You are on page 1of 10

PERKEMBANGAN PERSONAL

Setiap individu memiliki ciri-ciri dan sifat karakteristik bawaan dan karakteristik
yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Sesuatu yang dipikirkan, dikerjakan, atau yang
dirasakan seseorang merupakan hasil perpaduan antara faktor-faktor biologis yang
diturunkan dan pengaruh lingkungan anak tersebut berada. Seorang bayi yang baru lahir
merupakan hasil dari dua garis keluarga (ayah dan ibu). Berikut ini, akan dipaparkan
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan personal anak, karakteristik
kepribadian, dan perkembangan yang lahir akibat faktor-faktor tersebut ialah sebagai
berikut:
1. Genetic - Temperamental Disposition
Faktor genetic merupakan faktor dalam diri individu yang diwariskan dari orang
tuamya meliputi bakat pembawaan, potensi-potensi psikis dan fisik. Sedangkan
temperamen berasal dari kata ‘temper’, artinya campuran. Temperamen adalah sifat-sifat
seseorang yang disebabkan campuran-campuran zat di dalam tubuh yang juga
memengaruhi tingkah laku orang itu.
Temperamen juga merupakan gaya perilaku atau karakteristik dalam merespons
lingkungan, ada bayi yang sangat aktif menggerak-gerakkan tangan, kaki dan mulutnya
dengan keras ada pula bayi yang merespon orang lain dengan hangat, adapula yang pasif
dan acuh tak acuh. Menurut Thomas dan Chess (1991) tiga dasar temperamen yaitu yang
mudah, yang sulit, dan yang lambat.
Temperamen adalah sifat-sifat jiwa yang sangat erat hubungannya dengan konstitusi
tubuh. Yang dimaksud dengan konstitusi tubuh ialah keadaan jasmani seseorang yang
terlihat dalam hal-hal yang khas baginya seperti keadaan darah, pekerjaan kelenjar,
pencernaan, pusat saraf, dll. Temperamen lebih merupakan pembawaan dan sangat
dipengaruhi tergantung kepada konstitusi tubuh. Oleh karena itu temperamen sukar
diubah atau dididik, tidak dapat dipengaruhi oleh kemauan atau kata hati orang yang
bersangkutan (Purwanto, 1984:143). Contoh, Bing Slamet memiliki kemampuan
melawak yang sangat dikagumi, karena ia memiliki tipe tubuh dan raut muka yang
demikian rupa, sehingga baru saja melihat mimiknya orang sudah ingin tertawa. Lain
halnya dengan Iskak, meskipun ia juga terkenal sebagai pelawak termasuk dalam wartet
jaya, lawakan Iskak dapat kita lihat lebih “dibuat-buat”. Ini disebabkan oleh konstitusi
tubuh dari kedua pelawak itu yang memang tidak sama.
Disposition (watak) adalah struktur batin manusia yang tampak pada kelakuan dan
perbuatan yang tertentu dan tetap. Ia merupakan ciri khas dari pribadi orang yang
bersangkutan. Pedjawijadna mengemukakan watak atau karakter ialah seluruh yang
termasuk ke dalam tindakan (insan dan pilihan) terlibat dalam situasi. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa watak itu dapat dipengaruhi dan dididik tetapi pendidikan watak itu
tetap merupakan pendidikan yang amat individual dan tergantung kepada kehendak bebas
dari orang yang dididiknya.
Seorang ahli bernama Kercheensteiner mengemukakan bahwa watak ialah keadaan
jiwa tetap, tempat semua perbuatan kemauan ditetapkan oleh prinsip-prinsip yang ada
dalam alam kejiwaan. Kercheensteiner membagi watak manusia menjadi dua bagian
yakni yang pertama watak biologis mengandung nafsu atau dorongan insting yang rendah
yang terikat kepada kejasmanian atau kehidupan biologisnya. Watak biologis ini tidak
dapat diubah dan dididik. Sedangkan watak yang kedua yaitu watak intelijibel. Watak
intelijibel ialah berkaitan dengan kesadaran dan intelegensi manusia. Watak ini
mengandung fungsi-fungsi jiwa yang tinggi seperti kekuatan kemauan, kemampuan
membentuk pendapat atau berfikir, kehalusan perasaan dan getaran jiwa.
2. Parenting Styles (Gaya Asuh Orang Tua)
Parent dalam parenting memiliki beberapa defenisi ibu, ayah, seseorang yang akan
membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung.
