You are on page 1of 75

TERBATAS

BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum

Perkembangnya informasi dan teknologi memberikan dampak yang sangat besar


terhadap tata kehidupan sosial, kesehatan sebagai bagian dari kebutuhan manusia tak
luput juga menjadi sasaran. Kebutuhan akan kesehatan yang prima serta tuntutan akan
jaminan keselamatan, mempengaruhi cara pandang dan konsep penyedia jasa
pelayanan kesehatan yang profesional. Oleh karena itu untuk penyedia jasa pelayanan
kesehatan harus terus membenahi berbagai aspek yang turut mendukung didalam
pencapaian peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.
Rumah sakit sebagai salah satu unsur yang begerak didalam penyedia jasa
pelayanan kesehatan dituntut untuk lebih meningkatkan kinerjanya secara optimal
sehingga profesionalitas rumah sakit sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan dapat
dicapai. Profesionalisme pada pelayanan kesehatan dapat dicapai bilamana dapat
mengikuti kemajuan dan pekembangan lmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bidang
kesehatan serta Teknologi Informasi.
Seiring dengan perubahan sikap masyarakat yang semakin kritis terhadap jasa
pelayanan kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut maka dibutuhkan kesiapan
yang menyeluruh baik perangkat keras (hard were) maupun perangkat lunak (soft ware)
dari penyedia jasa pelayanan kesehatan. Salah satu perangkat lunak yang harus ada di
rumah sakit yaitu suatu prosedur operasional yang standar dalam pelayanan kesehatan,
dimana ini akan menjadi acuan atau dasar dalam melakukan suatu tindakan pelayanan
kesehatan.
Melihat kenyataan di atas maka Rumkital Dr. Komang Makes berusaha lebih
profesional dan salah satu bentuk upaya yang dilaksanakan di lingkungan Rumkital Dr.
Komang Makes adalah menyusun dan menerapkan Panduan Manajemen Klinis Mata
dengan merujuk pada Panduan Manajemen Klinik yang ditetapkan oleh Perdami.

2. Maksud dan tujuan


a. Maksud
Buku Panduan Manajemen Klinis Mata ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi
tenaga medis Rumkital Dr. Komang Makes dalam memberikan pelayanan
kesehatan di bidang mata secara profesional.

b. Tujuan
1) Memberikan pengetahuan dan keseragaman cara
bertindak dalam memberikan pelayanan kesehatan di bidang mata.
2) Mendapatkan mutu seoptimal mungkin dalam
pemberian pelayanan kesehatan di bidang mata.

3. Tata Urut
a. BAB I Pendahuluan
b. BAB II Panduan Manajemen Klinis Mata
c. BAB III Penutup

1
TERBATAS

BAB-II

PANDUAN MANAJEMEN KLINIS MATA

GAMBARAN UMUM KELAINAN REFRAKSI

I. MIOPIA
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekutan pembiasan sinar yang
berlebihan,sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan didepan retina.

1. Miopia axial:kekuatan retraktif mata normal, tetapi


diameter anterior-posterior bola ata lebih panjang. Mata biasanya lebih besar
dari normal. Pada tipe miopia ini bias dijumpai myopic cresent dan stafiloma
posterior
2. Miopia kurvatura: Bessar bola mata normal, tapi
kurvatura kornea dan lensa lebih besar dari normal
3. Miopia indeks refraksi: perubahan indeks refraksi
sering terlihat pada pasien Diabetes yang kadar gula darahnya tak terkontrol.
4. Perubahan posisi lensa: perubahan lensa kearah
depan sering terjadi sesudah tindakan bedah, terutama glaukoma

Gejala miopia
1. Gejala paling penting yaitu melihat menjadi buram
2. Sakit kepala
3. Kecenderungan terjadinya juling saat melihat jauh
4. asien lebih jelas melihat dekat

Penatalaksanaan
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi sferis
negatip terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.

II. HIPERMETROPIA
Mata hipermetropia mempunyai kekuatan refraksi yang lemah, sinar sejajar yang
dating dari obyek terletak jauh tak terhingga dibiaskan dibelakang retina.Berasarkan
struktur bola mata hipermetropia dibedakan menjadi beberapa tipe,yaitu:
1. Hipermetropia axial: Kekuatan refraksi mata normal, tetapi diameter anterior-
posterior bola mata lebih pendek dari normal
2. Hipermetropia kurvatura: Kelengkungan kornea dan lensa lebih lemah dari
normal
3. Hipermetropia indeks refraksi:Indeks refraksi lebih rendah dari normal
4. Perubahan posisi lensa: Hipermetropia dapat disebabkan perubahan posisi
lensa ke belakang

Berdasarkan akomodasi hipermetropia dibedakan secara klinis menjadi:


1. Hipermetropia manifest: didapatkan tanpa sikloplegik, merupakan
hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan lensa positif maksimal yang memberikan

2
TERBATAS

tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri dari hipermetropia absolut


ditambah dengan hipermetropia fakultatif.

2. Hipermetropia manifes absolut : merupakan bagian hipermetropia yang tidak


dapat diimbangi dengan akomodasi
3. Hipermetropi fakultatif: merupakan bagian hipermetropia yang dapat diukur
dengan dikoreksi dengan lensa positif,tetapi dapat juga dikoreksi dengan akomodasi
tanpa lensa koreksi.pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan
dapat melihat normal tanpa koreksi, tapi bila diberikan koreksi lensa positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan istirahat.
4. Hipermetropia laten: merupakan bagian hipermetropia yang dapat diatasi
sepenuhnya dengan akomodasi, tanpa sikloplegik, merupakan perbedaan antara
hipemetropia total dengan manifest. hipermetropia laten iniakan diatasi pasien
dengan akomodasi trus menerus.Hipermetropia laten hsnys dspst diukur bila
diberikan sikloplrgik. Makin muda seseorang makin besar komponen hipermetropi
laten. Dengan bertambahnya usia maka kemampuan akomodasi menjadi berkurang,
sehingga hipermetropia laten menjadi fakultatif dan kemudian menjadi hipermetropia
absolut.
5. Hipermetropi total, yaitu seluruh jumlah hipermetropia laten dan manifest yang
didapatkan setelah pemeriksaan dengan sikloplegik.

Gejala hipermetropia
1. Bila hipermetropia 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh
penglihatan jauh kabur.turunnya tajam penglihatan jauh pada pasien usia tua
disebabkan menurunnya amplitude akomodasi, sehingga tidak dapat lagi
mengkompensasi kelainan hipermetropia nya.
2. penglihatan dekat lebih cepat buram. Karena kemampuan akmodasi menurun
dengan bertambahnya usia, sehingga akomodasi tidak cukup adekuat lagi untuk
penglihatan dekat.Penglihatan dekat yang buram akan lebih terasa lagi pada
keadaan kelelahan, atau penerangan yang kurang
3. sakit kepala biasanya pada daerah frontaldan dipacu oleh kegiatan melihat dekat
jangka panjang.jarang terjadi pada pagi hari.cenderung terjadi pada siang hari dan
bias membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan.
4. eyestrain
5. Sensitif terhadap cahaya.
6. spasme akomodasi; yaitu terjadinya cramp m.cilliaris diikuti penglihatan buram
intermiten. Over aksi akomodasi dapat menyebabkan pseudomiopia.sehingga
penglihatan lebih jelas saat diberikan koreksi lensa negatip

Penatalaksanaan
Apabila disertai esopohria, hipermeropia dikoreksi penuh
Apabila disertai strabismus konvergen, koreksi hipermetropia total, sebaliknya
apabila disertai exophoria diberikan under koreksi.

III. ASTIGMATISMA
Adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh
meridian. Pada astigmatisma regular,terdapat dua meridian utama yang terletak saling
tegak lurus.

3
TERBATAS

Tipe-tipe astigmatisma
1. Astigmatisma hipermetropikus simpleks: satu meridian utamanya emetropik,
meridian yang lainnya hipermetropik.
2. Astigmatisma myopikus simpleks: satu meridian utamanya emetropik,
meridian lainnya miopik.
3. Astigmatisma hipermetropikus kompositus: kedua meridian utama
hipermetropik dengan derajat yang berbeda.
4. Astigmatisma miopikus kompositus: kedua meridian utamanya miopik
dengan derajat yang berbeda
5. Astigmatisma mikstus: satu meridian utamanya hipermetropik, meridian yang
lain miopik.

Bentuk-bentuk Astigmatisma
1. Astigmatisma regular
2. Astigmatisma irregular
3. Astigmatisma oblik
4. Astigmatisma simetrik
5. Astigmatisma asimetrik
6. Astigmatisma with the rule
7. Astigmatisma against the rule

Gejala Astigmatisma
1. Penglihatan kabur
2. Head tilting
3. Menengok untuk melihat jelas
4. Mempersempit palpebra
5. Memegang bahan bacaan lebih dekat

Penatalaksanaan Astigmatisma
Koreksi dengan lensa silinder, bersama dengan sferis, kalau ada

IV. ANISOMETROPIA

Pemeriksaan tajam penglihatan


1. Ditingkat pelayanan kesehatan mata primer.
a. Pemeriksaan menggunakan kartu snellen
Dengan penerangan ruangan yang cukup. Pasien diperiksa pada jarak
6meter atau paling sedikit 5 meter dari kartu snellen. Apabila tidak tersedia
ruangan yang cukup, maka pemeriksaan dapat dilakukan pada jarak 3
meter,dengan cara meletakkan kartu snellen diatas kepala pasien dan pasien
melihat objek melalui bayangan dicermin yang diletakkan didepan pasien.
Pemeriksaan dilakukan satu persatu mata dengan mata yang tidak diperiksa
ditutup menggunakan okluder.Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan
terlebih dahulu, kecuali bila pasien mengeluh mata kiri melihat lebih buram,
dapat diperiksa mata kiri terlebih dahulu. Pasien disuruh membaca huruf atau
angka pada kartu snellens dari baris atas ke paling bawah, kemudian diulangi
untuk mata sebelahnya.Keemudian kedua mata diperiksa secara bersamaan.

4
TERBATAS

Apabila tajam penglihatan kedua mata seimbang, maka biasanya kedua


mata akan saling memperkuat,sehingga didapatkan tajam penglihatan
menggunakan dua mata sedikit lebih baik dibandingkan satu per satu mata.
Hasil pemeriksaan kemudian dicatat, sebagai berikut:

VOD :6/6
→ VOU :6/5

VOS :6/6

Karena pemeriksaan bias dilakukan dengan atau tanpa kaca mata, maka
hasil hasil pemeriksaan dicatat dengan notasi s(sine= tanpa koreksi) dan
c(cum= dengan koreksi) missal 6/6c, atau 6/12s.
Hasil pemeriksaan yang dicatat adalah baris terakhir yang dapat terbaca
seluruhnya atau sebagian oleh pasien ,misalnya

V :6/9 berarti pasien dapat membaca semua huruf / angka pada baris 6/9

V :6/9+ berarti pasien dapat membaca pada baris 6/9 ditambah beberapa
pada
baris dibawahnya.

V :6/18 – atau lebih dijelaskan 6/18 (-2 huruf) berarti pasien dapat membaca
pada
baris 6/18 dengan 2 huruf salah

Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu snelen,
pasien bias diminta mendekat kearah snelen, sehingga pada jarak yang lebih
dekat mungkin pasien bias membaca huruf terbesar.Misal pasien bias
membaca huruf terbesar pada jarak 2 meter , maka V:2/60,apabila hal
tersebut tidak memungkinkan maka pemeriksaan kita lakukan dengan hitung
jari.pasien diminta menyebutkan berapa jari pemeriksa yang diperlihatkan
dengan latar belakang gelap. Tajam penglihatan dicatat pada jarak berapa
pasien bisa menghitung jari. V:1/60. berarti pasien dapat mengitung jari pada
jarak 1 meter (CF= counts Finger).Apabila hitung jari tidak bisa, maka
dilakukan pemeriksan dengan gerakan tangan didepan pasien dengan latar
belakang terang, missal jendela. Tajam penglihatan dicatat sebagai V:1/300
atau HM(hand movement).Apabila pasien tetap tidak dapat maka ruangan
digelapkan dan kita sinari engan senter kearah mata pasien. Apabila pasien
bisa mengenali perbedaan saat disinari dan saat tidak disinari, yajam
penglihatannya adalah V:1/~ atau PL (Perception of light). Sebaliknya bila
sinar tidak bisa dikenali oleh pasien, maka V:no ,atau PL= nol. Pada tajam
penglihatan PL maka harus diperiksa proyeksinya, yaitu dari arah mana sinar
datang dapat dikenali(nasal, temporal, atas , bawah)

b. Pemeriksaan Refraksi
Dilakukan dengan cara memeriksa tajam penglihatan mata satu persatu.
Dengan satu mata ditutup pasien diminta untuk membaca huruf pada kartu
snellen,apabila pasien mampu membaca pada baris yang menunjukkan
angka 20, maka dicatat tajam penglihatan tanpa kaca mata 6/20, selanjutnya

5
TERBATAS

ditambah lensa S+0,50 D untuk menghilangkan akomodasi pasien. Bila


akibat penambahan lensa tadi penglihatan bertambah jelas, maka
kemungkinan pasien menderita hipermetropia. Kemudian koreksi dengan
lensa sferis positif diteruskan dengan ditambah perlahan-lahan sampai
dicapai tajam penglihatan terbaik. Koreksi diteruskan dengan menambah
lensa positif.sampai pada satu saat pasien mengatakan tajam
penglihatannya berkurang. Pada pasien hipermetropia tersebut kita berikan
koreksi lensa positif terbesar/ terkuat yang masi memberiksn tajam
penglihatan 6/6. Bila ditambah lensa S+0,50D tadi penglihatan menjadi
bertambah kabur, maka kemungkinan pasien menderita miopia. Pada mata
tersebut kita berikan lensa sferis negatip yang makin dikurangi secara
perlahan-lahan sampai terlihat huruf pada baris 6/6.
Apabila setelah prosedur diatas tetap belum dicapai tajam penglihatan
maksimal, maka kemungkinan ada astigmatisma.

c. Pemeriksaan Dengan Tehnik Fogging


Dapat dilakukan dengan atau tanpa silkoplegik.Akomodasi dapat dicegah
dengan membuat mata sedikit miopia, sehingga tajam penglihatan mencapai
6/9 atau 6/12 kearah miopia, dengan cara memberikan lensa S+0,25D.
pasien kemudian disuruh melihat juring astigmat pada kartu snellens. Pasien
diminta menyebutkan garis mana yang terlihat paling hitam. Garis yang
terlihat paling hitam ini sesuai dengan meridian yang paling besar
miopinya,sehingga koreksi dengan lensa silinder minus kita letakkan pada
aksis tegak lurusnya. Power lensa silinder minus dinaikkan perlahan-lahan
sampai didapatkan gambaran juring astigmat yang sama jelas/ hitam pada
dua meridian yang saling tegak lurus. Apabila silinder yang diperlukan lebih
dari C-0,75D,sebaiknya ditambahkan lensa S+0,25D tiap kenaikan silinder
0,5D untuk mempertahankan efek fogging. Setelah koreksi silinder
ditentukan, lensa fogging dikurangi sampai didapatkan minus terkecil atau
plus terbesar yang memberikan tajam penglihatan terbaik. Untuk mengetahui
apakah aksis lensa silinder yang diberikan sudah tepat atau belum bisa
dilakukan test swinging, pasien disuruh melihat huruf terkecil pada kartu
snelen, sementara pemeriksa memutar aksis lensa silinder 30° pada dua
arah berlawanan, kemudian 15° dan akhirnya 5°, dan menanyakan apakah
pada waktu diputar kedua arah yang berlawanan sama kaburnya. Apabila
pada saat lensa silinder diputar aksisnya kedua arah yang berlawanan
memberikan efek kabur yang sama, maka aksis silinder yang kita berikan
sudah tepat.

2. Pelayanan Kesehatan Mata Sekunder (SEC)


Ditingkat pelayanan kesehatan mata sekunder bisa dilakukan pemeriksaan
refraksi seperti pada tingkat pelayanan kesehatan mata primer, ditambah dengan
pemeriksaan lensometri.

3. Pelayanan Kesehatan Mata Tertier (TEC)


Ditingkat pelayanan kesehatan mata tertier, bisa dilakukan pemerikaan refraksi
seperti pada tingkat pelayanan kesehatan mata sekunder, ditambah dengan:
a. Streak retinoscopi
b. Teknik Jackson cross silinder

6
TERBATAS

V. PROBLEMA LENSA KONTAK


Adalah problema yang dijumpai spesifik akibat pemakaian lensa kontak, karena infeksi
atau karena pemakaian lensa kontaknya sendiri.

Anamnesis
Gejala dan Tanda
1. Apa keluhan utamanya, jenis lensa kontak yang dipakai, sudah berapa lama
umur lensa kontaknya, berapa lama sehari lensa kontak dipakai, bila tidur apakah
lensa kontaknya dipakai, bagaimana perawatan sehari-harinya, apakah
menggunakan enzym.
2. Sakit, fotophobia, rasa seperti ada benda asing, tajam penglihatan menurun,
mata merah dan rasa gatal

Tergantung dari etiologi, maka diagnosisnya adalah :


Keratitis/ ulkus kornea (bakteri, jamur, achantamoeba)
1. Giant papillary conjungtivitis
2. Hipersensitivitas terhadap solution lensa: hiperemi conjungtiva, dan iritasi pada
mata yang timbul setelah lens cleaning dan insersi lensa
3. Deposit pada lensa kontak: multiple small deposit pada lensa kontak akan
menimbulkan iritasi kornea dan konjungtiva.
4. Tight lens syndrome
5. Aberasi cornea: sering pada PMMA hard contact lens
6. Neovascularisasi pada kornea
7. Perubahan epithel kornea
8. Inadequate/ incomplete blinking
9. Dislokasi lensa kontak

EVALUASI
Pelayanan kesehatan mata Primer (PEC)
Dengan menggunakan lampu senter dan lup dapat dikenali adanya kelainan pada mata,
seperti keratitis, konjungtivitis, ulkus kornea, dan kelainan lain yang termasuk dalam
problema lensa kontak

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Dengan menggunakan lampu senter, lup, slit lamp, strip fluoresin, dan lainnya dapat
dikenali adanya konjungtivitis, keratitis/ ulkus kornea, dan kelainan lain yang termasuk
dalam problema lensa kontak

Pelayanan kesehatan mata tertier (TEC)


Dengan menggunakan lampu senter, lup, slit lamp, strip fluoresin, kalau perlu sediaan
apus dan biakan dari ulkus kornea , dari lensa kontaknya atau dari tempat lensa
kontaknya.

Pada TEC dilakukan:


1. Pada kondisi tidak ada infeksi, dimana lensa kontak masih ada di mata,
dievaluasi letak atau kedudukannya, adanya deposit, goresan dan lain-lain.
2. Pemeriksaan mata pada saat lensa kontak sudah dilepas, dilakukan
pemeriksaan conjungtiva tarsalis superior untuk melihat adanya papil;
konjungtiva bulbi, kornea dan pemeriksaan permukaan bola mata dengan
menggunakan test fluoresin

7
TERBATAS

3. Pemeriksaan lensa kontak dengan menggunakan lensa pembesar untuk melihat


adanya deposit dan goresan pada lensa kontak

4. Pemeriksaan sediaan langsung apus dan biakan, bila ada ulkus kornea
5. Kalau perlu diambil bahan biakan yang diambil dari lensa kontak atau tempat
lensa kontak.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Bila ada problema lensa kontak, mata merah, lensa kontak harus segera dilepas
dan diobati, diberikan obat tetes mata chloramfenicol
2. Cara melepaskan lensa kontak lunak oleh dokter:
a. Cuci tangan terlebih dahulu
b. Pasien diminta melihat keatas, letakkan jari tengah tangan kanan pada
kelopak bawah dan sentuh pinggir lensa kontak dengan jari telunjuk.Kemudian
dengan bantuan ibu jari,lensa kontak dicubit perlahan-lahan antara ibu jari dan
telunjuk sehingga lensa terlipat dan dengan mudah dapat dikeluarkan
3. Cara melepas lensa kontak RGP oleh dokter:
a. Cuci tangan terlebih dahulu
b. Ujung pipet penghisap dicelupkan kedalam air bersih layak minum, lalu
kita tempelkan ujung karet penghisap pada lensa RGP di mata. Kemudian pipet
penghisap beserta lensa RGP yang sudah menempel kita tarik pelan-pelan
keluar dari mata.

