduhan bapak Ibrahim kepada putranya Ibrahim AS,
seperti diceritakan dalam Al qur'an, yang artinya : "Berkata bapaknya : "Bencikah kamu kepada ilah-
ilahku, hai Ibrahim. Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan aku rajam, dan tinggalkanlah aku
selama-lamanya."(Qs. Maryam (19):46)

Dan bisa saja makna syetan adalah terkutuk, karena Allah mengusirnya dari langit dan merajamnya
dengan meteor yang menyala. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abas, bahwa ilmu pertama yang
diajarkan oleh Jibril kepada Rasulullah SAW adalah isti'adzah.

(139). Abu Karib menceritakan kepada kami, katanya, Usman bin Sa,id menceritakan kepada kami,
katanya, Basyir bin Imarah menceritakan kepada kami, katanya, Abu Rauq menceritakan kami dari Adh-
Dhahak, dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, " yang pertama turun dari Jibril kepada Muhammad adalah
ia menagtakan : "Wahai Muhammad berlindunglah!" ucapkanlah, " Aku berlindung kepada Dzat yang
maha mendengar lagi maha mengetahui dari syetan yang terkutuk." kemudian berkata, ucapkanlah,"
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang", kemudian ucapkanlah, Ikra'
bismirabikalladzihalaq, yang artinya: " Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan."
(Qs. Al 'Alaq (96):1). Ibnu abas berkata, " Ini adalah surah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada
Muhammad melalui Jibril, dimana ia memerintahkannya berlindung kepada Allah dan bukan kepada
makhluk-Nya.

PENAKWILAN FIRMAN ALLAH :

'Bismillahirrahmanirahiemi ; (Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang)."
Penakwilan kata :Bismi (dengan menyebut nama).
Abu Ja'far mengakatakan: Sesunggunya Allah telah mengajarkan kepada Nabi-Nya SAW agar
mendahulukan nama-Nya yang mulia atas
sekalian perbuatan-Nya, dan menjadikan apa yang telah diajarkan kepada Nabi-Nya tersebut sebagai
Sunnah yang patut diikuti semua makhluk-Nya dalam memulai setiap pembicaraan, penulisan surat, buku
dan aktfitas mereka; sehingga makna yang dzahir dari indikasi "Bismillahi" mencakup makna yang
tersembunyi dari maksud pengucapannya. Hal itu karena huruf baa' pada kata'Bismillahi" menghendaki
adanya suatu pekerjaan, dan tidak ada pekerjaan yang tampak padanya, sehingga sekedar mendengar
kata "Bismillahi" diucapkan maka orang yang mendengarnya telah memahami maksud pengucapannya.
Hal ini seperti orang yang ditanya, " Apakah yang akan kau makan hari ini?" ia menjawab "makanan."
tanpa harus menjawab," Aku memakan makanan."

Dengan demikian jika seseorang yang mengatakan lafazh "Bismillahirrahmanirahiemi" kemudian ia


memulai sebuah surah, maka artinya secara logis." aku membaca dengan menyebut nama Allah yang
maha pengasih lagi maha penyayang." Demikan juga jika ada orang yang mengucapkan lafazh
"Bismillahi" ketika hendak berdiri atau duduk atau apa saja, maka majsudnya, "Aku hendak berdiri
dengan menyebut nama Allah, dan seterusnya. Juga apa yang kami katakan ini dengan ucapan Ibnu
Abbas sebagai berikut, bahwa :

Penakwilan firman Allah :

"Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam
kegelapan , tidak dapat melihat,"(Qs. Albaqarah (2):17)

Abu Ja'far berkata: Bahwa perumpamaan yang disebutkan oleh Allah dalam ayat diatas adalah baik dan
benar, seperti dalam firman-Nya dalam Ayat yang lain : " Apa bila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat
mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang pingsan karena akan
mati." (Qs. Al Ahzaab (33):19). Juga seperti firman-Nya," Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan
kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (meciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.
Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat." (Qs. Luqmaan (31):28).

Adapun mengumpamakan sekelompok orang yang berpostur beda dengan sebuah pohon kurma adalah
tidak benar dan tidak ada contohnya karena tidak ada kesamaan diantara keduanya. Sedangkan alasan
dibenarkannya perumpamaan sekelompok orang munafik dengan seorang yang menyalakan api, karena
yang dimaksud dengannya adalah menginformasikan tentang perumpamaan mereka mencari cahaya
dengan mengaku beriman dengan secara berpura-pura. Pencarian cahaya - meskipun orangnya
berbeda-beda - tapi maknanya adalah satu. sehingga penakwilannya : bahwa perumpamaan orang-orang
munafik yang mencari cahaya dengan mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara berpura-
pura adalah seperti seorang pencari cahaya yang menyalakan api, kemudian pencarian cahaya tersebut
tidak disebutkan dan perumpamaannya dinisbatkan kepada mereka.

