You are on page 1of 21

fannybon.blogspot.com/2009/06/test1.

html

Maria Montessori: hidup dan metode

RIWAYAT HIDUP

Beliau dilahirkan di Italia dan dididik dalam lingkungan liberal. Montessori adalah
wanita pertama yang mendirikan sekolah medis di Italia dan membangun psikologi
yang berbasis sistem pendidikan dan disebarkan ke dunia internasional. Setelah itu ia
mendirikan universitas di Roma dimana ia mempelajari ilmu dokter anak dan
psikiatris. Montessori menjadi tertarik pada pembelajaran dan pengembangan anak-
anak. Ia membiayai anak jalanan dan mengobservasi mereka dengan uangnya sendiri.

Tahun 1899 Montessori menjadi direktur sekolah Orthophrenic, institute medical


psikologi. Tahun 1906, Montessori menemukan The Casa dei Bambini, atau rumah
untuk anak-anak, dimana ia mengembangkan metode pedagogik yang kemudian
dikenal sebagai Sistem Montessori. Sekolah ini dibuka pada Januari 1907,
dikemudian hari metode Montessori menjadi terkenal dan berkembang ke dunia
internasional.

Elizabeth G. Hainstock dalam bukunya “Metode pengajaran Montessori untuk anak


sekolah dasar”, menjelaskan bahwa metode Montessori bertujuan sebagai pengantar
prinsip, agar anak-anak mereka dapat memasuki kesenjangan pendidikan yang lebih
tinggi dengan persiapan yang matang. Pendidikan ini dimulai dari masa prasekolah,
yaitu dengan cara pendidikan Bahasa dan Matematika. Bahasa dan Matematika
merupakan dua hal yang sangat penting dan menjadi dasar untuk pendidikan
selanjutnya. Pendidikan anak dalam dua bidang ini agar mendapatkan hasil yang
optimal, maka menurut Montessori, anak harus belajar atas kemauannya sendiri, tidak
dengan dipaksa. Salah satu cara yang mudah untuk membuat anak menyukai belajar
adalah dengan cara membuat anak belajar sambil bermain karena anak-anak sangat
menyukai permainan. Oleh karena itu, sebagai orang tua dan pendidik harus kreatif
dalam memasukkan pelajaran dalam permainan anak-anak.

Banyak permainan anak-anak yang dapat diterapkan oleh orang tua sebagai orang
terdekat mereka, untuk mengembangkan kemampuan intelektual, psikomotorik,
emosional, dan kognitif. Permainan-permainan itu harus diseleksi oleh orang tua dan
harus dijelaskan arti dari permainan itu. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian
dari orang tuanya terutama anak-anak yang menerima pola asuh permissive, mereka
akan cenderung mempunyai pola kebiasaan yang menyendiri dan kognisi mereka
cenderung terhambat. Hal ini dikarenakan mereka tidak bisa mengembangkan
kreativitas yang ada pada diri mereka. hal ini terjadi pada anak balita, maka penyebab
utamanya adalah kesalahan orang tua dalam menerapkan pendidikan pada anaknya.

PRINSIP METODE MARIA MONTESSORI


Prinsip-prinsip yang digunakan dalam metode Maria Montessori adalah metode
Student Centered Learning. Maria Montessori mengajarkan anak untuk lebih aktif
berperan serta dalam pembelajaran. Dia menerapkan belajar sambil bermain agar
anak-anak lebih dapat mengerti bahan yang dibahas. Secara garis besar Montessori
juga membantu para orang tua dalam menerapkan pola pengajaran yang sesuai bagi
anaknya.

1.3 Pengaruh metode Maria Montessori terhadap perkembangan kognitif,


afektif, dan psikomotorik
Setiap manusia terdiri atas 3 kemampuan, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor, oleh
karena itu penulis akan membahas mengenai kelebihan dengan metode Maria
Montessori dari 3 segi.
A. Kognitif

B. Afektif (emosi)
- Tidak boleh dipaksa
- Proses pendidikan harus dengan kemauan anak sendiri
- Anak harus merasa senang dalam belajar

SKEMA dan CERITA

Melalui alat yang digunakan


tanpa dipaksa◊Membuat anak melakukan sesuatu
Anak menjadi senang
cerita :
Pada hari Ibu, anak-anak diminta menggambar atau membuat sesuatu untuk ibu. Anak
diberi pengertian bahwa apa yang akan mereka buat adalah tanda rasa sayang mereka
pada ibu, sehingga anak akan membuat sesuatu untuk ibunya tanpa dipaksa.
C. Psikomotor

CERITA:
Saat bermain, anak-anak diminta untuk membuat kelompok kecil bersama teman-
temannya. Kemudian disediakan alat-alat seperti sekop kecil, pasir, batu-batuan,
gerobak kecil. Tiap kelompok diminta untuk membuat suatu bangunan sederhana, dari
permaina tersebut anak-anak dapat belajar bekerja sama untuk membangun bangunan
sederhana tersebut.

1.4 Tujuan Metode Maria Montessori


Tujuan penggunaan metode Maria Montessori adalah membantu para orang tua dalam
menerapkan pola pengajaran yang efektif bagi anak mereka. Penerapan metode
belajar yang baik sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan
intelektual, kepribadian, dan dalam hubungan sosial dan emosional. Hal ini
dikarenakan umur lima tahun merupakan umur emas. Dikatakan umur emas karena
pada saat ini kemampuan intelektual anak sedang meningkat sampai taraf optimal.
Jadi orang tua harus menerapkan metode pengajaran yang baik kepada anak mereka.

Sebelum membina perlu menentukan seperangkat nilai yang mau ditanamkan. Watak
kepribadian macam apa yang ingin dilatihkan dan dikembangkan? Sikap sosial
macam apa yang hendak kita bangun? Kegiatan atau pengalaman apa yang hendak
kita berikan untuk membangun etika dan moral yang baik sesuai dengan usia? Namun
yang paling penting adalah nilai, etika dan moral dari sikap dan perilaku orang tuanya
sendiri. Nilai apa yang hendak kita transferkan kepada anak-anak? Kita dapat mencari
"potret" orang tua yang positif dalam menanamkan nilai-nilai. Pendekatan macam apa
yang hendak kita gunakan secara positif.

TUJUAN METODE MARIA MONTESSORI


1. Membantu para orang tua dalam menerapkan pola pengajaran yang efektif bagi
anak mereka.
2. Membantu anak-anak didik dalam mengembangkan tingkat intelektual, psikomotor,
dan afektif yang ada pada diri mereka.
3. Membuat anak dituntut untuk dapat berkembang sesuai dengan periode
perkembangannya saat mereka mulai peka terhadap tugas-tugasnya.
4. Mengajarkan pada anak cara belajar yang efektif dan optimal melalui permainan.
5. Mengembangkan keterampilan yang menekankan pada pentingnya anak bekerja
bebas dan dalam pengawasan terbatas.
6. Anak diajarkan untuk dapat berkonsenterasi dan berkreasi.
7.Guru hanya sebagai pengamat dan pembimbing, karena anak dibiasakan untuk
memilih sesuai dengan keinginan sendiri.
Alat Permainan Edukatif ciptaan Montessori
Montessori menciptakan alat permainan yang memudahkan anak untuk mengingat
dan mengenal konsep-konsep tanpa perlu dibimbing. Alat dirancang dengan
sedemikian rupa agar anak dapat bekerja secara mandiri. Beberapa alat permainan
tersebut antara lain:
- Alat timbangan
- Silinder dengan ukuran serial sepuluh ukuran
- Tongkat-tongkat desimeter, meter
- Gambar-gambar untuk dicontoh, bahan untuk mengembangkan motorik halus
- Bentuk-bentuk segitiga, segi empat, segi enam yang dipecah-pecah
- Bentuk-bentuk tiga dimensi, kerucut, kubus, prisma, bola
- Bujur telur, limas, dan sebagainya