Parent adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan
pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi, mengarahkan kehidupan baru anak dalam
setiap tahapan perkembangannya. Pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, emosi dan
sosial.
Telah dilakukan riset tentang hubungan antara parenting dengan motivasi murid.
Orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mungkin percaya bahwa
keterlibatan mereka dalam pendidikan anak adalah penting. Mereka lebih mungkin untuk
berpartisipasi dalam pendidikan anak dan memberi stimuli intelektual di rumah. Ketika
waktu dan energi orang tua lebih banyak dihabiskan untuk orang lain atau untuk sesuatu
yang lain dibandingkan untuk anaknya, motivasi anak mungkin akan sangat menurun.
Prestasi murid dapat menurun apabila mereka tinggal dalam keluarga single parent,
tinggal bersama orang tua yang waktunya dihabiskan untuk bekerja.
Pengasuhan fisik mencakup semua aktivitas yang bertujuan agar anak dapat bertahan
hidup dengan baik dengan menyediakan kebutuhan dasarnya seperti makan, kehangatan,
kebersihan, ketenangan waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme
dalam tubuhnya. Pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak mengalami
kejadaian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasing dari teman-
temannya, takut atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi bertujuan agar anak
mempunyai kemampuan yang stabil dan konsisten dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, menciptakan rasa aman serta optimis atas hal-hal baru yang akan ditemui
oleh anak. Pengetahuan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan
sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa
selanjutnya.
Konsep pengasuhan mencakup beberapa pengertian pokok yaitu;
1. Pengasuhan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak
secara optimal baik secara fisik, mental maupaun sosial.
2. Pengasuhan merupakan proses interaksi yang terus-menerus antara orang tua dan
anak.
3. Pengasuhan adalah proses sosialisasi.
4. Sebagai proses interaksi dan sosialisasi proses pengasuhan tidak bisa dilepaskan
dari social budaya dimana anak dibesarkan/tumbuh.
○ Attachment ( perlekatan)
Kecenderungan bayi untuk mencari kedekatan dengan pengasuhnya dan untuk
merasa lebih aman dengan kehadiran pengasuhnya dapat mempengaruhi
kepribadian. Teori perlakatan (John Bowlby) menunjukkan: kegagalan anak untuk
membentuk hubungan dengan orang lain pada masa dewasa (1973). Berikut ini
beberapa praktik Parenting styles sabagai wujud kasih sayang yang dapat
meningkatkan prestasi dan motivasi anak:
1. Mengenal betul anak dengan memberi tantangan dan dukungan dalam
kadar yang tepat.
2. Memberkan iklim emosional yang positif, yang memotivasi anak
menginternalisasikan nilai dan tujuan orang tua.
3. Menjadi model perilaku yang memberi motivasi: bekerja keras dan gigih
menghadapi tantangan
○ Parenting styles ( Authoritarian, Authoritative, Permissive)
1. Authoritarian
Authoritarian Parenting adalah gaya asuh yang bersifat membatasi dan
menghukum. Orang tua yang otoriter memerintahkan anak untuk
mengikuti petunjuk mereka dan menghormati mereka. Mereka membatasi
dan mengontrol anak mereka dan tidak mengizinkan anak tidak banyak
bicara. Misalnya, orang tua yang otoriter mengatakan “lakukan sesuai
perintahku. Jangan banyak Tanya!”. Anak-anak dari orang tua yang
otoriter, seringkali berperilaku secara tidak kompeten, secara sosial.
Mereka cenderung cemas menghadapi situasi sosial, tidak bisa membuat
inisiatif untuk beraktifitas dan keahlian komunikasinya buruk.
2. Authoritative Parenting
Gaya asuh positif yang mendorong anak untuk menjadi indipenden tetapi
masih membatasi mengontrol tindakan anak. Perbincangan tentang tukar
pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan
mendukung. Orang tua yang Authoritative akan merangkul anaknya dan
berkata “kamukan tahu, seharusnya kamu tidak boleh melakukan itu. Mari
kita bahas bagaimana cara kamu bisa menangani situasi secara berbeda
lain kali”. Anak yang orang tuanya Authoritative seringkali berprilaku
kompeten secara sosial. Mereka cenderung mandiri, tidak cepat puas, gaul,
dan memperlihatkan harga diri yang tinggi.
