You are on page 1of 17

SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Sifat Machiavellian dan Pertimbangan Etis:


Anteseden Independensi dan Perilaku Etis Auditor
St. Vena Purnamasari, SE.,MSi 1
UNIKA Soegijapranata Semarang

Abstract
This research is designed to gain an understanding of how auditor’s respond to
realistic ethical dilemmas. Machiavellianism and Cognitive Moral Development
theory are the basic theories in this study. The purpose of this study is to
investigates: (1) the association Machiavellianism and ethical reasoning with
auditor’s independence judgment and ethical behavior and (2) the relationship
between auditor’s independence judgment and ethical behavior.
Literature suggests that individual with high Machiavellian levels and lower
ethical reasoning levels are more likely less independence and more likely agree
with unethical behavior. Literature also suggests independence is the first subject
addressed in the rules of conduct. Independence in auditing means taking an
unbiased viewpoint in the performance of audit test, the evaluation of the results,
and the issuance of audit report. Several hypothesis are developed to investigate:
first the relationship between Machiavellianism and auditor’s independence
judgment. Second, the relationship between Machiavellianism and ethical behavior.
Third, relationship between ethical reasoning and auditor’s independence judgment.
Fourth, the relationship between ethical reasoning and ethical behavior and the last
is the relationship between auditor’s independence judgment and ethical behavior.
A total of 140 auditors are used to examine the hypotheses. Data was
collected by mail survey and tested by path analysis. Results indicate that individual
with high Machiavellian levels is more likely to less independence and more likely to
agree with unethical behavior.

Key words: Machiavellianism, Ethical Reasoning, Independence, Ethical Behavior


and Cognitive Moral Development Theory

1
Staf Pengajar FE Akuntansi UNIKA Soegijapranata, Jl.Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur

Semarang 50234; Ph:(024)8441555 ext:198, fax: (024)8415429; HP:08122569081 (

vena@unika.ac.id )

Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan Bapak Dr.Indra Wijaya Kusuma, MBA.,Ak.

Padang, 23-26 Agustus 2006 1


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

1. Pendahuluan

Maraknya kejahatan akuntansi korporat yang terjadi akhir-akhir ini membuat


kepercayaan para pemakai laporan keuangan khususnya laporan keuangan auditan
terhadap auditor mulai menurun. Akibat kejahatan tersebut, para pemakai laporan
keuangan seperti investor dan kreditur mulai mempertanyakan kembali eksistensi
akuntan publik sebagai pihak indepeden yang menilai kewajaran laporan keuangan.
Beberapa kasus manipulasi yang merugikan pemakai laporan keuangan melibatkan
akuntan publik yang seharusnya menjadi pihak independen.
Kasus manipulasi pembukuan yang masih dapat kita ingat adalah kasus
Enron Corp. Laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa
pengecualian oleh kantor akuntan Arthur Anderson, yang merupakan salah satu
KAP yang termasuk dalam jajaran big five, secara mengejutkan dinyatakan pailit
pada 2 Desember 2001. Sebagian pihak menyatakan kepailitan tersebut salah
satunya karena Arthur Anderson memberikan dua jasa sekaligus, yaitu sebagai
auditor dan konsultan bisnis (www.bisnis.com). Kasus-kasus serupa juga terjadi di
Indonesia. Diantaranya, runtuhnya Bank Summa yang dinyatakan bangkrut beberapa
bulan setelah KAP Arthur Anderson menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian
atas laporan keuangannya (Bangkit, [2001]). Kenyataan lain adalah hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah)
atas kertas kerja yang dibuat oleh KAP,dari 10 KAP yang melakukan audit terhadap
37 bank bermasalah ternyata hanya 1 KAP yang tidak melanggar SPAP (Bangkit,
[2001]).
Kondisi ini membuat masyarakat mempertanyakan kredibilitas profesi
akuntan publik. Erosi kepercayaan terhadap profesi akuntansi semakin meningkat,
padahal eksistensi profesi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat sebagai
pengguna jasa profesi. Perdagangan opini auditor menjadi hal yang “wajar” ketika
independensi dan objektivitas sudah terabaikan (Murniati dan Purnamasari, [2002]).
Kepercayaan masyarakat perlu dipulihkan dan hal itu sepenuhnya tergantung pada
praktek profesional yang dijalankan para akuntan. Profesionalisme mensyaratkan
tiga hal utama yang harus dimiliki oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian,
pengetahuan, dan karakter. Karakter menunjukkan personality (kepribadian) seorang
profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap etis dan tindakan etis (Mar’ie,