BAB II Landasan Teori

Maria Montessori merupakan seorang pendidik yang menggunakan metode


pendidikan yang menekankan pada pentingnya anak bekerja bebas dan dalam
pengawasan terbatas. Metode Maria Montessori merupakan metode belajar pada
zaman dahulu. Sekarang, Maria Montessori lebih di kenal dengan nama Problem
Based Learning (PBL). PBL ini mempunyai nama lain yaitu Project Based Learning
(pembelajaran berdasarkan proyek), Experience Based Education (belajar berdasarkan
pengalaman), Authentic Learning (pembelajaran otentik), dan Anchored Instruction
(berakar pada kehidupan nyata).
Maria Montessori ini merupakan gabungan dari berbagai macam pembelajaran yang
disebut dengan kolaboratif learning. Kolaboratif learning terdiri dari PBL, PQ4R,
SQ3R. Metode Maria Montessori membuat anak dituntut untuk dapat berkembang
sesuai dengan periode perkembangannya saat mereka mulai peka terhadap tugas-
tugasnya. Maria Montessori berpusat pada peserta didik. Oleh sebab itu, disebut
dengan Student Centered Learning.

Pada metode ini guru hanya bersifat sebagai fasilitator dan mediator saja selebihnya
menjadi tanggung jawab peserta didik. Student Centered Learning ini lebih
menekankan pada pembelajaran-pembelajaran kasus. Peserta didik di bagi menjadi
kelompok-kelompok, lalu peserta didik belajar cara untuk mengkaji masalah,
menganalisa dan mencari solusi masalah yang dikaji. Setelah itu, peserta didik
mengajukan pertanyaan atau masalah, lalu terintegrasi dengan disiplin ilmu lain.
Setelah itu, penyelidikan otentik pun dapat dilakukan dan akan menghasilkan produk
atau karya yang menggangumkan. Cara inilah yang akan menghasilkan sumber daya
manusia yang potensial.

Belajar dengan kasus-kasus dapat mempengaruhi kognitif dan metakognitif peserta


didik itu sendiri. Peserta didik dapat mengembangkan kemampuan kognitif dan
metakognitif pada saat mereka belajar. Tujuan yang ingin dicapai adalah dengan cara
mengkonstruksikan pengetahuan yang telah mereka dapat sebelumnya. Selain itu,
Faktor sosial dan faktor individu itu sendiri berpengaruh dalam metode ini. Metode
ini mengajarkan agar peserta didik aktif dalam bertanya dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan.
Cara pembelajaran lainnya adalah Teori Scaffolding, dimana guru memberikan
materi, lalu peserta didik menangkapnya dan berjalan terus hingga akhirnya peserta
didik sudah mendapat banyak materi dan guru sedikit memberikan materi. Pada saat
ini peserta didik dituntut untuk berkonsentrasi agar dapat menangkap apa yang telah
diberikan oleh guru. Kita seharusnya membantu anak untuk menjadikan fantasi
sebagai suatu hal yang nyata. Setiap orang berimijanasi, namun kita harus mengetahui
cara mengembangkan imajinasi tersebut.

BAB III
TAHAPAN TEORI

3.1 Penggunaan Metode Maria Montessori 3.1.1 Perkembangan kepribadian


Maria Montessori mengidentifikasikan beberapa tahap perkembangan yang berbeda
dan dia percaya setiap orang secara adekuat sebagai orang dewasa mempunyai
kepuasaan dalam setiap tahap. Berikut ini adalah beberapa tahap yang dikemukakan
oleh Maria Montessori:
1. Selama tahap pertama (masa bayi), anak-anak membutuhkan perasaan nyaman dan
hubungan kepuasaan dengan Anda, Ibunya atau ibu pengganti
2. Di tahap selanjutnya, dia mulai berkembang secara individual. Dia tetap
membutuhkan ibunya terutama ketika ia mencoba melakukan sesuatu, sebab dia
sering melakukan kesalahan, yang dapat menyebabkan dia kehilangan kepercayaan
diri dan mulai ragu akan kemampuan dirinya.
3. Di tahap paling akhir yaitu tahap 3 - 6 tahun, koresponden menerapkan pikiran
yang membuat kepribadian anak-anak menjadi normal.
Tabel Kondisi yang Mempengaruhi Kepribadian Anak

Tingkah laku-tingkah laku yang bermasalah, yang termasuk dalam kategori kuat
diantaranya:
1. Koordinasi yang buruk
2. Gangguan mental
3. Imajinasi yang melampaui batas
4. Keributan yang mengganggu orang lain
5. Posesif dan egois
6. Ketidaksenangan
7. Tidak mampu berkonsentrasi
8. Agresif
9. Miskinnya disiplin diri
10. Tidak menyenangkan untuk orang lain

Anak-anak yang normal mempunyai ciri-ciri yang harmonis dan bersatu, diantaranya:
1. Mencintai orang lain
2. Cinta pekerjaan
3. Sadar akan realita
4. Cinta akan kesendirian dan bekerja sendiri
5. Tidak posesif
6. Kesenangan
7. Konsentrasi
8. Kesendirian dan inisiatif
9. Disiplin diri
10. Mempunyai kegembiraan

Tingkah laku-tingkah laku yang bermasalah, yang termasuk dalam kategori lemah
diantaranya:
1. Tidak rapi
2. Bosan
3. Menampilkan ketakutan
4. Selalu mengharapkan bantuan dari orang lain
5. Sering mencuri
6. Ketidaksenangan akan ketakutan
7. Tidak mampu berkonsentrasi
8. Pasif
9. Miskinnya disiplin diri
10. Menangis, mimpi buruk, dan takut akan kegelapan.
KASUS

3.1.2 Dukungan sosial dan emosional


Pada anak yang umurnya hampir enam tahun seharusnya mereka mempunyai
kemampuan interaksi sosial yang baik, dan mempunyai kemampuan untuk
mempercayai aturan-aturan yang ada dalam kelompok bermainnya. Dia seharusnya
mempunyai kemampuan untuk berkerja sama dengan teman-teman sebayanya, dan
mempunyai kemampuan untuk peduli terhadap sesamanya.

Pendekatan disiplin yang kita terapkan pada anak-anak merupakan area yang krusial
pada tahap perkembangan emosi. Montessori mengemukakan jalan keluar yang
terbaik tentang pentingnya kekhawatiran disiplin diri pada anak-anak. Dia
mengidentifikasi tiga tahap yang mengajarkan tentang disiplin diri.

Berikut ini adalah tiga tahap yang dikemukakan:


1. Tahap pertama: dari lahir sampai umur delapan belas bulan.
Pada tahap ini anak-anak belum mengerti tentang konsep sehingga belum ada
kesenangan. Anak-anak diajarkan tentang konsistensi dan sensitifitas, yang
merupakan langkah awal dalam hubungan kerja sama. Hal yang penting dilakukan
adalah anda bertemu dengan anak-anak dalam keadaan tenang dan penuh cinta.
2. Tahap kedua: dari umur delapan belas bulan sampai umur empat tahun
Ini merupakan tahap perubahan. Kesenangan hanya dapat terjadi jika anak mengerti.
Kunci dari periode ini adalah menciptakan lingkungan yang aman sehingga dia dapat
mengeksplorasi kebebasannya tanpa anda sebagai orang tua mengatakan kata tidak.
3. Tahap ketiga: dari umur empat tahun sampai umur enam tahun.
Banyak orang tua memberi peringatan dan petunjuk pada anak-anak mereka yang
lebih konservatif dan tidak menyukai perbedaan. Dari tahap ini yang penting adalah
memberikan waktu kepada mereka untuk melakukan keseluruhan aktivitasnya, yaitu
dengan mencoba mengatur sesuatu sehingga anda tidak selalu mengkhawatirkan
mereka atau memberhentikan sesuatu ketika mereka baru saja mulai mengerjakan
sesuatu.

