You are on page 1of 112

SIROSIS HEPATITIS

PENDAHULUAN
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab
kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang
perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar
kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan
seperti perdarahan saluran cerna bagian atas,koma peptikum, hepatorenal
sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular
carsinoma. Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan
di negara maju, maka kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya
kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit in, dan lebih kurang 30% lainnya
ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya
ditemukan saat atopsi.

DEFINISI
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan
sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur
hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami
fibrosis. Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi
mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati
mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan
ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.

INSIDENS
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 –
49 tahun.

KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.

ETIOLOGI
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolic :
a. Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alpha-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia
4. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus,
dimana empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis
terbanyak adalah akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary
atresia. Pada penyakit ini empedu memenuhi hati karena saluran empedu
tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita Biliary berwarna kuning
(kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi dengan
pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan
hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita
penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat
mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary
Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis
dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu.
5. Sumbatan saluran vena hepatica
- Sindroma Budd-Chiari
- Payah jantung
6. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-
lain)
8. Operasi pintas usus pada obesitas
9. Kriptogenik
10. Malnutrisi
11. Indian Childhood Cirrhosis

GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal
yang tersebut di bawah ini :
1. Kegagalan Prekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak
e. Perdarahan saluran cerna bagian atas
f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic
enchephalopathy
g. Perasaan gatal yang hebat
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan
arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan
perenkym hati yang masing-masing memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Kegagalan sirosis hati
a. edema
b. ikterus
c. koma
d. spider nevi
e. alopesia pectoralis
f. ginekomastia
g. kerusakan hati
h. asites
i. rambut pubis rontok
j. eritema palmaris
k. atropi testis
l. kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan)
2. Hipertensi portal
a. varises oesophagus
b. spleenomegali
c. perubahan sum-sum tulang
d. caput meduse
e. asites
f. collateral veinhemorrhoid
g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
Klasifikasi Sirosis hati menurut criteria Child-pugh :
Skor / parameter
1
2
3
Bilirubin (mg%)
<2,0
2-<3
> 3,0
Albumin (gr%)
>3, 5
2,8 - < 3,5
<2,8
Prothrombin time (Quick%)
> 70
40 - < 70
< 40
Asites
0
Minimal – sedang
(+) – (++)
Banyak +++)
Hepatic enchepha Lopathy
Tidak ada
Std 1 dan II
Std III dan IV

KOMPLIKASI
1. Perdarahan gastrointestinal
Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan
pecah sehingga timbul perdarahan yang masih.
2. Koma Hepatikum.
3. Ulkus Peptikum
4. Karsinoma hepatosellural
Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang
multiple.
5. Infeksi
Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc paru,
glomerulonephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis,
srisipelas, septikema
6. Penyebab kematian

PENATALAKSANAAN
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Suportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi
bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah
mendapatkan pengobatan IFN seperti :
a) kombinasi IFN dengan ribavirin
Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan
untukjangka waktu 24-48 minggu.
b) terapi induksi IFN
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang
lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan
atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) terapi dosis IFN tiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari
sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti :
a. Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
- istirahat
- diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat
dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila
gagal maka penderita harus dirawat.
- diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu
komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini
dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic
adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat
dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis
maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan
dengan furosemid.
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan
konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.
Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari,
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan
asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa
opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C,
Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit <
40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.
b. Spontaneous bacterial peritonitis
Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan
parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati
dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada
sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus
penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi
secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi
permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Adanya
kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut :
- Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites
- Clinical feature my be absent and WBC normal
- Ascites protein usually <1 g/dl
- Usually monomicrobial and Gram-Negative
- Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs
- 50% die
- 69 % recur in 1 year
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara
oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaxis dapat
diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
c. Hepatorenal syndrome
Adapun criteria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut :
Criteria for diagnosis of hepato-renal syndrome :
Major :
- Chronic liver disease with ascietes
- Low glomerular fitration rate
- Serum creatin > 1,5 mg/dl
- Creatine clearance (24 hour) < 4,0 ml/minute
- Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic drugs
- Proteinuria < 500 mg/day
- No improvement following plasma volume expansion
Minor :
- Urine volume < 1 liter / day
- Urine Sodium < 10 mmol/litre
- Urine osmolarity > plasma osmolarity
- Serum Sodium concentration < 13 mmol / litre
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang
berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan
elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat
dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta
menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan
shock. TIPS hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada
pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik adalah
transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.
d. Ensefalophaty hepatic
e. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi
sering dinomo rduakan, namun yang paling penting adalah
penanganannya lebih dulu. Prinsip penanganan yang utama adalah
tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini
maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan daan dpuasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali
kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,
pemberian obat-obatan, evaluasi darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibrinolitik,
VitaminK, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
- Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka
menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade
dan Tindakan Skleroterapi / Ligasi atau Oesophageal Transection.
e. Ensefalopati Hepatik
Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita
penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan
kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya
enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus,
antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang
Hepatotoxic.
Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :
1. mengenali dan mengobati factor pencetua
2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta
toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan :
- Dier rendah protein
- Pemberian antibiotik (neomisin)
- Pemberian lactulose/ lactikol
3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)
- Tak langsung (Pemberian AARS)

KESIMPULAN
Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan
mengobati penyulit, maka prognosa SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis
hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena
itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam
penatalaksanaan sirosis hati.

KEPUSTAKAAN :
1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases
2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England
Blackwell
1997
4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI,
Jakarta
1987
6. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
7. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian
Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo
Hipertensi Portal pada Anak
Bambang Surif*, Julius Roma**
*Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin
Sudirohusodo
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang
**Bagian Ilmu Kesehatan Anak (Subdivisi Gastrohepatoenterologi) Rumah
Sakit Umum Pusat
Dr. Wahidin Sudirohusodo/Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Ujung Pandang
ABSTRAK
Hipertensi portal terjadi jika tekanan dalam sistim vena porta meningkat diatas
10-12 mmHg yang dapat terjadi ekstrahepatik, intrahepatik dan suprahepatik.
Penampakan dari ketiga jenis hipertensi portal ini dapat mirip satu dengan
yang
lainnya, namun penyebab, komplikasi dan penanganan dapat sangat berbeda.
Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis,
laboratorium, endoskopi, pencitraan, biopsi hati dan pengukuran tekanan vena
porta.
Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang tepat merupakan syarat
mutlak.
PENDAHULUAN
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan
aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal
(1)
.
Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena
porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung
dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg
(2)
.
Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh ada-
nya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah
ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistim
portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau
cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan
tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa
pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid,
parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena
hepatik (supra hepatik)
(3)
.
Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anam-
nesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, endoskopi, pencitraan,
biopsi hati dan pengukuran tekanan vena porta.
Usaha penyelamat hidup seperti tindakan pembedahan
endoskopik atau pemberian obat-obatan terus berkembang.
Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang tepat
merupakan syarat mutlak
(2)
.
Vena-vena yang membentuk sistim portal adalah vena
porta, vena mesenterika superior dan inferior, vena splanikus
dan cabang-cabangnya. Vena porta sendiri dibentuk dari
gabungan vena splanikus dan vena mesenterika superior
(gambar 1).
Anatomi vena porta
Gambar 1. Anatomi vena porta (dikutip dari
(2)
.
(a) Vena porta
(h) Vena gastrika dekstra
(b) Vena mesenterika superior
(i) Vena gastrika sinistra
(c) Vena
splanikus
(j) Venapankreatiko-duodenale
(d) Vena mesenterika inferior
(k) Vena kistika
(e) Vena gastro-epiploika dekstra
(1) Cabang kanan vena porta
(f) Vena gastro-epiploika sinistra
(m) Cabang kici vena
Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus,
limpa, pankreas dan kandung empedu. Vena mesenterika
superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus halus,
kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena
porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh
puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri
hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena
hepatika yang selanjutnya ke vena kava inferior.
ETIOLOGI
Seperti yang telah dijelaskan di atas, hipertensi portal
dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik dan supra hepatik.
Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab
50-70% hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus
tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui, sedangkan obs-
truksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak
menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang
tidak mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya
(2,4)
.
Pada hipertensi portal ekstra hepatik, obstruksi terjadi
pada aliran darah portal antara hilus lien dan hilus hepar atau
meningkatnya aliran darah vena porta. Sumbatan ini bisa
karena sisa-sisa jaringan fibrous, trombus, tekanan dari luar,
adanya web atau diafragma atau sekelompok kolateral yang
mengalami transformasi kavernous
(3)
. Pernah dicoba peng-
ikatan vena porta pada binatang percobaan, tetapi tidak
menimbulkan gejala-gejala seperti yang didapatkan pada
manusia. Ini menunjukkan bahwa proses hipertensi portal
berlangsung perlahan-lahan
(3)
. Penyebab-penyebab hipertensi
portal ekstrahepatik diperlihatkan pada tabel 1
(2)
.
Tabel 1. Penyebab hipertensi portal ekstrahepatik
Obstruksi vena porta dan vena splenikus
Idiopatik
Septikemia
Kongenital Kolangitis
Kelainan struktural
Trauma
Omfalitis
Ulkus abdomen
Kateterisasi vena umbilikalis
Pankreatitis
Piloflebitis Keganasan
Sepsis intra abdomen
Pembesaran kelenjar limfe
Pembedahan dekat portahepatik
Kista duktus koledokus
Hipertensi portal intra hepatik dapat timbul dari kelainan
hepar dengan pengkerutan dan tanpa pengkerutan seperti
fibrosis hepatik kongenital, dimana sekitar 25% kasus-kasus
hipertensi portal anak diakibatkan oleh kelainan hepar dengan
pengkerutan. Pada kelainan hati dengan pengkerutan terjadi
jaringan ikat parut yang difus, pengkerutan jaringan ikat yang
selanjutnya akan meningkatkan tabanan vaskuler
(3,4)
. Kelainan
hati dengan pengkerutan merupakan penyebab terbanyak
hipertensi portal di Amerika Serikat
(6)
. Faktor terpenting
hipertensi portal intrahepatik adalah peningkatan resistensi
aliran darah portal pada tingkat sinusoid oleh karena pe-
numpukan kolagen perisinusoid pada ruang Disse dan
konsekuensi dari penyempitan sinusoid
(4)
. Penyebab lain dari
hipertensi portal intrahepatik tercantum dalam tabel 2
(2)
.
Tabel 2. Penyebab hipertensi portal intrahepatik
Presinusoid
: Hepatitis akut dan kronik
Sirosis
Fibrosis hati kongenital
Sistosomiasis
Infiltrasi saluran porta
Granuloma
Hemangioma
Intoksikasi vitamin A
Sklerosis
hepato-porta
Idiopatik
Parasinusoid :
Sirosis
Hepatitis kronik dan akut
Perlemakan
hati
Hiperplasia nodular fokal
Perisinusoid :
Sirosis
Keganasan
dengan
metastasis
Penyakit veno oklusif
Trombosis vena hepatik
Dikutip dari Mowat
(2)
Hipertensi portal supra hepatik disebabkan karena kurang-
nya darah vena hepatik yang masuk ke vena cava inferie
misalnya pada sindroma Budd - Chiari, gagal jantung kanan
berat, perikarditis konstriktiva, trombosis vena hepatik atau
vena kava inferior
(3,4)
. Adapun penyebab lain dari hipertensi
portal suprahepatik diperlihatkan dalam tabel 3
(2)
.
Tabel 3. Penyebab hipertensi portal suprahepatik
Gagal jantung kongesif
Perikarditis konstriktiva
Sindroma Budd-Chiari
Polisitemia
Neoplasma
Trauma
Webs vena kava inferior
Dikutip dari Mowat
(2)
PATOLOGI
Efek patologis yang utama adalah timbulnya kolatera-
kolateral yang membawa darah dari sirkulasi portal ke
sirkulasi sistemik yang dapat menerangkan banyak gejala-
gejala dan tanda-tanda dari kelainan ini. Kolateral terjadi (a)
dimana epitel penyerapan bergabung dengan epitel bertingkat
di esofagus alas anus (b) pada ligamentum falsiforme (c) pada
dinding perut bagian posterior yang membawa darah ke vena
kava inferior (d) aliran ke ginjal kiri dan jarang (e) ke vena
pulmonalis
(2)
.
Pada obstruksi ekstrahepatik sementara, bagian terbesar
hati dan sel-sel hati ukurannya mengecil terutama jika terdapat
sirkulasi kolateral yang luas. Fibrosis perilobular dan steatosis
juga sering didapatkan. Limpa menjadi besar dengan penebal-
an kapsul dan peningkatan retikulum di sekitar sinusoid yang
berdilatasi. Proliferasi histiosit pada sinusoid-sinusoid. Arteri
dan vena splenikus, vena porta berdilatasi dan berkelok-kelok
serta kadang-kadang terjadi kalsifikasi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000
42
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik pada hipertensi portal ekstra hepatik
muncul pada umumnya sebelum anak berumur 5 tahun, be-
berapa anak muncul sebelum usia 1 tahun (yang termuda
berumur 7 bulan), tetapi sebagian besar muncul umur 3-5
tahun
(4)
. Ada 2 kriteria klinik yang sering terdapat pada
keadaan ini yaitu splenomegali dan hematemesis atau melena
dari varises esofagus serta kadang-kadang disertai asites
(1,2,7)
.
Hipertensi portal ekstrahepatik dicurigai jika didapatkan
riwayat penyakit dan gambaran klinis sebagai berikut : anak
tampak baik, pertumbuhan dan berat badan tidak terlalu
terganggu, tidak ada riwayat penyakit hati atau ikterus, ada
riwayat penyakit neonatus (omfalitis, sepsis, dehidrasi, riwayat
kateterisasi vena umbilikalis untuk Sindrom Distres Pernapas-
an atau untuk transfusi tukar), tidak ada tanda-tanda penyakit
hati kronik, pembesaran perut yang intermitten atau asites
yang sukar diterangkan, tidak ada riwayat penyakit hati atau
penyakit ginjal
(2,4)
.
Splenomegali dapat merupakan gejala awal yang paling
sering yang terjadi karena terbukanya sinus-sinus vaskuler dan
hiperplasia limpa.
Anamnesis yang cermat dan evaluasi klinik dapat me-
nyingkirkan banyak penyakit-penyakit infeksi yang menyebab-
kan splenomegali seperti mononukleus infeksiosa, infeksi
traktus respiratorius atau gangguan metabolik seperti penyakit
Gaucher.
Pendarahan pada hipertensi portal ekstrahepatik dapat
berupa hematemesis atau melena yang dapat terjadi pada anak
yang sebelumnya sehat tapi mengeluh sakit perut tiba-tiba.
Keadaan ini merupakan penyebab sekitar 12% kematian pada
anak dengan hipertensi portal. Perdarahan saluran cerna biasa-
nya berhenti spontan, tapi perdarahan ulang dapat terjadi
dengan interval tidak teratur yang makin lama makin sedikit
jika kolateral telah terjadi. Ensefalopati jarang merupakan
komplikasi perdarahan. Beberapa pasien dengan hipertensi
portal tidak disertai dengan perdarahan.
Asites terjadi karena penurunan sintesis albumin, retensi
natrium dan efek mekanik peninggian tekanan portal serta
hiperaldosteronisme.
Gambaran klinik hipertensi portal intrahepatik hampir
sama dengan gambaran klinik bentuk ekstrahepatik dimana
splenomegali yang dihubungkan dengan hipersplenisme paling
sering dijumpai. Pirau vena periumbilikal dapat terjadi. Jika
terjadi perdarahan gastrointestinal dapat diikuti dengan mem-
buruknya fungsi hepar dan gambaran ensefalopati hepatik
dapat terjadi
(2,3)
.
Bentuk akut hipertensi portal supra hepatik biasanya
dengan asites (95%), hepatomegali (70%) dan nyeri tekan
daerah perut (50%) disertai dengan muntah dan ikterus ringan.
Diare merupakan komplikasi yang sering timbul. Jika obs-
truksi vena porta komplit, kematian dapat terjadi oleh karena
kegagalan hati. Pelebaran vena-vena superfisial perut biasanya
sebanding dengan derajat obstruksi. Varises esofagus jarang
terjadi kecuali bila perlangsungan penyakit yang lama, oleh
sebab itu hematemesis jarang dijumai pada awal penyakit
(3)
.
Adanya pelebaran vena-vena perut membuat kita men-
curigai suatu hipertensi portal. Pada daerah tersebut dapat
terdengar bising (bising Cruveilhier Baumgarten) yang sering
didapatkan pada hipertensi portal intra hepatik. Hemoroid
jarang pada anak tetapi bisa menjadi serius apabila ada. Ini
lebih sering ditemukan pada kelainan hati dengan peng-
kerutan
(4)
.
DIAGNOSIS
Diagnosis suatu hipertensi portal berdasarkan atas
anamnesis, pemeriksaan fisis, pencitraan, laboratorium, endos-
kopi, pengukuran tekanan vena porta dan biopsi hati
(1,3)
.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk men-
deteksi adanya suatu hipertensi portal adalah sebagai berikut
(tabel 4).
Tabel 4. Pemeriksaan pada penderita yang diduga hipertensi portal
Uji fungsi hati
Waktu protrombin
Pemeriksaan darah lengkap
USG hati sistim bilier
Pemeriksaan radioisotop sistim vena porta dan ginjal
Endoskopi
Esofagogram
Mencari penyebab hepatitis kronik
Biopsi hati
Pemeriksaan sebelum operasi
Pemeriksaan radiologik sistim vena porta dan cabang-cabangnya atau
portografi umbilikal
Venogram hepatik retrograd
Venocavogram interior
Venografi porta transhepatik perkutan
Dikutip dari Mowat
(2)
Pencitraan sebagai salah satu penunjang diagnostik hiper-
tensi portal juga memegang peranan penting untuk mendeteksi
secara akurat tanda-tanda klinis serta komplikasi hipertensi
portal
(7)
. Pemeriksaan untuk melihat kelainan anatomis sistim
porta diperlukan untuk melakukan koreksi operatif maupun
transplantasi hati. Untuk hal ini USG Doppler sangat
menolong sedangkan angiografi dan venografi vena splenikus
berguna untuk melihat potensi vena porta dan cabang- cabang-
nya. CT scan tidak lebih unggul dari USG Doppler dalam
melihat vena porta dan kolateralnya. Portografi umbilikus
dapat melihat vena porta dan cabang-cabangnya didalam hati
serta sinusoid hati sedangkan portografi transhepatik jarang
digunakan karena banyak komplikasinya
(1)
.
Pengukuran tekanan vena hepatik dapat menentukan
kelainan intrahepatik bila cara lain merupakan kontraindikasi
dalam pemeriksaan penyebab hipertensi portal, sedangkan
biopsi hati dapat memberikaan informasi tentang diagnosis dan
prognosis terutama hipertensi portal intrahepatik
(2)
.
Sebelum diagnosis pasti dibuat, beberapa keadaan yang
berhubungan dengan splenomegali, lekopeni dan pansitopeni
harus dapat disingkirkan seperti Gaucher disease, Niemann
Pick disease, Letterer Siwe disease dan penyakit-penyakit
dengan infiltrasi pada sumsum tulang dengan leukemia dan sel
neoplastik
(3)
.
Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 43
PENANGANAN
Perdarahan dari varises esofagus yang bermanifestasi
sebagai hematemesis dan melena biasanya berhenti spontan,
tapi perdarahan ulang dapat terjadi
(2,3,5)
. Jika perdarahan masih
tetap berlangsung dapat dipikirkan pemberian transfusi darah
segar, vasopressin, pemasangan pipa lambung untuk pembilas-
an dengan NaCl dingin
(4)
, tetapi peneliti lain menganggap
bahwa pembilasan tidak berarti banyak dalam mengurangi
perdarahan
(5)
. Vasopressin (pitressin) diberikan dengan tujuan
menyebabkan vasokonstriksi arteri splanikus dengan dosis
0,33 unit/kilogram berat badan intraavena selama 20 menit.
Jika perdarahan masih berlanjut, dosis dapat ditingkatkan tiga
kali lipat. Glypressin adalah suatu prekursor pitressin inaktif.
Pada anak-anak, dapat diberikan dengan dosis 2 mg per infus
selama 6 jam. Dikatakan bahwa glypressin ini lebih efektif dari
vasopressin. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian
obat-obatan ini adalah kemerahan pada kulit, kolik abdomen
dan diare.
Apabila dengan cara di atas tidak berhasil dalam
mengatasi perdarahan dapat dipikirkan pemasangan balon
untuk tamponade (Sengstaken-Blackmore). Pemasangan balon
ini sulit dilaksanakan pada anak dan dikuatirkan bisa
menyumbat jalan napas pada waktu dikeluarkan, aritmia
jantung, robeknya esofagus dan refluks darah dari esofagus
sehingga terjadi aspirasi. Apabila tetap tidak berhasil maka
dilakukan ligasi varises. Kebanyakan hipertensi portal ekstra
hepatik dapat teratasi dengan cara-cara ini
(1-5)
.
Gambar 2. Anatomi normal pada hipertensi portal dan pirau porta
(dikutip dari 2).
Penanganan operasi untuk menghentikan perdarahan
masih merupakan kontroversi. Sebenarnya pembuatan pirau
dengan tindakan operasi ini merugikan penderita karena dapat
menurunkan aliran darah ke hati yang akan mengurangi perfusi
jaringan hati yang pada akhirnya akan menyebabkan
ensefalopati porta sistemik. Pembuatan pirau mungkin berguna
pada penderita hipertensi portal ekstrahepatik dengan per-
darahan yang tidak bisa diatasi. Ada dua cara yang akhir-akhir
ini digunakan, yaitu penanganan secara langsung pada
varisesnya (ligasi transesofagal) dan pengalihan aliran darah
dari sirkulasi portal ke sirkulasi sistemik (pintasan portokaval
dekompressi dan selektif). Skleroterapi merupakan pilihan
penanganan awal, tetapi ini biasanya hanya merupakan
penanganan sementara sambil menunggu operasi. Pintasan
untuk dekompressi yang terkenal adalah end to side portocaval
dan pintasan selektif adalah splenorenal distal (gambar 2)
(1-
5,8)
. Pintasan splenorenal distal dibandingkan dengan pintasan
portokaval efeknya sama dalam mencegah perdarahan ulang
tetapi kemungkinan dalam terjadinya ensefalopati lebih rendah
pada pintasan splenorenal distal, selain itu pintasan portokaval
lebih membebani hati setelah operasi. Setelah operasi dapat
terjadi komplikasi kegagalan hati, pnemoni aspirasi dan
sepsis
(2)
.
(a) Anatomi normal hipertensi portal (b) pirau splenorena I distal selektif yang
memperlihatkan (L) hati (S) limpa (K) ginjal (P) vena porta (SV) vena
splenikus (R) vena renalis (IVC) vena kava inferior (CV) vena koronaria.
KEPUSTAKAAN
1.
Wiharta AS. Tatalaksana Hipertensi Porta. Naskah Lengkap Simposium
Konrres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X; Bukitinggi, 1996; 1-7
2.
Mowat AP. Disorders of the portal and hepatic venous system. In Liver
disorders in childhood; 2
nd

ed. London, Boston : Butterworth, 1987;


298-322.
3. Byrne WJ. The gastrointestinaal tract. In : Behrman RE, Kliegman R,
Essentials of pediatrics. Philadelphia : WB Saunders Comp, 1990; 406.
4.
Roy CC, Silverman A, Cozzetto FJ. Portal Hypertension. In : Roy CC et
al, Eds. Pediatric clinical gastroenterology. 2
nd

ed. Saint Louis: The CV


Mosby Comp, 1975; 582-604.
5. Shandling B. Portaal hypertension and varices. In: Behrman RE,
Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC, Eds. Textbook of Pediatrics;
14
th

ed. Philadelphia: WB Saunders Comp, 1993; 1029-30.


