Professional Documents
Culture Documents
Sumber:
Oleh : N A Halim (Muzium Negara)
AJI SAKA
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu
Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang
dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara
diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati. Suatu hari,
Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua
yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita
tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan
mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh
malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu
selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka
berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus
melenyapkannya.
Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih
Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh
sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya.
Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga luasnya
melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah mengetahui niat Aji Saka
sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.
Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh
Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat
pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke jaman
keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.
Calon Arang
Pada suatu masa di Kerajaan Daha yang dipimpin oleh raja Erlangga, hidup seorang janda yang
sangat bengis. Ia bernama Calon Arang. Ia tinggal di desa Girah. Calon Arang adalah seorang
penganut sebuah aliran hitam, yakni kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan
memakai ilmu gaib. Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena puterinya
telah cukup dewasa dan Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali tidak mendapatkan jodoh,
maka ia memaksa beberapa pemuda yang tampan dan kaya untuk menjadi menantunya. Karena
sifatnya yang bengis, Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda
pun yang mau memperistri Ratna Manggali. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia berniat
membuat resah warga desa Girah.
“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang anak gadis hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam
anak gadis itu harus dibawa ke candi Durga!“ perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang
anak buahnya. Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari
seorang anak gadis. Suatu perkerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.
Sebelum matahari terbit, anak gadis yang malang itu sudah berada di Candi Durga. Ia
meronta-ronta ketakutan. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!“ teriaknya. Lama kelamaan anak gadis
itu pun lelah dan jatuh pingsan. Ia kemudian di baringkan di altar persembahan. Tepat tengah
malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan anak gadis itu untuk dipersembahkan
kepada Betari Durga, dewi angkara murka.
Kutukan Calon Arang menjadi kenyataan. “Banjir! Banjir!“ teriak penduduk Girah yang
diterjang aliran sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air sungai Brantas pasti akan
menderita sakit dan menemui ajalnya. “He, he... siapa yang berani melawan Calon Arang ?
Calon Arang tak terkalahkan!” demikian Calon Arang menantang dengan sombongnya. Akibat
ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore
meninggal. Tidak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu..
“Apa yang menyebabkan rakyatku di desa Girah mengalami wabah dan bencana ?” Tanya
Prabu Erlangga kepada Paman Patih. Setelah mendengar laporan Paman Patih tentang ulah
Calon Arang, Prabu Erlangga marah besar. Genderang perang pun segera ditabuh. Maha Patih
kerajaan Daha segera menghimpun prajurit pilihan. Mereka segera berangkat ke desa Girah
untuk menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan
ditangkap. Para prajurit menjadi bangga dan merasa tugas suci itu akan berhasil berkat doa
restu seluruh rakyat.
Prajurit kerajaan Daha sampai di desa kediaman Calon Arang. Belum sempat melepaskan lelah
dari perjalanan jauh, para prajurit dikejutkan oleh ledakan-ledakan menggelegas di antara
mereka. Tidak sedikit prajurit Daha yang tiba-tiba menggelepar di tanah, tanpa sebab yang
pasti.
Korban dari prajurit Daha terus berjatuhan. Musuh mereka mampu merobohkan lawannya
dari jarak jauh, walaupun tanpa senjata. Kekalahan prajurit Daha membuat para cantrik,
murid Calon Arang bertambah ganas. “Serang! Serang terus!” seru para cantrik. Pasukan
Daha porak poranda dan lari pontang-panting menyelamatkan diri. Prabu Erlangga terus
mencari cara untuk mengalahkan Calon Arang. Untuk mengalahkan Calon Arang, kita harus
menggunakan kasih saying”, kata Empu Barada dalam musyawarah kerajaan. “Kekesalan Calon
Arang disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia menikahi puteri tunggalnya.“
Empu Barada meminta Empu Bahula agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan
Calon Arang. Empu Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali.
Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat sekaligus
memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.
Akhirnya rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna Manggali.
“He he … aku sangat senang mempunyai menantu seorang Empu yang rupawan.” Calon Arang
terkekeh gembira. Maka, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran selama tujuh hari
tujuh malam. Pesta pora yang berlangsung itu sangat menyenangkan hati Calon Arang. Ratna
Manggali dan Empu Bahula juga sangat bahagia. Mereka saling mencintai dan mengasihi. Pesta
pernikahan telah berlalu, tetapi suasana gembira masih meliputi desa Girah. Empu Bahula
memanfaatkan saat tersebut untuk melaksanakan tugasnya.