Strategi yang tepat dalam mendidik anak, yaitu:


1) Sadari bahwa nilai-nilai merupakan dasar segala tingkah laku etis
2) Temukan nilai-nilai yang kita hargai dan ciptakan pengalaman bersama anak
bahwa nilai itu baik dan bermakna
3) Berikan ganjaran dan dukungan jika anak bersikap berdasar nilai yang kita
ajarkan
4) Berikan waktu, tuntunan dan perhatian yang dapat dilihat dan dirasakan
5) Ciptakan kesempatan sehingga anak belajar memilih dan mengambil keputusan!
6) Hayati nilai-nilai setiap harinya

Pepatah mengatakan, "Anak-anak tidak pernah menjadi pendengar yang baik bagi
orang tuanya, tetapi mereka dapat menjadi "peniru ulung" bagi orang tuanya" Mereka
belajar melalui melihat apa yang ada dan terjadi di sekitarnya bukan lewat nasihat
semata-mata. Nilai yang kita ajarkan melalui kata-kata, hanya sedikit yang mereka
lakukan, sedangkan nilai yang kita ajarkan melalui perbuatan, akan banyak mereka
lakukan. Sikap dan perilaku kita merupakan pendidikan watak yang terjadi setiap hari,
dari pagi sampai malam. Menjadi model pelaksana moral bagi anak-anak bukan suatu
pilihan bebas, tetapi suatu keharusan yang tak terelakkan. Ini kenyataan hidup. Kita
menjadi teladan mereka setiap hari. Kita juga belajar moral dari keteladanan orang tua
dan orang dewasa di sekitar kita. Oleh karena itu, orang tua harus bersikap benar agar
anak-anak dapat mempunyai tingkah laku yang baik.

Beberapa kriteria yang harus dimiliki orang tua sebagai model bagi anak-anak
mereka:
1) Sadar bahwa kita menjadi teladan utama anak-anak!
2) Tunjukkan prioritas nilai melalui kegiatan dan pengalaman harian!
3) Tunjukkan kita adalah pribadi yagn ramah, positif, dan terintegrasi!
4) Hadapi anak dengan penuh penghargaan, cintai mereka dan mengertilah mereka!
5) Yakinlah akan nilai-nilai yang kita miliki!
6) Pada pilihan etis, bertanyalah kepada mereka bagaimana sebaiknya harus
mengambil pilihan atau keputusan.

3.1.3 Pengaturan dalam perkembangan menentukan kapasitas intelektual anak


Montessori mengemukakan beberapa point penting yang membantu anak-anak secara
potensial dalam perkembangan intelektual mereka. Berikut ini adalah beberapa cara
yang dikemukakan oleh Montessori:
1. Mengizinkan anak anda untuk aktif, membiarkan mereka untuk belajar
mengeksplorasi sensori yang ada di sekitar mereka.
2. Mengakui periode sensitive mereka dan mengizinkan mereka untuk mengulangi
aktivitas mereka ketika mereka dalam keadaan terbaik.
3. Memperkenalkan motivasi yang penting dan bagaimana pengaruhnya dalam
pembelajaran.
BAB IV
PENERAPAN METODE MARIA MONTESSORI

Secara normal setiap anak memiliki karakteristik untuk suka mencari tahu, suka
bekerja, konsentrasi spontan, mulai memahami realita, suka ketenangan dan bekerja
sendiri, memiliki rasa posesif, ingin melakukan semuanya sendiri, patuh, mandiri dan
memiliki inisiatif, disiplin diri, spontan, dan ceria. Kesemua sifat ini dimiliki anak
secara normal dan metode pengajaran yang diterapkan tidak melawan kenormalan ini.
Orang tua harus menggunakan karakteristik itu untuk memasukkan berbagai
pemahaman dan nilai.

Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun kelahiran sampai enam tahun
biasanya menentukan kepribadian anak setelah dewasa. Tentu saja juga dipengaruhi
seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku dan bersikap terhadap anak-anak sejak
usia dini. Perkembangan mental usia awal berlangsung cepat, inilah periode yang
tidak boleh disepelekan. Anak-anak memiliki periode-periode sensitif atau kepekaan
untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak berkembang pada masa
yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran
mereka.

Tahap perkembangan anak:


a) Lahir – 3 tahun : memiliki kepekaan sensoris dan pikiran, sudah dapat menyerap
pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
b) 1 ½ tahun – 3 tahun : kepekaan bahasa dan sangat tepat mengembangkan
bahasanya (berbicara, bercakap-cakap, menirukan)
c) 2 – 4 tahun : koordinasi gerakan otot (latihan berjalan), berminat pada benda-benda
kecil, sadar adanya urutan waktu (pagi, siang, malam).
d) 3 – 6 tahun : kepekaan peneguhan sensoris, kepekaan inderawi. Usia 3 – 4 tahun
anak memiliki kepekaan untuk menulis. Usia 4 – 6 tahun anak memiliki kepekaan
yang bagus untuk membaca.

4.1 Penerapan Metode dalam Situasi Praktis


Montessori mengatakan bahwa ketika mendidik anak-anak, kita hendaknya ingat
bahwa mereka adalah individu-individu yang unik dan akan berkembang sesuai
dengan kemampuan mereka sendiri. Tugas kita sebagai orang dewasa dan pendidik
adalah memberikan dorongan belajar dan memfasilitasinya ketika mereka telah siap
untuk mempelajari sesuatu. Tahun - tahun pertama kehidupan anak adalah masa yang
baik untuk suatu pembentukan, yang merupakan masa paling penting baik untuk
perkembangan fisik, mental maupun spiritual. Di dalam keluarga dan pendidikan yang
demokratis, orang tua dan pendidik berusaha memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan yang dibutuhkan oleh anak.

Selain Maria Montessori, ada beberapa tokoh yang mengajarkan tentang pentingnya
pengasuhan dan pembelajaran ketika masih kanak-kanak, salah satunya adalah Ki
Hajar Dewantara dan Langeveld. Ki Hajar Dewantara meyakini bahwa suasana
pendidikan yang tepat dan baik adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan
prinsip asih (kasih), asah (memahirkan) – asuh (bimbingan). Anak
bertumbuhkembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang,
pengasuhan yang penuh pengertian dan dalam situasi yang nyaman dan damai. Ia
menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan untuk
mencerdaskan otak kiri dan meningkatkan keterampilan tangan (educate the head, the
heart and the hand). Kegiatan pembelajaran dan pendidikan didesain sedemikian
sehingga berlangsung alamiah seperti bermain di "TAMAN". Sejak kecil anak anak
hendaknya dilatih keterampilan tangannya. Anak jangan dicabut dari suasana keluarga
dan dunia bermain mereka.

Pembelajaran dan pelatihan kebiasaan semua dibungkus dalam permainan, dalam


suasana riang, dan seperti di dalam keluarga. Hal yang patut diberi perhatian pada
masa ini adalah pembiasaan dan pelatihan menggunakan panca indera (sensing) serta
persiapan untuk dapat membaca, menulis dan berhitung dengan latihan berbicara,
menggambar, melukis, bernyanyi, menari dan mengenal dunia lingkungan sempit
mereka. Mereka juga memiliki imajinasi yang kreatif. Oleh sebab itu,mereka
cenderung menyukai cerita-cerita imajinatif dan merangsang imajinasi mereka. Hal
ini ditujukan untuk mengembangkan daya imajinasi, kreativitas, kemampuan
berbicara, mendengarkan dan mengarang.

