You are on page 1of 43

I;

Analisa Sosial

Perubahan Sosial Berperspektif Gender


oleh Mansour Fakih.

PENDAHULUAN
Dewasa ini kita menyaksikan suatu gejala luar biasa yang berupa gugatan untuk
mengakhiri ketidak adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan di hampir semua
sektor dan tingkatan; mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan dan
kebudayaan, kemasyarakatan sampai urusan rumah tangga. Gugatan terhadap
penghentian atas segala bentuk diskriminasi ini pada dasarnya dilandaskan pada suatu
teori dan analisa baru, yang dikenal dengan analisa gender. Analisa gender berbeda
dengan analisa sosial lainnya memberikan kerangka untuk memahami bagaimana ketidak
adilan sosial dan diskriminasi dalam masyarakat bisa ditimbulkan karena keyakinan atau
ideologi gender yang dianut oleh perseorangan atau masyarakat. Sehingga dengan
perspektif analisa gender sebagai salah satu penyebab timbulnya diskriminasi sosial,
ekonomi atau politik terjadi karena seringkali justru karena tidak ada kepekaan gender
seorang atau kelompok pengambil keputusan dalam suatu instansi, lembaga atau
organisasi yang memutuskan suatu kebijakan sosial. Sehingga kepekaan gender pada
suatu organisasi sangat menentukan dalam melanggengkan ataupun menghentikan salah
satu diskriminasi sosial yang tua dalam masyarakat, yakni diskriminasi terhadap kaum
perempuan.
Istilah gender pertama dikembangkan sebagai suatu analisa ilmu sosial oleh Ann Oakley
(1972)1. Sejak saat itu gender dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami
persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum, dan dapat menjadi alat
analisis untuk memahami ketidak adilan sosial secara luas. Melalui analisis gender kita
mampu memahami persoalan ketidak adilan terhadap kaum perempuan secara umum,
dan memampukan kita untuk dapat memahami akar ketidak adilan terhadap buruh
perempuan secara kritis, baik di lingkungan tempat kerja, kalangan organisasi maupun
gerakan buruh sendiri.
Analisis gender, dibanding alat analisa tentang ketidak adilan lainnya, tidaklah kalah
secara mendasar. Justru analisa gender ikut mempertajam analisis kritis yang sudah ada.
Oleh karena itu, analisis gender sering menghadapi resistensi dari kalangan lelaki maupun
perempuan sendiri, atau mereka yang juga melakukan kritik sosial. Hal ini karena jika
mempertanyakan posisi kaum perempuan, pada dasarnya akan menggoncang status quo
struktur dan sistem ketidakadilan yang telah mapan dan yang tertua dalam masyarakat
karena menyangkut hubungan kekuasaan antar pribadi yang melibatkan kita semua.
Analisis ini memfokuskan bagaimana ideologi gender melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalities), bagaimana manifestasinya dalam berbagai bentuk diskriminasi,
perendahan nilai serta melahirkan beban kerja bagi kaum perempuan. Makalah ini akan
mulai dengan membahas pengertian dasar tentang gender serta alat analisis gender, dan
menggunakannya untuk melihat kaitannya terhadap diskriminasi, subordinasi, kekerasan
dan beban kerja kaum perempuan.

1 Gender, oleh Oakley diartikan behavior differences between women and men that are socially constructed
created by men and women themselves; therefore they are matters of culture. Ann Oakley. 1994. Sex,
Gender and Society. New York : Harper and Row. 1972. Lihat : Elizabeth Eviota, The Political Economy of
Gender, London : Zed Books. Hal. 4.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pengantar tentang apa yang dimaksud dengan
gender dan yang dimaksud dengan analisis gender. Dalam rangka penjelasan mengenai
hal tersebut, tulisan ini juga akan menguraikan tentang mengapa gender dipersoalkan,
dan apa sesungguhnya yang dipersoalkan dalam analisis tersebut. Pertanyaan juga
menyangkut apa kaitan antara analisis gender dan diskriminasi terhadap kaum
perempuan. Dalam kaitan tersebut akan juga dibahas tentang bagaimana berbagai teori
mencoba memberikan analisa tentang persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan
tersebut. Melalui pengertian dasar analisa gender tersebut, dibahas mengenai bagaimana
menggunakan analisa gender dalam kegiatan organisasi dan implikasinya terhadap
masyarakat luas jika suatu kebijakan organisasi diambil tanpa perspektif gender. Terakhir
tulisan ini akan membahas mengenai berbagai strategi tentang bagaimana
memperjuangkan keadilan gender dan menghentikan diskriminasi gender di segala
tingkatan dan setiap sektor kehidupan masyarakat.

GENDER SEBAGAI ALAT ANALISA


Gender sejak dua dasa warsa terakhir telah menjadi bahasa yang memasuki setiap
analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan
sosial serta menjadi topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan.
Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender dan mengapa dikaitkan dengan
usaha emansipasi kaum perempuan ? Untuk itu diperlukan penjelasan mengenai konsep
gender :
Pertama, karena sesungguhnya tidak ada kata gender dalam bahasa Indonesia. Dalam
kamus bahasa Inggris, tidak secara jelas dibedakan artinya antara kata sex dan
gender; keduanya diartikan sebagai jenis kelamin.
Kedua, perlu uraian jernih tentang kaitan antara konsep gender dengan sistem ketidak
adilan sosial secara luas. Maka perlu uraian kaitan antara konsep gender, kaitannya
dengan kaum perempuan dan hubungannya dengan persoalan ketidakadilan sosial
lainnya.
Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam
melakukan analisa untuk memahami persoalan-persoalan ketidak adilan sosial yang
menimpa kaum perempuan. Hal ini karena ada kaitan erat antara perbedaan gender
(gender differences) dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat
secara lebih luas. Sebagai suatu analisis baru, sesungguhnya analisis gender tidaklah
kalah mendasar. Justru analisis gender ikut mempertajam analisa kritis yang sudah ada.
Misalnya analisa kelas yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika melakukan kritik terhdap
sistem kapitalisme akan lebih tajam jika pertanyaan gender juga dikemukakan. Demikian
halnya analisa kritis lainnya dalam bidang kebudayaan maupun politik, tanpa pertanyaan
gender, akan berwatak mendua, disatu saat sedang memperjuangkan suatu bentuk
ketidak adilan, namun pada saat yang sama justru melanggengkan suatu bentuk
ketidakadilan gender. Dengan demikian analisis gender merupakan analisa kritis yang
mempertajam berbagai analisis kritis ekonomi, sosial, politik dan budaya yang sudah ada.
Untuk memahaminya pertama kali harus dibedakan kata gender dengan kata seks atau
jenis kelamin. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya jenis lelaki adalah manusia yang memiliki
penis, memiliki jakun (Bhs. Jawa : kala menjing), memproduksi sperma dan seterusnya.
Sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti rahim dan
saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina, mempunyai
alat menyusui dan sebagainya. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada perempuan

selamanya, fungsinya tidak bisa dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat).
Sementara itu, konsep gender adalah pembagian lelaki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan dianggap lemah lembut, emosional,
keibuan, dan lain sebagainya. Sedangkan lelaki dianggap kuat, rasional, perkasa dan lain
sebagainya. Sifat-sifat tersebut tidaklah kodrat, karena tidak abadi dan dapat
dipertukarkan. Artinya ada lelaki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya,
sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya. Maka
gender berubah menurut waktu dan tempat. Misalnya saja zaman dahulu ada suatu
suku tertentu perempuan lebih kuat dari lelaki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat
yang berbeda, lelaki yang lebih kuat. Gender juga berbeda menurut kelas sosialnya.
Misalnya perempuan kelas bawah pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum lelaki kelas
atas. Pendek kata semua sifat yang dapat ditukarkan antara perempuan dan lelaki, yang
berubah sesuai waktu, tempat dan kelas sosial, disebut dengan gender.
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara lelaki dan perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan dan konstruksi
sosial, kultural, keagamaan, bahkan melalui kekuasaan negara. Melalui proses yang
panjang, gender lambat laun menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat dan
ketentuan biologis yang tidak bisa diubah lagi. Sehingga saat ini disebut sebagai kodrat.
Misalnya sifat lemah lembut, sifat memelihara dan sifat emosional yang dimiliki oleh kaum
perempuan dikatakan sebagai kodrat kaum perempuan.
Sebaliknya sosialisasi konstruksi sosial tentang gender ini secara evolusi akhirnya
mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya saja sifat gender kaum
lelaki harus kuat dan agresif, sehingga konstruksi sosial itu membuat lelaki terlatih dan
termotivasi menuju dan mempertahankan ke sifat yang ditentukan tersebut; yang pada
akhirnya, memang lelaki lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena konstruksi sosial
bahwa kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi, sosialisasi tersebut
mempengaruhi perkembangan emosi, visi dan ideologi kaum perempuan, serta
perkembangan fisik dan biologis mereka. Karena proses sosialisasi yang berjalan secara
mapan, akhirnya sulit lagi dibedakan apakah sifat gender tersebut dikonstruksi atau
kodrat biologis ketentuan Tuhan.
Persoalannya adalah, pertama, karena konstruksi sosial (gender) dianggap sebagai
kodrat. Akibatnya, gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat
tentang bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai
dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat
dan bukan perbedaan biologis itu dianggap ketentuan Tuhan. Masyarakat sebagai suatu
kelompoklah, yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan
berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara
lelaki dan perempuan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya, penuh dengan proses negosiasi, resistensi maupun dominasi 2.
Lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap sebagai alamiah, normal
dan kodrat, sehingga bagi yang mulai melanggar akan dianggap tidak normal dan
melanggar kodrat. Oleh karena itu, diantara bangsa-bangsa dalam kurun waktu yang
berbeda, pembagian gender tersebut berbeda-beda. Kedua, perbedaan gender tersebut
ternyata mengantarkan pada ketidakadilan gender (gender inequalities). Ketidakadilan
yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah yang sesungguhnya sedang
digugat. Ternyata dalam sejarahnya, terjadi perkembangan hubungan yang tidak adil,
menindas serta mendominasi antara kedua jenis kelamin tersebut. Bentuk manifestasi
ketidakadilan gender ini adalah dalam mempersepsi, memberi nilai serta dalam
pembagian tugas antara lelaki dan perempuan. Uraian berikut menganalisis bagaimana

2 Brittan, A. dan M. Maynarad. 1984. Sexism, Racism and Opression. Oxford : Oxford University Press.

manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan


pekerjaan mereka terjadi.
MANIFESTASI KETIDAK ADILAN GENDER TERHADAP KAUM PEREMPUAN
Sesungguhnya perbedaan gender (gender differences) tidaklah menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun
persoalannya ternyata, perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai ketidak
adilan, baik bagi kaum lelaki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
gender adalah suatu sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan perempuan menjadi
korban sistem itu. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada
ketidakadilan gender tersebut dapat dipahami melalui berbagai manifestasi ketidak adilan
tersebut.
Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni
Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, Subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, Stereotyping dan Diskriminasi atau pelabelan negatif,
kekerasan (Violence); Bekerja lebih panjang dan banyak (Double burden) serta
sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tersebut masingmasing tidak bisa dipisahkan, karena saling berkaitan dan mempengaruhi secara
dialektika.

1; Gender dan Marginalisasi Perempuan


Pertama, bentuk manifestasi ketidakadilan gender tersebut adalah proses marginalisasi
atau pemiskinan terhadap kaum perempuan. Sesungguhnya banyak proses di dalam
masyarakat dan negara yang memarginalkan masyarakat, seperti misalnya proses
eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan yang berakibat hanya pada jenis
kelamin tertentu (perempuan) yang disebabkan karena keyakinan gender. Ada
berbagai macam dan bentuk, serta mekanisme proses marginalisasi perempuan akibat
dari ideologi gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa dipilih menjadi sumber dari
kebijaksanaan pemerintah, keyakinan atau tafsiran keagamaan, tradisi atau kebiasaan;
bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Banyak studi telah dilakukan membahas bagaimana program pembangunan telah
memiskinkan kaum perempuan. Misalnya saja program revolusi hijau (Green
Revolution) telah menyingkirkan secara ekonomis (memiskinkan) kaum perempuan
dari pekerjaan mereka. Di Jawa misalnya, program ini dengan memperkenalkan jenis
padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang
menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi penggunaan ani-ani, alat yang
digunakan kaum perempuan. Akibatnya banyak perempuan miskin di desa menjadi
termarginalisasi yakni tersingkir dari sawah. Ini berarti bahwa program revolusi hijau
tersebut dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi terjadi juga karena adanya diskriminasi terhadap pembagian pekerjaan
menurut gender. Ada jenis pekerjaan yang dianggap cocok bagi perempuan karena
keyakinan gender tertentu. Misalnya karena perempuan dianggap tekun, sabar,
pendidik dan ramah, maka pekerjaan yang cocok bagi mereka adalah sekretaris, guru
TK, ataupun penerima tamu. Persoalannya timbul ketika jenis pekerjaan yang dikuasai
oleh perempuan tersebut selalu dinilai lebih rendah. Siapa berani menjamin bahwa
pembantu rumah tangga yang mayoritas dikuasai oleh perempuan, lebih ringan
dibanding sopir rumah tangga. Namun gaji sopir lebih tinggi dibanding pembantu.
Marginalisasi perempuan terjadi sejak di rumah tangga, dimana banyak keluarga
melakukan diskriminasi atas anggota keluarga yang lain, baik lelaki maupun

perempuan, telah terjadi sehingga mengakibatkan kemiskinan kaum perempuan


sampai pada tingkat pemahaman agama dan negara.

