Professional Documents
Culture Documents
html
RIWAYAT HIDUP
Beliau dilahirkan di Italia dan dididik dalam lingkungan liberal. Montessori adalah
wanita pertama yang mendirikan sekolah medis di Italia dan membangun psikologi
yang berbasis sistem pendidikan dan disebarkan ke dunia internasional. Setelah itu ia
mendirikan universitas di Roma dimana ia mempelajari ilmu dokter anak dan
psikiatris. Montessori menjadi tertarik pada pembelajaran dan pengembangan anak-
anak. Ia membiayai anak jalanan dan mengobservasi mereka dengan uangnya sendiri.
Banyak permainan anak-anak yang dapat diterapkan oleh orang tua sebagai orang
terdekat mereka, untuk mengembangkan kemampuan intelektual, psikomotorik,
emosional, dan kognitif. Permainan-permainan itu harus diseleksi oleh orang tua dan
harus dijelaskan arti dari permainan itu. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian
dari orang tuanya terutama anak-anak yang menerima pola asuh permissive, mereka
akan cenderung mempunyai pola kebiasaan yang menyendiri dan kognisi mereka
cenderung terhambat. Hal ini dikarenakan mereka tidak bisa mengembangkan
kreativitas yang ada pada diri mereka. hal ini terjadi pada anak balita, maka penyebab
utamanya adalah kesalahan orang tua dalam menerapkan pendidikan pada anaknya.
B. Afektif (emosi)
- Tidak boleh dipaksa
- Proses pendidikan harus dengan kemauan anak sendiri
- Anak harus merasa senang dalam belajar
CERITA:
Saat bermain, anak-anak diminta untuk membuat kelompok kecil bersama teman-
temannya. Kemudian disediakan alat-alat seperti sekop kecil, pasir, batu-batuan,
gerobak kecil. Tiap kelompok diminta untuk membuat suatu bangunan sederhana, dari
permaina tersebut anak-anak dapat belajar bekerja sama untuk membangun bangunan
sederhana tersebut.
Sebelum membina perlu menentukan seperangkat nilai yang mau ditanamkan. Watak
kepribadian macam apa yang ingin dilatihkan dan dikembangkan? Sikap sosial
macam apa yang hendak kita bangun? Kegiatan atau pengalaman apa yang hendak
kita berikan untuk membangun etika dan moral yang baik sesuai dengan usia? Namun
yang paling penting adalah nilai, etika dan moral dari sikap dan perilaku orang tuanya
sendiri. Nilai apa yang hendak kita transferkan kepada anak-anak? Kita dapat mencari
"potret" orang tua yang positif dalam menanamkan nilai-nilai. Pendekatan macam apa
yang hendak kita gunakan secara positif.
Pada metode ini guru hanya bersifat sebagai fasilitator dan mediator saja selebihnya
menjadi tanggung jawab peserta didik. Student Centered Learning ini lebih
menekankan pada pembelajaran-pembelajaran kasus. Peserta didik di bagi menjadi
kelompok-kelompok, lalu peserta didik belajar cara untuk mengkaji masalah,
menganalisa dan mencari solusi masalah yang dikaji. Setelah itu, peserta didik
mengajukan pertanyaan atau masalah, lalu terintegrasi dengan disiplin ilmu lain.
Setelah itu, penyelidikan otentik pun dapat dilakukan dan akan menghasilkan produk
atau karya yang menggangumkan. Cara inilah yang akan menghasilkan sumber daya
manusia yang potensial.