Di suatu hari, Empu Bahula bertanya kepada istrinya, “Dinda Manggali, apa yang menyebabkan
Nyai Calon Arang begitu sakti?“ Ratna Manggali menjelaskan bahwa kesaktian Nyai Calon
Arang terletak pada Kitab Sihir. Melalui buku itu, ia dapat memanggil Betari Durga. Kitab
sihir itu tidak bisa lepas dari tangan Calon Arang, bahkan saat tidur, Kitab sihir itu digunakan
sebagai alas kepalanya.
Empu Bahula segera mengatur siasat untuk mencuri Kitab Sihir. Tepat tengah malam, Empu
Bahula menyelinap memasuki tempat peraduan Calon Arang. Rupanya Calon Arang tidur terlalu
lelap, karena kelelahan setelah selama tujuh hari tujuh malam mengumbar kegembiraannya.
Empu Bahul berhasil mencuri Kitab sihir Calon Arang dan langsung diserahkan ke Empu
Baradah. Setelah itu, Empu Bahula dan istrinya segera mengungsi.
Calon Arang sangat marah ketika mengetahui Kitab sihirnya sudah tidak ada lagi, ia bagaikan
seekor badak yang membabi buta. Sementara itu, Empu Baradah mempelajari Kitab sihir
dengan tekun. Setelah siap, Empu Baradah menantang Calon Arang. Sewaktu menghadapi
Empu Baradah, kedua belah telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu
juga kedua matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca
sebuah mantera untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang. Karena
Kitab sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup
kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, desa Girah menjadi aman tenteram seperti
sediakala.
Moral : Moral : Calon Arang merupakan contoh seorang yang memiliki sifat pemarah dan
tidak dapat menguasai nafsunya. Hendaknya seseorang tidak memaksakan kehendaknya pada
orang lain dan tidak melakukan sesuatu hal yang dibenci orang lain. Karena pemaksaan
kehendak akan berakibat buruk bagi diri sendiri.
Sumber : Elexmedia
Keong Emas
Raja Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri, namanya Dewi Galuh dan
Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra kirana sudah ditunangkan oleh putra mahkota Kerajaan
Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.
Tapi saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana, karena Galuh Ajeng
menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui nenek sihir untuk mengutuk candra kirana.
Dia juga memfitnahnya sehingga candra kirana diusir dari Istana ketika candra kirana berjalan menyusuri
pantai, nenek sihirpun muncul dan menyihirnya menjadi keong emas dan membuangnya kelaut. Tapi
sihirnya akan hilang bila keong emas berjumpa dengan tunangannya.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut. Keong Emas
dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi dilaut tetapi tak
seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya ia kaget karena sudah tersedia masakan yang enak-
enak. Sinenek bertanya-tanya siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek pura-pura
kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas berubah menjadi gadis cantik langsung
memasak, kemudian nenek menegurnya " siapa gerangan kamu putri yang cantik ? " Aku adalah putri
kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh saudaraku karena ia iri kepadaku " kata keong emas,
kemudian candra kirana berubah kembali menjadi keong emas. Nenek itu tertegun melihatnya.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun
mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah
dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat
burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan
menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang
kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia
menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu
diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan
berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta
seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia
melihatnya tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang karena perjumpaan dengan Raden
Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik gubuk itu dan putri Candra Kirana memperkenalkan Raden
Inu pada nenek. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya keistana, dan Candra Kirana menceritakan
perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman yang
setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia terperosok dan jatuh kedalam
jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapatipun berlangsung. Mereka memboyong
nenek dadapan yang baik hati itu keistana dan mereka hidup bahagia.
Cindelaras
Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang
selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang
permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. "Seharusnya, akulah yang menjadi
permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri," pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera
dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan
putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka
mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke
hutan.
Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang
bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. "Tuan
putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,"
kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang
ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras.
Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan
binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir
telur. "Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku." Setelah 3 minggu, telur
itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor
ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh
menakjubkan! "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya
Raden Putra..."
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu
Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya,
Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan
ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa
orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo,
kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya. "Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika
diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat
mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-
benar tangguh.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu.
Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras. "Hamba menghadap
paduka," kata Cindelaras dengan santun. "Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan
rakyat jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika
ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah
kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil
menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.
"Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?"
Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya.
Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba,
atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra
terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda,
nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya
telah terjadi pada permaisuri. "Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku akan
memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden
Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya
Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra,
permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras
menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.
Pesan moral :
Kebaikan akan berbuah kebaikan sedang kejahatan akan mendatangkan penderitaan.
Telaga Bidadari
Dahulu kala, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah. Ia bernama Awang Sukma. Awang Sukma
mengembara sampai ke tengah hutan belantara. Ia tertegun melihat aneka macam kehidupan di dalam
hutan. Ia membangun sebuah rumah pohon di sebuah dahan pohon yang sangat besar. Kehidupan di hutan
rukun dan damai. Setelah lama tinggal di hutan, Awang Sukma diangkat menjadi penguasa daerah itu dan
bergelar Datu. Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya dan sampailah ia di sebuah
telaga yang jernih dan bening. Telaga tersebut terletak di bawah pohon yg rindang dengan buah-buahan
yang banyak. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya. "Hmm, alangkah indahnya telaga
ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa," gumam Datu Awang Sukma.
Keesokan harinya, ketika Datu Awang Sukma sedang meniup serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah
di telaga. Di sela-sela tumpukan batu yang bercelah, Datu Awang Sukma mengintip ke arah telaga. Betapa
terkejutnya Awang Sukma ketika melihat ada 7 orang gadis cantik sedang bermain air. "Mungkinkah
mereka itu para bidadari?" pikir Awang Sukma. Tujuh gadis cantik itu tidak sadar jika mereka sedang
diperhatikan dan tidak menghiraukan selendang mereka yang digunakan untuk terbang, bertebaran di
sekitar telaga. Salah satu selendang tersebut terletak di dekat Awang Sukma. "Wah, ini kesempatan yang
baik untuk mendapatkan selendang di pohon itu," gumam Datu Awang Sukma.
Mendengar suara dedaunan, para putri terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Ketika
ketujuh putri tersebut ingin terbang, ternyata ada salah seorang putri yang tidak menemukan pakaiannya. Ia
telah ditinggal oleh keenam kakaknya. Saat itu, Datu Awang Sukma segera keluar dari persembunyiannya.
"Jangan takut tuan putri, hamba akan menolong asalkan tuan putri sudi tinggal bersama hamba," bujuk
Datu Awang Sukma. Putri Bungsu masih ragu menerima uluran tangan Datu Awang Sukma. Namun karena
tidak ada orang lain maka tidak ada jalan lain untuk Putri Bungsu kecuali menerima pertolongan Awang
Sukma.
Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu. Demikian juga dengan Putri Bungsu. Ia
merasa bahagia berada di dekat seorang yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya mereka memutuskan
untuk menjadi suami istri. Setahun kemudian lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik dan diberi nama
Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.
Namun, pada suatu hari seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di atas permukaan
lumbung. Putri Bungsu berusaha mengusir ayam tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bumbung
bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam. "Apa kira-kira isinya ya?" pikir Putri Bungsu. Ketika
bumbung dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. "Ini selendangku!, seru Putri Bungsu.
Selendang itu pun didekapnya erat-erat. Perasaan kesal dan jengkel tertuju pada suaminya. Tetapi ia pun
sangat sayang pada suaminya.
Akhirnya Putri Bungsu membulatkan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. "Kini saatnya aku harus
kembali!," katanya dalam hati. Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya sambil menggendong
bayinya. Datu Awang Sukma terpana melihat kejadian itu. Ia langsung mendekat dan minta maaf atas
tindakan yang tidak terpuji yaitu menyembunyikan selendang Putri Bungsu. Datu Awang Sukma menyadari
bahwa perpisahan tidak bisa dielakkan. "Kanda, dinda mohon peliharalah Kumalasari dengan baik," kata
Putri Bungsu kepada Datu Awang Sukma." Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke
angkasa. "Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, dan masukkan ke dalam bakul yang
digoncang-goncangkan dan iringilah dengan lantunan seruling. Pasti dinda akan segera datang
menemuinya," ujar Putri Bungsu.
Putri Bungsu segera mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma
menap sedih dan bersumpah untuk melarang anak keturunannya memelihara ayam hitam yang dia anggap
membawa malapetaka.