Selain itu Langeveld berpendapat bahwa sejak usia tiga setengah tahun seorang anak
sudah mampu menerima pendidikan. Langeveld menengahi bahwa pada tahap Taman
Kanak-kanak (3 – 6 tahun), kemampuan-kemampuan yang hendaknya dicapai siswa
adalah:
1. Berbahasa lisan, berbicara dan bercerita
2. Mengenal pola kehidupan sosial (aku, keluarga, dan sekolah) yang mencakup
dirinya dan lingkungan yang dekat dengan dirinya (egosentrisme)
3. Mengerti dan menguasai keterampilan untuk kepentingan kebutuhan sehari-hari,
seperti misalnya mandi, menggosok gigi, berganti pakaian, makan, dan ke toilet.
4. Keinginan untuk berkhayal, dan belum dapat membedakan secara tegas antara
kenyataan dan imajinasi belaka.

Cara yang paling tepat dalam mendidik anak supaya anak dapat hidup mandiri yaitu
membiarkan anak mengamati pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan perawatan
rumahnya, dan biarkan mereka mengetahui bahwa segalanya harus dilakukan secara
teratur dan bersih. Hal ini dikarenakan anak suka meniru kegiatan yang dilakukan
oleh orang dewasa, dan kita harus membiarkan dia mengetahui bahwa semua itu dia
lakukan karena merupakan tanggung jawabnya, bukan karena mengharapkan hadiah
dari Anda. Beberapa situasi praktis yang dapat dilakukan anak yang berumur 2-4
tahun di rumah misalnya membuka dan menutup laci, papan kerja atau bingkai
pakaian, menuang beras, membersihkan debu, membawa kursi, melipat serbet, menata
meja, mencuci peralatan makan, mencuci tangan, mencuci meja, menyapu lantai,
menggosok peralatan dari perak, menyemir sepatu, mengikat tali sepatu, dll

Membuka dan Menutup Laci


Usia 2 ½ tahun – 4 tahun

Yang dibutuhkan:
* Lemari berlaci milik anak sendiri

Peragaan:
* Pertama-tama letakkan dua jari dan ibu jari pada masing-masing tombol atau
pegangan.
* Bukalah dan tutup satu laci dengan hati-hati dan tanpa suara.
* Lanjutkan dengan cara seperti ini pada laci-laci yang ada, kemudian mintalah
kepada anak untuk melakukannya sendiri.

Tujuan:
* Mengajar anak agar menghargai ketenangan dan kerapihan.
* Memberikan anak perasaan bangga ketika dia mampu membuka dan menutup laci
dengan tenang tanpa suara.

Kontrol kesalahan:
* Laci yang digunakan seharusnya tidak mengeluarkan suara.

4.2 Penerapan Metode dalam Situasi Sensoris


Pada umur dua sampai empat tahun, anak ingin bermain, melakukan latihan
berkelompok, melakukan penjelajahan, bertanya, menirukan, dan mencipta sesuatu.
Pada masa ini anak mengalami kemajuan pesat dalam keterampilan menolong dirinya
sendiri dan dalam keterampilan bermain. Seluruh sistem geraknya sudah lentur, sering
mengulang-ulang perbuatan apapun yang sedang ia minati dan biasanya perhatiannya
mudah teralihkan. Di Taman Kanak-kanak, anak juga mengalami kemajuan pesat
dalam penguasaan bahasa, terutama dalam kosa kata. Hal yang menarik, anak-anak
juga ingin mandiri dan tak banyak lagi mau tergantung pada orang lain.

Pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak-anak adalah yang selalu
"dibungkus" dengan permainan yang riang dan "enteng", bernyanyi dan menari.
Pendekatan ini hendaknya jangan dilakukan dengan paksaan. Pembelajaranpun harus
disesuaikan dengan kemampuan si anak, jangan terlalu berat tapi membuatnya cukup
mandiri untuk melakukan tugasnya sendiri. Situasi praktis dirancang untuk mengajari
anak pada pekerjaan yang ada dalam lingkungannya sendiri, dengan jalan mengajari
mereka tentang hal-hal yang ada di sekitarnya. Terlalu sering kita memarahi anak
ketika menutup laci dengan keras tidak membuat anak belajar sesuatu dari
lingkungannya. Tetapi ketika anak belajar menguasai lingkungan rumahnya, dia siap
untuk memulai proses-proses belajar yang lebih rumit.
Selain situasi praktis, anak berumur 2-4 tahun juga perlu diterapkan latihan sensoris.
Latihan-latihan sensoris berhubungan dengan pengembangan dan penajaman panca
indera, dengan demikian akan mempertajam atau mengasah kemampuan intelektual
dan pengendalian anak, serta mempersiapkan mereka untuk memasuki latihan-latihan
yang lebih sulit dan rumit. Sebelum memperkenalkan berbagai macam pelajaran,
pastikan untuk mencermati, pada usia anak berapakah latihan-latihan tersebut
ditunjukkan. Ini merupakan hal yang penting, karena anak berumur dua setengah
tahun tidak akan mampu untuk mengerjakan tugas untuk anak berusia lima tahun.

Dalam situasi sensoris dikenal adanya pembelajaran tiga tahap. Pembelajaran tiga
tahap adalah untuk membantu anak memahami materi-materi pelajaran secara lebih
baik dan memungkinkan anda untuk melihat seberapa jauh anak menangkap dan
menyerap apa yang telah anda tunjukkan kepadanya.
Melalui pengalaman-pengalaman sensoris, anak telah belajar menangani semua
materi-materi secara lembut dan telah menyempurnakan gerakan tangan dan jari-
jarinya dengan menggunakan materi-materi seperti silinder dan teka-teki tombol.
Latihan-latihan ini merupakan persiapan untuk memegang pensil. Sensitivitas
sentuhannya telah berkembang melalui latihan-latihan indera peraba (misalnya latihan
papan kasar dan lembut, keranjang tenun, dan sebagainya), dan mata telah dilatih
melalui latihan-latihan sensoris untuk mengembangkan kerja sama mata-tangan.

Anak harus menguasai betul cara memegang pensil, sebelum mereka mulai
membentuk huruf-huruf, dan kecakapan ini bisa anak peroleh melalui latihan bangn
geometric. Latihan ini juga memungkinkan anak untuk menyempurnakan kerja sama
dan pengendalian mata-tangannya, tanpa ini maka kecakapan menulis yang baik
mustahil dicapai. Bila anak telah berhasil melewati latihan bangun geometric dan
mampu mengendalikan pensil dengan baik, maka dia bisa memulai menulis huruf-
huruf yang sesungguhnya, dan kemudian menulis kata.

KERANJANG TENUN
Usia 2 ½ tahun – 5 tahun
Yang dibutuhkan:
* Keranjang atau kotak kecil yang berisi 2 potong kain berbentuk segi empat dengan
berbagai bahan yang berbeda (misalnya sutera, katun, kain handuk, beludru, kain
sejenis sutera).

Peragaan:
* Tunjukkan kepada anak tiga pasang kain yang mempunyai bahan sangat berbeda.
Kemudian campurlah kain-kain itu dan mintalah kepada anak untuk mencocokkan
kain-kain tersebut dengan cara merasakan dengan jari-jarinya.
* Bila sudah memahami petunjuk diatas, tambahkan lagi dengan kain yang lain.
* Mintalah mereka untuk mencocokkan kain-kain dengan mata tertutup.

Tujuan:
* Mengembangkan dan mempertajam indera peraba.
Kontrol kesalahan:
* Jika salah mengerjakan, pasangan terakhir tidak akan cocok.

