Professional Documents
Culture Documents
Analisa Sosial
PENDAHULUAN
Dewasa ini kita menyaksikan suatu gejala luar biasa yang berupa gugatan untuk
mengakhiri ketidak adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan di hampir semua
sektor dan tingkatan; mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan dan
kebudayaan, kemasyarakatan sampai urusan rumah tangga. Gugatan terhadap
penghentian atas segala bentuk diskriminasi ini pada dasarnya dilandaskan pada suatu
teori dan analisa baru, yang dikenal dengan analisa gender. Analisa gender berbeda
dengan analisa sosial lainnya memberikan kerangka untuk memahami bagaimana ketidak
adilan sosial dan diskriminasi dalam masyarakat bisa ditimbulkan karena keyakinan atau
ideologi gender yang dianut oleh perseorangan atau masyarakat. Sehingga dengan
perspektif analisa gender sebagai salah satu penyebab timbulnya diskriminasi sosial,
ekonomi atau politik terjadi karena seringkali justru karena tidak ada kepekaan gender
seorang atau kelompok pengambil keputusan dalam suatu instansi, lembaga atau
organisasi yang memutuskan suatu kebijakan sosial. Sehingga kepekaan gender pada
suatu organisasi sangat menentukan dalam melanggengkan ataupun menghentikan salah
satu diskriminasi sosial yang tua dalam masyarakat, yakni diskriminasi terhadap kaum
perempuan.
Istilah gender pertama dikembangkan sebagai suatu analisa ilmu sosial oleh Ann Oakley
(1972)1. Sejak saat itu gender dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami
persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum, dan dapat menjadi alat
analisis untuk memahami ketidak adilan sosial secara luas. Melalui analisis gender kita
mampu memahami persoalan ketidak adilan terhadap kaum perempuan secara umum,
dan memampukan kita untuk dapat memahami akar ketidak adilan terhadap buruh
perempuan secara kritis, baik di lingkungan tempat kerja, kalangan organisasi maupun
gerakan buruh sendiri.
Analisis gender, dibanding alat analisa tentang ketidak adilan lainnya, tidaklah kalah
secara mendasar. Justru analisa gender ikut mempertajam analisis kritis yang sudah ada.
Oleh karena itu, analisis gender sering menghadapi resistensi dari kalangan lelaki maupun
perempuan sendiri, atau mereka yang juga melakukan kritik sosial. Hal ini karena jika
mempertanyakan posisi kaum perempuan, pada dasarnya akan menggoncang status quo
struktur dan sistem ketidakadilan yang telah mapan dan yang tertua dalam masyarakat
karena menyangkut hubungan kekuasaan antar pribadi yang melibatkan kita semua.
Analisis ini memfokuskan bagaimana ideologi gender melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalities), bagaimana manifestasinya dalam berbagai bentuk diskriminasi,
perendahan nilai serta melahirkan beban kerja bagi kaum perempuan. Makalah ini akan
mulai dengan membahas pengertian dasar tentang gender serta alat analisis gender, dan
menggunakannya untuk melihat kaitannya terhadap diskriminasi, subordinasi, kekerasan
dan beban kerja kaum perempuan.
1 Gender, oleh Oakley diartikan behavior differences between women and men that are socially constructed
created by men and women themselves; therefore they are matters of culture. Ann Oakley. 1994. Sex,
Gender and Society. New York : Harper and Row. 1972. Lihat : Elizabeth Eviota, The Political Economy of
Gender, London : Zed Books. Hal. 4.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pengantar tentang apa yang dimaksud dengan
gender dan yang dimaksud dengan analisis gender. Dalam rangka penjelasan mengenai
hal tersebut, tulisan ini juga akan menguraikan tentang mengapa gender dipersoalkan,
dan apa sesungguhnya yang dipersoalkan dalam analisis tersebut. Pertanyaan juga
menyangkut apa kaitan antara analisis gender dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Dalam kaitan tersebut akan juga dibahas tentang bagaimana berbagai teori
mencoba memberikan analisa tentang persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan
tersebut. Melalui pengertian dasar analisa gender tersebut, dibahas mengenai bagaimana
menggunakan analisa gender dalam kegiatan organisasi dan implikasinya terhadap
masyarakat luas jika suatu kebijakan organisasi diambil tanpa perspektif gender. Terakhir
tulisan ini akan membahas mengenai berbagai strategi tentang bagaimana
memperjuangkan keadilan gender dan menghentikan diskriminasi gender di segala
tingkatan dan setiap sektor kehidupan masyarakat.
selamanya, fungsinya tidak bisa dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat).
Sementara itu, konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan dianggap lemah lembut, emosional,
keibuan, dan lain sebagainya. Sedangkan lelaki dianggap kuat, rasional, perkasa dan lain
sebagainya. Sifat-sifat tersebut tidaklah kodrat, karena tidak abadi dan dapat
dipertukarkan. Artinya ada lelaki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya,
sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Maka
gender berubah menurut waktu dan tempat. Misalnya saja zaman dahulu ada suatu
suku tertentu perempuan lebih kuat dari lelaki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat
yang berbeda, lelaki yang lebih kuat. Gender juga berbeda menurut kelas sosialnya.
Misalnya perempuan kelas bawah pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum lelaki kelas
atas. Pendek kata semua sifat yang dapat ditukarkan antara perempuan dan lelaki, yang
berubah sesuai waktu, tempat dan kelas sosial, disebut dengan gender.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara lelaki dan perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi
sosial, kultural, keagamaan, bahkan melalui kekuasaan negara. Melalui proses yang
panjang, gender lambat laun menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan
ketentuan biologis yang tidak bisa diubah lagi. Sehingga saat ini disebut sebagai kodrat.
Misalnya sifat lemah lembut, sifat memelihara dan sifat emosional yang dimiliki oleh kaum
perempuan dikatakan sebagai kodrat kaum perempuan.
Sebaliknya sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya
mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya saja sifat gender kaum
lelaki harus kuat dan agresif, sehingga konstruksi sosial itu membuat lelaki terlatih dan
termotivasi menuju dan mempertahankan ke sifat yang ditentukan tersebut; yang pada
akhirnya, memang lelaki lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena konstruksi sosial
bahwa kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi, sosialisasi tersebut
mempengaruhi perkembangan emosi, visi dan ideologi kaum perempuan, serta
perkembangan fisik dan biologis mereka. Karena proses sosialisasi yang berjalan secara
mapan, akhirnya sulit lagi dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau
kodrat biologis ketentuan Tuhan.
Persoalannya adalah, pertama, karena konstruksi sosial (gender) dianggap sebagai
kodrat. Akibatnya, gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat
tentang bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai
dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat
dan bukan perbedaan biologis itu dianggap ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai suatu
kelompoklah, yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan
berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara
lelaki dan perempuan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya, penuh dengan proses negosiasi, resistensi maupun dominasi 2.
Lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap sebagai alamiah, normal
dan kodrat, sehingga bagi yang mulai melanggar akan dianggap tidak normal dan
melanggar kodrat. Oleh karena itu, diantara bangsa-bangsa dalam kurun waktu yang
berbeda, pembagian gender tersebut berbeda-beda. Kedua, perbedaan gender tersebut
ternyata mengantarkan pada ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan
yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah yang sesungguhnya sedang
digugat. Ternyata dalam sejarahnya, terjadi perkembangan hubungan yang tidak adil,
menindas serta mendominasi antara kedua jenis kelamin tersebut. Bentuk manifestasi
ketidakadilan gender ini adalah dalam mempersepsi, memberi nilai serta dalam
pembagian tugas antara lelaki dan perempuan. Uraian berikut menganalisis bagaimana
2 Brittan, A. dan M. Maynarad. 1984. Sexism, Racism and Opression. Oxford : Oxford University Press.
pada masa reproduksi seperti haid, hamil dan melahirkan dianggap tidak produktif.
Berbagai stereotype juga terjadi terhadap aktivis buruh perempuan, baik dari aparat
keamanan pabrik, manajemen, bahkan kalangan buruh sendiri.
b; Dalam bentuk pemukulan dan serangan non pisik yang terhadi dalam rumah tangga
(Domestic Violence). Masuk dalam kekerasan rumah tangga ini adalah kekerasan
atau penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
c; Dalam bentuk penyiksaan organ alat kelamin, (genital mutilation) seperti misalnya
penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan dilakukan oleh suatu
masyarakat untuk melakukan penyunatan ini. Namun salah satu alasan terkuatnya
adalah karena adanya anggapan dan bias gender di masyarakat yakni untuk
mengkontrol kaum perempuan. Penyunatan terhadap perempuan ini sudah mulai
jarang kita dengar.
e; Kekerasan terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik,
yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan
obyek demi keuntungan seseorang. Hal ini biasanya disebut dengan pornografi.
Jenis kekerasan seperti ini yang banyak terjadi di lingkungan kerja atau pabrik
terhadap buruh perempuan adalah dalam bentuk pelecehan seksual (sexual
harassment). Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan sexual,
antara lain kekerasan terselubung (molestation) yakni memegang atau menyentuh
bagian dari tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa
3 Bahkan kekerasan terhadap perempuan ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Muslim karena
interpretasi ajaran agama. Lihat : Asghar Ali Engineer. 1994. The Quran : Male Ego and Wife-beating. Bombay :
Institute of Islamic Studies.
kerelaannya. Pelecehan seksual ini juga sering terjadi di tempat umum, seperti bis
kota dan lain sebagainya. Selain itu, pelecehan juga terjadi dalam bentuk
penyampaian lelucon jorok secara vulgar dan ofensif dihadapan kaum perempuan,
menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterograsi
seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya
dalam struktur organisasi kerja, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk
mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh / menyenggol
bagian tubuh tanpa serela atau seizin yang bersangkutan. Kasus pelecehan seksual
yang terjadi dipabrik terhadap buruh perempuan juga sudah bukan rahasia lagi.
struktur yang tidak adil menuju sistim yang adil bagi perempuan maupun lelaki. Maka
strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme, juga tidak tunggal, tapi beragam,
mulai dari upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, sampai pada
perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru
dan lebih baik. Berikut adalah uraian tentang bagaimana teori dari masing masing
gerakan feminis mengenai kaum perempuan :
a; Kaum liberal, yakni mereka yang percaya bahwa kebebasan dan equalitas berakar
pada rasionalitas, dan "perempuan adalah mahluk rasional" juga, maka mereka
menuntut hak yang sama dengan lelaki. Kaum perempuan harus dididik agar mampu
bersaing dalam arena kesempatan, yakni memasuki prinsip-prinsip maskulinitas.
Mereka tidak mempermasalahkan ketidakadilan struktural dan penindasan ideologi
patriaki. Paham ini kelihatannya kini mendominasi pemikiran tentang perempuan,
khususnya Dunia Ketiga. Misalnya, paham Modernisasi, yang menganggap perempuan
masalah bagi perkembangan ekonomi moderen atau partisipasi politik. Hal ini karena
sikap irasional para pakar yang berpegang teguh pada tradisi yang berdasarkan pada
pandangan yang berakar dari faham Feminis Liberal. Oleh karena itu, industrialisasi
dianggap sebagai jalan terbaik untuk mengangkat status perempuan, karena akan
mengurangi akibat ketidaksamaan kekuatan biologis antara lelaki dan perempuan.
Misalnya KB (Keluarga Berencana) dianggap akan membebaskan perempuan dari
proses siklus reproduksi yang tak pernah berhenti dan sebagainya 4.
b; Kaum feminis radikal yang muncul sebagai reaksi atas seksisme di Barat tahun
1950an, justru sebaliknya. Bagi mereka, penindasan perempuan berakar pada kaum
lelaki. Penguasaan fisik perempuan oleh lelaki itulah bentuk dasar penindasan itu
(Jaggar, 1977) dan patriaki adalah sistim hirarki seksual dimana lelaki memiliki
kekuasaan superior dan priviledge ekonomi. Analisa mereka a-historis, karena
menganggap patriaki adalah universal dan akar segala penindasan 5. Meskipun mereka
menggunakan bahasa Marxis namun tidak menggunakan kerangka teori kelas secara
sungguhan. Hubungan gender direduksi hanya pada perbedaan natural yang
bersumber pada biologi6. Revolusi terjadi pada setiap perempuan yang mengambil aksi
untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri. Anggapan ini
bertentangan dengan kerangka Marxist yang melihat penindasan perempuan sebagai
realitas obyektif. Sumbangan mereka sangat besar pada gerakan perempuan terutama
karena paham personal is political yang memberi peluang politik bagi kaum
perempuan. Namun lagi-lagi golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan ideologi
Maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum lelaki.
c; Feminis Marxist, yang menolak gagasan biologi sebagai dasar pembedaan gender juga
tak luput dari mode perjuangan ini. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian
dari penindasan kelas dalam relasi produksi. Women question seIalu diletakkan
dalam kerangka kritik pada kapitalisme. Engels menganggap bahwa jatuhnya status
perempuan bukan karena perubahan teknologi, melainkan karena perubahan
organisasi kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan petani menetap merupakan
awal penciptaan surplus, yang merupakan dasar private property, dan kemudian
menjadi dasar bagi perdagangan dan produksi untuk exchange. Karena lelaki
mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan
politik, termasuk perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka. Pada era
Kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan dengan berbagai cara dan
alasan. Pertama, melalui eksploitasi pulang ke rumah yakni suatu proses yang
4 Lihat F.X. Sutton. 1963. The Pattern Variable dalam Harr Eckstein dan David Apter (eds), Comparative Politics
: A Reader. New York : Free Press.
5 Lihat Jaggar A. 1983. Feminist Politics and Human Nature. Brighton : Harvester Press.
6 Lihat Firestone, S. 1970. The Dialectic of Sex : The Case for Feminist Revolution. New York : William Morrow
and Company Incorporation.
diperlukan guna membuat lelaki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif.
