Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab
kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang
perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar
kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan
seperti perdarahan saluran cerna bagian atas,koma peptikum, hepatorenal
sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular
carsinoma. Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan
di negara maju, maka kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya
kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit in, dan lebih kurang 30% lainnya
ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya
ditemukan saat atopsi.
DEFINISI
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul- nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan
sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur
hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami
fibrosis. Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi
mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati
mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan
ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.
INSIDENS
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 –
49 tahun.
KLASIFIKASI
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.
ETIOLOGI
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolic :
a. Hemakhomatosis (kelebihan beban besi)
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga)
c. Defisiensi Alpha-antitripsin
d. Glikonosis type-IV
e. Galaktosemia
f. Tirosinemia
4. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus,
dimana empedu membantu mencerna lemak. Pada bayi penyebab sirosis
terbanyak adalah akibat tersumbatnya saluran empedu yang disebut Biliary
atresia. Pada penyakit ini empedu memenuhi hati karena saluran empedu
tidak berfungsi atau rusak. Bayi yang menderita Biliary berwarna kuning
(kulit kuning) setelah berusia satu bulan. Kadang bisa diatasi dengan
pembedahan untuk membentuk saluran baru agar empedu meninggalkan
hati, tetapi transplantasi diindikasikan untuk anak-anak yang menderita
penyakit hati stadium akhir. Pada orang dewasa, saluran empedu dapat
mengalami peradangan, tersumbat, dan terluka akibat Primary Biliary
Sirosis atau Primary Sclerosing Cholangitis. Secondary Biliary Cirrosis
dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan saluran empedu.
5. Sumbatan saluran vena hepatica
- Sindroma Budd-Chiari
- Payah jantung
6. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH, dan lain-
lain)
8. Operasi pintas usus pada obesitas
9. Kriptogenik
10. Malnutrisi
11. Indian Childhood Cirrhosis
GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis dari Sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal
yang tersebut di bawah ini :
1. Kegagalan Prekim hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalophati hepatitis
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
a. Merasa kemampuan jasmani menurun
b. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
c. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
d. Pembesaran perut dan kaki bengkak
e. Perdarahan saluran cerna bagian atas
f. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic
enchephalopathy
g. Perasaan gatal yang hebat
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan
arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan
perenkym hati yang masing-masing memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Kegagalan sirosis hati
a. edema
b. ikterus
c. koma
d. spider nevi
e. alopesia pectoralis
f. ginekomastia
g. kerusakan hati
h. asites
i. rambut pubis rontok
j. eritema palmaris
k. atropi testis
l. kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan)
2. Hipertensi portal
a. varises oesophagus
b. spleenomegali
c. perubahan sum-sum tulang
d. caput meduse
e. asites
f. collateral veinhemorrhoid
g. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)
Klasifikasi Sirosis hati menurut criteria Child-pugh :
Skor / parameter
1
2
3
Bilirubin (mg%)
<2,0
2-<3
> 3,0
Albumin (gr%)
>3, 5
2,8 - < 3,5
<2,8
Prothrombin time (Quick%)
> 70
40 - < 70
< 40
Asites
0
Minimal – sedang
(+) – (++)
Banyak +++)
Hepatic enchepha Lopathy
Tidak ada
Std 1 dan II
Std III dan IV
KOMPLIKASI
1. Perdarahan gastrointestinal
Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan
pecah sehingga timbul perdarahan yang masih.
2. Koma Hepatikum.
3. Ulkus Peptikum
4. Karsinoma hepatosellural
Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang
multiple.
5. Infeksi
Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc paru,
glomerulonephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis,
srisipelas, septikema
6. Penyebab kematian
PENATALAKSANAAN
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Suportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi
bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah
mendapatkan pengobatan IFN seperti :
a) kombinasi IFN dengan ribavirin
Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan
untukjangka waktu 24-48 minggu.
b) terapi induksi IFN
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis yang
lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu dengan
atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) terapi dosis IFN tiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari
sampai HCV-RNA negatif di serum dan jaringan hati.
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti :
a. Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
- istirahat
- diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat
dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila
gagal maka penderita harus dirawat.
- diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet
rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat
badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu
komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini
dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic
adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat
dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis
maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan
dengan furosemid.
Terapi lain :
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan
konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis.
Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari,
dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan
asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa
opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C,
Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit <
40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.
b. Spontaneous bacterial peritonitis
Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan
parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati
dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada
sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus
penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi
secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi
permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Adanya
kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut :
- Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites
- Clinical feature my be absent and WBC normal
- Ascites protein usually <1 g/dl
- Usually monomicrobial and Gram-Negative
- Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs
- 50% die
- 69 % recur in 1 year
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara
oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk profilaxis dapat
diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
c. Hepatorenal syndrome
Adapun criteria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut :
Criteria for diagnosis of hepato-renal syndrome :
Major :
- Chronic liver disease with ascietes
- Low glomerular fitration rate
- Serum creatin > 1,5 mg/dl
- Creatine clearance (24 hour) < 4,0 ml/minute
- Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic drugs
- Proteinuria < 500 mg/day
- No improvement following plasma volume expansion
Minor :
- Urine volume < 1 liter / day
- Urine Sodium < 10 mmol/litre
- Urine osmolarity > plasma osmolarity
- Serum Sodium concentration < 13 mmol / litre
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang
berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan
elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat
dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta
menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat
bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis
yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan
shock. TIPS hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada
pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik adalah
transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.
d. Ensefalophaty hepatic
e. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi
sering dinomo rduakan, namun yang paling penting adalah
penanganannya lebih dulu. Prinsip penanganan yang utama adalah
tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini
maka dilakukan :
- Pasien diistirahatkan daan dpuasakan
- Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
- Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali
kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,
pemberian obat-obatan, evaluasi darah
- Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibrinolitik,
VitaminK, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
- Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka
menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade
dan Tindakan Skleroterapi / Ligasi atau Oesophageal Transection.
e. Ensefalopati Hepatik
Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita
penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan
kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya
enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus,
antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang
Hepatotoxic.
Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :
1. mengenali dan mengobati factor pencetua
2. intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta
toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan :
- Dier rendah protein
- Pemberian antibiotik (neomisin)
- Pemberian lactulose/ lactikol
3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter
- Secara langsung (Bromocriptin,Flumazemil)
- Tak langsung (Pemberian AARS)
KESIMPULAN
Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan
mengobati penyulit, maka prognosa SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis
hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena
itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam
penatalaksanaan sirosis hati.
KEPUSTAKAAN :
1. Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases
2. Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung
3. Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England
Blackwell
1997
4. Hakim Zain.L, Penatalaksanaan Penderita Sirosis Hepatitis
5. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI,
Jakarta
1987
6. Anonymous http://alcoholism.about.com/library/blcirrosis.htm
7. Lesmana.L.A, Pembaharuan Strategi Terapai Hepatitis Kronik C, Bagian
Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. RSUPN Cipto Mangunkusumo
Hipertensi Portal pada Anak
Bambang Surif*, Julius Roma**
*Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin
Sudirohusodo
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang
**Bagian Ilmu Kesehatan Anak (Subdivisi Gastrohepatoenterologi) Rumah
Sakit Umum Pusat
Dr. Wahidin Sudirohusodo/Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Ujung Pandang
ABSTRAK
Hipertensi portal terjadi jika tekanan dalam sistim vena porta meningkat diatas
10-12 mmHg yang dapat terjadi ekstrahepatik, intrahepatik dan suprahepatik.
Penampakan dari ketiga jenis hipertensi portal ini dapat mirip satu dengan
yang
lainnya, namun penyebab, komplikasi dan penanganan dapat sangat berbeda.
Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis,
laboratorium, endoskopi, pencitraan, biopsi hati dan pengukuran tekanan vena
porta.
Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang tepat merupakan syarat
mutlak.
PENDAHULUAN
Hipertensi portal merupakan gabungan antara penurunan
aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal
(1)
.
Hipertensi portal dapat terjadi jika tekanan dalam sistem vena
porta meningkat di atas 10-12 mmHg. Nilai normal tergantung
dari cara pengukuran, terapi umumnya sekitar 7 mmHg
(2)
.
Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh ada-
nya hambatan aliran vena porta atau peningkatan aliran darah
ke dalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah dalam sistim
portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau
cabang-cabang selanjutnya (ekstra hepatik), peningkatan
tahanan vaskuler dalam hati yang terjadi dengan atau tanpa
pengkerutan (intra hepatik) yang dapat terjadi presinusoid,
parasinusoid atau postsinusoid dan obstruksi aliran keluar vena
hepatik (supra hepatik)
(3)
.
Diagnosis hipertensi portal ditegakkan berdasarkan anam-
nesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, endoskopi, pencitraan,
biopsi hati dan pengukuran tekanan vena porta.
Usaha penyelamat hidup seperti tindakan pembedahan
endoskopik atau pemberian obat-obatan terus berkembang.
Untuk dapat mengelola dengan baik, diagnosis yang tepat
merupakan syarat mutlak
(2)
.
Vena-vena yang membentuk sistim portal adalah vena
porta, vena mesenterika superior dan inferior, vena splanikus
dan cabang-cabangnya. Vena porta sendiri dibentuk dari
gabungan vena splanikus dan vena mesenterika superior
(gambar 1).
Anatomi vena porta
Gambar 1. Anatomi vena porta (dikutip dari
(2)
.