2; Gender dan Subordinasi Pekerjaan Perempuan


Pandangan gender ternyata juga menimbulkan akibat subordinasi terhadap kaum
perempuan. Karena anggapan bahwa perempuan emosional, maka ia tidak bisa
memimpin, sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Bentuk subordinasi
bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Dulu ada anggapan di Jawa
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya ia akan ke dapur.
Bahkan pemerintah dulu pernah memiliki peraturan jika suami akan pergi belajar dia
bisa memutuskan sendiri. Sementara istri yang hendak tugas ke luar negeri harus
seizin suami. Di rumah tangga pun masih sering kita dengar jika keuangan mereka
terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak mereka, maka
anak lelaki yang mendapatkan prioritas. Praktek demikian sesungguhnya berangkat
dari suatu kesadaran gender yang tidak adil.
Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua
pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi
subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai kaum lelaki. Hal ini menyebabkan
banyak lelaki dan perempuan sendiri akhirnya menganggap bahwa pekerjaan domestik
dan reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan. Subordinasi terhadap jenis pekerjaan
perempuan ini ternyata tidak hanya terjadi di rumah tangga, namun juga terproyeksi di
tingkat masyarakat dan tempat pekerjaan (pabrik). Keyakinan gender ternyata ikut
menyumbangkan diskriminasi terhadap posisi buruh perempuan dalam struktur
perusahaan dan pabrik-pabrik. Bahkan terdapat indikasi yang kuat bahwa bias gender
dalam bentuk subordinasi terhadap kaum perempuan ini juga terjadi dikalangan
organisasi kaum buruh dan gerakan buruh; meskipun pada dasarnya merupakan
gerakan untuk menegakkan keadilan sosial dan ekonomi.

3; Gender Dan Stereotipi Atas Pekerjaan Perempuan


Stereotype adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu.
Stereotype adalah bentuk ketidakadilan. Stereotype yang diberikan kepada suku
bangsa tertentu, misalnya Yahudi di Barat, atau Cina di Asia Tenggara telah merugikan
suku bangsa tersebut. Salah satu jenis stereotype itu bersumberkan pandangan
gender. Banyak sekali ketidakadilan terjadi, umumnya terhadap perempuan, yang
bersumber pada stereotype. Misalnya saja karena label bahwa perempuan itu bersolek
dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan
seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Bahkan jika ada
pemerkosaan terhadap perempuan, ada kecenderungan masyarakat justru
menyalahkan korbannya. Masyarakat dahulu banyak beranggapan bahwa tugas utama
perempuan adalah melayani suami. Stereotype ini berakibat bahwa pendidikan kaum
perempuan dinomorduakan. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan,
kebudayaan atau kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotype ini.
Dalam kaitan dengan pekerjaan perempuan, karena anggapan lelaki adalah pencari
nafkah keluarga, maka perempuan yang bekerja selalu dianggap sambilan atau
membantu suami. Demikian juga banyak jenis pekerjaan perempuan yang dianggap
tidak bermoral. Misalnya pekerjaan sebagai pelayan tempat minum atau tukang
pijit atau pekerjaan yang ada kaitannya dengan industri perhotelan dan turisme,
serta pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam hari, dianggap tidak bermoral.
Diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam bentuk stereotype ini juga terjadi dalam
dunia pekerjaan. Misalnya saja banyak buruh perempuan diperlakukan tidak adil yang
disebabkan oleh keyakinan stereotype tertentu terhadap perempuan yang berkeluarga,

pada masa reproduksi seperti haid, hamil dan melahirkan dianggap tidak produktif.
Berbagai stereotype juga terjadi terhadap aktivis buruh perempuan, baik dari aparat
keamanan pabrik, manajemen, bahkan kalangan buruh sendiri.

4; Gender Dan Kekerasan Kerja Terhadap Perempuan


Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) terhadap fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia ini sumbernya macammacam, namun ada salah satu jenis kekerasan yang bersumber anggapan gender.
Kekerasan ini disebut sebagai Gender-related Violence, yang pada dasarnya
disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang bisa
dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai
ditingkat negara, bahkan dari tafsiran agama3.
Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan kekerasan gender ini,
diantaranya adalah sebagai berikut :

a; Dalam kasus pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk didalamnya perkosaan


dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan
pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidak relaan ini seringkali
tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan,
malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan dan lain
sebagainya.

b; Dalam bentuk pemukulan dan serangan non pisik yang terhadi dalam rumah tangga

(Domestic Violence). Masuk dalam kekerasan rumah tangga ini adalah kekerasan
atau penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).

c; Dalam bentuk penyiksaan organ alat kelamin, (genital mutilation) seperti misalnya
penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan dilakukan oleh suatu
masyarakat untuk melakukan penyunatan ini. Namun salah satu alasan terkuatnya
adalah karena adanya anggapan dan bias gender di masyarakat yakni untuk
mengkontrol kaum perempuan. Penyunatan terhadap perempuan ini sudah mulai
jarang kita dengar.

d; Dalam prostitusi. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang lain adalah


pelacuran (prostitution). Pelacuran adalah suatu bentuk kekerasan terhdap
perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan
kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar
ganda terhadap pekerja seks ini. Yang pertama mereka melarang dan menangkapi
mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara
mereka dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat konsentrasi mereka
selalu saja ramai dikunjungi masyarakat.

e; Kekerasan terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik,
yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan
obyek demi keuntungan seseorang. Hal ini biasanya disebut dengan pornografi.
Jenis kekerasan seperti ini yang banyak terjadi di lingkungan kerja atau pabrik
terhadap buruh perempuan adalah dalam bentuk pelecehan seksual (sexual
harassment). Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan sexual,
antara lain kekerasan terselubung (molestation) yakni memegang atau menyentuh
bagian dari tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa

3 Bahkan kekerasan terhadap perempuan ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Muslim karena
interpretasi ajaran agama. Lihat : Asghar Ali Engineer. 1994. The Quran : Male Ego and Wife-beating. Bombay :
Institute of Islamic Studies.

kerelaannya. Pelecehan seksual ini juga sering terjadi di tempat umum, seperti bis
kota dan lain sebagainya. Selain itu, pelecehan juga terjadi dalam bentuk
penyampaian lelucon jorok secara vulgar dan ofensif dihadapan kaum perempuan,
menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterograsi
seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya
dalam struktur organisasi kerja, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk
mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh / menyenggol
bagian tubuh tanpa serela atau seizin yang bersangkutan. Kasus pelecehan seksual
yang terjadi dipabrik terhadap buruh perempuan juga sudah bukan rahasia lagi.

f; Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced


sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat juga menjadi sumber kekerasan
terhdap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengkontrol pertumbuhan
penduduk. Perempuan seringkali yang dijadikan korban terhadap program tersebut,
meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan
melainkan berasal dari kaum lelaki juga. Namun lantaran bias gender, perempuan
dipaksa untuk sterilisasi yang sering kali membahayakan baik fisik maupun jiwa
mereka.

5; Gender Dan Beban Kerja Lebih Berat


Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan
tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik
menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sehingga perempuan menerima beban
kerja untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga; mulai dari mengepel
lantai, memasak, mencuci, mencari air dan memelihara anak. Di kalangan keluarga
miskin, beban ganda terjadi, selain harus bekerja domestik, mereka masih harus
bekerja membantu mencari nafkah. Bagi golongan kelas kaya, beban kerja ini
kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers). Mereka
inilah yang sesungguhnya menjadi korban dari bias gender di masyarakat. Mereka
bekerja berat, tanpa perlindungan dan kebijakan negara. Selain tanpa perlindungan,
hubungan mereka bersifat feodalistik dan perbudakan, serta masalahnya belum bisa
secara transparan dilihat oleh masyarakat luas.
Bagi buruh perempuan, dalam sistim masyarakat yang bias gender mereka menderita
apa yang dikenal dengan beban ganda. Di rumah, mereka mengerjakan sebagian besar
pekerjaan domestik, sementara di pabrik atau tempat kerja juga mengerjakan berbagai
pekerjaan yang sangat membebani. Bagi buruh perempuan yang bekerja,
sesungguhnya sering menghadapi eksploitasi ganda, baik dipabrik maupun dirumah.
Namun bagi perempuan istri buruh yang tidak bekerja, beban kerja juga mereka
tanggung. Dalam sistim kapitalisme, terjadi apa yang dikenal dengan "eksploitasi
pulang ke rumah". Buruh yang dieksploitasi di pabrik, selanjutnya pulang ke rumah dan
di rumah ganti mengeksploitasi istri mereka. Dengan demikian buruh terlayani
kesejahteraan baik fisik maupun psikologis mereka. Oleh karena itu, sistim kapitalisme
sangat diuntungkan oleh adanya ketidakadilan gender.

BERBAGAI TEORI TENTANG PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN


Feminisme adalah gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada
dasarnya ditindas. Dalam usaha mengakhiri penindasan tersebut, mereka masih berselisih
mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan itu terjadi. Dengan demikian,
feminisme bukanlah selalu perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum lelaki,
melainkan terbagi dalam berbagai perjuangan diantaranya untuk transformasi sistim dan

struktur yang tidak adil menuju sistim yang adil bagi perempuan maupun lelaki. Maka
strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme, juga tidak tunggal, tapi beragam,
mulai dari upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, sampai pada
perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru
dan lebih baik. Berikut adalah uraian tentang bagaimana teori dari masing masing
gerakan feminis mengenai kaum perempuan :

a; Kaum liberal, yakni mereka yang percaya bahwa kebebasan dan equalitas berakar

pada rasionalitas, dan "perempuan adalah mahluk rasional" juga, maka mereka
menuntut hak yang sama dengan lelaki. Kaum perempuan harus dididik agar mampu
bersaing dalam arena kesempatan, yakni memasuki prinsip-prinsip maskulinitas.
Mereka tidak mempermasalahkan ketidakadilan struktural dan penindasan ideologi
patriaki. Paham ini kelihatannya kini mendominasi pemikiran tentang perempuan,
khususnya Dunia Ketiga. Misalnya, paham Modernisasi, yang menganggap perempuan
masalah bagi perkembangan ekonomi moderen atau partisipasi politik. Hal ini karena
sikap irasional para pakar yang berpegang teguh pada tradisi yang berdasarkan pada
pandangan yang berakar dari faham Feminis Liberal. Oleh karena itu, industrialisasi
dianggap sebagai jalan terbaik untuk mengangkat status perempuan, karena akan
mengurangi akibat ketidaksamaan kekuatan biologis antara lelaki dan perempuan.
Misalnya KB (Keluarga Berencana) dianggap akan membebaskan perempuan dari
proses siklus reproduksi yang tak pernah berhenti dan sebagainya 4.

b; Kaum feminis radikal yang muncul sebagai reaksi atas seksisme di Barat tahun
1950an, justru sebaliknya. Bagi mereka, penindasan perempuan berakar pada kaum
lelaki. Penguasaan fisik perempuan oleh lelaki itulah bentuk dasar penindasan itu
(Jaggar, 1977) dan patriaki adalah sistim hirarki seksual dimana lelaki memiliki
kekuasaan superior dan priviledge ekonomi. Analisa mereka a-historis, karena
menganggap patriaki adalah universal dan akar segala penindasan 5. Meskipun mereka
menggunakan bahasa Marxis namun tidak menggunakan kerangka teori kelas secara
sungguhan. Hubungan gender direduksi hanya pada perbedaan natural yang
bersumber pada biologi6. Revolusi terjadi pada setiap perempuan yang mengambil aksi
untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri. Anggapan ini
bertentangan dengan kerangka Marxist yang melihat penindasan perempuan sebagai
realitas obyektif. Sumbangan mereka sangat besar pada gerakan perempuan terutama
karena paham personal is political yang memberi peluang politik bagi kaum
perempuan. Namun lagi-lagi golongan ini mengambil bentuk mode perjuangan ideologi
Maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum lelaki.

c; Feminis Marxist, yang menolak gagasan biologi sebagai dasar pembedaan gender juga
tak luput dari mode perjuangan ini. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian
dari penindasan kelas dalam relasi produksi. Women question seIalu diletakkan
dalam kerangka kritik pada kapitalisme. Engels menganggap bahwa jatuhnya status
perempuan bukan karena perubahan teknologi, melainkan karena perubahan
organisasi kekayaan. Munculnya era hewan piaraan dan petani menetap merupakan
awal penciptaan surplus, yang merupakan dasar private property, dan kemudian
menjadi dasar bagi perdagangan dan produksi untuk exchange. Karena lelaki
mengontrol produksi untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan
politik, termasuk perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka. Pada era
Kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan dengan berbagai cara dan
alasan. Pertama, melalui eksploitasi pulang ke rumah yakni suatu proses yang

4 Lihat F.X. Sutton. 1963. The Pattern Variable dalam Harr Eckstein dan David Apter (eds), Comparative Politics
: A Reader. New York : Free Press.
5 Lihat Jaggar A. 1983. Feminist Politics and Human Nature. Brighton : Harvester Press.