Padang, 23-26 Agustus 2006 2


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

[2002] dalam Chrismastuti dan Purnamasari,[2003]). Sikap dan tindakan etis


akuntan publik akan sangat menentukan posisinya di masyarakat pemakai jasa
profesionalnya (Machfoed, [1997])
Akuntan memiliki hubungan yang unik dengan pengguna jasanya jika
dibandingkan dengan profesi lainnya. Profesi lain mendapatkan penugasan dari
pengguna jasa dan bertanggung jawab juga kepadanya, sementara akuntan mendapat
penugasan dan memperoleh fee dari perusahaan yang menerbitkan laporan
keuangan, namun bertanggung jawab kepada pengguna laporan keuangan.
Hubungan yang unik ini sering kali menempatkan akuntan pada situasi-situasi
dilematis, oleh sebab itu sangat penting bagi akuntan untuk melaksanakan audit
dengan kompeten dan tidak bias (Arens dan Loebbecke,[2000]). Keunikan
hubungan profesi akuntan dengan pengguna jasa profesionalnya serta dampak luas
dari pelanggaran etika profesi akuntan pada kepercayaan publik atas jasa
profesionalnya, menjadikan masalah etika dan indepedensi auditor sebagai isu yang
menarik untuk didiskusikan dan dikaji secara ilmiah khususnya mengenai faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap independensi dan sensitivitas etika akuntan.
Banyak riset dilakukan untuk mempelajari hubungan antara auditor dengan
konflik peran yang muncul dari situasi dan faktor lingkungan, tapi masih jarang
yang mengidentifikasi proses dan mekanisme yang mendasari pernyataan pemikiran
auditor, ketika merumuskan sebuah judgment yang melibatkan independensinya.
Penelitian-penelitian tersebut diantaranya adalah Shockley [1981], Supriyono
[1988], dan Nadiarsyah [1992] meneliti tentang faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi independensi auditor.
Salah satu hal penting dalam mewujudkan profesionalisme adalah
kepribadian. Penelitian ini didesain untuk memahami hubungan kepribadian dengan
respon auditor terhadap dilema etika. Ponemon dan Gabhart [1990] menemukan
bahwa proses kognitif etika auditor akan mempengaruhi independensi auditor.
Independensi merupakan isu yang menarik karena dalam menghadapi konflik
independensi auditor perlu untuk mempertimbangkan aturan yang eksplisit, standar
audit dan kode etik profesional. Literatur psikologi memberikan pemahaman cara
seorang individu memproses aturan-aturan tersebut dalam membuat judgement.
Richmond [2003] menemukan bukti bahwa kepribadian individu
mempengaruhi perilaku etis. Richmond mengivestigasi hubungan paham

Padang, 23-26 Agustus 2006 3


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Machiavellianisme yang membentuk suatu tipe kepribadian yang disebut sifat


Machiavellian serta pertimbangan etis dengan kecenderungan perilaku individu
dalam menghadapi dilema-dilema etika (perilaku etis). Hasil penelitian ini, pertama
menunjukkan bahwa semakin tinggi kecenderungan sifat Machiavellian seseorang
maka semakin mungkin untuk berperilaku tidak etis. Kedua, semakin tinggi level
pertimbangan etis seseorang, maka dia akan semakin berperilaku etis.
Pertimbangan etis dan sifat Machiavellian ini juga diindikasikan berpengaruh
secara langsung terhadap independensi auditor. Individu dengan sifat Machiavellian
tinggi cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan
lebih memiliki keinginan untuk tidak taat pada aturan Ghosh dan Crain [1996].
Seorang auditor harus taat pada aturan etika yang mengharuskannya bersikap
independen, maka ketika seorang auditor memiliki kecenderungan sifat
Machiavellian tinggi semakin mungkin untuk bertindak tidak independen. Level
pertimbangan etis juga berpengaruh terhadap independensi. Salah satu penelitian
yang mendukung pernyataan tersebut dilakukan oleh Ponemon dan Gabhart [1990]
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pertimbangan etis auditor dengan
penyelesaian konflik independensi.
Penelitian ini dikembangkan berdasarkan penelitian Richmond [2003] Hasil
penelitian Richmond mendukung teori adanya keterkaitan kepribadian mahasiswa
akuntansi dengan perilaku mereka dalam menghadapi dilema etika. Tujuan utama
penelitian ini adalah menjawab permasalahan mengenai hubungan kepribadian
auditor dengan perilaku mereka dalam menghadapi dilema-dilema etika dan konflik-
konflik yang dapat menurunkan independensi.
2. Tinjauan Teoretis dan Pengembangan Hipotesis

2.1. Teori Cognitive Moral Development


Berdasarkan riset tahun 1963 dan 1969 Kohlberg mengemukakan teori
pengembangan moral kognitif (Cognitive Moral Development). Menurut prospektif
pengembangan moral kognitif, kapasitas moral individu menjadi lebih sophisticated
dan komplek jika individu tersebut mendapatkan tambahan struktur moral kognitif
pada setiap peningkatan level pertumbuhan perkembangan moral. Pertumbuhan
eksternal berasal dari rewards dan punishment yang diberikan, sedangkan
pertumbuhan internal mengarah pada principle dan universal fairness (Kohlberg,