(a) Vena porta
(h) Vena gastrika dekstra
(b) Vena mesenterika superior
(i) Vena gastrika sinistra
(c) Vena
splanikus
(j) Venapankreatiko-duodenale
(d) Vena mesenterika inferior
(k) Vena kistika
(e) Vena gastro-epiploika dekstra
(1) Cabang kanan vena porta
(f) Vena gastro-epiploika sinistra
(m) Cabang kici vena
Vena porta membawa darah ke hati dari lambung, usus,
limpa, pankreas dan kandung empedu. Vena mesenterika
superior dibentuk dari vena-vena yang berasal dari usus halus,
kaput pankreas, kolon bagian kiri, rektum dan lambung. Vena
porta tidak mempunyai katup dan membawa sekitar tujuh
puluh lima persen sirkulasi hati dan sisanya oleh arteri
hepatika. Keduanya mempunyai saluran keluar ke vena
hepatika yang selanjutnya ke vena kava inferior.
ETIOLOGI
Seperti yang telah dijelaskan di atas, hipertensi portal
dapat terjadi ekstra hepatik, intra hepatik dan supra hepatik.
Obstruksi vena porta ekstra hepatik merupakan penyebab
50-70% hipertensi portal pada anak, tetapi dua per tiga kasus
tidak spesifik penyebabnya tidak diketahui, sedangkan obs-
truksi vena porta intra hepatik dan supra hepatik lebih banyak
menyerang anak-anak yang berumur kurang dari 5 tahun yang
tidak mempunyai riwayat penyakit hati sebelumnya
(2,4)
.
Pada hipertensi portal ekstra hepatik, obstruksi terjadi
pada aliran darah portal antara hilus lien dan hilus hepar atau
meningkatnya aliran darah vena porta. Sumbatan ini bisa
karena sisa-sisa jaringan fibrous, trombus, tekanan dari luar,
adanya web atau diafragma atau sekelompok kolateral yang
mengalami transformasi kavernous
(3)
. Pernah dicoba peng-
ikatan vena porta pada binatang percobaan, tetapi tidak
menimbulkan gejala-gejala seperti yang didapatkan pada
manusia. Ini menunjukkan bahwa proses hipertensi portal
berlangsung perlahan-lahan
(3)
. Penyebab-penyebab hipertensi
portal ekstrahepatik diperlihatkan pada tabel 1
(2)
.
Tabel 1. Penyebab hipertensi portal ekstrahepatik
Obstruksi vena porta dan vena splenikus
Idiopatik
Septikemia
Kongenital Kolangitis
Kelainan struktural
Trauma
Omfalitis
Ulkus abdomen
Kateterisasi vena umbilikalis
Pankreatitis
Piloflebitis Keganasan
Sepsis intra abdomen
Pembesaran kelenjar limfe
Pembedahan dekat portahepatik
Kista duktus koledokus
Hipertensi portal intra hepatik dapat timbul dari kelainan
hepar dengan pengkerutan dan tanpa pengkerutan seperti
fibrosis hepatik kongenital, dimana sekitar 25% kasus-kasus
hipertensi portal anak diakibatkan oleh kelainan hepar dengan
pengkerutan. Pada kelainan hati dengan pengkerutan terjadi
jaringan ikat parut yang difus, pengkerutan jaringan ikat yang
selanjutnya akan meningkatkan tabanan vaskuler
(3,4)
. Kelainan
hati dengan pengkerutan merupakan penyebab terbanyak
hipertensi portal di Amerika Serikat
(6)
. Faktor terpenting
hipertensi portal intrahepatik adalah peningkatan resistensi
aliran darah portal pada tingkat sinusoid oleh karena pe-
numpukan kolagen perisinusoid pada ruang Disse dan
konsekuensi dari penyempitan sinusoid
(4)
. Penyebab lain dari
hipertensi portal intrahepatik tercantum dalam tabel 2
(2)
.
Tabel 2. Penyebab hipertensi portal intrahepatik
Presinusoid
: Hepatitis akut dan kronik
Sirosis
Fibrosis hati kongenital
Sistosomiasis
Infiltrasi saluran porta
Granuloma
Hemangioma
Intoksikasi vitamin A
Sklerosis
hepato-porta
Idiopatik
Parasinusoid :
Sirosis
Hepatitis kronik dan akut
Perlemakan
hati
Hiperplasia nodular fokal
Perisinusoid :
Sirosis
Keganasan
dengan
metastasis
Penyakit veno oklusif
Trombosis vena hepatik
Dikutip dari Mowat
(2)
Hipertensi portal supra hepatik disebabkan karena kurang-
nya darah vena hepatik yang masuk ke vena cava inferie
misalnya pada sindroma Budd - Chiari, gagal jantung kanan
berat, perikarditis konstriktiva, trombosis vena hepatik atau
vena kava inferior
(3,4)
. Adapun penyebab lain dari hipertensi
portal suprahepatik diperlihatkan dalam tabel 3
(2)
.
Tabel 3. Penyebab hipertensi portal suprahepatik
Gagal jantung kongesif
Perikarditis konstriktiva
Sindroma Budd-Chiari
Polisitemia
Neoplasma
Trauma
Webs vena kava inferior
Dikutip dari Mowat
(2)
PATOLOGI
Efek patologis yang utama adalah timbulnya kolatera-
kolateral yang membawa darah dari sirkulasi portal ke
sirkulasi sistemik yang dapat menerangkan banyak gejala-
gejala dan tanda-tanda dari kelainan ini. Kolateral terjadi (a)
dimana epitel penyerapan bergabung dengan epitel bertingkat
di esofagus alas anus (b) pada ligamentum falsiforme (c) pada
dinding perut bagian posterior yang membawa darah ke vena
kava inferior (d) aliran ke ginjal kiri dan jarang (e) ke vena
pulmonalis
(2)
.
Pada obstruksi ekstrahepatik sementara, bagian terbesar
hati dan sel-sel hati ukurannya mengecil terutama jika terdapat
sirkulasi kolateral yang luas. Fibrosis perilobular dan steatosis
juga sering didapatkan. Limpa menjadi besar dengan penebal-
an kapsul dan peningkatan retikulum di sekitar sinusoid yang
berdilatasi. Proliferasi histiosit pada sinusoid-sinusoid. Arteri
dan vena splenikus, vena porta berdilatasi dan berkelok-kelok
serta kadang-kadang terjadi kalsifikasi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000
42
GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik pada hipertensi portal ekstra hepatik
muncul pada umumnya sebelum anak berumur 5 tahun, be-
berapa anak muncul sebelum usia 1 tahun (yang termuda
berumur 7 bulan), tetapi sebagian besar muncul umur 3-5
tahun
(4)
. Ada 2 kriteria klinik yang sering terdapat pada
keadaan ini yaitu splenomegali dan hematemesis atau melena
dari varises esofagus serta kadang-kadang disertai asites
(1,2,7)
.
Hipertensi portal ekstrahepatik dicurigai jika didapatkan
riwayat penyakit dan gambaran klinis sebagai berikut : anak
tampak baik, pertumbuhan dan berat badan tidak terlalu
terganggu, tidak ada riwayat penyakit hati atau ikterus, ada
riwayat penyakit neonatus (omfalitis, sepsis, dehidrasi, riwayat
kateterisasi vena umbilikalis untuk Sindrom Distres Pernapas-
an atau untuk transfusi tukar), tidak ada tanda-tanda penyakit
hati kronik, pembesaran perut yang intermitten atau asites
yang sukar diterangkan, tidak ada riwayat penyakit hati atau
penyakit ginjal
(2,4)
.
Splenomegali dapat merupakan gejala awal yang paling
sering yang terjadi karena terbukanya sinus-sinus vaskuler dan
hiperplasia limpa.
Anamnesis yang cermat dan evaluasi klinik dapat me-
nyingkirkan banyak penyakit-penyakit infeksi yang menyebab-
kan splenomegali seperti mononukleus infeksiosa, infeksi
traktus respiratorius atau gangguan metabolik seperti penyakit
Gaucher.
Pendarahan pada hipertensi portal ekstrahepatik dapat
berupa hematemesis atau melena yang dapat terjadi pada anak
yang sebelumnya sehat tapi mengeluh sakit perut tiba-tiba.
Keadaan ini merupakan penyebab sekitar 12% kematian pada
anak dengan hipertensi portal. Perdarahan saluran cerna biasa-
nya berhenti spontan, tapi perdarahan ulang dapat terjadi
dengan interval tidak teratur yang makin lama makin sedikit
jika kolateral telah terjadi. Ensefalopati jarang merupakan
komplikasi perdarahan. Beberapa pasien dengan hipertensi
portal tidak disertai dengan perdarahan.
Asites terjadi karena penurunan sintesis albumin, retensi
natrium dan efek mekanik peninggian tekanan portal serta
hiperaldosteronisme.
Gambaran klinik hipertensi portal intrahepatik hampir
sama dengan gambaran klinik bentuk ekstrahepatik dimana
splenomegali yang dihubungkan dengan hipersplenisme paling
sering dijumpai. Pirau vena periumbilikal dapat terjadi. Jika
terjadi perdarahan gastrointestinal dapat diikuti dengan mem-
buruknya fungsi hepar dan gambaran ensefalopati hepatik
dapat terjadi
(2,3)
.
Bentuk akut hipertensi portal supra hepatik biasanya
dengan asites (95%), hepatomegali (70%) dan nyeri tekan
daerah perut (50%) disertai dengan muntah dan ikterus ringan.