6.
Braunwald E, Isselbacher KJ, Petersdorf RG et al. Principles of Internal
Medicine, 11
th

ed. New York, St Louis: McGraw-Hill Book Comp, 1987;


1346-7.
7.
Firman K. Pencitraan sebagai sarana penunjang diagnosis portal. Naskah
Lengkap Simposium Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X;
Bukittinggi, 1996; 8-19.
Penanganan dietetik pada penderita hipertensi portal
tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Terutama setelah
dilakukan operasi, pembatasan diet protein yang ketat harus
dilakukan untuk menghindari kegagalan hati Akut. Jika ter-
dapat asites, diberikan diet rendah garam (kurang dari 500 mg)
dan hidroklortiazid (75 mg/m
2
)
(3,9)
.
8.
Buller HA, Rauws EAJ. Sclerotherapy for oesophageal varices. Naskah
Lengkap Simposium Kongres Nasional Indonesia Ilmu Kesehatan Anak
X; Bukittinggi, 1996; 8-19.
9.
Davidson SS, Pasmore R, Brock JF. Diseases of the Liver, Biliary tract
and Pancreas. In Human Nutrition And Dietetics; 1
st

ed. Edinburgh,
London: Churchill Livingstone, 1973; 410-21

Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Sirosis Hati


dengan Nutrisi Khusus
Sirosis hati merupakan kelanjutan dari penyakit hati menahun, misalnya hepatitis B
atau C yang ditandai dengan perubahan anatomi sel-sel hati menjadi jaringan ikat. Di
samping itu, pasien sirosis hati umumnya mengalami gangguan dalam proses
metabolisme zat menjadi energi. Gejala dan penyulit yang menyertai sirosis hati di
antaranya asites (busung air), anemia, protein energi malnutrisi, mudah infeksi
(gangguan sistem imun), dan ensefalopati hepatik. Penyulit ini menyebabkan kualitas
hidup penderita menurun. Salah satu komplikasi serius yang membutuhkan perhatian
khusus adalah ensefalopati hepatik. Berdasarkan data, diketahui bahwa 40--85%
penderita sirosis hati mengidap ensefalopati hepatik secara subklinis. Demikian
dikatakan Prof. Dr. Nurul Akbar, SpPD-KGEH dalam seminar awam bertema
"Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita Sirosis Hati dengan Nutrisi Khusus", pada 6
April 2002, di Jakarta.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa deteksi ensefalopati hepatik subklinis dapat dilakukan
dengan NCT (Number Connection Test). Pada tes ini penderita diminta
menghubungkan angka 1--25, kemudian dinilai lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tes tersebut. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan, semakin tinggi tingkat kemungkinan ensefalopati hepatik. Sementara
itu, ensefalopati hepatik klinis berdasarkan derajat keparahan dibagi menjadi 4
stadium. Stadium 0 menunjukkan tidak adanya gangguan yang tampak secara klinis,
stadium 1 terjadi gangguan status mental (perubahan tingkah laku dan emosi),
stadium 2 pasien cepat mengantuk yang menandai mulai terjadi gangguan saraf
yang lebih lanjut, stadium 3 kesadaran pasien tambah menurun, dan akhirnya pada
stadium 4 pasien kehilangan kesadaran (koma).

Koma hepatik terjadi karena beberapa kondisi, terutama adanya hiperamonia akibat
gangguan detoksifikasi oleh hati dan karena adanya gangguan keseimbangan antara
asam amino rantai cabang dengan asam amino aromatik.

Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai
cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai
sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk
metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua
sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan
bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak,
stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada
keadaan koma.

Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup
kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet
rendah protein dan rendah garam.

Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu sisi,
diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan hiperamonia
yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein rendah maka
kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi yang akan
memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan nutrisi khusus
hati, yaitu Aminoleban Oral. Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta
diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan
mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan
mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya
hiperamonia. Pada penderita sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian
nutrisi khusus ini terbukti mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi
perawatan.

Dengan nutrisi khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga, mencegah
memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga
kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. (Hidayati W.B.)
HASIL PENELITIAN
Sonografi Sirosis Hepatis
di RSUD Dr. Moewardi
Suyono, Sofiana, Heru, Novianto, Riza, Musrifah
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta
PENDAHULUAN
Penyakit hepar terutama hepatitis yang disebabkan oleh
virus (terutama virus hepatitis B) saat ini melanda dunia baik di
negara maju maupun negara berkembang. Munculnya virus
baru yaitu virus Hepatitis E menimbulkan hepatitis akut yang
sporadik terutama pada usia dewasa (60%).
Sirosis hepatis sebagian besar disebabkan oleh hepatitis
(1)
penderitanya juga tidak pernah berkurang terutama dari
pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003.
SIROSIS HEPATIS
Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul
(2)
.
Etiologi
Penyebab yang pasti sampai sekarang belum jelas; di
antaranya
(3)
:
-
Faktor kekurangan nutrisi
-
Hepatitis virus
-
Zat hepatotoksik
-
Penyakit Wilson
-
Hemokromatosis
Gejala klinis
Gejala dini samar dan nonspesifik berupa kelelahan,
anoreksia, dispepsia, flatulen, konstipasi atau diare, berat badan
berkurang, nyeri tumpul atau berat pada epigastrium atau
kuadran kanan atas
(1)
.
Manifestasi utama dan lanjut sirosis merupakan akibat dari
dua tipe gangguan fisiologis
:
a.
Gagal sel hati
-
Ikterus
-
Edema perifer
-
Kecenderungan perdarahan
-
Eritema palmaris (telapak tangan merah)
-
Angioma laba-laba
-
Fetor hepatikum
-
Ensefalopati hepatik
b.
Hipertensi portal
-
Splenomegali
-
Varises oesofagus dan lambung
-
Manifestasi sirkulasi kolateral lain
Sedang asites dapat dianggap sebagai manifestasi gagal
hepatoseluler dan hipertensi portal
(1)
.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan uji biokimia hati yang dapat
menjadi pegangan dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis:
a.
Darah
Anemia normokrom normositer, hipokrom normositer,
hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
b.
Kenaikan kadar enzim transaminase (SGOT/SGPT)
(2)
c.
Albumin dan globulin serum
Perubahan fraksi protein yang paling sering terjadi pada
penyakit hati adalah penurunan kadar albumin dan
kenaikan kadar globulin akibat peningkatan globulin
gamma
(2)
.
d.
Penurunan kadar CHE
e.
Pemeriksaan kadar elektrolit, penting pada penggunaan
diuretik dan pembatasan garam dalam diet.
f.
Pemanjangan masa protrombin,
g.
Peningkatan kadar gula darah
h.
Pemeriksaan marker serologi petanda virus seperti
HBsAg/HBsAb, HBeAg/HbeAb, HBv DNA penting untuk
menentukan etiologi sirosis hepatis.
Pemeriksaan fisik
a.
Hati: Biasanya membesar pada awal sirosis, bila hati
mengecil artinya prognosis kurang baik..Konsistensi hati
biasanya kenyal, tepi tumpul dan nyeri tekan.
b.
Splenomegali.
c.
Ascites dan vena kolateral di perut dan ekstra abdomen
d.
Manifestasi di luar perut : Spider nevi di tubuh bagian atas,
bahu, leher, dada, pinggang, caput medusae
(2)
.
VIRUS HEPATITIS B
Struktur virus
Virus hepatitis B (HBV) termasuk famili hepadnaviridae
dan genus hepadnavirus, virus DNA, serat ganda parsial
(partially double stranded), panjang genom sekitar 3200
pasangan basa, mempunyai envelope/selubung
(7)
. Protein yang
dibuat oleh virus yang bersifat antigenik serta memberi
gambaran tentang keadaan penyakit adalah :
Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006
22
a.
Antigen permukaan/surface antigen/HbsAg..
b.
Antigen core/core antigen/HbcAg.
c.
Antigen e/ e antigen/HbeAg
(7)
.
Skema partikel virus hepatitis B
Mekanisme hipotetik penempelan VHB pada hepatosit
Mekanisme masuknya virus hepatitis B masih
diperdebatkan. Dilaporkan bahwa suatu reseptor poli-HAS
atau disebut poli-HAS receptor (pAR) berperan dalam fase
penempelan
(8)
.
Mekanisme imunologi pada infeksi virus hepatitis B
Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik. Pada infeksi akut,
terjadi infiltrasi sel-sel radang antara lain limfosit T yaitu sel
NK dan sel T sitotoksik. Antigen virus terutama HbcAg dan
HbeAg yang diekspresikan di permukaan hepatosit bersama-
sama dengan glikoprotein HLA class I, mengakibatkan
hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk lisis oleh limfosit
T
(2)
. Selain itu sel hati yang mengalami infeksi virus hepatitis B
ternyata dapat memproduksi sejenis protein Liver Specific
Protein yang bersifat antigenik
(9)
. Perubahan-perubahan akibat
interferon akan menimbulkan suatu status antiviral pada
hepatosit yang tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi selama
proses lisis hepatosit yang terinfeksi
(2,10)
.
Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronis
menunjukkan bahwa respon imunologi seluler terhadap infeksi
virus tidak baik
(2)
.
Kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit
T dapat terjadi akibat berbagai mekanisme :
a.
Fungsi sel T supresor (Ts) yang meningkat.
b.
Gangguan fungsi sel T sitotoksik (Tc).
c.
Adanya antibodi penghambat di permukaan hepatosit.
d.
Kegagalan pengenalan ekspresi antigen atau HLA class I
di permukaan hepatosit
(2)
.
USG PADA SIROSIS HEPATIS
Gambarannya meliputi gambaran spesifik pada organ-
organ hati, lien, dan traktus biliaris.
a.
Gambaran USG pada hati
Terdapat gambaran iregularitas penebalan permukaan hati,
membesarnya lobus kaudatus, rekanalisasi v.umbilikus, dan
ascites. Ekhoparenkim sangat kasar menjadi hiperekhoik
karena fibrosis dan pembentukan mikronodul menjadikan
permukaan hati sangat ireguler, hepatomegali; kedua lobus hati
mengecil atau mengerut atau normal. Terlihat pula tanda
sekunder berupa asites, splenomegali, adanya pelebaran dan
kelokan-kelokan v. hepatika, v. lienalis dan v. porta (hipertensi
porta). Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan
berkelok-kelok
(5,6)
.
b.
Gambaran USG pada lien
Tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya
jaringan fibrosis, pelebaran diameter v.lienalis serta tampak lesi
sonolusen multipel pada daerah hilus lienalis akibat oleh
adanya kolateral
(5)
.
c.
Gambaran USG pada traktus biliaris.
Sludge (lumpur empedu) terlihat sebagai material
hiperekhoik yang menempati bagian terendah kandung empedu
dan sering bergerak perlahan-lahan sesuai dengan posisi
penderita, jadi selalu membentuk lapisan permukaan dan tidak
memberikan bayangan akustik di bawahnya. Pada dasarnya
lumpur empedu tersebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat
dan kristal-kristal kolesterol sehingga mempunyai viskositas
yang lebih tinggi daripada cairan empedu sendiri. Dinding
kandung empedu terlihat menebal. Duktus biliaris
ekstrahepatik biasanya normal
(4)
.
METODA PENELITIAN
Data didapatkan dari penderita dengan tanda klinis, data
laboratoris dan USG sebagai pemeriksaan penunjang. Data
dikumpulkan secara retrospektif dari permintaan USG hepar di
bagian Radiologi RSUD Dr.Moewardi Surakarta sejak 2001-
2003. Data tersebut diolah dan diklasifikasikan berdasarkan
umur, jenis kelamin, keterangan klinik dan hasil USG hepar.
HASIL PENELITIAN
Data diambil antara tahun 2001-2003 di bagian Radiologi
RSUD Dr.Moewardi Surakarta Hasil penelitian dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Hasil pemeriksaan klinis
Tabel 1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin penderita
Jenis kelamin
Jumlah
%
Laki-laki
Wanita
44
18
71
29
Total 62 100
Tabel 2. Distribusi berdasarkan umur penderita
Umur (th)
Jumlah
%
31 40
41 50
51 60
61 70
71 80
81 90
91 100
10
5
27
18
1
-
1
16
8
43
29
2
2
Total 62 100
Tabel 3. Gajala klinis (n=62)
Keterangan klinik
Jumlah
%
Ikterik
Hematemesis
Ascites
Hepatomegali
Splenomegali
Mekena
58
8
37
19
33
10
93
13
60
30
54
16
Hasil pemeriksaan USG Abdomen
Tabel 4. Ascites
USG Abdomen
Jumlah
%
Ada
Tidak
54
8
87
13

SINDROMA HEPATORENAL
SRI MARYANI SUTADI
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah diketahui bahwa sindroma
hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati
dengan
ascites.
Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gejala klinis dan bukti histologis yang
diketahui
sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut.
1,2
.
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi
tanpa ditansai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal
tersebut
ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka
fungsi
ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR
dilakukan
transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal.
3
.
Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan
sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan
dalam
terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alsan ini SHR merupakan kumpulan
patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungan antara sirkulasi sistemik dan
fungsi
ginjal serta pengaruh factor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi
ginjal
4,5
.
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang
masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis
dengan
asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histology ginjal yang
nyata
pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek
klinis
fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal
“fungtional rernal failure”.
Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak
berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindroma
ini
merupakan keadaan terminal dan orreversible pada sirosis dengan asites
1
. Pada
tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati
bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan protein uria dan ekskresi
NA
+
yang rendah.
Defenisi
Defenisi Sindroma Hepato Renal yang diusulkan oleh International Ascites
Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati
kronik
dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan
fungsi
ginjaldan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas system
vasoactive endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan
laju
filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi
arteriol
yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan
hipotensi.
Meskipun sindroma hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan
sirosis
lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau
penyakit
hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut3.
Insiden
Dagher dkk
4,6
melaporkan insiden SHR terjadi kira-kira 4% pada penderita
sirosis hati dekompensata yang dirawat, dan kemungkinan mencapai 18%
pada
tahun pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima. Gines dkk
3
Page 2
©2003 Digitized by USU digital library
2
melaporkan insiden SHR pada penderita sirosis hati dengan ascites yang
dirawat
mencapai 10% kasus.
Patofisiologi
Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang
reversible dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata
pada
penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk
arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru
ultrasonografi
Doppler. Pemakaian beberapa teknik ini mendapatkan beberapa perubahan
dalam
perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis dengan ascites,
dan
SHR adalah akhir dari spectrum ini 2,3,7. Penyebab utama dari vasokonstriksi
ginjal
ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak factor
antara
lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta,
peningkatan
vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di
ginjal
(Tabel 1)
2,5
.
Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan
pengisian
sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik.
Pengurangan
pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan
vasokonstriktor
(seperti rennin angiotension dan system saraf simpatis)1.
Tabel 1. Faktor-faktor Vasoaktif secara potensial berperan dalam pengaturan
perfusi
ke ginjal pada pendeerita sindroma hepatorenal
3
.
Vasokonstriktor
Angiotension II
Norepineprine
Neuropeptide Y
Endothelin
Adenosine
Cysteinyl leukotrines
F2-isoprostanes
Vasodilators :
Prostaglandins
Nitric oxide
Natriuretic peptides
Kallikrein – kinin system
Vaktor Vasokonstriktor
3,4
Sistem rennin – angiotension dan system saraf simpatik, beberapa dari
system utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal
berperan
sebagai mediator utama vasokonstriksi ginjal pada sindroma hepatorenal.
Aktifitas
dari system vasokonstruksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan
ascites,
terutama penderita dengan sindroma hepatorenal dan berkolerasi terbalik
dengan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretic atau
vasopressin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi non osmolar,
walaupun
sering timbul hiponatremia.
Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endothelin adalah
substansi
vasokonstriktor lain dalam plasma meningkat pada SHR, kemungkinan karena
penambahan produksi peptide dalam hati atau dalam sirkulasi splandik yang
hubungannya dengan vasokonstriksi ginjal masih controversial. Soper dkk
melaporkan pada tiga penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal
setelah
pemberian antagonis spesifik reseptor endhothelin –A. Beberapa penelitian
melaporkan peningkatan produksi cysteinyl leukotrienes sebagai
vasokonstriksi ginjal
yang kuat pada penderita SHR.
Page 3
©2003 Digitized by USU digital library
3
Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin,F2 – isoprostanes dapat juga
sebagai
factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi
mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin
dan
sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan
SHR
timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga katrena
peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun
peran
endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan
perdebatan.
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada
binatang memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal
memaikan peran yang penting dalam
mempertahankan perfusi ginjal dengan
meelindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor
vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs).
PGs
membentuk sitem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek
peningkatan
kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sitemiknya. Bukti yang paling
kuat
menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada
sirosis
dengan ascietes diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid
aanti
inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal. Pemberian
NSAIDs,
sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita
sirosis hati dengan ascites
menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada
penderita
dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada
penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit
atau
sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal
lainnya
yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada
sirosis
adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidal
langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi
ginjal
3,4. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal
pada
sirosis adalah natriuretic peptide. Gulberg dkk menemukan peningkatan
jumlah C
Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal
fungsional,
selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan
ekskresi
natrium urin,CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium.
Penemuan
ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan
berperan
dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan dari
mekanisme vasokonstriktor ginjal
8
.
Sistem saraf simpatis
4
Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini
telah
diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin
di
pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi
pada
arteiol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR
dan
meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.
Patogenesia
3,9
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang
timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal
berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang
berhubungan dengan gangguan system hemodinamik. Teori ini berdasarkan
hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang
berbeda
yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan
Page 4
©2003 Digitized by USU digital library
4
penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang
dapat
menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang
diperlihatkan
bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua
menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan
patogenetik
dalam system hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari pengurangan
pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa kekurangan
pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang bukan
sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang
luar
biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan
aktifasi
yang progresif dari mediator baroreseptor system vasokonstriktor (Gambar1),
yang
mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal
tetapi
juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek
vasokonstriktor
dan vasodilasi dapat bertahan, kemingkinan karena adanya rangsangan
vasodilator
local yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat
terjadi
sebagai akibat aktifitas yang maksimal vasokonstriktor sistemik yang tidak
dapat
dihalangi oleh vasodilator, penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan
produksi
vasokonstriktor ginjal atau keduanya.
Sirosis hati
Vasodilatasi arteri splanik
Arterial underfilling
Sintesa factor vasodilator
Baroreseptor
Sntesa factor vasokonstriktor
Intra renal
Aktifitas factor vasokonstriktor
intra renal
Sistemik
Vasokonstriksi renal
SHR
Gambar 1 : Patogenesa sindroma hepatorenal.
9
Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal
ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara
perlahan
atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang
menimbulkan ascites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh
ekresi
natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri –
anuria ).
Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang
rendah,
peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah
sistemik
(Tabel 2)
3,4
.
Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga dengan analisa urin
dalam
keadaan normal 10.
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu
1-4,11
:
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Page 5
©2003 Digitized by USU digital library
5
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood
urea nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau
penurunan
kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam
beberapa hari
hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang
progresif
jumlah urin,
Tabel 2. Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindroma
hepatorenal
3
.
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktifasi system vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic shunting
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi
retensi natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam
kondisi
klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus,
ensefalopati
atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan
hepatitis
alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira
setengah
kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor presipitasi yang diketahui,
kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang
erat
dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri,
perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis
(SBP)
adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira
35%
penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I.
SHR Tipe I adalah komplikasi dengan prognostic yang sangat buruk pada
penderita
sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata wktu harapan hidup
penderita
ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari lamanya hidup disbanding
dengan gagal
ginjal akut dengan penyebab lainnya.
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju
filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl).
Tidak
seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi
hati
relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretic.
Diduga
harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe
I.
Diagnosis
3,4,6
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang
dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic
Criteria
of Hepatorenal Syndrome (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasarkan International Axcites
Club
4
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi
portal.
Page 6
©2003 Digitized by USU digital library
6
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
ltr
dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriterua mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR,
sedangkan
criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR. Beberapa
paktor
predictor untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites dapat
dilihat
pada table 4.
Tabel 4. factor predictor timbulnya SHR pada sirosis dengan ascites
3
Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum
Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan
Ekskresi natrium urin yang rendah
Hipotensi arterial
Aktifitas plasma rennin meninggi
Kadar norepinefrin plasma tinggi
Refrakter ascites
Tidak ada hepatomegali
Peningkatan vascular resistive index ginjal
Penatalaksanaan
1-3
Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada
penderita sirosis dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal
ginjal
pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam
jumlah
besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian
antibiotik
untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk
timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa
modalitas
terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit
atau
tidak ada sama sekali.
Vasodilator
4
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator, terutama PGs telah dipakai pada
penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler
ginjal.
Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs
oral
aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan
fungsi
renal.
Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan
vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamine selama 24 jam hanya
Page 7
©2003 Digitized by USU digital library
7
menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa
perubahan
yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endhothelin
spesifik
segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.
Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan dengan
pengurangan pengisian sirkulasi arteri , vasokonstriksi telah digunakan dalam
usaha
memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan
menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian
vasokonstriktor segera (
norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites
dan
SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan
arteri
dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan
pada
penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang
singkat,
hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah
ginjal
meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi
sistemik
mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi
ginjal
atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor
12,13
. Kombinasi pemberian
vasokonstriktor
(ornipressin,
norepenephrine)
dan
vasodilator
ginjal
(dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal
14
.
Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin
dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi
ginjal dan
menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga
hari
pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang
berlebihan dari rennin – angiotension dan system saraf simpatis, peningkatan
kadar
natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal.
Pemberian
ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai
dengan
peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat
digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi, pada beberapa pasien hal ini
tidak
dilanjutkan karena komplikasi iskemik
15
. Angeli dkk memberikan Midodrine dan
Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan
didapatkan
penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita
bertahan
hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati dan yang lain
meninggal setelah 75 hari karena gagal hati
16
.
Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pada masa yang lau di
dalam pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis.
Pemasangan shunt
menyebabkan aliran yang terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum
ke
sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac
output)
dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari
peritoneovenous
shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari
aktifitas
system
vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus
memperbaiki
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan
rasionalisasi tindakan pada penderita SHR 3.
Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan
terapi standar dalam pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan
mortalitas
yang tinggi, dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien
dengan
penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode
nenbedah dari
kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).
Keuntungan metode ini disbanding dengan operasi portocaval shunt adalah
penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada
pasien yang
Page 8
©2003 Digitized by USU digital library
8
mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan
obstruksi
dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung
memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien
sirosis
hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati.
Penelitian
diatas
menunjukkan bahwa TIPS
memberikan banyak
keuntungan pada
penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih
memerlukan
penelitian kontrol untuk dapat merokomendasikan
3
.
Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan
TIPS
dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan
system
saraf simpatis
17
.
Dialisa
1,18
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada penatalaksanaan
penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat
meningkatkan
fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi
efektifitas
dari sialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol
menunjukkan
efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama
pengobatan
dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat
penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan
SHR
yang sedang menunggu transplantasi hati.
Transplantasi Hati
3,4,19,20
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi
ginjalnya.
Tindakan transpalntasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis
buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat
diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus
mulai
mengalami perbaikan.
Kesimpulan
1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak
hanya
gagal ginjal, tapi juga gangguan system hemodinamik dan aktifitas system
vasoaktif endogen.
2. Patogenesa SHR belum diketahui pasti, tapi diduga pengurangan pengisian
sirkulasi arteriol sekunder terhadap sirkulasi vasodilasi arteriol di splanik,
gangguan keseimbangan antara factor vasokonstriktor dan vasodilator.
3. Diangnosa SHR berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic
Criteria of
Hepatorenal Syndrome.
4. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati
5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali
normal
atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.
Kepustakaan
1. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Liver Transplantation
2000;6 (3) http://hepatology.aasldjournals.org/scripts/om.dll/serve?article.htm
2. Platt
JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography: A
Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure in
Liver
Disease. Hepatology 1994;20:362-9.
3. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol
1999;10:1833-9
4. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
5. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of
Refractory
ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology 1996;23:164