6 Lihat Firestone, S. 1970. The Dialectic of Sex : The Case for Feminist Revolution. New York : William Morrow
and Company Incorporation.

diperlukan guna membuat lelaki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif.
Kedua, perempuan bermanfaat dalam reproduksi buruh murah. Ketiga, masuknya
perempuan sebagai buruh dengan upah lebih rendahmenciptakan buruh cadangan,
dan ini memperkuat posisi tawar kapitalis serta mengancam solidaritas buruh.
Kesemuanya itu mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis. Itulah makanya
penindasan perempuan bersifat struktural dan penyelesaiannya pun hanya dengan
perubahan struktur kelas dan memutuskan hubungan dengan sistim kapitalis
internasional. Setelah revolusi, garansi persamaan bagi lelaki dan perempuan belumlah
cukup, karena perempuan dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Oleh
karena itu, mengutip Engels "hanya jika urusan mengurus rumah tangga
ditransformasikan menjadi industri sosial, serta urusan menjaga dan mendidik anak
menjadi urusan umum tidak dilakukan, maka perempuan tidak akan mencapai
equalitas yang sejati". Emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat
dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Proses itu hanya terjadi melalui
industrialisasi. Bagi teori Marxist klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui
revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga). Jelas
sekali disini mereka meremehkan Feminitas dan mengagungkan Maskulinitas.

d; Kaum feminis sosialis mensintesa antara metode historis materialist Marx dan Engels
dengan ide the personal is politicalnya kaum radikal. Penindasan perempuan bagi
mereka terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata serta merta
menaikan posisi perempuan. Atas dasar itu mereka nenolak visi Marxist klasik yang
meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya,
feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Sehingga analisa
patriaki perlu dikawinkan dengan analisa kelas. Kritik kapitalisme harus disertai kritik
dominasi atas perempuan. Teori Capitalist Patriachy dari Zillah Eisenstein yang
menyamakan struktur kelas kapitalis dengan struktur hirarki seksual berasumsi bahwa
Patriaki muncul sebelum kapitalisme dan tetap ada pada era paska kapitalisme.
Perempuan sebagai suatu kelas adalah analogi problem alienasi Marx yang diterapkan
untuk kaum perempuan. Seperti proletarisasi buruh, perempuan juga ditekan oleh
kapitalis dan patriaki untuk mencapai nilai-nilai esensi mereka 7.
Dari berbagai aliran teori feminisme tersebut, salah satu prestasi besar dan
menyatukan mereka adalah digunakannya analisis gender untuk memahami
persoalan kaum perempuan. Kini, hampir semua kaum feminis maupun
pertanyaan mengenai nasib perempuan selalu menggunakan analisis gender
untuk memberi makna terhadap realitas relasi sosial. Bahkan analisis gender
dewasa ini telah dipergunakan bagi setiap organisasi maupun perencanaan
pembangunan yang menyangkut masalah sosial.

STRATEGI MENGHENTIKAN KETIDAK ADILAN GENDER ATAS PEREMPUAN


Memperjuangkan keadilan gender adalah suatu perjuangan yang berat, karena hal ini
berarti menggugat "priviledge" yang dimiliki kaum lelaki, yang diuntungkan dari ketidak
adilan tersebut. Masalah ketidakadilan gender spektrumnya begitu luas, mulai dari rumah
tangga sampai pada urusan negara. Untuk itu, bagaimana memikirkan memecahkan
masalah gender diperlukan stategi yang tepat sebagai berikut 8 :

7 Lihat Einstein, Zillah (eds). 1974. Capitalist Patrichy and the Case for Socialist Feminism. New York : Monthly
Review Press.
8 Strategi ini mengikuti analisa dan strategi dalam Gender Law and Development (GLAD). Lihat Schuler M.
(eds). 1994. Empowerment and the Law Strategies of Third World Women.

Jika persoalan ketidakadilan itu terjadi pada substansi hukum, baik tertulis seperti undang
undang atau peraturan yang tertulis, maka strategi yang perlu dilakukan adalah
melakukan advokasi untuk mereformasi atau mengubah Undang Undang atau melakukan
penafsiran baru terhadap substansi hukum tersebut 9. Upaya advokasi juga perlu dilakukan
pada hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis di masyarakat. Kaum perempuan
perlu mengkaji dan mengidentifikasi segala macam substansi dan Undang Undang,
peraturan, PERDA yang diskriminatif terhadap mereka. Setelah itu, mereka perlu
melakukan pengorganisasian, penulisan undang undang ataupun peraturan alternatif yang
tidak diskriminatif, serta memperjuangkannya untuk bisa menggantikan peraturan lama
yang diskriminatif tersebut. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap berbagai aturan
yang bersumber dari tafsiran keagamaan. Prinsipnya jika pokok persoalan diskriminasi
bersumber pada hukum, baik sekuler maupun keagamaan, maka strateginya adalah
advokasi untuk mengubah dan mengganti hukum yang diskriminatif tersebut.
Ini berarti organisasi buruh perlu menelah kembali segenap aturan organisasi, mulai dari
konstitusi organisasi hingga berbagai kebijakan sehari-hari, bahkan kebiasaan ataupun
norma dikalangan organisasi buruh; apakah secara substansial masih ada yang
melanggengkan ataupun memperkuat ketidakadilan gender. Setelah itu baru melakukan
analisis terhadap berbagai peraturan perburuhan, baik yang dibuat oleh pemerintah
maupun perusahaan, apakah peraturan dan kebijakan tersebut berisikan diskriminasi yang
melahirkan ketidakadilan gender terhadap buruh perempuan. Kemudian kaum buruh juga
sudah saatnya melihat dalam rumah tangga masing-masing; apakah terdapat aturan,
norma ataupun kebiasaan yang substansinya terdapat diskriminasi terhadap kaum
perempuan maupun terhadap anak perempuan, sehingga melahirkan ketidakadilan
gender dirumah tangga para buruh sendiri. Dengan demikian, usaha advokasi ini
dilakukan secara menyeluruh, mulai dari mengubah aturan ataupun kebijakan di rumah
tangga, di organisasi buruh sendiri, di lingkungan pabrik bahkan sampai tingkat negara.
Akan tetapi jika persolannya bukan pada substansi hukumnya, melainkan pada "kultur"
atau adat istiadat di masyarakat atau aparat pabrik, maka strategi yang dilakukan adalah
melakukan kampanye dan pendidikan massa untuk mengubah persepsi dan idelogi
masyarakat atau kalangan buruh dan manajemen di tempat kerja. Untuk
menyelenggarakan strategi pendidikan ini, suatu taktik jangka pendek perlu dilakukan,
yakni berbagai upaya untuk melakukan kegiatan yang melibatkan perempuan agar
mampu mengatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah
marginalisasi perempuan berbagai proyek peningkatan pendapatan kaum perempuan,
serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dalam sektor
produktif. Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan berbagai upaya untuk
melakukan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan
untuk jangka pendek dapat dilaksanakan.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan berbagai stereotype terhadap
kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu digalakkan. Kaum perempuan
sendiri harus mulai memberikan peran penolakan secara jelas kepada mereka yang
melakukan pelecehan agar hal tersebut dihentikan. Membiarkan ataupun menganggap
biasa terhadap kekerasan dan pelecehan justru mendorong para pelaku untuk
melanggengkannya. Pelaku penyiksaan, pemerkosa dan peleceh seringkali salah paham
bahwa ketidakjelasan penolakan tersebut dianggap bahwa mereka menyukainya.

9 Mengenai bias gender dalam tafsiran agama ini lihat : Riffat Hassan, 1987. "Equal Before Allah ? Women
Men Equality in the Islamic Tradition". Harvard Divinity Bulletin. January May.

Akan tetapi jika sumber ketidakadilannya terletak pada struktur atau sistem dalam
masyarakat ataupun negara, maka strateginya memang lebih rumit. Usaha untuk
mengubah struktur ketidakadilan gender perlu dilakukan terhadap perubahan struktur itu
sendiri. Usaha untuk mengubah struktur ketidakadilan gender memerlukan semua strategi
berupa advokasi terhadap berubahnya aturan atau hukum yang menjadi landasan struktur
ketidakadilan tersebut, namun juga perlu melakukan pendidikan dan kampanye untuk
membangkitkan kesadaran kritis masyarakat kepada yang diuntungkan dan dirugikan oleh
struktur tidak adil tersebut. Yang terakhir adalah usaha untuk memberikan ruang kepada
kaum perempuan untuk menyadari, kemudian berorganisasi untuk menumbangkan
struktur ketidakadilan gender tersebut.
Akhirnya, perjuangan strategis untuk mengubah sistim ketidakadilan gender dalam
masyarakat, termasuk diskriminasi dan pandangan negatif terhadap jenis pekerjaan kaum
perempuan serta perlakuan tidak adil (marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan
dan beban kerja) terhadap kaum perempuan merupakan perjuangan ideologis. Bentukbentuk perjuangan tersebut misalnya dengan melancarkan pendidikan kesadaran kritis
untuk menggeser ideologi ketidakadilan gender yang diyakini masyarakat. Upaya stategis
perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung seperti melakukan studi tentang
berbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya di masyarakat, negara maupun
rumah tangga. Bahkan kajian ini selanjutnya dipakai melakukan advokasi untuk mengubah
kebijakan, hukum dan aturan pemerintah maupun tafsiran keagamaan yang dinilai tidak
adil terhadap kaum perempuan. Hanya dengan usaha aksi yang sungguh-sungguh,
meliputi advokasi, pendidikan kritis masyarakat (popular education), kampanye yang
digalakkan oleh kaum perempuan sendiri, sehingga ketidakadilan gender dalam
masyarakat bisa diakhiri.
Di atas itu semua, yang pertama kali harus dilakukan adalah mengembangkan sensitivitas
gender dalam organisasi buruh sendiri atau di kalangan gerakan buruh itu sendiri.
Sehingga akan membawa pada perlunya pengembangan gender policy terhadap seluruh
jajaran organisasi. Selain itu, perspektif gender juga sudah saatnya diintegrasikan dalam
keseluruhan strategi perjuangan buruh. Dengan demikian, buruh perempuan tidak
didiskriminasi dan disubordinasi di tempat kerja maupun oleh organisasi mereka sendiri.
Sudah saatnya menempatkan buruh perempuan sebagai pelaku dan bagian penting dalam
gerakan perjuangan untuk menciptakan dunia dan sistim perburuhan yang secara
mendasar lebih adil. Hanya dengan strategi mengembangkan kesadaran gender mulai
dari diri sendiri dimulai usaha menegakkan keadilan gender sosial secara luas. Maka bisa
sekaligus mentransformasikan organisasi buruh sebagai bagian permasalahan buruh
perempuan menuju pada bagian dari solusi terhadap ketidakadilan gender, yang
merupakan salah satu bentuk berbagai ketidak adilan lainnya.

Bahan Bacaan :

1
2
3
4
5

Andersen, M.L. Thinking about Women, Sociological and Feminist Perspective.


MacMillan Publisher Company Incorporation. New York, 1983.
Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan. Some Question on Feminism and Its Relevance in
South Asia. New Delhi : Kali For Women. 1986.
Boserup, E. Womens Role in Economic Development. London : George Allen and
Unwin. 1970.
Boulding, Elisa. Women in the Twentieth Century World. New York : Halsted Press,
1974.
Charlton, S. Ellen. Women in Development. Boulder, Colorado : Westview Press, Inc.
1984.

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Cott, Nancy. F. The Grounding of Modern Feminism. New Haven and London : Yale
University Press. 1987.
Davis, M. (ed.). Third World, Second Sex : Womens Struggle and National Liberation.
London : Zed Press. 1983.
Davis, Kathy. The Gender of Power. Leiden: Leiden University Press, 1986.
Engels. F. The Origin of Family Private Property and the State. New York: International
Publisher Company. 1970.
Engineer, Asgar Ali. The Rights of Women in Islam. London: C.Hurst and Co.Ltd. 1992.
Anonimus, The Origin and Development of Islam. Bombay: Orient Longman. 1980.
Eviota, Uy Elizabeth. The Political Economy of Gender. London: Zed Books Ltd. 1992.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1996.
Firestone, S. The Dialectic of Sex : The Case for Feminist Revolution. NewYork: William
Morrow and Co.Inc. 1970.
Jaggar, A. Feminist Politics and Human Nature. Brighton: Harvester Press.
MacDonald, M (ed.). Gender Planing in Development Agencies : Meeting the Challenge.
Oxford : OXFAM Publication, 1994.
Maguire, Pat. Doing Participatory Research : A Feminist Approach. Amherst : Center For
International Education, University of Massachusetts. 1987.
Anonimus, Women in Development: An Alternative Analysis. Amherst MA : Center For
International Education. 1984.
Mies, Maria. Patriachy and Accumulation on a World Scale: Women in the International
Division of Labor. London: Zed Books Ltd. 1989.
Mitchell, J dan Ann Oakley, What is Feminism. New York: Yale University Press,
Bringhamton. 1985.
Mosse, Julia Cleves. Half The World, Half a Change : An Introduction to Gender and
Development. Oxford : OXFAM. 1992.
Mueller, A. Peasants and Professionals : The Production of Knowledge about Women in
the Third World. A paper presented to the Meeting of the Association for Women in
Development, Washington D.C. April, 1987.
Nicholson, L. (ed.). Feminism / Postmodernism. New York: Routledge. 1990.
NG, Cecilia and Carol Yong. Malaysian Women at the Crossroads. CHANGE International
Reports. No. 17, London.
OConnell, H. (ed.) Women and Conflict. Oxford : OXFAM, 1994.
Reardon, G. Women and the Environment. Oxford : OXFAM, 1994.
Robert, Helen. (Ed.). Doing Feminist Research. London: Routledge and Kegan Paul.
1981.
Rogers, Barbara. The Domestication of Women : Discrimination in Developing Society.
Discrimination in Developing Societies. New York: St. Martins Press. 1979.
Sacks, K. Sister and Wives. The Past and the Future of Sexual Inequality. Westport CT:
Greenwood Press. 1979.
Anonimus, Engels Revisited : Women, the Organization of Production and Private
Property dalam Reiter (ed.). Toward an Anthropology of Women. New York : Monthly
Review. 1975.
Schuler M, (ed.) Empowerment and the Law Strategies of Third World Women. Pub GLE
International. 1994.
Stamp. P. Technology, Gender And Power in Africa. Ottawa: IDRC. 1989.
Staudt, K. Women, Foreign Assistance and Advocacy Administration. New York: Preager
Publisher Inc. 1985.
Sweetman, C. dan Kate De Selincourt. Population and Reproductive Rights. Oxford:
OXFAM, 1994.
Tong, Rosemaries. Feminist Thought. Boulder and San Fransisco: Westview Press. 1989.

36 Wallace, Tina dan Candida March.


Development. Oxford : OXFAM, 1991.