Pesan moral : Jika kita menginginkan sesuatu sebaiknya dengan cara yang baik dan halal. Kita tidak boleh
mencuri atau mengambil barang/harta milik orang lain karena suatu saat kita akan mendapatkan hukuman.
Cincin Sakti
Dahulu ada sebuah kerajaan bernama kerajaan Sangrila. Rajanya bernama Mahawuni. Ia
didampingi seorang permaisuri bernama Cendana. Pangeran Hawuna adalah satu-satunya
putra mahkota yang kelak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja. Pada suatu hari
Pangeran Hawuna berburu ke hutan beserta pengawalnya. Dahulu masih banyak hutan yang
belum pernah terjamah manusia. Dengan berbagai perlengkapan, Pangeran Hawuna masuk ke
dalam hutan belantara. Sudah berhari-hari, Pangeran Hawuna bersama seorang pengawalnya
menjelajahi hutan, namun belum seekor binatangpun berhasil ditangkap. Binatang yang
mereka incar selalu lepas. “Hari-hari sial,” kata pengawalnya kepada Pangeran Hawuna.
Pangeran Hawuna membangun kemah dari dedaunan di tengah semak-semak. Tiba-
tiba…..”Hantu!” seru pengawal Pangeran Hawuna sambil menunjuk semak-semak bergerak
diiringi rintihan tangis seorang wanita. Pangeran Hawuna segera siaga dengan alat-alat
buruannya.
“Aku bukan hantu!” seru seorang gadis berpakaian kumal yang muncul dari rimbunan semak
itu. “Namaku Nuri,” tambah gadis cantik itu memperkenalkan diri sambil berjabatan tangan
dengan Pangeran Hawuna. Pangeran Hawuna menerimanya dengan senang hati, betapapun
masih diliputi rasa keraguan. Nuri menceritakan bahwa dirinya berasal dari kerajaan Bintan.
Ia puteri Raja yang diculik Nenek sihir jahat. Saat itu pun, ia masih berada di dalam
cengkeraman tangan si Nenek Sihir. Usaha meloloskan diri selalu gagal. Namun, ia selalu
mohon kepada Sang Deawata agar bisa segera bebas dari jerat kesaktian si Nenek sihir.
“Hey Nuri! Cepat kembali ke gua!” perintah Nenek Sihir yang muncul tiba-tiba. Ia tertawa
melengking dan menakutkan. Pakaian dan rambutnya kumal. Badannya kurus dan bungkuk.
Setiap membuka mulut, giginya mengeluarkan pancaran sinar kekuning-kuningan. Tangan
kanannya memegang tongkat berkepala ular naga yang dari lidahnya mengeluarkan cahaya
merah. Tongkat itu adalah tongkat ajaib, sebagai senjata andalan Nenek Sihir. Di bawah
pengaruh sihir itu, Putri Nuri melesat ke angkasa, terbang mengikuti kemauan nenek sihir.
Pangeran Hawuna berusaha mengejar, namun sia-sia. Bahkan ia terpisah dari pengawalnya.
Hari menjelang malam, Pangeran Hawuna pun merasa lelah. Ia beristirahat di bawah pohon.
Dilihatnya sebuah lentera di sebuah gubuk dekat dengan tempatnya istirahat. Perlahan-lahan
Pangeran Hawuna mendekati gubug itu. “Siapakah kau?” sapa seorang kakek berjubah putih
dan memakai ikat kepala putih. Janggutnya juga putih memanjang. Tampaknya ia adalah
seorang kakek sakti. Pangeran Hawuna segera duduk bersila di hadapannya. Ia
memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud tujuannya.
“Oh, nenek sihir itu memang jahat sekali. Aku tidak mampu melawannya. Kaulah yang
kutunggu-tunggu. Menurut firasatku kaulah yang mampu menandingi kesaktian nenek sihir
itu,” ucap kakek sakti kepada Pangeran Hawuna sambil memberikan sebuah cincin bersinar
yang menyilaukan. Cincin itu adalah cincin ajaib. Kakek sakti menekankan bahwa untuk
melawan nenek sihir harus berhati-hati dan waspada. Cincin ajaib harus digosok terlebih
dahulu sambil mengucapkan mantra yang harus diulang tiga kali. Cincin ajaib akan segera
mengeluarkan cahaya yang sangat panas dan akan membakar lawan yang dihadapi. Kakek sakti
segera mengenakan Cincin Sakti di jari manis tangan kiri Pangeran Hawuna. Seketika itu juga
Pangeran Hawuna tampak memancarkan sinar yang berkilauan. Sinar cincin sakti telah
menyatu dengan tubuh Pangeran Hawuna. Keberaniannya semakin bertambah. Semangatnya
berkobar-kobar. “Aku akan menyertai perjuanganmu,” ucap kakek sakti pelan seraya
menumpangkan kedua belah tangannya di kepala Pangeran Hawuna. Pangeran Hawuna
mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.