Adapun tentang penakwilan ayat ini para ahli tafsir berbeda pendapat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas -
sejumlah pendapat berbeda diantaranya :

(387). Muhammad bin Hamid menceritakan kepada kami, katanya; Salamah menceritakan kepada kami
dari Muhammad bin Ishak dari Muhammad bin Abi Muhammad pembantu Zaid bin Tsabit dari Ikrimah,
atau dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abas, ia berkata: Allah telah membuat perumpamaan bagi orang-
orang munafik seraya berfirman : " Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan
membiarkan mereka dalam kegelapan , tidak dapat melihat," yaitu melihat kebenaran dan
mengatakannya, namun ketika keluar dari gelapnya kekufuran mereka mematikan api itu dengan
kekufuran dan kemunafikan mereka, maka Allah tinggalkan mereka dalam gelapnya kekufuran, sehingga
mereka tidak dapat melihat petunjuk dan tidak dapat mengikuti kebenaran.

(338). Al Mutsana bin Ibrahim menceritakan kepadaku, katanya : Abdullah bin Salih, menceritakan
kepada kami dari Muawiyah bin Salih, dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah :

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu membiarkan
mereka dalam kegelapan , tidak dapat melihat," (Qs. Albaqarah (2):17) .

Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah atas orang - orang munafik yang mengaku bangga
dengan Islam lalu berbesanan dengan orang Islam, mewarisi dari mereka dan berbagi harta rampasan
bersama mereka, lalu ketika mereka meninggal Allah merampas kebanggaan itu dari mereka seperti
pemilik api yang merampas cahayanya dan meninggalkan mereka dalam siksaan."

(339). Musa bin Harun Al Hamdani menceritakan kepada kami, katanya : Asbath menceritakan kepada
kami dari As Suddi tentang berita yang disebutkannya dari Malik, dan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas,
dan dari Murrah Al Hamdani dari Ibnu Mas'ud, dan dari sejumlah sahabat Rasulullah Saw. tentang firman
Allah :

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu membiarkan
mereka dalam kegelapan , tidak dapat melihat," (Qs. Albaqarah (2):17)

Katannya: Ada sekelompok orang masuk Islam ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, kemudian
mereka munafik, maka perumpamaan mereka adalah seperti seorang laki - laki yang berada dalam
kegelapan lalu meyalakan api sehingga cahanya menyinari kotoran-kotoran yang ada di sekitarnya, dan
ia pun melihat apa yang mesti dihindarinya, namun ketika demikian tiba-tiba apinya padam dan ia pun
tidak melihat mana kotoran yang mesti dihindari, demikian juga orang munafik ia berada dalam gelapnya
kesyirikan lalu masuk Islam dan mengetahui mana yang halal dari yang haram, yang baik dari yang buruk
namun ketika demikian tiba-tiba ia berubah menjadi kafir, dan tidak lagi mengetahui mana yang halal dari
yang haram, yang baik dari yang buruk. Adapun cahaya yang dimaksud adalah beriman kepada apa
yang dibawa oleh Muhammad Saw, sedangkan kegelapan adalah kemunafikan mereka.

Penakwilan firman Allah :

"Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar)"(Qs. Albaqarah
(2):18)

Abu Ja'far berkata: Jika benar penakwilan firman Allah :" Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka
, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat," adalah seperti yang kami sebutkan,
bahwa ia adalah informasi dari Allah tentang apa yang akan dibuat-Nya kelak pada hari kiamat atas
orang-orang munafik, menyingkap tabir kepalsuan mereka, melenyapkan cahaya mereka dan
membiarkan mereka terombang-ambing dalam kegelapan siksa akhirat, selanjutnya Dia menjelaskan
bahwa : “ Mereka itu tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali kejalan yang benar,” adalah
firman-Nya yang terletak di akhir tapi berposisi awl, dan makna ayat selengkapnya adalah :

“ Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk , maka tidaklah beruntung perniagaan
mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka
tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar).”

Dengan demikian dapat diketahui bahwa (Qs. Al Baqarah (2):18) adalah marfu’ dari dua sisi dan
manshub dari sisi. Adapun dari sisi marfu’ yang pertama bahwa ia sebagai permulaan karena
mengindikasikan celaan, dimana orang Arab biasa menggunakan ini dalam pujian dan celaan, lalu
membacanya manshub dan marfu’ meskipun ia khabar dari ma’rifah.

Sedangkan sisi marfu’ yang kedua adalah karena tujuan pengulangan dari kata ‘ulaika sehingga
maknanya :

“ Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk , maka tidaklah beruntung perniagaan
mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Mereka itulah) tuli, bisu dan buta, maka tidaklah
mereka akan kembali (kejalan yang benar).”

Abu Ja'far berkata: Ini adalah informasi dari Allah tentang orang-orang munafik, bahwa mereka membeli
kesesatan dengan petunjuk menjadikan mereka tuli sehingga tidak dapat mendengar seruan kebenaran,
dan bisu sehingga tidak dapat mengatakan kebenaran dan buta sehingga tidak dapat melihat kebenaran,
karena Allah telah mengunci mati hati mereka disebabkan karena kemunafikan mereka.

(399) Muhammad bin Hamid menceritakan kepada kami, katanya; Salamah menceritakan kepada kami
dari Muhammad bin Ishak dari Muhammad bin Abi Muhammad Zaid bin Tsabit dari Ikrimah, atau Said bin
Jubair dari Ibnu Abbas tentang firman Allah : “Mereka tuli, bisu dan buta” yaitu tuli, bisu dan buta dari
kebajikan.