Kedua, perempuan bermanfaat dalam reproduksi buruh murah. Ketiga, masuknya
perempuan sebagai buruh dengan upah lebih rendahmenciptakan buruh cadangan,
dan ini memperkuat posisi tawar kapitalis serta mengancam solidaritas buruh.
Kesemuanya itu mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis. Itulah makanya
penindasan perempuan bersifat struktural dan penyelesaiannya pun hanya dengan
perubahan struktur kelas dan memutuskan hubungan dengan sistim kapitalis
internasional. Setelah revolusi, garansi persamaan bagi lelaki dan perempuan belumlah
cukup, karena perempuan dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Oleh
karena itu, mengutip Engels "hanya jika urusan mengurus rumah tangga
ditransformasikan menjadi industri sosial, serta urusan menjaga dan mendidik anak
menjadi urusan umum tidak dilakukan, maka perempuan tidak akan mencapai
equalitas yang sejati". Emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat
dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Proses itu hanya terjadi melalui
industrialisasi. Bagi teori Marxist klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui
revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga). Jelas
sekali disini mereka meremehkan Feminitas dan mengagungkan Maskulinitas.
d; Kaum feminis sosialis mensintesa antara metode historis materialist Marx dan Engels
dengan ide the personal is politicalnya kaum radikal. Penindasan perempuan bagi
mereka terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata serta merta
menaikan posisi perempuan. Atas dasar itu mereka nenolak visi Marxist klasik yang
meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya,
feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Sehingga analisa
patriaki perlu dikawinkan dengan analisa kelas. Kritik kapitalisme harus disertai kritik
dominasi atas perempuan. Teori Capitalist Patriachy dari Zillah Eisenstein yang
menyamakan struktur kelas kapitalis dengan struktur hirarki seksual berasumsi bahwa
Patriaki muncul sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era paska kapitalisme.
Perempuan sebagai suatu kelas adalah analogi problem alienasi Marx yang diterapkan
untuk kaum perempuan. Seperti proletarisasi buruh, perempuan juga ditekan oleh
kapitalis dan patriaki untuk mencapai nilai-nilai esensi mereka 7.
Dari berbagai aliran teori feminisme tersebut, salah satu prestasi besar dan
menyatukan mereka adalah digunakannya analisis gender untuk memahami
persoalan kaum perempuan. Kini, hampir semua kaum feminis maupun
pertanyaan mengenai nasib perempuan selalu menggunakan analisis gender
untuk memberi makna terhadap realitas relasi sosial. Bahkan analisis gender
dewasa ini telah dipergunakan bagi setiap organisasi maupun perencanaan
pembangunan yang menyangkut masalah sosial.
7 Lihat Einstein, Zillah (eds). 1974. Capitalist Patrichy and the Case for Socialist Feminism. New York : Monthly
Review Press.
8 Strategi ini mengikuti analisa dan strategi dalam Gender Law and Development (GLAD). Lihat Schuler M.
(eds). 1994. Empowerment and the Law Strategies of Third World Women.
Jika persoalan ketidakadilan itu terjadi pada substansi hukum, baik tertulis seperti undang
undang atau peraturan yang tertulis, maka strategi yang perlu dilakukan adalah
melakukan advokasi untuk mereformasi atau mengubah Undang Undang atau melakukan
penafsiran baru terhadap substansi hukum tersebut 9. Upaya advokasi juga perlu dilakukan
pada hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis di masyarakat. Kaum perempuan
perlu mengkaji dan mengidentifikasi segala macam substansi dan Undang Undang,
peraturan, PERDA yang diskriminatif terhadap mereka. Setelah itu, mereka perlu
melakukan pengorganisasian, penulisan undang undang ataupun peraturan alternatif yang
tidak diskriminatif, serta memperjuangkannya untuk bisa menggantikan peraturan lama
yang diskriminatif tersebut. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap berbagai aturan
yang bersumber dari tafsiran keagamaan. Prinsipnya jika pokok persoalan diskriminasi
bersumber pada hukum, baik sekuler maupun keagamaan, maka strateginya adalah
advokasi untuk mengubah dan mengganti hukum yang diskriminatif tersebut.
Ini berarti organisasi buruh perlu menelah kembali segenap aturan organisasi, mulai dari
konstitusi organisasi hingga berbagai kebijakan sehari-hari, bahkan kebiasaan ataupun
norma dikalangan organisasi buruh; apakah secara substansial masih ada yang
melanggengkan ataupun memperkuat ketidakadilan gender. Setelah itu baru melakukan
analisis terhadap berbagai peraturan perburuhan, baik yang dibuat oleh pemerintah
maupun perusahaan, apakah peraturan dan kebijakan tersebut berisikan diskriminasi yang
melahirkan ketidakadilan gender terhadap buruh perempuan. Kemudian kaum buruh juga
sudah saatnya melihat dalam rumah tangga masing-masing; apakah terdapat aturan,
norma ataupun kebiasaan yang substansinya terdapat diskriminasi terhadap kaum
perempuan maupun terhadap anak perempuan, sehingga melahirkan ketidakadilan
gender dirumah tangga para buruh sendiri. Dengan demikian, usaha advokasi ini
dilakukan secara menyeluruh, mulai dari mengubah aturan ataupun kebijakan di rumah
tangga, di organisasi buruh sendiri, di lingkungan pabrik bahkan sampai tingkat negara.
Akan tetapi jika persolannya bukan pada substansi hukumnya, melainkan pada "kultur"
atau adat istiadat di masyarakat atau aparat pabrik, maka strategi yang dilakukan adalah
melakukan kampanye dan pendidikan massa untuk mengubah persepsi dan idelogi
masyarakat atau kalangan buruh dan manajemen di tempat kerja. Untuk
menyelenggarakan strategi pendidikan ini, suatu taktik jangka pendek perlu dilakukan,
yakni berbagai upaya untuk melakukan kegiatan yang melibatkan perempuan agar
mampu mengatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah
marginalisasi perempuan berbagai proyek peningkatan pendapatan kaum perempuan,
serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dalam sektor
produktif. Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan berbagai upaya untuk
melakukan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan
untuk jangka pendek dapat dilaksanakan.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan berbagai stereotype terhadap
kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu digalakkan. Kaum perempuan
sendiri harus mulai memberikan peran penolakan secara jelas kepada mereka yang
melakukan pelecehan agar hal tersebut dihentikan. Membiarkan ataupun menganggap
biasa terhadap kekerasan dan pelecehan justru mendorong para pelaku untuk
melanggengkannya. Pelaku penyiksaan, pemerkosa dan peleceh seringkali salah paham
bahwa ketidakjelasan penolakan tersebut dianggap bahwa mereka menyukainya.
9 Mengenai bias gender dalam tafsiran agama ini lihat : Riffat Hassan, 1987. "Equal Before Allah ? Women
Men Equality in the Islamic Tradition". Harvard Divinity Bulletin. January May.