Suasana Kerajaan Sangrila gempar, karena pengawal Pangeran Hawuna telah tiba di istana
Kerajaan Sangrila dan melaporkan pada Raja Mahawuni bahwa Pangeran Hawuna telah diculik
oleh nenek sihir penguasa hutan belantara. “Cari sampai ketemu!” perintah Raja Mahawuni
kepada para pengawalnya. Perintah Raja Mahawuni dilaksanakan dengan menyiapkan ratusan
prajurit khusus yang sudah terlatih dan biasa menjelajahi hutan belantara. Berhari-hari
mereka menjelajahi hutan belantara, tetapi Pangeran Hawuna tidak dapat ditemukan. Mereka
menjadi putus asa, tetapi tidak ada yang berani kembali ke istana karena khawatir mendapat
hukuman dari Raja Mahawuni.
Sementara itu, Pangeran Hawuna dengan tangkas dan dan cerdiknya melompat dari pohon ke
pohon berusaha menemukan puteri Nuri. Berkat kesaktian cincin sakti itulah Pangeran
Hawuna dapat terbang sambil mengamati gua tempat nenek sihir. Pangeran Hawuna tiba
disebuah gunung batu yang tinggi. Ia mengamati dengan seksama keadaan gunung itu.
Didapatinya sebuah pintu batu besar yang dijaga raksasa menakutkan. Pangeran Hawuna ingin
segera melewati pintu itu, tetapi raksasa itu melarangnya. Terjadilah pertempuran seru.
Pangeran Hawuna segera membaca mantra sambil menggosok cincin sakti. Raksasa itu pun
berteriak kepanasan dan akhirnya tewas terbakar.
“Hey anak muda! Wilayah ini adalah daerah kekuasaanku! Enyahlah kau!” bentak nenek sihir
jahat sambil tertawa melengking. “Jangan buang waktu. Gosok cincin saktimu!” suara kakek
sakti terngiang di telinga Pangeran Hawuna. Seketika itu juga, Cincin Sakti mengeluarkan
sinar menyilaukan. Terjadilah pertempuran adu kesaktian yang seru. Nenek sihir jahat
terpojok dan segera dihantam sinar menyilaukan cincin sakti. “Aduuh, aku tak tahan! Silau,
panas!” pekik si nenek sihir. Tubuhnya menggelepar-gelepar terbakar. Akhirnya nenek sihir
itu tewas. Puteri Nuri berhasil dibebaskan dan segera berkumpul kembali dengan
keluarganya.
Moral : Belalah orang yang membutuhkan bantuan.Kejahatan pasti akan terkalahkan dengan
kebaikan dan kebenaran.
Sumber : Elexmedia
Manik Angkeran
Dahulu, di sebuah desa di wilayah Pulau Bali, tinggallah seorang pemuda tampan bernama
Manik Angkeran. Ayahnya bernama Empu Sidhi Mandra. Manik Angkeran terpengaruh
lingkungan yang tidak baik. Ia menjadi seorang yang hidup dari berjudi. Inilah yang membuat
pusing orang tuanya.
“Anakku, sadarlah bahwa judi itu merusak segalanya,” kata orang tua Manik Angkeran.
Tetapi, Manik Angkeran tidak peduli dengan ucapan orang tuanya. Hampir setiap hari, Manik
Angkeran berada di tempat penyabungan ayam. Setelah penyabungan tutup, ia lanjutkan
dengan judi kartu.
“Kalau kau tidak mau menghentikan judimu, lebih baik kau pergi dari rumah ini!,” kata ayah
Manik Angkeran dengan nada mengancam. Tetapi, karena judi sudah mendarah daging dalam
dirinya, kata-kata ancaman sekeras apapun tetap tidak didengar. Masuk telinga kanan keluar
telinga kiri dan begitu sebaliknya.