(400) Al Mutsanna bin Ibrahim menceritakan kepadaku, katanya : Abdullah bin Shalih menceritakan
kepada kami dari Muawiyah bin Shalih dari Ali bin Thalhah dari Ibnu Abbas tentang firman Allah “Mereka
tuli, bisu dan buta” ia berkata: mereka tidak mendengar petunjuk, tidak malihatnya dan tidak
memahaminya.

Arsitektur Islam

Arsitektur Islam berkembang sangat luas baik itu di bangunan sekular maupun di bangunan keagamaan
yang keduanya terus berkembang sampai saat ini. Arsitektur juga telah turut membantu membentuk
peradaban Islam yang kaya. Bangunan-bangunan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
arsitektur Islam adalah mesjid, kuburan, istana dan benteng yang kesemuanya memiliki pengaruh yang
sangat luas ke bangunan lainnya, yang kurang signifikan, seperti misalnya bak pemandian umum, air
mancur dan bangunan domestik lainnya.
Sejarah
Interior salah satu Mesjid di Edirne

Pada tahun 630 M, Nabi Muhammad beserta tentaranya berhasil menaklukkan Makkah dari suku
Quraish. Pada masa ini bangunan suci Ka'bahKa'bah dilaksanakan sebelum Muhammad menjadi Rasul.
Bangunan suci Ka'bah inilah yang menjadi cikal bakal dari arsitektur Islam. Dahulu sebelum Islam,
dinding Ka'bah dihiasi oleh beragam gambar seperti gambar nabi Isa, Maryam, Ibrahim, berhala, dan
beberapa pepohonan. Ajaran yang muncul belakangan, terutama berasal dari Al Qur'an, akhirnya
melarang penggunaan simbol-simbol yang menggambarkan makhluk hidup terutama manusia dan
binatang.

Pada abad ke-7, muslim terus berekspansi dan akhirnya mendapatkan wilayah yang sangat luas. Tiap
kali muslim mendapatkan tanah wilayah baru, yang pertama kali mereka pikirkan adalah tempat untuk
beribadah, yaitu mesjid. Perkembangan mesjid di saat-saat awal ini sangat sederhana sekali, bangunan
mesjid tidak lain berupa tiruan dari rumah nabi Muhammad, atau terkadang beberapa bangunan
diadaptasikan dari bangunan yang telah ada sebelumnya, misalnya gereja.

Pengaruh dan Gaya

Gaya arsitektur Islam yang mencolok baru berkembang setelah kebudayaan muslim memadukannya
dengan gaya arsitektur dari Roma, Mesir, Persia dan Byzantium. Contoh awal yang paling populer
misalnya Dome of The Rock yang diselesaikan pada tahun 691 di Jerusalem. Gaya arsitek yang
mencolok dari bangunan ini misalnya ruang tengah yang luas dan terbuka, bangunan yang melingkar,
dan penggunaan pola kaligrafi yang berulang. Mesjid Raya Samarra di Irak, selesai pada tahun 847,
bangunan berciri khas dengan adanya minaret. Juga mesjid Hagia Sophia di Istanbul, Turki turut
mempengaruhi corak arsitektur Islam. Ketika Ustman merebut Istanbul dari kekaisaran Byzantium,
mereka mengubah sebuah basilika menjadi mesjid (sekarang museum), yang akhirnya muslim pun
mengambil sebagian dari kebudayaan Byzantium kedalam kekayaan peradaban islam, misalnya
penggunaan kubah. Hagia Sophia juga menjadi model untuk pembangunan mesjid-mesjid Islam
sselanjutnya selama kekaisaran Ustman, misalnya mesjid Sulaiman, dan mesjid Rustem Pasha. Motif
yang mencolok dalam arsitektur Islam hampir selalui mengenai pola yang terus berulang dan berirama,
serta struktur yang melingkar. Dalam hal pola ini, geometri fraktal memegang peranan penting sebagai
materi pola dalam, terutama, mesjid dan istana. Pemakaian kubah juga sama pentingnya dalam arsitektur
islam, pertama kali muncul dalam Dome of The Rock pada tahun 691 dan muncul kembali sekitar abad
ke-17.

Arsitektur Persia

Mesjid Shah di Isfahan, Iran

Persia merupakan kebudayaan yang diketahui melakukan kontak dengan Islam untuk pertama kalinya.
Sisi timur dari sungai eufrat dan tigrisevolusi dari arsitektur persia, yang memang sejak kehadiran Islam,
kejayaan Persia mulai pudar yang menunggu digantikan oleh kebudayaan lain. Banyak kota, misalnya
Baghdad, dibangun dengan contoh kota lama persia misalnya Firouzabad. Bahkan, sekarang bisa
diketahui bahwa dua arsitek yang dipekerjakan oleh Al-Mansur untuk merancang kota pada masa awal
adalah warisanNaubakht, seorang zoroaster persia, dan seorang Yahudi dari Khorasan, Iran yaitu
Mashallah. Mesjid gaya persia bisa dilihat dari ciri khasnya yaitu pilar batu bata, taman yang luas dan
lengkungan yang disokong beberapa pilar. Di Asia Timur, gaya arsitektur Hindu juga turut mempengaruhi
namun akhirnya tertekan oleh kebudayaan persia yang ketika itu dalam masa jayanya. adalah tempat
berdirinya kekaisaran Persia pada sekitar abad ke-7. Karena kedekatannya dengan kekaisaran persia,
Islam cenderung bukan saja meminjam budaya dari persia namun juga mengadopsinya. Arsitektur Islam
mengadopsi banyak sekali kebudayaan dari Persia, bahkan bisa dikatakan arsitektur islam merupakan
dari kekaisaran Persia, yaitu