Akan tetapi jika sumber ketidakadilannya terletak pada struktur atau sistem dalam
masyarakat ataupun negara, maka strateginya memang lebih rumit. Usaha untuk
mengubah struktur ketidakadilan gender perlu dilakukan terhadap perubahan struktur itu
sendiri. Usaha untuk mengubah struktur ketidakadilan gender memerlukan semua strategi
berupa advokasi terhadap berubahnya aturan atau hukum yang menjadi landasan struktur
ketidakadilan tersebut, namun juga perlu melakukan pendidikan dan kampanye untuk
membangkitkan kesadaran kritis masyarakat kepada yang diuntungkan dan dirugikan oleh
struktur tidak adil tersebut. Yang terakhir adalah usaha untuk memberikan ruang kepada
kaum perempuan untuk menyadari, kemudian berorganisasi untuk menumbangkan
struktur ketidakadilan gender tersebut.
Akhirnya, perjuangan strategis untuk mengubah sistim ketidakadilan gender dalam
masyarakat, termasuk diskriminasi dan pandangan negatif terhadap jenis pekerjaan kaum
perempuan serta perlakuan tidak adil (marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan
dan beban kerja) terhadap kaum perempuan merupakan perjuangan ideologis. Bentukbentuk perjuangan tersebut misalnya dengan melancarkan pendidikan kesadaran kritis
untuk menggeser ideologi ketidakadilan gender yang diyakini masyarakat. Upaya stategis
perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung seperti melakukan studi tentang
berbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya di masyarakat, negara maupun
rumah tangga. Bahkan kajian ini selanjutnya dipakai melakukan advokasi untuk mengubah
kebijakan, hukum dan aturan pemerintah maupun tafsiran keagamaan yang dinilai tidak
adil terhadap kaum perempuan. Hanya dengan usaha aksi yang sungguh-sungguh,
meliputi advokasi, pendidikan kritis masyarakat (popular education), kampanye yang
digalakkan oleh kaum perempuan sendiri, sehingga ketidakadilan gender dalam
masyarakat bisa diakhiri.
Di atas itu semua, yang pertama kali harus dilakukan adalah mengembangkan sensitivitas
gender dalam organisasi buruh sendiri atau di kalangan gerakan buruh itu sendiri.
Sehingga akan membawa pada perlunya pengembangan gender policy terhadap seluruh
jajaran organisasi. Selain itu, perspektif gender juga sudah saatnya diintegrasikan dalam
keseluruhan strategi perjuangan buruh. Dengan demikian, buruh perempuan tidak
didiskriminasi dan disubordinasi di tempat kerja maupun oleh organisasi mereka sendiri.
Sudah saatnya menempatkan buruh perempuan sebagai pelaku dan bagian penting dalam
gerakan perjuangan untuk menciptakan dunia dan sistim perburuhan yang secara
mendasar lebih adil. Hanya dengan strategi mengembangkan kesadaran gender mulai
dari diri sendiri dimulai usaha menegakkan keadilan gender sosial secara luas. Maka bisa
sekaligus mentransformasikan organisasi buruh sebagai bagian permasalahan buruh
perempuan menuju pada bagian dari solusi terhadap ketidakadilan gender, yang
merupakan salah satu bentuk berbagai ketidak adilan lainnya.
Bahan Bacaan :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Cott, Nancy. F. The Grounding of Modern Feminism. New Haven and London : Yale
University Press. 1987.
Davis, M. (ed.). Third World, Second Sex : Womens Struggle and National Liberation.
London : Zed Press. 1983.
Davis, Kathy. The Gender of Power. Leiden: Leiden University Press, 1986.
Engels. F. The Origin of Family Private Property and the State. New York: International
Publisher Company. 1970.
Engineer, Asgar Ali. The Rights of Women in Islam. London: C.Hurst and Co.Ltd. 1992.
Anonimus, The Origin and Development of Islam. Bombay: Orient Longman. 1980.
Eviota, Uy Elizabeth. The Political Economy of Gender. London: Zed Books Ltd. 1992.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1996.
Firestone, S. The Dialectic of Sex : The Case for Feminist Revolution. NewYork: William
Morrow and Co.Inc. 1970.
Jaggar, A. Feminist Politics and Human Nature. Brighton: Harvester Press.
MacDonald, M (ed.). Gender Planing in Development Agencies : Meeting the Challenge.
Oxford : OXFAM Publication, 1994.
Maguire, Pat. Doing Participatory Research : A Feminist Approach. Amherst : Center For
International Education, University of Massachusetts. 1987.
Anonimus, Women in Development: An Alternative Analysis. Amherst MA : Center For
International Education. 1984.
Mies, Maria. Patriachy and Accumulation on a World Scale: Women in the International
Division of Labor. London: Zed Books Ltd. 1989.
Mitchell, J dan Ann Oakley, What is Feminism. New York: Yale University Press,
Bringhamton. 1985.
Mosse, Julia Cleves. Half The World, Half a Change : An Introduction to Gender and
Development. Oxford : OXFAM. 1992.
Mueller, A. Peasants and Professionals : The Production of Knowledge about Women in
the Third World. A paper presented to the Meeting of the Association for Women in
Development, Washington D.C. April, 1987.
Nicholson, L. (ed.). Feminism / Postmodernism. New York: Routledge. 1990.
NG, Cecilia and Carol Yong. Malaysian Women at the Crossroads. CHANGE International
Reports. No. 17, London.
OConnell, H. (ed.) Women and Conflict. Oxford : OXFAM, 1994.
Reardon, G. Women and the Environment. Oxford : OXFAM, 1994.
Robert, Helen. (Ed.). Doing Feminist Research. London: Routledge and Kegan Paul.
1981.
Rogers, Barbara. The Domestication of Women : Discrimination in Developing Society.
Discrimination in Developing Societies. New York: St. Martins Press. 1979.
Sacks, K. Sister and Wives. The Past and the Future of Sexual Inequality. Westport CT:
Greenwood Press. 1979.
Anonimus, Engels Revisited : Women, the Organization of Production and Private
Property dalam Reiter (ed.). Toward an Anthropology of Women. New York : Monthly
Review. 1975.
Schuler M, (ed.) Empowerment and the Law Strategies of Third World Women. Pub GLE
International. 1994.
Stamp. P. Technology, Gender And Power in Africa. Ottawa: IDRC. 1989.
Staudt, K. Women, Foreign Assistance and Advocacy Administration. New York: Preager
Publisher Inc. 1985.
Sweetman, C. dan Kate De Selincourt. Population and Reproductive Rights. Oxford:
OXFAM, 1994.
Tong, Rosemaries. Feminist Thought. Boulder and San Fransisco: Westview Press. 1989.
Analisa sosial yang sebenarnya dapat digambarkan dalam lingkaran pastoral, yang
menunjukkan hubungan erat antara empat perantara pengalaman, yakni pemetaan
masalah, analisa sosial, refleksi teologis, dan perencanaan pastoral. Lingkaran ini kerap
disebut sebagai lingkaran praksis.