Karena merasa gagal mendidik dan tidak bisa menyadarkan, Empu Sidhi Mandra menitipkan
Manik Angkeran kepada seorang Brahmana yang bernama Brahmana Dangeang Nirata atau
dikenal dengan nama Pedanda Bau Rauh. Manik Angkeran menjadi anak asuh Brahmana
tersebut.
Apakah Manik Angkeran sadar ? Ternyata ia masih gila judi. Brahmana Dangeang Nirata
mencari jalan keluar agar Manik Angkeran dapat meninggalkan judi. “Mulai hari ini, kamu
harus melakukan tapa. Bertobatlah kepada Sang Dewata agar kau dapat meninggalkan judi,”
kata Brahmana Dangeang Nirata kepada Manik Angkeran.
Mendengar anjuran Brahmana Dangeang Nirata itu, Manik Angkeran mulai melakukan tapa. Ia
bertapa di sebuah Pura Gua yang berada di sebelah kiri bagian depan Pura Besakih, sesuai
dengan anjuran Brahmana Dangeang Nirata itu. Konon dalamnya lubang Pura Gua di Pura
Besakih berhubungan langsung dengan lubang Pura Gua Lawa di Klungkung.
Pada hari pertama, Manik Angkeran masih dapat memusatkan perhatian secara penuh dalam
tapanya. Tetapi, tiba pada hari ketiga Manik Angkeran mendapat firasat bahwa ia akan
ditemui oleh seekor naga. “Hem, aku akan minta ajian kepada Naga yang mendiami Pura Gua
ini agar aku bisa menang terus dalam berjudi,” kata Manik Angkeran dalam hati. Ia
bertambah khusuk dalam semadinya, maksudnya agar dapat cepat memperoleh apa yang
diinginkan itu.
Tiba-tiba ular Naga yang dikenal dengan nama Naga Besukih muncul di depan Manik
Angkeran. Manik Angkeran terkejut, keringat dingin keluar dari badannya. Manik Angkeran
menggigil karena ketakutan. “Jangan takut, aku datang untuk menemuimu. Permintaanmu
untuk mendapat ajian akan kukabulkan,” kata Naga Besukih sambil menggeram. Manik
Angkeran mengucapkan terima kasih dan segera pulang.
Berbekal ajian yang dimiliki Manik Angkeran turun di gelanggang perjudian. “Aku tantang
mereka!,” ucap Manik Angkeran sambil memainkan kartu judi. Ternyata Manik Angkeran
selalu menang. Manik Angkeran kurang puas dan berniat ingin menguasai tempat perjudian
tersebut. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Manik Angkeran kembali bertapa di Pura
Gua Besakih.
Manik Angkeran mulai bertapa di Pura Gua lagi. Tidak berapa lama Naga Besukih menemui
Manik Angkeran. “Permintaanmu kukabulkan,” kata Naga Besukih. Betapa senangnya hati
Manik Angkeran. Naga Besukih dengan perlahan-lahan masuk gua lagi. Manik Angkeran
terperanjat melihat Naga Besukih berekor emas berlian. Karena serakah, Manik Angkeran
berniat mengambil ekor Naga Besukih. “Aku akan kaya raya bila mendapatkan ekor Naga
Besukih. Manik Angkeran segera memotong ekor Naga Besukih, lalu dengan cepat melarikan
diri meninggalkan Pura Gua.
Merasa ekornya dipotong oleh Manik Angkeran, Naga Besukih berusaha mengejarnya. Karena
badannya besar, larinya lambat. Maka Naga Besukih mematuk pijakan kaki Manik Angkeran.
Seketika itu juga Manik Angkeran meninggal. Karena sudah lama Manik Angkeran tidak pulang
ke rumah, Brahmana Dangeang Nirata mencari ke Pura Gua Besakih. Naga Besukih
menjelaskan bahwa Manik Angkeran telah ia bunuh, karena telah memotong ekornya. Naga
Besukih tidak tahu kalau Manik Angkeran adalah anak asuh Brahmana Dangeang Nirata.
Maka, Naga Besukih minta maaf dan bersedia menghidupkan kembali Manik Angkeran. Begitu
juga Dangeang Nirata minta maaf karena ulah Manik Angkeran dan bersedia mengembalikan
ekor Naga Besukih. Setelah Manik Angkeran hidup kembali, ia menjadi sadar dan mau
bertobat.