Padang, 23-26 Agustus 2006 4


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

[1969] dalam Kohlberg, [1981]). Kohlberg mengidentifikasi tiga level


perkembangan moral yang terdiri dari: Pre-Conventional, Conventional dan Post-

2.2. Machiavellianism
Paham Machiavelianis diajarkan oleh seorang ahli filsuf politik dari Italian bernama
Niccolo Machiavelli (1469-1527). Machiavellianisme didefinisikan sebagai ”sebuah
proses dimana manipulator mendapatkan lebih banyak reward dibandingkan yang
dia peroleh ketika tidak melakukan manipulasi, ketika orang lain mendapatkan lebih
kecil, minimal dalam jangka pendek (Christie dan Geis [1970]). Kohlberg (1981)
menjelaskan bahwa orientasi etika mempunyai hubungan dengan dimensi-dimensi
etis seperti Machiavellianisme. Skala Machiavellian ini menjadi proksi perilaku
moral yang mempengaruhi perilaku pembutan keputusan etis (Hegarty dan Sims
[1978 dan 1979] dan Trevino et al. [1985]).

2.3. Sifat Machiavellian dan Independensi


Christie dan Geis [1970]) mengemukakan bahwa individu dengan sifat
Machiavellian tinggi cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan
keuntungan pribadi. Ghosh dan Crain [1996] menemukan indikasi bahwa individu
dengan sifat Machiavellian tinggi akan lebih memiliki keinginan untuk tidak taat
pada aturan. Peneliti memprediksi bahwa auditor dengan sifat Machiavellian tinggi
akan lebih mungkin untuk tidak menerima nilai-nilai dalam profesi akuntan, yaitu
independensi, maka hipotesis 1a dirumuskan sebagai berikut:
H1a: Auditor dengan sifat Machiavellian tinggi akan cenderung bertindak
tidak independen.

2.4. Sifat Machiavellian dan Perilaku Etis


Skala Machiavellian ini menjadi proksi perilaku moral yang mempengaruhi perilaku
pembutan keputusan etis (Hegarty dan Sims [1978 dan 1979] dan Trevino et al.
[1985]). Sehingga diekspektasikan bahwa individu dengan sifat machiavellian tinggi
akan lebih mungkin melakukan tindakan yang tidak etis dibandingkan individu
dengan sifat Machiavellian rendah. Jones dan Kavanagh [1996] dan Richmond
[2003] menemukan individu dengan sifat machiavellian tinggi akan lebih mungkin
melakukan tindakan yang tidak etis dibandingkan individu dengan sifat
Machiavellian rendah. Maka hipotesis 1b dirumuskan sebagai berikut:

Padang, 23-26 Agustus 2006 5


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

H1b: Auditor dengan sifat Machiavellian tinggi akan cenderung berperilaku


tidak etis.

2.5. Pertimbangan Etis dan Independensi


Kohlberg’s (1969) menyimpulkan level-level kognitif etika dan hubungannya
dengan independensi. Rest [1986] mengindikasikan bahwa masing-masing tipe
situasi akan memberikan kontribusi terhadap berbagai sensitivitas etika, dan dilema
profesional tersebut selalu merupakan sebuah kombinasi tehnikal dan isu moral.
Ponemon [1992] menyatakan bahwa level pertimbangan etis yang lebih tinggi akan
meningkatkan sensitifitas seorang individu untuk lebih mengkritisi kejadian,
masalah dan konflik. Auditor dengan kapasitas pemikian etis yang tinggi akan lebih
baik dalam menghadapi konflik dan dilema etis, dan lebih independen dalam
membuat keputusan yang terkait dengan dilema etis. Sweeney dan Robert [1997]
menginvestigasi apakah pertimbangan etis berdampak pada independensi auditor.
Hasilnya konsisten dengan penelitian terdahulu bahwa tingginya level pertimbangan
etis, akan berdampak terhadap independensi auditor. Maka hipotesis 2a dirumuskan
sebagai beikut:
H2a: Auditor dengan pertimbangan etis tinggi akan cenderung berperilaku
independen.