Dalam mempresentasikan pelajaran-pelajaran pendidikan indera-indera, seharusnya


mengikuti urutan-urutan di bawah ini:
Tahap pertama: Pengenalan identitas (Recognition of identity)
Buatlah hubungan antara benda yang sedang ditunjukkan dan namanya. “Ini
adalah___” Ulangi sampai anda merasa bahwa anak memahami hubungan tersebut.
Tahap kedua: Pengenalan sesuatu yang berbeda-beda (Recognition of contrasts).
Untuk menyakinkan bahwa anak memahami, misalnya dengan mengatakan ”Berikan
saya____.”
Tahap ketiga: Membedakan antara benda-benda yang serupa (Discrimination between
similar objects).
Perhatikan apakah anak mengingat namanya sendiri. Tunjukkan bermacam-macam
benda, kemudian katakan “benda apakah ini?” Anak seharusnya bisa mengatakan
nama benda tersebut dengan benar. Jika tidak bisa, bantulah dia. Ulangi lagi proses ini
sampai dia bisa.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan latihan sensoris
seperti membangun menara, membuat keranjang tenun, mainan silinder dan kotak
penyimpanan, botol-botol termos, permainan kancing baju, dll.

4.3 Perkembangan Bahasa


Pada usia tiga sampai lima tahun, anak-anak dapat diajari menulis, membaca, dikte
dengan belajar mengetik, entah menggunakan mesik ketik manual atau komputer.
Sambil belajar mengetik anak-anak belajar mengeja, menulis dan membaca. Suatu
penelitian di Amerika mengemukakan bahwa ada anak-anak yang dapat belajar
membaca sebelum usia 6 tahun. Ada sekitar 2 % anak yang sudah belajar dan mampu
membaca pada usia tiga tahun, 6% pada usia empat tahun, dan sekitar 20% pada usia
lima tahun. Bahkan terbukti bahwa pengalaman belajar di Taman Kanak-Kanak
dengan kemampuan membaca yang memadai akan sangat menunjang kemampuan
belajar pada tahun-tahun berikutnya.

Gambar dan Bunyinya


Usia 3 ½ tahun – 5 tahun

Yang dibutuhkan:
* Kotak-kotak sandpaper (ampelas)
* Kotak indeks gambar-gambar

Peragaan:
* Pilihlah bunyi atau bunyi-bunyi yang ingin anda gunakan (jangan menggunakan
lebih dari dua bunyi sekaligus).
* Biarkan anak merasakan huruf dengan jari-jarinya, katakan bunyinya, kemudian
pilihlah gambar dari dalam kotak indeks yang sesuai dengan bunyi yang telah ada
sebelumnya.
* Setiap kali anda mengambil gambar baru, suruh anak mengenali gambar tersebut
sekali lagi, katakan bunyinya dan beritahukan nama benda yang ada dalam gambar
tersebut. Misalnya: bunyi huruf b dengan ball, boat, boy.
* Ulangi latihan ini untuk setiap huruf.

4.4 Pengembangan Kecakapan Aritmatika


Moore meyakini bahwa kehidupan tahun-tahun awal merupakan tahun-tahun yang
paling kreatif dan produktif bagi anak-anak. Maka jika memungkinkan, sesuai dengan
kemampuan, tingkat perkembangan dan kepekaan belajar mereka, kita dapat juga
mengajarkan menulis, membaca, dan berhitung pada usia dini. Yang penting adalah
strategi pengalaman belajar dan ketepatan mengemas pembelajaran yang menarik,
mempesona, penuh dengan permainan dan keceriaan, "enteng" tanpa membebani dan
merampas dunia kanak-kanak mereka.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan pembendaharaan


kata pada anak:
1. Bicaralah dengan jelas kepada anak – hindari bicara seperti anak kecil.
2. Ajarkan nama-nama orang, dan benda dengan benar.
3. Bacakan sesuatu kepada anak.
4. Berikan buku-buku yang baik untuk dilihat-lihat untuknya. Ingatlah bahwa gambar
gambar merangsang imajinasi dan membawanya ke pembicaraan.
5. Bicaralah kepadanya.
6. Dengarkan anak ketika dia berbicara kepada Anda.
7. Biarkan mereka mendengarkan rekaman-rekaman.
8. Doronglah anak untuk berbicara dengan anak-anak yang lain dan orang dewasa.
9. Ketika belajar berbagai macam materi, bandingkan dan bedakan (besar-kecil, besar
lebih besar-paling besar, dan sebagainya).
10. Manfaatkan pembelajaran tiga tahap

Latihan sensoris sangat penting dalam mempelajari dasar-dasar aritmatika. Metode


Montessori mempunyai materi-materi yang sangat banyak untuk tujuan ini, sehingga
memungkinkan anak menjadi sangat akrab dengan angka-angka pada tahun-tahun
awal saat mereka sangat responsive terhadap lawan jenis pengalaman ini. Anak usia
tiga tahun mempunyai pikiran yang sangat logis dan tertarik pada rangkaian dan
tatanan dalam kehidupan sehari-harinya. Kecakapan ini berlanjut ke dalam rangkaian
pembelajaran aritmatikanya, yang memungkinkan anak untuk belajar dengan mudah
dan bersemangat. Gagasan terhadap kuantitas sangat jelas dan nyata dalam semua
materi aritmatika Montessori. Dan konsep identitas maupun perbedaan dalam latihan-
latihan sensoris dibangun berdasarkan pengenalannya pada benda-benda yang identik
dan gradasi benda-benda yang sejenis.

DERET ANGKA
Usia 4 ½ tahun – 5 tahun

Yang dibutuhkan:
* Deret angka mulai dari angka 1 samapi 100 (diambil dari pola angka 1-10)

Peragaan:
* Beriakn angka-angka tersebut kepada anak dalam rangkaian yang tepat, secara
berurutan, dan mintalah anak untuk menderetkannya di atas lantai.
* Mintalah kepada anak-anak untuk mengucapkan masing-masing angka dengan suara
keras.
* Bila semua angka sudah dikeluarkan, tunjukkan kepada anaak angka 0 sampai 9,
angka-angka dimana anak sudah mengenalnya dengan baik.
* Tunjukkan baris berikutnya dimana semua angka mempunyai angka 1 di depan
setiap angka; baris berikutnya akan mempunyai angka 2 di depan setiap angka, dan
begitu seterusnya.
* Bila anak sudah mengenalinya sengan baik, jelaskan kepadanya tentang angka-
angka ganjil dengan warna merah, dan angka-angka genap dengan warna biru.

Tujuan:
Memungkinkan anak membangun urutan rangkaian angka-angka dan memiliki
impresi visual angka-angka ganjil dan angka-angka genap.

BAB V
TAHUN-TAHUN AWAL PERKEMBANGAN ANAK

5.1 Perkembangan Emosi pada usia 0 – 2 tahun


Pada saat kelahiran sampai sekitar umur tiga bulan, anak mengalami perasaan
kegembiraan dan kepuasan. Namun ketika menginjak usia tiga bulan selain
mengalami perasaan kegembiraan, kepuasaan, keceriaan, juga kadang-kadang
mengalami keadaan tertekan. Sampai usia enam bulan, bayi mengalami ketakutan,
kekecewaan, kesendirian, tertekan, kegembiraan dan keceriaan.

Pada usia ini yang mulai banyak berkembang adalah perasaan-perasaan negatif.
Ketika usia 12 bulan, perasaan yang berkembang adalah perasaan-perasaan positif
seperti keceriaan, kegembiraan, dan kasih sayang. Sampai usia 18 bulan perasaan
kasih sayang berkembang menjadi kesukaan hati dan kesenangan hati, dan pada usia
selanjutnya sampai usia 24 bulan yang berkembang adalah perasaan sukacita yang
menjadi kegembiraan dan keasyikkan yang mulai disosialisasikan.

Pada usia ini orang tua dan pendidik, hendaknya mengembangkan perasaan-perasaan
positif pada anak, tanpa mencela perasaan-perasaan negatif. Harapannya agar anak-
anak berkembang perasaan positifnya dan menjadi bahagia. Di dalam keluarga dan
kelas perlu dibangun suasana yang menciptakan perasaan-perasaan positif, tetapi
sekaligus juga penerimaan seandainya anak-anak mengalami perasaan negatif. Dari
pengalaman dan penyelidikan menunjukkan bahwa ancaman, tekanan, menakut-
nakuti hanya akan mengakibatkan anak gampang merasa cemas dan tertekan dan
akhirnya kurang memiliki rasa percaya diri.