Arsitektur Moor

Pembangunan mesjid raya di Cordoba pada tahun 785 menandakan bergeliatnya arsitektur islam di
peninsula Iberia dan Afrika Utara. Mesjid dengan gaya Moor sangat mencolok dengan interior
lengkungannya yang penuh dekorasi. Arsitektur moor meraih masa puncaknya dengan dibangunnya
Alhambra, istana sekaligus benteng di Granada, dengan interior yang memiliki ruangan terbuka yang luas
dan memungkinkan udara mengalir secara lancar, dan didominasi dengan pemakaian warna merah, biru
dan emas.

Takdir

Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya
baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu
yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Takdir dalam agama Islam

Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani
sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi
Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan
sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.

Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi
pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

Dimensi ketuhanan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha
kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

* Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak
terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).
* Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-
Furqaan / QS. 25:2)
* Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi.
Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS.
22:70)
* Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa'idah / QS. 5:17)
* Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An'am / QS
6:149)
* Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
* Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang
menentukan segala akibat.

Dimensi kemanusiaan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah
memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan
hidup yang dipilihnya.

* Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar
Ra'd / QS. 13:11)
* (Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih
baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk / QS. 67:2)
* Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang
mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa),
siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal
saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas
mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Iman kepada Allah dan hari
kemudian dalam arti juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.
* ... barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah
ia kafir... (Al Kahfi / QS. 18:29)

Implikasi Iman kepada Takdir

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan
fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia
tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya
kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya
tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini,
diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan
oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk
dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan
manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap
hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).

Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk
berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah.
Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al
Hadits untuk ditaati.

Pranala Luar

* Wawasan Al Quran - Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat Oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
* Takdir Allah tidak Kejam - Artikel Oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi

Fiqih

Fiqih atau fiqh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fiqih seperti Imam
Abu Hanifah mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya
sebagai hamba Allah.

Fiqih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan
hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam
Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih.
Seseorang yang sudah menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.

Etimologi

Dalam bahasa Arab, secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu fiqih merupakan suatu
ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu fiqih
merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.[1]

Sejarah Fiqih

Masa Nabi Muhammad saw

Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama
Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi
Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju
pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang
diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan sholat, zakat dan haji
diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus
seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat
Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan [2], walaupun pada akhirnya akan
kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Masa Khulafaur Rasyidin

Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah
ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah
juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah
masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul
semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.

Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada
masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari
jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi
sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan
ijtihad.[1]

Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan
fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.

Masa Awal Pertumbuhan Fiqih

Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah.
Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan
Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala
disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.

Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij.
Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fiqih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-
pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan
munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud
kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya
bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat
dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih
termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.

Lain-lain

Di Indonesia, Fiqih, diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan non formal seperti Pondok
Pesantren dan di lembaga pendidikan formal seperti di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah

Catatan kaki

1. http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116.html
2. Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, (Kuwait : Univ. Kuwait), hal. 43
3. Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah), I, hal. 12

Surah Al-Ikhlas

Surah Al-Ikhlas ("Memurnikan Keesaan Allah") adalah surah ke-112 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong
surah Makkiyah, terdiri atas 4 ayat dan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah sembari menolak
segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Kalimat inti dari surah ini, "Allahu ahad, Allahus shamad"
(Allah Maha Esa, Allah tempat bergantung), sering muncul dalam uang dinar emas pada zaman
Kekhalifahan dahulu. Sehingga, kadang kala kalimat ini dianggap sebagai slogan negara Khilafah
Islamiyah, bersama dengan dua kalimat Syahadat.
Asbabun Nuzul

Ada beberapa hadits yang menjelaskan Asbabun Nuzul surah ini yang mana seluruhnya mengacu pada
inti yang sama yaitu jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah dimana Allah itu Esa (Al-
Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya (Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan
(Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).

Dilihat dari peristiwa paling pertama, Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa sekelompok Bani Quraisy
pernah meminta Nabi Muhammad untuk menjelaskan leluhur Allah dan kemudian turun surah ini. Riwayat
lain bersumber dari Ubay bin Ka'ab dan Jarir bin Abdillah yang menyebutkan bahwa kaum Musyrikin
berkata kepada Nabi Muhammad, "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Kemudian turun surah ini
untuk menjelaskan permintaan itu.Dalam hadits ini, hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdullah
dijadikan dalil bahwa surah ini Makkiyah. Selain itu dari Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair menyebutkan
bahwa kaum Yahudi yang diantaranya Kab bin Ashraf dan Huyayy bin Akhtab datang menemui Nabi dan
bertanya hal yang sama dengan hadits pertama, kemudian turun surah ini. Dalam hadits ini Sa'id bin
Jubair menegaskan bahwa surah ini termasuk Madaniyah. Dan juga riwayat Qatadah menyebutkan Nabi
Muhammad didatangi kaum AhzabBani Quraisy, Yahudi Madinah, Bani Ghatafan dari Thaif dan Munafiqin
Madinah dan beberapa suku sekitar Makkah) yang juga menanyakan gambaran Allah dan diikuti dengan
turunnya surah ini.

