You are on page 1of 13

GRIKO .S.

TAMBAHANI
MAKALAH
XI TKJ 1

PEMBIMBING:

Ibu.
Windy Wenas
KEBUDAYAAN JEPANG

S
A
M
U
R
A
I

Griko Stefan TambahaniTM


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas segala berkat dan rahmat yang Tuhan berikan pada saya sehingga

Makalah Bahasa Jepang mengenai “Kebudayaan Samurai” ini dapat saya selesaikan dengan baik.

Seiring dengan perkembangan zaman dan juga remaja sekarang telah melupakan

kebudayaannya maka, saya membuat makalah mengenai “Kebudayaan Samurai“ ini agar kita

semua dapat memperoleh dan mengetahui apa sebenarnya Samurai itu dan darimana kebudayaan

itu berasal. Saya menghadirkan kliping ini sebagai salah satu alternatif bagi siapa saja yang ingin

mengetahui lebih dalam mengenai “Samurai”.

Makalah mengenai “Kebudayaan Jepang“ ini disusun dengan baik dari berbagai macam

panduan mengenai “Kebudayaan yang berasal dari Jepang“ yang telah diringkas menjadi sebuah

Makalah yang berjudul “SAMURAI”. Namun saya menyadari kliping ini masih belum sempurna

apabila tidak ada kritikan dan saran dari saudara/i sekalian yang membaca Makalah ini. Oleh

karena itu saya mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang membaca demi perbaikan

dan penyempurnaan pada Makalah ini.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

kami dalam pembuatan makalah ini hingga boleh terselesaikan.

Tomohon, Maret 2010

Griko Stefan Tambahani

Griko Stefan TambahaniTM


Í

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................í

DAFTAR ISI............................................................................................................................íí

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................................1

1.2 ASAL KATA SAMURAI

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN SAMURAI.....................................................................................2

2.2 SEJARAH SAMURAI..........................................................................................3-5

2.3 KEMATIAN SAMURAI.........................................................................................6

2.4 CARA KEMATIAN.................................................................................................7

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN..........................................................................................................8

3.2 SARAN

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................9

Griko Stefan TambahaniTM


íí

BAB 1 : PENDAHULUAN

Jepang merupakan Negara yang di juluki Negara matahari dan Negara bunga sakura, mengapa
demikian? Karena di Negara jepang mayoritas beragama Shinto yang menyembah matahari sehingga
disebut Negara matahari, sedangkan julukan Negara bunga sakura di berikan karena banyak bunga sakura
yang tumbuh si tanah jepang, bahkan untuk menyambut musim semi sakura orang jepang mempunyai
suatu tradisi, yaitu biasa disebut perayaan hanami (perayaan melihat mekarnya bunga) sebagai symbol
kebahagiaan karena datangnya musim semi, di mana di saat itu bunga sakura mekar dengan cantiknya. Di
setiap budayanya mempunyai arti tersendiri. Dari zaman jomon sampai zaman hesei sekarang, orang jepan
mampu melestarikan kebudayaannya sendiri.

Dengan ini saya menyusun rangkuman tentang kebudayaan jepang yaitu: Samurai

Samurai

Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang


yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784),
istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain
itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni
bushi. Istilah bushi ( 武 士 ) yang berarti “orang yang
dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku
Nihongi ( 続 日 本 紀 ), pada bagian catatan itu tertulis “secara
umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta egara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi
menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).

1
Griko Stefan TambahaniTM
BAB 2 :
KEBUDAYAAN JEPANG

Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik membuat Negara bunga sakura itu banyak di
kenal masyarakat dunia salah satunya Indonesia, kebudayaan jepang yang sampai saat ini masih dilakukan
dalam berbagai kesempatan misalkan perayaan hanami, di karenakan masyarakat jepang mencintai
kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Orang jepang mau memakai pakean seberat dan setebal
kimono untuk sekedar menghadiri upacara resepsi pernikahan, sekarang kita tau bagaimana cintanya
warga jepang pada kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu mengetahui seperti apa kebudayaan
jepang itu, mungkin dengan mengetahui beberapa kebudayaan jepang kita bisa sedikit meniru cara
melestarikan kebudayaannya, mungkin bisa saja kebudayaan kita tetap terjaga dan tetap di lakukan seperti
kebudayaan jepang, salah satu contoh kebudayaan jepang adalah Samurai

SAMURAI

Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang


yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784),
istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain
itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni
bushi. Istilah bushi ( 武 士 ) yang berarti “orang yang
dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku
Nihongi ( 続 日 本 紀 ), pada bagian catatan itu tertulis “secara
umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian
berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir
abad ke-12 (zaman Kamakura).

Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai
berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.

Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak
terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin ( 浪人 ). Rōnin ini sudah
ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rōnin digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman Edo
(1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak samurai yang
kehilangan tuannya. kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada
beberapa alasan seorang samurai menjadi rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya
untuk menjalani hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang rōnin
secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah jumlahnya diawali berakhirnya
perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para
samurai kehilangan majikannya.

Griko Stefan TambahaniTM


Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman
Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan
wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut setiap
laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk
mengikuti dinas militer. Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum
milter harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan
tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga
mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut
dikenal dengan sakimori ( 防人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada
hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.

Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian
(Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150
tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang
dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang
mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan
pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk
bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan
pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak
aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu
kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya.
Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.

Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul
sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan.
Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang
mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara,
mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal
dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai
markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧 兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen)
pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya,
kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok
Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.

Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang
terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap
o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul
dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya
dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama
kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.
Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家 - bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi
samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.