BAB III
TAHAPAN TEORI
Tingkah laku-tingkah laku yang bermasalah, yang termasuk dalam kategori kuat
diantaranya:
1. Koordinasi yang buruk
2. Gangguan mental
3. Imajinasi yang melampaui batas
4. Keributan yang mengganggu orang lain
5. Posesif dan egois
6. Ketidaksenangan
7. Tidak mampu berkonsentrasi
8. Agresif
9. Miskinnya disiplin diri
10. Tidak menyenangkan untuk orang lain
Anak-anak yang normal mempunyai ciri-ciri yang harmonis dan bersatu, diantaranya:
1. Mencintai orang lain
2. Cinta pekerjaan
3. Sadar akan realita
4. Cinta akan kesendirian dan bekerja sendiri
5. Tidak posesif
6. Kesenangan
7. Konsentrasi
8. Kesendirian dan inisiatif
9. Disiplin diri
10. Mempunyai kegembiraan
Tingkah laku-tingkah laku yang bermasalah, yang termasuk dalam kategori lemah
diantaranya:
1. Tidak rapi
2. Bosan
3. Menampilkan ketakutan
4. Selalu mengharapkan bantuan dari orang lain
5. Sering mencuri
6. Ketidaksenangan akan ketakutan
7. Tidak mampu berkonsentrasi
8. Pasif
9. Miskinnya disiplin diri
10. Menangis, mimpi buruk, dan takut akan kegelapan.
KASUS
Pendekatan disiplin yang kita terapkan pada anak-anak merupakan area yang krusial
pada tahap perkembangan emosi. Montessori mengemukakan jalan keluar yang
terbaik tentang pentingnya kekhawatiran disiplin diri pada anak-anak. Dia
mengidentifikasi tiga tahap yang mengajarkan tentang disiplin diri.
Pepatah mengatakan, "Anak-anak tidak pernah menjadi pendengar yang baik bagi
orang tuanya, tetapi mereka dapat menjadi "peniru ulung" bagi orang tuanya" Mereka
belajar melalui melihat apa yang ada dan terjadi di sekitarnya bukan lewat nasihat
semata-mata. Nilai yang kita ajarkan melalui kata-kata, hanya sedikit yang mereka
lakukan, sedangkan nilai yang kita ajarkan melalui perbuatan, akan banyak mereka
lakukan. Sikap dan perilaku kita merupakan pendidikan watak yang terjadi setiap hari,
dari pagi sampai malam. Menjadi model pelaksana moral bagi anak-anak bukan suatu
pilihan bebas, tetapi suatu keharusan yang tak terelakkan. Ini kenyataan hidup. Kita
menjadi teladan mereka setiap hari. Kita juga belajar moral dari keteladanan orang tua
dan orang dewasa di sekitar kita. Oleh karena itu, orang tua harus bersikap benar agar
anak-anak dapat mempunyai tingkah laku yang baik.
Beberapa kriteria yang harus dimiliki orang tua sebagai model bagi anak-anak
mereka:
1) Sadar bahwa kita menjadi teladan utama anak-anak!
2) Tunjukkan prioritas nilai melalui kegiatan dan pengalaman harian!
3) Tunjukkan kita adalah pribadi yagn ramah, positif, dan terintegrasi!
4) Hadapi anak dengan penuh penghargaan, cintai mereka dan mengertilah mereka!
5) Yakinlah akan nilai-nilai yang kita miliki!
6) Pada pilihan etis, bertanyalah kepada mereka bagaimana sebaiknya harus
mengambil pilihan atau keputusan.
Secara normal setiap anak memiliki karakteristik untuk suka mencari tahu, suka
bekerja, konsentrasi spontan, mulai memahami realita, suka ketenangan dan bekerja
sendiri, memiliki rasa posesif, ingin melakukan semuanya sendiri, patuh, mandiri dan
memiliki inisiatif, disiplin diri, spontan, dan ceria. Kesemua sifat ini dimiliki anak
secara normal dan metode pengajaran yang diterapkan tidak melawan kenormalan ini.
Orang tua harus menggunakan karakteristik itu untuk memasukkan berbagai
pemahaman dan nilai.
Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai enam tahun
biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu saja juga dipengaruhi
seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak sejak
usia dini. Perkembangan mental usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang
tidak boleh disepelekan. Anak-anak memiliki periode-periode sensitif atau kepekaan
untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak berkembang pada masa
yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran
mereka.
Selain Maria Montessori, ada beberapa tokoh yang mengajarkan tentang pentingnya
pengasuhan dan pembelajaran ketika masih kanak-kanak, salah satunya adalah Ki
Hajar Dewantara dan Langeveld. Ki Hajar Dewantara meyakini bahwa suasana
pendidikan yang tepat dan baik adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan
prinsip asih (kasih), asah (memahirkan) – asuh (bimbingan). Anak
bertumbuhkembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang,
pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang nyaman dan damai. Ia
menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk
mencerdaskan otak kiri dan meningkatkan keterampilan tangan (educate the head, the
heart and the hand). Kegiatan pembelajaran dan pendidikan didesain sedemikian
sehingga berlangsung alamiah seperti bermain di "TAMAN". Sejak kecil anak anak
hendaknya dilatih keterampilan tangannya. Anak jangan dicabut dari suasana keluarga
dan dunia bermain mereka.