Karena adanya berbagai sumber yang berbeda, status surah ini Makkiyah atau Madaniyah masih
dipertanyakan dan seolah-olah sumber-sumbernya tampak kotradiksi satu-sama lain. Menurut Abul A'la
Maududi, dari hadits-hadits yang meriwayatkannya, dilihat dari peristiwa yang paling awal terjadi, surah
ini termasuk Makkiyah. Peristiwa yang pertama terjadi yaitu pada periode awal Islam di Mekkah yaitu
ketika Bani Quraisy menanyakan leluhur Allah. Kemudian peristiwa berikutnya terjadi di Madinah dimana
orang Nasrani atau orang Arab lain menanyakan gambaran Allah dan kemudian turun surah ini. Menurut
Madudi, sumber-sumber yang berlainan tersebut menujukkan bahwa surah itu diturunkan berulang-ulang.
Jika di suatu tempat ada Nabi Muhammad dan ada yang mengajukan pertanyaan yang sama dengan
peristiwa sebelumnya, maka ayat atau surah yang sama akan diwahyukan kembali untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Selain itu, bukti bahwa surah ini Makkiyah adalah ketika Bilal bin Rabah disiksa
majikannya Umayyah bin Khalaf setelah memeluk Islam. Saat disiksa ia menyeru, "Allahu Ahad, Allahu
Ahad!!" (Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Esa!!). Peristiwa ini terjadi di Mekkah dalam periode
awal Islam sehingga menunjukkan bahwa surah ini pernah diturunkan sebelumnya dan Bilal terinspirasi
ayat surah ini.

Pendapat lain yaitu menurut as-Suyuthi. Menurutnya kata "al-Musyrikin" dalam hadits yang bersumber
dari Ubay bin Ka'ab tertuju pada Musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga mengindikasikan bahwa surah ini
Madaniyyah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dan dengan begitu menurutnya tidak ada pertentangan
antara dua hadits tersebut jika surah ini Madaniyah. Keterangan ini diperkuat juga oleh riwayat Abus
Syaikh di dalam Kitab al-Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang meriwayatkan bahwa
Yahudi Khaibar datang menemui Nabi dan berkata, "Hai Abal Qasim! Allah menjadikan malaikat dari
cahaya hijab, Adam dari tanah hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari buih
air. Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu." Nabi tidak menjawab dan kemudian Jibril
membawa wahyu surah ini untuk menjawab permintaan Yahudi Khaibar.

Keutamaan
Dalam kisah-kisah Islam

Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa pahala membaca
sekali surah Al-Ikhlas sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an sehingga membaca 3 kali surah ini
sama dengan mengkhatam Al-Qur'an. Kisah terkait hadits itu terekam dalam beberapa kisah. Seperti
kisah ketika Nabi bertanya kepada sahabatnya untuk mengkhatam Al-Qur'an dalam semalam. Umar
menganggap mustahil hal itu, namun begitu Ali menyanggupinya. Umar kemudian menganggap Ali belum
mengerti maksud Nabi karena masih muda. Ali kemudian membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 3 kali dan
Nabi Muhammad membetulkan itu. Dalam hadits-hadits terkait hal ini, keutamaan surah Al-Ikhlas sangat
memiliki peran dalam Al-Qur'an sehingga sekali membacanya sama dengan membaca sepertiga Al-
Qur'an.

Riwayat Anas bin Malik juga merekam kisah berkaitan surah Al-Ikhlas yaitu dimana 70.000 malaikat
diutus kepada seorang sahabat di MadinahTabuk merasakan cahaya matahari redup tidak seperti
biasannya dimana kemudian malaikat Jibril datang memberitakan kejadian yang sedang terjadi di
Madinah. yang meninggal hingga meredupkan cahaya matahari. 70.000 malaikat itu diutus hanya karena
ia sering membaca surah ini. Dan karena banyaknya malaikat yang diutus, Anas bin Malik yang saat itu
bersama Nabi Muhammad di
Keutamaan lain

Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan Nabi Muhammad ketika melakukan Isra' ke langit, melihat Arsy di
atas 360.000 sendi dimana jarak antar sendi 300.000 tahun perjalanan. Pada tiap sendi terdapat padang
Sahara sebanyak 12.000 dan luas tiap satu padang sahara itu adalah dari timur ke barat. Pada setiap
padang Sahara itu juga terdapat 80.000 malaikat dimana setiap malaikat membaca surah Al-Ikhlas dan
setelah membaca itu mereka berdoa agar pahala mereka diberikan kepada orang yang membaca al-
Ikhlas, laki-laki maupun perempuan.

Selain itu Nabi Muhammad juga pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada sayap
Jibril, Allahus Shamad (ayat 2) pada sayap Mikail, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada sayap Izrail,
dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada sayap Israfil. Dan yang membaca al-Ikhlas
memperoleh pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Lalu berkaitan sahabat, Nabi pernah
berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada dahi Abu Bakar, Allahus Shamad (ayat 2) pada
dahi Umar, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada dahi Utsman, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad
(ayat 4) pada dahi Ali.