Perlu diingat bahwa cairan untuk perawatan lensa kontak lunak dan lensa RGP tidak
sama. Juga untuk membilas lensa RGP cukup dengan air bersih layak minum.
Ini tidak boleh dilakukan pada lensa kontak lunak, karena adanya mineral-mineral yang
terkandung di dalam air minum dan dapat diserap oleh lensa kontak lunak.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Bila ada problem lensa kontak, mata merah:
1. Lensa kontak harus segera dilepas
2. Diobati, beri terapi seperti pada ulkus/ keratitis pada umum nya
3. Bila menemui kesulitan dapat dirujuk

Pelayanan kesehatan mata tertier (TEC)


1. Bila ada infeksi :
a. Lensa kontak segera dilepas
b. Diobati, beri terapi seperti pada ulkus/ keratitis pada umum nya

2. Bila ada spesifik problema lensa kontak


Giant papillary conjungtivitis:
a. Lensa kontak segera dilepas
b. Berikan topikal mast cell stabilizer, chromolyn chromoglycate tetes mata
c. Perbaiki hygiene, bila perlu ganti cleaning system
d. Bila keadaan sudah membaik ( 1-4 bln) ganti lensa kontak dengan design
dan bahan baru yang berbeda dengan sebelumnya.

3. Hypersensitivitas/ reaksi toxis:


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Pakai artificial tears tanpa bahan pengawet 4-6 x sehari

8
TERBATAS

c. Ganti lensa kontak dengan design dan bahan baru yang berbeda dengan
bahan sebelumnya, bila keadaan sudah membaik.

4. Contact lens deposits:


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Ganti lensa konak lunak baru bila keadaan membaik. Disarankan
memakai lensa kontak yang sekali pakai. Pada lensa RGP deposit umumnya
mudah dapat dihilangkan. Selanjutnya perlu memakai enzym treatment juga.
c. Diberi pelatihan tentang perawatan lensa kontak, juga tentang perawatan
dengan enzym tiap satu minggu sekali.

5. Tight lens syndrome:


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Setelah gejala hilang, segera di fit ulang dengan
lensa kontak yang lebih flat. Kalau lensa RGP dapat dicoba dengan pengecilan
diameter lebih dulu atau tindakan lain yang akan membuat fitting lensa lebih
loose (longgar)

6. Aberasi cornea
a. Lensa kontak segera dilepas
b. Setelah keadaan baik dan stabil (refraksi dan
keratometri telah membaik dan menetap setelah 3x pemeriksaan). Kemudian
dilakukan fitting ulang

7. Neovascularisasi pada cornea


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Berikan topikal steroid
c. Di fit ulang dengan lens kontak dengan Dk yang
lebih tinggi dan pemakaian yang daily- wear

8. Perubahan epithel cornea


a. Lensa kontak segera dilepas
b. Bila epithel kornea sudah membaik berikan lensa kontak baru. Pada
lensa RGP dicoba dulu dengan lensa yang diperbaiki, misalnya dengan
memperkecil diameter lensa kontak
c. Gunakan cairan yang tidak mengandung bahan pengawet
d. Kedipan yang tidak sempurna
e. Berikan artificial ears yang tidak mengandung bahan pengawet
f. Penting untuk mengajarkan cara mengedip yang benar pada pemakai
lensa kontak

9. Dislokasi lensa
Lensa kontak diperiksa, apakah ada kerusakan atau tidak, bila tidak ada, clean &
disinfect lensa, periksa kembali fitting nya. Periksa segment depan mata dengan
seksama.

Bila ada infeksi kornea, follow up pada hari berikutnya dan diteruskan sampai sembuh.
Bila pada kondisi non infeksi, follow up 1-4 minggu berikutnya tergantung kondisi
klinisnya. Penderita yang diberi steroid topikal harus di follow up lebih ketat.

9
TERBATAS

Rekomendasi
Pada semua problema lensa kontak
1. Lensa kontak pada umumnya lebih aman kalau dilepas
2. Setelah pemeriksaan baru tindakan selanjutnya atau dirujuk

Penggunaan lensa kontak pada pelayanan kesehatan mata primer, perlu dapat
membedakan soft contact lens dan lensa RGP (rigid gas permeable) dan dapat
melepaskan/ mengeluarkan lensa kontak bila didapatkan problema lensa kontak pada
penderita yang datang. Cara melepaskan lens kontak pada kedua jenis lens kontak itu
berbeda.
Pada pelayanan kesehatan mata sekunder dapat dilakukan usaha pertolongan dan
pengobatan bila menemui kesulitan dapat dirujuk ke pelayanan kesehatan tertier.

KONJUNGTIVITIS
Adalah suatu inflamasi atau peradangan pada konjungtiva, yang dapat disebabkan oleh
infeksi virus, bakteri, iritasi atau reaksi alergi/ hipersensitivitas. Peradadngan dapat
terjadi acute dan chronis.acute bila peradangan terjadi dalam beberapa hari sampai
2minggu, umumnya disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Kronis bila peradangan
terus nerlangsung dan tidak tidak sembuh lebih dari 2 minggu. Umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri yang resisten terhadap pengobatan, reaksi alergi/hipersensitivitas,
atau iritasi kronis(dry eye). Konjungtivitis merupakan salah satu masalah penyakit mata
tersering yang ditemukan dinegara berkembang.

Gejala klinis
1. Mata merah
2. Rasa mengganjal, gatal, berair/ sekret
3. Umumnya tidak ada penurunan penglihatan

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Riwayat trauma/ kelilipan, kontak dengan penderita mata merah, riwayat iritasi
dan alergi/ hipersensitivitas (udara, debu, obat, makanan)
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik
menggunakan pinhole
3. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat, konjungtiva bulbi dan
tarsal, dan memastikan pada kornea tidak ditemukan kelainan akibat peradangan
konjungtiva
4. Konjungtivitis bakteri bila ditemukan konjungtiva hiperemis, sekret mukopurulen
atau purulen, dapat disertai membrane atau pseudomembran pada konjuntivitis
tarsalis
5. Konjungtivitis virus ditemukan konjungtiva hiperemis, sekret umumnya
mukoserosa, dan pembesaran kelenjar limfe preauriculer
6. Konjungtivitis allergi bila mempunyai riwayat alergi atau atopi dan ditemukan
keluhan gatal, dan hiperemis konjungtiva
7. Curigai steven jhonson syndrome jika terjadi konjungtivitis pada kedua mata
yang timbul setelah min atau mendapatkan terapi obat-obatan.
8. Curigai konjungtivitis gonoroe, tertama pada bayi baru lahir. Jika ditemukan
konjungtivitis pada dua mata dengan sekret purulen yang sangat banyak.

10
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


1. Sama dengan fasilitas primer
2. Pemeriksaan komposisi air mata dengan melakukan pemeriksaan schirmer, BUT
dan ferning, uji anel melalui pungtum lakrimalis untuk menilai ada atau tidaknya
sumbatan
3. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan konjungtiva bulbi, tarsal,
forniks dan kornea
a. Melihat gambaran sekret (mucoserosa, mucopurulen, purulen)
b. Melihat gambaran folikel,papil, membrane pada konjungtivitis tarsal
superior dan inferior,dan konjugtivitis forniks
c. Melihat gambaran injeksi dan nodul pada konjungtivitis bulbi
d. Memastikan tidak ditemukan kelainan pada kornea
e. Melihat kelainan pada komposisi air mata, obstruksi kelenjar meibom
4. Pemeriksaan swab sekret dengan pewarnaan gram bila dicurigai infeksi bakteri,
giemsa bila dicurigai virus

Pelayanan kesehatan mata tertier(TEC)


1. Sama dengan fasilitas sekunder
2. Pemeriksaan kultur swab sekret konjungtiva

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Berikan tetes mata chloramfenikol (0,5%-1 %) 6x sehari atau salp mata 3x sehari
selama minimal 3 hari bila dicurigai infeksi bakteri
2. Berikan salp anti virus bila dicurigai infeksi virus
3. Berikan tetes mata anti alergi (steroid) bila dicurigai alergi/ hioersensitivitas
4. Berikan tetes mata buatan 6x sehari bila dicurigai iritasi
5. Pada steven jhonson syndrome diberikan tetes mata anti inflamasi (steroid)dan
air mata buatan/ lubrikan kemudian dirujuk ke dokter spesialis kulit.
6. Pada konjungtivitis gonoroe, pada bayi di injeksikan penicillin procain 50.000 IU/
kg BB/hr dan kloramfenicol tetes mata (0,5%-1%) tiap jam.
7. Bila tidak ada perbaikan dalam imingu pada konjungtivitis bakteri, 2 minggu pada
konjungtivitis virus dan alergi segera rujuk ke fasilitas sekunder atau tersier

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Berikan tetes mata antibiotik spektrum luas 6 kali sehari, atau salp mata 3 kali
sehari bila dicurigai infeksi bakteri
2. Berikan salp mata anti virus aziklovir 5 kali sehari bila dicurigai infeksi virus
3. Berikan tetes mata anti alergi (kromolin glikat) dan/atau anti inflamasi bila
dicurigai reaksi alergi/ hipersensitivitas.
4. Berikan tetes/gel lubrikan atau air mata buatan bila ditemukan iritasi

5. Dicari faktor predisposisi penyakit yaitu sistemik (diametes melitus, TBC,kondisi


imunitas yang rendah, cacingan, kondisi immunocompromised)
6. Keadaan konjungtiva diperiksa 3 hari hingga didapatkan perbaikan klinis, bila
tidak ada perbaikan, memburuk atau terjadi komplikasi dalam 1 bulan, dirujuk ke
dokter mata konsultan infeksi dan imunoogi atau fasilitas mata tersier.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)

11
TERBATAS

1. Beri tetes mata antibiotika sesuai dengan hasil gram kultur, 6 kali sehari atau
salp mata 3 kali seharibila infeksi bakteri
2. Beri tetes anti virus idosukridin atau aziklovir bila infeksi virus
3. Beri tetes mata anti histamine atau kortikosteroid bila ditemukan reaksi alergi
atau hipersensitivitas
4. Bila ditemukan komplikasi pada kornea, penata laksanaan sesuai dengan
penatalaksanaan keratitis/ulkus kornea
5. Pada steven Johnson syndrome, beri terapi anti inflamasi (steroid) topikal dan
lubrikan/air mata buatan, disertai terapi dari bagian spesialis kulit.
6. Pada konjungtivitis gonoroe, beri gentamicyn/ciprofloxacin salp mata,
inj.ceftriaxon 1gr single dose iv, jika ada ulkus beri ceftriaxon 1gr iv tiap 12 jam
selama 3 hari. Bila alergi beri ciprofloxacin 500mg oral 2 kali sehari selama 5 hari.
Pada bayi beri gentamicyn/ciprofloxacin salp mata, injj.ceftiaxone 25-50 mg/kg.BB
atau cefotaxim 100mg/kg.BB iv atau im
7. Beri tataes/gel mata lubrikan dan air mata buatan bila ditemukan iritasi
8. Pemeriksaan faktor predisposisi lokal (dry eye, obstruksi duktus nasolakrimalis,
dll) dilanjutkan penatalaksanaan terhadap kelainan tersebut. Pemerksaan
laboratorium darah urin, feses bila dicurigai faktor predisposisi sistemik
9. Beri terapi oral atau parenteral sistemik bila ditemukan faktor predisposisi
sistemik sesuai hasil konsultasi bagian yang bersangkutan
10. Keadaan konjungtiva dperiksa setiap 3 hari hingga didapati perbaikan klinis dan
evaluasi pengobatan terhadap faktor predisposisi sistemik dan lokal.

KERATITIS DAN ULKUS KORNEA


Adalah peradangan kornea yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu
proses alergi imunologi. Infeksi kornea pada umumnya didahului oleh trauma,
penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak
terkontrol.merupakan penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia.

Gejala Klinis
1. Penurunan tajam penglihatan
2. Mata merah, berair, silau, nyeri
3. Tampak lesi/kekeruhan di kornea

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata Primer(PEC)
1. Riwayat trauma (kelilipan benda asing dikornea, khusus riwayat trauma tumbuh-
tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan yang dapat dicurigai disebabkan oleh jamur , penggunaan lensa kontak)
penggunaan kortikosteroid topikal

2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik


menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea

Pelayanan kesehatan mata secunder (SEC)


1. Riwayat trauma (kelilipan benda asing dikornea, khusus riwayat trauma tumbuh-
tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari tumbuh-

12
TERBATAS

tumbuhan yang dapat dicurigai disebabkan oleh jamur , penggunaan lensa kontak)
penggunaan kortikosteroid topikal
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik
menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan TIO dengan palpasi.
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen anterior
lainnya:
a. Melihat gambaran sekret (serosa, muco purulen, purulen)
b. Bentuk ulkus (pungtata, filament, dendritik, geografik, oval, interstitial, dll)
c. Kedalaman ulkus (superficial, dalam, apakah ada kecenderungan untuk
perforasi (impending perforation) dan perforasi
d. Hipopion dapat ada atau tidak ada
5. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan gram dan pemeriksaan langsung
dengan KOH 10%

Pelayanan kesehatan mata tersier(TEC)


1. Riwayat trauma (kelilipan benda asing dikornea, khusus riwayat trauma
tumbuh-tumbuhan atau penggunaan obat tetes mata tradisional yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang dapat dicurigai disebabkan oleh jamur , penggunaan lensa
kontak) penggunaan kortikosteroid topikal
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan koreksi terbaik
menggunakan pin hole
3. Pemeriksaan TIO dengan palpasi.
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen
anterior lainnya:
a. Melihat gambaran sekret (serosa, muco purulen, purulen)
b. Bentuk ulkus (pungtata, filament, dendritik, geografik, oval, interstitial, dll)
c. Kedalaman ulkus (superficial, dalam, apakah ada kecenderungan untuk
perforasi (impending perforation) dan perforasi
d. Hipopion dapat ada atau tidak ada
5. Pemeriksaan kerokan kornea dengan pewarnaan gram dan pemeriksaan
langsung dengan KOH 10%
6. Lakukan foto keadaan kornea dan segmen anterior lainnya
7. Pemeriksaan kultur kerokan kornea dengan agar darah domba, tioglikolat,
dan agar sabauraud dekstrosa
8. Bila segmen posterior sulit dinilai, lakukan pemeriksaan USG. Bila
didapatkan adanya kekeruhan vitreus dan tanda-tanda endopthalmitis lakukan
prosedur endophtalmitis

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Beri tetes/ salp mata kloramenikol (0,5-1%) 6 kali sehari atau salp mata
tetrasiklin 3 kali sehari sekurang-kurang nya selama 3 hari

2. Jangan beri kombinasi antibiotik dengan obat yang mengandung kortikosteroid


3. Jangan menggunakan obat-obatan tradisional
4. Segera rujuk ke spesialis mata bila :
a. Tajam penglihatan awal buruk atau menurun setelah 3 hari pengobatan
b. Tampak lesi putih di kornea

13
TERBATAS

c. Tetap beri kloramfenikol tetes mata saat merujuk ke spesialis mata di


fasilitas sekunder dan tersier

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


a. Pasien sebaiknya dirawat apabila:
a. Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi
b. Pasien dianggap kurang patuh untuk pemnerian obat tiap jam
c. Diperlukan follow up untuk menilai keberhasilan terapi
b. Apabila ditemukan gambaran ulkus kornea
dendritik, geografik atau stroma, dapat diberikan salp mata aziklovir 5 kali sehari
atau tetes mata idosukridin tiap jam
c. Bila pada pemeriksaan kerokan kornea didapati
hasil gram positip atau negatip berikan antibiotika tetes mata golongan aminoglikosid
(gentamicyn, dibekasin,tobramicyn) dengan konsentrasi yang ditingkatkan (fortified)
tiap jam atau golongan quinolone (ciproflokxacyn, ofloxacyn,levofloxacyn) tiap 5
menit pada 1 jam pertama dan dilakukan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap
hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi
pemberian dapat dikurangi hingga 2 minggu.
d. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur(KOH +)
beri tetes mata natasimin 5% tiap jam dan salp mata natamisin 5% tiga kali sehari.
Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan
pengobatan, yang kemudian frekwensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5
minggu.
e. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes
mata silkoplegik dan anti glaukoma apabila didapati peningkatan TIO. Pemberian
analgesic apabila diperlukan
f. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam
PP sebagai salah satu faktor resiko ulkus kornea
g. Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan
imunologi mata atau klinik mata tersier apabila didapatkan:
a. Ulkus kornea yang terjadi pada pasien yang hanya mempunyai satu mata
b. Ulkus kornea pada anak-anak
c. Adanya kecenderungan untuk perforasi
d. Kecurigaan ulkus kornea jamur, tapi tidak mempunyai fasilitas
pemeriksaan langsung KOH 10% atau pewarnaan jamur lainnya
e. Tidak didapatkan kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan (ulkus
kornea bakteri) atau 7 hari pengobatan (ulkus kornea Jamur)

Pelayanan kesehatan mata tersier(TEC)


1. Pasien sebaiknya dirawat
apabila:
Lesi ulkus kornea mengancam penglihatan, mengancam perforasi
Pasien dianggap kurang patuh untuk pemberian obat tiap jam
Diperlukan follow up untuk menilai keberhasilan terapi
2. Apabila ditemukan gambaran
ulkus kornea dendritik, geografik atau stroma, dapat diberikan salp mata aziklovir 5
kali sehari atau tetes mata idosukridin tiap jam
3. Bila pada pemeriksaan
kerokan kornea didapati hasil gram positip atau negatip berikan antibiotika tetes
mata golongan aminoglikosid (gentamicyn, dibekasin,tobramicyn) dengan
konsentrasi yang ditingkatkan (fortified) tiap jam atau golongan quinolone

14
TERBATAS

(ciproflokxacyn, ofloxacyn,levofloxacyn) tiap 5 menit pada 1 jam pertama dan


dilakukan tiap jam. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya
kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi pemberian dapat dikurangi hingga
2 minggu.
4. Bila kerokan kornea
didapatkan hifa jamur(KOH +) beri tetes mata natasimin 5% tiap jam dan salp mata
natamisin 5% tiga kali sehari. Keadaan kornea diperiksa tiap hari hingga didapatkan
adanya kemajuan pengobatan, yang kemudian frekwensi pemberian dapat dikurangi
hingga 3-5 minggu.
5. Terapi tambahan yang dapat
diberikan adalah tetes mata silkoplegik dan anti glaukoma apabila didapati
peningkatan TIO. Pemberian analgesic apabila diperlukan.
6. Lakukan pemeriksaan gula
darah puasa dan 2 jam PP sebagai salah satu faktor resiko ulkus kornea
7. Tindakan bedah:
a. Keratektomi superficial tanpa membuat perlukaan
pada membrane bowman, dengan indikasi:
b. Keratitis virus epithelial
c. Erosi kornea rekuren
8. Keratektomi superficial hingga membrane bowman atau stroma anterior dengan
indikasi:
Untuk menegakkan diagnosis, terutama pada ulkus kornea jamur
Menghilangkan materi infeksi, terutama jamur
9. Tarsorafi lateral atau medial, dengan indikasi :
a. Keratitis terpapar
b. Keratitis neuroparalitik
10. Tissue adhesive atau graft amnion multilayer, dengan indikasi
a. Ulkus kornea dengan tissue loss berukuran kecil
b. Perforasi kornea perifer berukuran kecil
11. Flap konjungtiva, dengan indikasi:
a. Kecenderungan perforasi/ descematocele
b. Perforasi kornea di perifer
12. Patch graft dengan flap konjungtiva, dengan indikasi:
a. Kecenderungan perforasi/ descematocele
b. Perforasi kornea di perifer
13. Keratoplasi tembus, dengan indikasi:
a. Mempertahankan integritas bola mata
b. Mengganti jaringan kornea yang terinfeksi dengan donor kornea
14. Fascia lata graft, dengan indikasi:
Mempertahankan integritas bola mata , dimana sulit untuk mendapatkan donor
kornea.