2.5.1. Pertimbangan Etis dan Perilaku Etis

Teori Cognitiive Moral Development bermanfaat dalam penggambaran psikologi


pembuatan pertimbangan etis dalam domain akuntan publik (Ponemon [1992]).
Ponemon [1992] menyatakan bahwa perkembangan ke tahap pertimbangan etis yang
lebih tinggi akan membantu sensitifitas seorang individu untuk lebih mengkritisi
kejadian, masalah dan konflik. Auditor dengan kapasitas pertimbangan etis yang
tinggi akan lebih baik dalam menghadapi konflik dan dilema etis. Ponemon dan
Gabhart [1990], Trevino [1986] dan Trevino dan Youngblood [1990] menyarankan
bahwa individu yang lebih berkembang secara moral (pertimbangan etisnya lebih
tinggi) kemungkinannya akan lebih kecil untuk menyetujui perilaku yang tidak etis.
Ponemon [1992] membandingkan pertimbangan etis yang diukur dengan DIT antara
partner dan manajer, hasilnya mengindikasikan bahwa partner dan manajer pada

Padang, 23-26 Agustus 2006 6


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

level pertimbangan etis yang lebih tinggi akan lebih independen dalam membuat
keputusan yang terkait dengan dilema etis. Maka hipotesis 2a dirumuskan sebagai
beikut:
H2b: Auditor dengan pertimbangan etis tinggi akan cenderung berperilaku
etis.

2.5.2. Independensi dan Perilaku Etis

Kode etik profesi akuntan disusun dengan tujuan dapat menjadi panduan bagi
profesi akuntan untuk menempatkan objektivitas nilai-nilai dalam profesi akuntansi
untuk menjaga profesionalisme anggotanya. Dalam rerangka kode etik akuntan salah
satu prinsip etika yang mendasari etika seorang auditor adalah independensi.
Independensi merupakan “batu penjuru” dalam struktur philosofi profesi akuntan.
Nilai dari pengauditan tergantung besarnya persepsi publik terhadap independensi
auditor, sehingga tidak mengherankan jika independensi merupakan hal utama
dalam kode etik profesi akuntan (Arens dan Loebbecke,[2000, hal: 86]).
Independensi merupakan salah satu nilai etis yang dijabarkan secara tertulis bagi
seorang auditor sebagai panduan agar dapat selalu berperilaku etis. Sesuai dengan
hal tersebut, peneliti memprediksikan bahwa semakin independen seorang auditor
maka auditor tersebut akan semakin dapat berperilaku etis. Sehingga hipoteisis 3
dirumuskan sebagai berikut:
H3: Auditor dengan level indepedensi yang tinggi akan semakin berperilaku
etis

Padang, 23-26 Agustus 2006 7


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Gambar 1
MODEL PENELITIAN

Sifat H1b
Machiavellian (-)
H1a (-)

Independensi Perilaku Etis


H3
(+)

H2a
Pertimbangan (+)
H2b
Etis
(+)

3. Metodologi Penelitian

3.1. Sampel Penelitian


Penelitin ini menggunakan sampe 140 auditior yang bekerja di KAP di lima kota
besar di pulau Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta dan Surabaya) Metode
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan teknik
pengumpulan adalah survei.

3.2. Definisi Operasional Variabel


Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sifat Machiavellian,
pertimbangan etis, independensi dan perilaku etis auditor. Persepsi terhadap sifat
Machiavellian diukur dengan skala Mach IV yang dikembangkan oleh Christie dan
Geis [1970]. Semakin tinggi skor Mach IV, maka semakin besar sifat
machiavelliannya. Persepsi pertimbangan etis responden diukur dengan 4 skenario
Defining Issue Test (DIT) yang dikembangkan oleh (Rest et al. [1979]). Persepsi
perilaku Etis (ERATING) diukur menggunakan ethical ratings yang terdiri dari 8
sketsa etika, yang digunakan oleh Richmond [2001]. Sebelum dilakukan analisis
lebih lanjut, dilakukan recode terlebih dahulu. Semakin tinggi skor ERATING maka
menunjukkan bahwa responden semakin berperilaku etis. Persepsi tentang

Padang, 23-26 Agustus 2006 8


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Independen (INDEP) auditor diukur menggunakan kasus yang digunakan dalam


Ponemon dan Gabhart [1990] Sebelum dilakukan analisis lebih lanjut, dilakukan
recode terlebih dahulu. Semakin tinggi skor INDEP, maka menunjukkan bahwa
responden semakin independen.

3.3. Metoda Analisis Data


Evaluasi kualitas data penelitian ini menggunakan pengujian validitas dan
reliabilitas. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan nilai Kaiser-Meyer-
Olkin Measure of Sampling Adequacy (Kaiser’s MSA) dan analisis faktor dengan
ketentuan nilai Kaiser’s MSA>0,50 dan tingkat signifikansi (p value) < 0,05 serta
factor loading > 0,40. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan ini dilakukan dengan
uji statistik Cronbach Alpha. Konstruk suatu variabel penelitian dikatakan reliabel
jika Cronbach Alpha lebih dari 0.6. Semua variabel dalam penelitian ini valid dan
reliabel.
Penelitian ini menggunakan Path Analysis untuk menguji hipotesis. Sebelum
dilakukan analisis terhadap parameter estimasi, dilakukan penilaian model fit.
Dengan kreteria sebagai berikut (Byrne [2001]): (1). DF (degree of freedom)
nilainya harus positif, (2) CMIN/DF (nilai Chi-Square dibagi df) < 2 dengan
signifikansi (p value) > 0,001 (Bollen, [1989a]). (3) Nilai GFI dan AGFI semakin
mendekati 1,00 model penelitian semakin baik (Joreskog dan Sorbom, [1993]). (4)
RMSEA < 0,05 (Browne dan Cudeck, [1993]). Tolok ukur dalam pengujian
hipotesis adalah nilai critical ratio yang terdapat dalam regression weight dengan
nilai absolut minimal 2.
4. Hasil Analisis