Diare merupakan komplikasi yang sering timbul. Jika obs-
truksi vena porta komplit, kematian dapat terjadi oleh karena
kegagalan hati. Pelebaran vena-vena superfisial perut biasanya
sebanding dengan derajat obstruksi. Varises esofagus jarang
terjadi kecuali bila perlangsungan penyakit yang lama, oleh
sebab itu hematemesis jarang dijumai pada awal penyakit
(3)
.
Adanya pelebaran vena-vena perut membuat kita men-
curigai suatu hipertensi portal. Pada daerah tersebut dapat
terdengar bising (bising Cruveilhier Baumgarten) yang sering
didapatkan pada hipertensi portal intra hepatik. Hemoroid
jarang pada anak tetapi bisa menjadi serius apabila ada. Ini
lebih sering ditemukan pada kelainan hati dengan peng-
kerutan
(4)
.
DIAGNOSIS
Diagnosis suatu hipertensi portal berdasarkan atas
anamnesis, pemeriksaan fisis, pencitraan, laboratorium, endos-
kopi, pengukuran tekanan vena porta dan biopsi hati
(1,3)
.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk men-
deteksi adanya suatu hipertensi portal adalah sebagai berikut
(tabel 4).
Tabel 4. Pemeriksaan pada penderita yang diduga hipertensi portal
Uji fungsi hati
Waktu protrombin
Pemeriksaan darah lengkap
USG hati sistim bilier
Pemeriksaan radioisotop sistim vena porta dan ginjal
Endoskopi
Esofagogram
Mencari penyebab hepatitis kronik
Biopsi hati
Pemeriksaan sebelum operasi
Pemeriksaan radiologik sistim vena porta dan cabang-cabangnya atau
portografi umbilikal
Venogram hepatik retrograd
Venocavogram interior
Venografi porta transhepatik perkutan
Dikutip dari Mowat
(2)
Pencitraan sebagai salah satu penunjang diagnostik hiper-
tensi portal juga memegang peranan penting untuk mendeteksi
secara akurat tanda-tanda klinis serta komplikasi hipertensi
portal
(7)
. Pemeriksaan untuk melihat kelainan anatomis sistim
porta diperlukan untuk melakukan koreksi operatif maupun
transplantasi hati. Untuk hal ini USG Doppler sangat
menolong sedangkan angiografi dan venografi vena splenikus
berguna untuk melihat potensi vena porta dan cabang- cabang-
nya. CT scan tidak lebih unggul dari USG Doppler dalam
melihat vena porta dan kolateralnya. Portografi umbilikus
dapat melihat vena porta dan cabang-cabangnya didalam hati
serta sinusoid hati sedangkan portografi transhepatik jarang
digunakan karena banyak komplikasinya
(1)
.
Pengukuran tekanan vena hepatik dapat menentukan
kelainan intrahepatik bila cara lain merupakan kontraindikasi
dalam pemeriksaan penyebab hipertensi portal, sedangkan
biopsi hati dapat memberikaan informasi tentang diagnosis dan
prognosis terutama hipertensi portal intrahepatik
(2)
.
Sebelum diagnosis pasti dibuat, beberapa keadaan yang
berhubungan dengan splenomegali, lekopeni dan pansitopeni
harus dapat disingkirkan seperti Gaucher disease, Niemann
Pick disease, Letterer Siwe disease dan penyakit-penyakit
dengan infiltrasi pada sumsum tulang dengan leukemia dan sel
neoplastik
(3)
.
Cermin Dunia Kedokteran No. 128, 2000 43
PENANGANAN
Perdarahan dari varises esofagus yang bermanifestasi
sebagai hematemesis dan melena biasanya berhenti spontan,
tapi perdarahan ulang dapat terjadi
(2,3,5)
. Jika perdarahan masih
tetap berlangsung dapat dipikirkan pemberian transfusi darah
segar, vasopressin, pemasangan pipa lambung untuk pembilas-
an dengan NaCl dingin
(4)
, tetapi peneliti lain menganggap
bahwa pembilasan tidak berarti banyak dalam mengurangi
perdarahan
(5)
. Vasopressin (pitressin) diberikan dengan tujuan
menyebabkan vasokonstriksi arteri splanikus dengan dosis
0,33 unit/kilogram berat badan intraavena selama 20 menit.
Jika perdarahan masih berlanjut, dosis dapat ditingkatkan tiga
kali lipat. Glypressin adalah suatu prekursor pitressin inaktif.
Pada anak-anak, dapat diberikan dengan dosis 2 mg per infus
selama 6 jam. Dikatakan bahwa glypressin ini lebih efektif dari
vasopressin. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian
obat-obatan ini adalah kemerahan pada kulit, kolik abdomen
dan diare.
Apabila dengan cara di atas tidak berhasil dalam
mengatasi perdarahan dapat dipikirkan pemasangan balon
untuk tamponade (Sengstaken-Blackmore). Pemasangan balon
ini sulit dilaksanakan pada anak dan dikuatirkan bisa
menyumbat jalan napas pada waktu dikeluarkan, aritmia
jantung, robeknya esofagus dan refluks darah dari esofagus
sehingga terjadi aspirasi. Apabila tetap tidak berhasil maka
dilakukan ligasi varises. Kebanyakan hipertensi portal ekstra
hepatik dapat teratasi dengan cara-cara ini
(1-5)
.
Gambar 2. Anatomi normal pada hipertensi portal dan pirau porta
(dikutip dari 2).
Penanganan operasi untuk menghentikan perdarahan
masih merupakan kontroversi. Sebenarnya pembuatan pirau
dengan tindakan operasi ini merugikan penderita karena dapat
menurunkan aliran darah ke hati yang akan mengurangi perfusi
jaringan hati yang pada akhirnya akan menyebabkan
ensefalopati porta sistemik. Pembuatan pirau mungkin berguna
pada penderita hipertensi portal ekstrahepatik dengan per-
darahan yang tidak bisa diatasi. Ada dua cara yang akhir-akhir
ini digunakan, yaitu penanganan secara langsung pada
varisesnya (ligasi transesofagal) dan pengalihan aliran darah
dari sirkulasi portal ke sirkulasi sistemik (pintasan portokaval
dekompressi dan selektif). Skleroterapi merupakan pilihan
penanganan awal, tetapi ini biasanya hanya merupakan
penanganan sementara sambil menunggu operasi. Pintasan
untuk dekompressi yang terkenal adalah end to side portocaval
dan pintasan selektif adalah splenorenal distal (gambar 2)
(1-
5,8)
. Pintasan splenorenal distal dibandingkan dengan pintasan
portokaval efeknya sama dalam mencegah perdarahan ulang
tetapi kemungkinan dalam terjadinya ensefalopati lebih rendah
pada pintasan splenorenal distal, selain itu pintasan portokaval
lebih membebani hati setelah operasi. Setelah operasi dapat
terjadi komplikasi kegagalan hati, pnemoni aspirasi dan
sepsis
(2)
.
(a) Anatomi normal hipertensi portal (b) pirau splenorena I distal selektif yang
memperlihatkan (L) hati (S) limpa (K) ginjal (P) vena porta (SV) vena
splenikus (R) vena renalis (IVC) vena kava inferior (CV) vena koronaria.
KEPUSTAKAAN
1.
Wiharta AS. Tatalaksana Hipertensi Porta. Naskah Lengkap Simposium
Konrres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X; Bukitinggi, 1996; 1-7
2.
Mowat AP. Disorders of the portal and hepatic venous system. In Liver
disorders in childhood; 2
nd
ed. Edinburgh,
London: Churchill Livingstone, 1973; 410-21
Lebih lanjut, dikatakan bahwa deteksi ensefalopati hepatik subklinis dapat dilakukan
dengan NCT (Number Connection Test). Pada tes ini penderita diminta
menghubungkan angka 1--25, kemudian dinilai lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan tes tersebut. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan, semakin tinggi tingkat kemungkinan ensefalopati hepatik. Sementara
itu, ensefalopati hepatik klinis berdasarkan derajat keparahan dibagi menjadi 4
stadium. Stadium 0 menunjukkan tidak adanya gangguan yang tampak secara klinis,
stadium 1 terjadi gangguan status mental (perubahan tingkah laku dan emosi),
stadium 2 pasien cepat mengantuk yang menandai mulai terjadi gangguan saraf
yang lebih lanjut, stadium 3 kesadaran pasien tambah menurun, dan akhirnya pada
stadium 4 pasien kehilangan kesadaran (koma).
Koma hepatik terjadi karena beberapa kondisi, terutama adanya hiperamonia akibat
gangguan detoksifikasi oleh hati dan karena adanya gangguan keseimbangan antara
asam amino rantai cabang dengan asam amino aromatik.
Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai
cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai
sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk
metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua
sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan
bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak,
stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada
keadaan koma.
Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari
disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus
dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup
kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet
rendah protein dan rendah garam.
Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu sisi,
diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan hiperamonia
yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein rendah maka
kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi yang akan
memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan nutrisi khusus
hati, yaitu Aminoleban Oral. Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta
diperkaya dengan asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan
mineral. Nutrisi khusus hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan
mempertahankan kadar albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya
hiperamonia. Pada penderita sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian
nutrisi khusus ini terbukti mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi
perawatan.
Dengan nutrisi khusus ini diharapkan status nutrisi penderita akan terjaga, mencegah
memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga
kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. (Hidayati W.B.)