UVEITIS
Adalah peradangan pada jaringan uvea (iris, badan ciliar dan koroid) akibat infeksi,
trauma, neoplasia atau proses auto imun. Penyakit ini dapat dikelompokkan menurut
letak anatomi(uveitis anterior, inter media, posterior, atau panuveitis), menurut
gambaran patologik (granulomatosa atau non granulomatosa atau secara klinis
(idiopatik atau berhubungan dengan penyakit sistemik). Penanganan uveitis
memerlukan anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan opthalmologis yang

15
TERBATAS

menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat. Uveitis merupakan


salah satu penyebab kebutaan.

Gejala klinis
1. Mata merah disertai rasa sakit
2. Foto fobia dan penurunan tajam penglihatan yang bevariasi dari ringan
hingga berat

Evaluasi:
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Riwayat mata merah dengan penurunan tajam penglihatan yang berulang,
silau, dapat disertai rasa sakit pada uveitis anterior, sedangkan pada uveitis
posterior umumnya terjadi penurunan tajam penglihatan pada mata tenang
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellens, dan menggunakan
pin hole
3. Pemeriksaan dengan sentolop dan lup untuk memeriksa pelebaran
pmbuluh darah konjungtiva dan sirkum kornea serta melihat ukuran pupil yang
mengecil, atau irregular, dan memeriksa refleks fundus
4. Pemeriksaan TIO dengan cara palpasi

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Menanyakan riwayat penyakit infeksi sistemik yang mungkin berhubungan seperti
infeksi TB, sifilis, toksoplasmosis, penyakit lyme, brucellosis, lepra, maupun penyakit
sistemik non infeksi seperti sarkoidosis, remathoid arthtritis, limfoma, serta riwayat
trauma dan operasi mata sebelumnya.
2. Pemeriksaan TIO menggunakan tonometer schiotz.
3. Pemeriksaan dengan lampu celah untuk menilai peradangan pada bilik mata depan
(sel, flare, dan hipopion), keratic presipitat(ukuran kecil, sedang atau mungkin timbul
(katarak,glaukoma, band keratopathy), menilai peradangan pada badan kaca (sel,
flare, snowball, dan snowbanks)
4. Pemeriksaan oftalmoskop direk atau indirek untuk mencari edema macula sistoid,
koroiditis, retinitis, vaskulitis, ataun optik neuritis
5. Pemeriksaan sistemis padam kulit, sendi, dll
6. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari kelainan sistemik yang mngkin
menyertai uveitis dan dipilih dengan cermat sesuai dengan gejala dan tanda
penyakit sistemik pada masing-masing penderita

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti fasilitas sekunder
2. Pemeriksaan lampu celah untuk mengevaluasi kembali tingkat peradangan pada
bilik mata depan, badan kaca, papil optik, macula, koroid, dan retina perifer.
3. Pemeriksaan FFA (floresein fundus angiografi) bila media cukup jernih
4. Tap dan kultur bahan dari bilik mata depan dan badan kaca bila dicurigai kasus
disebabkan infeksi bakteri, jamur, tap vitreus untuk kasus yang dicurigai infeksi(virus,
parasit, toxoplasma)
5. Pada kelainan spesifik seperti nuveitis rekuren, bilateral, uveitis berat, uveitis
posterior, usia penderita muda dan dicurigai adanya kelainan sistemik yang
mendasari, perlu dilakukan pemeriksaan darah, radiologist dan skin test untuk

16
TERBATAS

mencari penyebab uveitis. Pemeriksaan penunjang dipilih dengan cermat dan


diarahkan sesuai dengan keluhan dan gejala klinis yang dijumpai pada masing-
masing penderita.
a. pemeriksaan laboratorium darah:
1) Darah lengkap, ESR
2) VDRL, TPHA
3) Penanda auto imun (ANA, RF, anti-doblestanded DNA)
4) Kalsium, kadar serum ACE (sakoidosis)
5) Toxoplasma serologi dan TORCH
b. pemeriksaan radiologist:
1) Thoraks (TB, sarkoidosis, histoplasmosis)
2) Tulang belakang dan sendi sarkoiliaka (ankilosing
spondilitis)
3) Sendi lain (remathoid arthritis, juvenile remathoid
arthtritis)
c. Skin test : uji mantoux
d. Pemeriksaan menggunakan lensa 3 mirror untuk melihat dan menilai sudut bilik
mata, polus posterior dan retina perifer

Penatalaksanaan :
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pada uveitis anterior diberikan kortikosteroid 17laucom 6 kali sehari dan untuk
mencegah sinekia posterior dan mengurangi spasme siliar dapat diberikan
sikloplegia (sulfas atropine 0,5-1%) 3 kali sehari. Bila penyakit berulang rujuk ke
fasilitas sekunder
2. Pada panuveitis dan uveitis intermediate berikan midriatikum dan rujuk ke fasilitas
sekunder

Pelayanan kesehatan mata sekunder


1. Pemberian kortikosteroid secara 17laucom, periokular, sistemik (oral atau iv)
2. Pemberian sikloplegia
3. Pemberian obat-obatan untuk menurunkan TIO.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemberian kortikosteroid secara 17laucom, periokular, sistemik (oral, subtenon atau
iv) dan sikloplegia
2. Pemberian anti inflamasi non steroid
3. Pemberian obat jenis sitotoksik seperti alkylating agents (siklofosfamid, klorambusil),
anti metaboit (azatrioprin, metoterxat) dan sel T supresor (siklosporin)
4. Terapi operatif untuk evaluasi diagnostic (parasentesis, vitreus tap dan 17lauco
korioretinal untuk menyingkirkan neoplasma atau proses infeksi ) bila diperlukan.
5. Terapi untuk memperbaiki dan mengatasi komplikasi seperti katarak, mengontrol
17laucoma dan vitrektomi

GLAUKOMA AKUT
Adalah glaukoma yang disebabkan oleh peninggian tekanan intra ocular yang
mendadak. Glaukoma akut dapat primer atau sekunder. Glaukoma primer adalah
glaukoma yang timbul dengan sendirinya pada orang yang mempunyai bakat bawaan

17
TERBATAS

glaukoma, sedangkan glaukoma sekunder adalah glaukoma yang timbul sebagai


penyulit penyakit mata lain ataupun sistemik.
Bila tekanan intra ocular yang mendadak tinggi ini tidak diobati segera akan
mengakibatkan kehilangan penglihatan sampai kebutaan yang permanent.

Gejala dan tanda klinis


1. Sakit hebat dimata yang bersifat mendadak dan dapat menjalar ke kepala. Dapat
disertai rasa mual dan kadang-kadang muntah
2. Mata merah
3. Penglihatan menurun tajam

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup.
1. Tajam penglihatan kurang
2. Mata merah, bengkak, mata berair
3. Kornea suram karena edema
4. Bilik mata depan dangkal dan pupil lebar dapat pula terlihat penyakit mata lain
seperti uveitis, hifema, akibat trauma, luksasi lensa, katarak hipermatur, tumor dan
lain sebagainya. Glaukoma akut sering disalah diagnosa kan dengan radang
5. Bola mata teraba dengan palpasi (tonometri digital) lebih keras dibandingkan mata
normal/sebelahnya dan tekanan intra ocular sangat meningkat dengan tonometer
schiotz

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Glaukoma akut sudut tertutup
primer (GPSTA)
adalah glaukoma yang ditandai oleh penutupan anyaman trabekulum oleh pangkal
iris atau sinekia anterior perifer sehingga menyebabkan obstruksi total aliran keluar
cairan aquos secara tiba-tiba. Pada jenis ini TIO meningkat secara cepat sebagai
akibat dari penutupan trabekulum yang mendadak oleh iris perifer.
a. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan
koreksi terbaik serta pin hole : visus menurun
b. Pemeriksaan biomikroskopi untuk melihat segmen anterior: inj.cilliaris,
edem epithel kornea, bilik mata depan dangkal, kadang ditemukan sel dan flare
di cairan aquos, pupil melebar dengan refleks menurun dan katarak vogt
c. Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick,
dan sebaiknya dengan goniskopi
d. TIO diukur dengan tonometer schiotz : TIO yang tinggi sekitar 45-75
mmHg
e. Setelah terapi awal dilakukan :
1) Bola mata teraba dengan palpasi (tonometri digital) lebih keras
2) Pemeriksaan funduskopi:papil N.II tapak swollen dan hiperemis
selama serangan akut
3) Pemeriksaan lap.pandang sederhana/perimetri goldmann:
lap.pandang dapat menyempit

18
TERBATAS

2. Glaukoma akut sekunder


adalah glaukoma yang diakibatkan atau dihubungkan dengan penyakit-penyakit lain
pada mata, baik yang masih ada maupun yang pernah diderita sebelumnya.
Glaukoma jenis ini meliputi semua kasus dengan peninggian TIO walaupun belum
terbukti kerusakan papil N.II dan lap.pandang. contoh glaukoma akut sekunder
adalah glaukoma yang disebabkan oleh neovaskular, uveitis, hifema, katarak
intumesen, katarak hipermatur, subluksasi/luksasi lensa, dll. Alat pemeriksaan mirip
dengan pemeriksaan pada glaukoma primer sudut tertutup akut, tetapi dicari actor
penyebabnya.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


Klasifikasi glaukoma akut mirip dengan klasifikasi di fasilitas sekunder.
1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen atau chart projector dengan
koreksi terbaik serta menggunakan pin-hole
2. Pemeriksaan biomikroskopi dengan slit lamp untuk menilai segmen anterior.
3. TIO diperiksa menggunakan tonometer aplanasi goldmann, tonometer schiotz, non
contact tonometer atau tonopen
4. Sudut bilik mata depan diperiksa dengan gonioskop direk atau indirek
5. Setelah terapi awal, dilakukan pemeriksaan:
a. Papil N.II diperiksa dengan funduskopi direk atau indirek, akan lebih baik
jika mempunyai fasilitas seperti stereofunduskopi, OCT (optikal coherent
tomography) dan HRT ( Heidelberg Retinal Tomography)
b. Lap.pandang diperiksa dengan perimeter kinetic (goldmann) dan/atau
perimeter static (humprey, octopus dll)

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pertolongan pertama adalah menurunkan TIO secepatnya dengan memberikan
srentak obat-obatan yang terdiri dari :
a. Asetasolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4x250 mg/hari
b. KCl 0,5 gr 3x sehari
c. Timolol 0,5% 2x1 tetes/hari
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotika 4-6 x 1 tetes/hari
e. Terapi simtomatik
2. Rujuk segera ke dokter spesialis mata/ pelayanan tingkat sekunder /tersier setelah
diberikan pertolongan pertama tersebut

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Glaukoma akut sudut tertutup primer
Penatalaksanaan nya dapat dibagi atas 4 tujuan, yakni:
a. segera menghentikan serangan akut dengan obat-obatan
(medikamentosa inisial).
1) Terapi medikamentosa segera
2) Penderita segera diberikan kombinasi obat-obatan:
a) Pilokarpin 2% 1tetes tiap ½ -1 jam pada mata yang mengalami serangan
dan 3x1 tetes pada mata sebelahnya.
)b Timolol 0,5% 2x1tetes/hari
)c Kombinasi kortikosteroid dan antibiotik 6x1 tetes/hari
)d Asetazolamide 500mg, diikuti 4x250mg, KCl 3x0,5gr/hari

19
TERBATAS

)e Obat hiperosmotik dapat diberikan bila penderita dirawat, berupa glycerin


50% 3x100-150 cc(sesuai dengan berat badan) oral/hari.
)f Obat-obat simtomatik
3) Melakukan iridektomi perifer pada mata yang mengalami
serangan sebagai terapi definitive (tindakan bedah inisial)
a. setelah 24 jam pemberian medikamentosa
b. iridektomi perifer pada mata besangkutan
4) Melindungi mata sebelahnya dari kemungkinan terkena serangan
akut.
Terapi pilokarpin 1-2% 3x1tetes/hari sampai iridektomi pencegahan dilakukan
5) Menangani sekuele jangka panjang akibat serangan serta jenis
tindakan yang dilakukan. Dapat diberikan terapi medikamentosa dan bila TIO
tetap belum normal maka dilakukan trabekulotomi

2. Glaukoma akut sekunder


Pengobatan glaukoma akut sekunder adalah segera menurunkan TIO dan
mengobati penyakit penyebabnya atau mekanismenya baik dengan terapi
medikamentosa atau terapi bedah

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1 Glaukoma akut sudut tertutup primer
Penanganannya mirip dengan penanganan di fasilitas sekunder.
1. Medikamentosa inisial
2. Tindakan bedah inisial:
a) Tindakan iridektomi perifer dapat dilakukan
dengan bedah insisional atau laser argon-yag atau diode. Tindakan tersebut
dapat didahului dengan gonioplasti/iridoplasti
b) Terapi bedah trabekulotomi, bila iridektoi perifer tidak efektif.

2. Glaukoma akut sekunder


Penanganannya mirip dengan penanganan pada fasilitas sekunder

GLAUKOMA KRONIS
Adalah kelompok penyakit mata yang umumnya ditandai kerusakan syaraf N.II dan
kehilangan lap.pandang yang karakteristik-progresif serta berhubungan dengan
berbagai faktor resiko terutama TIO yang tinggi. Glaukoma bila tidak diobati secara tepat
dapat menimbulkan kerusakan yang permanent. Glaukoma kronis dapat dibagi menjadi
glaukoma kronis primer dan sekunder. Kasus glaukoma sekunder dapat diketahui
secara kebetulan bila melakukan pengukuran TIO, terutama pada mereka yang
tergolong kasus dicurigai berisiko glaukoma, seperti mereka yang berusia 40 thn atau
lebih, ada keluarga menderita glaukoma, penderita miopia, penyakit kardiovaskuler,
hipertensi, hipotensi, vasospasme, diabetes melitus, dan migren. Upaya pencegahan
kebutaan akibat glaukoma memerlikan penyuluhan dan penjaringan glaukoma secara
aktif di masyarakat, baik untuk penemuan kasus maupun deteksi dini.

Gejala dan tanda klinis


1. Dapat tanpa gejala sampai terjadi kerusakan, sehingga dikatakan sebagai pencuri
penglihatan
2. Mata terasa pegal, kadang-kadang pusing

20
TERBATAS

3. Rasa tidak nyaman atau mata cepat lelah


4. Mungkin ada riwayat penyakit mata, trauma atau pemakaian obat kortikosteroid
5. Pada yang lanjut dapat ditemukan: jalan menabrak-nabrak

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan tajam penlihatan dengan kartu snelen dengan koreksi terbaik dan pin-
hole: biasanya tajam pnglihatan masih baik. Pada stadium lanjut dapat dikoreksi
tajam penglihatan tidak penuh dengan pupil melebar dan berwarna hitam.
2. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup: gambaran bola mata tidak berbeda
dengan gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan refleks cahaya
yang lambat.
3. Pemeriksaan fundus kopi-rasio CD (perbandingan antara lebar cekungan papil
terhadap lebar papil N.II ) sebesar 0,6 atau lebih.
4. Pemeriksaan TIO dengan tonometer schiotz: TIO 28mmHg (4,5/7,5) atau lebih.
5. Pemeriksaan lap.pandang dengan test konfrontasi: menyempit.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Klasifikasi glaukoma berdasarkan pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioskopi)
dibagi ke dalam glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup. Berdasarkan
etiologinya dibagi kedalam glaukoma primer dan glaukoma sekunder. Glaukoma
primer adalah glaukoma yang timbul dengan sendirinya pada orang yang
mempunyai bakat bawaan glaukoma, sedangkan glaukoma sekunder adalah
glaukoma yang timbul sebagai penyulit penyakit mata lain baik yang sedang maupun
yang pernah diderita serta penyakit sistemik.
2. Pada fasilitas sekunder dan tersier, glaukoma kronis dibagi menjadi:
a. glaukoma sudut terbuka primer adalah glaukoma
primer yang ditandai sudut bilik mata depan yang terbuka, atropi dan ekskavasi
pada papil N.II serta lap.pandang karakteristik, yang besifat progresif lambat,
disebabkan oleh berbagai faktor resiko, terutama TIO yang terlalu tinggi untuk
kelangsungan kesehatan mata.
b. glaukoma sudut terbuka sekundergambaran kliis
yang miripdengan glaukoma sudut terbuka primer antara lain adalah glaukoma
pigmenter, glaukoma kortikosteroid, glaukoma pseudoeksfoliasi, glaukoma angle
recess setelah trauma tumpul, dll
c. glaukoma kronis sudut tertutup primer
1) Glaukoma jenis ini adalah glaukoma primer yang ditandai dengan
tertutupnya trabekulum oleh iris perifer secara perlahan. Bentuk primer
berkembang pada mereka yang memiliki faktor predisposisi anatomi berupa
sudut bilik mata depan trgolong sempit.
2) Selain sudut bilik mata depan yang tertutup, gambaran klinisnya
asimptomatis mirip glaukoma sudut terbuka primer. Glaukoma tersebut dapat
pula berkembang dari bentuk intermiten, sub akut atau merambat (creeping).
Glaukoma jenis ini juga merupakan kelanjutan glaukoma akut sudut tertutup
primer yang tidak mendapat pengobatan atau setelah mendapat pengobatan
yang tidak sempurna atau setelah terapi iridektomi perifer/trabekuloktomi
(glaukoma residual)
3. Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu snellens dengan koreksi dan
pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masih baik walaupun penyakit sudah
stadium lanjut.

21
TERBATAS

4. Pemeriksaan dengan biomikroskopi: gambaran bola mata tidak berbeda dengan


gambaran normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan refleks cahaya yang lambat.
Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada
glaukoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata
depan sempit pada glaukoma sudut tertutup primer. Kelainan glaukoma jenis ini
bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaukoma
sudut terbuka sekunder harus dicari faktor penyebab.
5. Pemeriksaan sudut bilik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan
sebaiknya menggunakan gonioskopi.
6. Pemeriksaan funduskopi: terlihat atropi papil glaukomatosa
7. Pemeriksaan TIO dengan tonometer schiot z; TIO umumnya lebih dari 21 mmHg
8. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimetri
goldmann: cacat lap. Pandang glaukomatosa

Masalah diagnosis glaukoma sudut terbuka primer stadium dini adalah akibat
terdapatnya sekitar 2,5% diantara populasi memiliki TIO lebih dari 21 mmHG (hipertensi
okuli). Masalah lain adalah banyaknya variasi normal papil N.II yang sering sukar
dibedakan dengan kerusakan dengan kerusakan dini akibat glaukoma (glaukoma
suspect). Selain itu sukarnya menjumpai cacat awal lap. Pandang. Keadaan papil N.II
yang mencurigakan adalah rasio C/D lebih 0,4; asimetri papil C/D vertical – C/D
horizontal lebih dari 0,2 dan batas ekskavasi yang tak teratur. Keadaan inipun harus
didiagnosis banding dengan glaukoma tekanan rendah (glaukoma normotensi/ low
tension glaukoma, normotension glaukoma). Pemeriksaan lapangan pandang pada
kasus-kasus tersebut dilakukan dengan perimetri goldmann.