Selain itu Langeveld berpendapat bahwa sejak usia tiga setengah tahun seorang anak
sudah mampu menerima pendidikan. Langeveld menengahi bahwa pada tahap Taman
Kanak-kanak (3 – 6 tahun), kemampuan-kemampuan yang hendaknya dicapai siswa
adalah:
1. Berbahasa lisan, berbicara dan bercerita
2. Mengenal pola kehidupan sosial (aku, keluarga, dan sekolah) yang mencakup
dirinya dan lingkungan yang dekat dengan dirinya (egosentrisme)
3. Mengerti dan menguasai keterampilan untuk kepentingan kebutuhan sehari-hari,
seperti misalnya mandi, menggosok gigi, berganti pakaian, makan, dan ke toilet.
4. Keinginan untuk berkhayal, dan belum dapat membedakan secara tegas antara
kenyataan dan imajinasi belaka.
Cara yang paling tepat dalam mendidik anak supaya anak dapat hidup mandiri yaitu
membiarkan anak mengamati pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan perawatan
rumahnya, dan biarkan mereka mengetahui bahwa segalanya harus dilakukan secara
teratur dan bersih. Hal ini dikarenakan anak suka meniru kegiatan yang dilakukan
oleh orang dewasa, dan kita harus membiarkan dia mengetahui bahwa semua itu dia
lakukan karena merupakan tanggung jawabnya, bukan karena mengharapkan hadiah
dari Anda. Beberapa situasi praktis yang dapat dilakukan anak yang berumur 2-4
tahun di rumah misalnya membuka dan menutup laci, papan kerja atau bingkai
pakaian, menuang beras, membersihkan debu, membawa kursi, melipat serbet, menata
meja, mencuci peralatan makan, mencuci tangan, mencuci meja, menyapu lantai,
menggosok peralatan dari perak, menyemir sepatu, mengikat tali sepatu, dll
Yang dibutuhkan:
* Lemari berlaci milik anak sendiri
Peragaan:
* Pertama-tama letakkan dua jari dan ibu jari pada masing-masing tombol atau
pegangan.
* Bukalah dan tutup satu laci dengan hati-hati dan tanpa suara.
* Lanjutkan dengan cara seperti ini pada laci-laci yang ada, kemudian mintalah
kepada anak untuk melakukannya sendiri.
Tujuan:
* Mengajar anak agar menghargai ketenangan dan kerapihan.
* Memberikan anak perasaan bangga ketika dia mampu membuka dan menutup laci
dengan tenang tanpa suara.
Kontrol kesalahan:
* Laci yang digunakan seharusnya tidak mengeluarkan suara.
Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak adalah yang selalu
"dibungkus" dengan permainan yang riang dan "enteng", bernyanyi dan menari.
Pendekatan ini hendaknya jangan dilakukan dengan paksaan. Pembelajaranpun harus
disesuaikan dengan kemampuan si anak, jangan terlalu berat tapi membuatnya cukup
mandiri untuk melakukan tugasnya sendiri. Situasi praktis dirancang untuk mengajari
anak pada pekerjaan yang ada dalam lingkungannya sendiri, dengan jalan mengajari
mereka tentang hal-hal yang ada di sekitarnya. Terlalu sering kita memarahi anak
ketika menutup laci dengan keras tidak membuat anak belajar sesuatu dari
lingkungannya. Tetapi ketika anak belajar menguasai lingkungan rumahnya, dia siap
untuk memulai proses-proses belajar yang lebih rumit.
Selain situasi praktis, anak berumur 2-4 tahun juga perlu diterapkan latihan sensoris.