Sedangkan hadits lain menyebutkan bahwa ketika orang membaca al-Ikhlas ketika sakit hingga ia
meninggal, ia tidak membusuk dalam kubur dan akan dibawa malaikat dengan sayapnya melintasi Siratul
Mustaqim menuju surga.
Referensi

1. Thabathaba'i, Allamah MH. 1987. Mengungkap Rahasia Al-Qur'an. Bandung: Mizan


2. "Nama-nama lain dari Surah Al-Ikhlas", Hidayah, Februari 2009
3. Musnad Ahmad, Ibnu Abi Harim, Ibnu Jarir, Tirmidhi, Bukhari dalam At-Tarikh, Ibnu al-Mundhir,
Hakim, Baihaqi
4. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Adi, Baihaqi dalam Al-Asma was-Sifat
5. The Noble Qur'an. Madudi's Introduction of Al-Ikhlas.
6. Al-Qur'an Digital. Ver.2.1. Surah Al-Ikhlas:1
7. Kitab Hayatun Quluubi
8. Kitab Tadzikaratul Qurthuby

Mazhab

Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang
menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika
cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang
dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya,
bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
Pengertian ulama fiqih
Mazhab menurut ulama fiqih, adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih
mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam
kawasan ilmu furu'. Ini adalah pengertian mazhab secara umum, bukan suatu mazhab khusus.
Pembagian Mazhab

Mazhab yang digunakan secara luas saat ini antara lain mahzab Hanafii, mazhab Maliki, mazhab Syafi'i
dan mazhab Hambali dari kalangan Sunni. Sementara kalangan Syi'ah memiliki mazhab Ja'fari,
Ismailiyah dan Zaidiyah.
SUNNI :

Sunni atau lebih dikenal dengan Ahlus-Sunnah wal Jama'ah pada awal mula perkembangannya banyak
memiliki aliran, ada beberapa sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in yang dikenal memiliki aliran masing-
masing. Sampai kemudian terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di
dalam keyakinan Sunni, empat mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti, perbedaan yang ada pada
setiap mazhab tidak bersifat fundamental.
1. Hanafi

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar
45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan
Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan
Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
2. Maliki

Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 25% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di
negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tatacara hidup
penduduk Madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad hijrah, hidup, dan meninggal di
sana; dan terkadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.
3. Syafi'i

Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar
terutama di Indonesia, Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Thailand, Singapura, Filipina, Sri
Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
4. Hambali

Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia
dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Saudi
Arabia.
SYI'AH :

Syi'ah atau lebih dikenal lengkapnya dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali pada awal mula
perkembangannya juga banyak memiliki aliran. Namun demikian hanya tiga aliran yang masih ada
sampai sekarang, yaitu Itsna 'Asyariah (paling banyak diikuti), Ismailiyah dan Zaidiyah. Di dalam
keyakinan utama Syi'ah, Ali bin Abu Thalib dan anak-cucunya dianggap lebih berhak untuk memegang
tampuk kepemimpinan sebagai khalifah dan imam bagi kaum muslimin. Di antara ketiga mazhab Syi'ah
terdapat perbedaan dalam hal siapa saja yang menjadi imam dan pengganti para imam tersebut pada
saat ini.
1. Ja'fari

Mazhab Ja'fari atau Mazhab Dua Belas Imam (Itsna 'Asyariah) adalah mazhab dengan penganut yang
terbesar dalam Muslim Syi'ah. Dinisbatkan kepada Imam ke-6, yaitu Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad
bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keimaman kemudian berlanjut yaitu sampai Muhammad al-Mahdi
bin Hasan al-Asykari bin Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin
Ja'far ash-Shadiq. Mazhab ini menjadi mazhab resmi dari Negara Republik Islam Iran.
2. Ismailiyah
Mazhab Ismaili atau Mazhab Tujuh Imam berpendapat bahwa Ismail bin Ja'far adalah Imam pengganti
ayahnya Jafar as-Sadiq, bukan saudaranya Musa al-Kadzim. Dinisbatkan kepada Ismail bin Ja'far ash-
Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Garis Imam Ismailiyah sampai ke Imam-
imam Aga Khan, yang mengklaim sebagai keturunannya.
3. Zaidiyah

Mazhab Zaidi atau Mazhab Lima Imam berpendapat bahwa Zaid bin Ali merupakan pengganti yang
berhak atas keimaman dari ayahnya Ali Zainal Abidin, ketimbang saudara tirinya, Muhammad al-Baqir.
Dinisbatkan kepada Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Setelah kematian imam ke-4, Ali Zainal
Abidin, yang ditunjuk sebagai imam selanjutnya adalah anak sulung beliau yang bernama Muhammad al-
Baqir, yang kemudian diteruskan oleh Ja'far ash-Shadiq. Zaid bin Ali menyatakan bahwa imam itu harus
melawan penguasa yang zalim dengan pedang. Setelah Zaid bin Ali syahid pada masa Bani Umayyah, ia
digantikan anaknya Yahya bin Zaid.
4. Khawarij