Pelayanan kesehatan mata tersir (TEC)


1. Klasifikasi glaukoma mirip dengan klasifikasi pada fasilitas sekunder.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan kartu snellen atau chart projector
dengan koreksi dan pin-hole. Tajam penglihatan sentral sering masi baik walaupun
penyakit sudah stadium lanjut.
3. Pemeriksaan dengan biomikroskopi: gambaran bola mata tidak berbeda dengan
gambran mata normal.pupil dapat terlihat midriasis dan reflek cahaya yang lambat.
Bilik mata depan dalam dengan sudut bilik mata depan yang terbuka lebar pada
glaukoma sudut terbuka primer. Bilik mata depan dangkal dan sudut bilik mata
depan sempit pada glaukoma sudut tertutup primer. Kelainan glaukoma jenis ini
bersifat bilateral walaupun tidak selalu simetris pada kedua mata. Pada glaukoma
sudut terbuka sekunder harus dicari faktor penyebab.
4. Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi.
5. Pemeriksaan funduskopi: gambar dan uraikan papil syaraf optik, aplanasi, tono-pen,
dan bila ada dengan tonometer non kontak
6. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter kinetic dan static baik manual
maupun komputer: bila memungkinkan dengan octopus atau Humphrey.
7. Bila memungkinkan evaluasi papil syaraf optik adan serabut syaraf retina dengan
alat diagnostic imaging seperti HRT (Heidelberg retinal tomography)

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. TIO diturunkan dengan obat-obatan secara bertahap berupa:

22
TERBATAS

a. Timolol 0,25% - 0,5% 2x1tetes/hari (bila tidak ada


kontra indikasi)
b. Pilokarpin 2% 4x1tetes/hari
c. Asetazolamide 3-4 x 125-250 mg/hari
d. KCl 2-3 x 0,25-0,5 gr/hari
2. Obat-obatan prinsipnya diberikan secara sendiri-sendiri, tetapi dapat dikombinasikan
tergantung dari sasaran TIO diharapkan lebih rendah dari 21mmHg.
3. Oleh karena obat-obatan diberikan untuk jangka lama danterus-menerus, sangat
penting diperhatikan kepatuhan penderita dalam melaksanakan pengobatannya.
Penderita dirujuk ke spesialis mata, pelayanan tingkat sekunder atau tersier bila TIO
tetap diatas 21 mmHg, penderita tidak patuh, tidak tahan terhadap obat-obatan,
dalam stadium lanjut glaukoma dan/atau untuk menilai progresifitas peyakitnya.
4. Upaya pencegahan kebutaan akibat glaukoma memerlukan penyuluhan dan
penjaringan glaukoma secara aktif di masyarakat, baik untuk penemuan kasus
maupun deteksi dini.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Glaukoma sudut terbuka primer
tujuan pengobatan pada penderita yang terbukti menderita glaukoma sudut terbuka
primer adalah mencegah berlanjutnya kerusakan papil saraf optik. Sampai saat ini
belum ada criteria yang memuaskan untuk menetapkan tingkat TIO yang dapat
diterapkan aman untuk mempertahankan keadaan lap. Pandang bagi semua
penderita. Ada yang menurunkan 30% lebih rendah dari TIO awal. Ada pula yang
menetapkan target pressure dengan perhitungan khusus yang bersifat
individual/mata.
a. Medikamentosa
1) Pemilihan obat untuk pengobatan awal didasarkan pada penilaian
mata penderita dan status kesehatan umum. Bila cacat lap. Pandang belum
lanjut atau TIO tidak terlalu tinggi maka terapi dapat dicoba pada satu mata
terlebih dahulu untuk menilai manfaat an efek samping.
2) Terapi medikamentosa bersifat monoterapi dimulai dengan timolol
maleat (C. timol) 0,25%-0,5%, 1-2 x sehari. Bila tidak ada kontraindikasi atau
obat-obat baru yang lain (seperti glaupen, glauplus, xalatan, travatan, dorzol,
azopt). Bila dengan obat pertama keadaan TIO yang diharapkan
belumtercapai tetapi obat tersebut dianggap berespon baik (mencapai nilai
efektif farmakologis) dapat ditambahkan obat tetes lainnya, tetapi bila
dianggap tidak efektif maka obat pertama diganti dengan obat lain, lalu
penilaian diukang lagi. Bila dengan monoterapi atau kombinasi ternyata
belum mencapai sasaran berupa penurunan TIO yang tidak memuaskan atau
tetap erlanjutnya kerusakan atau sejak awal tekanan lebih dari 30 mmHg
maka dapat diberikan terapi sistemik dengan penghambat karbonik
anhidrase. Obat ini biasanya dimulai 125 mg, 3-4 x sehari. Bila efektivitas
yang diharapkan belum tercapai, maka dosis ditingkatkan menjadi 250 mg
tiap 6 jam atau 500 mg setiap 12 jam. Pada setiap pemberian obat
asetazolamide harus disertakan pemberian obat preparat kalium (KCl 0,5 gr)
2-3 x, 0,25-0,5 gr per hari
b. Tindakan bedah
Bila dengan tindakan medikamentosa diatas belum memuaskan sebaiknya
penderita dipertimbangkan untuk dilakukan terapi bedah (trabekulektomi atau

23
TERBATAS

non penetrating filtering surgery) atau dikonfirmasikan untuk kemungkinan


tindakan lain ke pelayanan tingkat tersier.

Instruksi bagi penderita


1. Dalam pengobatan glaukoma penting sekali untuk
memberikan instruksi pada penderita mengenai waktu dan pemakaian obat,
termasuk cara menekan daerah kantus internus untuk mencegah absorbsi
sistemik obat tetes. Dokter harus merencanakan dan membicarakan saat dan
jenis pengobatan dan meyakini bahwa nama obat dan pemberiannya ada tertulis
di label botol obat tetes.

2. Tambahan pula pasien harus diberitahu dengan


kata-kata yang sederhana mengenai mekanisme terjadinya glaukoma, alasan
dan tujuan pengobatan, cara berbagai obat bekerja dan efek samping yang
mungkin terjadi. Hal ini perlu dalam upaya menjaga kepatuhan penderita dalam
obat.
3. Pasien harus diyakinkan perlunya pemeriksaan
kontrol berkala seumur hidup mengenai TIO, penilaian papil N.II dan lap.
Pandang, serta penggunaan obat tetes yang benar/patuh seperti yang
diinstruksikan kepadanya.
4. Pendeita sebaiknya mengetahui nama dan
konsentrasi obat yang sedang digunakan. Kartu pengenal tanda penderita
glaukoma yang harus dibawa penderita mungkin ada manfaatnya. Penting pula
pasien dan dokter lain yang merawatnya mengetahui efek samping, alergi, dan
kemungkinan keracunan obat glaukoma.
5. Bila dengan penatalaksanaan diatas masih juga
menunjukkan kemunduran maka dirujuk ketingkat tersier untuk dipelajari lebih
lanjut.
6. Keluarga langsung perlu diikutsertakan dalam
penatalaksanaan penderita.

2. Glaukoma sudut terbuka sekunder


Cari faktor penyebab seperti yang tertulis diatas, kemudian tentukan:
1. Medikamentosa
2. Tindakan bedah:
a. Iridektomi perifer
b. Trabekulektomi
c. Bedah katarak/ekstraksi lensa

3. Glaukoma kronis sudut tertutup primer


1. Tindakan bedah iridektomi perifer pada kedua mata
2. Medikamentosa obat-obat glaukoma untuk menurunkan TIO
a. Pilokarpin 2% 4xsehari
b. Timolol 0,5% 2x sehari
c. Asetazolamide 2-3 x 250 mg sehari disertai
dengan KCl 2-3 x 500 mg
d. Oabat-obat baru seperti: glaupen, glauplus,
xalatan, travatan, dorzol, azopt
3. Tindakan bedah trabekulektomi, bila tindakan iridektomi perifer dan obat-
obat TIO masih diatas 21 mmHg

24
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Glaukoma sudut terbuka primer
Medikamentosa
a. Prinsip terapi mirip dengan penanganan pada
fasilitas sekunder, namun dapat pula menggunakan obat-obat jenis terbaru,
seperti:
1) Prostaglandin analog (glaupen, glauplus, xalatan, travatan)
2) Penghambat karbonik anhidrase topikal (dorzol, azopt)
3) Alpha 2 agonist adrenergik.
a) terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser, trabekuloplasti laser
selektif.
b) Terapi bedah berupa trabekulektomi tanpa/ atau dengan mitomisin C/5-
fluorourasil, non penetrating filtering surgery, operasi drainase implant,
siklodiatermi dan operasi kombinasi katarak dan glaukoma.
2. Galukoma sudut terbuka sekunder
a. Cari faktor penyebab
b. Medikamentosa
1) Prostaglandin analog (glaupen,
glauplus, xalatan, travatan)
2) Penghambat karbonik anhidrase
topikal (dorzol, azopt)
3) Alpha 2 agonist adrenergik.
c. Terapi laser berupa trabekuloplasti argon laser,
trabekuloplasti laser selektif
d. Terapi bedah berupa trabekolektomi tanpa/
atau dengan mitomisin C/ 5- fluorourasil, non penetrating filtering surgery,
operasi drainase implant, siklodiatermi atau operasi kombinasi katarak dan
glaukoma.
3. Glaukoma kronis sudut tertutup primer
a. Terapi medikamentosa diberikan baik sebalum
terapi defenitif iridektomi perifer maupun setelahnya
b. Tindakan bedah trabekulektomi bila TIO diatas
21 mmHg setelah tindakan iridektomi perifer dan medikamentosa.
c. Tindakan bedah kombinasi trabekulektomi dan
katarak bila ada indikasi keduanya.

Tindakan iridektomi perifer laser atau trabekuloplasti


1. Pra dan setelah tindakan diberikan alpha 2 agonist
2. Pemberian anti inflamasi topikal setelah tindakan selama 2-3 hari
3. Follow up tindakan laser setelah 1 hari, 1 minggu, selanjutnya 4-8 minggu
setelah tindakan IP/ trabekuloplasti laser.
4. Bila TIO naik pertimbangkan pemberian medikamentosa atau tindakan
trabekulektomi.
5. Minggu ke-8 lakukan gonioskopi dan cek TIO

Perawatan setelah tindakan trabekulektomi


1. Berikan kombinasi antibiotik dan anti inflamasi topikal serta antibiotik
sistemik.

25
TERBATAS

2. Kontrol 1 hari pasca bedah


3. Kontrol 7-10 hari pasca bedah
4. Kontrol 1 minggu sampai 1 bulan
5. Kontrol tiap 4-6 bulan bila keadaan baik

Evaluasi dan follow up pasien glaukoma kronis


1. Perhatikan ada tidaknya progresivitas papil atropi glaukomatosa
2. Funduskopi, OCT, HRT, evaluasi 6-12 bulan.
3. Perhatikan ada tidaknya pertambahan skotoma/ kelainan lap. Pandang
dengan automatic perimeter setiap 6-12 bulan: octopus, Humphrey.
4. Lakukan gonioskopi minimal setiap 3 bulan.

GLAUKOMA SUSPECT
Hal-hal berikut ini termasuk dalam glaukoma suspect:
1. TIO diatas 21 mmHg disertai discus optik dan lap. Pandang yang normal,
atau
2. Keadaan papil optik dan atau lap. Pandang yang dicurigai dengan TIO yang
normal

Gejala dan tanda klinis


Pusing, sakit sekitar mata atau tanpa gejala

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan pin-hole.
2. Pemeriksaan bola mata dengan lampu senter dan lup: bola mata baik.
3. Pemeriksaan saraf optik demgan funduskopi: rasio CD lebih dari 0,6 diatas
28 mmHg.
4. Pemeriksaan lap. Pandang dengan tes konfrontasi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan menggunakan snellen dan pin-hole
2. Pemeriksaan dengan menggunakan biomikroskopi slit lamp. Gambaran bola
mata tidak berbeda dengan gambaran mata normal.
3. Pemeriksaan sudut milik mata depan menggunakan teknik Van Herrick dan
sebaiknya menggunakan gonioskopi.
4. Pemeriksaan funduskopi untuk menilai papil optik
5. Pemeriksaan TIO dengan tonometer Schiotz
6. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter sederhana atau perimetri
Goldmann

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen atau chart projector
dengan koreksi pin-hole
2. Pemeriksaan dengan biomikroskopi slit lamp: gambaran bola mata tidak
berbeda dengan gambaran mata normal.
3. Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan gonioskopi.
4. Pemeriksaan funduskopi, gambar dan uraikan papil saraf optik.

26
TERBATAS

5. Pemeriksaan TIO dengan tonometer Schiotz, tonometri aplanasi, tono-pen


dan bila ada dengan tonometer non kontak.
6. Pemeriksaan lap. Pandang dengan alat perimeter kinetic dan static baik
manual maupun komputer, bila memungkinkan dengan perimeter octopus atau
Humphrey.
7. Bila memungkinkan evaluasi papil saraf optik dan serabut saraf retina
dengan alat diagnostic imaging seperti OCT(optikal coherence tomography) dan
HRT(Heidelberg retinal topography).

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Untuk memastikan glaukoma pada pasien glaukomasuspec, sebaiknya dikirim ke
fasilitas sekunder untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Buat dasar mengenai TIO, papil saraf optik (gambar diagram) dan lap.
Pandang.
2. Tetapkan tekanan target awal:penurunan 20-30% dari TIO awal
3. Follow up pasien terhadap progresivitas.

Pelayanan kesehatan mata tertier (TEC)


1. Buat data dasar mengenai TIO, papil saraf optik dan serabut saraf retina
(dengan gambar diagram, HRT, atau OCT)
2. Buat data dasar mengenai lap. Pandang dengan perimeter computer.

Penatalaksanaan terhadap pasien yang mendapat terapi obat anti glaukoma


1. Tetapkan tekanan target awal: penurunan 20-30% dari TIO awal.
2. Pilih obat terhadap individu:
a. Quality ofn lif
b. Biaya
c. Efek samping

Follow up
1. Pemeriksaan mata:
a. TIO: variasi diurnal bila perlu.
b. Biomikroskopi lampu celah.
c. Gonioskopi.
d. Funduskopi.
e. OCT/HRT.
f. Perimetri: Goldmann/octopus/Humphrey.

2. Perhatikan efek samping obat


a. Lokal
b. Sistemik

3. Diskusi mengenai faktor resiko dan rencana pengobatan.

pengobatan Target Resiko tinggi Interval Evaluasi


pressure (TP) untuk terjadi follow up papil saraf
kerusakan optik, serabut

27
TERBATAS

saraf retina
dan
lap. Pandang
Tidak diobati - Tidak ada 6-18 bulan 6-18 bulan
Tidak diobati - Ada 3-12 bulan 6-12 bulan
Diobati Turun Tidak ada 3-12 bulan 6-12 bulan
Diobati Turun tetapi ada 2 hari – 4 bulan 3-12 bulan
tidak mencapai
TP
KATARAK PADA PENDERITA DEWASA
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkna penurunan tajam penglihatan
(visus), dimana paling sering berkaitan dengan proses degenerasi lensa pada penderita
berusia lanjut yaitu diatas 40 tahun (katarak senilis). Katarak pada penderita dewasa
(diatas 18 tahun) selain karena proses degenerasi, juga dapat disebabkan oleh penyakit
mata seperti glaukoma, uveitis, trauma mata, dan lain-lain; ataupun menderita kelainan
sistemik seperti DM, penggunaan obat-obatan yang steroid, dll. Katarak biasanya
ditemukan pada kedua mata (bilateral), tetapi dapat juga terjadi pada satu mata
(monocular).

Gejala dan tanda


1. Penurunan visus secara perlahan-lahan
2. Ukuran kaca mata semakin sering mengalami perubahan.
3. Keluhan silau (glare)
4. Kesulitan untuk membaca

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta
menggunakan pin-hole
2. Pemeriksaan lampu senter dan lup untuk segmen anterior dimana tidak
ditemukan kekeruhan kornea dan tampak reflek pupil yang masih baik.
3. TIO diukur dengan tonometri Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil
dengan tetes mata tropicamide 0,5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan
pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk untuk melihat adanya kekeruhan
lensa.
5. Pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop langsung untuk melihat
segmen posterior jika katarak masih tidak terlalu keruh.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen dengan koreksi terbaik serta
menggunakan pin-hole.
2. Pemeriksaan lampu senter dan lup untuk segmen anterior
3. TIO diukur dengan tonometri Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil
dengan tetes mata tropicamide 0,5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan
pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk untuk melihat adanya kekeruhan
lensa.
5. Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop langsung ataupun tidak
langsung.