HASIL PENELITIAN
Sonografi Sirosis Hepatis
di RSUD Dr. Moewardi
Suyono, Sofiana, Heru, Novianto, Riza, Musrifah
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret /
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta
PENDAHULUAN
Penyakit hepar terutama hepatitis yang disebabkan oleh
virus (terutama virus hepatitis B) saat ini melanda dunia baik di
negara maju maupun negara berkembang. Munculnya virus
baru yaitu virus Hepatitis E menimbulkan hepatitis akut yang
sporadik terutama pada usia dewasa (60%).
Sirosis hepatis sebagian besar disebabkan oleh hepatitis
(1)
penderitanya juga tidak pernah berkurang terutama dari
pengamatan di RSDM Surakarta sejak tahun 2001-2003.
SIROSIS HEPATIS
Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun difus ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul
(2)
.
Etiologi
Penyebab yang pasti sampai sekarang belum jelas; di
antaranya
(3)
:
-
Faktor kekurangan nutrisi
-
Hepatitis virus
-
Zat hepatotoksik
-
Penyakit Wilson
-
Hemokromatosis
Gejala klinis
Gejala dini samar dan nonspesifik berupa kelelahan,
anoreksia, dispepsia, flatulen, konstipasi atau diare, berat badan
berkurang, nyeri tumpul atau berat pada epigastrium atau
kuadran kanan atas
(1)
.
Manifestasi utama dan lanjut sirosis merupakan akibat dari
dua tipe gangguan fisiologis
:
a.
Gagal sel hati
-
Ikterus
-
Edema perifer
-
Kecenderungan perdarahan
-
Eritema palmaris (telapak tangan merah)
-
Angioma laba-laba
-
Fetor hepatikum
-
Ensefalopati hepatik
b.
Hipertensi portal
-
Splenomegali
-
Varises oesofagus dan lambung
-
Manifestasi sirkulasi kolateral lain
Sedang asites dapat dianggap sebagai manifestasi gagal
hepatoseluler dan hipertensi portal
(1)
.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan uji biokimia hati yang dapat
menjadi pegangan dalam menegakkan diagnosis sirosis hepatis:
a.
Darah
Anemia normokrom normositer, hipokrom normositer,
hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.
b.
Kenaikan kadar enzim transaminase (SGOT/SGPT)
(2)
c.
Albumin dan globulin serum
Perubahan fraksi protein yang paling sering terjadi pada
penyakit hati adalah penurunan kadar albumin dan
kenaikan kadar globulin akibat peningkatan globulin
gamma
(2)
.
d.
Penurunan kadar CHE
e.
Pemeriksaan kadar elektrolit, penting pada penggunaan
diuretik dan pembatasan garam dalam diet.
f.
Pemanjangan masa protrombin,
g.
Peningkatan kadar gula darah
h.
Pemeriksaan marker serologi petanda virus seperti
HBsAg/HBsAb, HBeAg/HbeAb, HBv DNA penting untuk
menentukan etiologi sirosis hepatis.
Pemeriksaan fisik
a.
Hati: Biasanya membesar pada awal sirosis, bila hati
mengecil artinya prognosis kurang baik..Konsistensi hati
biasanya kenyal, tepi tumpul dan nyeri tekan.
b.
Splenomegali.
c.
Ascites dan vena kolateral di perut dan ekstra abdomen
d.
Manifestasi di luar perut : Spider nevi di tubuh bagian atas,
bahu, leher, dada, pinggang, caput medusae
(2)
.
VIRUS HEPATITIS B
Struktur virus
Virus hepatitis B (HBV) termasuk famili hepadnaviridae
dan genus hepadnavirus, virus DNA, serat ganda parsial
(partially double stranded), panjang genom sekitar 3200
pasangan basa, mempunyai envelope/selubung
(7)
. Protein yang
dibuat oleh virus yang bersifat antigenik serta memberi
gambaran tentang keadaan penyakit adalah :
Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006
22
a.
Antigen permukaan/surface antigen/HbsAg..
b.
Antigen core/core antigen/HbcAg.
c.
Antigen e/ e antigen/HbeAg
(7)
.
Skema partikel virus hepatitis B
Mekanisme hipotetik penempelan VHB pada hepatosit
Mekanisme masuknya virus hepatitis B masih
diperdebatkan. Dilaporkan bahwa suatu reseptor poli-HAS
atau disebut poli-HAS receptor (pAR) berperan dalam fase
penempelan
(8)
.
Mekanisme imunologi pada infeksi virus hepatitis B
Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik. Pada infeksi akut,
terjadi infiltrasi sel-sel radang antara lain limfosit T yaitu sel
NK dan sel T sitotoksik. Antigen virus terutama HbcAg dan
HbeAg yang diekspresikan di permukaan hepatosit bersama-
sama dengan glikoprotein HLA class I, mengakibatkan
hepatosit yang terinfeksi menjadi target untuk lisis oleh limfosit
T
(2)
. Selain itu sel hati yang mengalami infeksi virus hepatitis B
ternyata dapat memproduksi sejenis protein Liver Specific
Protein yang bersifat antigenik
(9)
. Perubahan-perubahan akibat
interferon akan menimbulkan suatu status antiviral pada
hepatosit yang tidak terinfeksi, dan mencegah reinfeksi selama
proses lisis hepatosit yang terinfeksi
(2,10)
.
Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronis
menunjukkan bahwa respon imunologi seluler terhadap infeksi
virus tidak baik
(2)
.
Kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi virus oleh limfosit
T dapat terjadi akibat berbagai mekanisme :
a.
Fungsi sel T supresor (Ts) yang meningkat.
b.
Gangguan fungsi sel T sitotoksik (Tc).
c.
Adanya antibodi penghambat di permukaan hepatosit.
d.
Kegagalan pengenalan ekspresi antigen atau HLA class I
di permukaan hepatosit
(2)
.
USG PADA SIROSIS HEPATIS
Gambarannya meliputi gambaran spesifik pada organ-
organ hati, lien, dan traktus biliaris.
a.
Gambaran USG pada hati
Terdapat gambaran iregularitas penebalan permukaan hati,
membesarnya lobus kaudatus, rekanalisasi v.umbilikus, dan
ascites. Ekhoparenkim sangat kasar menjadi hiperekhoik
karena fibrosis dan pembentukan mikronodul menjadikan
permukaan hati sangat ireguler, hepatomegali; kedua lobus hati
mengecil atau mengerut atau normal. Terlihat pula tanda
sekunder berupa asites, splenomegali, adanya pelebaran dan
kelokan-kelokan v. hepatika, v. lienalis dan v. porta (hipertensi
porta). Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan
berkelok-kelok
(5,6)
.
b.
Gambaran USG pada lien
Tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya
jaringan fibrosis, pelebaran diameter v.lienalis serta tampak lesi
sonolusen multipel pada daerah hilus lienalis akibat oleh
adanya kolateral
(5)
.
c.
Gambaran USG pada traktus biliaris.
Sludge (lumpur empedu) terlihat sebagai material
hiperekhoik yang menempati bagian terendah kandung empedu
dan sering bergerak perlahan-lahan sesuai dengan posisi
penderita, jadi selalu membentuk lapisan permukaan dan tidak
memberikan bayangan akustik di bawahnya. Pada dasarnya
lumpur empedu tersebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat
dan kristal-kristal kolesterol sehingga mempunyai viskositas
yang lebih tinggi daripada cairan empedu sendiri. Dinding
kandung empedu terlihat menebal. Duktus biliaris
ekstrahepatik biasanya normal
(4)
.
METODA PENELITIAN
Data didapatkan dari penderita dengan tanda klinis, data
laboratoris dan USG sebagai pemeriksaan penunjang. Data
dikumpulkan secara retrospektif dari permintaan USG hepar di
bagian Radiologi RSUD Dr.Moewardi Surakarta sejak 2001-
2003. Data tersebut diolah dan diklasifikasikan berdasarkan
umur, jenis kelamin, keterangan klinik dan hasil USG hepar.
HASIL PENELITIAN
Data diambil antara tahun 2001-2003 di bagian Radiologi
RSUD Dr.Moewardi Surakarta Hasil penelitian dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Hasil pemeriksaan klinis
Tabel 1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin penderita
Jenis kelamin
Jumlah
%
Laki-laki
Wanita
44
18
71
29
Total 62 100
Tabel 2. Distribusi berdasarkan umur penderita
Umur (th)
Jumlah
%
31 40
41 50
51 60
61 70
71 80
81 90
91 100
10
5
27
18
1
-
1
16
8
43
29
2
2
Total 62 100
Tabel 3. Gajala klinis (n=62)
Keterangan klinik
Jumlah
%
Ikterik
Hematemesis
Ascites
Hepatomegali
Splenomegali
Mekena
58
8
37
19
33
10
93
13
60
30
54
16
Hasil pemeriksaan USG Abdomen
Tabel 4. Ascites
USG Abdomen
Jumlah
%
Ada
Tidak
54
8
87
13
SINDROMA HEPATORENAL
SRI MARYANI SUTADI
Fakultas Kedokteran
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah diketahui bahwa sindroma
hepatorenal (SHR) merupakan komplikasi terminal pada pasien sirosis hati
dengan
ascites.
Timbulnya gagal ginjal tanpa adanya gejala klinis dan bukti histologis yang
diketahui
sebagai penyebab timbulnya gagal ginjal tersebut.
1,2
.
Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi
tanpa ditansai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal
tersebut
ditansplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka
fungsi
ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR
dilakukan
transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal.
3
.
Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan
sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan
dalam
terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alsan ini SHR merupakan kumpulan
patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungan antara sirkulasi sistemik dan
fungsi
ginjal serta pengaruh factor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi
ginjal
4,5
.
SHR dilaporkan pertama sekali oleh Austin Flint dan Frerichs (1863), yang
masing-masing melaporkan timbulnya oligura pada pasien-pasien sirosis
dengan
asites, mereka tidak menemukan adanya perubahan histology ginjal yang
nyata
pada pemeriksaan post mortem. Pierre Vesin salah satu peneliti tentang aspek
klinis
fungsi ginjal pada sirosis, mengusulkan definisi SHR dengan nama terminal
“fungtional rernal failure”.
Beliau menekankan gagal ginjal pada SHR tidak
berhubungan dengan kerusakan struktur ginjal dan berkembangnya sindroma
ini
merupakan keadaan terminal dan orreversible pada sirosis dengan asites
1
. Pada
tahun 1956, Hecker dan Sherlock melaporkan sembilan pasien penyakit hati
bersamaan dengan gagal ginjal yang ditandai dengan protein uria dan ekskresi
NA
+
yang rendah.
Defenisi
Defenisi Sindroma Hepato Renal yang diusulkan oleh International Ascites
Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati
kronik
dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan
fungsi
ginjaldan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas system
vasoactive endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan
laju
filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi
arteriol
yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan
hipotensi.
Meskipun sindroma hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan
sirosis
lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau
penyakit
hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut3.
Insiden
Dagher dkk
4,6
melaporkan insiden SHR terjadi kira-kira 4% pada penderita
sirosis hati dekompensata yang dirawat, dan kemungkinan mencapai 18%
pada
tahun pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima. Gines dkk
3
Page 2
©2003 Digitized by USU digital library
2
melaporkan insiden SHR pada penderita sirosis hati dengan ascites yang
dirawat
mencapai 10% kasus.
Patofisiologi
Hal yang sama ditemukan pada SHR adalah vasokonstriksi ginjal yang
reversible dan hipotensi sistemik. Keberadaan vasokonstriksi ginjal yang nyata
pada
penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk
arteriografi ginjal, klirens para aminohipuric acid dan yang terbaru
ultrasonografi
Doppler. Pemakaian beberapa teknik ini mendapatkan beberapa perubahan
dalam
perfusi ginjal yang berkesinambungan pada penderita sirosis dengan ascites,
dan
SHR adalah akhir dari spectrum ini 2,3,7. Penyebab utama dari vasokonstriksi
ginjal
ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak factor
antara
lain perubahan system hemodinamik, meningginya tekanan vena porta,
peningkatan
vasokonstriktor dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di
ginjal
(Tabel 1)
2,5
.
Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manisfestasi dari kekurangan
pengisian
sirkulasi arteri terhadap adanya vasodilasi pembuluh darah splanik.
Pengurangan
pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor mengaktifkan
vasokonstriktor
(seperti rennin angiotension dan system saraf simpatis)1.
Tabel 1. Faktor-faktor Vasoaktif secara potensial berperan dalam pengaturan
perfusi
ke ginjal pada pendeerita sindroma hepatorenal
3
.
Vasokonstriktor
Angiotension II
Norepineprine
Neuropeptide Y
Endothelin
Adenosine
Cysteinyl leukotrines
F2-isoprostanes
Vasodilators :
Prostaglandins
Nitric oxide
Natriuretic peptides
Kallikrein – kinin system
Vaktor Vasokonstriktor
3,4
Sistem rennin – angiotension dan system saraf simpatik, beberapa dari
system utama yang mempunyai efek vasokonstriksi pada sirkulasi ginjal
berperan
sebagai mediator utama vasokonstriksi ginjal pada sindroma hepatorenal.
Aktifitas
dari system vasokonstruksi ini meningkat pada penderita dengan sirosis dan
ascites,
terutama penderita dengan sindroma hepatorenal dan berkolerasi terbalik
dengan
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Kadar hormon anti diuretic atau
vasopressin meninggi pada penderita SHR karena stimulasi non osmolar,
walaupun
sering timbul hiponatremia.
Vasopressin ini menimbulkan vasokonstriksi di ginjal. Endothelin adalah
substansi
vasokonstriktor lain dalam plasma meningkat pada SHR, kemungkinan karena
penambahan produksi peptide dalam hati atau dalam sirkulasi splandik yang
hubungannya dengan vasokonstriksi ginjal masih controversial. Soper dkk
melaporkan pada tiga penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal
setelah
pemberian antagonis spesifik reseptor endhothelin –A. Beberapa penelitian
melaporkan peningkatan produksi cysteinyl leukotrienes sebagai
vasokonstriksi ginjal
yang kuat pada penderita SHR.
Page 3
©2003 Digitized by USU digital library
3
Substansi vasoactive lainnya seperti adenisin,F2 – isoprostanes dapat juga
sebagai
factor yang mempengaruhi patogenesa vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi
mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Akhir ini disebutkan endotoksin
dan
sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten daan
SHR
timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga katrena
peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun
peran
endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan
perdebatan.
Faktor Vasodilator
Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada
binatang memperlihatkan bahwa sintesa factor vasodilator local pada ginjal
memaikan peran yang penting dalam
mempertahankan perfusi ginjal dengan
meelindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari factor
vasokonstriktor.
Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs).
PGs
membentuk sitem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek
peningkatan
kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sitemiknya. Bukti yang paling
kuat
menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada
sirosis
dengan ascietes diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid
aanti
inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin ginjal. Pemberian
NSAIDs,
sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita
sirosis hati dengan ascites
menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada
penderita
dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada
penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit
atau
sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal
lainnya
yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada
sirosis
adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat secara tidal
langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi
ginjal
3,4. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal
pada
sirosis adalah natriuretic peptide. Gulberg dkk menemukan peningkatan
jumlah C
Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal
fungsional,
selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan
ekskresi
natrium urin,CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium.
Penemuan
ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan
berperan
dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas yang berlebihan dari
mekanisme vasokonstriktor ginjal
8
.
Sistem saraf simpatis
4
Stimulasi system saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan
menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatnya retensi natrium. Hal ini
telah
diperlihatkan oleh beberapa peneliti adanya peningkatan sekresi katekolamin
di
pembuluh darah ginjal dan splanik. Kostreva dkk mengamati vasokonstruksi
pada
arteiol afferent ginjal menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR
dan
meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.
Patogenesia
3,9
Ada dua jenis teori yang dianut untuk menerangkan hipoperfusi ginjal yang
timbul pada penderita SHR. Teori pertama, menjelaskan hipoperfusi ginjal
berhubungan dengan penyakit hati itu sendiri tanpa ada patogenetik yang
berhubungan dengan gangguan system hemodinamik. Teori ini berdasarkan
hubungan langsung hati – ginjal, yang didukung oleh dua mekanisme yang
berbeda
yang mana penyakit hati dapat menyebabkan vasokonstriksi ginjal dengan
Page 4
©2003 Digitized by USU digital library
4
penurunan pembentukan atau pelepasan vasodilator yang dihasilkan hati yang
dapat
menyebabkan pengurangan perfusi ginjal dan pada percobaan binatang
diperlihatkan
bahwa hati mengatur fungsi ginjal melalui refleks hepatorenal. Teori kedua
menerangkan bahwa hipoperfusi ginjal berhubungan dengan perubahan
patogenetik
dalam system hemodinamik dan SHR adalah bentuk terakhir dari pengurangan
pengisian arteri pada sirosis. Hipotesis ini menerangkan bahwa kekurangan
pengisian sirkulasi arteri bertanggung jawab terhadap hipoperfusi yang bukan
sebagai akibat penurunan volume vaskuler, tetapi vasodilatasi arteriolar yang
luar
biasa terjadi terutama pada sirkulasi splanik. Hal ini dapat menyebabkan
aktifasi
yang progresif dari mediator baroreseptor system vasokonstriktor (Gambar1),
yang
mana dapat menimbulkan vasokonstruksi tidak hanya pada sirkulasi ginjal
tetapi
juga pada pembuluh darah yang lain. Splanik dapat bebas dari efek
vasokonstriktor
dan vasodilasi dapat bertahan, kemingkinan karena adanya rangsangan
vasodilator
local yang sangat kuat. Timbulnya hipoperfusi ginjal menyebabkan SHR dapat
terjadi
sebagai akibat aktifitas yang maksimal vasokonstriktor sistemik yang tidak
dapat
dihalangi oleh vasodilator, penurunan aktifitas vasodilator atau peningkatan
produksi
vasokonstriktor ginjal atau keduanya.
Sirosis hati
Vasodilatasi arteri splanik
Arterial underfilling
Sintesa factor vasodilator
Baroreseptor
Sntesa factor vasokonstriktor
Intra renal
Aktifitas factor vasokonstriktor
intra renal
Sistemik
Vasokonstriksi renal
SHR
Gambar 1 : Patogenesa sindroma hepatorenal.
9
Gambaran Klinis
Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal
ginjal, gangguan sirkulasi dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara
perlahan
atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang
menimbulkan ascites, edema dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh
ekresi
natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan buang air (oliguri –
anuria ).
Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang
rendah,
peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah
sistemik
(Tabel 2)
3,4
.