3. Permissive atau Neglectful Parenting
Gaya asuh, di mana orang tua tidak terlibat aktif dalam kehidupan
anaknya. Ketika anaknya menjadi remaja atau bahkan masih kecil, orang
tua model ini tidak akan bisa menjawab jika ditanya, “sudah jam sepuluh
malam, anakmu ada di mana?”. Anak dai orang tua yang tidak peduli ini
akan menganggap bahwa aspek lain dari kehidupan orang tuanya lebih
penting daripada kehidupan anaknya. Anak dari orang tua yang tidak
peduli ini sering bertindak tidak kompeten secara sosial. Mereka
cenderung kurang bisa mengontrol diri, tidak cukup mandiri dan tidak
termotivasi untuk berprestasi.
3. Culture (kebudayaan)
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang
tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Produk itu berasal dari
interaksi antar kelompok orang dengan linkungannya selama bertahun-tahun (Chun,
Organizta, dan Marin dalam Santrock, 2007:170). Studi lintas cultural membandingkan
apa yang terjadi dalam satu kultur dngan apa yang terjadi dalam satu ataulebih kultur
lainnya, memberi informasi tentang sejauh mana orang itu sama dan sejauh mana
perilaku tertentu itu khusus bagi kultur tertentu. Kultur dikelompokkan menjadi kultur
individualistis (seperangkat nilai yang lebih memperioritaskan tujuan personal ketimbang
tujuan kelompok) dan kultur kolektivistik (seperangkat nilai yang lebih memperioritaskan
nilai yang mendukung kelompok namun kultur Barat lebih cenderung ke individualistis
sedangkan kultur Timur cenderung ke kolektivistik). Berapa pun besarnya kultur
kelompok itu akan memengaruhi perilaku anggotanya (Berry dalam Santrock 2007:170).
Psikolog Donald Campbell dan rekannya menemukan bahwa orang-orang di semua
kultur cenderung:
1. Percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah sesuatu yang “alami”
dan “benar” dan apa yang terjadi di dalam kultur lain adalah “tidak alami” dan
“tidak benar”.
2. Menganggap bahwa kebiasaan cultural mereka adalah valid secara universal.
3. Berperilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kulturalnya.
4. Merasa bangga dengan kelompok kulturalnya.
5. Bermusuhan dengan kelompok kulturalnya.

Studi lintas cultural menyediakan perbandingan, informasi tentang seberapa jauh


orang itu sama dan seberapa jauh perilaku tertentu adalah perilaku khusus dari suatu
kultur.
Sebuah kultur akan membuat anggotanya sensitif terhadap objek, kejadian, dan
strategi tertentu yang pada gilirannya dapat memengaruhi sifat memori (Mistry dan
Rogoff dalam Santrock 2007:330). Berdasarkan kutipan tersebut dapatlah dipahami
bahwa kultur atau kebudayaan/lingkungan setempat menjadi faktor penting dalam
pembentukan karakter atau perkembangan individu. Intinya, kultur merupakan factor
yang sangat mempengaruhi terbentuknya karakter sesorang.
Faktor keragaman karakter anak didik dipengaruhi oleh keragaman budaya. ini
terbukti dengan sikap dan perilaku anak didik selalu dipengaruhi oleh budaya-budaya
yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka, pada masa-masa perkembangan, seorang
anak sangat mudah dipengaruhi oleh budaya-budaya yang berkembang di masyarakat,
baik budaya yang membawa ke arah perilaku yang positif maupun budaya yang akan
membawa ke arah perilaku yang negatif. Kultur secara tidak langsung ikut mewarnai
situasi, kondisi, maupun corak interaksi di mana anak itu berada.
4. Peers (Teman Sebaya)
Perkembangan individu, terutama perkembangan bahasa anak dilengkapi dan
diperkaya oleh lingkungan masyarakat (teman sebaya) tempat ia berada. Hal ini berarti
proses pembentukan kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat
sekitar akan memberi warna (ciri) khusus dalam perilaku berbahasa. Bersamaan dengan
kehidupannya di dalam masyarakat luas, anak mengikuti proses belajar di sekolah. Di
lembaga pendidikan diberikan rangsangan yang terarah sesuai dengan kaidah-kaidah
yang benar. Proses pendidikan bukan memperluas dan memperdalam cakrawala ilmu
semata, tetapi juga secara berencana merekayasa perkembangan sistem budaya termasuk
perilaku berbahasa.