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara keseluruhan model adalah fit, sehingga
dapat dilakukan langkah selanjutnya untuk menganalisis parameter estimasi. Model
dalam penelitian ini secara keseluruhan tampak pada gambar 4.1

Padang, 23-26 Agustus 2006 9


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Gambar 4.1
HASIL PATH ANALYSIS
211,96

Z1
1

DIT ,27
-,01 ,00 Z4

1
1,21
1 ,14**
Z3 INDEP ERATING

-,35** -,29**
DF= 1
MACH
CMIN/DF= 1,134
1
Prop= 0,287
,33 GFI= 0,996
Z2
RMSEA= 0,031
** signifikan α = 5% AGFI= 0,960
Hasil uji hipotesis hubungan antar variabel penelitian dapat dilihat dari nilai
regression weight pada kolom C.R dibandingkan dengan nilai kritisnya yaitu ± 1,96
≅ ± 2 (α = 5%.) Jika nilai CR ≥ ± 2 (p ≤ 0,05), maka hipotesis yang diajukan
terdukung, dan sebaliknya jika nilai CR < ± 2 (p > 0,05), maka hipotesis tidak
terdukung. Nilai regression weight terangkum dalam tabel 4.4
Tabel 1
NILAI REGRESSION WEIGHT
HIPOTESIS ESTIMATE C.R. p-value
DIT Î INDEP -0,008 -1,199 0,115
MACH Î INDEP -0,350 -2,146 0,016**
MACH Î ERATING -0,286 -3,636 0,000**
INDEP Î ERATING 0,144 3,597 0,000**
DIT Î ERATING -0,003 -1,138 0,127
Sumber: Data yang diolah ** signifikan pada α = 5%

4.1. Hipotesis 1a
Hipotesis 1a dirumuskan bahwa auditor dengan sifat Machiavellian tinggi akan
cenderung bertindak tidak independen. Artinya sifat Machiavellian akan
berhubungan negatif dengan independensi auditor. Hasil pengujian menunjukkan
koefisien regresi sebesar -0,350 nilai CR sebesar -2,146, sehingga hipotesis 1a

Padang, 23-26 Agustus 2006 10


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

terdukung. Hasil ini konsisten dengan yang diungkapkan oleh Christie dan Geis
[1970]) mengemukakan bahwa individu dengan sifat Machiavellian tinggi
cenderung memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi, cenderung
melakukan manipulasi dan kebohongan meskipun hanya untuk jangka pendek.
Ghosh dan Crain [1996] menemukan indikasi bahwa individu dengan sifat
Machiavellian tinggi akan lebih memiliki keinginan untuk tidak taat pada aturan.

4.1.1. Hipotesis 1b

Hipotesis 1b dirumuskan bahwa auditor dengan sifat Machiavellian tinggi akan


cenderung berperilaku tidak etis. Artinya sifat Machiavellian berhubungan negatif
dengan perilaku etis auditor. Hasil pengujian menunjukkan nilai koefisien regresi
sebesar -0,286 dan CR sebesar -3,636, sehingga hipotesis 1b terdukung. Hasil ini
konsisten dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jones dan Kavanagh [1996]
dan Richmond [2001 dan 2003] yang menemukan bahwa individu dengan sifat
machiavellian tinggi akan lebih mungkin melakukan tindakan yang tidak etis
dibandingkan individu dengan sifat Machiavellian rendah. .

4.1.2. Hipotesis 2a dan 2b

Hipotesis 2a dirumuskan bahwa auditor dengan pertimbangan etis tinggi akan


cenderung berperilaku independen. Hasil pengujian menunjukkan nilai koefisien
regresi sebesar -0,008 dan nilai CR sebesar -1,199, sehingga hipotesis 2a tidak
terdukung. Hipotesis 2b dirumuskan bahwa auditor dengan pertimbangan etis tinggi
akan cenderung berperilaku etis. Perkembangan ke tahap pertimbangan etis yang
lebih tinggi akan membantu sensitifitas seorang individu untuk lebih mengkritisi
kejadian, masalah dan konflik dan auditor dengan kapasitas pertimbangan etis yang
tinggi akan lebih baik dalam menghadapi konflik dan dilema etis Ponemon [1992].
Hasil pengujian menunjukkan nilai koefisien regresi sebesar -0,003 dan nilai CR
sebesar -1,138, sehingga hipotesis 2b tidak terdukung. Hasil ini sesuai dengan
penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Richmond [2001 dan 2003] namun tidak
konsisten hasil penelitian Ponemon dan Gabhart [1990], Trevino [1985] serta
Trevino dan Youngblood [1990].