Gambaran klinis dari uremia jarang dijumpai, begitu juga dengan analisa urin
dalam
keadaan normal 10.
Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu
1-4,11
:
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Page 5
©2003 Digitized by USU digital library
5
Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood
urea nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau
penurunan
kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam
beberapa hari
hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang
progresif
jumlah urin,
Tabel 2. Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindroma
hepatorenal
3
.
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun
Total volume darah meninggi
Aktifasi system vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Portosystemic shunting
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi
retensi natrium dan hiponatremi . Penderita dengan tipe ini biasanya dalam
kondisi
klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus,
ensefalopati
atau koagulopati. Tipe ini umum pada sirosis alkoholik berhubungan dengan
hepatitis
alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira
setengah
kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada factor presipitasi yang diketahui,
kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang
erat
dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri,
perdarahan gastrointestinal, parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis
(SBP)
adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira
35%
penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I.
SHR Tipe I adalah komplikasi dengan prognostic yang sangat buruk pada
penderita
sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata wktu harapan hidup
penderita
ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari lamanya hidup disbanding
dengan gagal
ginjal akut dengan penyebab lainnya.
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju
filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl).
Tidak
seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi
hati
relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretic.
Diduga
harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe
I.
Diagnosis
3,4,6
Tidak ada tes yang spesifik untuk diagnostik SHR. Kriteria diagnostik yang
dianut sekarang adalah berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic
Criteria
of Hepatorenal Syndrome (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria Mayor diagnostik SHR berdasarkan International Axcites
Club
4
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi
portal.
Page 6
©2003 Digitized by USU digital library
6
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl atau kreatinin klirens 24 jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok,infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
ltr
dan diuretic (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau
peningkatan kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 0,5 g/hari dan tidak dijumpai bstruktif uropati atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi.
Kriteria tambahan :
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 meg / liter
Semua kriterua mayor harus dijumpai dalam menegakkan diagnosa SHR,
sedangkan
criteria tambahan merupakan pendukung untuk diagnosa SHR. Beberapa
paktor
predictor untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites dapat
dilihat
pada table 4.
Tabel 4. factor predictor timbulnya SHR pada sirosis dengan ascites
3
Peningkatan ringan BUN dan atau kreatinin serum
Menurunnya ekskresi air setelah pemberian cairan
Ekskresi natrium urin yang rendah
Hipotensi arterial
Aktifitas plasma rennin meninggi
Kadar norepinefrin plasma tinggi
Refrakter ascites
Tidak ada hepatomegali
Peningkatan vascular resistive index ginjal
Penatalaksanaan
1-3
Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada
penderita sirosis dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal
ginjal
pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam
jumlah
besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian
antibiotik
untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk
timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa
modalitas
terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit
atau
tidak ada sama sekali.
Vasodilator
4
Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator, terutama PGs telah dipakai pada
penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler
ginjal.
Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs
oral
aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan
fungsi
renal.
Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan
vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamine selama 24 jam hanya
Page 7
©2003 Digitized by USU digital library
7
menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa
perubahan
yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endhothelin
spesifik
segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.
Vasokonstriktor
Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan dengan
pengurangan pengisian sirkulasi arteri , vasokonstriksi telah digunakan dalam
usaha
memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan
menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian
vasokonstriktor segera (
norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites
dan
SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan
arteri
dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan
pada
penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang
singkat,
hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah
ginjal
meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi
sistemik
mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi
ginjal
atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor
12,13
. Kombinasi pemberian
vasokonstriktor
(ornipressin,
norepenephrine)
dan
vasodilator
ginjal
(dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal
14
.
Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin
dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi
ginjal dan
menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga
hari
pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang
berlebihan dari rennin – angiotension dan system saraf simpatis, peningkatan
kadar
natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal.
Pemberian
ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai
dengan
peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat
digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi, pada beberapa pasien hal ini
tidak
dilanjutkan karena komplikasi iskemik
15
. Angeli dkk memberikan Midodrine dan
Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan
didapatkan
penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita
bertahan
hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati dan yang lain
meninggal setelah 75 hari karena gagal hati
16
.
Peritoneovenous shunt
Peritoneovenous shunt telah digunakan secarasporadis pada masa yang lau di
dalam pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis.
Pemasangan shunt
menyebabkan aliran yang terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum
ke
sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac
output)
dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari
peritoneovenous
shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari
aktifitas
system
vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus
memperbaiki
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan
rasionalisasi tindakan pada penderita SHR 3.
Portosystemic shunt
Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan
terapi standar dalam pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan
mortalitas
yang tinggi, dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien
dengan
penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode
nenbedah dari
kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).
Keuntungan metode ini disbanding dengan operasi portocaval shunt adalah
penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada
pasien yang
Page 8
©2003 Digitized by USU digital library
8
mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan
obstruksi
dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cendrung
memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien
sirosis
hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati.
Penelitian
diatas
menunjukkan bahwa TIPS
memberikan banyak
keuntungan pada
penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih
memerlukan
penelitian kontrol untuk dapat merokomendasikan
3
.
Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan
TIPS
dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan
system
saraf simpatis
17
.
Dialisa
1,18
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada penatalaksanaan
penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat
meningkatkan
fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi
efektifitas
dari sialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol
menunjukkan
efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama
pengobatan
dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat
penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan
SHR
yang sedang menunggu transplantasi hati.
Transplantasi Hati
3,4,19,20
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita
SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi
ginjalnya.
Tindakan transpalntasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis
buruk
dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat
transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat
diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus
mulai
mengalami perbaikan.
Kesimpulan
1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak
hanya
gagal ginjal, tapi juga gangguan system hemodinamik dan aktifitas system
vasoaktif endogen.
2. Patogenesa SHR belum diketahui pasti, tapi diduga pengurangan pengisian
sirkulasi arteriol sekunder terhadap sirkulasi vasodilasi arteriol di splanik,
gangguan keseimbangan antara factor vasokonstriktor dan vasodilator.
3. Diangnosa SHR berdasarkan International Ascites Club’s Diagnostic
Criteria of
Hepatorenal Syndrome.
4. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati
5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali
normal
atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.
Kepustakaan
1. Arroyo V.New Treatment for Hepatorenal Syndrome. Liver Transplantation
2000;6 (3) http://hepatology.aasldjournals.org/scripts/om.dll/serve?article.htm
2. Platt
JF,Ellis JH, Rubin JM et al. Renal Duplex Doppler Ultrasonography: A
Noninvasive Predictor Of Kidney Dysfunction and Hepatorenal Failure in
Liver
Disease. Hepatology 1994;20:362-9.
3. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.J Am Soc Nephrol
1999;10:1833-9
4. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
5. Arroyo V, Gines P,Gerbes Al et al. Defenition and Diagnostic criteria of
Refractory
ascites and Hepatorenal Syndrome in Cirrhosis Hepatology 1996;23:164
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ
hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan
tersebut terjadi karena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi
peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel.
Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan
regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel
parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan
berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan
terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal,
tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.
Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal
terjadi kenaikan tekanan dalam sistem portal yang lebih dari 15 mmHg
dan bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan limpa membesar
(splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut
disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan
sudah terbentuknya sistem kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan
pembuluh darah vena esofagus atau cardia (varices esofagus) yang dapat
menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau berak darah (melena).
Kalau pendarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bisa timbul
syok (renjatan). Bila penyakit akan timbul asites, encephalopathy, dan
perubahan ke arah kanker hati primer (hepatoma).
8. Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau
>500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan
yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).
Pendahuluan
Terapi yang paling ideal untuk kerusakan hepar terminal saat ini adalah transplantasi
organ hati. Hanya saja, proses transplantasi ini memiliki banyak kesulitan dalam
pelaksanaannya. Kesulitan utama adalah mencari donor yang mau menyumbangkan
heparnya. Tentu saja proses pendonasian ini baru dapat berlangsung pada saat
donor telah meninggal dunia (berbeda dengan ginjal yang dapat didonasikan pada
saat donor masih hidup). Masalah yang tak kalah pentingnya adalah kecocokan
organ donor dengan sistem pertahanan tubuh penerima (kompatibilitas). Masalah
lainnya adalah teknis pemasangan organ hepar ke tubuh penderita yang amat rumit,
mengingat hepar memiliki begitu banyak pembuluh darah yang harus disambung.