Pengaruh pergaulan di dalam masyarakat (teman sebaya) cukup menonjol, sehingga
bahasa anak menjadi lebih diwarnai oleh berbagai pola bahasa pergaulan yang
berkembang di dalam kelompok teman sebaya. Dari kelompok inilah berkembang bahasa
sandi, bahasa kelompok yang bentuknya amat khusus, dan tercipta secara khusus untuk
kepentingan khusus pula (Muhammadiyah, 2008:39).
Teman sebaya dapat memengaruhi motivasi anak melalui perbandingan sosial,
kompetensi dan motivasi sosial, belajar bersama, dan pengaruh kelompok teman sebaya
(Eccles dalam Santrock 2007:533). Murid dapat membandingkan dirinya sendiri dengan
teman sebaya mereka secara akademik dan sosial (Ruble dalam Santrock 2007:533). Di
bandingkan anak kecil, remaja lebih mungkin melakukan perbandingan sosial, walaupun
anak lebih gampang menyangkal bahwa mereka membandingkan dirinya sendiri dengan
orang lain.
Perbandingan sosial yang positif biasanya menimbulkan penghargaan diri yang lebih
tinggi, sedangkan perbandingan negatif menurunkan penghargaan diri. Murid yang lebih
diterima oleh teman sebayanya dan punya keahlian sosial yang baik seringkali lebih
bagus belajarnya di sekolah dan punya motivasi akademik yang positif. Sebaliknya murid
yang ditolak oleh temannya terutama yang sangat agresif beresiko mengalami problem
belajar seperti mendapat nilai buruk dan keluar atau dikeluarkan dari sekolah.
Studi awal tentang peran kelompok teman sebaya dalam prestasi murid kebanyakan
difokuskan pada peran negatifnya yakni menganggu komitmen murid untuk mengejar
prestasi akademik. Studi yang lebih baru memandang kelompok teman sebaya punya
peran positif dan negatif tergantung pada orientasi motivasionalnya. Jika kelompok
teman sebaya punya standar prestasi yang tinggi, maka kelompok itu akan membantu
prestasi akademik murid. Tetapi jika murid berprestasi rendah bergabung dengan
kelompok teman sebaya yang juga berprestasi rendah, prestasi akademik murid bisa
tambah buruk.
Umur anak yang makin bertambah, maka si anak akan semakin memperoleh
kesempatan lebih luas untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan teman-teman
sebayanya, sekalipun dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan umur yang relatif besar
tidak menjadi sebab tidak adanya kemungkinan melakukan hubungan-hubungan dalam
suasana bermain.
Anak yang bertindak langsung atau tidak langsung sebagai pemimpin, atau yang tidak
menunjukkan ciri-ciri kepemimpinan dengan sikap menguasai anak-anak lain, akan besar
pengaruhnya terhadap pola sikap atau pola kepribadian. Konflik-konflik terjadi pada anak
bilamana norma-norma pribadi sangat berlainan dengan norma-norma yang ada
dilingkungan teman-temannya.
Teachers’ Focus
Perkembangan individu, terlebih pada pembentukan kognitif, afektik, dan psikomorik anak,
juga sangat ditentukan oleh guru. Guru merupakan fokus terbentuknya kepribadian anak, selain
lingkungan masyarakat, dan keluarganya. Menurut DePorter (2001), guru tidak dapat mengajar
lebih banyak dengan usaha lebih sedikit. Akan tetapi, guru dapat menyampaikan isi lebih banyak
dan siswa mengerti lebih banyak. Hal itu dapat dicapai dengan mengubah lingkungan. Belajar
terjadi baik secara sadar maupun tidak sadar dalam waktu bersamaan. Otak senantiasa dibanjiri
stimulus, dan otak memilih fokus tertentu saat demi saat. Misalnya, ketika sebuah gambar
ditampilkan baik dalam proses belajar maupun berupa pajangan kelas, maka di samping proses
hal itu merangsang modalitas belajar visual, juga dapat menimbulkan asosiasi dalam kesadaran
melalui jalur saraf. Sehingga lingkungan sekeliling dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemampuan siswa secara tidak sadar menyerap informasi melalui kemitraan otak-mata.