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ
hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan
tersebut terjadi karena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi
peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel.
Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan
regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel
parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan
berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal,
tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.

Penyebab sirosis hati beragam. Selain disebabkan oleh infeksi virus


hepatitis B ataupun C, juga dapat diakibatkan oleh konsumsi alkohol yang
berlebihan, berbagai macam penyakit metabolik, adanya gangguan
imunologis , dan sebagainya. Di Indonesia, sirosis hati lebih sering
dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.

Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih dini


atau sudah fase dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi
hati akibat proses hepatitis kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal.
Bila masih dalam fase kompensasi sempurna maka sirosis kadangkala
ditemukan pada waktu orang melakukan pemeriksaan kesehatan
menyeluruh (general check-up) karena memang tidak ada keluhan sama
sekali. Namun, bisa juga timbul keluhan yang tidak khas seperti merasa
badan tidak sehat, kurang semangat untuk bekerja, rasa kembung, mual,
mencret kadang sembelit, tidak selera makan, berat badan menurun, otot-
otot melemah, dan rasa cepat lelah. Banyak atau sedikitnya keluhan yang
timbul tergantung dari luasnya kerusakan parenkim hati. Bila timbul
ikterus maka berhenti sedang terjadi kerusakan sel hati. Namun, jika
sudah masuk ke dalam fase dekompensasi maka gejala yang timbul
bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati dan adanya hipertensi
portal.

Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunya


barat badan, kembung, dan mual. Kulit tubuh di bagian atas, muka, dan
lengan atas akan bisa timbul bercak mirip laba-laba (*spider nevi).
Telapak tangan bewarna merah (eritema palmaris), perut membuncit
akibat penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites),
rambut ketiak dan kemaluan yang jarang atau berkurang, buah zakar
mengecil (atrofi testis), dan pembesaran payudara pada laki-laki. Bisa
pula timbul hipoalbuminemia, pembengkakan pada tungkai bawah sekitar
tulang (edema pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang
bermanifestasi sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan siklus
haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat menyebabkan
gangguan kesadaran akibat encephalopathy hepatic atau koma hepatik.

Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal
terjadi kenaikan tekanan dalam sistem portal yang lebih dari 15 mmHg
dan bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan limpa membesar
(splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut
disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan
sudah terbentuknya sistem kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan
pembuluh darah vena esofagus atau cardia (varices esofagus) yang dapat
menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau berak darah (melena).
Kalau pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bisa timbul
syok (renjatan). Bila penyakit akan timbul asites, encephalopathy, dan
perubahan ke arah kanker hati primer (hepatoma).

Diagnosa yang pasti ditegaskan secara mikroskopis dengan melakukan


biopsi hati. Dengan pemeriksaan histipatologi dari sediaan jaringan hati
dapat ditentukan keparahan dan kronisitas dari peradangan hatinya,
mengetahui penyebab dari penyakit hati kronis, dan mendiagnosis apakah
penyakitnya suatu keganasan ataukah hanya penyakit sistemik yang
disertai pembesaran hati.

Pemeriksaan laboraturium pada sirosis hati meliputi hal-hal berikut.

1. Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun


(leukopenia), dan trombositopenia.

2. Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel


yang rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif.

3. Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.


4. Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan
sel hati.

5. masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi


hati.

6. pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan


ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen.

7. Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan


penyebab sirosis hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA,
dan sebagainya.

8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau
>500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan
yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain


ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur
barium untuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi untuk
melihat besar dan panjang varises serta sumber pendarahan, pemeriksaan
sidikan hati dengan penyuntikan zat kontras, CT scan, angografi, dan
endoscopic retrograde chlangiopancreatography (ERCP).

Pengobatan tergantung dari derajat kegagalan hati dan hipertensi portal.


Bila hati masih dapat mengkompensasi kerusakan yang terjadi maka
penderita dianjurkan untuk mengontrol penyakitnya secara teratur,
istirahat yang cukup, dan melakukan diet sehari-hari yang tinggi kalori
dan protein disertai lemak secukupnya. Dalam hal ini bila timbul
komplikasi maka hal-hal berikut harus diperhatikan.

1. Pada ensefaopati pemasukan protein harus dikurangi. Lakukan


koreksi faktor pencetus seperti pemberian kalium pada
hipokalemia, pemberian antibiotik pada infeksi, dan lain-lain.

2. apabila timbul asites lanjut maka penderita perlu istirahat di


tempat tidur. Konsumsi garam perlu dikurangi hingga kira-kira 0.5
g per hari dengan botol cairan yang masuk 1.5 1 per hari.
Penderita diberi obat diureti distal yaitu Spronolakton 4x25 g per
hari, yang dapat dinaikkan sampai dosis total 800 mg perhari. Bila
perlu, penderita diberikan obat diuretik loop yaitu Furosemid dan
dilakukan koreksi kadar albumin di dalam darah.

3. Pada pendarahan varises esofagus penderita memerlukan


perawatan di rumah sakit.

4. Apabila timbul sindroma hepatorenal yaitu terjadinya gagal ginjal


akut yang berjalan progresif pada penderita penyakit hati kronis
dan umumnya disertai sirosis hati dengan asites maka perlu
perawatan segera di rumah sakit. Keadaan ini ditandai dengan
kadar urea yang tinggi di dalam darah (azotemia) dan air kencing
yang keluar sangat sedikit (oliguria).
Abstrak Abstract

Sirosis hepatis yang merupakan Cirrhosis hepatic as an endpoint


suatu tahap akhir dari hepatitis of chronic liver failure was
kronik termasuk masalah determine as a current medical
kesehatan yang cukup penting problems. Several improvement
saat ini. Akan tetapi, sampai saat methods had conducted with
ini belum ada suatu terapi yang unsuccesful result. Actually liver
dapat memberikan hasil secara trasnplantation has a promising
efektif. Transplantasi sel menjadi result, but there’s so many
alternatif baru, mengingat adanya technical difficulities (include “how
kemungkinan sel hepatosit dapat to get a donor?”, compatibility,
ditransplantasikan dan and surgery requirements) which
berintegrasi dengan jaringan inhibits wide range acceptance of
hepar resipien. Perkembangan this techniques.
teknis medis saat ini menunjukkan Cytotransplantation was
bahwa transplantasi sel hati dettermine wheter hepatocytes
secara intra portal mulai dilakukan could transplanted and integrated
untuk mensubtitusi jaringan hepar with liver parenchyma in portal
yang telah rusak. Hanya saja, zone. The recent focus on
teknik trasnplantasi sel intra porta hepatocytes transplantation as an
yang telah dilakukan memiliki alternative therapy for cirrhosis
beberapa kelemahan, terutama hepatic has heightened interest in
terkait dengan terjadinya nekrosis the reversal of cell transplantation
di jaringan hepar resipien karena using intra portal infusion.
terbentuknya oklusi di sepanjang Meanwhile a conventional
pembuluh porta. teckniques had several problems
like necrotic spread caused by an
Tingkat ketahanan hidup sel occlution. Locus transplant
hepatosit donor di daerah barunya viability rate also poor and
juga sangat minim sehingga contribute as an important failure
mempengaruhi tingkat parameter. We try to introduce a
keberhasilan transplantasi intra novel methods and cyto
porta. Kami berupaya untuk transplantation equipment
menyajikan suatu metode baru (Hepatocyte Cytotransplantator) to
beserta alat bantunya untuk cut some impairment caused by
menyempurnakan proses an old techniques. In our design
transplantasi hepatosit intra porta. hepatocytes cells will colecting,
Metode dan alat tersebut dinamai manipulating, and sending by a
“Hepatosit Sitotransplantator”. comprehensive approach.
Dengan metode ini, upaya Hepatocytes was collected by
penanganan proses transplantasi biopsy surgery and grown in
sel di kendalikan secara CRML-1066 medium. During pre-
komprehensif dan sistematis. transplantation process
Bahan baku sel hepatosit yang hepatocytes will treated by
akan digunakan untuk Nafamostat Mesilate (protease
transplantasi diambil dari subjek inhibitor) as a cytoprotective. To
transplan (autotransplan) dengan send the hepatocytes into portal
cara biopsi terarah dengan area we use liquid pressure from
bantuan USG. Sel sampel recipient own blood flow. Artificial
dibiakkan dalam media kultur closed blood circulation has
CRML-1066 (Mediatech) dan conducted by using inlet-outlet
mendapat proteksi seluler dari needle connected to silicon
Nafamostat Mesilate (suatu tubing. Blood pressure in 3.2x1.6
protease inhibitor). Selanjutnya, mm diameters silicon tubing will
sel hasil kultur akan dikirim enhancing by peristaltic pump to
kembali ke hepar resipien dengan conduct a higher pressure. Blood
bantuan tekanan alir yang berasal will temporary collecting in
dari aliran darah resipien. Untuk multiport ejector which acted as a
mendapatkan tekanan alir
tersebut, didesain suatu sirkulasi mixer too. Hepatocyte cells from
vaskular tertutup dengan culture flask had to move to first
menggunakan jarum inlet-outlet syringe pump and pushed to joint
yang terhubung dengan silicon with transporter blood. Supporting
tubing berdiameter 3,2x1,6 mm. agent like anti clumping reagent
Untuk membantu meningkatkan (EGTA), anti coagulant (EDTA),
tekanan intra tuba, ditambahkan and growth factors (HGF, IGF-1,
sebuah pompa peristaltis untuk and VEGF) has been enriched
mendorong darah memasuki from second syringe pump and
multiport ejector yang sekaligus combine together with hepatocyte
berfungsi sebagai mixer. Sel cells in mixer chamber. After all,
hepatosit yang telah dipindahkan mix solution will facing a
dari botol kultur ke dalam pompa reciprocating vibration conducted
syringe akan didorong menuju by a micro vibrator laid under
multiport ejector untuk bertemu mixer, to derive hepatocytes
dengan darah dari sirkulasi become a single cell. Filtration by
tertutup. Sementara itu, pompa micro filter with 80 m porus also
syringe II akan mengirimkan conducted to keep hepatocytes as
larutan anti penggumpalan sel a single, before it goes to portal
(EGTA), anti koagulan (EDTA), vein through silicon tubing and
serta faktor-faktor pertumbuhan outlet needle. To keep hepatocyte
(HGF, IGF-1, dan VEGF) ke cell will always in a condusive
dalam multiport ejector. Larutan environment, thermal regulation
yang telah bercampur tersebut was provided in our methods
selanjutnya akan mengalami using a water jacket which
manipulasi getar resiprokal connected to a water bath which
melalui micro vibrator yang supply a 370C warm water.
terletak di bawah multiport
ejector/mixer yang dimaksudkan Pre-experimental research has
untuk menghomogenisasi dan shown a promising result, that
mengkondisikan sel hepatosit BUDr labeled transplanted
dalam keadaan tunggal. hepatocytes could grown in rapid
Selanjutnya, suspensi sel proliferate rate in recipient liver
hepatosit-darah-faktor anti Rappaport zone.
penggumpalan-anti koagulan-
faktor pertumbuhan akan difiltrasi Keyword: hepatocyte,
melalui filter mikro dengan hepatocyte-cytotransplantator,
diameter porus 80 m. Pada tahap intra portal, silicon tubing, syringe
akhir, suspensi hepatosit akan pump, multiport ejector, micro
masuk ke pembuluh darah vena vibrator, micro filter, anti clumping,
porta melalui silicon tubing dan anti coagulant, growth factors.
jarum outlet. Untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang kondusif
bagi sel hepatosit, salah satu
upaya yang dilakukan adalah
dengan meregulasi suhu melalui
penggunaan “jaket air” yang
terhubung dengan waterbath
sebagai penyedia air hangat
dengan suhu 370C.

Hasil penelitian pendahuluan


pada subjek goat menunjukkan
minimalnya daerah nekrosis di
hepar resipien dan tingginya
tingkat kolonisasi di daerah
Rappaport hepar yang ditandai
dengan peningkatan ekspresi sel
hepatosit yang berlabel BUDr.
Pada pengecatan HE, terlihat
adanya vaskularisasi baru yang
mendukung pertumbuhan koloni
baru sel hepatosit.

Kata kunci: hepatosit, hepatosit-


sitotransplantator, intra porta,
silicon tubing, pompa syringe,
multiport ejector, micro vibrator,
filter mikro, anti penggumpalan,
anti koagulan, faktor
pertumbuhan.

Pendahuluan

Kerusakan hepar terminal yang termanifestasi dalam bentuk sirosis hepatis


merupakan suatu masalah kesehatan yang belum dapat terselesaikan. Pendekatan
kuratif yang telah dilakukan selama ini adalah dengan mengeradikasi faktor
penyebab terjadinya hepatitis kronik. Hepatitis kronik yang dapat menimbulkan sirosis
hepatis memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda. Secara epidemiologis diketahui
bahwa pada ras kaukasian penyebab utamanya proses autoimun1. Sedangkan pada
ras melanesia-polynesia penyebab utamanya adalah infeksi virus. Hal ini terbukti dari
hasil uji saring HbsAg, di mana jumlah pengidap positif di seluruh dunia adalah
sekitar 300 juta orang (1995), dengan bagian terbesar (sekitar 220 juta orang)
terdapat di daerah Asia2 . Sedangkan di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 11
juta pengidap HbsAg positif (1993). Indonesiapun termasuk daerah endemik dengan
tingkat penularan yang cukup tinggi, yaitu 4 sampai 30%3. Selain hepatitis kronik B,
penyebab lain sirosis hepatis adalah hepatitis kronik C, di mana prevalensi anti-HCV
pada penderita sirosis hepatis di Indonesia pada 1993 berkisar antara 30,8-89,2%4.
Terapi standar yang telah diterapkan selama ini adalah terapi untuk mengeradikasi
virus hepatitis seperti penggunaan interferon dan lamivudine. Masalah yang timbul
adalah belum adanya suatu metode untuk meregenerasi dan merefungsionalisasi
organ hepar yang telah mengalami perubahan morfologi dan fungsi. Sirosis hepatis
ditandai dengan adanya lokus peradangan, nekrosis, daerah-daerah yang
beregenerasi, dan penumpukan jaringan ikat yang difus, sehingga terbentuklah
nodul-nodul yang akan mengganggu aspek fungsional lobulus hepar5. Asupan kuratif
yang paling bermanfaat adalah dengan membuat koloni baru intra hepatik untuk
menjalankan fungsi-fungsi hepar yang terganggu dengan adanya perkembangan
masif proses sirosis.

Terapi yang paling ideal untuk kerusakan hepar terminal saat ini adalah transplantasi
organ hati. Hanya saja, proses transplantasi ini memiliki banyak kesulitan dalam
pelaksanaannya. Kesulitan utama adalah mencari donor yang mau menyumbangkan
heparnya. Tentu saja proses pendonasian ini baru dapat berlangsung pada saat
donor telah meninggal dunia (berbeda dengan ginjal yang dapat didonasikan pada
saat donor masih hidup). Masalah yang tak kalah pentingnya adalah kecocokan
organ donor dengan sistem pertahanan tubuh penerima (kompatibilitas). Masalah
lainnya adalah teknis pemasangan organ hepar ke tubuh penderita yang amat rumit,
mengingat hepar memiliki begitu banyak pembuluh darah yang harus disambung.

Mengingat permasalahan yang dihadapi proses transplantasi cukup berat maka


persentasi penderita kerusakan hepar terminal yang dapat diselamatkan melalui
proses ini terhitung masih sangat kecil. Saat ini, di Amerika Serikat mulai
dikembangkan suatu metode baru yang disebut ELAD (Extracorporeal Liver Assist
Device). Alat tersebut dirancang untuk menggantikan beberapa fungsi hepar seperti
detoksifikasi, metabolisme beberapa jenis asam amino, protein, enzim, faktor
pembekuan darah, dan asam lemak. Penggunaan alat ini mirip dengan alat
haemodialisis (pencuci darah) yang menggantikan fungsi ginjal secara sementara.
ELAD dilengkapi dengan sistem sirkulasi darah eksternal yang akan membawa darah
penderita menuju suatu ruang penyaring yang di dalamnya terdapat sekumpulan sel
hepatosit hasil pengkulturan. Sel hepatosit hasil kultur tersebut melekat di membran
yang akan dilalui oleh darah, sehingga darah akan tersaring dan mengalami
detoksifikasi, penambahan asam amino, asam lemak, ataupun faktor pembekuan
darah6. Hanya saja, penggunaan ELAD bersifat sementara dan sekadar
mensubstitusi beberapa fungsi hepar dan tidak memberikan suatu solusi yang
menyeluruh. Organ hepar yang rusak tetaplah rusak dan penderita harus
mendapatkan terapi ELAD secara berkesinambungan (terus-menerus).