Changing Perceptions : Writing on Gender and

Pengantar Analisa Sosial : Metodologi Praktis

oleh Peter Henriot.

Analisa sosial yang sebenarnya dapat digambarkan dalam lingkaran pastoral, yang
menunjukkan hubungan erat antara empat perantara pengalaman, yakni pemetaan
masalah, analisa sosial, refleksi teologis, dan perencanaan pastoral. Lingkaran ini kerap
disebut sebagai lingkaran praksis.
Analisa

Refleksi

Pengalaman
Pemetaan

Perencanaan

Gambar 1. Lingkaran Pastoral Analisa Sosial


PENDAHULUAN
Pendekatan yang lebih mendalam terhadap tugas analisa sosial telah lama dikembangkan.
Lewat berbagai forum di berbagai tempat akhirnya dirumuskan langkah-langkah
metodologi analisa sosial agar menjadi lebih gamblang dan praktis yang menekankan
bahwa kegiatan ini merupakan salah satu metoda yang paling memungkinkan untuk
dilakukan; pendekatan ini dipandang berguna oleh banyak orang yang telah mengikuti
dan mempelajarinya. Langkah-langkahnya meliputi asumsi dasar, deskripsi, analisa dan
kesimpulan.

PENGERTIAN ANALISA SOSIAL


Analisa sosial didefinisikan sebagai usaha memperoleh gambaran lebih lengkap tentang
sebuah situasi sosial dengan menggali hubungan historis dan strukturalnya, yang
berperan sebagai perangkat, yang memungkinkan kita menangkap dan memahami
realitas yang sedang dihadapi, karena menggali realita dari berbagai dimensi sehingga
memungkinan sesorang menyelidiki secara mendalam tentang struktur lembagalembaga : ekonomi, politik, sosial, budaya. Dari berbagai struktur lembaga itu muncul
masalah dan berbagai kebijakan tertuju.
Dengan menjangkau dimensi di balik pokok persoalan, kebijakan dan struktur, analisa
sosial memusatkan diri pada sistem, yang ada dimensinya di dalamnya. Kita dapat
berbicara bentuk ekonomi sebuah sistem sosial, menganalisa keadaan politik suatu sistem
dan dasar kulturalnya. Sehingga pada akhirnya dapat menganalisa sistem sosial menurut
tingkatannya; kelompok utama, komunitas lokal, negara, bangsa dan sistem dunia.
Sistem sosial perlu dianalisa menurut waktu (analisa historis) dan ruang (analisa
struktural). Analisa historis adalah studi tentang perubahan sistem sosial dalam kurun
waktu, sedangkan analisa struktural menyajikan bagian yang representatif dari kerangka
kerja sistem dalam momen waktu tertentu.

Akhirnya dalam analisa dapat dibedakan antara dimensi obyektif dan subyektif realita
sosial. Dimensi obyektif mencakup berbagai organisasi, pola perilaku, atau lembaga yang
memuat ungkapan struktural secara eksternal. Dimensi subyektif menyangkut kesadaran,
nilai dan ideologi. Unsur itu harus dianalisa untuk memahami berbagai asumsi yang aktif
bekerja dalam situasi sosial yang ada. Pertanyaan dan masalah yang diajukan analisa
sosial menelanjangi nilai-nilai dasar yang membentuk pandangan dan keputusan para
pelaku dalam sistem tersebut.
Meskipun analisa sosial biasanya memerinci realitas sosial, tetapi realita itu lebih
kompleks daripada gambaran yang disajikan dalam proses analitis. Tidak pernah sebuah
sistem sosial persis cocok dengan model asli dan ideal. Misalnya sistem sosial di
Madandan terdapat dalam berbagai bentuk, dipengaruhi berbagai pengalaman kultural,
geografis dan daerah maupun yang lainnya. Hal demikian tidak untuk mencocokkan
realitas dalam kotak analisa yang telah dibentuk sebelumnya, namun untuk membiarkan
analisa kita diperkaya dan dikembangkan oleh kekayaan realitas itu. Analisa sosial
menjanjikan parameter yang luas, dimana strategi dan taktik dapat diajukan namun tidak
merumuskannya.
LANGKAH ANALISA SITUASI

1; Orientasi Dasar
Langkah pertama yang perlu dilakukan ialah menyingkap dan memperjelas nilai-nilai
yang mendorong kita melakukan tugas tersebut. Hal itu berarti harus bersentuhan
dengan berbagai perspektif, praduga, dan pendirian-pendirian yang mempengaruhi
soal jawab yang kita lakukan dan penilaian yang kita buat. Tidak ada analisa sosial
yang bebas nilai. Kita melakukan semua ini dengan mempertanyakan sendiri asasasas kita. Kita melakukan semua itu dengan mempertanyakan sendiri asas-asas seperti
:
a; Apakah keyakinan dan nilai dasar kita ?
b; Apakah dasar perbedaan tindakan kita ?
c; Manakah tindakan yang berpengaruh terbesar pada berbagai masalah ?
Pertanyaan semacam itu akan menyingkap pendirian yang menjadi titik tolak
kita dalam melakukan analisa sosial. Dengan kata lain, tahap ini kita
berbicara mengenai orientasi dasar atau visi misi. Pada langkah ini dapat
juga dilakukan pembongkaran, karena mengarahkan diri pada penegasan
nilai-nilai sebagai titik tolak, yang berfungsi sebagai jalan yang membuka
kita pada unsur-unsur yang lebih penting dari situasi yang sedang kita kenali
dengan menempatkannya dalam konteks orientasi dasar yang menuntun
kita, serta memperjelas persamaan dan perbedaan yang akan mempengaruhi
pembahasan selanjutnya.

2; Deskripsi
Langkah berikutnya yang harus dilaksanakan ialah membuat deskripsi umum dari
situasi yang sedang kita pahami. Mungkin kita sedang mempelajari :
a; Permasalahan sosial, seperti pengangguran, perumahan yang tidak memadai,
kurangnya pengembangan sektor pertanian dll.
b; Institusi, seperti sekolah, perusahaan dll.
c; Kesatuan wilayah geografis, seperti RT, RW, dusun, desa, negara dll.

Kita dapat melakukannya dengan pendekatan impresionistik dengan mengumpulkan


berbagai fakta dan kecenderungan atau trend melalui brainstorming dan cerita-cerita
yang bersentuhan dengan pengalaman rakyat :
Apa yang sedang terjadi pada situasi sekarang ?
Apa yang diungkapkan oleh foto-foto tersebut ?
Bagaimana membahas masalah paling menyolok dalam situasi sekarang ini ?
Atau bisa juga kita memilih pendekatan yang lebih sistematis. Dengan cara yang rapi
kita bisa mengumpulkan semua keterangan yang berkaitan dengan situasi pedesaan.
Kita dapat menggunakan sebuah metodologi riset atau penelitian tertentu untuk
memahami berbagai segi realitas sosial kita :
Manakah katagori yang penting ?
Manakah unsur yang paling membantu untuk menjelaskan situasi tersebut ?
Berbagai metodologi partisipatorik telah dikembangkan dan kita bisa mengkaji ulang
untuk menentukan metodologi dan teknik yang relevan bagi kepentingan deskripsi
kita. Entah pendekatan mana yang kita gunakan atau campuran dari keduanya, hal
penting yang harus diingat adalah bahwa kita sedang membuat deskripsi. Kita belum
melangkah ke arah pemahaman yang lebih dalam tentang situasi pedesaan tersebut
atau belum mencoba memahami hubungannya dengan situasi sosial yang lebih luas
dan lebih umum. Kita pun belum membuat evaluasi dan mengambil kesimpulan dalam
arti melakukan analisa secara eksplisit dan formal. Langkah deskripsi ini akan
membantu memasuki gambaran yang bersentuhan dengan pengalaman kita dalam
situasi tersebut, dan mulai menunjukkan unsur-unsur yang penting untuk diketahui
lebih lanjut. Dalam langkah ini, kita juga bisa makin memperjelas apa yang pertamatama menggerakkan kita untuk memahami situasi rakyat atau menyelidiki sistem
tersebut. Misalnya rakyat sengsara, derap perubahan pembangunan yang sangat
cepat, segelintir orang yang memiliki kekayaan lebih dari yang lain, kita tidak lagi
mempunyai kekuasaan atas keputusan daerah dan lain sebagainya.

3; Analisa
Analisa sosial merupakan usaha memperoleh gambaran lebih lengkap tentang sebuah
situasi sosial dengan menggali hubungan-hubungan historis dan strukturalnya. Kita
dapat melaksanakan tugas ini dengan menjawab empat seri pertanyaan tentang
sejarah, struktur, nilai kunci dan arah masa depan situasi yang sedag dianalisa sebagai
berikut :

a; Garis Utama Sejarah :


Masalah ini penting karena berkaitan dengan dari mana kita berangkat dan kemana
kita akan pergi. Memandang masalah sejarah secara serius adalah langkah yang
membebaskan karena menempatkan kejadian yang sedang berlangsung dan
berbagai tantangan dalam sebuah perspektif. Sejarah merelatifkan apa yang dekat
dan menempatkan kita pada konteks yang lebih luas dengan memperjelas masa
lalu serta menawarkan wawasan bagi masa depan. Kita dapat membedakan dua
momentum dalam setiap kesadaran historis
Momen Ilmiah, yang menganalisa masa lalu dengan cermat, yang menjelaskan
perubahan sosial menurut berbagai tahap dengan mengenali evolusi strukturstruktur kunci, pelaku dan konsep-konsep dalam waktu tertentu.
Momen Intuitif, yang mencoba membentuk masa depan. Momen ini kurang
rasional dan kurang tepat dibanding dengan momen ilmiah. Dengan
mempertanyakan sejarah perspektif ini, kita mungkin bertanya, saat ini kita
sedang melangkah kemana ? Lima atau sepuluh tahun lagi akan menjadi seperti
apa dunia ini jika berbagai hal tetap berlangsung seperti hari ini ?

Kita memandang situasi dengan mata kesadaran historis dan mulai mengenali
pengaruh masa lalu yang melatarbelakangi keadaan sekarang :
Manakah tahap-tahap atau periode utama yang merupakan perkembangan
situasi ini?
Pola-pola gerak perkembangan mana yang dapat diamati ?
Manakah penentu utama dalam perkembangan situasi ini ?
Apakah kita dapat menamai peristiwa-peristiwa besar yang telah mempengaruhi
perjalanan sejarah situasi ini ? Misalnya peristiwa nasional, tindakan yang
diambil pemerintah dll.

b; Struktur Utama yang paling berpengaruh :

Analisa sosial secara tajam berusaha menggali struktur-struktur masyarakat dan


lembaga dimana kita melaksanakan kehidupan sosial kita. Dengan bantuan analisa
sosial kita dapat mengenali struktur utama yang sedang berlangsung dalam situasi
tertentu dan maju mengatasi pertimbangan pribadi menuju perubahan struktural
tertentu. Berbagai struktur membentuk situasi dengan bermacam cara. Itulah
lembaga, proses, dan pola yang merupakan faktor penentu wujud realitas sosial.
Beberapa struktur cukup jelas, sedangkan lainnya tersembunyi, tetapi semuanya
saling berkaitan. Berikut disajikan empat cara pengaturan masyarakat dan
beberapa yang harus diperhatikan :
Struktur ekonomi utama yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur
sumber daya sumber daya :
- Produksi, distribusi, transaksi, dan konsumsi.
- Modal, tenaga kerja dan teknologi.
- Pemusatan dan penggabungan perusahaan.
- Kebijakan pajak, suku bunga dan kebijakan pengaturan keuangan dan
perbankan lain.
- Macam-macam produksi : teknologi tinggi padat modal atau padat karya,
langkah distribusi monopoli atau perataan, syarat transaksi dan pola
konsumsi yang mendatangkan pemborosan atau perlindungan sumber
langka.

Struktur politik merupakan pemusatan kelembagaan kekuasaan dalam


masyarakat, termasuk menentukan bagaimana masyarakat mengatur
kekuasaan :
- Pembuatan keputusan : prosedur, dimana ditentukan, siapa yang
menentukan, partisipasi rakyat dan proses pembuatan.
- Gaya hidup dan kepemimpinan.
- Akses terhadap pengaruh politik.
- Institusi politik resmi : konstitusi, partai, pengadilan, militer.
- Institusi politik tak resmi : clique, linking, lobbying, kelompok.
- Pola-pola partisipasi.
- Struktur formal : aparat pemerintah, negara dan daerah.
- Kurang atau tidak formal : kelompok berpengaruh, jaringan kerja organisasi,
lobi kelompok kepentingan, kelas sosial, serikat perdagangan.

Struktur sosial utama menentukan bagaimana masyarakat mengatur hubunganhubungan, selain hubungan ekonomi dan politik :
- Keluarga, marga, suku.
- Lingkungan sekitar.
- Pendidikan, rekreasi.

Jaringan komunikasi, media.


Pola bahasa.

Struktur budaya adalah basis kelembagaan berbagai cita-cita, mitos, dan simbol
masyarakat, yang menentukan bagaimana masyarakat mengatur makna dan
nilai:
- Agama.
- Simbol, mitos, kepercayaan, impian.
- Kesenian, musik, cerita rakyat.
- Gaya hidup, tradisi.
- Arus kultural dominan, apa yang terjadi dengan corak kultur yang kurang
atau tidak dominan pada masyarakat, termasuk upaya pemeliharaan dan
penemuan budaya yang dapat memberikan dampak penting bagi
masyarakat.