Latihan-latihan sensoris berhubungan dengan pengembangan dan penajaman panca
indera, dengan demikian akan mempertajam atau mengasah kemampuan intelektual
dan pengendalian anak, serta mempersiapkan mereka untuk memasuki latihan-latihan
yang lebih sulit dan rumit. Sebelum memperkenalkan berbagai macam pelajaran,
pastikan untuk mencermati, pada usia anak berapakah latihan-latihan tersebut
ditunjukkan. Ini merupakan hal yang penting, karena anak berumur dua setengah
tahun tidak akan mampu untuk mengerjakan tugas untuk anak berusia lima tahun.
Dalam situasi sensoris dikenal adanya pembelajaran tiga tahap. Pembelajaran tiga
tahap adalah untuk membantu anak memahami materi-materi pelajaran secara lebih
baik dan memungkinkan anda untuk melihat seberapa jauh anak menangkap dan
menyerap apa yang telah anda tunjukkan kepadanya.
Melalui pengalaman-pengalaman sensoris, anak telah belajar menangani semua
materi-materi secara lembut dan telah menyempurnakan gerakan tangan dan jari-
jarinya dengan menggunakan materi-materi seperti silinder dan teka-teki tombol.
Latihan-latihan ini merupakan persiapan untuk memegang pensil. Sensitivitas
sentuhannya telah berkembang melalui latihan-latihan indera peraba (misalnya latihan
papan kasar dan lembut, keranjang tenun, dan sebagainya), dan mata telah dilatih
melalui latihan-latihan sensoris untuk mengembangkan kerja sama mata-tangan.
Anak harus menguasai betul cara memegang pensil, sebelum mereka mulai
membentuk huruf-huruf, dan kecakapan ini bisa anak peroleh melalui latihan bangn
geometric. Latihan ini juga memungkinkan anak untuk menyempurnakan kerja sama
dan pengendalian mata-tangannya, tanpa ini maka kecakapan menulis yang baik
mustahil dicapai. Bila anak telah berhasil melewati latihan bangun geometric dan
mampu mengendalikan pensil dengan baik, maka dia bisa memulai menulis huruf-
huruf yang sesungguhnya, dan kemudian menulis kata.
KERANJANG TENUN
Usia 2 ½ tahun – 5 tahun
Yang dibutuhkan:
* Keranjang atau kotak kecil yang berisi 2 potong kain berbentuk segi empat dengan
berbagai bahan yang berbeda (misalnya sutera, katun, kain handuk, beludru, kain
sejenis sutera).
Peragaan:
* Tunjukkan kepada anak tiga pasang kain yang mempunyai bahan sangat berbeda.
Kemudian campurlah kain-kain itu dan mintalah kepada anak untuk mencocokkan
kain-kain tersebut dengan cara merasakan dengan jari-jarinya.
* Bila sudah memahami petunjuk diatas, tambahkan lagi dengan kain yang lain.
* Mintalah mereka untuk mencocokkan kain-kain dengan mata tertutup.
Tujuan:
* Mengembangkan dan mempertajam indera peraba.
Kontrol kesalahan:
* Jika salah mengerjakan, pasangan terakhir tidak akan cocok.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan latihan sensoris
seperti membangun menara, membuat keranjang tenun, mainan silinder dan kotak
penyimpanan, botol-botol termos, permainan kancing baju, dll.
Yang dibutuhkan:
* Kotak-kotak sandpaper (ampelas)
* Kotak indeks gambar-gambar
Peragaan:
* Pilihlah bunyi atau bunyi-bunyi yang ingin anda gunakan (jangan menggunakan
lebih dari dua bunyi sekaligus).
* Biarkan anak merasakan huruf dengan jari-jarinya, katakan bunyinya, kemudian
pilihlah gambar dari dalam kotak indeks yang sesuai dengan bunyi yang telah ada
sebelumnya.
* Setiap kali anda mengambil gambar baru, suruh anak mengenali gambar tersebut
sekali lagi, katakan bunyinya dan beritahukan nama benda yang ada dalam gambar
tersebut. Misalnya: bunyi huruf b dengan ball, boat, boy.
* Ulangi latihan ini untuk setiap huruf.