Analisa
Refleksi
Pengalaman
Pemetaan
Perencanaan
Akhirnya dalam analisa dapat dibedakan antara dimensi obyektif dan subyektif realita
sosial. Dimensi obyektif mencakup berbagai organisasi, pola perilaku, atau lembaga yang
memuat ungkapan struktural secara eksternal. Dimensi subyektif menyangkut kesadaran,
nilai dan ideologi. Unsur itu harus dianalisa untuk memahami berbagai asumsi yang aktif
bekerja dalam situasi sosial yang ada. Pertanyaan dan masalah yang diajukan analisa
sosial menelanjangi nilai-nilai dasar yang membentuk pandangan dan keputusan para
pelaku dalam sistem tersebut.
Meskipun analisa sosial biasanya memerinci realitas sosial, tetapi realita itu lebih
kompleks daripada gambaran yang disajikan dalam proses analitis. Tidak pernah sebuah
sistem sosial persis cocok dengan model asli dan ideal. Misalnya sistem sosial di
Madandan terdapat dalam berbagai bentuk, dipengaruhi berbagai pengalaman kultural,
geografis dan daerah maupun yang lainnya. Hal demikian tidak untuk mencocokkan
realitas dalam kotak analisa yang telah dibentuk sebelumnya, namun untuk membiarkan
analisa kita diperkaya dan dikembangkan oleh kekayaan realitas itu. Analisa sosial
menjanjikan parameter yang luas, dimana strategi dan taktik dapat diajukan namun tidak
merumuskannya.
LANGKAH ANALISA SITUASI
1; Orientasi Dasar
Langkah pertama yang perlu dilakukan ialah menyingkap dan memperjelas nilai-nilai
yang mendorong kita melakukan tugas tersebut. Hal itu berarti harus bersentuhan
dengan berbagai perspektif, praduga, dan pendirian-pendirian yang mempengaruhi
soal jawab yang kita lakukan dan penilaian yang kita buat. Tidak ada analisa sosial
yang bebas nilai. Kita melakukan semua ini dengan mempertanyakan sendiri asasasas kita. Kita melakukan semua itu dengan mempertanyakan sendiri asas-asas seperti
:
a; Apakah keyakinan dan nilai dasar kita ?
b; Apakah dasar perbedaan tindakan kita ?
c; Manakah tindakan yang berpengaruh terbesar pada berbagai masalah ?
Pertanyaan semacam itu akan menyingkap pendirian yang menjadi titik tolak
kita dalam melakukan analisa sosial. Dengan kata lain, tahap ini kita
berbicara mengenai orientasi dasar atau visi misi. Pada langkah ini dapat
juga dilakukan pembongkaran, karena mengarahkan diri pada penegasan
nilai-nilai sebagai titik tolak, yang berfungsi sebagai jalan yang membuka
kita pada unsur-unsur yang lebih penting dari situasi yang sedang kita kenali
dengan menempatkannya dalam konteks orientasi dasar yang menuntun
kita, serta memperjelas persamaan dan perbedaan yang akan mempengaruhi
pembahasan selanjutnya.
2; Deskripsi
Langkah berikutnya yang harus dilaksanakan ialah membuat deskripsi umum dari
situasi yang sedang kita pahami. Mungkin kita sedang mempelajari :
a; Permasalahan sosial, seperti pengangguran, perumahan yang tidak memadai,
kurangnya pengembangan sektor pertanian dll.
b; Institusi, seperti sekolah, perusahaan dll.
c; Kesatuan wilayah geografis, seperti RT, RW, dusun, desa, negara dll.
3; Analisa
Analisa sosial merupakan usaha memperoleh gambaran lebih lengkap tentang sebuah
situasi sosial dengan menggali hubungan-hubungan historis dan strukturalnya. Kita
dapat melaksanakan tugas ini dengan menjawab empat seri pertanyaan tentang
sejarah, struktur, nilai kunci dan arah masa depan situasi yang sedag dianalisa sebagai
berikut :
Kita memandang situasi dengan mata kesadaran historis dan mulai mengenali
pengaruh masa lalu yang melatarbelakangi keadaan sekarang :
Manakah tahap-tahap atau periode utama yang merupakan perkembangan
situasi ini?
Pola-pola gerak perkembangan mana yang dapat diamati ?
Manakah penentu utama dalam perkembangan situasi ini ?
Apakah kita dapat menamai peristiwa-peristiwa besar yang telah mempengaruhi
perjalanan sejarah situasi ini ? Misalnya peristiwa nasional, tindakan yang
diambil pemerintah dll.
Struktur sosial utama menentukan bagaimana masyarakat mengatur hubunganhubungan, selain hubungan ekonomi dan politik :
- Keluarga, marga, suku.
- Lingkungan sekitar.
- Pendidikan, rekreasi.
Struktur budaya adalah basis kelembagaan berbagai cita-cita, mitos, dan simbol
masyarakat, yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur makna dan
nilai:
- Agama.
- Simbol, mitos, kepercayaan, impian.
- Kesenian, musik, cerita rakyat.
- Gaya hidup, tradisi.
- Arus kultural dominan, apa yang terjadi dengan corak kultur yang kurang
atau tidak dominan pada masyarakat, termasuk upaya pemeliharaan dan
penemuan budaya yang dapat memberikan dampak penting bagi
masyarakat.
c; Nilai Kunci : manakah nilai-nilai kunci yang bekerja dalam struktur tersebut ?
Berikut dibicarakan tentang nilai sebagai cita-cita yang menggerakkan masyarakat,
ideologi dan norma moral yang menuntun, aspirasi dan harapan yang ada dalam
masyarakat, nilai sosial yang dapat diterima dan telah diterima. Tentu saja semua
itu berkaitan dengan struktur budaya :
Nilai apa saja yang sungguh hidup dalam masyarakat ?
Siapakah yang pertama-tama membawa nilai itu : perorangan, lembaga, model,
peranan atau siapa ?
Contoh sederet nilai yang beragam :
- Kehidupan.
- Umur tua umur muda.
- Kesatuan keanekaragaman.
- Individualisme komunitas.
- Persaingan kerja sama.
- Materialisme spiritualisme.
- Penumpukan pembagian.
- Kuasa dan pengaruh pelayanan.
- Partisipasi ketaatan.
- Kebebasan hukum dan ketertiban.
- Kemajuan stabilitas.
- Pembaharuan tradisi.
- Keadilan keamanan.
- Perdamaian kekerasan.
- Persamaan hirarki.
4; Kesimpulan
Analisa yang telah kita lakukan akan mengungkapkan bermacam-macam segi yang
berpengaruh pada situasi yang sedang kita coba pahami. Sekarang, tugas dan langkah
terakhir adalah menarik beberapa kesimpulan agar kita dapat melihat dengan tajam
unsur terpenting dalam situasi kini. Kita periksa lagi jawaban dari empat pertanyaan
analisa di atas dengan proses singkat, untuk dapat mengenali unsur akar.