Budaya sekolah dan ruang kelas yang memberi siswa peluang untuk menjadi bagian dari
kelompok yang bermakna, memperoleh penghargaan dari teman sebaya, dan berpartisipasi dalam
altruisme timbal balik, perlu perencanaan dan pengelolaan cermat. Perencanaan cermat budaya
kelas sangat penting karena siswa dalam setiap mata pelajaran akan mengembangkan kode
perilaku tidak tertulis yang bisa mendukung atau menggoyahkan kurikulum. Oleh karena itu,
dibutuhkan guru cakap yang bekerja sama dengan siswa untuk menciptakan kode perilaku sosial
dan akademis, sehingga setiap siswa dapat meraih potensi tertinggi. Kode ini harus menghormati
kebutuhan dan membentuk watak demi kebaikan siswa sendiri dan demi kebaikan kelompok.
Ketika merencanakan interaksi, perbedaan dan gaya individu harus dipertimbangkan.
Sebagian siswa belajar paling baik jika bekerja dengan siswa lain atau dalam kelompok kecil,
yang lain belajar paling baik sendiri untuk memproses informasi sesuai dengan laju dan cara
mereka sendiri, dan ada pula yang merasa lebih aman dan terfokus jika bekerja dengan guru,
orang dewasa lain, atau figur berwenang lainnya.

Sense of self ( Self-concept, Self-esteem, Self-efficacy)


Istilah diri (self) lebih berfokus pada invidualisme: aktualisasi diri, harga diri, konsep diri,
kemampuan diri, penguatan diri, kritik diri, bias mementingkan diri, keraguan diri, dan lain
sebagainya. Tetapi terlepas dari kulturalnya, orang membutuhkan perasaan akan diri yang positif
dan juga hubungan dengan orang lain agar bisa berkembang sepenuhnya sebagai manusia
(Brown dan Kysilka dalam Santrock, 2007:171).
Self-concept (Konsep Diri)
Batasan atau pengertian mengenai konsep diri telah banyak dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya yang telah dikemukakan oleh Brooks dalam Rahmat (1988) yang menyatakan bahwa
konsep diri sebagai those physical, social and psyhcological of ourselves that we have derived
from experiences and our interaction with other. Artinya menyatakan bahwa konsep diri sebagai
persepsi kita tentang fisik, sosial dan psikologi kita yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi
kita dengan orang lain.
Pengertian konsep diri juga dikemukakan oleh Dali Gulo (1982) yang menyatakan bahwa self
adalah keseluruhan yang dirasa dan diyakini benar oleh individu; ego dan hal-hal yang dilibatkan
di dalamnya. Pendapat ini dipertegas oleh Pudjijoyanti dalam Yatim dan Irianto (1991) yang
mendefinisikan konsep diri sebagai sikap, pandangan atau keyakinan seseorang terhadap
keseluruhan dirinya.
Disamping itu Sumadi Suryabrata mengartikan self (diri) dalam dua arti yaitu:
a. Sikap dan perasaan orang lain terhadap dirinya.
b. Suatu keseluruhan proses psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian
diri (1983:290).
Jadi pada dasarnya pengertian konsep diri dapat dibedakan atas dua, yaitu pengertian diri sebagai
obyek dan pengertian diri sebagai subyek. Kedua pengertian itu begitu berbeda sehingga ada ahli
yang menggunakan istilah yang berlainan, jika bermaksud menunjukkan diri sebagai obyek
dipakai self dan jika diri diartikan sebagai proses digunakan ego. Akan tetapi hal ini bukan
ketentuan pasti kadang self dan ego dipakai secara bergantian.
Aspek-aspek dari konsep diri setidaknya ada 3, yaitu :
• Citra diri yaitu persepsi saya terhadap penampilan fisik saya, rentangnya mulai dari posisi
ethnik dalam masyarakat sampai pada penjajaran penampilan pribadi dalam berhadapan
dengan norma-norma kultural dari kecantikan dan kegagahan.
• Harga diri menunjuk kepada perasaan dasar kita tentang kelayakan dan nilai,
pengetahuan eksistensial tentang kapasitas mencintai dan sebagai obyek kecintaan orang
lain.
• Kepercayaan diri adalah suatu pencerminan dari pertemuan antara bakat-bakat alamiah
dan keterampilan-keterampilan serta teknik-teknik yang kita pelajari ketika bekerja dalam
bidang-bidang sosial, vokasional atau kegemaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri :
1. Pola asuh orang tua
Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas turut menjadi faktor signifikan dalam
mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh
anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri
sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan
menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi
dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua
tidak saying.
2. Kegagalan-kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan
kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak
pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.