Upaya lain yang mulai dijajaki oleh para ahli hepatologi adalah dengan melakukan
pencangkokan sel hepatosit melalui pembuluh darah vena porta, atau sering disebut
transplantasi intra porta. Proses transplantasi ini dapat mereduksi masalah-masalah
yang terjadi pada proses transplantasi organ. Sifat transplantasi sel hati adalah
autotransplan, di mana sel-sel hepatosit yang akan dicangkok berasal dari organ
hepar penderita sendiri. Masalah lain yang dapat diminimalisir adalah kompatibilitas,
karena sistem pertahanan tubuh tentu tidak akan menyerang “warga negara”-nya
sendiri. Sedangkan kesulitan yang ditemui adalah pencangkokan sel melalui
pembuluh darah vena ini menimbulkan oklusi (sumbatan) di ujung-ujung pembuluh
darah. Sumbatan tersebut akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (pembusukan
jaringan) akibat kurangnya asupan oksigen di daerah pasca sumbatan. Keadaan ini
terjadi akibat proses transplantasi sel dilakukan menggunakan jarum suntik biasa
berukuran besar. Pada metode yang lebih canggih digunakan French pediatric
feeding tube no 8 yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi untuk mendorong
masuknya sel-sel hepatosit ke dalam vena porta. Turbulensi yang terjadi dan
sempitnya volume ruang dalam jarum akan mengakibatkan sel-sel hati berkelompok
(clumping). Selaian itu, ikatan antar sel yang kuat dengan diprakarsai oleh molekul
cadherin akan menyebabkan gumpalan sel bertambah besar dan tersangkut di
pembuluh darah sebelum sampai di daerah sasaran. Kesulitan lain adalah gagalnya
sel-sel hati bertumbuh di tempat barunya. Keadaan ini terjadi karena lemahnya
kondisi sel akibat perlakuan penanaman serta kurangnya dukungan biokimiawi dan
fisis dari lingkungan sekitar. Dukungan biokimiawi yang dibutuhkan sel untuk
membentuk koloni baru adalah adanya faktor-faktor pertumbuhan, sedangkan
dukungan fisis adalah adanya jaringan pembuluh darah baru (neo vascularisasi) yang
dapat menjamin asupan nutrisi dan oksigen. Kesulitan lain yang tak kalah penting
adalah menjaga kekuatan hidup (viabilitas) sel-sel hati yangt akan di cangkokkan.

Hepatosit Sitotransplantator

Berdasar pengamatan terhadap berbagai kendala trasnplantasi sel hati di atas maka
sebuah tim gabungan dari berbagai institusi dan ilmuwan independen di Bandung
telah mendesain suatu alat dan metode transplantasi sel hati yang disebut “Hepatosit
Sitotransplantator”. Setelah melalui serangkaian uji coba dan proses registrasi paten,
maka cetak biru desain alat dan protokol sementara metode transplantasi telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan. Adapun secara prinsip metode transplantasi
sel hati ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Proses pengambilan sel hati normal dari penderita sebagai bahan baku kultur
dilakukan dengan teknik biopsi terarah dengan panduan gambar USG dan
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi.

2. Proses pengkulturan sel menggunakan media CRML-1066 (Mediatech)


dengan proteksi antibiotik Gentamisin dan anti mikotik Fungizone. Suhu
eraman ideal adalah 280C.

3. Pembedahan mikro (laparotomi) untuk memasang jarum inlet di vena post


hepatic dan jarum outlet di vena porta.

4. Pengiriman sel hati menuju daerah portal dengan bantuan alat “Hepatosit
Sitotransplantator”.

Alat “Hepatosit Sitotransplantator” memiliki rangkain seperti ini (lihat gambar


1 – 4):
1. Jarum inlet yang terhubung dengan silikon tubing dengan diameter 3,2x1,6
mm.

2. Pompa peristaltis yang akan memompakan darah dari saluran silikon inlet
menuju multiport ejector yang berfungsi juga sebagai mixer, melalui saluran
silikon dengan diameter yang sama dengan saluran inlet.

3. Multiport ejector yang berperan sebagai ruang penampung sebelum sel hati
dikirim melalui vena porta.

4. Pompa syringe yang akan memompakan kultur sel untuk bergerak menuju
multiport ejector.

5. Pompa syringe II yang akan memompakan larutan pendukung yang terdiri


dari anti clumping (Ethyl-Eneglycoltetraacetic/EGTA), faktor pertumbuhan
(HGF, IGF-1, dan VEGF), serta antikoagulan (EDTA).

6. Micro vibrator dengan burst firing mode yang berfungsi untuk menciptakan
getaran pengocok agar larutan penunjang dapat bercampur dengan baik
dengan kultur sel dan darah, serta membantu proses separasi sel menjadi
unit tunggal. Vibrator ini bekerja secara reciprocating sekitar 1 mm, dan
dikendalikan dengan modus burst firing mode sehingga getaran yang
ditimbulkan tidak kontinyu, melainkan secara periodik waktu delay (msec)
dan frekuensi (<1 kHz) yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.

7. Filter mikro dengan porus berdiameter 80 mikron untuk menyaring sel hati
agar terlarut dalam bentuk soliter (per unit).

8. Silikon tubing outlet berdiameter 3,2x1,6 mm yang terhubung dengan jarum


outlet.

9. Waterbath yang disetel dengan suhu 370C untuk mensuplai ‘air hangat’ ke
seluruh water jacket dalam suatu sirkulasi tertutup.

10. Water jacket yangt berfungsi untuk menjaga suhu kultur sel, larutan
penunjang, dan darah yang terdapat di dalam pompa syringe dan multiport
ejector untuk tetap berada pada suhu optimal 370C.

11. Controller box, yang berfungsi sebagai alat kendali utama dalam
pengoperasian Hepatosit sitotransplantator.

12. Saat ini sedang dikembangkan pressure sensors berbentuk tubing dari
bahan karet silikon yang dilengkapi dengan panel digital untuk mengetahui
fluktuasi volume cairan darah intratube.

Prosedur Isolasi Sel Hepatosit

Pengambilan sampel untuk bahan baku kultur dilakukan dengan metode biopsi
terarah yang dibantu panduan USG. Penggunaan USG, selain memberikan arahan
yang tepat dalam pengambilan jaringan, juga dimaksudkan untuk memberikan
gambaran awal (morfologis) daerah hepar normal. Sebagian sampel disisihkan untuk
uji sitologi, sementara sebagian lagi mendapatkan perlakuan pencucian dengan
menggunakan Liberase HI (0,47 mg/ml) (Roche, Indianapolis, IN) (suhu kamar/250C)
yang dilarutkan dalam Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) yang mengandung
1U/ml DNAase I (Sigma). Tujuan pencucian ini untuk menghapus kemungkinan
adanya sel-sel lain seperti fibroblast turut serta dalam kelompok kultur hepatosit.
Setelah itu, sel hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung FBS
10%. Lalu, sel hepatosit dipindah ke larutan Eurocollins (Mediatech, Indianapolis, IN)
yang mengandung FBS 20%. Sel hepatosit akan diisolasi dalam prosesor darah
COBE (COBE laboratories, Lakewood, CO) dan disentrifugasi dalam discontinuous
Euroficoll gradient (Mediatech). Sel hepatosit hasil isolasi dieramkan dalam medium
kultur CRML-1066 (Mediatech) yang mengandung FBS 10% dan CO2 5%, dengan
suhu eraman 280C. Setelah 24 jam dilakukan panen dan uji viabilitas dengan
menggunakan ethidium bromide7. Pada penelitian pendahuluan, sel hepatosit
kambing (Goat) mencapai persentasi viabilitas mendekati 90% pada hari pertama.
Kultur dilanjutkan sampai tercapai persediaan garis sel hepatosit (cell line
hepatocytes) yang mencukupi untuk proses transplantasi.

Prosedur Pra-transplantasi

Meskipun sel hepatosit berasal dari calon resipien (autotransplantasi), perlu


dilakukan upaya preventif untuk mencegah terjadinya reaksi penolakan oleh sistem
komplemen. Untuk itu, sebelum ditransplantasikan sel hepatosit yang telah dipanen
dieramkan bersama cairan plasma dari darah resipien yang telah mengandung
Nafamostat Mesilate dengan konsentrasi 3,8 x 10-5 M selama 6 jam dengan suhu
280C. Setelah itu, sel hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung
25 m mol/l HEPES8. Sel hepatosit siap dipindahkan ke tabung pompa syringe secara
steril (di dalam laminar flow).

Pembahasan Teknis

Secara teknis, alat dan metode hepatosit sitotransplantator didesain untuk mengatasi
berbagai kendala dalam proses transplantasi hepatosit.

a. Anti penggumpalan

Kendala utama dalam proses transplantasi sel intra-porta adalah terjadinya


penggumpalan yang berakibat munculnya sumbatan di pembuluh darah (venulae).
Kondisi tersebut dapat terjadi karena adanya aktifitas cell junction yang diperankan
oleh matrik ekstra-seluler yang didominasi oleh cadherin. Untuk mencegah terjadinya
penggumpalan dan pengelompokan sel maka pada metode ini dikembangkan
pendekatan multi aspek dengan bertumpu pada pendekatan biokimiawi, biofisik, dan
struktural. Secara mekanis, terjadinya pengelompokan sel dapat disimpulkan karena
adanya akumulasi sejumlah besar sel dalam waktu dan ruang yang bersamaan. Hal
ini dihindari dengan perancangan sirkulasi eksternal tertutup yang konstituen fasa
cair transporternya berasal dari darah vena post hepatic. Dengan adanya sistem
sirkulasi mirip hemodialisis ini, jumlah sel hepatosit terlarut dapat dimanipulasi dan
diatur pelepasannya dari pompa syringe dengan frekuensi ritmis dalam jumlah
terbatas.

Upaya lain yang dilakukan secara biokimiawi adalah dengan pemberian ethyl
eneglycoltetraacetic (EGTA). EGTA akan mengkelasi ion Ca2+ ekstraselular dan
menghambat asupan intraselular. Dengan demikian, akan terjadi defisiensi kalsium
yang berakibat gagalnya adherens junction yang diperankan oleh cadherin9. Secara
biokimiawi juga telah dipertimbangkan penggunaan antikoagulan EDTA/heparin
untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada saat darah dari resipien bertemu
dengan kultur sel hepatosit di multiport mixer. Pendekatan secara fisis ditunjukkan
dengan penggunaan micro vibrator yang dimaksudkan untuk menstimulasi energi
kinetik sel yang akan berakibat pada teraktifasinya suatu gerakan acak yang
mengacu kepada gerak Brown. Pendekatan fisis terakhir adalah dengan
menggunakan micro filter dengan diameter porus 80 m sesuai dengan ukuran sel
hepatosit primata secara individual (tidak berkelompok), sehingga sel hepatosit yang
akan lolos dari proses filtrasi adalah sel hepatosit tunggal.

b. Viabilitas di lokus transplan

Sel hepatosit yang telah terperangkap di daerah porta hepar memiliki kemungkinan
untuk mati dan bertahan hidup sama besarnya. Untuk dapat bertahan hidup dan
mengembangkan koloni sel baru maka sel hepatosit hasil transplan haruslah
didukung oleh adanya faktor-faktor pemicu pertumbuhan dan faktor pemicu
pembentukan jaringan vaskular baru (untuk asupan nutrisi dan oksigen). Untuk
menunjang viabilitas sel hepatosit di tempat barunya maka pada metode ini
digunakan pengayaan faktor pertumbuhan dengan pemberian Hepatocytes Growth
Factor (HGF) untuk menstimulasi pertumbuhan sel hepatosit baru, dan Insulin like
Growth Factor-1 (IGF-1) yang juga memiliki aktivitas stimulasi proliferasi sel
hepatosit. Sedangkan untuk menunjang terjadinya proses neovascularisasi dilakukan
pemberian Vascular Endothelial Growth factor (VEGF).

c. Perlindungan Sel

Perlindungan terhadap sel hepatosit yang telah dikultur dilakukan dengan


menyediakan suasana lingkungan yang kondusif di alat transplantator, terutama yang
terkait dengan faktor fisis suhu. Suhu di semua bagian alat transplantator (baik
saluran maupun ruangan) disetarakan pada suhu 370C dengan bantuan water jacket
yang terhubung dengan waterbath. Secara biokimiawi, sel hepatosit dilindungi
dengan menggunakan Nafamostat Mesilate yang dieramkan selama 6 jam sebelum
sel ditransplantasikan. Nafamostat Mesilate adalah suatu protease inhibitor yang
memiliki efek sitoprotektif dan dapat menghambat aktivitas faktor komplemen.
Meskipun kultur sel hepatosit berasal dari hepar resipien, tetap perlu diperhatikan
adanya kemungkinan-kemungkinan perubahan struktur antigen permukaannya yang
diakibatkan berbagai proses dalam perlakuan. Pemberian Nafamostat Mesilate
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan sel hepatosit tidak dikenali oleh sistem
pertahanan tubuh resipien.

Capaian Sementara

Hasil uji coba pra-eksperimental dengan menggunakan goat sebagai subjek


penelitian menunjukkan bahwa penggunaan metode dan prototipe “Hepatosit
Sitotransplantator” telah menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hasil autopsi goat 7
hari setelah mendapatkan transplantasi sel hepatosit memperlihatkan tidak adanya
daerah porta yang mengalami nekrosis akibat penyumbatan. Pemeriksaan
histopatologi dari beberapa zona Rappaport memperlihatkan bahwa sel hepatosit
yang telah dilabel BUDr (Merck) telah membentuk neokolonisasi dengan tingkat
proliferasi yang cukup tinggi. Sedangkan hasil pengecatan HE memperlihatkan
adanya beberapa pembuluh darah baru di sekitar koloni sel hepatosit hasil
transplantasi.

Kesimpulan

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas metode dan alat
“Hepatosit Sitotransplantator”.

2. Perlu dilakukan amatan jangka panjang untuk mengevaluasi efek samping


metode ini.

3. Perlu dilakukan penelitian bertingkat dari skala laboratoris sampai dengan uji
klinis.

4. Perlu dipertimbangkan beberapa kriteria faktor fisis yang lebih sesuai untuk
penggunaan pada manusia (misal diameter porus pada filter).

5. Perlu dipertimbangkan penggunaan beberapa faktor penunjang lain yang


dapat membantu meningkatkan viabilitas sel hepatosit dan memperbesar
peluangnya untuk bertahan hidup di lokus transplan.

6. Perlu dipertimbangkan penyempurnaan beberapa teknik dasar yang


menyangkut pengambilan sampel untuk bahan kultur (sebaiknya dapat
meminimalisasi jejas).

7. Perlu dipertimbangkan penggunaan sel hepatosit dari donor lain


(alotransplan atau bahkan xenotransplan).

8. Perlu dipertimbangkan penggunaan selubung mikrokapsul Small Alginate


Poly-L-Lysine bila sel hepatosit donor berasal dari individu lain (alotransplan
atau xenotransplan).
9. Perlu dipertimbangkan untuk mengintrodusir perlakuan pra-transplantasi
pada resipien (mungkin imunosupresi bila bukan autotransplan).

10. Perlu dikembangkan protokol baku beserta requirement parameter bagi calon
donor dan resipien.

Daftar Pustaka

Sirosis Hepatis
PENDAHULUAN

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai


dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya
dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas,
pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul.Distorsi
arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan
makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan
nodul tersebut.

PATOGENESIS

Mekanisme terjadinya sirosis hepatis bisa secara :

- mekanik

- imunologis

- campuran

Dalam hal mekanisme terjadinya sirosis secara mekanik dimulai dari


kejadian hepatitis viral akut, timbul peradangan luas, nekrosis luas dan
pembentukan jaringan ikat yang luas disertai pembentukan nodul
regenerasi oleh sel parenkim hati yang masih baik. Jadi fibrosis pasca
nekrotik adalah dasar timbulnya sirosis hepatis.

Pada mekanisme terjadinya sirosis secara imunologis dimulai dengan


kejadian hepatitis viral akut yang menimbulkan peradangan sel
hati.nekrosis/nekrosis bridging dengan melalui hepatitis kronik agresif
diikuti timbulnya sirosis hati. Perkembangan sirosis dengan cara ini
memerlukan waktu sekitar 4 tahun, sel yang mengandung virus ini
merupakan sumber rangsangan terjadinya proses imunologis yang
berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati.

KLASIFIKASI

1. Klasifikasi Etiologi
- Etiologi yang diketahui penyebabnya

a. Hepatitis Virus Tipe B dan C

b. Alkohol

c. Metabolik ;Hemakromatosis idiopatik, penyakit Wilson,defisiensi


alpha 1, anti tripsin, galaktosemia, tirosinemia kongenital, DM,
penyakit penimbunan glikogen.

d. Kolestasis kronik/sirosis biliar sekunder intra dan ekstrahepatik.

e. Obstruksi aliran vena hepatik ; Penyakit vena oklusif, sindrom Budd


Chiari, perikarditis konstriktiva, payah jantung kanan.

f. Gangguan Imunologis ; Hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif.

g. Toksik dan Obat ; MTX, INH, Metildopa

h. Operasi pintas usus halus pada obesitas

i. Malnutrisi, infeksi seperti malaria, sistosomiasis

- Etiologi tanpa diketahui penyebabnya.

2. Klasifikasi Morfologi

Secara makroskopik sirosis dibagi atas :

1. Sirosis mikronodular
2. Sirosis makronodular
3. Sirosis campuran

3. Klasifikasi Fungsional

Secara fungsi sirosis hati dibagi atas :

1. Kompensasi baik (laten, sirosis dini)


2. Dekompensasi (aktif, disertai kegagalan hati dan hipertensi portal)
* Kegagalan hati/hepatoselular

Dapat timbul keluhan sistemik subjektif berupa lemah, berat badan


menurun, gembung, mual, dll.

Spider nevi/angiomata pada kulit tubuh bagian atas. Muka dan lengan
atas.Eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut berkurang, atrofi
testis dan ginekomastia pada pria.

Sebagai tambahan dapat timbul : ikterus/ jaundice, subfebris, sirkulasi


hiperkinetik dan factor hepatic.Ensefalopati hepatic, bicara
gagok/slurred speech,gangguan koagulasi darah/defisiensi protrombin.
· Hipertensi Portal

Terjadi akibat meningkatnya resistensi portal dan splanknik karena


mengurangnya sirkulasi akibat fibrosis. Atau meningkatnya aliran
portal karena transmisi dari tekanan arteri hepatic ke system portal
akibat distorsi arsitektur hati. Biasanya yang dominant adalah
peningkatan resistensi, lokasi peningkatan resistensi biasa :

- Pre hepatik, biasa congenital, trombosis vena porta waktu lahir.

- Intra hepatik :

Pre sinusoidal (fibrosis da parasit)

Sinusoidal (Sirosis hati)

Post sinusoidal(vena oklusif)

Biasa terdapat lokasi obstruksi campuran

- Post hepatik karena perikarditis konstriktiva, insufisiensi trikuspidal.

DIAGNOSIS

1. Gejala Klinis

- Fase kompensasi sempurna

Pasien merasa tidak bugar/fit, merasa kurang kemampuan kerja, selera


makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, kadang mencret
atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan perasaan
cepat lelah, pengurangan masa otot terutama daerah pektoralis mayor,
kadang kala pasin ditemukan menderita sirosis sewaktu pemeriksaan
rutin medis.

- Fase dekompensasi

Dapat ditegakkan diagnosisnya dengan bantuan pemeriksaan klinis,


laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ditemukannya
eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada dinding perut,
ikterus,edema pretibial, splenomegalli dan asites. Bisa juga pasien
datang dengan gangguan pembekuan darah seperti perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan haid atau haid berhenti. Sebagian pasien dating
dengan gejala hematemesis,hematemesis dan melena atau melena saja
akibat perdarahan varises sofagus. Kadang terjadi gangguan kesadaran
berupa ensefalopati hepatis atau koma hepatik.

Suharyono Soebandri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah


ini sudah dapat menegakkan diagnosis sirosi hepatis dekompensasi
yaitu :
1. Asites
2. Splenomegali
3. Perdarahan varises(hematemesis)
4. Albumin yang merendah
5. Spider nevi
6. Eritema palmaris
7. Vena kolateral

2. Laboratorium
1. Hb menurun, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer
atau hipokrom makrositer.
2. Protombin time (PT), bilirubin, SGOT/SGPT → meningkat
3. Albumin menurun, globulin meningkat.

3. Penunjang
1. USG abdomen
2. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HbsAg/HbsAb,
HbeAg/HbeAb,HBV DNA, HCV RNA untuk menentukan etiologi.
3. Endoskopi.

KOMPLIKASI

1. Kegagalan hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalopati
5. Peritonitis bacterial spontan
6. Sindrom hepatorenal
7. Hepatoma

PENATALAKSANAAN

1. Tindakan segera

Jika perdarahan diyakini dari pecahnya varises, dapat dilakukan


pemasangan SB-tube (balon tamponade, dengan tiga pipa dan dua
balon lambung dan esophagus) dengan syarat tidak boleh lebih dari 24
jam karena dapat menyebabkan nekrosis,laresari dan atau perforasi
esophagus sampai obstruksi jalan nafas akibat migrasi balon ke
hipofaring. Jika tidak yakin darimana sumber perdarahan, dapat
dipakai NG-tube, karena cukup aman,dapat juga menghentikan
perdarahan di esophagus serta dapat memonitor kecepatan
perdarahan.

2. Tindakan lanjutan

Upaya mempertahankan agar perdarahan tetap berhenti atau


mengusahakan berhenti sesegera mungkin,menjelan tindakan
diagnostik dan pengobatan spesifik-definitif dikerjakan. Pada situasi
ini dapat diberikan terapi empirik medikamentosa untuk memperbaiki
keadaan umum dengan alas an yang jelas seperti :

- Pertimbangkan memberikan FFP (plasma segar beku) pada sirosis


hati yang umumnya telah terjadi defisiensi faktor pembekuan, tetapi
tidak perlu jika perdarahan bukan oleh sirosis hati

- Untuk memperbaiki faal hemostasis dapat diberikan injeksi vitamin K


dan asam traneksamat, terutama pada pasien dengan sirosis hati.

- Untuk memperbaiki sirkulasi splanikus(vasodilatasi) sekaligus


menurunkan PP(Portal Pressure)dengan tujuan menghentikan
perdarahan, dapat diberikan obat-obat vasoaktif seperti somatostatin
atau octreotid. Obat vasoaktif dapat diberikan tanpa
mempertimbangkan etiologi hipertensi portal.