Selain itu, harus dipertimbangkan juga gabungan kelembagaan antara berbagai


struktur tersebut juga harus dikaji. Misalnya :
Bagaimana hubungan antara struktur ekonomi yang bekerja dalam wilayah
suatu negara dan struktur politik yang telah berkembang ?
Bagaimana hubungan antara kekuatan ekonomi dan politik yang dominan ?

c; Nilai Kunci : manakah nilai-nilai kunci yang bekerja dalam struktur tersebut ?
Berikut dibicarakan tentang nilai sebagai cita-cita yang menggerakkan masyarakat,
ideologi dan norma moral yang menuntun, aspirasi dan harapan yang ada dalam
masyarakat, nilai sosial yang dapat diterima dan telah diterima. Tentu saja semua
itu berkaitan dengan struktur budaya :
Nilai apa saja yang sungguh hidup dalam masyarakat ?
Siapakah yang pertama-tama membawa nilai itu : perorangan, lembaga, model,
peranan atau siapa ?
Contoh sederet nilai yang beragam :
- Kehidupan.
- Umur tua umur muda.
- Kesatuan keanekaragaman.
- Individualisme komunitas.
- Persaingan kerja sama.
- Materialisme spiritualisme.
- Penumpukan pembagian.
- Kuasa dan pengaruh pelayanan.
- Partisipasi ketaatan.
- Kebebasan hukum dan ketertiban.
- Kemajuan stabilitas.
- Pembaharuan tradisi.
- Keadilan keamanan.
- Perdamaian kekerasan.
- Persamaan hirarki.

d; Arah Masa Depan Situasi ini :


Memandang masa depan sebenarnya bisa lebih menyingkapkan situasi masa kini
daripada masa depan sendiri. Ini berarti, imajinasi skenario masa depan
memberikan wawasan tentang dinamika dari apa saja yang sebenarnya terjadi
sekarang ini :

Kecenderungan atau trend terpenting apa yang terungkap dalam situasi


sekarang ini?
Apakah kita dapat meramalkan kemungkinan atas dasar keadaan yang
berlangsung dewasa ini ?
Jika di masa depan segala hal berlangsung seperti sekarang, situasi seperti apa
yang akan terjadi dalam lima tahun mendatang ?
Manakah sumber-sumber kreativitas dan harapan yang ada sekarang bagi masa
depan ?

4; Kesimpulan

Analisa yang telah kita lakukan akan mengungkapkan bermacam-macam segi yang
berpengaruh pada situasi yang sedang kita coba pahami. Sekarang, tugas dan langkah
terakhir adalah menarik beberapa kesimpulan agar kita dapat melihat dengan tajam
unsur terpenting dalam situasi kini. Kita periksa lagi jawaban dari empat pertanyaan
analisa di atas dengan proses singkat, untuk dapat mengenali unsur akar.
Unsur akar itu merupakan penyebab paling mendasar dalam sebuah situasi yang
berbeda dengan gejala. Dalam pendekatan analisa yang diajukan Paulo Freire, unsur
akar itu disebut generative themes, sedangkan dalam pendekatan Francois Houtart
disebut determinative atau dominative causes, yang kesemuanya merupakan jawaban
yang akan muncul pada akhirnya, jika kita terus-menerus mengajukan pertanyaan
mengapa. Untuk menemukan unsur akar, maka harus mendahulukan faktor
terpenting yang mempengaruhi situasi dalam masing-masing katagori analisa (sejarah,
struktur, nilai dan arah). Misalnya :
Satu atau dua peristiwa sejarah mana yang membentuk keadaan dewasa ini ?
Faktor ekonomi, sosial dan kultural mana yang paling menentukan cara kerja sistem
yang ada ?
Mana nilai-nilai yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap cara bertindak orang
di pedesaan ?
Mana kecenderungan yang nampaknya paling mungkin di masa depan ?
Dengan berusaha menjawab pertanyaan semacam itu, kita akan merasakan
perlunya mengenali beberapa kriteria yang dipakai untuk menyimpulkan
bahwa beberapa unsur lebih mendasar daripada yang lain. Juga bahwa hal
tersebut tergantung pada pengalaman, yakni pengalaman jatuh bangun
dalam mencoba. Dalam metodologi ini tidak ada kriteria yang baku. Jika
berbagai unsur pokok sudah diprioritaskan, kita perlu melakukan usaha
kedua, yakni penggolongan tingkat, lalu menarik beberapa kesimpulan:

Manakah dua atau tiga unsur akar yang paling bertanggungjawab terhadap situasi
yang sedang terjadi dewasa ini ?
Demi kepentingan siapa unsur akar itu bekerja ?

Kesimpulan yang dapat kita tarik dari pendekatan analisa sosial semacam itu jelas
akan tergantung pada bermacam faktor, a.l :
Kompleksitas relatif dari situasi yang sedang kita selidiki.
Ketepatan dan memadainya data yang tersedia bagi kita.
Ketaatasasan pertanyaan kita.
Kriteria yang mempengaruhi penilaian kita atas unsur-unsur akar.

Tetapi keuntungan melaksanakan langkah-langkah dengan cara ini ialah bahwa


langkah-langkah tersebut akan menyingkap dan memperlihatkan penyebab, akibat,
kaitan, trend, dan dimensi yang saling berhubungan. Akan tersedia pula sebuah
gambaran yang menyeluruh : gambaran dalam perspektif historis dan saling
berhubungan dalam prspektif struktural.

PEMBAGIAN MASYARAKAT
Analisa sosial memungkinkan untuk melihat lebih jelas pembagian masyarakat
menurut ras, seks, umur, etnis, agama, geografis dan sebagainya. Pembagian
macam itu nampak berlangsung lebih jelas dan langsung. Situasi itu selalu hadir
dan harus menjadi unsur kunci dalam analisa sosial. Mengesampingkan fakta
berarti sama dengan menghindari gambaran seluruh realitas. Pentingnya
mengenali pembagian tersebut didasarkan pada alasan:

Akibat peristiwa tertentu dalam situasi sosial mempengaruhi seluruh masyarakat


dengan cara yang tidak sama.
Jika saling bertentangan beberapa pembagian dalam suatu masyarakat majemuk dapat
menjadi kekuatan yang mengacaukan proses perubahan sosial.

TINGKAT DAN DERAJAT PERMASALAHAN


Semua masalah dapat terjadi di berbagai tingkat; lokal, regional, nasional dan
internasional. Kerangka kerja yang dipilih analisa sosial akan menunjukkan tingkat
permasalahan itu. Bahkan lebih lagi, kerangka itu akan mengungkapkan hubungan antara
berbagai tingkat masalah karena terdapat interrelasi kuat antara tingkat masalah.
Hubungan itu perlu dikenali jika jawaban yang efektif hendak dibuat. Analisa
permasalahan menurut berbagai tingkatan dan interrelasinya sungguh penting karena
akan meluruskan salah paham bahwa masalah lokal itu bersaing dengan masalah global.
Hubungan antara bagian dengan keseluruhan dapat dimengerti dengan bantuan
pertanyaan sebagai berikut :
Siapa yang memiliki kekuasaan ?
Bagi siapa kekuasaan itu dipergunakan ?
Penggunaan itu didasari nilai apa ?
Dengan visi mana memandang masa depan ?
Pada akhirnya kita sadar bahwa kita hendak menerapkan analisa kita pada
berbagai tantangan sosial yang sedang kita hadapi. Dalam menganalisa uraian
sosial di atas, akan jelas bahwa pendekatannya bersifat:
1; Historis, dengan mempertimbangkan konteks struktural yang saling berlainan dari
periode yang berbeda dan tugas strategi yang berbeda pula dalam setiap periode.
2; Struktural, dengan menekankan pentingnya pengertian tentang bagaimana
masyarakat dihasilkan dan distrukturkan serta bagaimana institusi sosial saling
berhubungan di dalam ruang sosial.
3; Kandungan nilai yang berorientasi pada keadilan sosial, terutama pada kaum miskin
dan terpinggirkan.
4; Tidak dogmatis, dengan menggunakan berbagai perspektif dan analisa.

5; Berorientasi pada tindakan dengan mengembangkan jawaban individu dan kelompok


pada problema sosial yang mendesak dewasa ini.

PENDEKATAN YANG LEBIH SEDERHANA


Garis besar metodologi praktis ini menuntut kemampuan bekerja dengan perangkat
analisa yang canggih dan rumit. Memang tidak perlu menjadi seorang ahli dalam
melakukan analisa sosial. Untuk bekerja melalui berbagai langkah tersebut dengan
menggunakan ketentuan dan pembedaan yang telah diajukan, dituntut pengalaman
dalam berbagai ilmu sosial dan keakraban dengan berbagai pendekatan akademis yang
teratur. Oleh karena itu, selain metodologi yang lebih mendalam, kita dapat menggunakan
pendekatan yang lebih sederhana, setidaknya dalam terminologi. Pendekatan ini
berlangsung melalui 10 pertanyaan berikut yang memiliki kesejajaran langkah yang
terperinci dalam metodologi:

1; Apa yang Anda ketahui tentang situasi yang ada di sini sekarang ? Apa yang sedang

dialami rakyat ?
2; Perubahan apa yang telah terjadi dalam 20 tahun terakhir ini ? Manakah peristiwa yang
paling penting ?
3; Apakah pengaruh uang terhadap situasi kita ? Mengapa ?
4; Siapakah yang membuat keputusan-keputusan terpenting di sini ? Mengapa ?
5; Manakah hubungan-hubungan terpenting yang ada dalam masyarakat sekarang ini?
Mengapa ?
6; Manakah tradisi-tradisi masyarakat yang paling penting ? Mengapa ?
7; Apakah yang paling dikehendaki orang-orang dalam hidupnya ? Mengapa ?
8; Apakah yang akan terjadi 10 tahun lagi jika segalanya tetap berlangsung seperti
sekarang ini ? Mengapa ?
9; Manakah penyebab terpenting dari situasi dewasa ini ? Mengapa ?
10; Apa yang Anda pelajari dari semua ini ?
Pendekatan ini sungguh efektif dalam beberapa kelompok kecil yang justru sedang mulai
menggali realitas sosial wilayah mereka. Gerak maju lewat 10 pertanyaan tersebut akan
menyingkap situasi dan merangsang keinginan untuk mengadakan analisa yang lebih
mendalam. Pertanyaan sederhana itu memang hanya merupakan jalan masuk menuju
usaha yang lebih mendalam.

ANALISA SOSIAL UNTUK KEADAAN POSITIF


Dapatkah analisa sosial digunakan untuk menyingkap keadaan positif yang telah berhasil
baik dan memberi harapan ? Pertanyaan itu muncul karena biasanya, dan paling sering,
kita menggunakan perangkat analisa untuk memperoleh pengertian mendalam tentang
masalah, krisis dan kesulitan yang serius. Bagaimanapun juga kita dapat mengangkat
sebuah keberhasilan dan mempelajari berbagai aspeknya untuk memahami sebab-sebab
keberhasilan itu. Kita dapat berguru banyak dari keberhasilan dan menerapkan hikmahnya
bagi masa depan dengan cara yang sistematis; mempelajari sejarah, struktur, nilai dan
arah prestasi gemilang itu. Metoda analisa sosial menunjukkan berbagai alasan
keberhasilan dan berguna yang menguntungkan masyarakat luas.

KETERBATASAN ANALISA SOSIAL


Analisa sosial hanya suatu bagian perjuangan dalam memadukan iman dan keadilan,
maka telaah diakhiri dengan penjelasan tentang keterbatasan analisa sosial itu sendiri.
Analisa sosial memiliki tiga keterbatasan besar dan saling berkaitan yang berasal dari
akar-akarnya dalam rasionalisme yakni :

1; Analisa sosial hanya sebuah instrumen negatif.

Analisa sosial mempunyai daya penghancur yang dapat membongkar pemujaan dan
kekaguman pada dunia sosial serta menelanjangi struktur utama yang
mengendalikannya. Reaksi kita terhadap penelanjangan itu seringkali berupa
penasaran ketidak berdayaan. Kita tergulung dan merasa lumpuh, mengalami
kelumpuhan analisa. Apa yang dapat kita lakukan untuk menantang struktur yang
sangat kuat itu ? Sama kritisnya jika kita mengajukan pertanyaan: manakah alternatif
yang memiliki daya cipta ? Untuk mengatasi ketidakberdayaan ini, kita membutuhkan
sumber visi dan energi yang memiliki daya cipta. Mengutuk struktur yang kejam saja
tidak cukup, kita membutuhkan sesuatu yang membangkitkan untuk membangun
masa depan yang berbeda, sesuatu yang menempatkan kita pada arah positif. Kita
memerlukan sumber kekuatan, keberanian, dan dedikasi. Sebagai manusia agamis,
kita mendambakan sumber rohani bagi visi dan kekuatan itu, kita mengharapkan
kebudayaan. Kebudayaan merupakan medium mengungkapkan berbagai visi rohani
dan kekuatan masyarakat. Visi dan berbagai kekuatannya dapat mengambil berbagai
bentuk, tetapi kita yakin bahwa sumbernya bersifat spiritual. Meski dengan rasionalitas
ilmiah negatif, tampilnya dunia modern mula-mula digerakkan oleh visi yang berkedok
keagamaan tentang kemajuan dan kebebasan. Tujuan kita bukan untuk mendesakkan
satu pandangan khusus, melainkan untuk menekankan perlunya visi kultural positif
yang menggerakkan dan memberi daya pada masyarakat.

2; Analisa hanya berlangsung dalam corak pemikiran ilmiah.