28
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan koreksi
terbaik serta menggunakan pin-hole.
2. Pemeriksaan lampu senter dan lup untuk segmen anterior
3. TIO diukur dengan tonometer non-contact, aplanasi, atau Schiotz
4. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil
dengan tetes mata tropicamide 0,5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan
pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk untuk melihat adanya kekeruhan
lensa apakah sesuai dengan tajam penglihatan pasien.
5. Derajat katarak ditentukan oleh:
a. Derajat 1: nucleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari
6/12, tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan. Refleks fundus juga
masih dengan mudah diperoleh dan usia penderita biasanya kurang dari 50
tahun

b. Derajat 2: Nukleus dan kekerasan ringan, tampak nucleus


sudah mulai bewarna kekuningan, visus biasanya antara 6/12 sampai 6/30.
reflek fundus juga masih mudah diperoleh pada katarak jenis ini paling sering
memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.

c. Derajat 3: Nukleus dengan kekerasan medium, dimana


nucleus tampak berwarna kuning disertai dengan kekeruhan korteks yang
berwarna keabu-abuan. Visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30.

d. Derajat 4: Nukleus keras, dimana nucleus sudah berwarna


kuning kecoklatan dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana refleks
fundus maupun keadaan fundus sudah sulit dinilai.

e. Derajat 5: Nukleus sangat keras, nucleus sudah berwarna


kecoklatan bahkan ada yang berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya
1/60 atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini
sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract
6. Dilakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop langsung ataupun tidak
langsung.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Penatalaksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan visus 6/12
diberikan kacamata dengan koreksi terbaik
2. Jika visus < 6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiata sehari-
hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi, pasien
dirujuk ke spesialis mata pada fasilitas sekunder atau tersier.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Penata laksanaan bersifat non bedah, dimana pasien dengan visus > 6/12
diberikan kaca mata dengan kreksi terbaik.
2. Jika visus < 6/12 atau sudah mengganggu untuk melakukan kegiatan sehari-
hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi lain untuk operasi, dapat
dilakukan operasi ECCE(extra capsular cataract extraksi)

29
TERBATAS

3. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan pealatan


bedah mikro, dimana pasien dipersiapkan implantasi lensa tanam (IOL: intra ocular
lens).
4. Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta
menggunakan biometri A-scan, tetapi bisa juga berdasarkan anamnesis
menggunakan IOL standar(power +20.00) dikurangi ukuran kaca mata yang selama
ini digunakan pasien. Misalnya jika pasien menggunakan kaca mata S-6.00 dapat
diberikan IOL power +14.00
5. Perhatikan juga rekomendasi tindakan bedah katarak pada bagian akhir
tulisan ini.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Penatalaksanaan bersifat bedah, jika visus sudah mengganggu untuk
melakukan kegiatan sehari-hari berkaitan dengan pekerjaan pasien atau ada indikasi
lain untuk operasi.
2. Operasi katarak dilakukan menggunakan mikroskop operasi dan peralatan
bedah mikro, pasien dipersiapkan untuk implantasi lensa tanam (IOL)
3. Ukuran lensa tanam dihitung berdasarkan data keratometri serta
menggunakan biometri A-Scan.
4. Teknik bedah katarak menggunakan teknik manual ECCE ataupun
fakoemulsifikasi dengan mempertimbangkan derajat katarak serta tingkat
kemampuan ahli bedah
5. Operasi katarak hanya dilakukan jika visus sudah mengganggu kegiatan
sehari-hari pasien dimana pasien berkesempatan melakukan diskusi dengan dokter
mengenai alternative lain selain operasi, resiko operasi, serta perawatan pasca
operasi.
6. Pasien mengisi Surat Izin Tindakan Medis (informed concent)
7. Setiap kali melakukan pemeriksaan pre-operasi mencakup hal-hal berikut:
a. Anamnesis riwayat penyakit lama, penyakit lain ataupun alergi
b. Visus tanpa koreksi dengan snellen serta refraksi terbaik.
c. Pengukuran TIO
d. Penilaian fungsi pupil (refleks pupil)
e. Pemeriksaan mata luar (external examination) dengan senter dan lup,
atau slit lamp bergantung fasilitas
f. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi pupil

8. Dokter spesialis mata yang melakukan operasi katarak sebaiknya


memperhatikan persiapan pre-operasi sebagai berikut:
a. Memeriksa pasien sebelum operasi
b. Memberikan informasi kepada pasien tentang
resiko, keuntungan dan kerugian operasi serta harapan yang sewajarnya dari
hasil operasi
c. Memperoleh surat izin tindakan medis(informed
concent)
d. Memastikan bahwa hasil keratometri dan biometri
A-scan sesuai dengan mata yang akan dioperasi, jika pasien direncanakan
implantasi lensa tanam
e. Menentukan kekuatan lensa tanam yang sesuai,
jika pasien tesebut direncanakan implantasi lensa tanam.

30
TERBATAS

f. Membuat rencana pembedahan(jenis anesthesia,


penempatan sayatan dan konstruksi luka, refraksi pasca operasi yang
direncanakan sertajadwal pemeriksan pasca bedah.
g. Melakukan evaluasi pre-operasi diatas termasuk
pemeriksaan laboratorium serta berdiskusi dengan pasien ataupun keluarga
ppasien yang dianggap lebih mengerti dan dapat bertindak atas nama pasien.

9. Operasi katarak bilateral (operasi dilakukan pada kedua mata sekaligus


secara berurutan) sangat tidak dianjurkan berkaitan dengan resiko pasca
operasi(endofthalmitis)yang bisa berdampak kebutaan. Tetapi ada beberapa
keadaan khusus yang bisa dijadikan alas an pembenaran dan keputusan
tindakan operasi katarak bilateral ini harus dipikirkan sebaik-baiknya.

10. Operasi tidak boleh dilakukan pada keadaan sebagai berikut:


a. Pasien menolak tindakan operasi
b. Pemberian kaca mata ataupun alat Bantu penglihatan lainnya masih
cukup memuaskan bagi pasien
c. Ada dugaan bahwa operasi tidak dapat meningkatkan penglihatan
pasca operasi
d. Kualitas hidup pasien belum terganggu dengan gangguan penglihatan
yang dialaminya belum terganggu dengan gangguan penglihatan yang
dialaminya
e. Pasien tidak dapat menjalani operasi katarak berkaitan dengan
penyakit mata lain ataupun keadaan kesehatan akibat penyakit lainnya.
f. Pasien tidak dapat memberikan surat izin tindakan medis yang sah
secara hukum karena kurang pengertian ataupun kurang informasi

11. Dokter spesialis mata yang melakukan operasi ataupun staf dokter tersebut
berkewajiban mendidik, menjelaskan dan memberi instruksi kepada pasien
mengenai gejala ataupun tanda-tanda mengenai kemungkinan terjadinya komplikasi
pasca operasi, penggunaan proteksi mata, adanya pembatasan kegiatan,
pengobatan , jadwal kunjungan lanjutan (follow up) dan petunjuk dimana harus
mendapatkan perawata darurat bila diperlukan. Dokter spesialis mata/staf juga
menerangkan mengenai tanggung jawab pasien untuk mengikuti petunjuk yang
harus dilakukan selama perawatan pasca operasi dan pasien harus segera
menghubungi dokter tersebut jika mengalami masalah.

12. Pemeriksaan lanjutan pasca operasi (follow up):


a. Frekwensi pemeriksaan paca bedah ditentukan berdasarkan tingkat
pencapaian visus optimal yang diharapkan.
b. Pasien dengan resiko tinggi, seperti pasien dengan satu mata,
mengalami komplikasi intra operasi atau ada riwayat penyakit mata lain
sebelumnya seperti uveitis, glaukoma, dll, maka pemeriksaan harus dilakukan
satu hari setelah operasi.
c. Pada pasien yang dianggap tidak bermasalah baik keadaan pre-
operasi maupun intra operasi serta diduga tidak akan mengalami komplikasi
lainnya maka dapat mengikutin petunjuk pemeriksaan lanjutan sebagai berikut:
1) Kunjungan pertama: dijadwalkan dalam waktu 48
jam setelah operasi (untuk mendeteksi dan mengatasi komplikasi dini seperti

31
TERBATAS

kebocoran luka yang enyebabkan bilik mata dangkal, hipotonus, peningkatan


TIO, edema kornea, ataupun tanda-tanda peradangan).
2) Kunjungan ke dua: dijadwalkan hari ke 4-7 setelah
operasi jika tidak dijumpai masalah pada kunjungan pertama, yaitu
mendeteksi dan mengatasi kemungkinan endofthalmitis yang paling sering
terjadi pada minggu pertama pasca operasi.
3) Kunjungan ketiga: dijadwalkan sesuai dengan
kebutuhan pasien Dimana bertujuan untuk memberikan kaca mata sesuai
dengan refraksi terbaik yang diharapkan.

13. Obat-obat yang digunakan pasien pasca operasi bergantung dari keadaan
mata serta disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien (misalnya
analgetika, antibiotika oral, anti glaukoma, atau edema kornea, dll). Tetapi
penggunaan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid harus diberikan pada
pasien untuk digunakan setiap hari selama minimal 2 minggu pasca operasi.

PTERYGIUM
Adalah pertumbuhan jaringan fibrovascular berbentuk segi tiga yang tumbuh dari arah
konjungtiva menuju kornea pada daerah inter palpebra. Asal kata pterygium adalah dari
bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya “wing” atau sayap. Insiden pterygium cukup
tinggi di Indonesia yang terletak didaerah equator, yaitu 13,1%. Diduga bahwa paparan
ultra violet merupakan salah satu faktor esiko terjadinya pterygium.
Pterygium umumnya tumbuh pada daerah inter palpebra, lebih sering terdapat pada
bagian nasal konjungtiva. Puncak segitiga disebut apeks, yaitu bagian pterygium yang
tumbuh masuk ke jaringan kornea. Usia penderita biasanya pada usia dewasa muda
(diatas 40 tahun).

Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup


oleh pertumbuhan pterygium, dan dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Derajat 1: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2: jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm
melewati kornea
3. Derajat 3: jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm)
4. Derajat 4: jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu
penglihatan.

Prinsip penanganan pterygium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika
pterygium masih derajat 1 atau 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
yang melebihi derajat 2. tindakan bedah juga dapat dipertimbangkan pada pterygium
derajat 1 atau 2 jika penderita sudah mengeluh maupun karena alas an kosmetik.

Gejala dan Tanda

32
TERBATAS

Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada
keluhan sama sekali (asimtomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara
lain:
1. Mata sering berair dan tampak merah.
2. Merasa seprti ada benda asing.
3. Timbul astigmatisma akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium
tersebut, biasanya astigmatisme “with the rule”ataupun astigmatisme irregular
sehingga mengganggu pengihatan.

Pada pterygium lanjut (derajat 3 dan 4), dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan juga menurun.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan cukup dengan lup dan lampu senter, diperiksa segmen anterior
serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium.
2. Tajam penglihatan penderita diperiksa dengan snellen.
3. TIO diukur dengan tonometer Schiotz untk memastikan tidak adanya
penyakit penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan
tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari
tangan).

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segmen anterior serta ditentukan
derajat pertumbuhan pterygium.
2. Tajam penglihatan penderita diukur dengan kartu snellen, lalu dikoreksi
dengan trial frame.
3. TIO diukur dengan tonometer Schiotz untk memastikan tidak adanya
penyakit penyerta lainnya. Pada pterygium derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan
tonometer Schiotz, perkiraan TIO diperiksa dengan cara palpasi digital (dengan jari
tangan).

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan dengan slit lamp, diperiksa segmen anterior serta ditentukan
derajat pertumbuhan pterygium.
2. Tajam penglihatan penderita diukur dengan kartu snellen, lalu dikoreksi
dengan trial frame.
3. Astigmatisme kornea diperiksa dengan keratometer baik secara manual
maupun menggunakan alat auto-refrakto-keratometer.
4. TIO diukur dengan cara aplanasi ataupun menggunakan tonometer non
kontak.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer(PEC)
1. Penatalaksanaan bersifat non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk
menguragi iritasi ataupun paparan terhadap ultra violet.
2. Pada pterygium derajat 1-2 yang mengalami anflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid seperti C-Xitrol ® 3 kali
sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan korikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi ataupun mengalami kelainan
kornea.

33
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Penatalaksanaan bersifat non bedah pada pterygium derajat 1 dan 2, yaitu
edukasi terhadap pasien untuk mengurangi iritasi dan paparan ultra violet. Jika
pterygium engalami inflamasi, dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik
dan steroid seperti C-Xitrol ® 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan korikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan TIO yang tinggi
ataupun mengalami kelainan kornea.
2. Pada pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
(pengangkatan) pterygium. Sedapat mungkin setelah avulse pterygium maka bagian
konjungtiva bekas pterygium tersebut diutupi dengan cangkok konjungtiva yang
diambil dari bagian konjungtiva superior untuk menurunkan angka kekambuhan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Penatalaksanaan pada fasilitas tersier bersifat bedah engan memperhatikan
tujuan utama dari pengangkatan dari pterygium, yaiu:
a. Memberikan hasil yang baik secara kosmetik
b. Mengupayakan komplikasi yang seminimal mugkin
c. Angka kekambuhan yang rendah
2. Teknik operasi yang dilakukan adalah dengan avulsi pterygium disertai cangkok
konjungtiva(conjungtival limbal graft) penggunaan mitomisin C sebaiknya hanya
pada untuk penanganan kasus pterygium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
mitomisin C yang cukup berat
3. Sebagai perbandingan angka kekambuhan pasca pengangkatan pterygium
dapat dilihat dari berbagai laporan sebagai berikut:

TECHNIQUE RECURENCE RATE

Bare sclera 61% (Tan et al)


40% (Figueredo et al)

Conjungtival graft 18% (Wong et al)


25,9% (Mabar et al)

Conjungtival limbal graft 14,6% (Mutlu et al)

Intra-operative mitomycin C 5,8% (Helal et al)

34
TERBATAS

Amniotic membrane transplantation 10,9% (Prabhasawat et al)


3% (Solomon et al)

KELAINAN REFRAKSI PADA ANAK


Kelainan refraksi merupakan istilah yang dipakai untuk keadaan ametropia akibat dari
satu atau lebih komponen optik bola mata memperlihatkan variasi yang bermakna dari
nilai variasi biologis yang normal; dan bukan merupakan penyakit atau kelainan bola
mata congenital. Komponen yang berkontribusi terhadap kelainan refraksi antara lain
panjang sumbu bola mata, kurvatura kornea dan power lensa mengalami penyesuaian
selama anak mengalami proses emetropisasi sehigga status refraksi mata anak bersifat
dinamis. Variasi komponen ini sangat luas yang sifatnya individual sehingga pada
sekelompok individu dapat menimbulkan ametropia berat yag sulit diperkirakan
sebelumya.

Tidak semua kelainan refraksi/ametropia pada anak perlu dikoreksi. Kelainan ametropia
yang berat yang membuat mata anak tidak mendapat clear retinal image perlu dikoreksi
agar tidak mengganggu proses perkembangan penglihatan yang normal, karena
keterlambatan koreksi akan menimbulkan cacat penglihatan yang serius dan bahkan
menimbulkan kebutaan.

Bila ditemukan kelainan refraksi pada anak, harus ditentukan apakah perlu dilakukan
koreksi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan koreksi yang terbaik
untuk kelainan refraksi pada anak dengan memperhatikan jenis dan derajat ametropia,
umur anak, dan potensi terjadinya ambliopia.

Gejala dan tanda


Gejala dan tanda tergantung dari jenis (miopia, hipermetropia, astigmatisme), derajat
kelainan refraksi dan umur penderita. Pada hipermetropia dan dapat berupa gejala
mengerutkan muka, melirik, hiperaktif, sakit di mata, tidak senang membaca buku, sakit
kepala bila lelah). Pada miopia tinggi anak harus melihat dengan jarak yang sangat
dekat, atau keluhan buram jauh pada anak yang verbal (sudah dapat berkomunikasi).

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Mengenai gejala dan tanda pada masing-masing kelaian refraksi sesuai usia.
Usia biasanya dibagi 3 kelompok yaitu <2tahun, usia pra-sekolah, dan usia sekolah
2. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
3. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur (kelompok non verbal
dengan pemeriksaan fiksasi, symbol chart, E chrt dan kelompok verbal dengan
snellen chart).
4. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
5. Pemeriksaan funduskopi kedua mata dengan opthalmoskop direk, dengan
sebelumnya dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)

35
TERBATAS

1. Mengenai gejala dan tanda pada masing-masing kelaian refraksi sesuai


usia. Usia biasanya dibagi 3 kelompok yaitu <2tahun, usia pra-sekolah, dan usia
sekolah
2. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
3. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopia
pupil lebar untuk kelompok usia >2 tahun dan kelompok usia pra-sekolah.
4. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia pra-sekolah dan
kelompok usia sekolah
5. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup, senter, dan slit lamp.
6. Pemeriksaan segmen posterior dengan opthalmoskop direk.
7. Pemeriksaan kemungkinan ambliopia dan atau mata juling.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Mengenai gejala dan tanda pada masing-masing kelaian refraksi sesuai usia.
Usia biasanya dibagi 3 kelompok yaitu <2tahun, usia pra-sekolah, dan usia sekolah
2. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
3. Pemeriksaan status refraksi dengan pemeriksaan objektif strek retinoskopia pupil
lebar untuk kelompok usia >2 tahun dan kelompok usia pra-sekolah.
4. Pemeriksaan refraksi subjektif pada kelompok usia pra-sekolah dan kelompok
usia sekolah
5. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup, senter, dan slit lamp.
6. Pemeriksaan segmen posterior dengan opthalmoskop direk.
7. Mendeteksi adanya faktor-faktor ambliopia.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Koreksi kelainan refraksi pada kelompok usia sekolah bila pada pemeriksaan
subjektif visus mencapai 6/6.
2. Rujuk ke fasilitas sekunder, bila:
a. Pada kelompok usia sekolah visus dengan koreksi tidak mencapai 6/6.
b. Pada kelompok usia <2 tahun dan kelompok usia pra-sekolah didapatkan
tanda dan gejala kelainan refraksi dan kemampuan penglihatan tidak sesuai
dengan umur.
c. Dijumpai kelainan posisi bola mata (kelainan refraksi + mata juling)
3. Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok harus berdasarkan
pertimbangan: besarnya kelainan refraksi cukup mengganggu aktivitas. Kemampuan
akomodasi pasien; kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur; resiko yang timbul
akibat adanya kelainan refraksi. Rujuk ke TEC apabila dijumpai ambliopia dan/atau
mata juling.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Koreksi kelainan refraksi pada semua kelompok umur harus berdasarkan
pertimbangan:
a. Apakah besarnya kelainan refraksi cukup
mengganggu aktivitas.
b. Kemampuan akomodasi pasien.
c. Kebutuhan tajam penglihatan sesuai umur.
d. Resiko yang timbul akibat adanya kelainan refraksi.
2. Penatalaksanaan ambliopia dan akomodatif esotropia

36
TERBATAS

3. Koreksi (tindakan) sisa esotropia pada kasus akomodatif esotropia setelah


koreksi kaca mata diberikan.

Rekomendasi
Pemberian koreksi kaca mata pada anak harus memperhatikan hal di bawah ini:
1. Jenis kelainan refraksi.
2. Besar kelainan refraksi.
3. Umur penderita: kaca mata tidak diperlukan bila kebutuhan untuk aktivitas
sehari-hari tidak terganggu.
4. Apakah kelainan refraksi tersebut merupakan faktor penyebab ambliopia.
Hipermetropia >3D, astigmatisma >0,75 D, anisometropia, isoametropia tinggi
5. Follow up teratur.

KATARAK KONGENITAL
Katarak congenital adalah kekeruhan lensa yang timbul sejak lahir, dan merupakan
salah satu kebutaan pada anak yang cukup sering dijumpai. Prognosis visus tergantung
dari jenis katarak (unilateral/bilateral, total/partial) ada tidaknya kelainan mata yang
menyertai katarak, tindakan operasi (waktu operasi, teknik operasi, komplikasi operasi)
dan rehabilitasi tajam penglihatan pasca operasi.

Gejala dan tanda


Gejala yang paling sering dan mudah dikenali adalah leukokoria. Gejala ini kadang-
kadang tidak terlihat jelas pada bayi yang baru lahir karena pupil miosis. Bila katarak
binocular, penglihatan kedua mata buruk, orang tua biasanya membawa anak dengan
keluhan anak kurang melihat, tidak focus, atau kurang bereaksi terhadap sekitar. Gejala
lain yang dapat dijumpai antara lain foto fobia, strabismus, nystagmus.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan uur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah
dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan uur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah
dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.
4. Konsultasi ke deprtemen pediatrik untuk evaluasi kemungkinan penyakit
penyerta dan toleransi operasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan uur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup, sebelum dan sesudah
dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%.
4. Pemeriksaan USG, terutama bila bilateral.

37
TERBATAS

5. Konsultasi ke deprtemen pediatrik untuk evaluasi kemungkinan penyakit


penyerta dan toleransi operasi.
6. Pemeriksaan biometri bila direncanakan pemasangan lensa tanam.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Penderita segera rujuk ke fasilitas tersier untuk pemeriksaan dan pananganan
selanjutnya

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Penderita segera rujuk ke fasilitas tersier untuk pemeriksaan dan pananganan
selanjutnya

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Bila kekeruhan total atau senralharus segera operasi. Bila kekeruhan hanya minim atau
hanya sebagian, baik bilateral atau unilateral, operasi mungkin tidak perlu atau dapat
ditunda. Rehabilitasi tajam penglihatan dapat dilakukan dengan pemberian kaca mata
atau lensa kontak atau pemasangan lensa tanam.