- Pemberian obat-obat yang dapat menekan sekresi asam, seperti


antasida p.o, sukralfat p.o, penyekat H2 p.o/.i.v atau penghambat
pompa proton (PPI) p.o atau i.v, diharapkan dapat memfasilitasi
kinerja faktor pembekuan darah.

- Pemberian obat-obat sterilisasi usus, seperti preparat neomisin dan


laktulosa serta tindakan klisma tinggi biasanya bermanfaat mencegah
kemungkinan ensefalopati hepatika.

PROGNOSIS

Tergantung pada penyebab dan keparahan. Untuk sirosis alkoholik,


mortalitas pada orang yang terus minum alcohol adalah 65 % setelah 5
tahun dibandingkan dengan 30 % pada orang yang berhenti minum
alkohol.Penilaian keparahan didapat dinilai dari kelas Child.

Tabel Klasifikasi Child

Angka

Ensefalopati

Bilirubin (µ mol/l)

Albumin (g/l)

PT (dalam detik)
Asites

Tidak ada

<34

>35

<4

Tidak ada

Ringan

34-50

28-35

4-6

Ringan

Jelas

>50

<28

>6

Jelas

Bilirubin (dalam PBC dan kolangitis sklerosans)

<68

68-170

>170

Tambahkan masing-masing <7 9 =" Child">9 = Child C. Kelangsungan


hidup untuk Child C, yang merupakan kelompok dengan prognostik
terburuk, adalah kurang dari 12 bulan.
Sumber : Hayes, Peter, Thomas w. Mackay. “Buku Saku Diagnosis dan
Terapi”. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.1997.
Kirim Teman | Print Artikel

Berita Terkait:

• Hepatitis C, Bisa Ditularkan


Lewat Sisir & Koin Kerokan

• Konsultasi: Infeksi pada Sirosis


Hati

• Cak Nur dan Transplantasi Hati

Jakarta, Kompas
Transplantasi, dalam rangkaian pengobatan penyakit yang menyerang
hati (umumnya diawali hepatitis B dan C) merupakan upaya terakhir
untuk mengembalikan kualitas hidup pasien.
Cara ini ditempuh setelah tidak mungkin lagi mengobati pasien dengan terapi
konvensional, seperti minum obat, suntikan, operasi pembedahan atau
kemoterapi.
Artinya, bila pemasangan organ hati dari orang lain ke tubuh pasien tidak
dilakukan, maka tidak ada jaminan kualitas hidup pasien di masa depan.
Harus ada bukti medis yang kuat, sebelum pasien dengan gangguan fungsi hati
mendapat rekomendasi transplantasi. Di antaranya, memastikan tingkat
kerusakan fungsi hati akibat serangan virus melalui uji laboratorium,
pemeriksaan CT Scan, dan ultrasonografi (USG).
Menurut Konsultan Gastroentero-Hepatologi di Divisi Hepatologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof
dr Ali Sulaiman PhD FACG, sebelum kerusakan fungsi hati mencapai tahap
tertentu, transplantasi hati umumnya tidak direkomendasi dokter, sekalipun
pasien menghendakinya.
”Kalau tidak perlu kenapa mesti ditransplantasi?” kata dia ketika ditemui di
Divisi Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, Senin
(29/8).
Tahap sirosis
• Pasien dengan kerusakan fungsi hati yang harus ditransplantasi
adalah mereka yang berada di tahap sirosis (pengerasan hati).
Pada tahap tersebut, peran hati yang berfungsi menggerakkan metabolisme
tubuh, mengolah asupan makanan menjadi energi, dan membuang racun hasil
penghancuran protein terganggu.
Tanda-tanda fisik yang menonjol pada orang dengan sirosis hati parah
adalah perut membuncit, kesadaran menurun, dan mata menguning. Mereka
cepat letih dan sering muntah darah.
Operasi transplantasi hati dilakukan cepat. Pasalnya, hati hanya boleh berada
di luar tubuh kira-kira kurang dari enam jam. Umumnya, operasi pengambilan
hati dari tubuh donor yang telah meninggal (kadaver) atau donor orang yang
masih hidup (ortho living transplantation/OLT) dilakukan bersamaan dengan
pemindahannya.
Beberapa dokter harus terlibat langsung, seperti pakar kardiovaskuler,
anestesi, penyakit dalam, dan hepatolog yang memahami struktur hati, serta
pakar peredam penolakan tubuh (imunologis).
Keterbatasan jumlah pendonor serta rumitnya transplantasi amat membatasi
akses. Biayanya Rp 800.000 juta hingga Rp 2,5 miliar. ”Itu pun antrenya
sangat panjang,” kata Ali, yang pasiennya pernah antre setahun di Amerika
tanpa hasil.
Pasien dengan organ hati baru dapat bertahan hidup puluhan tahun (ada juga
yang menyatakan sekitar lima tahun). Akan tetapi, sepanjang hidupnya mereka
bergantung penuh pada obat-obatan. Selain itu, pantangan beberapa jenis
makanan dan minuman.
Hingga kini, transplantasi hati tidak dapat dilakukan di Indonesia karena tidak
ada peraturan perundang-undangan yang mendukungnya. Padahal, tahun 2005
jumlah penduduk yang terpapar virus hepatitis B dan C diperkirakan 15 juta.
Menurut Ali, meskipun transplantasi hati banyak dilakukan di negara-negara
maju, transplantasi tetap saja berisiko seperti terjadinya penolakan atau
berkembangnya kembali virus hepatitis di dalam tubuh pasien pasca-
transplantasi.
Kini, untuk menghindari penolakan dari dalam tubuh pasien sudah ada jenis
obat sistem imun yang memiliki keberhasilan tinggi. Yang mengkhawatirkan
adalah kekambuhan penyakit yang sama. Untuk mengatasinya, dokter akan
menegatifkan virus di dalam tubuh pasien sebelum menerima organ hati baru
agar hati baru tetap sehat dan berfungsi normal.
Bagi pasien transplantasi hati dengan latar belakang sirosis hati karena
serangan virus hepatitis B, dokter akan memberi tablet atau suntikan
interveron. Alternatif penggantinya, tablet nucleasid analog.
Bagi pasien berlatar belakang hepatitis C akan diberi suntikan interveron
dikombinasi minum tablet ribavirin. ”Ini gold standard untuk membunuh
virus. Yang ini tidak ada alternatif obat lain,” kata dia.
Sayangnya, meski berkategori gold standard, jaminan menegatifkan virus
”hanya” 50-80 persen. Artinya, virus tetap berpotensi kembali menyerang.
Sebelum terlambat
• Sirosis hati parah yang sering kali berujung pada transplantasi,
sebenarnya dapat dicegah sejak dini. Umumnya, sirosis hati
berawal dari hepatitis B dan C. Pada istilah kedokteran, dimulai
dari hepatitis akut, kronis, baru kemudian sirosis.
Hepatitis B atau C akut umumnya ditandai demam, rasa mual, kurang
bersemangat, susah tidur, mudah letih, dan perut sering kembung. Pada
tingkatan kronis, penderita didera rasa kantuk dan lemas. Gejala khas yang
kadang muncul adalah mata dan air kencing yang kekuning-kuningan.
”Namun, umumnya gejala awal tidak khas dan menyesatkan. Bisa berbahaya
bila tidak segera ditindaklanjuti dengan cek ke dokter,” kata Ali.
Untuk memastikan perkembangan virus ke organ hati, dokter akan memeriksa
kadar SGOT/SGPT dalam darah. Kadar keduanya yang meninggi merupakan
tanda-tanda awal yang mencurigakan.
Ada dua pilihan pengobatan dalam tahap ini, yakni memberi obat pembunuh
virus atau memperkuat organ hati.
Untuk memastikan tahap kronis ke tahap sirosis, ditempuh penelitian jaringan
sel tubuh di laboratorium (biopsi). Tanda sirosis hati ditunjukkan munculnya
jaringan serat di sana.
Berdasarkan pengalaman, dari hepatitis kronis ke tahap sirosis parah
membutuhkan waktu perkembangan sekitar 10-20 tahun tanpa intervensi
pengobatan berarti. Dalam hal ini, siapa pun perlu berhati-hati karena gejala
hepatitis akut dan kronis sering kali tidak khas, sehingga tidak jarang penderita
datang setelah menuju sirosis. (GESIT ARIYANTO)

Terapi Albumin pada Asites Refraktori

GERAI - Edisi September 2006 (Vol.6 No.2), oleh andra


Pemberian albumin pada tindakan paracentesis meningkatkan respon
terhadap pemberian diuretika pada pasien asites refraktori.

Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang
mengisi rongga peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah
pasien sirosis hati atau karena penyakit hati lainnya yang parah. “Hampir
60 % pasien sirosis hati akan menjadi asitesdalam masa 10 tahun,” jelas
Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi,
Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di
Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli lalu. Namun, sekitar 15 % pasien
asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi cairan.
Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif.

Asites pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan


kematian sebesar 50 % dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi
liver. Dari prevalensi ascites, 10 % nya adalah asites refraktori yang
umumnya diterapi dengan pemberian diuretika. “Asitesdikategorikan
refraktori bila tidak bisa dimobilisasi atau dicegah dengan terapi medis.
Gejala umum pada asites refraktori adalah asites mengalami kekambuhan
sesudah tindakan paracentesis, meningkatnya risiko sindroma hepatorenal,
dan prognosis yang buruk,” tambahnya lagi.

Dalam melakukan terapi pada asites refraktori perlu diperhatikan


mengenai durasi pengobatan, respon yang lambat, kekambuhan asitesyang
cepat, serta komplikasi yang dipicu oleh pemberian diuretika. Pilihan
terapi untuk asites refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunting), peritoneovenus shunts, dan
transplantasi hati.

Terapi paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites


refraktori karena penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini
merupakan pengulangan pemberian large volume paracentesis (LVP)
ditambah albumin. Pemberian LVP 5 L/hari dengan infus albumin (6-8 g/l
ascites yang dibuang) lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan
komplikasi yang minimal jika dibandingkan dengan terapi diuretika.

Kombinasi paracentesis dengan infus albumin ini juga menyingkat masa


perawatan di rumah sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan tiap 2
hingga 4 pekan tanpa keharusan opname. Namun tindakan ini tidak berarti
menghilangkan kebutuhan akan diuretic (spironolakton atau furosemida),
karena kekambuhan asites bisa ditunda pada pasien yang menerima
diuretik pascaparacentesis. Hipovolemia pascaparacentesis efektif bisa
dicegah dengan pemberian albumin dibandingkan pemberian plasma
sintetik ekspander.

Sesudah paracentesis, pasien harus melakukan diet sodium rendah (70-90


mmol/hari). Pasien yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek
kadar sodium pada urine, jika kurang dari 30 mEq/hari maka pemberian
diuretika harus dihentikan. Komplikasi pada asites refraktori yang tidak
diintervensi dengan pengobatan akan berkembang menjadi infeksi SBP
(spontaneous bacterial peritonitis), sindrom hepatorenal, hepatic
encephalopathy, dan kerusakan fungsi sirkulasi.

“Kondisi hipoalbuminemia kerap dijumpai pada sirosis hati. Hal ini


disebabkan oleh penurunan mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau
diet protein rendah, peningkatan katabolisme albumin, serta adanya asites.
Albumin sendiri disintesa secara lengkap pada organ hati,”lanjut Prof.
H.M Sjaifoellah.

Indikasi terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom
hepatorenal, adanya SBP, dan kadar albumin di bawah 2,5 g%.
Penggunaan albumin dimaksudkan untuk memelihara colloid oncotic
pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap
radikal bebas. Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek
prokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta ekspansi volume plasma

Nutrisi dan Penyakit Hati


Organ hati merupakan salah satu organ yang mempunyai kemampuan
pemulihan yang besar. Tapi untuk melakukan pemulihan tersebut, ia
memerlukan dukungan asupan nutrisi yang baik. Oleh karena itu, asupan
nutrisi yang baik merupakan pondasi tata laksana penderita pada sebagian
kasus penyakit hati.
Nutrisi dan sirosis hati
Nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat, protein dan lemak,
akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki kerusakan sel hati.
Pada tingkat tertentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki dengan cara
memproduksi sel hati baru yang sehat.
Istilah sirosis hati merujuk pada keadaan dimana sel-sel hati yang sehat telah
digantikan oleh jaringan parut. Akibatnya, fungsi hati tentu saja terganggu.
Gangguan hati kronik ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti radang
hati (hepatitis), sumbatan kandung empedu dan juga akibat paparan substansi
berbahaya termasuk alkohol.
Pada jaman dahulu, diet rendah protein diberikan pada penderita sirosis hati
dengan maksud untuk menghindarkan risiko terjadinya peninggian kadar
amonia darah yang berbahaya. Padahal, penderita sirosis hati seringkali
mengalami penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Akibatnya, penderita
mengalami penurunan berat badan dan kekurangan protein.
Pemberian protein pada penderita sirosis memang cukup memusingkan.
Kelebihan protein dapat mengakibatkan peningkatan amonia darah yang
berbahaya, sedangkan kekurangan protein akan menghambat penyembuhan sel
hati.
Saat ini para dokter lebih memilih untuk memberikan diet tinggi kalori tinggi
protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat beregenerasi. Sedangkan untuk
mengontrol tingkat amonia darah digunakan laktulosa dan/atau suatu jenis
antibiotik yang bernama neomisin.
Selain hal-hal di atas, ada beberapa hal lagi yang perlu diperhatikan oleh
penderita sirosis hati, misalnya pengurangan konsumsi garam. Untuk itu
tingkatkan konsumsi makanan segar dan hindari makanan awetan seperti
makanan kaleng.
Penderita sirosis juga bisa mengalami penyumbatan saluran empedu di dalam
hati. Akibatnya, empedu tidak bisa keluar dan lemak tidak bisa diserap. Pada
keadaan ini, penderita akan mengalami perubahan defekasi (buang air besar)
yang disebut steatore.
Bila hal ini terjadi, lemak sebaiknya diganti dengan lemak trigliserida rantai
sedang (medium chain triglycerides/MCT). MCT sangat baik digunakan
karena untuk penyerapannya jenis lemak ini tidak terlalu tergantung pada
keberadaan asam empedu.
Saat ini telah tersedia produk nutrisi khusus yang diformulasikan untuk para
penderita gangguan hati. Salah satunya adalah Hepatosol yang juga
mengandung Trigliserida Rantai Sedang (MCT).

PEMERIKSAAN ENDOSKOPI SALURAN PENCERNAAN

Fasilitas pemeriksaan endoskopi saluran pencernaan di RS Medistra telah


dilengkapi dengan berbagai peralatan yang mampu memeriksa seluruh
saluran pencernaan dengan menggunakan kamera serat optic fleksibel
(flexible videoscope).

RS Medistra memiliki reputasi yang sangat baik sebagai ahli endoskopi


saluran pencernaan, sehingga sering menjadi rujukan dari rumah sakit lain
di Indonesia.

Pelayanan endoskopi saluran pencernaan di RS Medistra meliputi seluruh


pemeriksaan mulai dari kerongkongan (esophagus) sampai pangkal dubur.

Pada umumnya pemeriksaan endoskopi dibagi atas dua jenis, yaitu


endoskopi saluran pencernaan bagian atas yang meliputi saluran
esophagus, lambung, usus 12 jari, saluran empedu dan saluran pancreas
dan endoskopi saluran pencernaan bawah meliputi pemeriksaan usus
halus, usus besar dan rectum

Indikasi Pemeriksaan Endoskopi


Pemeriksaan endoskopi merupakan prosedur pilih utama untuk
mendiagnosa dan menghentikan pendarahan pada saluran pencernaan.
Selain itu endoskopi sangat diperlukan untuk beberapa keadaan antara
lain mengangkat batu dalam saluran empedu, mendeteksi keadaan usus
besar, mengangkat polip pada usus, memasang cincin penyanggah
saluran empedu dan mengevaluasi gejala gangguan pencernaan seperti
mual, muntah, sulit menelan atau terasa terbakar di dada.

Endoskopi pada saluran pencernaan


Pendarahan pada saluran pencernaan seringkali membahayakan nyawa
pasien, karena shock hemoraghik. Dengan endoskopi, upaya
menghentikan pendarahan dapat segera dilakukan dengan cara mencari
sumber pendarahan, kemudian mengikat pembuluh darah yang pecah
(ligasi) atau disuntik dengan bahan kimia yang membuat pembuluh darah
mengeras (skleroterapi endoskopi).
Sebelum teknologi ini ada, pendarahan dalam saluran pencernaan biasa
dihentikan dengan cara operasi yang risikonya lebih besar atau dilakukan
pemasangan balon yang berfungsi menahan pendarahan (SB Tube)

Mengangkat Polip Usus (Polipektomi)


Metode endoskopi dapat juga dipergunakan untuk mengeluarkan polip
yang sering tumbuh di saluran pencernaan terutama usus besar dan
lambung. Walaupun demikian pada polip yang besar, biasanya diangkat
dengan cara operatif, karena risiko pendarahan yang cukup besar.

Mengeluarkan batu pada saluran empedu


Dengan Endoskopi, adanya batu yang menyumbat saluran empedu
(biasanya menyebabkan pasien menjadi kuning) dapat diketahui dengan
langsung dan saat itu dapat dikeluarkan (ekstrasi) menggunakan alat
tambahan, misalnya kawat penjepit atau memakai kateter berbentuk
basket.

Memasang Cincin Penyanggah Saluran Empedu.


Dengan peralatan duodenovideoskope, saluran empedu yang menutup
akibat tumor/keganasan dapat dibuka kembali dengan memasang cincin
penahan di dalam saluran empedu (stent) agar tidak menutup lagi.

Mendeteksi kanker Usus Besar Secara Dini.


Dengan kolonoskopi dapat dilakukan pemeriksaan saluran dinding usus
besar dengan teliti untuk mendeteksi adanya tumor ataupun polip yang
bila dibiarkan dengan berjalannya waktu bisa berubah menjadi tumor
ganas (kanker). Di Negara-neara maju pemeriksaan kolonoskopi ini sangat
dianjurkan sebagai bagian dari uji kesehatan (check up) untuk orang
berusia di atas 40 tahun dan terutama yang berusia lebih dari 50 tahun
untuk dilakukan setiap 3-5 tahun sekali.
Dengan dapat terdeteksi secara dini, dapat diambil tindakan sebelum
tumor ganas tersebut menyebar dan dapat membahayakan kehidupan
seseorang (kematian).

Apa Keunggulan Pemeriksaan Endoskopi?


Pemeriksaan ini lebih akurat daripada pemeriksaan sinar X dalam deteksi
peradangan, ulkus atau tumor di saluran pencernaan. Pemeriksaan ini
dapat mendeteksi kanker dini atau membedakan antara lensi kanker
dengan bukan kanker dengan melalui biopsy pada tempat yang dicurigai.

Apakah Tindakan Endoskopi Aman?


Pemeriksaan pada dasarnya merupakan prosedur yang sangat aman.
Komplikasi biasanya jarang terjadi, kecuali setelah biopsy atau
pengangkatan polip yang mungkin mengakibatkan pendarahan ringan
yang bisa berhenti dengan sendirinya tanpa harus dilakukan transfuse.

Paling penting adalah pasien mengenal adanya suatu komplikasi dan


menyampaikannya pada dokter, misalnya: sulit menelan, sakit
tenggorokan yang menetap, nyeri dada, nyeri perut hebat, menggigil,
atau pendarahan dari usus yang lebih dari setengah gelas.

JENIS PELAYANAN ENDOSKOPI YANG DAPAT DILAKUKAN DI RS


Medistra

Endoskopi Diagnosis
Pemeriksaan Saluran Kerongkongan (Esofagoskopi)
Pemeriksaan Lambung dan Usus 12 Jari (Gatros-Duodenoskopi)
Pemeriksaan Saluran Empedu dan Pankreas (Endoskopic Retrograde
Cholangio Pancreatography)
Pemeriksaan Saluruan Usus Besar (Kolonoskopi)
Pemeriksaan Muara Usus Besar sampai Pangkal Dubur
(Rektosigmoidoskopi)
Pengambilan contoh jaringan saluran pencernaan (biopsi)

Endoskopi Terapeutik
Pengikatan Pembuluh darah pecah (Ligasi Varises Esofagus/Lambung)
Pembuntuan Pembuluh darah yang pecah (Skleroterpi Endoskopi)
Melebarkan Saluran Menelan (Dilatasi Esofagus)
Mengeluarkan Batu Saluran Empedu (Ekstrasi Batu Empedu)
Memasang cincin penyanggah saluran empedu (Stening Saluran Empedu)
Mengangkat Polip di saluran pencernaan (Polipoktomi Endoskopi)
Mengikat Pembuluh darah yang pecah pada wasir (Ligasi Hermoroid)

MEMPERSIAPKAN PASIEN YANG AKAN MENJALANI OPERASI

Endoskopi Saluran Pencernaan


Lambung harus benar-benar kosong. Anda tidak boleh makan atau minum
selama 8 jam sebelum pemeriksaan. Dokter akan menginstruksikan kapan
harus mulai puasa tergantung jadwal pemeriksaan dilakukan.

Obat-obat yang dimakan perlu disesuaikan, beberapa jenis obat harus


dihindari.
Anda disarankan agar menginformasikan obat-obat yang diminum pada
dokter termasuk riwayat alergi obat. Konsultasikan ke dokter apabila anda
mempunyai riwayat penyakin jantung dan paru-paru, karena kemungkinan
memerlukan perhatian khusus selama tindakan.

Jangan mengemudikan kendaraan setelah tindakan. Harus diupayakan


agar keluarga yang mendampingi pada saat pulang karena biasanya
diberikan obat penenang pada saat tindakan.