Musik klasik, lingkungan fisik dan lingkungan psikologis yang baik dapat
menimbulkan perasaan positif bagi dunia anak-anak. Seperti misalnya cerita-cerita
bergambar yang menimbulkan rasa bangga, senang, asyik, lingkungan kelas dan
kamar yang penuh warna-warna ceria, alat-alat permainan yang menimbulkan
kreativitas, pengalaman di dalam keluarga yang ceria, menyenangkan dan demokratis,
harus kita bangun bagi anak-anak kita.

5.2 Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Anak


Salah satu hal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan perkembangan kecerdasan
anak adalah suasana keluarga dan kelas yang akrab, hangat serta bersifat demokratis.
Pada usia 2 – 6 tahun mereka akan sangat senang kalau diberi otonomi, karena mereka
perlu membedakan antara dirinya dan orang lain, sehingga ia mulai menunjukkan
bahwa ia berbeda dengan yang anggota keluarga yang lain. Pada masa ini juga
muncul rasa ingin tahu yang besar dan menuntut – pemenuhannya. Mereka terdorong
untuk belajar hal-hal yang baru dan sangat suka bertanya dengan tujuan untuk
mengetahui sesuatu. Maka guru dan orang tua hendaknya memberikan jawaban yang
mudah dimengerti oleh anak usia tertentu.

Sampai pada usia ini, anak-anak masih suka meniru segala sesuatu yang dilakukan
orang tuanya. Minat anak pada sesuatu itu tidak berlangsung lama, maka guru dan
orang tua harus pandai menciptakan kegiatan yang variatif dan tidak menerapkan
disiplin kaku dengan rutinitas yang membosankan. Anak pada masa ini juga akan
mengembangkan kecerdasannya dengan cepat kalau diberikan penghargaan dan
pujian yang disertai kasih sayang, dengan memberi punishment yang tidak berlebihan
jika bersalah, diharapkan anak bisa mengembangkan kebutuhan emosi dan
intelektualnya dengan baik.

Penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang cerdas dan berhasil umumnya dididik
dengan demokratis, suka melakukan uji coba, menyelidiki sesuatu, suka menjelajah
alam dan tempat, dan aktif tak pernah diam berpangku tangan. Dalam proses
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan uji coba
(trial and error), mengadakan observasi tertentu secara bersama-sama, misalnya
dengan menyaksikan dan menyentuh suatu obyek, mengalami dan melakukan sesuatu,
anak-anak akan jauh lebih mudah mengerti dan mencapai hasil belajar sekaligus
mampu memanfaatkan apa yang telah dipelajari.

5.3 Pentingnya Tahun-tahun Awal


Orang tua dan pendidik pada usia dini hendaknya memahami hal-hal yang penting
pada tahun-tahun awal si anak. Hal-hal yang penting pada tahun-tahun awal itu antara
lain:
* Anak berusia 3 tahun sudah dapat belajar bermain dan berbicara
* Anak usia 3 – 4 tahun memiliki rasa ingin tahu yang besar, maka kebebasan dan
kesempatan untuk mengamati, bergerak dan melakukan kegiatan eksplorasi diri dan
lingkungan perlu diberikan.
* Anak bergerak aktif dan sering mengikuti dorongan-dorongan hatinya, pada masa
ini masa yang baik untuk mengembangkan karakter anak.
Karakter anak dibentuk melalui aktivitas dan belajar selama periode usia 3 – 6 tahun.
Biarkan anak menjadi ekspresif mengungkapkan dorongan hatinya sekaligus dilatih
untuk mengatur atau mengontrol diri dalam beraktivitas, sehubungan dengan sopan
santun, kebersihan, kerapihan, ketertiban, kejujuran, sekaligus sikap sosial terhadap
orang-orang sekitar (moral yang mengandung etika dan estetika yang umum di
masyarakat)
* Anak akan berkembang rasa percaya dirinya kalau mendapatkan suasana
demokratis, pujian dan penghargaan yang wajar.
* Tuntutan ketaatan yang berlebihan, tidak ada kesempatan untuk memilih sendiri dan
berpendapat hanya akan menjadikan anak patuh tanpa tanggungjawab, kurang percaya
diri dan memiliki sikap ketergantungan yang tinggi kepada orang lain.
* Pujian dan penghargaan memang juga diperlukan, lebih-lebih pujian yang tepat
pada waktu dan tempatnya, tanpa harus menunggu ketika naik kelas atau berhasil
secara gemilang. Pujian dan penghargaan berupa kata-kata dan sikap positif yang
ditunjukkan dengan emosi yang positif lebih berkesan dan berdampak pada
perkembangan selanjutnya.
* Anak-anak membutuhkan rasa nyaman, rutinitas dan tata aturan yang jelas. Hanya
ada satu suasana yang menyebabkan anak cepat belajar dan berlatih yaitu suasana
yang nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Suasana kelas yang riuh,
menakutkan, pendidik dan orang tua yang "galak", teman-teman yang suka
mengancam, seringkali menyebabkan terganggunya anak berhasil dalam belajar dan
berlatih.
* Disiplin yang keras dan kaku tidak baik bagi anak, karena mereka baru berkembang
dan tidak mengerti sepenuhnya, mengapa harus berdisiplin keras dan kaku. Disiplin
yang diperlukan adalah disiplin ala anak-anak bukan ala orang dewasa apalagi disiplin
ala militer.
* Anak belajar salah satunya dengan cara meniru orang dewasa dan juga teman
sebaya (imitasi). Mereka belajar kebiasaan yang baik dan buruk dari orang lain. Anak-
anak usia dini adalah peniru paling ulung, oleh karena itu harus bijaksana benar ketika
kita berhadapan dengan anak-anak dalam berperilaku, bersikap dan berkata-kata.

Pertumbuhan dan Pembelajaran Pertumbuhan fisik dan psikologis anak hendaknya


dipakai sebagai pijakan dalam memberikan pembelajaran dan pelatihan kepada
mereka. Kenang-kenangan akan pengalaman masa usia dini cukup menentukan akan
pertumbuhan dan keberhasilan pembelajaran di kemudian hari.
* Sabarlah menghadapi anak kecil. Pelajaran dan pelatihan tidak akan ada gunanya
kalau disampaikan tidak ada waktunya.
Anak belajar, apabila telah siap untuk belajar. Belajar yang lebih cepat dari masanya
seringkali akan menimbulkan kekecewaan dan kegagalan baik bagi anak sendiri
maupun orang tuanya.
* Pada umumnya usia untuk belajar membaca adalah usia kecerdasan enam tahun.
Pada usia sebelumnya boleh saja diperkenalkan gambar huruf atau angka, atau
mengenali barang-barang dengan namanya, membaca dengan pelan-pelan, dibacakan
bagian-bagian cerita yang menarik, dan kemudian menirukan kata-kata singkat yang
bendanya dan artinya sudah dipahami, tetapi belajar menulis dan membaca yang
sesungguhnya hendaknya ketika anak mencapai usia 6 tahun atau duduk di kelas I SD.

5.4 Pendekatan Pembinaan Watak Usia Dini


Proses pendidikan sebenarnya merupakan proses mempengaruhi orang lain. Pendidik
dan orang tua hendaknya menjadi figur yang berpengaruh pada anak-anak. Mestinya
mereka menjadi model panutan, teladan, figur orang dewasa yang diidolakan anak-
anak. Sayang, sekarang ini kita dilanda kemiskinan idola pendidik dan orang tua.
Pendidik dan orang tua menjadi teladan kedewasaan, kematangan emosional,
efektifitas dan integritas pribadi.Sangatlah penting anak-anak mendapatkan
pendidikan watak yang tepat guna untuk hidupnya.