Analisa sosial adalah usaha ilmiah, artinya menggunakan perangkat analitis untuk
membedah realitas ke dalam bagian yang abstrak dan terpisah. Analisa sosial seperti
ahli patologi medis yang mengamati berbagai bagian tubuh secara terpisah untuk
mengadakan diagnosa penyakit dan menentukan cara penyembuhan. Namun jika
membongkar tubuh yang hidup ke dalam unsur-unsurnya, sebuah analisa menghadapi
resiko kehancuran hidup yang punya daya cipta itu. Jika seorang analis sosial
menyingkirkan kehidupan, apakah akibatnya ? Sekurangnya dalam bidang sosial ?
Tugas itu mirip kegiatan seorang seniman dalam karya seni tinggi yang berakar pada
kebudayaan massa. Kita yakin bahwa dorongan dan ilham seni merupakan daya cipta
dalam peradaban modern. Itu sumber spiritual; dari sana mengalir visi dan kekuatan.
Meskipun perlu menganalisa masyarakat dengan kecermatan ilmiah, kita harus
waspada terhadap bahaya yang dapat menghancurkan ilham dan dorongan yang
murni. Analisa sosial tak akan pernah menyingkapkan kreativitas orang biasa seperti
yang mereka wujudkan pada kehidupan keluarga mereka, komunitas mereka dan
terutama seluruh dunia. Analisa sosial hanya melulu tahu perangkat ilmiah. Maka
masyarakat baru yang hanya didasarkan pada sumber dan daya para rasionalis pasti
akan berpusat pada ilmu ilmiah saja. Keadaan itu cenderung melumpuhkan
komunitas basis dan menghancurkan kreativitas artistik orang dewasa.

3; Analisa sosial menggunakan bahasa elitis.


Bahasan teknis analisa sosial bercorak elitis. Jika terpaku pada bahasa teknis, analisa
sosial sangat tidak komunikatif (kita akui kesalahan ini, yang mungkin semuanya
sangat jelas dalam tulisan ini, begitu sering mengunakan bahasa teknis yang dapat
mengganggu komunikasi; sekalipun tepat). Alternatif lain dari bahasa teknis ini adalah
penggunaan simbolisme, mitos, imajinasi dan pandangan orang kebanyakan. Fakta

yang dipakai dalam analisa sosial bukan sekedar data yang mencerminkan budaya dan
nilai masyarakat kebanyakan. Hal lain yang sama pentingnya adalah cara
mengkomunikasikan situasi sosial atau ekspresi artistik yang membawa pengalaman
tersebut kepada orang lain. Cerita, kesenian, lagu, sajak, dan tarian merupakan
wahana yang dapat menyampaikan pesan dengan cara yang jauh lebih berdaya guna
ketimbang kata dan ungkapan ilmiah analisa rasional. Sebenarnya perjuangan rakyat
biasa sudah seringkali diungkapkan dalam bentuk kesenian, jauh sebelum analisa yang
canggih muncul. Kebudayaan ditekankan karena penting dan karena banyak orang
yang terlibat dalam perjuangan keadilan sosial cenderung mengabaikannya. Kaum
liberal dan radikal seringkali menyusun dan mengemukakan analisa dan strategi
yang berdasar pada rasionalitas semata, yang mengabaikan peranan simbol dalam
pengalaman hidup sehari-hari. Kegagalan memahami peranan kreatif simbol yang
mendasar, menggerakkan, mengatasi resiko belaka, dan simbol yang menjadi milik
rakyat menjadi suatu yang membawa petaka dan menghambat kemanjuran strategi
perubahan sosial.
Keterbatasan itu seharusnya tidak menghalangi manfaat analisa sosial, namun perlu
dibenahi dengan sumber segar yang mengatasi rasionalitas fajar budi, seperti daya kreatif
kebudayaan.

Paradigma Sosiologi dan Analisa Sosial

oleh Gibson Burrell dan Gareth Morgan.

PENGANTAR
Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah mengubah cara kita berpikir tentang teori
sosial dan berharap bahwa hal itu akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini
menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama
kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang ini. Pada awalnya, tulisan ini
hanya bermaksud menghubungkan teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang
lebih luas. Tetapi dalam wacana yang lebih berkembang, tulisan ini sekaligus juga
mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secara umum.
Dalil yang diajukan adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat
kunci paradigma yang didasarkan atas perbedaan anggapan meta teori tentang sifat
dasar ilmu sosial dan sifat dasar masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas
pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian menghasilkan
analisanya sendiri-sendiri tentang kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan
teori dan pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yag
ditimbulkan dalam paradigma lainnya. Sejumlah analisa teori sosial telah membawa kita
berhadapan langsung dengan sifat asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan
pendekatan pada ilmu sosial.

ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL


Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan
pada filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok
kajian mereka dengan asumsi, secara eksplisit dan implisit, mengenai sifat dunia sosial
dan cara dimana dunia sosial diteliti.
Filsafat dan teori sosial selalu mengandung empat anggapan atau asumsi dasar :
1; Asumsi ontologis
Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial
misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis : apakah realitas diteliti sebagai
suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran
seseorang ataukah merupakan hasil dari kesadaran sseorang ? Apakah realitas sosial
itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang /
subyektif ? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada / given di luar pikiran
seseorang atau hasil dari pikiran seseorang ?

2; Asumsi epistemologis
Ini berkaitan dengan anggapan dasar tentang landasan ilmu pengetahuan yakni
begaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya
sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan
bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang
memilah-milah mana yang dikatakan benar dan salah. Dikotomi benar dan salah
itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas
pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin
mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
berwujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata, atau

apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus / tidak berwujud,
lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan / transendental
yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unik dan hakiki ? Di
sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu
yang dapat diperoleh / dipelajari dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar
pengalaman pribadi ?

3; Asumsi hakekat manusia atau human nature

Asumsi ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya.


Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan
manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan
pengetahuan. Kita dapat mengidentifikasi pandangan ilmu sosial, yang mengandung
pandangan manusia dalam menanggapi keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau
deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia, bahwa manusia dan
pengalamanannya dihasilkan oleh lingkungannya, manusia dibentuk oleh keadaan di
luar dirinya. Pandangan ini bisa dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia
memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas atau free will,
menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya,
pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang atau master, bukan wayang atau
marionette. Dalam dua pandangan ekstrim ini kita dapat melihat perdebatan besar
mengenai filsafat antara mereka yang membela determinisme dan mereka yang
membela volunterisme. Semua ilmu sosial mengacu pada salah satu pandangan
ekstrim ini dan ahli-ahli ilmu sosial tersebar di antara keduanya.

4; Asumsi metodologi

Angapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam cara seseorang


menemukan pengetahuan tentang dunia sosial. Perbedaan asumsi ontologis,
epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke
arah perbedaan metodologis. Bahkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun,
jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan ke dua
kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama analisanya akan
dipusatkan pada hubungan dan tatanan antara berbagai unsur yang membentuk
masyarakat, mengenali dan memberi batasan pengertian semua unsur yang
membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungannya.
Persoalan metodologi terpenting adalah konsep-konsep tentang hubungan atau
relationship dan keteraturan atau regularity. Cara ini merupakan upaya mencari hukum
yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut
pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masyarakat yang
berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara
seseorang menafsirkan, mengubah dan membentuk dunia dimana ia berada.
Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada
kenyataan yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini
sering dianggap tidak ilmiah oleh penganut kaidah ilmu pengetahuan alam.

Tabel 1. Bagan Asumsi Dasar Ilmu Sosial : Dimensi Subyektif Obyektif


Pendekatan Subyektif
Nominalisme
Anti Positivisme
Voluntarisme
Ideografis

Pendekatan Obyektif
Ontologi
Epistemologi
Hakekat Manusia
Metodologi

Realisme
Positivisme
Determinisme
Nomotetis

Dilihat dari bagan ini nampak perdebatan diantaranya yaitu :


1; Debat Ontologis : Nominalisme Realisme
Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial merupakan sesuatu yang berada di
luar diri seseorang hanyalah sekedar nama, konsep atau label yang digunakan untuk
menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarkat di
manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu
hanyalah rekaan untuk menjelaskan, memberi pengertian dan memahami realitas.
Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit
dibedakan.
Realisme beranggapan bahwa realitas sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang,
merupakan kenyataan yang berwujud, dapat diserap dan merupakan tatanan nisbi
yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami atau
empirical entities. Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memiliki
penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah dan
independen dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan
sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada
mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

2; Debat Epistemologis : Anti Positivisme Positivisme


Sebutan kaum positivis sama seperti kaum borjuis, berkesan sentimen dari suatu
pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atau
pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampur adukkan dengan
empirisme ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.
Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang
digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan.
Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian
eksperimental, tetapi sering juga hipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan
kebenarannya. Kaum verifikasionis ingin membuktikan kebenaran dan kaum
falsifikasionis ingin membuktikan kekeliruan hipotes tentang tatanan sosial sependapat
bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana pemahaman
baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas
hipotesa salah yang pernah ada.
Pendirian epistemologis kaum anti positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak
menerima berlakunya kaidah atau menegaskan tatanan sosial tertentu terhadap
semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari
pandangan orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu.
Mereka menolak kedudukan sebagai pengamat, seperti layaknya kedudukan kaum
positivis. Seseorang hanya bisa mengerti melalui kerangka pikir orang yang terlibat
langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan.
Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Maka, ilmu
sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat
ditemukan sebagai pengetahuan obyektif tentang apa saja.

3; Debat Hakekat Manusia : Volunterisme Determinisme


Kaum determinis menganggap bahwa manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan
sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta
dan berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam
teori ilmu sosial.

4; Debat Metodologis : Ideografis Nomotetis


Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami
kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang

yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisanya secara
subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan
sehari-hari. Hubungan langsung sedekat mungkin dengan memahami sejarah hidup
dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang
diteliti dibiarkan muncul apa adanya.
Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara
sistematik dalam penelitian, seperti metoda ilmu alam degan mengutamakan proses
pengujian hipotesa dengan dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik
kuantitatif untuk menganalisa data. Sigi, angket, tes kepribadian, wawancara dan alat
baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.

ANGGAPAN DASAR TENTANG SIFAT ILMU SOSIAL


Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih
200 tahun terakhir :
1; Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha
menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial
atau kemanusiaan. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis
dalam ontologisnya, kaum positivis dalam epistemologinya, padangan deterministik
mengenai sifat manusia, dan nomotetis dalam metodologinya.

2; Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlwanan dengan yang pertama. Aliran ini
menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh
indera, tetapi roh atau gagasan. Maka ontologinya nominalis, epistemologinya anti
positivis, dimana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan
menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpendangan volunteris terhadap
fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisa sosialnya.
Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar, terutama di
bidang filsafat sosial. Jalan tengah dari kedua kutub memunculkan beberapa pemikiran
baru seperti fenomenologis, etnometodologis dan teori aksi. Aliran tengah ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme.
Aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan anggapan dasarnya
masing-masing.

ANGGAPAN DASAR TENTANG HAKEKAT MASYARAKAT


Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir,
pandangan dan anggapan dasar tertentu, yaitu : Debat Ketertiban Pertentangan
atau Order Conflict Debate.
Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi
dalam dua pandangan :
1; Sifat keseimbangan dan ketertiban sosial.
2; Perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat.
Penganut pandangan pertama jauh lebih banyak daripada pandangan yang kedua.
Menurut Dawe, yang pertama merupakan teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970),

dan Van den Bergh (1969) menganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya.
Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk menjelaskan
ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.
Cohen (1968) berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak
menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh :
Perjanjian bersama atau komitmen
Kesetia kawanan atau solidaritas
Kesepakatan atau konsensus
Imbal balik atau resiprositas
Kerja sama atau kooperasi
Keterpaduan atau integrasi
Ketetapan atau stabilitas
Kekukuhan atau persistensi

sistem

sosial

Sedangkan corak pertentangan sosial ditandai dengan :


Pemaksaan atau koersif
Pemisahan atau divisi
Persek cokan atau hostilitas
Ketidak sepakatan atau disensus
Pertentangan atau konflik
Ketidak paduan atau mal integrasi
Perubahan atau change
Tabel 1. Bagan Teori Masyarakat
KETERTIBAN

PERTENTANGAN

Ketetapan / stabilitas
Perubahan / change
Keterpaduan / integrasi Pertentangan / konflik
Koordinasi Fungsional
Pemisahan / disintegrasi
Kesepakatan / konsensus Pemaksaan / koersif
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara
ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsurunsur kedua corak masyarakat sehingga tidap perlu diperdebatkan.
Tahun 1960an lahir gerakan budaya penentang atau counter culture movement. Tahun
1968 revolusi Perancis gagal, maka para sosiolog kemudian beralih dari kajian tentang
tatanan / struktur masyarakat ke kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan dan
teori aksi makin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangan sosial
terbenam kalh, debat filsafat dan metoda ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya
perdebatan itu maka para pakar sosial melupakan karya Marx dan cenderung melirik
Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu
ketertiban sosial. Maka sangat penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan
pertentangan karena apa yang disebut kesepakatan sosial bisa jadi hasil penggunaan
kekuatan yang memaksa. Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan
Parson tentang orientasi nilai atau value orientation dan tatanan nilai atau normative
structure hanyalah perlambang untuk legitimasi kekuasaan. Dahrendorf menyebut

kesepajkatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedangkan Mills menyebut


penguasaan atau domination.
Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori fungsional yang cenderung meladeni
kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan atau
status quo. Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sufat perubahan
struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya
transformasi masyarakat secara radikal. Banyak analisa tentang ketertiban dan
pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram
tentang perbedaan mendasar antara keduanya. Maka diusulkan adanya perubahan
tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam menganalisa keduanya, sehingga digantikalah
peristilahan yang lain sama sekali yakni : keteraturan atau regulasi dan perubahan radikal
atau radical change.