Endoskopi Saluran Pencernaan Bawah


Untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka usus besar harus dibersihkan
dari sisa makanan sebelum tindakan. Dokter akan melakukan instruksi
mengenai jenis dan sumber makanan yang harus dikonsumsi agar dapat
membantu membersihkan saluran usus besar, anda akan diinstruksikan
untuk minum larutan pencuci perut sebelum pemeriksaan. Patuhi instruksi
tersebut secara cermat karena prosedur akan ditunda atau harus diulang
apabila usus besar tidak bersih.

Perdarahan Varises Gastroesofageal


pada Hipertensi Portal
Myrna Justina
Dokter Umum Rumah Sakit Mitra Keluarga BekasiBarat, Jawa Barat
PENDAHULUAN
Perdarahan varises gastroesofageal adalah sebuah
komplikasi mayor hipertensi portal akibat sirosis dengan angka
kejadian 10-30% dari seluruh perdarahan saluran cerna bagian
atas
(1)
.
Perdarahan varises berhubungan dengan kesakitan dan
kematian yang lebih substansial daripada penyebab perdarahan
lain dengan biaya RS yang lebih tinggi. Lebih dari 30%
episode perdarahan awal bersifat fatal dan 70% yang selamat
akan mengalami perdarahan ulang. Selain itu angka
keselamatan setahun setelah perdarahan varises dapat buruk
(32-80%)
(2)
.
LAPORAN KASUS
Riwayat penyakit
Seorang pasien laki-laki datang ke rumah sakit (RS)
dengan keluhan utama muntah ± 3 gelas yang disertai buang air
besar (bab) berdarah yang disertai rasa lemas. Riwayat
perdarahan saluran cerna dan sakit kuning sebelumnya
disangkal. Riwayat alkoholisme juga disangkal. Pasien
mempunyai riwayat asam urat tinggi dengan konsumsi obat
piroksikam, natrium diklofenak, dan alopurinol.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum sakit sedang, tekanban darah 120/80
mmHg, nadi 88 kali permenit, napas 18 kali permenit, suhu
afebris.
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak
ikterik.
Paru : Perkusi sonor, Suara napas vesikuler,
tanpa ronki.
Jantung : Bunyi Jantung I dan II normal, tanpa
bising.
Abdomen : Lemas, Hati dan Limpa tidak teraba,
pekak berpindah (+)
Ekstremitas : Akral hangat, tanpa edema tungkai.
Stigmata sirosis : Palmar eritema, hemoroid.
Pemeriksaan laboratorium dasar
Hemoglobin 9,1; Eritrosit 2,9 juta; Hematokrit 27;
Trombosit 60.000; Gula Darah 272
Fungsi Hati
Nilai Normal
Bilirubin Total
5,2
<1,5
Bilirubin Direk
1,8
<0,3
Bilirubin Indirek
3,4
Alanin Transaminase
43
<40
Aspartat Transaminase
93
<35
Fosfatase Alkali
65
<165
Protein Total
7,3
6-8,5
Albumin 3,0
3,5-5,5
Globulin 4,6
2,5-3,5
Ultrasonografi abdomen
Hati : Lobus kiri membesar, lobus kanan mengecil, tepi
irreguler, Kaudal menumpul, tampak nodul
berukuran 1,5-1,9 cm di lobus kanan sisi kaudal
Limpa : Membesar.
Ginjal : Kiri dan Kanan normal.
Asites : Positif.
Esofago-gastro-duodenoskopi
Esofagus : Varises esofagus grade II-III, tanpa tanda merah
endoskopik.
Gaster : Kongesti seluruh mukosa, dan lesi erosi di
antrum.
Duodenum : Bulbus dan pars sekundum tidak ada perdarahan
baru.
Saran : Ligasi
Masalah pada pasien ini adalah
1. Hematemesis melena akibat pecahnya varises esofagus.
2. Gastropati akibat obat.
3. Nodul hati lobus kanan sisi kaudal.
Pasien ditatalaksana dengan kumbah lambung, obat-obat
hemostatik, dan obat-obat lain sesuai indikasi.
DISKUSI KASUS
Sirosis hati menahun merupakan penyebab terbanyak
hipertensi portal. Hipertensi portal ini terjadi akibat
peningkatan tahanan intrahepatik (pre-sinusoid, sinusoid, dan
pasca-sinusoid) yang sering terjadi bersama dengan
peningkatan aliran di dalam splanknik yang hiperdinamik.
Studi terakhir menyebutkan bahwa ketidakseimbangan antara
endotelin-1 dan oksida nitrik dapat merupakan penyebab
terpenting peningkatan tahanan intrahepatik yang merupakan
komponen kritis dari sebagian besar hipertensi portal
(2)
.
Penentu utama perdarahan adalah tekanan dinding varises
(T) yang sesuai dengan modifikasi Frank's dari Hukum
Laplace: T = TP X r X w
-1
- TP = Tekanan transmural, r = jari-
jari, dan w = ketebalan dinding pembuluh.
Kombinasi penemuan klinis, endoskopik, kelas Child-Pugh
yang lanjut (Tabel 1), fungsi hati yang buruk, dan varises yang
besar dengan tanda merah endoskopik sangat berhubungan
dengan risiko perdarahan awal pada pasien sirosis
(2)
.
Tabel 1: Klasifikasi Child-Pugh beratnya sirosis
Skor
Variabel
123
Ensefalopati
Tidak ada
Ringan Sedang
Berat Koma
Asites Tidak
ada
Sedikit
Sedang
Bilirubin
(mg/dl)
<2 2-3 >3
Albumin (g/l)
>3.5
2.8 - 3.5
<2.8
Waktu protrombin
1- 4
4-6
>6
Jika jumlah skor 5-6, sirosis diklasifikasikan kelas A; jika
jumlah skor 7-9, kelas B; dan jika jumlah skor 10 atau lebih,
diklasifikasikan kelas C. Prognosis secara langsung dikaitkan
dengan skor
(2)
.
Panduan tatalaksana pasien dengan varises gastroesofageal
meliputi pencegahan episode perdarahan awal (profilaksis
primer), pengendalian perdarahan aktif, dan pencegahan ulang
setelah perdarahan awal (profilaksis sekunder)
(2)
.
Panduan ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2: Panduan tatalaksana varises gastroesofageal
Tujuan Terapi
Lini Pertama
Lini Alternatif
Profilaksis
Primer
Penghambat atau dengan kombinasi
isosorbid mononitrat
Ligasi
Perdarahan
varises akut
Octreotide (atau terlipressin) dan
terapi endoskopik
Tamponade
balon,TIPS
Profilaksis
sekunder
Ligasi atau dengan kombinasi dengan
penghambat beta dengan atau tanpa
isosorbid mononitrat
TIPS, terapi shunt
Keterangan.
1.
TIPS = Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt.
2. Penghambat beta propanolol dengan dosis yang dititrasi sampai
maksimum 320 mg perhari. Dosis awal penghambat beta nadolol 20 mg
perhari yang dinaikkan sampai 80 mg perhari.
3.
Octreotide biasanya diberikan sebagai infusi 25-50 ug perjam (dengan
atau tanpa bolus). Dosis terlipressin adalah 3 mg setiap 4 jam untuk 24
jam pertama, kemudian 1 mg setiap 4 jam. Bahan-bahan somatostatin ini
menyebabkan konstriksi arteriolar splanknik dan menghambat pelepasan
peptida-peptida yang menyebabkan sindrom sirkulasi hiperdinamik pada
hipertensi portal. Penggunaan jangka panjang octreotide 2 x 50 ug
subkutan selama 6 bulan terbukti bermanfaat sebagai ajuvan skleroterapi
pada perdarahan varises akut akibat hipertensi portal sirotik.
4.
Perdarahan terjadi sekitar dua pertiga pasien dalam satu tahun pertama
setelah perdarahan awal
(2,3)
.
KEPUSTAKAAN
1.
Laine L. Upper gastrointestinal tract hemorrhage. West J Med 1991; 166:
274-9.
2. Sharara AL, Rockey DC. Gastroesophageal Variceal Hemorrhage. N
Engl J Med 2001; 345: 669-81.
3.
Jenkins SA, Baxter JN, Kingsnorth AN, Makin CA, Ellenbogen S, Grime
JS, et al. Randomised trial of octreotide for long term management of
cirrhosis after variceal hemorrhage. BMJ 1997; 315; 1338-41.
Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006 29

Hematemesis dan Melena


Dr.
Oey Tjeng Sien
Hematemesis adalah
muntah darah dan melena adalah
buang air besar berdarah seperti aspal, umumnya disebabkan
perdarahan saluran makan bagian atas (SMBA) mulai dari
esofagus sampai duodenum.
Penyehab-penyebab dari perdarahan saluran makan bagian
alas antara lain :
- Kelainan pada esofagus: varises, esofagitis, ulkus, sindroma
Mallory-Weiss, keganasan.
- Kelainan pada lambung dan doudenum: gastritis hemora-
gika, ulkus peptikum ventrikuli dan duodeni, keganasan,
polip.
- Penyakit darah: leukemia, DIC, trombositopeni.
- Penyakit sistemik: uremia.
Penyehab perdarahan SMBA yang terbanyak dijumpai di
Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata
40 - 55%, kemudian menyusul gastritis hemoragika dengan
20 - 25%. ulkus peptikum dengan 15 - 20%, sisanya oleh
keganasan, uremia dan sebagainya.
Unnunnya perdarahan SMBA termasuk penyakit gawat
darurat yang memerlukan tindakan medik intensif yang segera
di rumah-sakit/puskesmas karena angka kematiannya yang
tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus yang dahulu
berkisar antara 40 - 85%.
Tingginya angka kematian pada perdarahan varises esofagus
tergantung dari beberapa faktor, antara lain :
- Sifat dan lamanya perdarahan telah berlangsung.
- Beratnya penyakit sirosis hati yang mendasarinya.
Ketrampilan tenaga medik dan paramedik yang menangani
penderita tersebut.
- Tersedia tidaknya sarana diagnostik dan terapi di rumah-
sakit/puskesmas tersebut.
Dengan bertambah majunya teknologi kedokteran. ter-
utatna di bidang Endoskopi gastrointestinal. akhir-akhir ini
telah dikenal metoda-metoda baru dalam diagnostik dan
terapi yang memberi harapan dapat mengurangi angka ke-
matian yang tinggi, terutama pada perdarahan varises esofagus.
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
Data-data dari publikasi terakhir penulis-penulis Indonesia sen-
diri juga menunjukkan penurunan angka kematian yang ber-
makna di rumah-sakit tipe A/B sejak diikutinya protokol
penanggulangan seperti di luar negeri.
Berikut ini akan dibicarakan diagnosis dan penanganan
dari penderita-penderita dengan perdarahan saluran makan
bagian atas.
DIAGNOSIS HEMATEMESIS DAN MELENA
Diagnosis pada gejala muntah darah dan buang air berdarah
bertujuan mencari tahu tentang
-- kemungkinan penyebab utama dari perdarahan SMBA
tersebut
-- lokasi yang tepat dari sumber perdarahannya
-- sifat perdarahannya.(sedang atau telah berlangsung, banyak
atau sedikit)
-- derajat gangguan yang ditimbulkan perdarahan SMBA pada
organ lain seperti syok. koma, anenti. kegagalan fungsi
hati/jantung/ginjal
Diagnosa perdarahan SMBA ditegakkan melalui
A. Anamnesis
B. Pemeriksaan fisik
C. Pemeriksaan penunjang diagnostik seperti
I . Pemeriksaan laboratorium
2. Pemeriksaan radiologik
3. Pemeriksaan endoskopik
4. Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning han
Ana
mnesis
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti dan bila keadaan pen-
derita lemah atau kesadarannya menurun dapat diambil allo
anamnesa dari pengantarnya.
Beberapa hal yang perlu ditanyakan antara lain :
-- Apakah penderita pernah menderita atau sedang dalam pe-
rawatan karena penyakit hati seperti hepatitis kronis, sirosis
hati, penyakit lambung atau penyakit lain?
-- Apakah perdarahan ini yang pertama kali atau sudah pernah
mengalami sebelumnya?
-- Apakah penderita minum obat-obat analgetik antipiretik
atau kortison? Apakah minum alkohol atau jamu-jamuan?
-- Apakah ada rasa nyeri di ulu hati sebelumnya, mual-mual
atau muntah?
-- Apakah timbulnya perdarahan mendadak dan berapa ba-
nyaknya atau terjadi terus menerus tetapi sedikit-sedikit?
--Apakah timbul hematemesis dahulu baru diikuti melena
atau hanya melena saja?
Pemeriksaan fisik
Setibanya di rumah-sakit atau puskesmas, penderita perlu
segera diperiksa keadaan umumnya yaitu derajat kesadaran,
tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu badan dan apakah ada
tanda-tanda syok, anemi, payah jantung, kegagalan ginjal atau
kegagalan fungsi hati berupa koma. Penderita dalam keadaan
umum yang buruk atau syok perlu segera ditolong dan diatasi
dahulu syoknya, sedangkan pemeriksaan penunjang diagnosis
ditunda dahulu sampai keadaan umum membaik. Bila dugaan
penyebab perdarahan SMBA adalah pecahnya varises esofagus,
perlu dicari tanda-tanda sirosis hati dengan hipertensi portal
seperti: hepatosplenomegali, ikterus, asites, edema tungkai
dan sakral,
spider nevi,
eritema palmarum, ginekomasti,
venektasi dinding perut. Bila pada palpasi ditemukan massa
yang padat di daerah epigastrium, perlu dipikirkan kemungkin-
an keganasan lambung atau keganasan hati lobus kiri.
Pemeriksaan penunjang
diagnosis
· Pemeriksaan laboratorik
Pemeriksaan laboratorik dianjurkan dilakukan sedini mung-
kin, tergantung dari lengkap tidaknya sarana yang tersedia.
Disarankan pemeriksaan-pemeriksaan seperti berikut: golongan
darah, Hb, hematokrit, jumlah eritrosit, lekosit, trombosit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, morfologi darah tepi
dan fibrinogen.
Pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase
alkali, gama GTkolinesterase, protein total, albumin, globulin,
HBSAg, AntiHB
S.
Pemeriksaan yang diperlukan pada komplikasi kegagalan
fungsi ginjal, koma atau syok adalah: kreatinin, ureum, elek-
trolit, analisa gas darah, gula darah sewaktu, amoniak.
· Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan sedini mungkin bila per-
darahan telah berhenti. Mula-mula dilakukan pemeriksaan
esofagus dengan menelan bubur barium, diikuti dengan pe-
meriksaan lambung dan doudenum, sebaiknya dengan kon-
tras ganda.
Pemeriksaan dilakukan dalam berbagai posisi dan diteliti ada
tidaknya varises di daerah 1/3 distal esofagus, atau apakah
terdapat ulkus, polip atau tumor di esofagus, lambung, doude-
num.
· Pemeriksaan endoskopik
Pemeriksaan endoskopik dengan fiberpanendoskop dewasa
ini juga sudah dapat dilakukan di beberapa rumah-sakit besar
di Indonsia. Dari publikasi pengarang-pengarang luar negeri
dan juga ahli-ahli di Indonsia terbukti pemeriksaan endosko-
pik ini sangat penting untuk menentukan dengan tepat sumber
perdarahan SMBA. Tergantung ketrampilan dokternya, endos
kopi dapat dilakukan sebagai pemeriksaan darurat sewaktu
perdarahan atau segera setelah hematemesis berhenti.
Pada endoskopik darurat dapat ditentukan sifat dari per-
darahan yang sedang berlangsung. Beberapa ahli langsung
melakukan terapi sklerosis pada varises esofagus yang pecah,
sedangkan ahli-ahli lain melakukan terapi dengan laser endos-
kopik pada perdarahan lambung dan esofagus. Keuntungan
lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan
pengambilan foto slide, film atau video untuk dokumentasi,
juga dapat dilakukan aspirasi serta biopsi untuk pemeriksaan
sitologi.
· Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati
Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjang diagnosa
hematemesis/melena bila diduga penyebabnya adalah pecah-
nya varises esofagus, karena secara tidak langsung memberi
informasi tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati
dengan hipertensi portal, keganasan hati dengan cara yang
non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah perdarahan
akut berhenti.
Dengan alat endoskop ultrasonografi, suatu alat endoskop
mutakhir dengan transducer ultrasonografi yang berputar
di ujung endoskop, maka keganasan pada lambung dan pan-
kreas juga dapat dideteksi.
Pemeriksaan scanning hati hanya dapat dilakukan di rumah
sakit besar yang mempunyai bagian kedokteran nuklir. Dengan
pemeriksaan ini diagnosa sirosis hati dengan hipertensi portal
atau suatu keganasan di hati dapat ditegakkan.
PENANGANAN PERDARAHAN SMBA
Tindakan umum
1. Resusitasi
2. Lavas lambung
3. Hemostatika
4. Antasida dan simetidin
Tindakan khusus
· Medik intensif
1. Lavas air es dan vasopresor/trombin intragastrik
2. Sterilisasi dan lavement usus
3. Beta bloker
4. Infus vasopresin
5. Balontamponade
6. Sklerosis varises endoskopik
7. Koagulasi laser endoskopik
8. Embolisasi varises transhepatik
· Tindakan bedah
1. Tindakan bedah darurat
2. Tindakan bedah elektif
Tindakan Umum
RESUSITASI
Infus/Transfusi darah
Penderita dengan perdarahan 500 -- 1000cc perlu diberi
infus Dextrose 5%, Ringer laktat atau Nacl 0,9%. Pada pen-
derita sirosis hati dengan asites/edema tungkai sebaiknya
diberi infus Dextrose 5%. Penderita dengan perdarahan yang
masif lebih dari 1000 cc dengan Hb kurang dari 8g%, perlu
segera ditransfusi. Pada hipovolemik ringan diberi transfusi
sebesar 25% dari volume normal, sebaiknya dalam bentuk
Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985 27
darah segar. Pada hipovolemik berat/syok, kadangkala diperlu-
kan transfusi sampai 40 -- 50%
dari
volume normal. Kecepatan
transfusi berkisar pada 80 -- 100 tetes atau dapat lebih cepat
bila perdarahan masih terus berlangsung, sebaiknya di bawah
pengawasan tekanan vena sentral. Pada perdarahan yang tidak
berhenti perlu dipikirkan adanya DIC, defisiensi faktor pem-
bekuan path sirosis hati yang lanjut atau fibrinolisis primer.
Bilamana darah belum tersedia, dapat diberi infus plasma
ekspander maksimal 1000 cc, selang seling dengan Dextrose
5%, karena plasma ekspander dapat mempengaruhi agregasi
trombosit.
Setiap pemberian 1000 cc darah perlu diberi 10 cc kalsium
glukonas i.v. untuk mencegah terjadinya keracunan asam
sitrat.
LAVAS LAMBUNG DENGAN AIR
ES
Setelah keadaan umum penderita stabil, dipasang pipa
nasogastrik untuk aspirasi isi lambung dan lavas air es, mula-
mula setiap 30 menit
1 jam. Bila air kurasan lambung tetap
merah, penderita terus dipuasakan. Sesudah air kurasan men-
jadi merah muda atau jernih, maka disarankan dilakukan pe-
meriksaan endoskopi yang dapat menentukan lokasi per-
darahannya. Pada perdarahan varises esofagus yang tidak
berhenti setelah lavas air es, diperlukan tindakan medik
intensif yang akan dibicarakan kemudian.
Sedangkan pada perdarahan ulkus peptikum, gastritis
hemoragika dan lainnya, setelah perdarahan berhenti dapat
mulai diberi susu
+
aqua calcis 50 -- 100 cc/jam, dan secara
bertahap ditingkatkan pada diit makanan lunak/bubur saring
dalam porsi kecil setiap 1 -- 2 jam.
HEMOSTATIKA
Yang dianjurkan adalah pemberian Vitamin K dalam dosis
10 -- 40 mg sehari parenteral, karena bermanfaat untuk mem-
perbaiki- defisiensi kompleks protrombin. Pemberian asam
traneksamat dan karbazokrom dapat pula diberikan.
ANTASIDA DAN SIMETIDIN
Pemberian antasida secara intensif 10 -- 15 cc setiap jam di-
sertai simetidin 200 mg tiap 4 -- 6 jam i.v. berguna untuk
menetralkan dan menekan sekresi asam lambung yang ber-
lebihan, terutama pada penderita dengan ulkus peptikum dan
gastritis hemoragika. Bila perdarahan berhenti, antasida di-
berikan dalam dosis lebih rendah setiap 3 -- 4 jam 10 cc, de-
mikian juga simetidin dapat diberi per oral 200 mg tiap 4 -- 6
jam.
Sebagai pengganti simetidin dapat diberikan :
-- sucralfate sebanyak 1 -- 2 gram tiap 6 jam melalui pipa
nasogastrik, kemudian per oral.
-- pirenzepin 20 mg tiap 8 jam i.v. atau 50 mg tablet tiap 12
jam.
-- somatostatin dilarutkan dalam infus NaCl 0,9% dengan
dosis 250 ug/jam.
Tindakan khusus
MEDIK INTENSIF
Lavas
air es
dan vasopresor/trombin intragastrik
Bila perdarahan tetap berlangsung, dicoba lavas lambung
dengan air es ditambah 2 ampul Noradrenalin atau Aramine
2 -- 4 mg dalam 50 cc air. Dapat pula diberikan bubuk trom-
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
bin (Topostasin) misalnya 1 bungkus tiap 2 jam melalui pipa
nasogastrik. Ada ahli yang menyemprotkan larutan trombin
melalui saluran endoskop tepat di daerah perdarahan di lam-
bung, sehingga di bawah pengawasan endoskopik dapat meng-
ikuti langsung apakah perdarahannya berhenti dan apakah
terbentuk gumpalan darah yang agak besar yang perlu aspirasi
dengan endoskop.
Sterilisasi usus dan lavement usus
Terutama pada penderita sirosis hati dengan perdarahan
varises esofagus perlu dilakukan tindakan pencegahan terjadi-
nya koma hepatikum/ensefalopati hepatik yang disebabkan
antara lain oleh peningkatan produksi amoniak pada pe-
mecahan protein darah oleh bakteri usus.
Hal ini dapat dilakukan dengan jalan :
-- Sterilisasi usus dengan antibiotika yang tidak dapat diserap
misalnya Neomisin 4 x 1 gram atau Kanamycin 4 x 1 gram/
hari, sehingga pembuatan amoniak oleh bakteri usus ber-
kurang.
-- Dapat diberikan pula laktulosa atau sorbitol 200 gram/hari
dalam bentuk larutan 400 cc yang bersifat laksansia ringan
atau magnesiumsulfat 15g/400cc melalui pipa nasogastrik.
Selain itu perlu dilakukan lavement usus dengan air biasa se-
tiap 12 -- 24 jam. Untuk pencegahan ensefalopati hepatik
dapat diberi infus Aminofusin Hepar 1000 -- 1500 cc per hari.
Bila penderita telah berada dalam keadaan prekoma atau koma
hepatikum, dianjurkan pemberian infus Comafusin Hepar
1000 -- 1500 cc per hari.
Beta
Bloker
Pemberian obat-obat golongan beta bloker non selektif
seperti propanolol, oksprenolol, alprenolol ternyata dapat
menurunkan tekanan vena porta pada penderita sirosis hati,
akibat penurunan curah jantung sehingga aliran darah ke
hati dan gastrointestinal akan berkurang. Obat golongan beta
bloker ini tidak dapat diberikan pada penderita syok atau
payah jantung, juga pada penderita asma dan penderita ganggu-
an irama jantung seperti bradikardi/AV Blok.
Infus Vasopresin
Vasopresin mempunyai efek kontraksi pada otot polos
seluruh sistem baskuler sehingga terjadi penurunan aliran
darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabkan
penurunan tekanan portal. Karena pembuluh darah arteri
gastrika dan mesenterika ikut mengalami kontraksi, maka se-
lain di esofagus, perdarahan dalam lambung dan doudenum
juga ikut berhenti.
Vasopresin terutama diberikan pada penderita perdarahan
varises esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung setelah
lavas lambung dengan air es. Cara pemberian vasopresin ialah
20 unit dilartkan dalam 100 -- 200 cc Dextrose 5%, diberi-
kan dalam 10 -- 20 menit intravena.
Efek samping pada pemberian secara cepat ini yang pernah
dilaporkan adalah angina pektoris, infark miokard, fibrilasi
ventrikel dan kardiak arest pada penderita
-
penderita jantung
koroner dan usia lanjut, karena efek vaso kontriksi
dari
vaso-
presin pada arteri koroner. Selain itu juga ada penderita yang
mengeluh tentang kolik abdomen, rasa mual, diare. Beberapa
ahli lain menganjurkan pemberian infus vasopresin dengan
dosis rendah, yaitu 0,2 unit vasopresin per menit untuk 16
jam pertama dan bila perdarahan berhenti setelah itu, dosis
diturunkan 0,1 unit per menit untuk 8 jam berikutnya. Pada
cara pemberian infus vasopresin dosis rendah lebih sedikit
efek sampingyang ditemukan.
Efek vasopresin dalam menghentikan perdarahan SMBA
berkisar antara 35 - 100%,
perdarahan ulang timbul pada
21 - 100% dan mortalitas berkisar pada 21 - 80%.
Balontamponade
Tamponade dengan balon jenis Sengstaken Blakemore Tube
atau Linton Nachlas Tube diperlukan pada penderita -penderita
varises esofagusyang perdarahannya tetap berlangsung setelah
lavas lambung dan pemberian infus vasopresin. Tindakan
pemasangan balon ini merupakan pilihan pertama pada pen-
derita jantung koroner dan usia lanjut,
yang tidak dapat di-
berikan infus vasopresin.
Prinsip bekerjanya SB atau LN Tube adalah mengembang-
kan balon di daerah kardia dan esofagus yang akan menekan,
dan dengan demikian menghentikan perdarahan
di esofagus
dan kardia. SB Tube terdiri dari 2 balon, masing-masing untuk
lambung dan esofagus, sedangkan LN Tube terdiri hanya dari
1 balon yang mengkompresi daerah distal esofagus dan kardia.
Protokol pemasangan SB Tube :
-- Penderita secara klinis menderita perdarahan varises esofa-
gus, bila mungkin telah diendoskopi.
-- Keadaan umum cukup baik, tidak koma/syok/gelisah dan
kooperatif.
-- Pemasangan dilakukan sedini mungkin, kurang dari 12 jam
setelah dirawat.
-- Sebelumnya dilakukan lavas lambung untuk mengeluarkan
isi lambung terutama gumpalan darah.
-- Pemasangan dilakukan oleh dokter atau perawat yang ber-
pengalaman.
-- Balon SB sebelum dipasang harus dites tidak bocor dan
kemudian diolesi dengan salep zylocain atau parafin.
--SB Tube dimasukkan secara perlahan-lahan melalui lubang
hidung, sambil penderita disuruh menelan sampai SB Tube
masuk ke lambung, hingga garis ukuran pipa bagian luar
menunjukkan 50 cm dekat lubang hidung.
-- Balon lambung dikembangkan dengan 30 - 50 cc udara dan
SB Tube ditarik perlahan-lahan ke luar sampai balon lam-
bung mencapai kardia dan terasa adanya tahanan
pada pe-
narikan lebih lanjut. Angka pada garis ukuran SB
Tube di
lubang hidung berkisar antara 40 - 45 cm.
-- SB Tube difiksasi dengan plester, balon esofagus kemudian
dikembangkan dengan 100 - 200 cc
udara tergantung
ukuran SB Tube.
-- Penderita dipuasakan selama SB
Tube terpasang. Lavas
lambung dan pemberian obat -obatan dapat dilakukan me
-