Orang tua dan pendidik hendaknya tidak bosan untuk memberikan nasihat; teladan;
ruang pilihan, kesempatan untuk mengambil keputusan; keleluasaan anak-anak untuk
meneladan; mengikuti dan menilai baik buruk sesuatu, benar salah suatu sikap dan
perbuatan. Namun pembinaan pengetahuan tidak sekedar memberikan pengetahuan
tetapi merupakan pelatihan pembiasaan terus menerus tentang sikap yang benar dan
baik, sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan. Pembinaan dan pembiasaan watak
perlu dilakukan sejak usia dini sebab anak adalah "peniru ulung" dan “pembelajar
ulet’’ sekaligus.

5.5 Harapan yang Realistik


Seringkali orang tua atau pendidik mencanangkan harapan yang tidak realistik, tidak
sesuai dengan kemampuan dan tahap perkembangan moral anak-anak. Anak TK
sampai kelas III SD, menurut Kohlberg, berada pada tahap prakonvensional.
Kesadaran moral muncul dengan orientasi hukuman dan ketaatan, akibat fisik yang
dialami, belum menemukan arti dan maknanya. Orientasinya adalah hedonis untuk
diri sendiri. Penanaman nilai hendaknya mulai dengan yang kongkrit, mudah
dilakukan, tidak menilbulkan perasaan takut, malu, cemas dan perasaan bersalah.

Anak menuruti peraturan hanya ingin lepas dari "persoalan" dengan orang tua/
dewasa, sebagai pihak yang mahakuasa dan anak sebagai pihak yang lemah tak
berdaya. Anak usia 4 – 6 tahun tidak dapat dituntut lepas dari motivasi ini. Mereka
belum tahu alasannya mengapa ada aturan tertentu, mereka hanya tahu bahwa aturan
itu adalah kekuatan besar dari orang tua atau kakaknya agar mereka tetap berkuasa
dan mudah untuk mengaturnya. Anak membatinkan pendidikan nilai melalui
mekanisme "hanya ada satu jalan", tidak ada "memberi dan menerima". Sikap kita
dalam menyikapi itu adalah:
1) Tunjukkan alasan secara sederhana, jika mereka bertanya "Mengapa"?
2) Ketika mereka protes tidak adil, jelaskan bahwa adil tidak mesti sama atau
sebanding
3) Adil mereka artikan terpenuhinya keiningan, jelaskan bahwa tidak semua keinginan
dapat semua terpenuhi karena alasan sosial, keagamaan, ekonomi
4) Ciptakan hubungan yang hangat, akrab
5) Ajarkan suatu nilai dengan nasihat dan modelling

Cinta Tanpa Syarat


Anak akan mengembangkan pergaulan sosialnya secara sehat, jika memperoleh
pengalaman bahwa diri mereka berharga, berkemampuan, berpotensi dan pantas untuk
dicintai. Hanya orang tua yang memiliki kemampuan yang tulus untuk mencintai
anaknya tanpa syarat. Akan akan merasa nyaman, aman, dan harga diri yang sehat,
bukan dari bagaimana orang tua mencintainya tetapi bagaimana ia merasakan dan
mengalami dicintai.
Setiap anak membutuhkan perhatian, sapaan, penghargaan secara positif dan cinta
tanpa syarat untuk mengembangkan dirinya yang berharga. Berdasarkan pengalaman
ini mereka juga akan memperlakukan orang lain dengan cinta dan perhatian,
memperlakukan orang lain secara etis. Anak akan memandang teman-temannya juga
pantas dihargai, dicintai, dan diperhatikan seperti dirinya.
Menunjukkan cinta tanpa syarat tidak berarti bahwa kita tidak boleh menegur
tindakan negatif anak. Orang tua tetap harus menegur dan memberikan sanksi
terhadap pelanggaran atau perbuatan negatif anak. Hanya, orang tua harus
membedakan antara perbuatan yang dilakukan dengan "pribadi" anak itu sendiri.
Bukan "pribadi" anak itu yang membuat kita marah, tetapi salah satu perbuatannya.
Dengan sabar kita menunjukkan kesalahan sikap atau perbuatannya sekaligus
menyanyanginya sebagai anak. Cinta tanpa syarat berpusat pada "pribadi" anak,
sedangkan pendisiplinan berfokus pada perilaku atau sikap tertentu anak.
Cara menunjukkan "Unconditional Love"
1) ekspresikan dengan mencium, merangkul, membopong, mendekap dan raut wajah
dan kata-kata yang positif dan ramah!
2) Dasarkan cinta kita pada siapakah dia, bukan hanya pada apa yang mereka perbuat!
3) Tunjukkan rasa penerimaan dan pengalaman didukung setiap hari!
4) Cari kesempatan yang tepat setiap hari untuk menghargai perilaku positif!
5) Tegur perilaku negatif mereka, sekaligus tunjukkan bahwa cinta kita tidak
berdasarkan pada perilaku mereka!

Cara menghargai diri anak


Anak yang hidup ditengah-tengah keluarga dengan harga diri yang cukup positif akan
lebih mengalami dihargai, dicintai, diperhatikan dan memiliki rasa harga percaya diri
yang kuat dibanding dengan anak yang tinggal dalam keluarga dengan harga diri yang
cukup negatif. Keluarga dengan harga diri yang cukup lemah biasanya mudah
menghakimi, menghukum, menyalahkan anak-anak.

Cara mengembangkan harga diri positif pada anak:


Harga diri merupakan faktor penting agar hidup lebih bernilai, dan membahagiakan
Hormati dan hargai pendapat dan gagasan anak
Bantulah anak untuk menghargai keunikannya
Berilah kesempatan anak-anak untuk mengembangkan dan menunjukkan
kemampuanya

Sebagai contoh, menurut Dr Maria Montessori masa peka belajar membaca dan
mengerti angka adalah umur 4 - 5 tahun. Pada umur 3,5 - 4,5 tahun, anak lebih mudah
belajar menulis. Sedangkan menurut Glenn Doman dan Dr Carl Delacato, waktu
terbaik belajar membaca kira - kira bersamaan waktunya dengan saat anak belajar
bicara. Dalam hal berbahasa, Dr Wilder Penfield \berpendapat bahwa masa pekanya
terjadi pada rentang umur 3 - 5 tahun, ketika kemampuan anak untuk belajar
membaca sedang di puncak. Pada usia ini, anak bisa belajar bahasa kedua (dst.)
secepat dia belajar bahasa ibunya dan tanpa pendidikan formal, asal saja
kesempatannya sama seperti saat belajar bahasa ibu.

Dalam usia ini, selain akan memperbanyak perbendaharaan katanya, pembelajaran


bahasa kedua (dst.) juga akan membentuk dasar unit bahasa kedua (dst.) dalam
otaknya yang sedang tumbuh, sehingga di kemudian hari ia bisa mempelajarinya
dengan lebih mudah. Bila berbicara tentang belajar beraksara, tidak bisa tidak pasti
memerlukan keberadaan buku. Bila dilakukan dengan cara yang benar, yaitu dengan
penuh kegembiraan, maka orang tua tidak perlu khawatir akan dampak pembelajaran
aksara kepada anaknya. Sebab program pembelajaran beraksara pada masa balita
justru akan membuatnya memiliki kecakapan membaca yang lebih tinggi, memiliki
perbendaharaan kata yang lebih luas, mempunyai pengertian membaca yang lebih
baik, mendapat nilai yang lebih baik dalam pelajaran bahasa, berhitung, ilmu sosial
dan keterampilan.