Moral : Sifat tamak atau serakah adalah sifat yang sangat buruk. Karenanya keserakahan
dapat menyebabkan seseorang menjadi celaka dan mendapat balasan yang setimpal.
Sumber : Elexmedia
Karang Bolong
Beberapa abad yang lalu tersebutlah Kesultanan Kartasura. Kesultanan sedang dilanda kesedihan yang
mendalam karena permaisuri tercinta sedang sakit keras. Pangeran sudah berkali-kali memanggil tabib
untuk mengobati sang permaisuri, tapi tak satupun yang dapat mengobati penyakitnya. Sehingga hari demi
hari, tubuh sang permaisuri menjadi kurus kering seperti tulang terbalutkan kulit. Kecemasan melanda
rakyat kesultanan Kartasura. Roda pemerintahan menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. "Hamba
sarankan agar Tuanku mencari tempat yang sepi untuk memohon kepada Sang Maha Agung agar mendapat
petunjuk guna kesembuhan permaisuri," kata penasehat istana.
Tidak berapa lama, Pangeran Kartasura melaksanakan tapanya. Godaan-godaan yang dialaminya dapat
dilaluinya. Hingga pada suatu malam terdengar suara gaib. "Hentikanlah semedimu. Ambillah bunga
karang di Pantai Selatan, dengan bunga karang itulah, permaisuri akan sembuh." Kemudian, Pangeran
Kartasura segera pulang ke istana dan menanyakan hal suara gaib tersebut pada penasehatnya. "Pantai
selatan itu sangat luas. Namun hamba yakin tempat yang dimaksud suara gaib itu adalah wilayah Karang
Bolong, di sana banyak terdapat gua karang yang di dalamnya tumbuh bunga karang," kata penasehat
istana dengan yakin.
Keesokannya, Pangeran Kartasura menugaskan Adipati Surti untuk mengambil bunga karang tersebut.
Adipati Surti memilih dua orang pengiring setianya yang bernama Sanglar dan Sanglur. Setelah beberapa
hari berjalan, akhirnya mereka tiba di karang bolong. Di dalamnya terdapat sebuah gua. Adipati Surti
segera melakukan tapanya di dalam gua tersebut. Setelah beberapa hari, Adipati Surti mendengar suara
seseorang. "Hentikan semedimu. Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi harus kau penuhi dahulu
persyaratanku." Adipati Surti membuka matanya, dan melihat seorang gadis cantik seperti Dewi dari
kahyangan di hadapannya. Sang gadis cantik tersebut bernama Suryawati. Ia adalah abdi Nyi Loro Kidul
yang menguasai Laut Selatan.
Syarat yang diajukan Suryawati, Adipati harus bersedia menetap di Pantai Selatan bersama Suryawati.
Setelah lama berpikir, Adipati Surti menyanggupi syarat Suryawati. Tak lama setelah itu, Suryawati
mengulurkan tangannya, mengajak Adipati Surti untuk menunjukkan tempat bunga karang. Ketika
menerima uluran tangan Suryawati, Adipati Surti merasa raga halusnya saja yang terbang mengikuti
Suryawati, sedang raga kasarnya tetap pada posisinya bersemedi. "Itulah bunga karang yang dapat
menyembuhkan Permaisuri," kata Suryawati seraya menunjuk pada sarang burung walet. Jika diolah, akan
menjadi ramuan yang luar biasa khasiatnya. Adipati Surti segera mengambil sarang burung walet cukup
banyak. Setelah itu, ia kembali ke tempat bersemedi. Raga halusnya kembali masuk ke raga kasarnya.
Setelah mendapatkan bunga karang, Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya kembali ke Kartasura.
Pangeran Kartasura sangat gembira atas keberhasilan Adipati Surti. "Cepat buatkan ramuan obatnya,"
perintah Pangeran Kartasura pada pada abdinya. Ternyata, setelah beberapa hari meminum ramuan sarang
burung walet, Permaisuri menjadi sehat dan segar seperti sedia kala. Suasana Kesultanan Kartasura menjadi
ceria kembali. Di tengah kegembiraan tersebut, Adipati Surti teringat janjinya pada Suryawati. Ia tidak mau
mengingkari janji. Ia pun mohon diri pada Pangeran Kartasura dengan alasan untuk menjaga dan mendiami
karang bolong yang di dalamnya banyak sarang burung walet. Kepergian Adipati Surti diiringi isak tangis
para abdi istana, karena Adipati Surti adalah seorang yang baik dan rendah hati.