lalui pipa sentral. Sekret


di hipofaring perlu diaspirasi
secara berkala.
-- Pemasangan SB Tube berkisar antara 12 - 24 jam, kemudi-
an dicoba dikempeskan dari dikontrol tiap-tiap jam dengan
lava lambung apakah terjadi perdarahan ulang. Bila terjadi
perdarahan ulang, balon SB Tube yang belum ditarik ke-
luar itu dapat segera dikembangkan kembali. SB
Tube di-
pasang maksimal48 jam.
Menurut laporan peneliti -peneliti, pemasangan SB Tube dapat
menghentikan 55 - 92%
perdarahan varises esofagus, tetapi
25 - 60%
penderita kemudian mengalami perdarahan ulang,
sedangkan mortalitas berkisar antara
20 - 60%.
Komplikasi
pemasangan SB Tube adalah obstruksi laring serta asfiksi
akibat migrasi balonke hipofaring dan ulserasi esofagus, karena
pemasangan terlalu lama.
Sklerosis varises endoskopik
Sejak 1970 ahli-ahli mencoba menghentikan
perdarahan
varises esofagus dengan penyuntikan bahan-bahan sklerotik
seperti etanolamin, polidokanol,
sodium morrhuate melalui
esofagoskop kaku atau serat optik. Karena pemakaian eso-
fagoskop kaku membutuhkan anestesi umum, dan sebagai
komplikasi dapat terjadi ruptur esofagus, maka metoda ini
telah ditinggalkan. Sekarang lebih banyak digunakan endoskop
serat optik baik yang umum maupun yang khusus dengan 2
saluran, sehingga sewaktu penyuntikan dilakukan melalui
saluran pertama, penghisapan perdarahan
yang mungkin ter-
jadi dapat dilakukan melalui saluran kedua. Teknik penyuntik-
an dapat paravasal atau intravasal. Terapi ini dapat
dilakukan
segera setelah hematemesis berhenti, tetapi tergantung
dari
keahlian dokternya dapat dilakukan juga pada penderita yang
sedang mengalami perdarahan akut, bila tindakan medik in-
tensif lainnya tidak berhasil. Di sini perdarahan dapat dihenti-
kan pada 80 - 100%, perdarahan ulang terjadi pada 10 - 40%
sedangkan mortalitas selama dirawat mencapai 30%.
Bila perdarahan dapat dihentikan dengan SB
Tube atau
infus vasopresin, terapi sklerosis ini dilakukan beberapa hari
kemudian. Varises yang luas umumnya membutuhkan 2 - 3 x
terapi dengan jangka waktu 7 - 10 hari.
Mortalitas penderita yang diterapi dalam stadium interval
ini lebih rendah 4 - 14%.
Komplikasi metoda ini yang pernah dilaporkan adalah nyeri
retrosternal, ulserasi, nekrosis, striktur dan stenosis
dari eso-
fagus, effusi pleura, mediastinitis.
Koagulasi laser e
ndoskopik
Bila pemberian vasopresin, pemasangan SB Tube dan skle-
rosis varises endiskopik gagal dalam menghentikan perdarahan
varises esofagus, mungkin dapat diterapkan terapi koagulasi
dengan Argon/Neodym Yag
Laser secara endoskopik. Ada
ahli yang melaporkan keberhasilan sampai 91,3% (116 dari
Cermin Dunia Kedokteran
No. 40, 1985 29
127 penderita). Hanya alat ini sangat mahal.
Demikian juga perdarahan SMBA lainnya seperti pada ulkus
peptikum dan keganasan ternyata dapat dihentikan dengan
koagulasi laser endoskopik.
Embolisasi varises transhepatik
Caranya, dengan tuntunan ultrasonografi dimasukkan
jarum ke dalam hati sampai mencapai vena porta yang me-
lebar, kemudian disorong kateter melalui mandrin tersebut
sepanjang vena porta sampai mencapai vena koronaria gastrika
dan disuntikkan kontras angiografin. Pada transhepatik portal-
venografi ini akan terlihat vena-vena kolateral utama termasuk
varises esofagus. Selanjutnya sebanyak 30 -- 50 cc Dextrose
50% disuntikkan melalui kateter diikuti dengan suntikan
trombin, ditambah
gel foam
atau otolein. Perdarahan varises
esofagus umumnya segera berhenti.
Metoda ini belum banyak laporannya dalam kepustakaan,
karena tekniknya sukar dan sering mengalami kegagalan yang
disebabkan trombosis vena porta atau adanya asites. Kompli-
kasi yang membahayakan adalah perdarahan intraperitoneal
dari bekas tusukan jarum tersebut. Seorang peneliti melapor-
kan bahwa 5 bulan sesudah embolisasi timbul varises esofagus
yang baru.
TINDAKAN BEDAH
Setelah usaha-usaha medik intensif di atas mengalami ke-
gagalan dan perdarahan masih berlangsung, maka perlu di-
lakukan tindakan bedah darurat, seperti pintasan portosiste-
mik atau transeksi esofagus untuk perdarahan varises esofagus.
Perdarahan dari ulkus peptikum ventrikuli atau duodeni serta
keganasan SMBA yang tidak berhenti dalam 48 jam juga me-
merlukan tindakan bedah.
Bila tidak diperlukan tindakan bedah darurat, setelah ke-
adaan umum penderita membaik dan pemeriksaan diagnostik
telah selesai dilakukan, dapat dilakukan tindakan bedah
elektif setelah 6 minggu.
KEPUSTAKAAN
1. Abdurachman
SA,
Hematemesis dan Melena. Tinjauan kasus
di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS
Hasan Sadikin
Bandung,
selama
1970 - 1974. Proceeding
KOPAPDI
III di Bandung, 1975.
2. Gross R. Die
akute Magen-Darmblutung
in Der
internistische Not-
fall, F.K. Sehattauer Verlag
Stuttgart 1973,
haL
545 - 576.
3. Fruhmorgen
P.
Neue Verfahren zur Blutstillung dalam
Operative
Endoskopie. Acron Verlag
1979,
haL
83 - 90.
4. Hadi
S.
Hematemesis Melena dalam Gastroenterologi.
Alumni
Bandung 1981,
hal
161- 191.
5. Hadi
S.
Langkah pendekatan penatalaksanaan perdarahan saluran
makan bagian atas. Makalah pada pertemuan Ilmiah PPHI ke
3.
Kongres PGI/PEGI
Palembang 1 -- 3
Agustus
1985.
6. Hernomo
K.
Terapi medik perdarahan hipertensi
portal.
Buku
Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I,
th.
1984
hal
795 - 807.
7. Kiefhaber
P.
Endoskopische Blutstillung blutender Osophagus und
Magenvarizen mit Neodym-Yag-Laser dalam
Operative
Endoskopie
haL
19 - 26.
8. Paquet KJ. Wandsklerosierung bei Osophagusvarizen dalam
Opera-
tive
Endoskopie. Acron Verlag,
Berlin,
hal
33 - 46.
9. Soehendra
N.
Sclerotherapy
of Oesophageal
Varices
by Means of
Fibreendoscopy
in Clinical
Hepatology.
Springer
Verlag
Berlin
1983.
10. Tondobala
TH.
Hematemesis dan Melena. Buku Ilmu Penyakit
Dalam
1984,
haL
737 - 743.
11. Westaby
D, Macdougall B, Williams R. New Approaches to the
Management of Portal Hypertension and
Variceal
Haemorrhage
in Clinical
Hepatology.
Springer.
Verlag
Berlin 1983.
Dibawakan pada Simposium Penyakit Hati
Kalimantan
Timur,
Samarinda
20
Oktober
1985
Page 11
©2003 Digitized by USU digital library
11
Kardel dan Nielsen melaporkan bahwa pada 34 pasien penyakit hati kronik
yang
berat dijumpai adanya kelainan saraf perifer baik secara klinis maupun secara
elektrofisiologis ataupun keduanya pada 31 orang pasien. Dilaporkan bahwa
gangguan
metabolik yang menyebabkan terganggunya fungsi membran akson. Penelitian
lain
mendapatkan bahwa kejadian portosistemik shunt merupakan penyebab
terjadinya
kelainan saraf.
Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisiologis
pada
50 pasien penyakit hati kronik. Dijumpai sebanyak 34 pasien menunjukkan
adanya
peningkatan keadaan laten atau pengurangan amplitudo evoked sensory
potential of
the median nerve. Secara kinis gejala neuropati hanya terdeteksi pada 4 pasien
.
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik
dengan penyakit hati menahun. Dimana juga didapatkan disfungsi autonomik
baik
pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk
melaporkan
disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian
dari
generalized sensory-motor polineuropathy. Dimana sebagian besar penderita
disfungsi
autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer.
Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya
disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan
beratnya
sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan
etiologi
penyakit hati.
Dari uraian di atas penulis ingin meneliti apakah ada hubungan beratnya
penyakit hati dengan disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada penderita
sirosis
hati , sepengetahuan kami belum pernah dilakukan di Medan.
3.2. PERUMUSAN MASALAH
3.2.1. Apakah ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya
sirosis
hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh)
3.2.2. Apakah ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya
sirosis
hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh)
3.2.3. Apakah ada korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati
perifer
(sensorimotor) pada penderita sirosis hati.
3.3. HIPOTESA
3.3.1. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis
hati
(berdasarkan kriteria Child-Pugh)
3.3.2. Ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis
hati
(berdasarkan kriteria Child-Pugh)
3.3.3. Ada korelasi
antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer
(sensorimotor) pada penderita sirosis hati.
3.4.
TUJUAN PENELITIAN
3.4.1. Menilai adanya hubungan disfungsi autonomik pada penderita sirosis
hati
3.4.2. Menilai adanya hubungan neuropati perifer (sensorimotor) pada
penderita sirosis
hati
3.4.3. Mencari korelasi antara disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada
penderita sirosis hati.
Page 12
©2003 Digitized by USU digital library
12
3.5.
MANFAAT PENELITIAN
Dengan ditemukannya disfungsi autonomik sebagai faktor resiko yang penting
terhadap mortalitas pada penderita sirosis hati. Hasil ini dapat digunakan
untuk
menentukan prognosa penyakit yang jelek.
3.6.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
3.6.1. Disain Penelitian
Penelitian ini bersifat studi cross sectional.
3.6.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2001 sampai April 2002.
Tempat penelitian Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
3.6.3. Subjek
Kelompok kasus adalah penderita sirosis hati yang berobat jalan dan rawat
inap,
dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, KGD N/2PP, SGOT, SGPT,
alkalin fosfatase, gamma GT, bilirubin total, bilirubin direk, serum protein
elektroforesis, protrombin time, viral marker, USG hati, endoskopi,
elektrokardiografi, dan EMG (elektromiografi).
3.6.4. Kriteria yang Diikutkan dalam Penelitian
Penderita sirosis hati yang ditegakkan berdasarkan klinis, laboratorium, dan
USG.
3.6.5. Kriteria yang Dikeluarkan
Penderita sirosis hati dengan diabetes mellitus, ensefalopati, anemia berat (Hb
<
6 gr/dl), riwayat perdarahan 2 bulan sebelumnya, sedang diterapi dengan beta
bloker.
3.6.6. Jumlah Sampel
Sampel yang diikutkan dalam penelitian adalah semua penderita sirosis hati
yang berobat jalan maupun yang opname di Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan yang
memenuhi kriteria penelitian dan sesuai waktu penelitian.
Prevalensi disfungsi autonomik pada penderita sirosis hati 80%.
n = 27,31
30 orang
Dimana: Z〈 =1,96; P: proporsi (80% atau 0,8); Q=(1-P)= 0,2 dan d : presisi
atau
besar penyimpangan pengukuran yang masih dapat ditolerir = 15%.
a : taraf signifikansi sebesar 5%.
Za
2
PQ
d
2
1,96
2
X 0,8 X 0,2
0,15
2
Besar sample
53
:n=
=
Page 13
©2003 Digitized by USU digital library
13
3.6.7. Analisa Data
Uji Signifikansi dengan Chi-square test.
Uji korelasi dengan Spearman Rank correlation.
3.7. Persiapan Penderita
Tidak ada persiapan khusus untuk penderita. Hanya diperlukan penerangan
yang
baik kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan saraf perifer dan
ototnya. Untuk
memproleh hasil yang sempurna diperlukan kerjasama yang baik antara pasien
dengan
pemeriksa untuk melakukan kontraksi otot yang akan diperiksa. Perlu
diberitahukan
bahwa pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan stimulasi listrik dan
kadang-
kadang dengan jarum. Diterangkan bahwa pemeriksaan EMG tidak berbahaya
sehingga
tidak perlu takut untuk diperiksa.
3.8. PEMERIKSAN DISFUNGSI AUTONOMIK
Merupakan pemeriksaan test khusus yang sederhana dan tidak invasif yang
dipakai untuk mendeteksi adanya disfungsi autonomik.
3.8.1. Test Menguji Kerusakan Saraf Parasimpatis
3.8.1.1.Respon denyut jantung terhadap manuver valsava
Pasien meniup melalui manometer aneroid atau spigmomanometer yang
dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg, dan dipertahankan selama 15 detik.
Denyut
jantung diukur dengan rekaman EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava
yaitu
perbandingan R-R terpanjang setelah manuver dengan RR terpendek selama
manuver.
Hasil normal jika rasio valsava > 1,21, border line 1,11 – 1,20, abnormal <
1,10.
3.8.1.2.
Variasi denyut jantung (R-R interval) selama bernafas
dalam(∆ R6)
Cara pemeriksaan: Penderita duduk atau berbaring dengan tenang dan
bernafas
dalam sebanyak 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi).
Bersamaan
dengan itu dilakukan EKG. Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan
denyut
jantung minimal. Interpretasi hasil: normal, selisih > 14 x/menit; border line,
selisih
11 – 14 x/menit; abnormal, selisih < 11 x per menit.
3.8.1.3.
Respon denyut jantung setelah penderita berdiri (RR 30/15)
Cara pemeriksaan: Penderita berbaring dengan tenang lebih kurang tiga menit,
kemudian berdiri tanpa bantuan. Pantauan denyut jantung dengan EKG
dilakukan
sampai 15 denyut , kemudian tanpa berhenti dilanjutkan sampai dengan 30
denyut
setelah berdiri. Dihitung panjang R-R antara denyut 30 dan 15, lalu
bandingkan.
Perbandingan antara denyut 30 dan 15 disebut dengan rasio 30/15. Interpretasi
hasil:
normal, rasio 30/15 : > 1.03; border line, rasio 30/ 15: 1.01 – 1.03; abnormal,
rasio
30/15: < 1.01.
Page 14
©2003 Digitized by USU digital library
14
3.9. Test Menguji Kerusakan Saraf Simpatis
3.9.1.
Respon tekanan darah dari berbaring lalu berdiri
Perubahan posisi dari posisi berbaring ke berdiri akan menyebabkan terjadinya
akumulasi sebagian besar darah di ekstremitas bawah dan daerah splangnikus,
sehingga terjadi penurunan curah jantung dan penurunan tekan darah. Pada
orang
normal keadaan ini akan menyebabkan terjadinya kompensasi sistim saraf
simpatis
melalui refleks baroreseptor . Adanya kegagalan sistim simpatis oleh karena
neuropati
akan menyebabkan menurunnya tekanan darah sistolik maupun diastolik.
Cara pemeriksaan: Pasien berbaring tenang dan diukur tekanan darah sistolik.
Kemudian pasien disuruh berdiri tanpa bantuan dan diukur tekanan darahnya.
Tentukan
penurunan tekanan sistolik dari berbaring ke berdiri. Normal < 10 mmHg,
border line
11 – 29 mmHg, abnormal > 30 mmHg. Uji ini disebut dengan Schelong test.
3.9.2.
Respon tekanan darah terhadap Handgrip
Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat tegangan
sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah diukur 3 kali yaitu
sebelum
interval 1 menit selama beban handgrip. Hasilnya berupa perbedaan di antara
tingginya
tekanan diastolik selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolik
sebelum
dimulai handgrip. Respon normal jika dijumpai peningkatan tekanan darah
diastolik >
16 mmHg. border line: 11 – 15 mmHg, abnormal < 10 mmHg. Pemeriksaan
ini
memerlukan peralatan handgrip dinamometer untuk membuat pergerakan
tangan dan
dipertahankan dengan tekanan 30% dari tekanan maksimal.
4.
Alat Pemeriksaan/ Pengukuran
4.1 Pemeriksaan Disfungsi Autonom :EKG “Logos serie 8821”
Early disfungsi autonom : Ditemukan 1 dari uji diatas hasil abnormal atau 2
borderline
Definite disfungsi autonom: Ditemukan 1 abnormal dengan 2 borderline atau 2
uji abnormal.
4.2. Pemeriksaan Elektroneurografi : EMG “Medelec / TECA Sapphire II”
Dilakukan pemeriksaan untuk menilai neuropati perifer secara objektif.
Pemeriksaan dilakukan di Instalasi Diagnostik Terpadu RS. H.Adam Malik
Medan, oleh dokter ahli saraf.
KHS motorik n. Median, abn < 48, n. Peroneus, abn < 40, n. Tibialis < 40
KHS sensorik n. Median abn < 40, n. Peroneus < 35, n. Suralis < 36 m/detik.
4.8.HASIL PENELITIAN
Dari 30 orang penderita sirosis hati yang masuk penelitian terdiri dari 27 orang
laki laki dan 3 orang perempuan dengan umur rata rata 49,1 ± 19,9 tahun,
dimana
umur termuda 23 tahun dan tertua 70 tahun.
Dari 30 orang penderita sirosis hati, dimana 8 (26,6%) termasuk dalam
klasifikasi Child -Pugh A, 12 (40 %) Child- Pugh B dan 10 (33,3%) Child-
Pugh C. Dari
30 penderita 17 ( 56,6 %) dengan asites dan 13 (40,3 %) tanpa asites.
Page 15
©2003 Digitized by USU digital library
15
4.8.1. Hasil Pemeriksaan Fungsi Autonom
Tabel.2 Uji fungsi autonom pada penderita sirosis hati
Uji Fungsi autonom
Normal
Borderline
Abnormal
Total
? R6
15
11
4
30
RR 30/15
13
15
2
30
TD Berbaring-berdiri
24
5
1
30
Dari tabel diatas tampak 13,3 % pemeriksaan fungsi autonom ? R6 abnormal
, 6,7 % RR 30/15 dan hanya 3,3 % TD Berbaring-berdiri. Kerusakan lebih
sering pada
saraf parasimpatis daripada simpatis.
Tabel 3. Hubungan Beratnya Disfungsi Autonom dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child -Pugh
Disfungsi Autonom
A
B
C
Total
Normal
8
6
4
18
Early
0
6
4
10
Definite
0
0
2
2
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
= 10.8 df 4 p= 0.029
Dari tabel diatas tampak 12 (40%) yang didapatkan disfungsi autonomik ,
dimana 10 early (6 Child B dan 4 Child C) dan 2 definite Child C. Dengan uji
statistik
didapat p< 0.05. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya
sirosis
hati
4.8.2. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf pada Penderita Sirosis
Hati
Neuropati Perifer (Sensorimotor)