Unsur akar itu merupakan penyebab paling mendasar dalam sebuah situasi yang
berbeda dengan gejala. Dalam pendekatan analisa yang diajukan Paulo Freire, unsur
akar itu disebut generative themes, sedangkan dalam pendekatan Francois Houtart
disebut determinative atau dominative causes, yang kesemuanya merupakan jawaban
yang akan muncul pada akhirnya, jika kita terus-menerus mengajukan pertanyaan
mengapa. Untuk menemukan unsur akar, maka harus mendahulukan faktor
terpenting yang mempengaruhi situasi dalam masing-masing katagori analisa (sejarah,
struktur, nilai dan arah). Misalnya :
Satu atau dua peristiwa sejarah mana yang membentuk keadaan dewasa ini ?
Faktor ekonomi, sosial dan kultural mana yang paling menentukan cara kerja sistem
yang ada ?
Mana nilai-nilai yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap cara bertindak orang
di pedesaan ?
Mana kecenderungan yang nampaknya paling mungkin di masa depan ?
Dengan berusaha menjawab pertanyaan semacam itu, kita akan merasakan
perlunya mengenali beberapa kriteria yang dipakai untuk menyimpulkan
bahwa beberapa unsur lebih mendasar daripada yang lain. Juga bahwa hal
tersebut tergantung pada pengalaman, yakni pengalaman jatuh bangun
dalam mencoba. Dalam metodologi ini tidak ada kriteria yang baku. Jika
berbagai unsur pokok sudah diprioritaskan, kita perlu melakukan usaha
kedua, yakni penggolongan tingkat, lalu menarik beberapa kesimpulan:
Manakah dua atau tiga unsur akar yang paling bertanggungjawab terhadap situasi
yang sedang terjadi dewasa ini ?
Demi kepentingan siapa unsur akar itu bekerja ?
Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pendekatan analisa sosial semacam itu jelas
akan tergantung pada bermacam faktor, a.l :
Kompleksitas relatif dari situasi yang sedang kita selidiki.
Ketepatan dan memadainya data yang tersedia bagi kita.
Ketaatasasan pertanyaan kita.
Kriteria yang mempengaruhi penilaian kita atas unsur-unsur akar.
PEMBAGIAN MASYARAKAT
Analisa sosial memungkinkan untuk melihat lebih jelas pembagian masyarakat
menurut ras, seks, umur, etnis, agama, geografis dan sebagainya. Pembagian
macam itu nampak berlangsung lebih jelas dan langsung. Situasi itu selalu hadir
dan harus menjadi unsur kunci dalam analisa sosial. Mengesampingkan fakta
berarti sama dengan menghindari gambaran seluruh realitas. Pentingnya
mengenali pembagian tersebut didasarkan pada alasan:
1; Apa yang Anda ketahui tentang situasi yang ada di sini sekarang ? Apa yang sedang
dialami rakyat ?
2; Perubahan apa yang telah terjadi dalam 20 tahun terakhir ini ? Manakah peristiwa yang
paling penting ?
3; Apakah pengaruh uang terhadap situasi kita ? Mengapa ?
4; Siapakah yang membuat keputusan-keputusan terpenting di sini ? Mengapa ?
5; Manakah hubungan-hubungan terpenting yang ada dalam masyarakat sekarang ini?
Mengapa ?
6; Manakah tradisi-tradisi masyarakat yang paling penting ? Mengapa ?
7; Apakah yang paling dikehendaki orang-orang dalam hidupnya ? Mengapa ?
8; Apakah yang akan terjadi 10 tahun lagi jika segalanya tetap berlangsung seperti
sekarang ini ? Mengapa ?
9; Manakah penyebab terpenting dari situasi dewasa ini ? Mengapa ?
10; Apa yang Anda pelajari dari semua ini ?
Pendekatan ini sungguh efektif dalam beberapa kelompok kecil yang justru sedang mulai
menggali realitas sosial wilayah mereka. Gerak maju lewat 10 pertanyaan tersebut akan
menyingkap situasi dan merangsang keinginan untuk mengadakan analisa yang lebih
mendalam. Pertanyaan sederhana itu memang hanya merupakan jalan masuk menuju
usaha yang lebih mendalam.
Analisa sosial mempunyai daya penghancur yang dapat membongkar pemujaan dan
kekaguman pada dunia sosial serta menelanjangi struktur utama yang
mengendalikannya. Reaksi kita terhadap penelanjangan itu seringkali berupa
penasaran ketidak berdayaan. Kita tergulung dan merasa lumpuh, mengalami
kelumpuhan analisa. Apa yang dapat kita lakukan untuk menantang struktur yang
sangat kuat itu ? Sama kritisnya jika kita mengajukan pertanyaan: manakah alternatif
yang memiliki daya cipta ? Untuk mengatasi ketidakberdayaan ini, kita membutuhkan
sumber visi dan energi yang memiliki daya cipta. Mengutuk struktur yang kejam saja
tidak cukup, kita membutuhkan sesuatu yang membangkitkan untuk membangun
masa depan yang berbeda, sesuatu yang menempatkan kita pada arah positif. Kita
memerlukan sumber kekuatan, keberanian, dan dedikasi. Sebagai manusia agamis,
kita mendambakan sumber rohani bagi visi dan kekuatan itu, kita mengharapkan
kebudayaan. Kebudayaan merupakan medium mengungkapkan berbagai visi rohani
dan kekuatan masyarakat. Visi dan berbagai kekuatannya dapat mengambil berbagai
bentuk, tetapi kita yakin bahwa sumbernya bersifat spiritual. Meski dengan rasionalitas
ilmiah negatif, tampilnya dunia modern mula-mula digerakkan oleh visi yang berkedok
keagamaan tentang kemajuan dan kebebasan. Tujuan kita bukan untuk mendesakkan
satu pandangan khusus, melainkan untuk menekankan perlunya visi kultural positif
yang menggerakkan dan memberi daya pada masyarakat.
yang dipakai dalam analisa sosial bukan sekedar data yang mencerminkan budaya dan
nilai masyarakat kebanyakan. Hal lain yang sama pentingnya adalah cara
mengkomunikasikan situasi sosial atau ekspresi artistik yang membawa pengalaman
tersebut kepada orang lain. Cerita, kesenian, lagu, sajak, dan tarian merupakan
wahana yang dapat menyampaikan pesan dengan cara yang jauh lebih berdaya guna
ketimbang kata dan ungkapan ilmiah analisa rasional. Sebenarnya perjuangan rakyat
biasa sudah seringkali diungkapkan dalam bentuk kesenian, jauh sebelum analisa yang
canggih muncul. Kebudayaan ditekankan karena penting dan karena banyak orang
yang terlibat dalam perjuangan keadilan sosial cenderung mengabaikannya. Kaum
liberal dan radikal seringkali menyusun dan mengemukakan analisa dan strategi
yang berdasar pada rasionalitas semata, yang mengabaikan peranan simbol dalam
pengalaman hidup sehari-hari. Kegagalan memahami peranan kreatif simbol yang
mendasar, menggerakkan, mengatasi resiko belaka, dan simbol yang menjadi milik
rakyat menjadi suatu yang membawa petaka dan menghambat kemanjuran strategi
perubahan sosial.
Keterbatasan itu seharusnya tidak menghalangi manfaat analisa sosial, namun perlu
dibenahi dengan sumber segar yang mengatasi rasionalitas fajar budi, seperti daya kreatif
kebudayaan.