Padang, 23-26 Agustus 2006 11


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Hipotesis 2a dan 2b dalam penelitian ini tidak terdukung karena: pertama


perbedaan P score yang kecil tidak akan menunjukkan variasi independensi auditor
yang signifikan dan tidak menunjukkan sensitivitas etika. Jika dilihat dari range usia
responden dalam penelitian ini, tampak bahwa responden sebagian besar
mengumpul pada usia 21-25 tahun (52,1%) dengan nilai P score yang rendah. Data
penelitian tidak menyebar dengan rata untuk masing-masing level, sehingga tidak
dapat mewakili ketiga level (6 tahap) dalam perkembangan moral (Sweeney dan
Roberts [1997]). Kedua Model penelitian ini tidak mempertimbangkan perbedaan
aturan independensi masing-masing KAP. Ketiga Berdasarkan temuan Richmond
[2001] seseorang dengan pertimbangan etis tinggi akan semakin tidak menyetujui
perilaku tidak etis yang dilakukan oleh orang lain (individual’s intentions). Ajzen,
[1988] dalam Richmond [2001] menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara individual’s intention dengan tindakan yang mereka lakukan. Cavanagh dan
Fritzsche [1985] dalam Richmond [2001] menyatakan bahwa respon individu
terhadap pertanyaan dengan latar belakang ”apa yang akan saya lakukan”
dibandingkan pertanyaan “apa yang orang lain lakukan” akan memberikan informasi
dan nilai yang berbeda.

4.1.3. Hipotesis 3

Hipotesis 3 dirumuskan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap perilaku


etis auditor. Dalam rerangka kode etik akuntan salah satu prinsip etika yang
mendasari etika seorang auditor adalah independensi. Independensi merupakan
“batu penjuru” dalam struktur philosofi profesi akuntan. Independensi merupakan
hal utama dalam kode etik profesi akuntan. Independensi merupakan salah satu nilai
etis yang dijabarkan secara tertulis bagi seorang auditor sebagai panduan agar dapat
selalu berperilaku etis (Arens dan Loebbecke,[2000]). Hasil pengujian menunjukkan
nilai koefisien regresi sebesar 0,144 dan nilai CR sebesar 3,597, sehingga hipotesis 3
terdukung.
Hasil ini sesuai dengan harapan diterbitkannya kode etik profesi akuntan.
auditor sebagai sebuah profesi yang menjual jasanya, membutuhkan kode etik untuk
menjaga profesionalismenya di masyarakat. Auditor, sebagai seorang profesional,
bertanggungjawab kepada masyarakat, kepada klien, dan kepada sesama auditor.

Padang, 23-26 Agustus 2006 12


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

Alasan paling mendasar dibutuhkannya kode etik profesi adalah untuk menjaga
kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan sebuah profesi. Nilai dari
pengauditan tergantung besarnya persepsi publik terhadap independensi auditor,
sehingga tidak mengherankan jika independensi merupakan hal utama dalam kode
etik profesi akuntan. Tidak peduli seberapa kompeten seorang audior dalam
melaksanakan pengauditan dan jasa atestasi lainnya, opini mereka tetap akan
bernilai rendah jika mereka tidak independen (Taylor dan Glezen [1991])

4.2. Hubungan Langsung dan Tidak Langsung


Hasil analisis tambahan dari uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan
tidak langsung antara sifat Machiavellian dengan perilaku etis auditor melalui
independensi auditor. Oleh karena itu kita dapat mengestimasi besarnya direct effect
dan indirect effect hubungan dari ketiga variabel penelitian tersebut. Hasil analisis
dengan bantuan AMOS 4.1 menunjukkan hasil sebagai berikut:
Hubungan langsung MACH Î ERATING = 0,286
Hubungan tidak Langsung MACH Î ERATING = 0,350 x 0,144 = 0,050
Total Effect = 0,336

Adanya hubungan tidak langsung antara sifat Machiavellian dengan perilaku etis
auditor berarti bahwa sifat Machiavellian tinggi akan menurunkan independensi
auditor. Semakin menurunnya independensi, maka auditor cenderung berperilaku
tidak etis.
5. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI

5.1. Simpulan Penelitian


Hasil-hasil pengujian dan analisis antar variabel dalam penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut: (1) Hipotesis 1a dan 1b terdukung. Sifat Machiavellian
berhubungan negatif dengan independensi dan perilaku etis auditor. Artinya auditor
yang memiliki sifat Machiavellian tinggi akan cenderung lebih menyetujui
penyimpangan terhadap independensi dan cenderung berperilaku tidak etis, (2)
hipotesis 3 terdukung. Independensi auditor berhubungan dengan perilaku etis
auditor. Artinya auditor yang lebih independen akan cenderung berperilaku etis, (3)
sifat Machiavellian berhubungan tidak langsung dengan perilaku etis auditor melalui
independensi. Dan (4) Hipotesis 2a dan 2b yang menyatakan bahwa pertimbangan

Padang, 23-26 Agustus 2006 13


K-AUDI 10
SIMPOSIUM NASIONAL AKUNTANSI 9 PADANG

etis berhubungan positif dengan indepedensi dan perilaku etis auditor tidak
terdukung.

5.2. Keterbatasan Penelitian


Hasil penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan: (1) Penelitian ini dilakukan
dengan metode survei melalui kuesioner yang dikirim melalui pos dan dititipkan ke
KAP oleh peneliti, (2) sampel penelitian tidak dapat mewakili semua usia sesuai
dengan tahapan perkembangan moral. (3) pengukuran perilaku etis hanya
menggunakan satu ukuran, yaitu sketsa etika yang mengukur perilaku etis seseorang
ketika berhadapan dengan dilema etis.

5.3. Implikasi dan Saran Penelitian


Penelitian ini memiliki beberapa implikasi dan saran baik dalam praktik maupun
bagi penelitian yang akan datang, yaitu: (1) Berdasarkan hasil temuan diatas, maka
peneliti menyarankan KAP melakukan evaluasi atas sifat Machiavellian pada saat
melakukan perekrutan auditor, untuk mengetahui sesuai atau tidak orang tersebut
menjadi auditor. (2) Untuk penelitian selanjutnya: (a) pengambilan sampel
memperhatikan sebaran usia responden sehingga dapat diperoleh skor P yang lebih
bervariasi. (b) menambahkan satu variabel sketsa dilema etika yang mengukur
bagaimana persepsi seseorang menilai orang lain yang melakukan perilaku tidak etis
(“what others would do”).

Padang, 23-26 Agustus 2006 14


K-AUDI 10
DAFTAR PUSTAKA

Arens, Alvin A dan Loebbecke,James K. 2000 Auditing: An Integrated Approach. 8th


edition. Ney Jersey: Prentice-Hall.
Boynton, W.C, Johnson, R.N., and Kell, W.G. 2001 Modern Auditing. 7’th edition.
Amerika: John Wiley & Sons, Inc.
Byrne, Barbara M. 2001 Structural Equation Modeling with AMOS: Basic Consepts,
Applications, and Programming. London: Lowrence Erlbaum Associates,
Publishers.
Chrismastuti, Agnes Advensia, dan St. Vena Purnamasari. 2004. “Hubungan Sifat
Machiavellian, Pembelajaran Etika dalam Mata Kuliah Etika, dan Sikap Etis
Akuntan: Suatu Analisis Perilaku Etis Akuntan dan Mahasiswa Akuntansi di
Semarang”, Simposium Nasional Akuntansi VII. hal. 258-279.
Christie, R. dan F.I. Geis 1970. Scale Construction. Studies in Machiavellianism, New
York: Academic Press.
Cooper, D.R, dan C.W., Emory. 1996. Business Research Meyhods, 5th edition. Richard D.
Irwin, Inc.,USA.
Corzine, J. B., Buntzman, G. F., dan E. T. Bush. 1999. “Machiavellianism in US
Bankers”, International Journal of Organizational Analysis 7. hal. 77-83.
Ghosh, D. Dan T.L. Crain. 1996. “Experimental Investigation of Ethical Standards and
Perceived Probability on International Noncompliance”, Behavioral Research in
Accounting 8. hal. 219-242.
Ghozali, Imam, 2004. Model Persamaan Struktural: Kosep dan Aplikasi dengan Program
Amos Ver.5.0. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Halim., Abdul, 2003. Auditing: Dasar-Dasar Audit Laporan Keuangan. Jogjakarta: UPP
AMP YKPN.
Hartono, Jogiyanto. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-
pengalaman. Jogjakarta: BPFE
Hegarty, W. H., dan Sims, H. P., Jr. 1978. “Some Determinants of Unethical Decision
Behavior: An Experiment”, Journal of Personality and Social Psychologi 8. hal.
451-457.
Hegarty, W. H., dan Sims, H. P., Jr. 1979. “Organizational Philosophy, and Objectives
Related to Unethical Decision Behavior: A Laboratory Experiment”, Journal of
Applied Psychology 64. hal. 331-338.
Jones, G.E., dan M. J. Kavanagh. 1996. “An Experimental Examination of the Effects of
Individual and Situational Factors on Unethical Behavioral Intentions in the
Workplace”, Journal of Business Ethics. hal. 511-523.
Kohlberg, L., 1981. Essay in Moral Development, The Philosophy of Moral Development,
Volume I, (Harper and Row, New York)
Lampe, S.C. and D.W. Finn. 1992. “A Model of Auditors Ethical Decesion Process
Auditing”. Journal of Practice and Theory. hal.33-39.