Upaya lain yang mulai dijajaki oleh para ahli hepatologi adalah dengan melakukan
pencangkokan sel hepatosit melalui pembuluh darah vena porta, atau sering disebut
transplantasi intra porta. Proses transplantasi ini dapat mereduksi masalah-masalah
yang terjadi pada proses transplantasi organ. Sifat transplantasi sel hati adalah
autotransplan, di mana sel-sel hepatosit yang akan dicangkok berasal dari organ
hepar penderita sendiri. Masalah lain yang dapat diminimalisir adalah kompatibilitas,
karena sistem pertahanan tubuh tentu tidak akan menyerang “warga negara”-nya
sendiri. Sedangkan kesulitan yang ditemui adalah pencangkokan sel melalui
pembuluh darah vena ini menimbulkan oklusi (sumbatan) di ujung-ujung pembuluh
darah. Sumbatan tersebut akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (pembusukan
jaringan) akibat kurangnya asupan oksigen di daerah pasca sumbatan. Keadaan ini
terjadi akibat proses transplantasi sel dilakukan menggunakan jarum suntik biasa
berukuran besar. Pada metode yang lebih canggih digunakan French pediatric
feeding tube no 8 yang hanya memanfaatkan gaya gravitasi untuk mendorong
masuknya sel-sel hepatosit ke dalam vena porta. Turbulensi yang terjadi dan
sempitnya volume ruang dalam jarum akan mengakibatkan sel-sel hati berkelompok
(clumping). Selaian itu, ikatan antar sel yang kuat dengan diprakarsai oleh molekul
cadherin akan menyebabkan gumpalan sel bertambah besar dan tersangkut di
pembuluh darah sebelum sampai di daerah sasaran. Kesulitan lain adalah gagalnya
sel-sel hati bertumbuh di tempat barunya. Keadaan ini terjadi karena lemahnya
kondisi sel akibat perlakuan penanaman serta kurangnya dukungan biokimiawi dan
fisis dari lingkungan sekitar. Dukungan biokimiawi yang dibutuhkan sel untuk
membentuk koloni baru adalah adanya faktor-faktor pertumbuhan, sedangkan
dukungan fisis adalah adanya jaringan pembuluh darah baru (neo vascularisasi) yang
dapat menjamin asupan nutrisi dan oksigen. Kesulitan lain yang tak kalah penting
adalah menjaga kekuatan hidup (viabilitas) sel-sel hati yangt akan di cangkokkan.
Hepatosit Sitotransplantator
Berdasar pengamatan terhadap berbagai kendala trasnplantasi sel hati di atas maka
sebuah tim gabungan dari berbagai institusi dan ilmuwan independen di Bandung
telah mendesain suatu alat dan metode transplantasi sel hati yang disebut “Hepatosit
Sitotransplantator”. Setelah melalui serangkaian uji coba dan proses registrasi paten,
maka cetak biru desain alat dan protokol sementara metode transplantasi telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan. Adapun secara prinsip metode transplantasi
sel hati ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Proses pengambilan sel hati normal dari penderita sebagai bahan baku kultur
dilakukan dengan teknik biopsi terarah dengan panduan gambar USG dan
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi.
4. Pengiriman sel hati menuju daerah portal dengan bantuan alat “Hepatosit
Sitotransplantator”.
2. Pompa peristaltis yang akan memompakan darah dari saluran silikon inlet
menuju multiport ejector yang berfungsi juga sebagai mixer, melalui saluran
silikon dengan diameter yang sama dengan saluran inlet.
3. Multiport ejector yang berperan sebagai ruang penampung sebelum sel hati
dikirim melalui vena porta.
4. Pompa syringe yang akan memompakan kultur sel untuk bergerak menuju
multiport ejector.
6. Micro vibrator dengan burst firing mode yang berfungsi untuk menciptakan
getaran pengocok agar larutan penunjang dapat bercampur dengan baik
dengan kultur sel dan darah, serta membantu proses separasi sel menjadi
unit tunggal. Vibrator ini bekerja secara reciprocating sekitar 1 mm, dan
dikendalikan dengan modus burst firing mode sehingga getaran yang
ditimbulkan tidak kontinyu, melainkan secara periodik waktu delay (msec)
dan frekuensi (<1 kHz) yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan.
7. Filter mikro dengan porus berdiameter 80 mikron untuk menyaring sel hati
agar terlarut dalam bentuk soliter (per unit).
9. Waterbath yang disetel dengan suhu 370C untuk mensuplai ‘air hangat’ ke
seluruh water jacket dalam suatu sirkulasi tertutup.
10. Water jacket yangt berfungsi untuk menjaga suhu kultur sel, larutan
penunjang, dan darah yang terdapat di dalam pompa syringe dan multiport
ejector untuk tetap berada pada suhu optimal 370C.
11. Controller box, yang berfungsi sebagai alat kendali utama dalam
pengoperasian Hepatosit sitotransplantator.
12. Saat ini sedang dikembangkan pressure sensors berbentuk tubing dari
bahan karet silikon yang dilengkapi dengan panel digital untuk mengetahui
fluktuasi volume cairan darah intratube.
Pengambilan sampel untuk bahan baku kultur dilakukan dengan metode biopsi
terarah yang dibantu panduan USG. Penggunaan USG, selain memberikan arahan
yang tepat dalam pengambilan jaringan, juga dimaksudkan untuk memberikan
gambaran awal (morfologis) daerah hepar normal. Sebagian sampel disisihkan untuk
uji sitologi, sementara sebagian lagi mendapatkan perlakuan pencucian dengan
menggunakan Liberase HI (0,47 mg/ml) (Roche, Indianapolis, IN) (suhu kamar/250C)
yang dilarutkan dalam Hank’s Balanced Salt Solution (HBSS) yang mengandung
1U/ml DNAase I (Sigma). Tujuan pencucian ini untuk menghapus kemungkinan
adanya sel-sel lain seperti fibroblast turut serta dalam kelompok kultur hepatosit.
Setelah itu, sel hepatosit dicuci dengan larutan RPMI 1640 yang mengandung FBS
10%. Lalu, sel hepatosit dipindah ke larutan Eurocollins (Mediatech, Indianapolis, IN)
yang mengandung FBS 20%. Sel hepatosit akan diisolasi dalam prosesor darah
COBE (COBE laboratories, Lakewood, CO) dan disentrifugasi dalam discontinuous
Euroficoll gradient (Mediatech). Sel hepatosit hasil isolasi dieramkan dalam medium
kultur CRML-1066 (Mediatech) yang mengandung FBS 10% dan CO2 5%, dengan
suhu eraman 280C. Setelah 24 jam dilakukan panen dan uji viabilitas dengan
menggunakan ethidium bromide7. Pada penelitian pendahuluan, sel hepatosit
kambing (Goat) mencapai persentasi viabilitas mendekati 90% pada hari pertama.
Kultur dilanjutkan sampai tercapai persediaan garis sel hepatosit (cell line
hepatocytes) yang mencukupi untuk proses transplantasi.
Prosedur Pra-transplantasi
Pembahasan Teknis
Secara teknis, alat dan metode hepatosit sitotransplantator didesain untuk mengatasi
berbagai kendala dalam proses transplantasi hepatosit.
a. Anti penggumpalan
Upaya lain yang dilakukan secara biokimiawi adalah dengan pemberian ethyl
eneglycoltetraacetic (EGTA). EGTA akan mengkelasi ion Ca2+ ekstraselular dan
menghambat asupan intraselular. Dengan demikian, akan terjadi defisiensi kalsium
yang berakibat gagalnya adherens junction yang diperankan oleh cadherin9. Secara
biokimiawi juga telah dipertimbangkan penggunaan antikoagulan EDTA/heparin
untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada saat darah dari resipien bertemu
dengan kultur sel hepatosit di multiport mixer. Pendekatan secara fisis ditunjukkan
dengan penggunaan micro vibrator yang dimaksudkan untuk menstimulasi energi
kinetik sel yang akan berakibat pada teraktifasinya suatu gerakan acak yang
mengacu kepada gerak Brown. Pendekatan fisis terakhir adalah dengan
menggunakan micro filter dengan diameter porus 80 m sesuai dengan ukuran sel
hepatosit primata secara individual (tidak berkelompok), sehingga sel hepatosit yang
akan lolos dari proses filtrasi adalah sel hepatosit tunggal.
Sel hepatosit yang telah terperangkap di daerah porta hepar memiliki kemungkinan
untuk mati dan bertahan hidup sama besarnya. Untuk dapat bertahan hidup dan
mengembangkan koloni sel baru maka sel hepatosit hasil transplan haruslah
didukung oleh adanya faktor-faktor pemicu pertumbuhan dan faktor pemicu
pembentukan jaringan vaskular baru (untuk asupan nutrisi dan oksigen). Untuk
menunjang viabilitas sel hepatosit di tempat barunya maka pada metode ini
digunakan pengayaan faktor pertumbuhan dengan pemberian Hepatocytes Growth
Factor (HGF) untuk menstimulasi pertumbuhan sel hepatosit baru, dan Insulin like
Growth Factor-1 (IGF-1) yang juga memiliki aktivitas stimulasi proliferasi sel
hepatosit. Sedangkan untuk menunjang terjadinya proses neovascularisasi dilakukan
pemberian Vascular Endothelial Growth factor (VEGF).
c. Perlindungan Sel
Capaian Sementara
Kesimpulan
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas metode dan alat
“Hepatosit Sitotransplantator”.
3. Perlu dilakukan penelitian bertingkat dari skala laboratoris sampai dengan uji
klinis.
4. Perlu dipertimbangkan beberapa kriteria faktor fisis yang lebih sesuai untuk
penggunaan pada manusia (misal diameter porus pada filter).
10. Perlu dikembangkan protokol baku beserta requirement parameter bagi calon
donor dan resipien.
Daftar Pustaka
Sirosis Hepatis
PENDAHULUAN
PATOGENESIS
- mekanik
- imunologis
- campuran
KLASIFIKASI
1. Klasifikasi Etiologi
- Etiologi yang diketahui penyebabnya
b. Alkohol
2. Klasifikasi Morfologi
1. Sirosis mikronodular
2. Sirosis makronodular
3. Sirosis campuran
3. Klasifikasi Fungsional
Spider nevi/angiomata pada kulit tubuh bagian atas. Muka dan lengan
atas.Eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut berkurang, atrofi
testis dan ginekomastia pada pria.