3. Depresi
Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung
negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri
sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya,
tidak diundang ke sebuah pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya
tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive
menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan
cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.
4. Kritik internal
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang
akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri sering berfungsi
menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan
kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
Konsep Diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Self-concept
pada bidang akademik didefinisikan sebagai persepsi seseorang secara menyeluruh pada bidang
akademik, dan itu mengacu pada evaluasi diri (self-evaluation) pada domain yang berkaitan pada
hal-hal yang bersifat akademik.
Self-esteem (Penghargaan Diri)
Penghargaan diri adalah pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya sendiri.
Penghargaan diri juga terkadang dinamakan martabat diri (self-worth, atau gambaran diri self-
image) misalnya, anak dengan penghargaan diri yang tinggi mungkin tidak hanya memandang
dirinya sebagai seseorang yang buruk tetapi juga seseorang yang baik.
Roger dalam Santrock (2007:113) mengatakan bahwa sebab utama seseorang punya
penghargaan diri yang rendah (rendah diri) karena mereka tidak diberi dukungan emosional dan
penerimaan sosial yang memadai. Dia secara khusus menganggap bahwa anak yang rendah diri
mungkin dahulu saat masih berkembang sering ditegur “kamu keliru melakukannya, jangan
lakukan itu!, harusnya kamu lebih baik”, atau kamu kok bodoh banget sih”. Rasa rendah diri
yang menetap dan berlebihan mungkin diakibatkan oleh prestasi yang buruk, defresi, gangguan
makan, dan tindak kejahatan.
Self-efficacy
Self-efficacy (keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan menghasilkan sesuatu
yang positif). Merupakan faktor person (kognitif) atau keyakinan bahwa seseorang bisa
menguasai situasi dan menghasilkan hasil positive. Albert Bandura mengatakan bahwa self-
efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang murid yang self-efficacynya
rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya
bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal. Self-efficacy dapat memengaruhi
murid dalam memilih suatu tugas, usahanya, ketekunannya, dan prestasinya (Bandura dalam
santrock: 2007: 298).
Self-effecacy dapat memengaruhi prestasi, tetapi ia bukan satu-satunya faktor pengaruh.
Tingkat tinggi tdak akan menghasilkan kinerja yang kompeten apabila murid tidak mempunyai
atau kekurangan pengetahuan dan keahlian yang harus dipenuhi.
Identity Development
Identity Development atau identitas diri adalah pencarian jawaban dari diri remaja tentang jati
dirinya. Identity Development ini ingin tahu tentang siapa dirinya agar ia dapat mengembangkan
dirinya kelak atas bakat atau jati diri yang ia miliki.
Pendidikan yang sesuai secara developmental, pendidikan jenis ini didasarkan pada
pengetahuan perkembangan khas dari anak-anak dalam rentang usia (ketepatan usia) dan
keunikan anak (ketepatan individual). Pendidikan yang sesuai dengan perkembangan
bertentangan dengan praktik yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan yang mengabaikan
metode kongkrit dalam mengajar anak. Pengajaran langsung yang biasanya berupa tugas menulis
dan membaca yang dibebankan kepada anak dianggap tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan. Konsep ini berlaku untuk perkembangan fisik dan kognitif.
Perkembangan Identity Development terjadi dalam urutan yang relatif teratur dengan
kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang terbentuk dan didasarkan pada keahlian pada
kemampuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Pengetahuan tentang
perkembangan khas dalam rentang usia ini bisa menjadi kerangka umum untuk menjadi
pedoman guru dalam mempersiapkan lingkungan belajar. Ada pun pengklasifikasian diri remaja
berdasarkan tipe identitas, yaitu:
1. Identity diffusion, terjadi ketika individu belum mengalami krisis (mereka belum
mengeksplorasi alternatif yang bermakna) atau membuat komitmen.
2. Identity Foreclousure, terjadi saat individu membuat komitmen tetapi belum mengalami
krisis. Ini sering terjadi apabila orang tua menentukan komitmen untuk anak remaja
mereka, sering kali dengan cara otoriter.
3. Identity Moratorium, terjadi ketika individu berada di tengah-tengah krisis tapi komitmen
mereka tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.
4. Identity Achievment, terjadi kerika individu telah mengalami krisis dan telah membuat
komitmen

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Mahkam. Dkk. 2008. Psikologi Remaja. Makassar: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah.
Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Santrock, J.W. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

You might also like