Mazhab Khawarij mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi
Thalib, lalu menolaknya karena melakukan takhrif (perdamaian} dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang
mereka anggap zalim. Awalnya mazhab ini berpusat di daerah Irak bagian selatan. Kaum Khawarij
umumnya fanatik dan keras dalam membela mazhabnya, serta memiliki pemahaman tekstual Al-Quran
yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah.
5. Lain-lain

* Mazhab agama Islam yang paling banyak dianut di Indonesia adalah Mazhab Syafi'i
* Pengertian Mazhab dalam Islam tidak serupa dengan denominasi dalam Kristen, melainkan satu
tingkat di bawahnya. Denominasi Katolik-Protestan-Ortodoks lebih setara dengan denominasi (firqah)
Sunni-Syi'ah dalam Islam.
* Istilah Mazhab secara umum dalam bahasa Indonesia juga digunakan untuk merujuk kepada suatu
aliran tertentu dalam suatu disiplin ilmu atau filsafat, misalnya Mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh
pemikirnya Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, Jürgen Habermas, dll.

Kajian - Surah Al-Ikhlas


PostDateIcon Jumat, 01 Mei 2009 03:46 | PostAuthorIcon Author: BDI | PDF Cetak E-mail
Indeks Artikel
Kajian
Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari
Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari -2
Arsitektur Islam
Takdir
Fiqih
Surah Al-Ikhlas
Mazhab
Semua Halaman
Halaman 7 dari 8
Surah Al-Ikhlas

Surah Al-Ikhlas ("Memurnikan Keesaan Allah") adalah surah ke-112 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong
surah Makkiyah, terdiri atas 4 ayat dan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah sembari menolak
segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Kalimat inti dari surah ini, "Allahu ahad, Allahus shamad"
(Allah Maha Esa, Allah tempat bergantung), sering muncul dalam uang dinar emas pada zaman
Kekhalifahan dahulu. Sehingga, kadang kala kalimat ini dianggap sebagai slogan negara Khilafah
Islamiyah, bersama dengan dua kalimat Syahadat.
Asbabun Nuzul

Ada beberapa hadits yang menjelaskan Asbabun Nuzul surah ini yang mana seluruhnya mengacu pada
inti yang sama yaitu jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah dimana Allah itu Esa (Al-
Ikhlas [112]:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya (Al-Ikhlas [112]:2), tidak beranak dan diperanakkan
(Al-Ikhlas [112]:3), dan tidak ada yang setara dengan Dia (Al-Ikhlas [112]:4).

Dilihat dari peristiwa paling pertama, Abdullah bin Mas'ud meriwayatkan bahwa sekelompok Bani Quraisy
pernah meminta Nabi Muhammad untuk menjelaskan leluhur Allah dan kemudian turun surah ini. Riwayat
lain bersumber dari Ubay bin Ka'ab dan Jarir bin Abdillah yang menyebutkan bahwa kaum Musyrikin
berkata kepada Nabi Muhammad, "Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu." Kemudian turun surah ini
untuk menjelaskan permintaan itu.Dalam hadits ini, hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdullah
dijadikan dalil bahwa surah ini Makkiyah. Selain itu dari Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair menyebutkan
bahwa kaum Yahudi yang diantaranya Kab bin Ashraf dan Huyayy bin Akhtab datang menemui Nabi dan
bertanya hal yang sama dengan hadits pertama, kemudian turun surah ini. Dalam hadits ini Sa'id bin
Jubair menegaskan bahwa surah ini termasuk Madaniyah. Dan juga riwayat Qatadah menyebutkan Nabi
Muhammad didatangi kaum AhzabBani Quraisy, Yahudi Madinah, Bani Ghatafan dari Thaif dan Munafiqin
Madinah dan beberapa suku sekitar Makkah) yang juga menanyakan gambaran Allah dan diikuti dengan
turunnya surah ini.

Karena adanya berbagai sumber yang berbeda, status surah ini Makkiyah atau Madaniyah masih
dipertanyakan dan seolah-olah sumber-sumbernya tampak kotradiksi satu-sama lain. Menurut Abul A'la
Maududi, dari hadits-hadits yang meriwayatkannya, dilihat dari peristiwa yang paling awal terjadi, surah
ini termasuk Makkiyah. Peristiwa yang pertama terjadi yaitu pada periode awal Islam di Mekkah yaitu
ketika Bani Quraisy menanyakan leluhur Allah. Kemudian peristiwa berikutnya terjadi di Madinah dimana
orang Nasrani atau orang Arab lain menanyakan gambaran Allah dan kemudian turun surah ini. Menurut
Madudi, sumber-sumber yang berlainan tersebut menujukkan bahwa surah itu diturunkan berulang-ulang.
Jika di suatu tempat ada Nabi Muhammad dan ada yang mengajukan pertanyaan yang sama dengan
peristiwa sebelumnya, maka ayat atau surah yang sama akan diwahyukan kembali untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Selain itu, bukti bahwa surah ini Makkiyah adalah ketika Bilal bin Rabah disiksa
majikannya Umayyah bin Khalaf setelah memeluk Islam. Saat disiksa ia menyeru, "Allahu Ahad, Allahu
Ahad!!" (Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Esa!!). Peristiwa ini terjadi di Mekkah dalam periode
awal Islam sehingga menunjukkan bahwa surah ini pernah diturunkan sebelumnya dan Bilal terinspirasi
ayat surah ini.