KETERATURAN v.s PERUBAHAN RADIKAL


Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidak jelasan dalam membedakan corak
ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang
menekankan pentingnya ksatuan atau unitas dan kerapatan atau kohesivitas. Teori ini
mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan
radikal sarat dengan keinginan menjelaskan tentang perubahan radikal dalam
masyarakat, pertentangan yang mendasar dalam masyarakat dan bentuk penguasaan
yang menandai masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari
berbagai struktur atau tatanan masyarakat yang membatsai dan menghalangi potensinya
untuk berkembang. Pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, fisik maupun
kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang mungkin
dan bukan sekedar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari sekedar kemapanan.
Tabel 2. Skema Keteraturan Perubahan Radikal
Skema Keteraturan
Sosiologi keteraturan
Kemapanan
Ketertiban sosial
Kesepakatan
Kerapatan dan keterpaduan sosial
Kesetia kawanan
Pemuasan kebutuhan
Hal-hal yang wujud nyata

Perubahan Radikal
Sosiologi perubahan radikal
Perubahan radikal
Pertentangan struktural
Bentuk-bentuk peguasaan
Saling pertentangan
Pemerdekaan
Pemerosotan harkat manusia
Hal-hal yang masih terpendam

DUA DIMENSI, EMPAT PARADIGMA


Sejak 1960an telah terjadi bayak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam
perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal
1970an telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi, baik mengenai sifat ilmu
sosial dan sifat masyarakat, seperti halnya terjadi pada 1960an. Untuk menembus
kebuntuan itu, diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari
perdebatan yang terjadi pada 1960an dan cara baru dalam menganalisa empat paradigma

sosologi yang berbeda. Ke empat paradigma itu ialah humanis radikal, strukturalis radikal,
interpretatif, dan fungsionalis.

Perubahan Sosial
Humanis Radikal

Strukturalis Radikal

Subyektif

Obyektif
Interpretatif

Fungsionalis
Keteraturan

Gambar 1. Paradigma Teori Sosial


Ke empat paradigma nampak berhimpitan satu sama lain, tetapi tetap pada pendirian
masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.

SIFAT DAN KEGUNAAN EMPAT PARADIGMA


Paradigma diartikan sebagai anggapan meta teoritis yang paling mendasar, yang
menentukan kerangka pikir, cara mengendalikan dan cara kerja para penganut teori sosial
yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang
mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama
dalam batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan
paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula.
Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan
dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan meta teoritis.
Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara pikir seseorang dalam suatu
teori sosial dan merupakan alat memahami mengapa pandangan dan teori tertentu dapat
lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain, serta merupakan alat untuk
mmetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial.
Perpindahan paradigma angat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya
dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx, yang dikenal sebagai Marx tua
dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut
sebagai perpecahan epistemologi atau epistemoligical break. Hal yang sama juga terjadi
pada diri Silverman, dari fungsionalis menuju interpretatif.
Sifat dan kegunaan paradigma itu dibedakan menjadi :
1; Paradigma Fungsionalis
Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi
keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum
obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan,
keterpaduan sosial, kesetia kawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata /
empirik. Condong realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis.
Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial dan berorientasi

pragmatis, artinya ia berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan,


berorientasi pada pemecahan masalah, yaitu langkah praktis untuk pemecahan
masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi
perubahan sosial, menekankan pada pentingnya cara-cara memelihara dan
mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metoda ilmu alam dalam
pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma ini dimulai di Perancis pada dasawarsa abad 19, dibentuk karena pengaruh
karya Augusto Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini
mengatakan : realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang
hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan
menggunakan alat, seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan
biologi untuk menjelaskan realitas sosial, sangat biasa dalam aliran ini. Sejak awal
abad 20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman, seperti karya Max
Weber, George Simmel, dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai
meninggalkan rumusan teoritis dari kaum obyektivis dan memulai persentuhan dengan
paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para
pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940an, pemikiran sosiologi
perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teoriteri fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain,
paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivis
tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan
dengan paradigma lain itu, maka sebenanrnya telah lahir beragam pemikiran yang
berbeda dalam paham fungsionalis. Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai
berikut :
Perubahan Radikal
Teori Marxis
Subyektif

Obyektif
Idealisme Jerman
Keteraturan

Sosiologi
Positivisme

Gambar 2. Pengaruh Pemikiran yang Membentuk Paradigma Fungsionalis

2; Paradigma Interpretatif
Kubu ini sebenarnya menganut ajaran sosiologi keteraturan, tetapi menggunakan
pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan
sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial
menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang lagnsung terlibat dalam peristiwa
sosial, bukan menurut orang lain yang mengamati. Pendekatannya cenderung
nominalis, anti positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh
kesadaran dan tindakan seseorang. Maka mereka berusaha menyelami jauh ke dalam
kesadaran dan subyektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang
ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan dasar mereka masih
tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan
rapat, kemapanan kesepakatan dan kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan,

benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Karena mereka terpengaruh
langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant
yang lebih menekankan pada sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial.
Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl dan Schutz.

3; Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari


pandangan subyektivis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum inter
pretatif, yaitu nominalis, anti positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda,
yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai
pembatasan tatanan sosial yang ada. Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa
kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur ideologis yang
ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadaran yang
murni (teralienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu atau false
consciousness, yang menghalangi mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia
sejati. Maka agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam
membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat
perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habishabisan. Proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin
memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu yang mengikat
mereka dalam pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya.
Meskipun demikian, masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian
mereka.

4; Paradigma Strukturalis Radikal


Penganutnya juga memperjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut
pandang obyektivis. Pendekatan ilmiahnya memiliki beberapa persamaan dengan
kaum fungsionalis, namun memiliki tujuan akhir yang saling berlawanan. Aanalisanya
lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk penguasaan dan pemerosotan
harkat kemanusiaan. Maka pendekatan itu cenderung realis, positivis, determinis dan
nomotetis. Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah
hubungan struktural yang ada dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni
dasar hubungan sosial untuk menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh.
Penganut paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, yakni lebih tertarik untuk
menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda serta hubungan antar kekuatan
sosial merupakan kunci penjelasan perubahan sosial. Serta yang lebih tertarik pada
keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh
pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah
pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya
teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletri, dan
beberapa penganut kelompok kiri baru.

Model Kerangka Berpikir Analisa Sosial

oleh A. Suryawasita.

STRUKTUR SOSIAL
Manusia hidup saling berinteraksi. Interaksi ini didasari dan terus diarahkan oleh nilai-nilai
bersama dan norma-norma, yaitu standar tingkah laku yang mengatur interaksi yang
menujukkan hak dan kewajiban tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama
tercapai, dan akhirnya oleh sangsi, baik negatif maupun positif. Dasar dan arah umum
interaksi inilah yang disebut sebagai kultur. Interaksi antar individu juga diatur sesuai
dengan tujuan-tujuannya. Interaksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan
keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan memenuhi kebutuhan
hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi dalam hubungannya dengan yang Illahi
diatur dalam institusi agama. Keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya supaya
bisa terjamin dan pasti, diadakanlah institusi politik. Keseluruhan institusi serta saling
berhubungannya satu sama lain itulah yang disebut struktur sosial. Atau dengan kata lain,
struktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi,
politik, agama, keluarga dan budaya. Dengan kata lain lagi, struktur sosial adalah
pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan permainan dalam
berinteraksi.
Analisa situasi dalam hal ini merupakan suatu usaha untuk memperlajari struktur sosial
yang ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita
tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan. Ada
berbagai jenis atau model dalam menganalisa situasi. Sementara ini akan dikupas
sedikitnya dua jenis atau model analisa yakni konsensus dan konflik, dalam melihat
situasi, khususnya tentang kemiskinan. Pemetaan tentang model analisa sesungguhnya
tidak sesederhana seperti yang nantinya akan dipaparkan berikutnya, karena bagian dari
masing-masing model sangat beragam. Oleh karena itu, penggambaran model di bawah
ini merupakan model analisa yang meliputi garis besarnya saja, dan sangat terbuka untuk
dikembangkan lebih lanjut. Setiap jenis atau model analisa tersebut berakar pada ideologi
tertentu.

IDEOLOGI KONSERVATIF
Berakar pada kapitalisme liberal pada abad 19. Pasar bebas dianggap oleh ideologi ini
sebagai dasar bagi kebebasan ekonomi dan politik, sehingga dapat menjamin adanya
desentralisasi kekuasaan. Ideologi ini menjunjung tinggi struktur sosial, termasuk
stratifikasi sosial. Perbedaan tingkat sosial disebabkan karena perbedaan antara individu
dengan bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang berkembang sesuai dengan bakat dan
pembawaannya.

KEMISKINAN MENURUT IDEOLOGI KONSERVATIF


Kemiskinan sebagai kesalahan orang miskin sendiri. Orang miskin dinilai bodoh,
malas, tidak punya motivasi berprestasi tinggi, tidak punya ketrampilan. Maka,
kaum konservatif biasanya berbicara mengenai kultur dan mentalitas. Orang

miskin adalah orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang ada
atau bahkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan sudah
disetujui oleh masyarakat. Kaum ini percaya bahwa dalam jangka panjang,
proses natural akan berjalan dan menguntungkan semua anggota masyarakat.
Sehingga, kaum ini menentang pemberian jaminan sosial bagi penganggur,
karena akan membuat orang miskin semakin malas dan akan mengurangi daya
rangsang bagi kelompok lain.

IDEOLOGI LIBERAL
Memandang manusia sebagai yang digerakkan oleh motivasi kepentingan ekonomi
pribadi. Ideologi ini mempertahankan hak manusia untuk mencapai semaksimal mungkin
cita-cita pribadinya. Ideologi ini percaya akan efektivitas pasar bebas dan hak atas milik
pribadi. Hak-hak, kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk
melindungi individu terhadap kesewenangan negara.

KEMISKINAN MENURUT IDEOLOGI LIBERAL


Kemiskinan dipandang sebagai masalah serius dan harus dipecahkan. Masalah kemiskinan
karena masalah kesempatan orang. Apabila orang miskin diberi kesempatan berusaha
yang memadai, maka ia akan dapat mengatasi kemiskinannya. Untuk mengatasinya perlu
dibuat pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan kerja baru, membangun
perumahan dan menyebarluaskan pendidikan. Tetapi kaum ini sama dengan kaum
konservatif yakni tidak mempermasalahkan struktur sosial. Sehubungan dengan kultur,
kaum ini lebih optimis dibandingkan kaum konservatif. Menurut kaum ini, agar kaum
miskin terbebas maka perlu diadakan perubahan terhadap lingkungan dan situasi hidup
mereka, seperti dihapuskannya diskriminasi dalam mencari kerja, perumahan dan
pendidikan, perlu juga diciptakan lapangan kerja dan latihan ketrampilan dan
diperbaikinya pelayanan lainnya.

MODEL KONFLIK
Memandang struktur sosial seperti yang sudah diuraikan di atas, sangat dinamis dan
ditentukan oleh berbagai pergulatan kepentingan antara berbagai pihak. Realitas sosial
senyata-nyatanya merupakan realitas pergulatan kepentingan. Permasalahan ketidak
adilan sosial dalam pola hubungan yang ada disebabkan oleh tidak berimbangnya
kekuasaan dalam pergulatan kepentingan tersebut.

MODEL KONSENSUS ATAU KONFLIK


Dua model ini merupakan dua sisi pandangan tentang masyarakat. Dengan kata lain,
model yang satu bukan menghapus atau mengabaikan sama sekali model yang lain.
Model ini saling melengkapi dan bukan merupakan alternatif. Konsensus dan konflik
merupakan aspek struktur masyarakat. Masyarakat hanya dapat dimengerti jika kita

menyadari adanya dialektika antara stabilitas dan perubahan, konsensus dan konflik. Kita
memilih model hanya untuk mencoba menerangkan masalah sosial yang ada. Dengan
kata lain, masalah sosiallah yang menentukan pemilihan model. Mengingat sebagian
besar penduduk, di tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional miskin,
sedangkan sebagian kecil penduduk kaya, maka model konfliklah yang lebih mengena
untuk menerangkan kemiskinan.

Tabel 1. Model Konsensus dan Konflik


Model Konsensus
Ideologi Konservatif
Ideologi Liberal
Struktur Sosial Hasil konsensus tidak dimasalahkan, bahkan
dipertahankan.
Kemiskinan

Usaha
Mengatasi
Kemiskinan

Aktor
Perubahan
demi mengatasi
kemiskinan

Model Konflik

Hasil pemaksaan,
selalu
dimasalahkan
Kesalahan pelaku
Kurangnya
Struktur sosial yang
sebagai sebab utama.
kesempat-an
tidak adil merupaberusaha bagi pelaku kan sebab utama.
merupakan sebab
utama.
Membiarkan, menentang Menyediakan dan
Mengubah struktur,
segala usaha
memperluas
demokrasi kekuasapemerintah,
kesempatan.
an sungguh di
menganggap akan
tangan orang kecil /
terjadi counter
kaum miskin.
productive.
Pelaku yang
Pemerintahan dan
Orang miskin itu
bersangkutan sendiri.
kaum elit.
sendiri.

Tabel 2. Lima Tanggapan terhadap Kemiskinan


Thema
Tanggapan I
Penyebab Keadaan krn
kemiskinan penduduk itu
sendiri, nasib
jelek,
bencana
alam.

Tujuan

Menghilangkan
penderitaan.

Program Menghilangpelayanan kan kelaparan, pelayanan permu-

Tanggapan II Tanggapan III Tanggapan IV Tanggapan V


Kurang
Kemiskinan Eksploitasi, Struktur yang
pendidikan / sebagai
dominasi,
tidak
pengetahuan fungsi dari
penindasan. memadai,
, kurang
struktur
dominasi
sumber daya pendidikan,
kultural.
yg menyepelayanan
babkan
kesehatan,
standar
pertanian dll.
hidup
rendah.
Peningkatan Membuat
Menentang & Membangun
produksi, dan struktur kerja mempertany tata ekonomi,
mengelola
yang lebih
akan struktur politik, hukum
alam.
baik.
penindasan. & pendidikan
baru
Pelatihan
Peningkatan Partai politik Program
ketrampilan pelayanan bi- dan program penyadaran
di bidang
dang pendi- penyadaran, struktur
pertanian,
dikan khusus disiplin ketat. alternatif,

kiman (gelan- industri


dangan,
rumah
sektor
tangga,
informal),
pelayanan
rehabilitasi
kesehatan,
cacat, PUS
tabungan
KESMAS dll. dan kredit.
Tipe
Perubahan
perubahan fungsional
yg digunakan (model non
konflik).
Gaya
Kepercayaan
kepemimpin- kuat pada
an
otoritas.