Rekomendasi
Rekomendasi pra-operasi
1. Pasien diberi penjelasan mengenai keadaan penyakitnya, resiko operasi,
prognosis tajam penglihatan dan perawatan rehabilitasi tajam penglihatan pasca
operasi.
2. Pasien/orang tua menanda tangani informed concent.

Rekomendasi pasca operasi


1. Pasien diberi penjelasan tentang kemungkinan komplikasi tindakan dan
komplikasi jangka panjang. Follow up teratur dan periodic untuk evaluasi tajam
penglihatan dan perkembangan refraksi, terutama penjelasan masalah ambliopia.
2. Konsul ke departemen terkait untuk evaluasi ulang penyakit penyerta.

GLAUKOMA PADA ANAK


Glaukoma pada anak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Glaukoma congenital (infantile) primer


2. Glaukoma juvenilis
3. Glaukoma sekunder, disgenesis segmen anterior (contoh: Anomali peters,
syndrome axenfeld-Reiger, Anidria, homosistinuria)

Glaukoma congenital primer


Gejala dan tanda klinis
1. Pembesaran diameter kornea, kekeruhan (edema) kornea akibat peningkatan
TIO, cupping nervus optikus.
2. Pada bayi sering ditemukan epifora, blepharosm, fotofobia.

Evaluasi

38
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Pengukuran diameter kornea.
Pengukuran ini dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan penggaris.
Didapatkan diameter kornea yang lebih besar dari normal. Diameter kornea rata-rata
adalah 10 mm (kisaran 9,5-10,5 mm) pada saat lahir, kemudian meningkat menjadi
11,8 mm pada usia 1 tahun. Diameter kornea sebesar 12 mm atau lebih pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dapat dianggap tidak normal.

2. Pemeriksaan segmen anterior dengan lampu senter dan lup.


Dinilai keadaan kornea, iris/pupil dan bilik mata depan.

3. Pengukuran TIO
Dilakukan dengan tonometer schiotz. Pada bayi dan anak yang tidak koperatif,
penilaian dilakukan dalam anesthesia umum. Dalam hal ini perlu diperhitungkan
pengaruh obat anestesi yang digunakan terhadap pembacaan TIO normal pada bayi
adalah 10-15 mmHg. Pada glaukoma primer congenital nilai TIO umumnya melebihi
25 mmHg, dan sering diatas 30 mmHg. Nilai TIO yang rendah secara relative dalam
anestesi umum pada pasien dengan manifestasi klinis yang jelas, tidak
menyingkirkan diagnosis glaukoma.

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


1. Pengukuran diameter kornea.
Pengukuran ini dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan penggaris.
Didapatkan diameter kornea yang lebih besar dari normal. Diameter kornea rata-rata
adalah 10 mm (kisaran 9,5-10,5 mm) pada saat lahir, kemudian meningkat menjadi
11,8 mm pada usia 1 tahun. Diameter kornea sebesar 12 mm atau lebih pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dapat dianggap tidak normal.
2. Pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah (slit lamp).
Dinilai keadaan kornea, iris/pupil, bilik mata depan. Pada penderita dijumpai edema
kornea akibat peningkatan TIO.
3. Pengukuran TIO
Dilakukan dengan tono-pen atau tonometri schiotz
TIO normal pada bayi: 10-15 mmHg. Pada glaukoma primer congenital nilai TIO
umumnya melebihi 25 mmHg; dan sering kali diatas 30mmHg.
Pada bayi dan anak yang tidak koperatif, penilaian dilakukan dalam anesthesia
umum. Dalam hal ini perlu diperhitungkan pengaruh obat anestesi yang digunakan
terhadap pembacaan TIO normal pada bayi adalah 10-15 mmHg.
Pada glaukoma primer congenital nilai TIO umumnya melebihi 25 mmHg, dan sering
diatas 30 mmHg. Nilai TIO yang rendah secara relative dalam anestesi umum pada
pasien dengan manifestasi klinis yang jelas, tidak menyingkirkan diagnosis
glaukoma.

4. Gonioskopi (dalam anestesi umum): ditemukan anomali sudut bilik mata.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pengukuran diameter kornea.
Pengukuran ini dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan penggaris.
Didapatkan diameter kornea yang lebih besar dari normal. Diameter kornea rata-rata
adalah 10 mm (kisaran 9,5-10,5 mm) pada saat lahir, kemudian meningkat menjadi
11,8 mm pada usia 1 tahun. Diameter kornea sebesar 12 mm atau lebih pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dapat dianggap tidak normal.

39
TERBATAS

2. Pemeriksaan segmen anterior dengan lampu celah (slit lamp).


Dinilai keadaan kornea, iris/pupil, bilik mata depan. Pada penderita dijumpai edema
kornea akibat peningkatan TIO.
3. Pengukuran TIO
Dilakukan dengan tono-pen atau tonometri schiotz
TIO normal pada bayi: 10-15 mmHg. Pada glaukoma primer congenital nilai TIO
umumnya melebihi 25 mmHg; dan sering kali diatas 30mmHg.
Pada bayi dan anak yang tidak koperatif, penilaian dilakukan dalam anesthesia
umum. Dalam hal ini perlu diperhitungkan pengaruh obat anestesi yang digunakan
terhadap pembacaan TIO normal pada bayi adalah 10-15 mmHg.
Pada glaukoma primer congenital nilai TIO umumnya melebihi 25 mmHg, dan sering
diatas 30 mmHg. Nilai TIO yang rendah secara relative dalam anestesi umum pada
pasien dengan manifestasi klinis yang jelas, tidak menyingkirkan diagnosis
glaukoma.
4. Gonioskopi (dalam anestesi umum): ditemukan anomaly sudut bilik mata.
5. USG
Peningkatan panjang aksis bola mata diukur dengan B-Scan Ultra sonography

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke fasilitas sekunder

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


1. Pembedahan
Prosedur operasi initial pilhan adalah goniotomi atau trabekulektomi. Selain itu
trabekulektomi; siklokrioterapi, implantasi katup dapat dilakukan.
2. Terapi medikamentosa
a. Terapi medikamentosa pasca operasi dapat diberikan untuk
mempertahankan TIO yang normal. Yang paling sering digunakan adalah beta
bloker, miotikum, dan penghambat karbonic-anhidrase.
b. Dosis asetazolamide: 15 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
3. Rujuk ke fasilitas tersier untuk skrining dan konseling genetika terutama pada
kasus familial.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pembedahan
Prosedur operasi initial pilhan adalah goniotomi atau trabekulektomi. Selain itu
trabekulektomi; siklokrioterapi, implantasi katup dapat dilakukan.
2. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa pasca operasi dapat diberikan untuk mempertahankan TIO
yang normal. Yang paling sering digunakan adalah beta bloker, miotikum, dan
penghambat karbonic-anhidrase.
Dosis asetazolamide: 15 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
3. Konseling genetika dan skrining mutasi gen CYP1B1
Konseling genetika, disertai skrining mutasi gen yang berkaitan dengan glaukoma
congenital primer (gen CYP1B1), perlu dilakukan pada kasus-kasus familial; untuk
mendeteksi carrier dan kasus dengan resiko menderita penyakit yang sama.
Skrining juga dianjurkan pada komunitas disuatu daerah tertentu dengan angka
insidens yang tinggi terhadap penyakit ini.

40
TERBATAS

RETINOBLASTOMA
Retinoblastoma adalah tumor mata primer yang berasal dari retina dan biasanya pada
anak-anak dibawah 5 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 2-3 tahun. Tumor ini
bersifat multifokal, sehingga dapat dijumpai pada kedua mata (bilateral) atau beberapa
lesi pada satu mata (monocular). Pada jenis bilateral biasanya dijumpai pada usia yang
lebih muda dan bersifat herediter.

Gejala dan tanda


Gejala yang paling sering dijumpai adalah mata kucing (leukokoria). Gejala lain misalnya
strabismus, hifema spontan, hipopion, heterocrhomia iris, buftalmos dan pada stadium
yang sangat lanjut dapat memperlihatkan gejala proptosis. Kadang-kadang tumor ini
memberi gambaran seperti sellulitis orbita, endoftalmitis dan bahkan pernah dijumpai
pada mata yang ftisis.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
4. Pemeriksaan funduskopi kedua mata (multifokal) dengan oftalmoskopi
direk, dengan sebelumnya dilakukan dilatasi pupil dengan tropicamide 0,5%

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
4. Pemeriksaan segmen posterior dengan optalmoskopi direk dan indirek
dengan sebelumnya melebarkan pupil dengan tropicamide 0,5%.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan posisi dan gerak bola mata.
2. Pemeriksaan visus yang disesuaikan dengan umur.
3. Pemeriksaan segmen anterior dengan senter dan lup.
4. Pemeriksaan segmen posterior dengan optalmoskopi direk
dan indirek
5. Pemeriksaan USG.
6. Bila mata sudah proptosis atau bila curiga sudah meluas ke
ekstraokular atau bila tumor bilateral dilakukan pemeriksaan CT-Scan dan konsultasi
ke departemen pediatrik untuk evaluasi metastasis (LP, BMP).

a. CT-Scan → oleh departemen Radiologi


b. LP
c. BMP

7. Bila dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan


patologis jaringan tumor dengan memperhatikan perluasan tumor ke N.II dan tepi
sayatan N.II, sclera, koroid, badan siliar dan iris.

Penatalaksanaan

41
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


Penderita segera dirujuk ke fasilitas tertier untuk pemeriksaan dan penanganan
selanjutnya.

Pelayanan kesehatan mata sekunder(SEC)


Penderita segera dirujuk ke fasilitas tertier untuk pemeriksaan dan penanganan
selanjutnya

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila tumor masih terbatas intraokuler dan stadium dini, dan fasilitas yang
tersedia, diberikan salah satu atau kombinasi dari terapi dibawah ini, yaitu:
a. Krioterapi
b. Fotokoagulasi laser
c. Kemoterapi
d. Radioterapi (plaque)
2. Bila tumor masih terbatas intraokuler, tapi stadium sudah lanjut atau
terdapat vitreous seeding, dapat dilakukan enukleasi dengan memotong N.II
sepanjang mungkin. Bila potongan N.II dan tepi sayatan N.II bebas tumor dan sclera
serta sebagian besar koroid belum terinvasi tumor, terapi tambahan tidak diperlukan.
Bila potongan N.II dan tepi sayatan N.II tidak bebas tumor, atau sclera atau sebagian
besar koroid sudah terinvasi tumor, terapi dilanjutkan dengan radiasi oleh
departemen radiologi dan kemoterapi oleh departemen pediatrik. Radiasi tidak
diberikan pada anak dibawah 1 tahun.
3. Bila mata sudah proptosis, yang menunjukkan tumor sudah meluas ke
ekstraokuler tetapi belum ada tanda-tanda destruksi tulang orbita atau metastasis
atau perluasan tumor ke intracranial, dapat dilakukan eksenterasi orbita dilanjutkan
dengan radioterapi dan kemoterapi. Bila tumor terlalu besar dapat dilakukan
kemoreduksi dulu kemudian eksenterase yang dilanjutkan lagi dengan kemoterapi
dan radioterapi.
4. Bila tanda-tanda metastasis atau perluasan ke intracranial sudah ada,
tidak dilakukan operasi, hanya diberi radioterapi dan kemoterapi.

Rekomendasi
Rekomendasi pra-terapi/ pra-operasi
1. Pasien diberi penjelasan mengenai keadaan penyakitnya, resiko
tindakan, serta kemungkinan prognosis.
2. Pasien/ orang tua menanda tangani informed concent.

Rekomendasi pasca operasi


1. Pasien diberi penjelasan untuk follow up teratur dan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan yag mungkin timbul seperti tumor residif, metastasis,
komplikasi tindakan, dan munculnya lesi tumor baru pada mata yang sehat.
2. Konsul genetik.

STRABISMUS

I. Exotropia

42
TERBATAS

Exotropia adalah keadan dimana satu mata berfiksasi pada objek yang menjadi pusat
perhatian sedangkan mata yang lain menuju kearash lain yaitu kearah luar
(eksodeviasi). Exotropia merupakan kelainan kedudukan bola mata yang sering
ditemukan. Anak-anak tertentu mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadi
exotropia meliputi anak yang mengalami gangguan perkembangan saraf, premature,
atau berat lahir rendah dan anak dengan riwayat keluarga juling serta anomaly ocular
atau sistemik.

Gejala dan tanda


1. Pada kebanyakan kasus awalnya bersifat intermiten dengan onset
umumnya pada usia dibawah 3 tahun.
2. Deviasi menjadi manifest terutama lelah, melamun, atau sakit dimana
mekanisme kompensasi fusi menurun.
3. Pasien dapat menutup salah satu mata bila terpapar cahaya terang
sekali.
4. Bila bersifat intermiten jarang ditemukan ambliopia.
5. Kelainan refraksi bersifat spheris negatip, namun dapat spheres
positif atau bahkan emetropia.
6. Penglihatan ganda kadang-kadang dikeluhkan penderita yang juling
intermiten.

Evaluasi
Pemeriksaan pada pasien dengan strabismus yang onsetnya dimulai sejak kecil meliputi
semua aspek pemeriksaan anak dan mata anak atau mata orang dewasa dengan
penekanan pada sensori, motor, refraksi dan fungsi akomodasi. Al-hal pnting yang perlu
ditekankan pada pasien strabismus, adalah sebagai berikut:

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah
bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat
dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna warni didepan wajah bayi
tersebut, perhatikan apakah ada upaya mengikuti. Bila anak yang sudah lebih besar
pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-masing anak,
demikian pula yang dewasa.
2. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior,
dinilai bagaimana keadaan kornea, iris/pupil termaasuk reflek pupil dan lensa.
3. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata, untuk melihat ada
tidaknya hambatan pergerakan bola mata.
4. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg.
5. Funduskopi dengan oftalmoskop direk.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah
bayi, pemeriksaan visus secara subyektif belum dapat dilakukan, hanya dapat
dilakukan dengan memperlihatkan sesuatu yang berwarna warni didepan wajah bayi
tersebut, perhatikan apakah ada upaya mengikuti. Bila anak yang sudah lebih besar
pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan masing-masing anak,
demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai
keadaan kornea, iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa.

43
TERBATAS

4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat


segmen posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg, cover-
uncover test alternate Cover test (ACT).

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus subyektif dengan cara Central, Steady, Maintain (CSM), bila
penderita anak yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia
dan kemampuan masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopy dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk melihat segmen anterior, dinilai keadaan
kornea, iris/pupil termasuk reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirschberg,Krimsky, Alternate
Cver Test (ACT)/ Prism Cover Test (PCT).
7. Ukur deviasi jauh dan dekat serta dinilai ada tidaknya A & V pattern. Demikian
pula harus dilakukan pemeriksaan deviasi dengan dan tanpa koreksi kaca mata
kalau terdapat kelainan refraksi. Bila dicurigai ada Stimulated Divergence Excees
perlu dilakukan pemeriksaan sudut deviasi setelah oklusi paling sedikit 1 jam pada
salah satu mata.
8. Penilaian status sensoris.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke fasilitas sekunder

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila terdapat kelainan reafraksi, koreksi dengan kaca mata yang sesuai.
2. Bila terdapat ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang
dominant.
3. Bila dengan pemberian kaca mata tidak ada perbaikan pada deviasinya maka
dirujuk pada fasilitas kesehatan tersier untuk dilakukann penatalaksanaan
selanjutnya.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila terdapat kelainan refraksi, berikan koreksi terbaik.
2. Bila ada ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang
dominant.
3. Bila dengan koreksi kelainan refraksi, tetap eksotropia, lakukan operasi.
4. Jenis operasi yang dilakukan disesuaikan dengan diagnosis dan pola deviasi
yang ada dan keadaan visus masing-masing mata.
5. Bila tipe Divergence Excees dapat dilakukan reses rektus lateral pada kedua
mata.
6. Bila tipe basic dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses –
resek pada mata yang tidak dominant atau yang visus nya lebih buruk.
7. Bila tipe Convergence Insufficiency dapat dilakukan resek rektus medius.

44
TERBATAS

II. Esotropia
Esotropia adalah keadaan dimana satu mata berfiksasi pada objek yang menjadi pusat
perhatian sedangkan mata yang lain menuju arah lain yaitu kearah hidung. Esotropia
ada yang bersifat congenital yaitu onsetnya sampai dengan usia 6 bulan, dan bisa pula
didapat yaitu onsetnya setelah usia 6 bulan. Disamping itu bila dilihat dari status refraksi
ada yang bersifat akomodatif dan ada pula yang bersifat non-akomodatif.

Gejala dan tanda


1. Juling ke dalam
2. Kelainan refraksi biasanya sphere positif, namun dapat sphere negatip bahkan
emetropia

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus tidak dapat dilakukan secara subyektif, bila penderita anak yang
sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan
masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk segmen anterior, dinilai
bagaimana keadaan kornea, iris/pupil, reflek pupil dan lensa.
3. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk untuk melihat segmen posterior.
4. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
5. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirscberg.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus tidak dapat dilakukan secara subyektif, bila penderita anak yang
sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan kemampuan
masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopi dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan lampu celah untuk melihat segmen anterior,dinilai
bagaimana keadaan kornea, iris/pupil, reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirscberg.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan visus dilakukan sesuai keadaan. Bila penderita adalah bayi,
pemeriksaan visus tidak dapat dilakukan secara subyektif CSM, bila penderita anak
yang sudah lebih besar pemeriksaan dilakukan sesuai tingkatan usia dan
kemampuan masing-masing anak, demikian pula yang dewasa.
2. Dilakukan refraksi objektif dengan streak retinoskopi dalam sikloplegi.
3. Pemeriksaan dengan lampu celah untuk melihat segmen anterior,dinilai
bagaimana keadaan kornea, iris/pupil, reflek pupil dan lensa.
4. Dilakukan funduskopi dengan oftalmoskop direk/indirek untuk melihat segmen
posterior.
5. Dilakukan penilaian pergerakan bola mata.
6. Penentuan kedudukan bola mata dengan cara Hirscberg, Krimsky, ACT/PCT.

45
TERBATAS

7. Penilaian status sensoris.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke fasilitas sekunder.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila dengan koreksi kaca mata spheres (+) deviasi jauh dan dekat hilang, berarti
termasuk jenis refractive accommodative ET, berikan kaca mata Sph (+).
2. Bila dengan koreksi kaca mata spheres (+) deviasi jauh hilang sedangkan
deviasi dekat masih tersisa, dan baru hilang setelah tambahan addisi, berarti
termasuk jenis non refractive accommodative ET: berikan kaca Sph (+) bifokus.
3. Bila ada ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang
dominant.
4. Bila termasuk jenis akomodatif: rujuk ke fasilitas tersier.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila termasuk jenis refractive accommodative ET: berikan kaca mata Sph (+)
2. Bila termasuk jenis non refractive accommodative ET: berikan kaca mata Sph (+)
bifokus.
3. Bila ambliopia, lakukan terapi ambliopia dengan patching mata yang dominant.
4. Bila termasuk jenis non akomodatif, operasi strabismus sesuai dengan jenisnya.
5. Pada jenis convergence excees lakukan reses rektus medial pada kedua mata.
6. Bila tipe basic dan bila visus salah satu mata tidak baik, dapat dilakukan reses –
resek pada mata yang tidak dominant
7. Bila tipe Convergence Insufficiency dapat dilakukan resek rektus lateral pada
kedua mata
8. Pada tipe campuran berikan kaca mata yang sesuai dan operasi strabismus
untuk deviasi sisanya.