Adipati Surti mengajak kedua pengiringnya untuk pergi bersamanya. Setelah berpikir beberapa saat,
Sanglar dan Sanglur memutuskan untuk ikut bersama Adipati Surti. Setibanya di Karang Bolong, mereka
membuat sebuah rumah sederhana. Setelah selesai, Adipati Surti bersemedi. Tidak berapa lama, ia
memisahkan raga halus dari raga kasarnya. "Aku kembali untuk memenuhi janjiku," kata Adipati Surti,
setelah melihat Suryawati berada di hadapannya. Kemudian, Adipati Surti dan Suryawati melangsungkan
pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia di Karang Bolong. Di sana mereka mendapatkan penghasilan
yang tinggi dari hasil sarang burung walet yang semakin hari semakin banyak dicari orang.
Sungai Jodoh
Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis
yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang majikan
bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti Mayang. Pada suatu hari,
Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sebuah sungai. “Ular…!” teriak Mah Bongsu
ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata ular itu tidak ganas, ia berenang ke
sana ke mari sambil menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu memberanikan diri
mengambil ular yang kesakitan itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat dan
bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu memungut kulit
ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib… setiap Mah Bongsu membakar kulit
ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka tiba-tiba terdapat
tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri Jepang, mengalirlah
berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah ke kota Bandar Lampung,
datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga bulan, Mah Bongsu menjadi
kaya raya jauh melebih Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya.. “Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul,”
kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. “Bukan memelihara
tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan berusaha
menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu
ternyata tidak mudah. Beberapa hari orang dusun yang penasaran telah menyelidiki berhari-
hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
“Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan,” kata Mak Ungkai kepada tetangganya.
Bahkan Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu,
sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain
mereka, Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang yang sakit dan orang lain
yang memang membutuhkan bantuan. “Mah Bongsu seorang yang dermawati,” sebut mereka.
Karena merasa tersaingi, Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir
setiap malam mereka mengintip ke rumah Mah Bongsu. “Wah, ada ular sebesar betis?” gumam
Mak Piah. “Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?”
gumamnya lagi. “Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu,” ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia pun mendapatkan seekor
ular berbisa. “Dari ular berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih banyak
daripada yang didapat oleh Mah Bongsu,” pikir Mak Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam
harinya ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. “Saya takut! Ular melilit dan
menggigitku!” teriak Siti Mayang ketakutan. “Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu
akan mendatangkan harta karun,” ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin menyayangi
ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba
terkejut. “Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat pertemuan kita dulu,”
kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah Bongsu mengantar ular itu ke
sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi hatinya. “Mah Bongsu, Aku ingin
membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau berikan padaku,” ungkap ular itu. “Aku
ingin melamarmu dan menjadi istriku,” lanjutnya. Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa
menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga berubah wujud menjadi seorang
pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud menjadi
sebuah gedung yang megah yang terletak di halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya
tempat itu diberi nam desa “Tiban” asal dari kata ketiban, yang artinya kejatuhan
keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersbut. Pesta pun
dilangsungkan tiga hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan. Tamu yang datang
tiada henti-hentinya memberikan ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang
dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatok ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi pemuda
tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut “Sungai Jodoh”.
Moral : Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap
menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama yang
membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.
Sumber : Elexmedia
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya.
“Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan
pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang
sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu,
sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa
langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan
penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan
diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang.
“Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan
dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”.
“Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah
gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu,
Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu,
Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian
mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati!
Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati
wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya
bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk
membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati
menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan
begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar
jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada
Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang,
dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di
tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki
berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam
bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat
buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya.
Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah
mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius.
Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke
istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya.
Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang
telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau
merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh
Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden
Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda,
apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap
pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya.
Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai,
Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping
ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang
lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak
kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan
kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa
istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda!
Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk
menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,”
ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda
tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap
istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti
Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!”
seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden
Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati
melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai.
Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak
berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi
kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu
artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota
Banyuwangi.
Moral : Jangan mudah terhasut oleh ucapan orang, karena sesal kemudian tidak akan
merubah hal yang telah terjadi.
Sumber : Elexmedia