Abnormal
Motorik n. Median
16,7%
Motorik n. Peroneus
23,3%
Motorik n. Tibialis
23,3 %
Sensorik n. Median
56,7%
Sensorik n. Suralis
66,7%
Sensorik n. Ulnaris
33,3%
Dari tabel diatas pada penderita sirosis yang terbanyak neuropati perifer
sebanyak
66,7% mengenai saraf sensorik Suralis, 56,7% mengenai sensorik Median dan
33,3%
sensorik Ulnaris, 23,3%
masing masing saraf motorik Tibia dan Peroneus , hanya
16,7% mengenai motorik Media.
Page 16
©2003 Digitized by USU digital library
16
Tabel 5.Hub.Neuropati Perifer (motorik n. Median ) dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child Pugh
A
B
C
Total
Motorik n. Median: Normal
6
10
9
25
Abnormal
2
2
1
5
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=13,3 df 2 p=0.004
Dari tabel diatas ada 5 (16,5 %) yang mendapatkan neuropati perifer pada
saraf
motorik Median dan dengan uji statistik didapat p<0,05. Didapat ada
hubungan
neuropati perifer ( motorik n.Median ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 6. Hub.Neuropati Perifer ( Motorik n.Peroneus) dgn Beratnya Sirosis
Hati
Child -Pugh
A
B
C
Total
Motorik n.Peroneus Normal
6
8
9
23
Abnormal
2
4
1
7
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=8,53 df 2 p=0,03
Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n.Peroneus ) dan
dengan uji statistik didapat p<0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik
n.Peroneus ) dengan beratnya beratnya hati.
Tabel 7. Hub.Neuropati Perifer (Motorik n.Tibialis) dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child -Pugh
A
B
C
Total
Motorik n. Tibialis: Normal
5
9
9
23
Abnormal
3
3
1
7
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=8,53 df 2 p=0,03
Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n. Tibialis ) dan
dengan uji statistik didapat p <0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik
n.Tibialis ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 8.Hub.Neuropati Perifer ( Sensoris n. Median ) dgn Beratnya Sirosis
Hati
Child- Pugh
A
B
C
Total
Sensorik n.Median: Normal
3
5
5
13
Abnormal
5
7
5
17
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
= 0,53 df 2 p= 0,465
Page 17
©2003 Digitized by USU digital library
17
Dari tabel diatas didapat 17 (56,7%) neuropati perifer( sensorik n. Median )
dan
dengan uji statistik diadapat p >0,05. Tidak ada hubungan antara neuropati
perifer
(sensorik n. Median ) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 9. Hub.Neuropati Perifer(Sensorik n. Suralis) dengan Beratnya Sirosis
Hati
Child- Pugh
A
B
C
Total
Sensorik n.Suralis : Normal
2
5
3
10
Abnormal
6
7
7
20
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
=3,33 df 2 p=0,680
Dari tabel diatas didapat 20 (66,7%) neuropati perifer (sensorik n.Suralis ) dan
dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer
( sensorik
n.Suralis) dengan beratnya sirosis hati.
Tabel 10.Hub.Neuropati Perifer (Sensorik n. Ulnaris) dgn Beratnya Sirosis
Hati
Child- Pugh
A
B
C
Total
Sensorik n. Ulnaris : Normal
4
9
7
20
Abnormal
4
3
3
10
Total
8
12
10
30
Chi-Square . X
2
= 3,33 df 2
p=0,680
Dari tabel diatas didapat 10 ( 33 %) neuropati perifer ( sensorik n. Ulnaris )
dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer
( sensorik
n.Ulnaris ) dengan beratnya sirosis hati.
4.8.3. Korelasi
Antara Disfungsi Autonomik dengan Neuropati Perifer
(Sensorimotor) pada Penderita Sirosis Hati
Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor
polineuropathy, penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami
neuropati
perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita yang didapati
disfungsi
autonomik, 11 diantaranya juga didapati neuropati perifer ( sensorimotor ).
Pada
pemeriksaan uji fungsi autonom , variasi denyut jantung selama bernafas
dalam ( ∆
R6 ) dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ) pada uji korelasi
Spearman
dengan r = 0,527 p= 0,003 . Ini menyatakan adanya korelasi yang kuat antara
variasi denyut jantung bernafas dalam (∆ R6 ) dengan neuropati perifer.
Begitu juga
dengan respon denyut jantung dari berbaring ke berdiri ( RR 30/15 ) dengan
neuropati
perifer ( sensorik n. Suralis ) , r = 0,456 p = 0,010. Ini menyatakan ada
korelasi
antara RR 30/15 dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ). Respon
tekanan
darah dari berbaring ke berdiri dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ),
r=
0,275 p= 0,142. Tidak didapat korelasi antara respon TD Berbaring-berdiri
dengan
neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ). Juga tidak didapat adanya korelasi
antara
disfungsi autonomik dengan neuropati perifer ( sensorik n Suralis ) , r = 0.253
p=
0,505.
Page 18
©2003 Digitized by USU digital library
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan ditemukan demielinisasi
dan
remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus suralis pada pasien
dengan
berbagai penyakit hati kronik. Beberapa peneliti mendapatkan adanya
hubungan antara
disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, baik pada penyakit hati
menahun
alkoholik atau non alkoholik.
Trevisani dkk melaporkan 80% dari 30 penderita sirosis hati menunjukkan
adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik berhubungan
dengan berat
sirosis hati ( berdasarkan kriteria Child-Pugh ) dan tidak berhubungan dengan
etiologi
penyakit hati. Chaudry dkk dengan pemeriksaan elektrofisiologi pada
penderita sirosis
hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan “ length-dependent axonal
neuropathy”
atau “ dying back neuropathy”. Dimana sebagian besar penderita sirosis hati
dengan
disfungsi autonomik juga terbukti mengalami neuropati perifer.
Neuropati yang terjadi tidak tergantung kepada etiologi penyakit hati, ada
hubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya
penyakit hati.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena
kegagalan
fungsi hati menyebabkan terjadinya neuropati.
Pada penelitian ini pemeriksaan fungsi autonom variasi denyut jantung selama
bernafas dalam ( ∆ R6 ) sebanyak 17,3%, respon segera denyut jantung
setelah
penderita berdiri ( RR 30/15 ) 6,7% dan respon tekanan darah dari berbaring
ke berdiri
( TD Berbaring-berdiri ) 3,3%. Hendrickse
11
mendapatkan 45%
∆ R6, 5% TD
Berbaring – berdiri, Oliver mendapatkan 36,6% ∆ R6 dan
3,3 % RR 30/15 yang abnormal.
Penelitian ini mendapatkan uji fungsi parasimpatis lebih sering dari pada
simpatis ( tabel.5 ), menggambarkan kerusakan lebih awal pada vagal
kemungkinan
besar lebih mudahnya kerusakan serabut parasimpatis kemudian berikutnya
simpatis.
Urutan kerusakan menunjukkan uji disfungsi parasimpatis lebih sensitif dari
pada uji
simpatis. Keresztes dkk, didapat perbaikan yang signifikan disfungsi
autonomik setelah
transplantasi hati, dimana perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi
parasimpatis,
kemudian perbaikan simpatis.
Disfungsi autonomik yang didapat pada penelitian ini sebanyak 12 (40%)
dimana 10 early ( 6 Child B dan 4 Child C ) dan 2 definite( 2 Child C) ( tabel.
6 ).
Trevisani mendapatkan 80% disfungsi autonomik , definite sebanyak 40 %,.
Chaudry
mendapatkan disfungsi autonomik 48%, Fleckenstein 67 %, early 31 % ,
definite
36%
Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara beratnya disfungsi
autonomik dengan beratnya keparahan penyakit hati ( Child-Pugh ) p< 0.05
( tabel.6 ) , sesuai dengan yang dilaporkan Trevisani, Oliver, Hendrickse,
Chaudry,
Thuluvath, Kempler.
Pada pemeriksaan kecepatan hantaran saraf untuk menilai neuropati
perifer(sensorimotor), pada penelitian ini didapatkan motorik n.median yang
abnormal
16,7%, n. peroneus 23,3% dan n. tibialis 23,3% sedangkan sensorik n. suralis
66,7%,
Page 19
©2003 Digitized by USU digital library
19
n. ulnaris 33,3% dan n. median 56,7%. ( tabel.7 ) Saraf sensori neuropati lebih
banyak
dijumpai daripada saraf motorik neuropati. Oliver pada motorik n. median
13,3%,
sensorik n. suralis 16,6 %, sensorik n. median 6,6%., Chaudry
mendapatkan
neuropati perifer sebanyak 24% pada motorik n. peroneus, Kardel 67,6%,
Knill- Jones
14,2%, dan Hakim 73,9%.
Penelitian ini mendapatkan adanya hubungan antara neuropati perifer dengan
beratnya penyakit
hati, motorik
n. median, peroneus dan tibialis p<0,05
(tabel.8,9,10 ), Sama yang didapatkan Trevisani, Oliver dan Hakim,
sedangkan dengan
sensorik n. median, suralis dan ulnaris tidak didapat adanya hubungan, p >
0,05
(tabel.11,12,13 )
Pada kepustakaan terdapat variasi prevalensi neuropati perifer berkisar antara
0-90%. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya kriteria yang digunakan
dalam
mendeteksi neuropati dan beratnya neuropati yang digunakan untuk
menentukan
neuropati perifer.
Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor
polineuropathy , penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami
neuropati
perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita disfungsi
autonomik, 11
diantaranya juga dijumpai neuropati perifer , 84%. Chaudry mendapatkan
91%. Pada
penelitian ini
didapatkan adanya korelasi antara variasi denyut jantung selama
bernafas dalam (∆ R6 ) dengan sensorik n. suralis ; r= 0,057; p < 0,05, RR
30/15 r=
0,456 ; p < 0,05 sedangkan dengan respon tekanan darah berbaring ke berdiri,
r=
0,275 ; p > 0,05. Oliver
10
mendapatkan
korelasi antara ∆ R6 dengan sensorik n.
median r =0,35 ; p < 0,05, RR 30/15 dengan motorik n. peroneus
r= 0,50; p < 0,01.
Pada penelitian ini tidak didapat adanya korelasi antara disfungsi autonomik
dengan neuropati perifer sensorik n. suralis r =0,253 ; p> 0,05 .
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
5.1.1. Pada penderita sirosis hati dijumpai adanya disfungsi autonomik dan
beratnya disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati.
5.1.2. Pada penderita sirosis hati dijumpai prevalensi yang tinggi untuk
terjadinya
neuropati perifer ( sensorimotor ) dan berhubungan dengan beratnya sirosis
hati, terutama saraf motorik.
5.1.3 Tidak dijumpai adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan
neuropati
perifer ( sensorimotor ) pada penderita sirosis hati.
Page 20
©2003 Digitized by USU digital library
20
5.2
SARAN
Perlu penelitian lanjutan dengan cara kohort dengan penderita yang lebih
banyak agar disfungsi autonomik dapat dipakai sebagai prediktor prognostik
mortalitas pada penderita sirosis hati.
BAB VI
KEPUSTAKAAN
Abergel A, Braillon A, Gaudin C, Kleber G, Lebrec D. Persistence of a
hyperdynamic
circulation in cirrhotic rats following removal of the sympathetic nervous
system.
Am J Gastroenterology 1992; 102:616-60.
Asbury AK. Hepatic neuropathy. In: Dick PJ, Thomas PK, Lambert EH,
Bunge R.
Peripheral neuropathy. 2
th
Ed. WB Saunders company, Philadelphia, 1984;
1826-1831.
Chari VR, Katiyar BC, Rastogi BL, Bhattacharya SK. Neuropathy in hepatic
disorders: a
clinical, electrophysiological and histopathological appraisal. Journal of the
Neurological Sciences,1977,31:93-111.
Chaudhry V, Corse AM, O’Brien R, Cornblath DR, Klein AS, Thuluvath PJ.
Autonomic and
peripheral (sensorimotor) neuropathy in chronic liver disease: a clinical and
electrophysiology study. Hepatology 1999; 29:1689-1703.
Chopra JS, Samantha AK, Murthy JM et al. Role of porta systemic shunt and
hepatocellular damaged in the genesis of hepatic neuropathy. Cin Neurol
Neurosurg 1980;82;37-44. abstrak
Consensus statement. Standarized measures in diabetic neuropathy. Diabetes
Care.
Suppl 1995;18: 59-82
Darmansjah I, Setiawati A, Gan S. Susunan saraf otonom dan transmisi
neurohumoral.
Dalam: Gan S. Ed, Farmakologi Terapi, Ed. IV. Jakarta,Balai Penerbit FKUI,
1995; 25
Daube JR. Electrophysiologik testing in diabetic neuropathy. In: Dyck PJ,
Thomas PKI,
Asbury A, Winergrad A, Porte D (eds). Diabetic Neuropathy, Philadelphia:
WB
Saunders, 1987; 162-76.
Dayan AD, Williams R. Demyelinating peripheral neuropathy and liver
disease. Lancet
1967: 15; 133 -4.
Decaux G, Gauchie P, Soupart A, Kruger M, Delwiche F. Role of vagal
neuropathy in the
hyponatraemia of alcoholic cirrosis, Br Med J 1986; 293:1534-36
Page 21
©2003 Digitized by USU digital library
21
Ewing DJ, Clarke BF. Diagnisis and management of diabetic autonomic
neuropathy. BMJ
1982; 285:916-8
Ewing DJ, Martyn CN, Young RJ, Clarke BF. The value of cardiovascular
autonomic
function test: 10 years experience in diabetes. Diabetes Care 1985; 8:491-8.
Fleckenstein JF, Frank SM, Thuluvath PJ, Pre sence of autonomic neuropathy
is a poor
prognostic indicator in patients with advanced liver disease. Hepatology 1996;
23:471-5. .
Frieling T. Autonomic dysfunction and liver disease. In: Liver and nervous
system.
Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no.
103,
Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997.
Griffin J. Disorder of the peripheralnervous system. Johns Hopkins School of
Medicine
Lecture Notes, The Johns Hopkins University 1997.
Groszmann RJ. de Francis R, Portal hypertension. In: Schiff ER, Sorell MF,
Madrey
WC.Eds .Schiff disease of the liver. Lippincot Raven Publisher. Philadelphia
1999:1:387-93
Groszmann RJ. Hyperdynamic circulation of liver disease 40 years later:
Pathophysiology and clinical consequences. Hepatology 1994; 20:1359-63.
Hadi S. Sirosis Hati. Dalam : Gastroenterologi. Edisi I, Bandung. Alumni ,
1991:494-
529.
Hadi S. Prevalensi hepatitis B dan C pada penderita penyakit hati kronis. Acta
Medica
Indonesiana 1994, XXVI; 111-119.
Hakim M, Wibowo BS, Purba JS, Husodo UB. Peripheral neuropathy in
cirrhosis patient:
Correlation between the severity of liver dysfunction and the degree of
peripheral neuropathy. ASNA ,Kuala Lumpur 22-24 Maret 2001.abstrak
Hendrickse MT, Thuluvath PJ, Triger DR. Natural history of autonomic
neuropathy in
chronic liver disease. Lancet 1992; 332:1462-4
Hendrickse MT, Triger DR. autonomic dysfunction in chronic liver disease..
Clin Auton
Res 1993;3:227-31.abstrak
Henriksen JH, Moller S, Larsen HR, Christensen NJ. Sympathetic nervous
system in liver
disease. Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no 103, Freiburg
(Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak
Kempler P, Varadi A, Szalay F. Autonomic neuropathy in liver disease.
Lancet 1989;
2:1332.
Kennet RP. Nerve conduction and electromyography.Medicine 1996;10:26-28
Keresztes K, Marton A, Hermanyi ZS, et al. Improvement of cardiovascular
autonomic
and peripheral sensori nerve function after orthotopic liver transplantation. In:
Page 22
©2003 Digitized by USU digital library
22
Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week
freiburg.
Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak
Knill-Jones RP, Goodwill CJ, Dayan AD, Williams R. Peripheral neuropathy
in chronic
liver disease: clinical, electrodiagnostic, and nerve biopsy findings. J Neurol
Neurosurg Psych 1972; 35:22-30.
Madiyono B, Moeslichan D, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar
sample. Dalam:
Sastroasmoro S, Ismael S (eds). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis.
Jakarta, Binarupa Aksara, 1995; 187-212.
Meh D, Denislic M. Complex rehabilitation, Peripheral neuropathy: neurology
and
psychiatry hand in hand. In: Invited Symposium. 6
th
Internet world congress for
biomedical sciences.
Merican I. Complication of Chirrosis. In: Guam R, Kang JY, Ng HS. (Eds).
Management
of Common Gastroenterological problems a Malaysia and Singapore
perspective
2
nd
Ed, Singapore Medimedia Asia, 1995:166-82.
Murti B. Memilih uji statistik yang sesuai. Dalam Murti B Ed. Penerapan
metode statistik
non parametrik dalam ilmu kesehatan.Jakarta,Gramedia, 1996:20-2
Noback CR, Demarest RJ. Anatomi mikroskopik dasar. In: Anatomi susunan
saraf
manusia: Prinsip-prinsip dasar neurobiologi. 2
th
Ed.Jakarta, EGC; 35-64.
O Brien IA, OHare P, Corrall RJM. Heart rate variability in health subjects:
effect of age
and variation of normal ranges for test of autonomic function. Br Heart J
1986;55:348-54
Oliver MI, Miralles R, Rubies-Part J, Navarro X, Espadaler JM, Sola R,
Andreu M.
Autonomic dysfunction in patients with non alcoholic chronic liver disease. J
Hepatol 1997; 26:1242-8.
Pagan JCG, Santos C, Barbera JA. Physical exercise increases portal pressure
in patients
with cirrhosis and portal hypertension. J Gastroenterol 1996; 111:1300-6
Perdossi. Neuropati. Dalam: Harsono Ed. Buku ajar neurologi klinis.
Yogjakarta, Gajah
Mada Univesity Press. 1999.303-6
Poncelet AN. An algorithm for the evaluation of peripheral
neuropathy.American Family
Physician. 15 Feb. 1998
Pugh RN, Murray-Lyon IM, Dawson JL, Pietroni MC, Williams R.
Transection of the
oesophagus for bleeding oesophageal varices. Br J Surg 1973; 60:646-9.
Puthumana L, Chaudry V, Thuluvath PJ. Prolong QTc interval and its
relationship to
autonomic cardiovascular reflexes in patients with cirrhosis. Journal of
Hepatology 2001;3:733-738
Seneviratne KN, Peiris OA. Peripheral nerve function

You might also like