BLEFAROPTOSIS KONGENITAL
Blefaroptosis adalah turunnya kelopak mata yang terjadi sejak lahir.

Tanda dan gejala


Kelopak ata atas turun sejak lahir.

Evaluasi
Penatalaksanaan

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Pemeriksaan dengan senter dan lup tampak kelopak mata atas turun pada 1
mata atau 2 mata.
2. Posisi kelopak mata normal adalah tepi kelopak atas menutupi 2 mm kornea
bagian atas. Pada posisi prmer dilihat apakah refleks cahaya di pupil tertutup oleh
kelopak atau tidak.
3. Periksa apakah posisi bola mata ortho atau ada juling. Periksa gerakan bola
mata ke segala arah, apakah ada hambatan gerak pada arah tertentu atau tidak.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)

46
TERBATAS

Dilakukan pemeriksaan Hirscberg, alternate Cober test (ACT). Duction/version, dan


pengukuran margin reflekx distance (MRD).

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Dilakukan pemeriksaan Hirscberg, ACT, duction/version, pengukuran MRD, margin
Limbal Distance (MLD), dan levator action (LA).

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC) dan sekunder (SEC)
1. Bila ptosis terjadi pada mata dan pupil tertutup oleh kelopak pada posisi primer,
segera rujuk ke TEC untuk dilakukan tindakan koreksi ptosis agar tidak terjadi
ambliopia.
2. Bila ada juling, segera rujuk ke TEC.
3. Bila ptosis terjadi pada 1 atau 2 mata dan pupil tidak tertutup oleh kelopak, tidak
perlu diberi terapi atau rujuk tidak segera. Bayi dapat dirujuk untuk tindakan koreksi
ptosis nya kapan saja orang tua atau pasien menginginkan. Tindakan ini hanya
untuk tujuan kosmetik, tidak akan mempengaruhi penglihatan. Biasanya dianjurkan
sekitar umur 5-6 tahun atau sebelum masuk SD

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila ptosis pada 1 mata dengan MRD negatip, LA buruk (4 mm atau kurang),
lakukan koreksi ptosis segera dengan suspensi frontalis dengan bahan sinteik atau
autograft.
2. Bila LA baik, lakukan koreksi ptosis dengan reseksi levator.
3. Bila MRD positif atau ptosis pada 2 mata, lakukan koreksi ptosis kapan saja
tergantung permintaan pasien atau orang tuanya, dianjurkan sekitar umur 5-6 tahun.

Rekomendasi pasca operasi


Sesudah operasi ptosis dengan suspensi frontalis selalu terjadi lagoftalmus, pasien atau
orang tuanya harus diberi penjelasan untuk mencegah terjadinya komplikasi keratitis et
lagoftalmus.

EPIBLEFARON INFERIOR
Epiblefaron inferior adalah lipatan kulit yang berlebihan pada tepi kelopak bawah yang
menyebabkan bulu mata mengarah ke kornea dan dapat menyebabkan iritasi yang terus
menerus pada kornea.

Tanda dan gejala


Mata sering berair, merah dan silau.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan dengan senter dan lup, terlihat lipatan kulit yang berlebihan pada
tepi kelopak bawah dan arah bulu mata mengenai kornea
2. Periksa keadaan kornea apakah jernih atau ada kekeruhan di daerah yang
terkena bulu mata.
Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)
Pemeriksaan dengan slit lamp, terlihat lipatan kulit yang berlebihan pada tepi kelopak
bawah dan silia mengenai kornea. Kornea mungkin masih jernih atau sudah terdapat
epiteliopati tanpa/dengan neovaskularisasi akibat iritasi cilia.

47
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Seperti pada SEC.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Bila kornea masih jernih, boleh lakukan tarukan pada kulit kelopak bawah
dengan plester sepanjang siang dan malam agar bulu mata tidak mengenai kornea
atau boleh lagsung dirujuk ke SEC
2. Bila dilakukan tarikan pada kulit dengan plester, observasi selama 3 bulan. Bila
terjadi perbaikan posisi bulu mata, boleh tidak dirujuk. Bila setelah 3 bulan keadaan
menetap, rujuk ke SE. Bila pada pemeriksaan pertama sudaha ada kekeruhan pada
kornea, rujuk ke SEC.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila kornea masih jernih, boleh lakukan tarukan pada kulit kelopak bawah
dengan plester sepanjang siang dan malam agar bulu mata tidak mengenai kornea
2. Bila sudah terdapat epiteliopati tetapi umur pasien masih dibawah 1 tahun,
lakukan tarikan pada kulit kelopak seperti diatas. Observasi selama kurang lebih 3
bulan, bila terdapat perbaikan tidak perlu dilakukan tindakan. Bila tidak terdapat
perbaikan atau sudah terdapat epiteliopati dengan atau tanpa neovaskularisasi,
boleh lakukan koreksi epiblefaron dengan melakukan eksisi kulit dan fiksasi tarsus
sedemikian sampai arah bulu mata tidak mengenai kornea lagi atau rujuk ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Seperti pada SEC

OBSTRUKSI DUKTUS NASO-LAKRIMAL KONGENITAL


Yang dimaksud adalah obstruksi duktus naso lakrimal yang terjadi sejak lahir.

Tanda dan gejala


Mata berair dan ada sekret

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pemeriksaan dengan senter dan lup, tampak mata berair.
2. Pada saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan jari/cotton bud akan tampak
regurgitasi sekret dari punctum lakrimal.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan dengan senter dan lup ,tampak mata berair.
2. Pada saat daerah sakus lakrimal ditekan dengan jari/cotton bud akan tampak
regurgitasi sekret dari punctum lakrimal.
3. Nila bayi sudah berumur diatas 3 bulan, dengan test anel akan tampak
regurgitasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)

48
TERBATAS

Dilakukan pemeriksaan dasar dan penunjang seperti pada SEC, ditambah pemeriksaan
dacryocystography untuk mengetahui apakah sakus sudah dilatasi.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Bila bayi dibawah 3 bulan, beri tetes antibiotik topikal selama 5-7 hari.
2. Pengasuh, dan/atau orang tuanya diberi tahu cara melakukan massage pada
sakus lakrimal.
3. Bila bayi sudah beumur diatas 3 bulan dan mata masih berair dan ada sekret,
rujuk ke SEC.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila bayi sudah berumur diatas 3 bulan, lakukan irigasi dari punctum lakrimal
superior/inferior agar membrane Hassner terbuka. Beri tetes antibiotik dengan
steroid selama 3-5 hari.
2. Bila setelah dilakukan 3 kali tindakan diatas berturut-turut tiap 2 minggu tetapi
masih berair dan banyak sekret, lakukan probing dalam narkose.
3. Bila tes anel masih menunjukkan regurgitasi, lakukan pematahan konkha inferior.
4. Bila setelah dilakukan tindakan diatas mata masih berair dan banyak sekret,
rujuk ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila sakus belum dilatasi, lakukan probing pematahan konkha inferior.
2. Bila sakus sudah dilatasi akan tetapi sekret masih banyak,lakukan
dacryocistorhinostomi (DCR).
3. Bila terdapat kelainan kanalikulus atau mukosa hidung tidak dapat dijahit dengan
dinding sakus sewaktu melakukan operasi, pasang silicon lakrimal tube.
4. Sesudah operasi beri antibiotika oral, antibiotika dengan steroid tetes mata,
analgetika, dan decongestan tetes hidung. Anti koagulan diberikan bila perlu.
5. Silicon tube diangkat 2-3 bulan sesudah operasi.

LAGOFTALMUS KARENA PARESE FASCIALIS


Lagoftalmus karena parese facialis terjadi akibat lumpuhnya otot orbicularis, sehingga
pasien tidak dapat menutup kelopak mata atas dan bawah, menyebabkan kornea
terpapar dengan segala akibatnya.

Gejala dan tanda


1. Mata berair, merah, silau, sakit, selalu terbuka, tidak dapat menutup mata.
2. Penglihatan mungkin buram.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Dengan lup dan senter, pasien disuruh menutup kelopak matanya dan terlihat
tidak seluruh bolamata tertutup kelopak/tidak dapat menutup.
2. Kornea mungkin masih jernih atau keruh.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC) dan tersier (TEC)


1. Dengan slit lamp, periksa keadaan kornea, apakah masih jernih, atau terdapat
infiltrat, atau ulkus kornea.

49
TERBATAS

2. Periksa juga apakah ada kekenduran pada tepi kelopak bawah (laxity).

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Beri antibiotik salf mata
2. Tetes air mata buatan sesering mungkin.
3. Rapatkan kelopak atas dan bawah dengan plester.
4. Rujuk ke SEC.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila kornea masuh jernih, beri tetes air mata buatan sesering mungkin. Rapatkan
kelopak atas dan bawah dengan plester bila pasien tidur.
2. Bila sudah terjadi keratitis atau ulkus kornea, beri terapi sesuai terapi keratitis
atau ulkus kornea dan lakukan blefarorafi, atau rujuk ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Lakukan pemasangan beban emas pada kelopak atas, jahitkan pada tarsus,
berat beban disesuaikan agar kelopak atas dapat menutup.
2. Pada kelopak bawah dengan atau tanpa penguat fascia lata atau bahan sintetik
atau tulang rawan telinga.

FRAKTUR BLOW OUT


Fraktur blow out adalah fraktur pada dasar orbita tanpa atau disertai fraktur dinding
medial orbita akibat trauma.

Gejala dan tanda


Penglihatan ganda, ada epistaksis setelah mata terkena trauma tumpul.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Enoftalmus ringan atau berat dapat timbul.
2. Pada perabaan mungkin terdapat krepitasi dibawah kulit kelopak bawah,
terdapat hambatan gerak bola mata terutama kearah superior dan inferior.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Seperti pada PEC.
2. Pemeriksaan Hirscberg, mungkin ortho atau hipotrofi. Duction dan version,
terdapat hambatan gerak bola mata kearah superior/inferior.
3. Pemeriksaan foto kepala posisi waters, tampak perselubungan pada sinus
maksillaris/etmoid, fraktur dasar orbita/dinding medial orbita.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti pada SEC
2. Dengan Hertel dilakukan pengukuran besarnya enoftalmus.
3. Pemeriksaan Hirscberg, mungkin ortho atau hipotrofi. Duction dan version,
terdapat hambatan gerak bola mata, pemeriksaan forced duction test positif.
4. CT-Scan menunjukkan adanya fraktur pada dasar orbita/dinding medial orbita
dengan inkarserasi jaringan lunak pada daerah fraktur.

50
TERBATAS

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC), dan sekunder SEC
Rujuk ke TEC

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Lakukan rekonstruksi fraktur dengan membebaskan jaringan lunak yang terjepit
dan memasang implant sintetik atau tulang autograft pada daerah fraktur.
2. Sebaiknya dilakukan sebelum 2 minggu setelah trauma.

TUMOR ORBITA
Tumor orbita adalah massa yang berada dirongga orbita, dapat berasal primer dari
jaringan lunak orbita atau merupakan metastasis-invasi dari organ lain tubuh dan
palpebra/konjungtiva. Setiap jaringan dapat berpotensi berubah pertumbuhan menjadi
neoplasma. Di orbita terdapat jaringan yang secara embriologik berasal dari mesoderm
dan neuroektoderm. Palpebra dan konjungtiva berasal dari ectoderm.jenis tumornya
dapat berifat jinak atau ganas, dan jenisnya dapat ditemui lebih dari 50 jenis tumor.
Walaupun hanya terdapat dalam frekwensi kecil, penyakit neoplasma pada mata cukup
menimbulkan masalah karena angka kehilangan tajam penglihatan tinggi jika
dibandingkan dengan kelainan atau penyakit mata lainnya. Tumor mata mengakibatkan
cacat kosmetik, bahkan kematian. Penderita tumor orbita mempunyai prognosis
buruk.pada penelitian Riyanto didapatkan angka kelangsugan hidup tumor orbita
sebesar 84,62%. Prognosis penderita diperburuk akibat keterlambatan datang berobat.
Data dirumah sakit menunjukkan bahwa keterlambatan penderita dalam upaya mencari
pengobatan sebagai akibat faktor sosio-ekonomi sebesar 35%, ketidak tahuan
penderita mengenai mata dapat terkena tumor sebesar 31,60%, dan yang disebabkan
oleh keterlambatan oleh dokter atau paramedic dalam merujuk atau ketidak tepatan
pengobatan sebesar 34,40%. Kesulitan atau masalah lain yang dihadapi adalah
pembuatan diagnosis tumor orbita, akibat lokasi massa yang terkungkung oleh tulang
cranial dan berada diantara jaringan lunak serta bola mata-suatu organ yang memiliki
fungsi yang vital bagi manusia. Tumor orbita menjadi sulit di jangkau oleh pemriksaan
klinis sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang.

Gejala dan tanda


Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis meliputi:
1. Identitas (sex, umur {anak,dewasa muda/tua}, pekerjaan {indoors/outdoors} )
2. Anamnesis:
a. Adanya penonjolan mata atau luka/benjolan pada kelopak mata
yang tak menyembuh.
b. Lama gejala: akut atau kronis.
c. Tajam penglihatan: tetap atau menurun.
d. Penglihatan ganda : ada atau tidak.
e. Rasa sakit: ada atau tidak.
3. Pemeriksaan visus:
a. Penurunan visus yang tidak dapat dikoreksi pada mata sakit.
b. Adanya hiperopia.
4. Pemeriksaan oftalmologi:
a. Segmen anterior, normal atau ada kelainan (nodul pada iris,
heteromia iris).

51
TERBATAS

b. Segmen posterior, normal atau ada kelainan (star figure di


macula atau lipatan {fold} di koroid, papil atropi/edema).
5. Pemeriksaan orbita:
Inspeksi, adanya proptosis, arah proptosis, gangguan gerak mata partial/total, arah
habatan gerak, keadaan jaringan disekitarnya seperti tanda rubor; pelebaran
palpebra atau fissure palpebra; palpasi, teraba/tidak terabanya tumor;rabaan
kenyal/keras/lunak; dapat digerakkan dari dasar/tidak; pulsasi, ada bruit/tidak.
6. Pemeriksaan fisik: adanya benjolan/keluhan kronis pada organ lain.
7. Pemeriksaan penunjang radiologi
a. Foto orbita baku
b. USG
c. CT-Scan
d. Arteriografi
e. MRI
8. Pemeriksaan penunjang khusus
a. Laboratorium
b. Penanda ganas
9. Pemeriksaan fisik
Mencari adanya tumor di organ lain tubuh
10. Pemeriksaan patologi anatomi
a. Potong beku
b. Patologi paraffin blok
c. Pewarnaan khusus imunohistokimia.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Identitas: umur (anak, dewasa muda, dan tua)
2. Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus di kelopak mata dan putih mata,
lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
3. Pemeriksaan mata tanpa slit lamp:
a. Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva dengan
permukaan benjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan
antibiotika, dengan lama gejala yang kronis-diagnosis tumor ganas epithel
adneksa (basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar
meibom; atau melanoma maligna).
b. Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan
lebar fissure yang melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa
muda-diagnosis tumor primer orbita jinak.
c. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang disekitar
massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua-diagnosis
tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan
suatu proses inflamasi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Identitas: umur (anak, dewasa muda, dan tua)
2. Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus di kelopak mata dan putih mata,
lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
3. Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slit lamp:
a. Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva dengan
permukaan benjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan
antibiotika, dengan lama gejala yang kronis-diagnosis tumor ganas epithel

52
TERBATAS

adneksa (basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar


meibom; atau melanoma maligna).
b. Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan
lebar fissure yang melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa
muda-diagnosis tumor primer orbita jinak.
c. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang disekitar
massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua-diagnosis
tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan
suatu proses inflamasi.
4. Pemeriksaan orbita:
Pengukuran adanya proptosis dengan menggunakan alat Hertel atau penggaris di
kantus lateral ke ujung kornea.
5. Pemeriksaan penunjang radiologi:
Foto orbita baku-pada tumor primer orbita jinak diharapkan gambaran
perselubungan, phlebolith, atau pembesaran rongga orbita, pada tumor primer orbita
ganas dan metastasis/invasi diharapkan gambaran destruksi tulang.
6. Pemeriksaan patologi anatomi:
a. Benjolan/ulkus di palpebra-konjungtiva yang meragukan
keganasan dapat dilakukan biopsi eksisi/insisi untuk specimen pemeriksaan
patologi anatomi.
b. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan
biopsi insisi sebagai bahan specimen pemeriksaan patologi anatomi.

Perhatian khusus: untuk tumor yang berlokasi di kelenjar lakrimal tidak


diperkenankan untuk melakukan biopsi insisi. Tindakan yang dianjurkan
adalah biopsi eksisi (intoto) melalui orbitotomi lateral.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Identitas: umur (anak, dewasa muda, dan tua)
2. Anamnesis (mata menonjol/benjolan atau ulkus di kelopak mata dan putih mata,
lama gejala, penglihatan ganda, rasa nyeri, dan penurunan visus).
3. Pemeriksaan mata dengan/ tanpa slit lamp:
a. Terlihat adanya benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva dengan
permukaan benjol-benjol pada usia tua, tidak menyembuh dengan pengobatan
antibiotika, dengan lama gejala yang kronis-diagnosis tumor ganas epithel
adneksa (basalioma;karsinoma sel skuamosa; adenokarsinoma kelenjar
meibom; atau melanoma maligna).
b. Teraba massa di orbita dengan lokasi tertentu, menunjukkan
lebar fissure yang melebar, gejala dirasakan lebih dari 1 tahun, dan usia dewasa
muda-diagnosis tumor primer orbita jinak.
c. Adanya keluhan rasa nyeri disertai tanda meradang disekitar
massa tumor, gejala dirasakan akut (kurang 1 tahun), dan umur tua-diagnosis
tumor primer orbita ganas. Jika gejala diderita oleh semua umur dapat dipikirkan
suatu proses inflamasi.
4. Pemeriksaan orbita:
a. Pengukuran adanya proptosis dengan menggunakan alat Hertel.
b. Arah terdorongnya bola mata: bola mata ke nasal bawah:massa
temporal atas (kelenjar lakrimal) usia muda, pertumbuhan lambat: benign
mixed tumor usia muda/tua, pertumbuhan cepat: adenoid kistik karsinoma
atau keganasan lain bola mata ke inferior: massa berada di superior-
umumnya neurilemmoma atau kista dermoid di bola mata terdorong infero-

53
TERBATAS

temporal: massa berada di nasal tumor beasal dari sinus frontal, dapat
mukokel atau keganasan dari epithel sinus (karsinoma sel skuamosa) bola
mata terdorong aksial: massa berada di konus-umumnya tumor dari saraf
optik terutama pada penderita usia muda, antara lain glioma,meningioma,
dan dapat hemangioma kavernosa bola mata terdorong ke superior: massa
berasal dari inferior kebanyakan tumor ganas berasal dari sinus maksilla atau
jaringan penunjang.
c. Kuadran lokasi massa berada berlawanan dengan arah
terdorongnya bola mata tumor sesuai dengan jaringan/organ yang berada di
kuadran tersebut.
d. Ganguan gerak bola partial, tempat hambatan menunjukkan
lokasi tumor (kuadaran lokasi)
e. Pemeriksaan pulsasi: bila positif-tumor dapat berupa
neurofibroma atau jika diketahui didahului trauma/hipertensi pada orang tua
dapat differensiasi dengan arteri-vena fistula.
f. Jika tumor dapat diraba, dinilai kekenyalannya. Jika teraba lunak
dapat dicurigai tumor bersifat ganas.
5. Pemeriksaan penunjang radiologi:
a. USG: pemeriksaan tidak invasive,penilaian lebih dititik beratkan pada ada
tidaknya tumor dan reflek tumor. Pemeriksaan USG sukar untuk
mendifferensiasikan jenis tumor.
b. CT-Scan: pemeriksaan ini cukup untuk mendiagnosis tumor orbita serta
membantu untuk penentuan penatalaksanaan selanjutnya. Untuk
membedakan sifat tumor, jinak atau ganas dengan menilai batas tumor.
c. Pemeriksaan MRI dan arteriografi pada kasus khusus yang mencurigai
fistula atau ingin mengetahui tumor berasal dari saraf optik.
6. Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam membedakan sifat ganas tumor. Akan
tetapi pemeriksaan penanda ganas tidak ada yang spesifik untk tumor orbita,
tetapi dengan penanda ganas asam sialat menunjukkan nilai kadar yang
berbeda bermakna.
7. Pemeriksaan fisik: untuk mencari adanya keganasan atau metastasis.
8. Pemeriksaan patologi anatomi:
a. Benjolan/ulkus di palpebra konjungtiva yang meragukan keganasan
dapat dilakukan biopsi eksisi untuk specimen pemeriksaan patologi
anatomi.
b. Massa orbita yang mudah teraba dapat dilakukan tindakan biopsi insisi
sebagai bahan specimen pemeriksaan patologi anatomi, kecuali bila
lokasi di daerah kelenjar lakrimal.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tumor orbita dapat terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Non bedah: pengobatan dengan steroid
2. Pembedahan:
a. Biopsi eksisi/insisi.
b. Eksisi luas dan rekonstruksi.
c. Enukleasi dengan/tanpa dermofatgraft
d. Orbitotomi lateral.
e. Osteoplasti orbitotomi transkranial.
3. Pengobatan tambahan (adjuvant therapy): radiasi dan sitostatika.