- Intra hepatik :
DIAGNOSIS
1. Gejala Klinis
- Fase dekompensasi
2. Laboratorium
1. Hb menurun, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer
atau hipokrom makrositer.
2. Protombin time (PT), bilirubin, SGOT/SGPT → meningkat
3. Albumin menurun, globulin meningkat.
3. Penunjang
1. USG abdomen
2. Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HbsAg/HbsAb,
HbeAg/HbeAb,HBV DNA, HCV RNA untuk menentukan etiologi.
3. Endoskopi.
KOMPLIKASI
1. Kegagalan hati
2. Hipertensi portal
3. Asites
4. Ensefalopati
5. Peritonitis bacterial spontan
6. Sindrom hepatorenal
7. Hepatoma
PENATALAKSANAAN
1. Tindakan segera
2. Tindakan lanjutan
PROGNOSIS
Angka
Ensefalopati
Bilirubin (µ mol/l)
Albumin (g/l)
PT (dalam detik)
Asites
Tidak ada
<34
>35
<4
Tidak ada
Ringan
34-50
28-35
4-6
Ringan
Jelas
>50
<28
>6
Jelas
<68
68-170
>170
Berita Terkait:
Jakarta, Kompas
Transplantasi, dalam rangkaian pengobatan penyakit yang menyerang
hati (umumnya diawali hepatitis B dan C) merupakan upaya terakhir
untuk mengembalikan kualitas hidup pasien.
Cara ini ditempuh setelah tidak mungkin lagi mengobati pasien dengan terapi
konvensional, seperti minum obat, suntikan, operasi pembedahan atau
kemoterapi.
Artinya, bila pemasangan organ hati dari orang lain ke tubuh pasien tidak
dilakukan, maka tidak ada jaminan kualitas hidup pasien di masa depan.
Harus ada bukti medis yang kuat, sebelum pasien dengan gangguan fungsi hati
mendapat rekomendasi transplantasi. Di antaranya, memastikan tingkat
kerusakan fungsi hati akibat serangan virus melalui uji laboratorium,
pemeriksaan CT Scan, dan ultrasonografi (USG).
Menurut Konsultan Gastroentero-Hepatologi di Divisi Hepatologi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof
dr Ali Sulaiman PhD FACG, sebelum kerusakan fungsi hati mencapai tahap
tertentu, transplantasi hati umumnya tidak direkomendasi dokter, sekalipun
pasien menghendakinya.
”Kalau tidak perlu kenapa mesti ditransplantasi?” kata dia ketika ditemui di
Divisi Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Jakarta, Senin
(29/8).
Tahap sirosis
• Pasien dengan kerusakan fungsi hati yang harus ditransplantasi
adalah mereka yang berada di tahap sirosis (pengerasan hati).
Pada tahap tersebut, peran hati yang berfungsi menggerakkan metabolisme
tubuh, mengolah asupan makanan menjadi energi, dan membuang racun hasil
penghancuran protein terganggu.
Tanda-tanda fisik yang menonjol pada orang dengan sirosis hati parah
adalah perut membuncit, kesadaran menurun, dan mata menguning. Mereka
cepat letih dan sering muntah darah.
Operasi transplantasi hati dilakukan cepat. Pasalnya, hati hanya boleh berada
di luar tubuh kira-kira kurang dari enam jam. Umumnya, operasi pengambilan
hati dari tubuh donor yang telah meninggal (kadaver) atau donor orang yang
masih hidup (ortho living transplantation/OLT) dilakukan bersamaan dengan
pemindahannya.
Beberapa dokter harus terlibat langsung, seperti pakar kardiovaskuler,
anestesi, penyakit dalam, dan hepatolog yang memahami struktur hati, serta
pakar peredam penolakan tubuh (imunologis).
Keterbatasan jumlah pendonor serta rumitnya transplantasi amat membatasi
akses. Biayanya Rp 800.000 juta hingga Rp 2,5 miliar. ”Itu pun antrenya
sangat panjang,” kata Ali, yang pasiennya pernah antre setahun di Amerika
tanpa hasil.
Pasien dengan organ hati baru dapat bertahan hidup puluhan tahun (ada juga
yang menyatakan sekitar lima tahun). Akan tetapi, sepanjang hidupnya mereka
bergantung penuh pada obat-obatan. Selain itu, pantangan beberapa jenis
makanan dan minuman.
Hingga kini, transplantasi hati tidak dapat dilakukan di Indonesia karena tidak
ada peraturan perundang-undangan yang mendukungnya. Padahal, tahun 2005
jumlah penduduk yang terpapar virus hepatitis B dan C diperkirakan 15 juta.
Menurut Ali, meskipun transplantasi hati banyak dilakukan di negara-negara
maju, transplantasi tetap saja berisiko seperti terjadinya penolakan atau
berkembangnya kembali virus hepatitis di dalam tubuh pasien pasca-
transplantasi.
Kini, untuk menghindari penolakan dari dalam tubuh pasien sudah ada jenis
obat sistem imun yang memiliki keberhasilan tinggi. Yang mengkhawatirkan
adalah kekambuhan penyakit yang sama. Untuk mengatasinya, dokter akan
menegatifkan virus di dalam tubuh pasien sebelum menerima organ hati baru
agar hati baru tetap sehat dan berfungsi normal.
Bagi pasien transplantasi hati dengan latar belakang sirosis hati karena
serangan virus hepatitis B, dokter akan memberi tablet atau suntikan
interveron. Alternatif penggantinya, tablet nucleasid analog.
Bagi pasien berlatar belakang hepatitis C akan diberi suntikan interveron
dikombinasi minum tablet ribavirin. ”Ini gold standard untuk membunuh
virus. Yang ini tidak ada alternatif obat lain,” kata dia.
Sayangnya, meski berkategori gold standard, jaminan menegatifkan virus
”hanya” 50-80 persen. Artinya, virus tetap berpotensi kembali menyerang.
Sebelum terlambat
• Sirosis hati parah yang sering kali berujung pada transplantasi,
sebenarnya dapat dicegah sejak dini. Umumnya, sirosis hati
berawal dari hepatitis B dan C. Pada istilah kedokteran, dimulai
dari hepatitis akut, kronis, baru kemudian sirosis.
Hepatitis B atau C akut umumnya ditandai demam, rasa mual, kurang
bersemangat, susah tidur, mudah letih, dan perut sering kembung. Pada
tingkatan kronis, penderita didera rasa kantuk dan lemas. Gejala khas yang
kadang muncul adalah mata dan air kencing yang kekuning-kuningan.
”Namun, umumnya gejala awal tidak khas dan menyesatkan. Bisa berbahaya
bila tidak segera ditindaklanjuti dengan cek ke dokter,” kata Ali.
Untuk memastikan perkembangan virus ke organ hati, dokter akan memeriksa
kadar SGOT/SGPT dalam darah. Kadar keduanya yang meninggi merupakan
tanda-tanda awal yang mencurigakan.
Ada dua pilihan pengobatan dalam tahap ini, yakni memberi obat pembunuh
virus atau memperkuat organ hati.
Untuk memastikan tahap kronis ke tahap sirosis, ditempuh penelitian jaringan
sel tubuh di laboratorium (biopsi). Tanda sirosis hati ditunjukkan munculnya
jaringan serat di sana.
Berdasarkan pengalaman, dari hepatitis kronis ke tahap sirosis parah
membutuhkan waktu perkembangan sekitar 10-20 tahun tanpa intervensi
pengobatan berarti. Dalam hal ini, siapa pun perlu berhati-hati karena gejala
hepatitis akut dan kronis sering kali tidak khas, sehingga tidak jarang penderita
datang setelah menuju sirosis. (GESIT ARIYANTO)
Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang
mengisi rongga peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah
pasien sirosis hati atau karena penyakit hati lainnya yang parah. “Hampir
60 % pasien sirosis hati akan menjadi asitesdalam masa 10 tahun,” jelas
Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi,
Departemen Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di
Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli lalu. Namun, sekitar 15 % pasien
asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi cairan.
Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif.
Indikasi terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom
hepatorenal, adanya SBP, dan kadar albumin di bawah 2,5 g%.
Penggunaan albumin dimaksudkan untuk memelihara colloid oncotic
pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap
radikal bebas. Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek
prokoagulatori, efek permeabilitas vaskular, serta ekspansi volume plasma
Endoskopi Diagnosis
Pemeriksaan Saluran Kerongkongan (Esofagoskopi)
Pemeriksaan Lambung dan Usus 12 Jari (Gatros-Duodenoskopi)
Pemeriksaan Saluran Empedu dan Pankreas (Endoskopic Retrograde
Cholangio Pancreatography)
Pemeriksaan Saluruan Usus Besar (Kolonoskopi)
Pemeriksaan Muara Usus Besar sampai Pangkal Dubur
(Rektosigmoidoskopi)
Pengambilan contoh jaringan saluran pencernaan (biopsi)
Endoskopi Terapeutik
Pengikatan Pembuluh darah pecah (Ligasi Varises Esofagus/Lambung)
Pembuntuan Pembuluh darah yang pecah (Skleroterpi Endoskopi)
Melebarkan Saluran Menelan (Dilatasi Esofagus)
Mengeluarkan Batu Saluran Empedu (Ekstrasi Batu Empedu)
Memasang cincin penyanggah saluran empedu (Stening Saluran Empedu)
Mengangkat Polip di saluran pencernaan (Polipoktomi Endoskopi)
Mengikat Pembuluh darah yang pecah pada wasir (Ligasi Hermoroid)