Perubahan
fungsional
(model non
konflik).
Konsultasi.

& luar sekolah, bangunan hukum,


pelayanan
umum, serta
usaha untuk
mereformasi
struktur
Perubahan
fungsional
(model non
konflik).
Partisipasi,
pembagian
wewenang &
tanggung
jawab.

koperasi dan
serikat kerja,
pendidikan
alternatif.

Perubahan
struktural
(model
konflik)
Otoritas
muncul dari
bawah.

Perubahan
struktural dan
kultural.

Animasi, fasilitatif, peningkatan kemampuan,


partisipatif &
pembagian
tanggung
jawab
Inspirasi Karitas,
Membantu
Kesamaan
Teologi
Teologi
menolong
masyarakat hak dan
pembebasan transformatif,
kaum miskin. untuk
kesempatan. dan amar
pembangun-an
membantu
maruf nahi masyara-kat
mereka
munkar.
kreatif (aktor
sendiri
budaya).
Prinsip
Kesejahtera- Pembangun- Reformasi
Pembebasan Transformatif
perubahan an
an
sosial
atau revolusi

Model Pemberdayaan Rakyat Berkeadilan Gender


oleh Wardah Hafidz dan Wiladi Budiharga.
PENGERTIAN PENDAMPINGAN
Pendampingan rakyat atau masyarakat, pada intinya, didasari oleh prinsip pemihakan
kepada kelompok masyarakat yang marginal, tertindas, dan di bawah, agar mereka
mempunyai posisi tawar, sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah
posisinya. Pendampingan dengan konsep ini mencakup upaya perbaikan kualitas hidup
rakyat yang diukur tidak hanya dari peningkatan kesejahteraan ekonomi saja, tetapi juga
partisipasi dalam pengambilan keputusan dan percaturan kekuasaan di semua tingkatan.
Pendampingan dengan prinsip di atas membutuhkan pemahaman tentang pola relasi kelas
dan pola relasi gender. Arah perubahan dari pendampingan ini adalah terwujudnya
masyarakat dengan pola relasi yang setara dan demokratis, dimana kelas bawah
mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan kepentingannya, perempuan dan lelaki
berbagi peran dan kekuasaan secara adil dan setara. Karena itu, selain analisa kelas;
wawasan dan analisa gender merupakan bagian integral dari konsep pendampingan ini
karena wawasan gender memungkinkan upaya perwujudan demokratisasi, selain di
tingkat komunitas, masyarakat, dan negara, juga di tingkat hubungan antara perempuan
dan lelaki di rumah tangga dan dalam hubungan pribadi orang per orang.
Strategi yang relevan diterapkan untuk pendampingan di atas adalah pemberdayaan
berkeadilan gender agar rakyat dapat mengubah realitasnya dan menciptakan masyarakat
dengan pola relasi kelas dan gender yang adil, egaliter dan demokratis.
KERANGKA PEMBERDAYAAN BERKEADILAN GENDER
Pendampingan dapat diukur dengan menggunakan lima parameter 10, yakni :
Kuasa / kekuasaan.
Partisipasi.
Kesadaran kritis.
Akses atas sumber daya.
Kesejahteraan
Pemberdayaan ini pada gilirannya adalah upaya untuk mengubah atau meningkatkan
kondisi yang berkaitan dengan semua unsur tersebut, yang saling menunjang dan
bergerak menyerupai spiral.
Pemberdayaan

Keadilan Gender

Kuasa
Partisipasi
Kesadaran
Akses

TIDAK ADA :
- Subordinasi
- Stereotipi dll.
TIDAK ADA Marginalisasi,
Beban Ganda, Kekerasan dll

10 Konsep pemberdayaan rakyat dengan lima dimensi diambil dari konsep pemberdayaan perempuan /
womens empowerment framework dari Sarah Hlupelkile Longwe, 1991.

Kesejahteraan
Gambar 1. Kerangka Pemberdayaan Rakyat Berkeadilan Gender
LIMA DIMENSI PEMBERDAYAAN
Pendampingan rakyat tidak hanya sekedar upaya meningkatkan akses terhadap sumber
daya dan meningkatkan kesejahteraan. Lebih dari itu, pendampingan rakyat adalah suatu
proses yang mengupayakan agar kedua hal itu bisa didapat dan terus berlangsung. Proses
pendampingan rakyat, sebagaimana dipahami, mengharuskan anggota kelompok yang
didampingi untuk terlibat sebagai partisipan dalam proses. Mereka tidak bisa hanya
menjadi penerima pasif dari kegiatan pendampingan / proyek, teapi harus dapat
meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk memahami dan memecahkan
permasalahan mereka.
Lebih jauh, pemberdayaan tidak akan terjadi secara sungguh-sungguh jika mengabaikan
permasalahan gender. Dalam hal ini, peningkatan kesejahteraan dan akses atas sumber
daya tidak boleh justru menimbulkan kekerasan fisik atau marginalisasi (peminggiran atau
pemiskinan), ataupun penambahan beban atas salah satu jenis kelamin atau lainnya.
Kesadaran kritis, partisipasi dan kuasa yang bertambah juga harus dapat menghilangkan
stereotipi dan subordinasi gender. Dengan kata lain, terpenuhinya kebutuhan praktis dan
strategis seseorang / sekelompok orang haruslah dilakukan bersamaan dengan perubahan
pada pembagian beban, kuasa (tidak ada subordinasi), meratanya peluang, hilangnya
perlakuan kekerasan, dan stereotipi antara perempuan dan lelaki.
Lima dimensi tersebut adalah katagori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain
berhubungan secara sinergis, saling menguatkan dan melengkapi. Ke lima dimensi
tersebut merupakan tingkatan yang bergerak memutar laiknya spiral, makin tinggi tingkat
kesetaraan otomatis makin tinggi tingkat keberdayaan. Di sini kesadaran kritis menjadi
kunci karena memungkinkan berubahnya kemapanan atau staus quo.

DIMENSI TINGKAT SATU : KESEJAHTERAAN


Dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material rakyat yang diukur dari
tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan, dan kesehatan,
yang harus dinikmati oleh perempuan dan lelaki. Dengan demikian, kesenjangan gender di
tingkat kesejahteraan ini diukur melalui perbedaan tingkat kesejahteraan perempuan dan
lelaki sebagai kelompok, untuk masing-masing kebutuhan dasarnya. Misalnya dalam
tingkat penghasilan, tingkat kematian, atau gizi. Pemberdayaan tidak bisa terjadi dengan
sendirinya di tingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap
sumber daya yang merupakan dimensi tingkat ke dua.

DIMENSI TINGKAT DUA : AKSES


Kesenjangan di tingkat ini disebabkan oleh tidak setaranya akses terhadap sumber daya
yang dipunyai oleh mereka yang berada di kelas lebih tinggi dibanding mereka dari kelas
lebih rendah, yang berkuasa dan yang dikuasai, pusat dan pinggiran, dan sebagainya.
Dalam hal ini, sumber daya yang dapat digunakan untuk produksi a.l waktu, tenaga,
tanah, kredit, informasi, ketrampilan dan lain-lain. Mengatasi kesenjangan ini berarti
meningkatnya akses rakyat, bahkan dikuasainya sumber daya oleh rakyat. Pemberdayaan

dalam hal ini berarti dipahaminya situasi senjang ini dan terdorongnya rakyat melakukan
tindakan untuk mengubahnya dengan cara memperoleh akses yang lebih besar terhadap
sumber daya atau bahkan menguasainya.
Dalam hal gender, kesenjangan ini terlihat dari adanya perbedaan akses antara
perempuan dan lelaki terhadap sumber daya. Lebih rendahnya akses mereka terhadap
sumber daya semua contoh sumber daya, juga tenaga kerja mereka sendiri
menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah dari lelaki. Selain itu,
dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua
pekerjaan-pekerjaan domestik sehingga ia tidak punya cukup waktu lagi untuk mengurusi
dan meningkatkan kemampuan dirinya. Akar penyebab kesenjangan akses atas sumber
daya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran.

DIMENSI TINGKAT TIGA : KESADARAN KRITIS


Kesenjangan kelas antara yang rendah dan lebih tinggi pada tingkat ini disebabkan oleh
adanya anggapan bahwa situasi sosial yang ada adalah bagian dari tatanan alamiah yag
sudah berlangsung demikian sejak kapan pun, atau merupakan kehendak Tuhan.
Pemberdayaan rakyat pada tingkat ini berarti upaya penyadaran bahwa kesenjangan
sosial tersebut adalah bentukan sosial yang dapat dan harus diubah.
Kesenjangan gender di tingkat ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa posisi sosial
ekonomi perempuan yang lebih rendah dari lelaki dan pembagian kerja gender tradisional
adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat ini berarti penumbuhan sikap
kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas : bahwa subordinasi terhadap
perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil dari sistem diskriminatif dari
tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari
tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis
dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan ke arah
kesetaraan.

DIMENSI TINGKAT EMPAT : PARTISIPASI


Kesenjangan kelas pada tingkat ini jelas tampak dari kenyataan tidak terwakilinya kelas
bawah dalam berbagai lembaga yang ada dalam masyarakat. Rakyat tidak terlibat dalam
pengambilan keputusan di semua tingkatan masyarakat dari dukuh sampai negara.
Pemberdayaan pada tingkat ini adalah upaya pengorganisasian rakyat, sehingga mereka
dapat berperan serta dalam setiap proses pengambilan keputusan sehingga kepentingan
mereka tidak terabaikan. Kesenjangan gender pada tingkat ini dapat diukur, misalnya dari
partisipasi di lembaga legislatif, eksekutif, organisasi politik dan massa. Namun partisipasi
secara umum dapat dilihat dari adanya peran serta setara antara perempuan dan lelaki
dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat, maupun
negara. Di tingkat program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan lelaki secara setara
dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi, dan monitoring
evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari pemberdayaan,
sekaligus juga sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih besar.

DIMENSI TINGKAT LIMA : KUASA


Kesenjangan antar kelas di tingkat ini tampak pada kesenjangan kuasa : kelas penguasa
dan kelas yang dikuasai. Ada bagian masyarakat yang menguasai segala macam sumber
daya, sementara bagian lain tidak. Pemberdayaan pada tingkat ini adalah upaya untuk
menguatkan organisasi rakyat sehingga mampu mengimbangi kekuasaan kelas atas dan
mampu mewujudkan aspirasi mereka, karena mereka ikut memegang kendali atas sumber
daya yang ada. Pemberdayaan pada tingkat inilah yang memungkinkan rakyat
mendapatkan hak-haknya secara berkelanjutan.
Kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa yang timpang
antara perempuan dan lelaki. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan di
tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang imbang
antara perempuan dan lelaki, satu tidak mendominasi atau berada dalam posisi dominan
atas lainnya. Artinya perempuan mempunyai kekuasaan sebagamana juga lelaki, untuk
mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan keomunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa
merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan rakyat dalam
masyarakat yang sejahtera.
Tabel 3. Kerangka Keadilan Gender dan Pemberdayaan Rakyat
Tingkat
Uraian
Langkah Pemberdayaan
Permasalahan
Pemberdayaan
Kuasa
Tingkat tertinggi dari Perwakilan setara,
Bagaimana kegiatan
keadilan dan
peran aktif dlm
yang ada dapat
pemberdayaan
pembangunan,
dipertahankan dan
gender.
diakuinya sumbangan mengembangkanmasing-masing,
nya ke tingkat yang
memeli-hara &
lebih tinggi.
mengembangkan
tujuan yang lebih luhur.
Partisipasi
Perempuan dan lelaki Pengorganisasian,
Cara apa yang
telah mencapai ting- bekerja dalam
harus digunakan ?
katan, dimana
kelompok, suara
mereka dpt
&kepentingannya
mengambil kepusemakin didengar dan
tusan bersama seba- diperhatikan.
gai dua pihak setara.
Penyadaran
Kesadaran bhw per- Kesadaran bhw
Apa yang harus
masalahan yg diha- perubah-an tdk akan
dilakukan ?
dapi bersifat
terjadi jika bukan
struktural & berasal mereka sendiri yg
dari adanya
mengubah & bhw peran
diskriminasi yang
mereka sangat penting
melembaga.
agar perubahan terjadi.
Akses
Menyangkut
Kesadaran bahwa tidak Mangapa kita
kesetara-an dalam
adanya akses
mempunyai
akses terha-dap
merupakan penghalang permasalahan ?
sumber daya dan
terjadinya peningkatan
manfaat yang dihasil- kesejahteraan.
kan oleh adanya
sumber daya.
Kesejahteraan Menangani hanya
Pemberdayaan
Apakah

kebutuhan dasar tan- mencakup kehendak


pa mencoba meme- untuk memahami
cahkan penyebab
peramsalahan yang
struktural yg menjadi dihadapi dan
akar masalah.
kebutuhan.

permasalahan kita ?

JENIS KEGIATAN : TIGA PERAN


Kegiatan manusia bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian yakni kegiatan produktif,
reproduktif dan komunitas atau sosial 11. Pemberdayaan rakyat berkeadilan gender harus
masuk dalam semua peran ini agar keberdayaan rakyat benar-benar bisa diwujudkan
secara menyeluruh dan utuh.

11 Penjelasan tentang ketiga peran ini bisa dilihat pada ulasan Williams, et.al. di halaman 5 buku ini.

You might also like