PENGANTAR
Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah mengubah cara kita berpikir tentang teori
sosial dan berharap bahwa hal itu akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini
menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama
kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang ini. Pada awalnya, tulisan ini
hanya bermaksud menghubungkan teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang
lebih luas. Tetapi dalam wacana yang lebih berkembang, tulisan ini sekaligus juga
mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secara umum.
Dalil yang diajukan adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat
kunci paradigma yang didasarkan atas perbedaan anggapan meta teori tentang sifat
dasar ilmu sosial dan sifat dasar masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas
pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian menghasilkan
analisanya sendiri-sendiri tentang kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan
teori dan pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yag
ditimbulkan dalam paradigma lainnya. Sejumlah analisa teori sosial telah membawa kita
berhadapan langsung dengan sifat asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan
pendekatan pada ilmu sosial.
2; Asumsi epistemologis
Ini berkaitan dengan anggapan dasar tentang landasan ilmu pengetahuan yakni
begaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya
sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan
bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang
memilah-milah mana yang dikatakan benar dan salah. Dikotomi benar dan salah
itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas
pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin
mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
berwujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata, atau
apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus / tidak berwujud,
lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan / transendental
yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unik dan hakiki ? Di
sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu
yang dapat diperoleh / dipelajari dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar
pengalaman pribadi ?
4; Asumsi metodologi
Pendekatan Obyektif
Ontologi
Epistemologi
Hakekat Manusia
Metodologi
Realisme
Positivisme
Determinisme
Nomotetis
yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisanya secara
subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan
sehari-hari. Hubungan langsung sedekat mungkin dengan memahami sejarah hidup
dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang
diteliti dibiarkan muncul apa adanya.
Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara
sistematik dalam penelitian, seperti metoda ilmu alam degan mengutamakan proses
pengujian hipotesa dengan dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik
kuantitatif untuk menganalisa data. Sigi, angket, tes kepribadian, wawancara dan alat
baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.
2; Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlwanan dengan yang pertama. Aliran ini
menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh
indera, tetapi roh atau gagasan. Maka ontologinya nominalis, epistemologinya anti
positivis, dimana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan
menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpendangan volunteris terhadap
fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisa sosialnya.
Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar, terutama di
bidang filsafat sosial. Jalan tengah dari kedua kutub memunculkan beberapa pemikiran
baru seperti fenomenologis, etnometodologis dan teori aksi. Aliran tengah ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme.
Aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan anggapan dasarnya
masing-masing.
dan Van den Bergh (1969) menganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya.
Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk menjelaskan
ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.
Cohen (1968) berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak
menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh :
Perjanjian bersama atau komitmen
Kesetia kawanan atau solidaritas
Kesepakatan atau konsensus
Imbal balik atau resiprositas
Kerja sama atau kooperasi
Keterpaduan atau integrasi
Ketetapan atau stabilitas
Kekukuhan atau persistensi
sistem
sosial
PERTENTANGAN
Ketetapan / stabilitas
Perubahan / change
Keterpaduan / integrasi Pertentangan / konflik
Koordinasi Fungsional
Pemisahan / disintegrasi
Kesepakatan / konsensus Pemaksaan / koersif
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara
ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsurunsur kedua corak masyarakat sehingga tidap perlu diperdebatkan.
Tahun 1960an lahir gerakan budaya penentang atau counter culture movement. Tahun
1968 revolusi Perancis gagal, maka para sosiolog kemudian beralih dari kajian tentang
tatanan / struktur masyarakat ke kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan dan
teori aksi makin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangan sosial
terbenam kalh, debat filsafat dan metoda ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya
perdebatan itu maka para pakar sosial melupakan karya Marx dan cenderung melirik
Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu
ketertiban sosial. Maka sangat penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan
pertentangan karena apa yang disebut kesepakatan sosial bisa jadi hasil penggunaan
kekuatan yang memaksa. Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan
Parson tentang orientasi nilai atau value orientation dan tatanan nilai atau normative
structure hanyalah perlambang untuk legitimasi kekuasaan. Dahrendorf menyebut
Perubahan Radikal
Sosiologi perubahan radikal
Perubahan radikal
Pertentangan struktural
Bentuk-bentuk peguasaan
Saling pertentangan
Pemerdekaan
Pemerosotan harkat manusia
Hal-hal yang masih terpendam
sosologi yang berbeda. Ke empat paradigma itu ialah humanis radikal, strukturalis radikal,
interpretatif, dan fungsionalis.
Perubahan Sosial
Humanis Radikal
Strukturalis Radikal
Subyektif
Obyektif
Interpretatif
Fungsionalis
Keteraturan
Obyektif
Idealisme Jerman
Keteraturan
Sosiologi
Positivisme
2; Paradigma Interpretatif
Kubu ini sebenarnya menganut ajaran sosiologi keteraturan, tetapi menggunakan
pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan
sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial
menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang lagnsung terlibat dalam peristiwa
sosial, bukan menurut orang lain yang mengamati. Pendekatannya cenderung
nominalis, anti positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh
kesadaran dan tindakan seseorang. Maka mereka berusaha menyelami jauh ke dalam
kesadaran dan subyektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang
ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan dasar mereka masih
tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan
rapat, kemapanan kesepakatan dan kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan,
benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Karena mereka terpengaruh
langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant
yang lebih menekankan pada sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial.
Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl dan Schutz.
oleh A. Suryawasita.
STRUKTUR SOSIAL
Manusia hidup saling berinteraksi. Interaksi ini didasari dan terus diarahkan oleh nilai-nilai
bersama dan norma-norma, yaitu standar tingkah laku yang mengatur interaksi yang
menujukkan hak dan kewajiban tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama
tercapai, dan akhirnya oleh sangsi, baik negatif maupun positif. Dasar dan arah umum
interaksi inilah yang disebut sebagai kultur. Interaksi antar individu juga diatur sesuai
dengan tujuan-tujuannya. Interaksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan
keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan
hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi dalam hubungannya dengan yang Illahi
diatur dalam institusi agama. Keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya supaya
bisa terjamin dan pasti, diadakanlah institusi politik. Keseluruhan institusi serta saling
berhubungannya satu sama lain itulah yang disebut struktur sosial. Atau dengan kata lain,
struktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi,
politik, agama, keluarga dan budaya. Dengan kata lain lagi, struktur sosial adalah
pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan permainan dalam
berinteraksi.
Analisa situasi dalam hal ini merupakan suatu usaha untuk memperlajari struktur sosial
yang ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita
tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan. Ada
berbagai jenis atau model dalam menganalisa situasi. Sementara ini akan dikupas
sedikitnya dua jenis atau model analisa yakni konsensus dan konflik, dalam melihat
situasi, khususnya tentang kemiskinan. Pemetaan tentang model analisa sesungguhnya
tidak sesederhana seperti yang nantinya akan dipaparkan berikutnya, karena bagian dari
masing-masing model sangat beragam. Oleh karena itu, penggambaran model di bawah
ini merupakan model analisa yang meliputi garis besarnya saja, dan sangat terbuka untuk
dikembangkan lebih lanjut. Setiap jenis atau model analisa tersebut berakar pada ideologi
tertentu.