K-AUDI 10
Ma, H.K., 1988, “Objective Moral Judgement in Hong Kong, Mainland China, dan
England”, Journal of Cross-Culture Psychology. hal:78-95
Mautz, R.K. and Hussen A. Sharaf. 1993. The Philoshopy of Auditing. American
Accounting Association.
McLaughin, G .1970. “Incidental Learning and Machiavellianism”, Journal of Social
Psychology 82. hal. 109-115.
McLean, P.A., and D.G. Jones. 1992. Machiavellianism and Business Education.
Phycological Reports 71: 57-58.
McMahon, Joan. 2000. The Effects of Moral Development and Reinforcement
Contingencies on Ethical Decision Making. Thesis. didownload pada tanggal 9
Agustus 2005.
Murniati, M.P., dan Vena, P. 2002. Auditor Risk: Suatu Kewaspadaan Baru Bagi Investor.
Jurnal Akuntansi Bisnis, Vol.I/No.1. Agustus.hal: 73-80
Mulyadi. 1989. Pemeriksaan Akuntan. Jogjakarta: Bagian penerbitan STIE YKPN
Nadirsyah. 1993. “Persepsi Pemakai Informasi, dan Akuntan, dan Masyarakat Umum
terhadap Independensi Akuntan Publik”, Tesis. Jogjakarta: Program Pascasarjana
UGM.
Ponemon, L dan D. Gabhart. 1990. “Auditor Independence Judgements: A Cognitive
Developmental Model and Experimental Evidence”, Contemporary Accounting
Research. hal. 227-251.
Ponemon, L. 1992. Ethical Reasoning and Selection-socialization in Accounting.
Acounting, Organization, and Society: 17 (3/4): hal. 239-258.
Rest, J. R., 1986. Moral Development: Advances in Research and Theory. New York:
Praeger Publishers.
________, 1979 dalam Rest, J.R., E. Narvaez, S.J. Thoma, dan M. J. Bebeau. 1999.
“DIT2: Devising and Testing a Revised Instrument of Moral Judgement”, Journal
of Educational Psychology 91(4). hal. 644-659.
Richmond, Kelly A. 2001. “Ethical Reasoning, Machiavellian Behavior, and Gender: The
Impact on Accounting Students’ Ethical Decision Making”. Desertasi. Blacksburg,
Virginia
Richmond, Kelly A. 2003. “Machiavellianism and Accounting: An Analysis of Ethical
Behavior of US Undergraduate Accounting Student and Accountants”.
Symposium on Ethics Research in Accounting. American Accounting Association.
Robertson, C., dan Fadil, P.A., 1999. “Ethical Decision Making in Multinational
Organization: A culture-Based Model” , Journal of Business Ethics:19, hal: 385-
392.
Shockley, A. Randolph. 1981. “Perception of Auditors Independence: An Empirical
Analysis” , Accounting Review Vol 4. hal. 785-800.
Supriyono, R. A. , 1988. Pemeriksaan Akuntan: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Independensi Akuntan Publik: Suatu Hasil Penelitian Empiris di Indonesia.
Jogjakarta: BPFE.

K-AUDI 10
Sweeney, John T., Robin W. Roberts. 1997. “Cognitive Moral Development and Auditor
Independence”, Accounting, Organizations and Society Vol 22. hal.337-352.
Taylor, D, dan G. W. Glazen, 1991. Auditing: Integrated Concepts and Procedures.
Kanada: John Willey&Sons.
Trevino, L. K. dan S. A. Youngblood. 1990. “Bad Apples in Bad Barrels: A Casual
Analysis of Ethical Decision Making Behavior”, Journal of Applied Psychology
75. hal. 378-385.
Trevino, L.K., Sutoon, C. D., dan R. W. Woodman. 1985. “Effect of Cognitive Moral
Development and Reinforcement Contigencies on Ethical Decision Making: An
Experiment”, Annual meeting of the Academy of Mangement.San Diego.
__________, 2001. 10 Akuntan Terlibat Skandal BLBI. Tabloit Bangkit No.30/th III/
Edisi 30 April-6 Mei
__________, 2002. Menarik Pelajaran dari Kasus Jatuhnya Enron. Di download dari
www.bisnis.com, pada tanggal 6 Maret 2002
__________, 2002. Kartu Merah Buat 10 KAP Papan Atas. Media Akuntansi Edisi: 27/
Juli-Agustus

K-AUDI 10

You might also like