Hal ini dibuktikan oleh sebuah penelitian jangka panjang (1960 - 1966) diKota
Denver (AS), yang melibatkan 4.000 anak. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
anak - anak yang belajar membaca lebih awal mempunyai prestasi lebih baik di kelas
satu dibandingkan dengan anak - anak lain yang mempunyai taraf kecerdasan sama,
tidak ditemukan adanya kesulitan belajar, tidak terlihat adanya gangguan sosial dan
psikologis, tidak juga menimbulkan kesulitan penyesuaian diri di sekolah ataupun
menimbulkan kejenuhan terhadap aktivitas membaca. Dengan begitu banyaknya
manfaat dari memberdayakan keluarga melalui keberadaan buku, akankah kita tetap
enggan membangun rumah buku?Mengubah Kebiasaan Seharusnya tidak. Untuk itu
diperlukan kesediaan orangtua memegang peran dominan. Diperlukan kesediaan
orang tua untuk menjadi yang pertama kali mau mengubah diri.

Orangtua harus mulai berupaya untuk mengubah kebiasaan selama ini yang lebih
memanjakan diri serta keluarga dalam konteks benda - benda konsumtif. Selama ini
banyak ayah yang merasa lebih bangga apabila ia mampu membelikan anak-anaknya
mainan semacam Tamiya, boneka Barbie, playstation, dan aneka jenis mainan yang
harganya puluhan bahkan ratusan ribu. Si ayah akan dengan mudah mengeluarkan
uang ataupun menggesek kartu kreditnya. Sementara untuk memberi buku baru, yang
harganya hanya Rp 5.000 saja, sangatlah banyak pertimbangan dan merasa terlalu
mahal. Padahal buku - buku tersebut jelas akan mempengaruhi kepesatan
perkembangan kecerdasan anaknya baik intelektualitas, moralitas maupun
emosionalitasnya.

Hingga kini, banyak suami yang merasa sudah memenuhi "kewajibannya" apabila
sudah mampu membelikan istrinya aneka perabot rumah tangga yang mewah. Hingga
rumahnya pun sesak oleh pajangan perabotan, yang membuat penghuni rumah harus
berjalan ekstra hati - hati agar tidak menyenggol dan memecahkannya. Bahkan begitu
banyaknya, tidak jarang harus menyediakan tempat yang namanya "gudang" untuk
menumpuk barang - barang tersebut. Masih sangat sedikit suami yang merasa telah
melakukan kewajibannya bila ia telah membelikan istrinya setumpuk buku, bila ia
telah menyediakan rak - rak buku. Kalaupun membeli buku, tidak jarang hanya
sebagai pajangan semata. Lagi - lagi hanya sekadar prestise, itu sebabnya buku yang
dipilih biasanya yang tebal dan berjilid – jilid.

Bagaimana dengan ibu? Hingga saat ini masih sangat banyak ibu yang dengan mudah
mengeluarkan uang hanya untuk sekadar beli bakso semangkok atau bahkan
mentraktir anak - anaknya makan di gerai fastfood. Sementara ia akan sangat banyak
pertimbangan, ketika ada penjaja buku eceran yang menjajakan dagangannya. Ada
sebuah ambigu, sama - sama bernilai nominal Rp 5.000. Namun bila untuk kebutuhan
konsumsi bakso, terasa murah, dan sebaliknya bila untuk membeli buku terasa mahal.
Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Harus segera dibenahi.Bisa dimulai
dengan membiasakan diri untuk memberi hadiah buku dalam setiap kesempatan
istimewa.

Sesungguhnya buku adalah pilihan hadiah yang paling netral dan paling tidak
memusingkan. Bukankah begitu banyak pilihan judul buku? Mulai dari buku
pelajaran, buku cerita anak hingga buku untuk orang tua. Mulai dari yang ringan
hingga yang membuat dahi berkerut. Begitu juga dengan harganya sangat beragam.
Dari sekian banyak pilihan, tentulah ada satu yang sesuai sebagai hadiah entah untuk
acara ulang tahun, khitanan, kawinan, kenaikan kelas, kenaikan jabatan, acara
perlombaan, dsb.

Namun yang terpenting dari upaya menghidupkan rumah buku adalah teladan.
Keberadaan rumah buku yang sarat akan aktivitas beraksara ini tidak dapat dilakukan
dengan cara yang otoriter, dengan hanya sekadar memberi perintah, "Kamu harus
baca ini.... Baca itu....". Sementara si orang tuanya sendiri tidak senang membaca,
tidak menghargai keberadaan buku. Tidak dapat demikian. Semuanya memerlukan
proses, kesabaran, teladan, ajakan, informasi berulang - ulang dan memerlukan situasi
yang mendukung minat baca.
Bagi anak - anak, tidak hanya kualitas yang diperlukan dalam mengoptimalkan
perkembangannya, namun juga kuantitas (frekuensi). Bagaimana anak- anak akan
merasa bahwa membaca buku adalah kegiatan yang menyenangkan apabila ia tidak
pernah melihat orang tuanya membaca buku (dengan senang)? Kenyataan yang
sungguh memprihatinkan adalah kian hari kualitas manusia Indonesia justru kian
rendah saja. Fakta menunjukkan daya serap paling tinggi anak-anak terjadi hingga
anak berusia enam tahun. Pada usia inilah apa yang terjadi di sekitar mereka dan apa
yang telah mereka pelajari akan membentuk sikap dan pola yang akan terus
berlangsung pada masa yang akan datang. Jadi, sangatlah penting untuk mencapai
potensi tertinggi pada anak di usia tersebut.

Melihat fakta tersebut, Dr Maria Mentessori menciptakan sebuah metode Mentessori


yang isinya merupakan sebuah filosofi. Filsafat yang ditemukannya dijadikan sebuah
pendekatan dengan gagasan untuk memberikan anak ruang berekspresi dan kebebasan
berkreasi dalam lingkungan yang kaya pertualangan dan kesenangan yang terencana
dan terstruktur. Program Montessori mencakup 5 program inti,yaitu praktik
kehidupan sehari-hari, sensorial (menggunakan 5 pancaindra), bahasa, matematika,
dan budaya. Modern Mentessori International (MMI) grup adalah sebuah organisasi
pendidikan global yang telah dikenal dan telah memenangi penghargaan untuk
pendidikan global, yang mengkhususkan dirinya pada metode Montessori. Dengan
berbasis pada sistem Montessori, MMI grup melakukan banyak penelitian baru di
bidang anak-anak dan mengombinasikannya sehingga terciptalah program Montessori
dengan sentuhan modern.

MMI mempunyai lebih dari 40 preschool center berpusat di Singapura,Thailand,


India, Sri Lanka, Malaysia, Hong Kong, Indonesia,Australia, Selandia Baru.Sejak
didirikannya pada 1989, MMI sebagai penerima ISO menawarkan program pelatihan
bagi para guru dan jasa prasekolah sebagai tambahan untuk franchise/waralaba.
Belum lama ini MMI grup London menunjuk Yayasan Nak Cenik untuk
mengoperasikan MMI Menteng Preschool. ”Hal pertama yang dilakukan Yayasan
Nak Cenik adalah meluncurkan sebuah program. Program tersebut diberi nama
Teacher’s Training. Program ini adalah sebuah program diploma untuk pendidikan
Mentessori bagi anak di usia dini,” ujar Penasihat Yayasan Nak Cenik Sony Vasadani
yang berpengalaman lebih dari 15 tahun di dunia pendidikan anak.

DAFTAR PUSTAKA
Cahyanto, J. N. (2009, Mei 28). Guru MI Belajar Manajemen Kelas di SDIT
Dinamika Umat. Diambil pada 28 Mei 2009, dari
http://teachingbydesign.blogspot.com/2008/05/guru-mi-belajar-manajemen-kelas-di-
sdit.html
Santrock, J. W. (2003). Psychology. New york: Mc Graw-Hill.
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New york: Mc Graw-Hill.

You might also like