IDEOLOGI KONSERVATIF
Berakar pada kapitalisme liberal pada abad 19. Pasar bebas dianggap oleh ideologi ini
sebagai dasar bagi kebebasan ekonomi dan politik, sehingga dapat menjamin adanya
desentralisasi kekuasaan. Ideologi ini menjunjung tinggi struktur sosial, termasuk
stratifikasi sosial. Perbedaan tingkat sosial disebabkan karena perbedaan antara individu
dengan bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang berkembang sesuai dengan bakat dan
pembawaannya.
miskin adalah orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang ada
atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan sudah
disetujui oleh masyarakat. Kaum ini percaya bahwa dalam jangka panjang,
proses natural akan berjalan dan menguntungkan semua anggota masyarakat.
Sehingga, kaum ini menentang pemberian jaminan sosial bagi penganggur,
karena akan membuat orang miskin semakin malas dan akan mengurangi daya
rangsang bagi kelompok lain.
IDEOLOGI LIBERAL
Memandang manusia sebagai yang digerakkan oleh motivasi kepentingan ekonomi
pribadi. Ideologi ini mempertahankan hak manusia untuk mencapai semaksimal mungkin
cita-cita pribadinya. Ideologi ini percaya akan efektivitas pasar bebas dan hak atas milik
pribadi. Hak-hak, kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk
melindungi individu terhadap kesewenangan negara.
MODEL KONFLIK
Memandang struktur sosial seperti yang sudah diuraikan di atas, sangat dinamis dan
ditentukan oleh berbagai pergulatan kepentingan antara berbagai pihak. Realitas sosial
senyata-nyatanya merupakan realitas pergulatan kepentingan. Permasalahan ketidak
adilan sosial dalam pola hubungan yang ada disebabkan oleh tidak berimbangnya
kekuasaan dalam pergulatan kepentingan tersebut.
menyadari adanya dialektika antara stabilitas dan perubahan, konsensus dan konflik. Kita
memilih model hanya untuk mencoba menerangkan masalah sosial yang ada. Dengan
kata lain, masalah sosiallah yang menentukan pemilihan model. Mengingat sebagian
besar penduduk, di tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional miskin,
sedangkan sebagian kecil penduduk kaya, maka model konfliklah yang lebih mengena
untuk menerangkan kemiskinan.
Usaha
Mengatasi
Kemiskinan
Aktor
Perubahan
demi mengatasi
kemiskinan
Model Konflik
Hasil pemaksaan,
selalu
dimasalahkan
Kesalahan pelaku
Kurangnya
Struktur sosial yang
sebagai sebab utama.
kesempat-an
tidak adil merupaberusaha bagi pelaku kan sebab utama.
merupakan sebab
utama.
Membiarkan, menentang Menyediakan dan
Mengubah struktur,
segala usaha
memperluas
demokrasi kekuasapemerintah,
kesempatan.
an sungguh di
menganggap akan
tangan orang kecil /
terjadi counter
kaum miskin.
productive.
Pelaku yang
Pemerintahan dan
Orang miskin itu
bersangkutan sendiri.
kaum elit.
sendiri.
Tujuan
Menghilangkan
penderitaan.
Perubahan
fungsional
(model non
konflik).
Konsultasi.
koperasi dan
serikat kerja,
pendidikan
alternatif.
Perubahan
struktural
(model
konflik)
Otoritas
muncul dari
bawah.
Perubahan
struktural dan
kultural.
Keadilan Gender
Kuasa
Partisipasi
Kesadaran
Akses
TIDAK ADA :
- Subordinasi
- Stereotipi dll.
TIDAK ADA Marginalisasi,
Beban Ganda, Kekerasan dll
10 Konsep pemberdayaan rakyat dengan lima dimensi diambil dari konsep pemberdayaan perempuan /
womens empowerment framework dari Sarah Hlupelkile Longwe, 1991.
Kesejahteraan
Gambar 1. Kerangka Pemberdayaan Rakyat Berkeadilan Gender
LIMA DIMENSI PEMBERDAYAAN
Pendampingan rakyat tidak hanya sekedar upaya meningkatkan akses terhadap sumber
daya dan meningkatkan kesejahteraan. Lebih dari itu, pendampingan rakyat adalah suatu
proses yang mengupayakan agar kedua hal itu bisa didapat dan terus berlangsung. Proses
pendampingan rakyat, sebagaimana dipahami, mengharuskan anggota kelompok yang
didampingi untuk terlibat sebagai partisipan dalam proses. Mereka tidak bisa hanya
menjadi penerima pasif dari kegiatan pendampingan / proyek, teapi harus dapat
meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk memahami dan memecahkan
permasalahan mereka.
Lebih jauh, pemberdayaan tidak akan terjadi secara sungguh-sungguh jika mengabaikan
permasalahan gender. Dalam hal ini, peningkatan kesejahteraan dan akses atas sumber
daya tidak boleh justru menimbulkan kekerasan fisik atau marginalisasi (peminggiran atau
pemiskinan), ataupun penambahan beban atas salah satu jenis kelamin atau lainnya.
Kesadaran kritis, partisipasi dan kuasa yang bertambah juga harus dapat menghilangkan
stereotipi dan subordinasi gender. Dengan kata lain, terpenuhinya kebutuhan praktis dan
strategis seseorang / sekelompok orang haruslah dilakukan bersamaan dengan perubahan
pada pembagian beban, kuasa (tidak ada subordinasi), meratanya peluang, hilangnya
perlakuan kekerasan, dan stereotipi antara perempuan dan lelaki.
Lima dimensi tersebut adalah katagori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain
berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan melengkapi. Ke lima dimensi
tersebut merupakan tingkatan yang bergerak memutar laiknya spiral, makin tinggi tingkat
kesetaraan otomatis makin tinggi tingkat keberdayaan. Di sini kesadaran kritis menjadi
kunci karena memungkinkan berubahnya kemapanan atau staus quo.
dalam hal ini berarti dipahaminya situasi senjang ini dan terdorongnya rakyat melakukan
tindakan untuk mengubahnya dengan cara memperoleh akses yang lebih besar terhadap
sumber daya atau bahkan menguasainya.
Dalam hal gender, kesenjangan ini terlihat dari adanya perbedaan akses antara
perempuan dan lelaki terhadap sumber daya. Lebih rendahnya akses mereka terhadap
sumber daya semua contoh sumber daya, juga tenaga kerja mereka sendiri
menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah dari lelaki. Selain itu,
dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua
pekerjaan-pekerjaan domestik sehingga ia tidak punya cukup waktu lagi untuk mengurusi
dan meningkatkan kemampuan dirinya. Akar penyebab kesenjangan akses atas sumber
daya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran.
permasalahan kita ?
11 Penjelasan tentang ketiga peran ini bisa dilihat pada ulasan Williams, et.al. di halaman 5 buku ini.