Griko Stefan TambahaniTM


Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga
Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada
akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura
(Kamakura Bakufu; 1192 – 1333). Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil
alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199
-1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen
sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.

Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa
berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol
tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai
mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik
serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran
yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan
taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan
penggunaan senjata baru (dengan menggunakan
mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang
menghancurkan armada Mongol, dan mencegah
bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang
Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).

Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan


bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan
infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari
kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang.
Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan
busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak
menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai
dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara.
Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō
tairitsu).

Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan
tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa
ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan
kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil
yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah
daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan
atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah
daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang
kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.

Griko Stefan TambahaniTM


Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer,
mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat
perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan
“lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.
Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai
ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan
agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat
memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli
perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda
akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah
dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga membangun benteng
Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda
dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia
dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada
tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.

Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan
tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga
Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi :
taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para
petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan
mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan
Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang
dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada
disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi
menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang
serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu
Muromachi.

Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō
ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat
posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara
kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di
medan perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan
didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.

Griko Stefan TambahaniTM


KEMATIAN SAMURAI

Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada tindakan pahlawan-
pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang
menerangkan mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun ke-
18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke medan peperangan, Hagakure - buku tersebut
dikatakan telah membawa semangat dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat
dinafikan, wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah disalahtafsirkan
oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di
sini terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri: “Jalan Samurai ditemui dalam kematian.
Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”

Baris-baris kalimat di atas kemudian


menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam
kebanyakan buku dan majalah mengenai
samurai atau budaya bela diri masyarakat
Jepang. Petikan di bawah merupakan antara
isi kandungan buku Hagakure: “Kita semua
mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita
melakukan sesuatu berdasarkan apa yang
kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai
tujuan kita dan terus untuk hidup adalah
sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada
keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini
adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah
ditetapkan jantung seseorang untuk setiap
pagi dan malam, seseorang itu akan dapat
hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan
hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”

Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira
Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jeneral Taira yang
paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang
Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya,
Munemori, supaya menyingkirkan seorang jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak
usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati
perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan
untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan bincangkan mengenai Dua Kematian Cara
Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan Seppuku.

Griko Stefan TambahaniTM


CARA KEMATIAN

1. Mati di medan pertempuran

Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam peperangan untuk
membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para samurai. Mati dibunuh di medan perang
adalah lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai yang terkenal,
Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para pengikutnya sebelum mati:

“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat perlindungan
daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di
tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”

Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang.
Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh
di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi
Tomosada... sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan
mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata
(kurun ke-16). Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.

2. Seppuku

Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara membunuh diri. Merupakan
unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik
daripada membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap
membawa malu kepada nama keluarga dan raja. Di Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri
(artinya tindakan Membunuh Diri dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para
samurai), tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam
sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir
kurun ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih mudah melakukan
dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa
dengan melakukan seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur untuk
mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat sangat dan ini mungkin tidak berani
dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu
keberanian dan kehormatan.

Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat dalam kebudayaan
Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan, kemudian satu bantal yang besar akan

Griko Stefan TambahaniTM


diletakkan di atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut (pelaku seppuku),
bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai penghormatan kepada pelaku seppuku).
Samurai yang menjalani seppuku, memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal
tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang kaishakunin, atau
`kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah
meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan amat
memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih (berkesanggupan untuk melakukan
tugas membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.

Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di dalam
talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan
kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah
tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi.
Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan
menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di
dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini,
maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah melihat
sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.

Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan bintang,
dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya
dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung
kepada fungsi atau sebab melakukannya:

Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut meninggal. Pada zaman Edo,
junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan
perwira yang setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jeneral Nogi Maresue telah melakukan
junshi.

Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi. Tidak begitu popular, melibatkan seseorang yang
melakukan seppuku sebagai tanda peringatan kepada seseorang raja apabila segala bentuk musyawarah
(persuasion) gagal. Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk mengubah
prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.

Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus kesalahannya. Ini
merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan seppuku. Antara samurai yang melakukan
sokotsu-shi ini termasuklah Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561), karena telah
membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya di dalam bahaya.

BAB 3 :
3.1 KESIMPULAN

Griko Stefan TambahaniTM


Samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”.
Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu
terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士 ) yang berarti
“orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本紀 ),
pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”.

3.2 SARAN

Lebih banyak lagi membaca tentang sejarah - sejarah Dunia.

DAFTAR PUSAKA
www.kazeyagami.blog

http://kazeyagami.blog.friendster.com/2009/02/hanami/

oleh: kazeyagamy

www.kaskus.com

Griko Stefan TambahaniTM


http://images.google.com/imgres?
imgurl=http://i204.photobucket.com/albums/bb92/Ken_Bu/SaigoTakamori.jpg&imgrefurl=http://www.ka
skus.us/showthread.php%3Ft
%3D1243847&usg=__4BAPJhoz6eZ4uBOS1F5_5PWBHrA=&h=500&w=387&sz=83&hl=en&start=1&
tbnid=XxoLDrbaKBzL0M:&tbnh=130&tbnw=101&prev=/images%3Fq%3Dkebudayaan%2Bjepang-
samurai%26gbv%3D2%26hl%3Den%26sa%3DG

oleh: zeth

www.wikipedia.com

Link: http://id.wikipedia.org/wiki/Shogun

Oleh: Tomio Takahashi. Sei-i Taishōgun mō hitotsu no kokkashuken. Chūkōshinso, 1987. ISBN 978-4-12-
100833-6

Link: http://id.wikipedia.org/wiki/Hakama

http://id.wikipedia.org/wiki/Z%C5%8Dri

www.google.com

10

Griko Stefan TambahaniTM

You might also like