DERET ANGKA
Usia 4 ½ tahun – 5 tahun
Yang dibutuhkan:
* Deret angka mulai dari angka 1 samapi 100 (diambil dari pola angka 1-10)
Peragaan:
* Beriakn angka-angka tersebut kepada anak dalam rangkaian yang tepat, secara
berurutan, dan mintalah anak untuk menderetkannya di atas lantai.
* Mintalah kepada anak-anak untuk mengucapkan masing-masing angka dengan suara
keras.
* Bila semua angka sudah dikeluarkan, tunjukkan kepada anaak angka 0 sampai 9,
angka-angka dimana anak sudah mengenalnya dengan baik.
* Tunjukkan baris berikutnya dimana semua angka mempunyai angka 1 di depan
setiap angka; baris berikutnya akan mempunyai angka 2 di depan setiap angka, dan
begitu seterusnya.
* Bila anak sudah mengenalinya sengan baik, jelaskan kepadanya tentang angka-
angka ganjil dengan warna merah, dan angka-angka genap dengan warna biru.
Tujuan:
Memungkinkan anak membangun urutan rangkaian angka-angka dan memiliki
impresi visual angka-angka ganjil dan angka-angka genap.
BAB V
TAHUN-TAHUN AWAL PERKEMBANGAN ANAK
Pada usia ini yang mulai banyak berkembang adalah perasaan-perasaan negatif.
Ketika usia 12 bulan, perasaan yang berkembang adalah perasaan-perasaan positif
seperti keceriaan, kegembiraan, dan kasih sayang. Sampai usia 18 bulan perasaan
kasih sayang berkembang menjadi kesukaan hati dan kesenangan hati, dan pada usia
selanjutnya sampai usia 24 bulan yang berkembang adalah perasaan sukacita yang
menjadi kegembiraan dan keasyikkan yang mulai disosialisasikan.
Pada usia ini orang tua dan pendidik, hendaknya mengembangkan perasaan-perasaan
positif pada anak, tanpa mencela perasaan-perasaan negatif. Harapannya agar anak-
anak berkembang perasaan positifnya dan menjadi bahagia. Di dalam keluarga dan
kelas perlu dibangun suasana yang menciptakan perasaan-perasaan positif, tetapi
sekaligus juga penerimaan seandainya anak-anak mengalami perasaan negatif. Dari
pengalaman dan penyelidikan menunjukkan bahwa ancaman, tekanan, menakut-
nakuti hanya akan mengakibatkan anak gampang merasa cemas dan tertekan dan
akhirnya kurang memiliki rasa percaya diri.
Musik klasik, lingkungan fisik dan lingkungan psikologis yang baik dapat
menimbulkan perasaan positif bagi dunia anak-anak. Seperti misalnya cerita-cerita
bergambar yang menimbulkan rasa bangga, senang, asyik, lingkungan kelas dan
kamar yang penuh warna-warna ceria, alat-alat permainan yang menimbulkan
kreativitas, pengalaman di dalam keluarga yang ceria, menyenangkan dan demokratis,
harus kita bangun bagi anak-anak kita.
Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan
orang tuanya. Minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, maka guru dan
orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang variatif dan tidak menerapkan
disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan
mengembangkan kecerdasannya dengan cepat kalau diberikan penghargaan dan
pujian yang disertai kasih sayang, dengan memberi punishment yang tidak berlebihan
jika bersalah, diharapkan anak bisa mengembangkan kebutuhan emosi dan
intelektualnya dengan baik.
Penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil umumnya dididik
dengan demokratis, suka melakukan uji coba, menyelidiki sesuatu, suka menjelajah
alam dan tempat, dan aktif tak pernah diam berpangku tangan. Dalam proses
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba
(trial and error), mengadakan observasi tertentu secara bersama-sama, misalnya
dengan menyaksikan dan menyentuh suatu obyek, mengalami dan melakukan sesuatu,
anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar sekaligus
mampu memanfaatkan apa yang telah dipelajari.
Orang tua dan pendidik hendaknya tidak bosan untuk memberikan nasihat; teladan;
ruang pilihan, kesempatan untuk mengambil keputusan; keleluasaan anak-anak untuk
meneladan; mengikuti dan menilai baik buruk sesuatu, benar salah suatu sikap dan
perbuatan. Namun pembinaan pengetahuan tidak sekedar memberikan pengetahuan
tetapi merupakan pelatihan pembiasaan terus menerus tentang sikap yang benar dan
baik, sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Pembinaan dan pembiasaan watak
perlu dilakukan sejak usia dini sebab anak adalah "peniru ulung" dan “pembelajar
ulet’’ sekaligus.