Pendapat lain yaitu menurut as-Suyuthi. Menurutnya kata "al-Musyrikin" dalam hadits yang bersumber
dari Ubay bin Ka'ab tertuju pada Musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga mengindikasikan bahwa surah ini
Madaniyyah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dan dengan begitu menurutnya tidak ada pertentangan
antara dua hadits tersebut jika surah ini Madaniyah. Keterangan ini diperkuat juga oleh riwayat Abus
Syaikh di dalam Kitab al-Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang meriwayatkan bahwa
Yahudi Khaibar datang menemui Nabi dan berkata, "Hai Abal Qasim! Allah menjadikan malaikat dari
cahaya hijab, Adam dari tanah hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari buih
air. Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu." Nabi tidak menjawab dan kemudian Jibril
membawa wahyu surah ini untuk menjawab permintaan Yahudi Khaibar.

Keutamaan
Dalam kisah-kisah Islam

Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa pahala membaca
sekali surah Al-Ikhlas sama dengan membaca sepertiga Al-Qur'an sehingga membaca 3 kali surah ini
sama dengan mengkhatam Al-Qur'an. Kisah terkait hadits itu terekam dalam beberapa kisah. Seperti
kisah ketika Nabi bertanya kepada sahabatnya untuk mengkhatam Al-Qur'an dalam semalam. Umar
menganggap mustahil hal itu, namun begitu Ali menyanggupinya. Umar kemudian menganggap Ali belum
mengerti maksud Nabi karena masih muda. Ali kemudian membaca surah Al-Ikhlas sebanyak 3 kali dan
Nabi Muhammad membetulkan itu. Dalam hadits-hadits terkait hal ini, keutamaan surah Al-Ikhlas sangat
memiliki peran dalam Al-Qur'an sehingga sekali membacanya sama dengan membaca sepertiga Al-
Qur'an.

Riwayat Anas bin Malik juga merekam kisah berkaitan surah Al-Ikhlas yaitu dimana 70.000 malaikat
diutus kepada seorang sahabat di MadinahTabuk merasakan cahaya matahari redup tidak seperti
biasannya dimana kemudian malaikat Jibril datang memberitakan kejadian yang sedang terjadi di
Madinah. yang meninggal hingga meredupkan cahaya matahari. 70.000 malaikat itu diutus hanya karena
ia sering membaca surah ini. Dan karena banyaknya malaikat yang diutus, Anas bin Malik yang saat itu
bersama Nabi Muhammad di
Keutamaan lain

Dalam riwayat Ibnu Abbas disebutkan Nabi Muhammad ketika melakukan Isra' ke langit, melihat Arsy di
atas 360.000 sendi dimana jarak antar sendi 300.000 tahun perjalanan. Pada tiap sendi terdapat padang
Sahara sebanyak 12.000 dan luas tiap satu padang sahara itu adalah dari timur ke barat. Pada setiap
padang Sahara itu juga terdapat 80.000 malaikat dimana setiap malaikat membaca surah Al-Ikhlas dan
setelah membaca itu mereka berdoa agar pahala mereka diberikan kepada orang yang membaca al-
Ikhlas, laki-laki maupun perempuan.

Selain itu Nabi Muhammad juga pernah berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada sayap
Jibril, Allahus Shamad (ayat 2) pada sayap Mikail, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada sayap Izrail,
dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad (ayat 4) pada sayap Israfil. Dan yang membaca al-Ikhlas
memperoleh pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Lalu berkaitan sahabat, Nabi pernah
berkata bahwa Qul Huwallahu Ahad (ayat 1) tertulis pada dahi Abu Bakar, Allahus Shamad (ayat 2) pada
dahi Umar, Lam Yalid Walam Yuulad (ayat 3) pada dahi Utsman, dan Walam Yaqullahu Khufuwan Ahad
(ayat 4) pada dahi Ali.

Sedangkan hadits lain menyebutkan bahwa ketika orang membaca al-Ikhlas ketika sakit hingga ia
meninggal, ia tidak membusuk dalam kubur dan akan dibawa malaikat dengan sayapnya melintasi Siratul
Mustaqim menuju surga.
Referensi

1. Thabathaba'i, Allamah MH. 1987. Mengungkap Rahasia Al-Qur'an. Bandung: Mizan


2. "Nama-nama lain dari Surah Al-Ikhlas", Hidayah, Februari 2009
3. Musnad Ahmad, Ibnu Abi Harim, Ibnu Jarir, Tirmidhi, Bukhari dalam At-Tarikh, Ibnu al-Mundhir,
Hakim, Baihaqi
4. Ibnu Abi Hatim, Ibnu Adi, Baihaqi dalam Al-Asma was-Sifat
5. The Noble Qur'an. Madudi's Introduction of Al-Ikhlas.
6. Al-Qur'an Digital. Ver.2.1. Surah Al-Ikhlas:1
7. Kitab Hayatun Quluubi
8. Kitab Tadzikaratul Qurthuby

You might also like