Anak menuruti peraturan hanya ingin lepas dari "persoalan" dengan orang tua/
dewasa, sebagai pihak yang mahakuasa dan anak sebagai pihak yang lemah tak
berdaya. Anak usia 4 – 6 tahun tidak dapat dituntut lepas dari motivasi ini. Mereka
belum tahu alasannya mengapa ada aturan tertentu, mereka hanya tahu bahwa aturan
itu adalah kekuatan besar dari orang tua atau kakaknya agar mereka tetap berkuasa
dan mudah untuk mengaturnya. Anak membatinkan pendidikan nilai melalui
mekanisme "hanya ada satu jalan", tidak ada "memberi dan menerima". Sikap kita
dalam menyikapi itu adalah:
1) Tunjukkan alasan secara sederhana, jika mereka bertanya "Mengapa"?
2) Ketika mereka protes tidak adil, jelaskan bahwa adil tidak mesti sama atau
sebanding
3) Adil mereka artikan terpenuhinya keiningan, jelaskan bahwa tidak semua keinginan
dapat semua terpenuhi karena alasan sosial, keagamaan, ekonomi
4) Ciptakan hubungan yang hangat, akrab
5) Ajarkan suatu nilai dengan nasihat dan modelling
Sebagai contoh, menurut Dr Maria Montessori masa peka belajar membaca dan
mengerti angka adalah umur 4 - 5 tahun. Pada umur 3,5 - 4,5 tahun, anak lebih mudah
belajar menulis. Sedangkan menurut Glenn Doman dan Dr Carl Delacato, waktu
terbaik belajar membaca kira - kira bersamaan waktunya dengan saat anak belajar
bicara. Dalam hal berbahasa, Dr Wilder Penfield \berpendapat bahwa masa pekanya
terjadi pada rentang umur 3 - 5 tahun, ketika kemampuan anak untuk belajar
membaca sedang di puncak. Pada usia ini, anak bisa belajar bahasa kedua (dst.)
secepat dia belajar bahasa ibunya dan tanpa pendidikan formal, asal saja
kesempatannya sama seperti saat belajar bahasa ibu.
Hal ini dibuktikan oleh sebuah penelitian jangka panjang (1960 - 1966) diKota
Denver (AS), yang melibatkan 4.000 anak. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
anak - anak yang belajar membaca lebih awal mempunyai prestasi lebih baik di kelas
satu dibandingkan dengan anak - anak lain yang mempunyai taraf kecerdasan sama,
tidak ditemukan adanya kesulitan belajar, tidak terlihat adanya gangguan sosial dan
psikologis, tidak juga menimbulkan kesulitan penyesuaian diri di sekolah ataupun
menimbulkan kejenuhan terhadap aktivitas membaca. Dengan begitu banyaknya
manfaat dari memberdayakan keluarga melalui keberadaan buku, akankah kita tetap
enggan membangun rumah buku?Mengubah Kebiasaan Seharusnya tidak. Untuk itu
diperlukan kesediaan orangtua memegang peran dominan. Diperlukan kesediaan
orang tua untuk menjadi yang pertama kali mau mengubah diri.
Orangtua harus mulai berupaya untuk mengubah kebiasaan selama ini yang lebih
memanjakan diri serta keluarga dalam konteks benda - benda konsumtif. Selama ini
banyak ayah yang merasa lebih bangga apabila ia mampu membelikan anak-anaknya
mainan semacam Tamiya, boneka Barbie, playstation, dan aneka jenis mainan yang
harganya puluhan bahkan ratusan ribu. Si ayah akan dengan mudah mengeluarkan
uang ataupun menggesek kartu kreditnya. Sementara untuk memberi buku baru, yang
harganya hanya Rp 5.000 saja, sangatlah banyak pertimbangan dan merasa terlalu
mahal. Padahal buku - buku tersebut jelas akan mempengaruhi kepesatan
perkembangan kecerdasan anaknya baik intelektualitas, moralitas maupun
emosionalitasnya.
Hingga kini, banyak suami yang merasa sudah memenuhi "kewajibannya" apabila
sudah mampu membelikan istrinya aneka perabot rumah tangga yang mewah. Hingga
rumahnya pun sesak oleh pajangan perabotan, yang membuat penghuni rumah harus
berjalan ekstra hati - hati agar tidak menyenggol dan memecahkannya. Bahkan begitu
banyaknya, tidak jarang harus menyediakan tempat yang namanya "gudang" untuk
menumpuk barang - barang tersebut. Masih sangat sedikit suami yang merasa telah
melakukan kewajibannya bila ia telah membelikan istrinya setumpuk buku, bila ia
telah menyediakan rak - rak buku. Kalaupun membeli buku, tidak jarang hanya
sebagai pajangan semata. Lagi - lagi hanya sekadar prestise, itu sebabnya buku yang
dipilih biasanya yang tebal dan berjilid – jilid.
Bagaimana dengan ibu? Hingga saat ini masih sangat banyak ibu yang dengan mudah
mengeluarkan uang hanya untuk sekadar beli bakso semangkok atau bahkan
mentraktir anak - anaknya makan di gerai fastfood. Sementara ia akan sangat banyak
pertimbangan, ketika ada penjaja buku eceran yang menjajakan dagangannya. Ada
sebuah ambigu, sama - sama bernilai nominal Rp 5.000. Namun bila untuk kebutuhan
konsumsi bakso, terasa murah, dan sebaliknya bila untuk membeli buku terasa mahal.
Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Harus segera dibenahi.Bisa dimulai
dengan membiasakan diri untuk memberi hadiah buku dalam setiap kesempatan
istimewa.
Sesungguhnya buku adalah pilihan hadiah yang paling netral dan paling tidak
memusingkan. Bukankah begitu banyak pilihan judul buku? Mulai dari buku
pelajaran, buku cerita anak hingga buku untuk orang tua. Mulai dari yang ringan
hingga yang membuat dahi berkerut. Begitu juga dengan harganya sangat beragam.
Dari sekian banyak pilihan, tentulah ada satu yang sesuai sebagai hadiah entah untuk
acara ulang tahun, khitanan, kawinan, kenaikan kelas, kenaikan jabatan, acara
perlombaan, dsb.
Namun yang terpenting dari upaya menghidupkan rumah buku adalah teladan.
Keberadaan rumah buku yang sarat akan aktivitas beraksara ini tidak dapat dilakukan
dengan cara yang otoriter, dengan hanya sekadar memberi perintah, "Kamu harus
baca ini.... Baca itu....". Sementara si orang tuanya sendiri tidak senang membaca,
tidak menghargai keberadaan buku. Tidak dapat demikian. Semuanya memerlukan
proses, kesabaran, teladan, ajakan, informasi berulang - ulang dan memerlukan situasi
yang mendukung minat baca.
Bagi anak - anak, tidak hanya kualitas yang diperlukan dalam mengoptimalkan
perkembangannya, namun juga kuantitas (frekuensi). Bagaimana anak- anak akan
merasa bahwa membaca buku adalah kegiatan yang menyenangkan apabila ia tidak
pernah melihat orang tuanya membaca buku (dengan senang)? Kenyataan yang
sungguh memprihatinkan adalah kian hari kualitas manusia Indonesia justru kian
rendah saja. Fakta menunjukkan daya serap paling tinggi anak-anak terjadi hingga
anak berusia enam tahun. Pada usia inilah apa yang terjadi di sekitar mereka dan apa
yang telah mereka pelajari akan membentuk sikap dan pola yang akan terus
berlangsung pada masa yang akan datang. Jadi, sangatlah penting untuk mencapai
potensi tertinggi pada anak di usia tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyanto, J. N. (2009, Mei 28). Guru MI Belajar Manajemen Kelas di SDIT
Dinamika Umat. Diambil pada 28 Mei 2009, dari
http://teachingbydesign.blogspot.com/2008/05/guru-mi-belajar-manajemen-kelas-di-
sdit.html
Santrock, J. W. (2003). Psychology. New york: Mc Graw-Hill.
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New york: Mc Graw-Hill.