54
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan
pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2
mg/kgBB)setiap hari selama 2minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika
tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk.
2. Pada tumor epithel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan
ekstirpasi dengan meninggalkan jaringan sehat. Pada tumor epithel yang dicurigai
ganas, dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang
ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjtkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.
Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk.
3. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak,
ganas, ataupun metastasis/invasi, sebaiknya langsung dirujuk.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan
pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2
mg/kgBB)setiap hari selama 2minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika
tidak berhasil sebaiknya penderita dirujuk.
2. Pada tumor epithel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan
ekstirpasi dengan meninggalkan jaringan sehat. Pada tumor epithel yang dicurigai
ganas, dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang
ditinggalkan. Pemeriksaan dilanjtkan dengan pemeriksaan patologi jaringan tumor.
Jika diagnosis meragukan, sebaiknya dirujuk.
3. Jika meragukan melakukan tindakan, terutama pada tumor orbita, baik jinak,
ganas, ataupun metastasis/invasi, sebaiknya langsung dirujuk. Jika memungkinkan
dapat dilakukan tindakan biopsi insisi untuk pemeriksaan patologi.
4. Penetalaksanaan selanjtnya dapat dirujuk untuk tindakan pembedahan, radiasi,
ataupun sitostatika.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Jika dicurigai tumor jinak dan diagnosis dibuat pseudotumor dapat diberikan
pengobatan steroid oral, seperti prednisone dosis tinggi 12-16 tablet (2
mg/kgBB)setiap hari selama 2minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Jika
tidak berhasil dapat diberikan sitostatika agent seperti chlorambucil.dengan
pengawasan ahli hematology.
2. Pada tumor epithel adneksa, berukuran kecil dan diduga jinak, dapat dilakukan
ekstirpasi dengan meninggalkan jaringan sehat. Pada tumor epithel yang dicurigai
ganas, dapat dilakukan eksisi dengan memperhatikan jaringan sehat yang
ditinggalkan. Pada tumor yang lebih luas, eksisi dengan rekonstruksi. Pada tumor
yang lanjut dan telah berinvasi ke orbita dilakukan tindakan pembedahan radikal
eksenterasi orbita. Pengobatan tambahan radiasi atau sitostatika dapat diberikan.
Pada tumor konjungtiva, karsinoma sel skuamosa stadium 1 setelah ekstirpasi tumor
dapat dilanjutkan dengan pemberian mitomycin. Pemeriksaan patologi jaringan
tumor harus dilakukan.
3. Pada tumor orbita, baik jinak, ganas, ataupun metastasis/invasi sebaiknya
dilakukan tindakan biopsi insisi untuk pemeriksaan patologi. Penatalaksanaan
sebelumnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang, terutama CT-Scan untuk
mengetahui dengan tepat lokasi tumor.

55
TERBATAS

4. Selanjutnya dapat dilakukan pembedahan, jenis pembedahan sesuai dengan


lokasi dan jenis tumor. Pemberian terapi tambahan radiasi dan sitostatika dapat
diberikan sesuai kebutuhan dan sesuai dengan patogenesa jenis tumor, dengan
kerja sama antar disiplin.

DIABETIC RETINOPATI
Diabetic retinopati adalah suatu mikroangiopati yang mengenai prekapiler retina, kapiler
dan venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler,
akibat kadar gula darah yang tinggi dan lama. Terapi yang ada saat ini adalah laser
fotokoagulasi, vitrektomi dan krioterapi. Hasil pengobatan laser fotokoagulasi lebih
kearah mempertahankan penglihatan yang dibandingkan memperbaiki. Terapi vitrektomi
lebih keaah memperbaiki kerusakan yang ada, dengan prognosis tergantung kerusakan
yang ada. Kontrol gula darah penting untuk memperlambat proses. Diabetic retinopati
akan selalu timbul, umumnya lebih diatas 5 tahun, walaupun gula darah selalu
terkontrol.

Gejala dan tanda klinis


1. Riwayat kencing manis (NIDDM/IDDM)
2. Mata tenang dengan atau tanpa penurunan visus.
3. Berubahnya ukuran kacamata dalam waktu yang singkat.
4. Bilik mata depan (BMD) tenang, tapi dapat ditemukan tanda peradangan ringan
seperti flare dan sel ringan.
5. Pada keadaan berat dapat ditemukan neovaskularisasi iris (rubeosis iridis).
6. Reflek cahaya pada pupil normal, pada kerusakan retina yang luas dapat
ditemukan RAPD (Relative Aferen Pupillary Defect), penurunan reflek pupil pada
cahaya langsung dan tal langsung normal.
7. Vitreus jernih, dalam keadaan berat dapat ditemukan perdarahan dan jaringan
fibro vascular.
8. Retina dapat ditemukan perdarahan pre, intra, dan subretina, eksudat keras dan
lunak, pelebaran vena, mikro aneurisma dan neovascularisasi di papil atau ditempat
lain di retina.

Evaluasi
Pemeriksaan dilakukan pada semua penderita diabetes pada saat pertama kali datang.
Pemeriksaan meliputi pemeriksaan visus, tekanan bola mata, segmen anterior dan
segmen posterior.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


1. Anamnesis semua penderita diabetes mengenai keluhan penglihatan
2. Pemeriksaan visus dengan snellen chart
3. Pemeriksaan TIO dengan tonometri Schiotz
4. Pemeriksaan reflek cahaya pada pupil baik langsung maupun tidak langsung.
5. Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan oftalmoskop direk, apakah ada
perdarahan, eksudat, atau kekeruhan vitreus

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan mata dasar meliputi visus, TIO, kedudukan bola mata, pergerakan
bola mata, segmen anterior dan posterior.

56
TERBATAS

2. Pemeriksaan segmen anterior dengan menggunakan slit lamp untuk melihat


apakah ada epiteliopati kornea, flare dan sel BMD, RAPD, neovaskularisasi iris,
tingkat kekeruhan lensa, kekeruhan vitreus.
3. Pemeriksaan segmen posterior dengan menggunakan oftalmoskop indirek, untuk
melihat kekeruhan vitreus karena perdarahan atau adanya jaringan fibro-vaskular,
perdarahan retina, eksudat, pelebaran vena, intra retinal mikrovascular anomaly
(IRMA) dan neovaskularisasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Selain pemeriksaan mata dasar dilakukan penunjang antara lain:
1. Fundus fluorescence Angiography (FFA),dilakukan apabila ada indikasi.
2. USG, bila terdapat kekeruhan media dan fundus tidak tembus.
3. ERG.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Selksi pasien, ada diabetes atau tidak. Bila ditemukan adanya diabetes melitus,
pasien dikonsulkan ke dokter spesialis penyakit dalam untuk mengontrol gula
darahnya dan apabila dari anamnesis penyakit diabetes diderita sudah lebih dari 2
evaluasi lebih lanjut. Apabila diabetes diderita kurang dari 2 tahun, pasien pasien
dikonsul bilamana keadaan memungkinkan.
2. Apabila dari anamnesis tidak diketahui lamanya diabetes diderita.
3. Apabila funduskopi tersedia dan gambaran fundus dapat dinilai, adanya
retinopati merupakan indikasi untuk rujukan ke tingkat yang lebih tinggi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Seperti tindakan pada PEC.
2. Pasien dengan diabetic retinopati stadium non proliferatif(NPDR) ringan dan
sedang, dievaluasi setiap 3 bulan kontrol gula darah dilakukan oleh dokter spesialis
penyakit dalam.
3. Pasien dengan NPDR berat, yaitu apabila ditemukan salah satu dibawah ini:
a. Perdarahan intra retina 4 kwadran
b. Pelebaran vena 2 kwadran.
c. Intra retina mikrovaskular abnormalism 1 kwadran.
Pasien dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tertier.
4. Pasien dengan proliferatif diabetic retinopati (PDR), yaitu dengan adanya
perdarahan vitreus dan pertumbuhan jaringan fibro vascular di vitreus, dirujuk ke
pelayanan kesehatan mata tersier.
5. Apabila ditemukan katarak yang mempersulit evaluasi segmen posterior, dapat
dilakuka operasi,dengan penjelasan akan prognosis penglihatan dan kemungkinan
retinopati bertambah berat setelah operasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti tindakan pada SEC
2. Pasien dengan NPDR berat dengan/tanpa CSME, dilakukan terapi fotokoagulasi
laser
3. Operasi vitrektomi dilakukan apabila terdapat perdarahan vitreus,pertumbuhan
jaringan fibrovaskular di retina, persistent macular edema dan ablasio retina traksi.

57
TERBATAS

DEGENERASI MACULA KARENA USIA (age Related Macular Degeneration


[ARMD])
Defenisi secara umum adalah kerusakan macula degeneratif pada usia diatas 50 tahun.
Terdapat 2 bentuk yaitu tipe basah (20%) dan tipe kering (sekitar 80%). Tipe basah
merupakan tipe yang lebih progresif, yang dapat menimbulkan kerusakan macula dan
menyebabkan kebutaan permanent apabila berlangsung tanpa pengobatan. Kerusakan
tersebut terjadi dalam sekitar 2 minggu sejak ditemukan. Kerusakan pada salah satu
mata berarti resiko timbul pada mata sebelahnya meningkat 10-12 % pertahun seiring
bertambahnya usia, sehingga usia semakin tua resiko semakin tinggi. Faktor resiko
adalah usia lanjut (usia semakin lanjut resiko semakin tinggi), riwayat keluarga,
merokok, hipertnsi, dan hipermetropia.

Gejala dan tanda klinis


Geala klinis
1. Kehilangan penglihatan sentral/parasentral secara bertahap, pada tipe basah
berlangsung lebih cepat (sekitar 2 minggu). Kehilangan ini dapat berlangsung tanpa
gejala apabila penderita tidak menyadari, terutama bila penglihatan pada mata
sebelahnya masih baik.
2. Pada kondisi awal, penderita mengeluh melihat benda/garis lurus melengkung
(metamorfopsia) dan akan lebih jelas bila menggunakan uji Amsler.

Tanda klinis
1. Pada kondisi awal, pada funduskopi ditemukan lesi di macula berupa drusen,
pengumpulan pigmen epitel retina (RPE) di retina luar, atropi RPE, atropi geografik,
atau lesi neovaskular (choroidal neovascular membrane [CNVM]), di
macula/paramacula dan pada keadaan lebih lanjut timbul skotoma/bintik buta
disentral/parasentral.
2. Pada tipe basah sering ditemukan perdarahan subretina, eksudat subretina,
fibrosis subretina (jaringan parut disciformis) atau perdarahan preretinal/subhyaloid
hingga perdarahan vitreus.
3. Kelainan yang ditemukan umumnya bilateral.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Anamnesis mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas.
Kecurigaan akan ARMD memerlukan uji pemeriksaan Amsler, apabila ditemukan
metamorfobsia, skotoma atau gambaran lain yang meragukan maka kemungkinan
ARMD harus disingkirkan sampai terbukti tidak. Kesulitan akan timbul apabila ada
katarak, mengingat penderita adalah usia diatas 50 tahun. Apabila ada kecurigaan,
penderita dirujuk ke pelayanan kesehatan mata tersier (TEC) yang memiliki fasilitas
untuk diagnostic dan pengobatan. Setiap pemeriksaan harus diperiksa kedua mata.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Melakukan evaluasi seperti pelayanan di PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus
untuk evaluasi macula/posterior pole dengan seksama. Pemeriksaan menggunakan
funduskopi langsung/tidak langsung, lensa ‘condensed’ 60-90 D atau lensa kontak
fundus. Pemeriksaan dengan fluoresens angiograpi atau kampimetri dapat dilakukan

58
TERBATAS

bila tersedia. Pemeriksaan di SEC sudah dapat menentukan apakah kasus tersebut
memerlukan tindakan lebih lanjut. Kasus dengan sikatriks macula luas (geografik atropi)
dan tajam penglihatan yang buruk sudah tidak memerlukan pemeriksaan fluoresen
angiograpi (FA), kampimetri dan tidak perlu pengobatan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan seperti di SEC, pemeriksaan FA, kampimetri, elektrofisiologi.
Angiografi ICG dan OCT hanya bila ada harapan untuk pengobatan/tindakan lebih
lanjut.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC) dan sekunder (SEC)
Apabila tidak ada kecurigaan, tetapi ada keluhan, penderita dapat melakukan uji Amsler
sedikitnya setiap minggu, umumnya dengan meletakkan kartu uji Amsler di depan
cermin. Saat ini tidak ada pengobatan terpilih untuk ARMD, tetapi pemberian suplemen
oral yang mengandung anti oksidan seperti vitamin A,C, dan E dan mineral ‘trace’seperti
selenium, zincum sudah terbukti bermanfaat sebelum ada kerusakan, disamping
mengurangi faktor resiko seperti disebutkan sebelumnya.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan sepeerti pada PEC dan SEC. apabila ditemukan CNVM maka
tindakan laser harus dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 72 jam setelah FA.
Laser Argon hijau/hijau-biru, diode hijau/merah diberikan pada daerah luar fovea
avascular zone (FAZ). FAZ adalah daerah 500 mikron di fovea. Lesi CNVM yang
mengenai daerah FAZ memerlukan evaluasi seksama tentang tipe lesi, tipe klasik,
tersembunyi (occult) atau campuran, dan jenis lainnya seperti pigmen epithelial
detachment, subretinal hemorrhage, dsb. Fotodynamic therapy (PDT) hanya
diindikasikan pada lesi yang mengenai FAZ dan lesi klasiknya minimal mencapai 50%.
Pada lesi tersembunyi campuran; pigmen apithelial detachment, subretinal hemorrhage;
saat ini tindakan yang sudah dilaporkan bermanfaat adalah transpupillary thermotherapy
(TTT) dan macular translocation surgery.
Pada pusat layanan dimana tersedia laser Argon/diode dan pasien mempunyai lesi
CNVM yang mengenai fovea dengan ukuran lesi < 3,5 disc area, pengobatan laser
thermal dapat dilakukan jika pasien menolak untuk tindakan TTT/ PDT/ macular
translocation

ENDOFTALMITIS
Endoftalmitis adalah infeksi intraokuler yang umumnya melibatkan seluruh jaringan
segmen anterior dan posterior mata. Penyakit ini berhubungan dengan proses infeksi
(infectious endophthalmitis), atau kelainan non infeksi (non infectious endophthalmitis)
seperti sisa massa lensa, substansi toksik yang mengakibatkan respons inflamasi (steril
endophthalmitis). Penyakit ini umumnya didahului oleh trauma tembus pada bola mata,
ulkus kornea perforasi, riwayat operasi intraokuler (seperti ekstraksi katarak, operasi
filtrasi, vitrektomi). Endoftalmitis dapat juga terjadi secara endogen akibat
mikroorganisme menyebar melalui darah (hematogen) dari sumber infeksi lain, terutama
pada pasien dalam keadaan imunokompromis. Angka kejadian endoftalmitis pasca
operasi katarak di Negara maju adalah 0,1 %.

59
TERBATAS

Gejala klinis
1. Penurunan tajam penglihatan
2. Mata merah, bengkak, nyeri.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Riwayat trauma tembus bola mata, riwayat operasi intraokuler atau keadaan
infeksi kornea yang memburuk yang ditemukan saat anamnesis.
2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu snellen dan menggunakan pin-
hole.
3. Pemeriksaan dengan lampu senter dan lup untuk melihat keadaan kornea, bilik
mata depan, dan penurunan refleks fundus.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Seperti pada fasilitas primer.
2. Pada pasien pasca operasi intraokuler, disebut akut apabila endoftalmitis
ditemukan 1-14 hari pasca operasi an kronik setelah lebih 2 minggu.
3. TIO diukur dengan tonometri Schiotz apabila kornea intak atau per palpasi
apabila didapatkan keratitis/ulkus kornea.
4. Pemeriksaan dengan slit lamp untuk menilai keadaan kornea dan segmen
anterior lainnya:
a. Keadaan luka operasi buruk, seperti jahitan longgar, wound gap,
kebocoran luka operasi, phlebitis.
b. Pada keratitis/ulkus kornea yang menginfiltrasi jauh kedalam
kornea, mencari kemungkinan adanya perforasi kornea atau abses kornea.
c. Respon inflamasi di bilik mata depan berupa cells, flare, dan
hipopion.
d. Plak putih di intraokuler
e. Penurunan refleks fundus
f. Reaksi inflamasi di vitreus berupa cells, flare, apabila keadaan
retrolental masih dapat terlihat.
5. Pemeriksaan USG apabila media refraksi keruh untuk menilai segmen posterior.
6. Pemeriksaan tap vitreus dan cairan bilik mata depan dengan pewarnaan gram,
KOH 10 % dan kultur agar darah, tioglikolat, dan saboraoud dan uji resistensi.
7. Pada kasus endoftalmitis yang disebabkan oleh ulkus kornea, dilakukan
pemeriksaan kerokan korna dengan pewarnaan gram, KOH 10 % dan kultur agar
darah, tioglikolat, dan saboraoud.
8. Pada kasus pasca trauma, dilakukan foto roentgen orbita untuk mencari benda
asing intraokuler.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Seperti pada fasilitas sekunder.
2. Pemeriksaan CT-Scan pada kasus trauma tembus untuk mencari benda asing
intraokuler.
3. Pemeriksaan metallocator untuk mencari benda asing metal intraokuler.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Pada endoftalmitis diberikan antibiotik topikal dan sistemik spektrum luas.
2. Segera rujuk ke spesialis mata.

60
TERBATAS

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pasien dirawat untuk membantu menegakkan diagnosis.
2. Endoftalmitis pasca operasi dan pasca trauma, diberikan antibiotik kombinasi
Gram positif (vankomisin, sefazolin, sefotaxim) dan Gram negatip (gentamisin,
tobramisin, amikasin).intravitreal masing-masing 0,1 ml. intravena antibiotik
spektrum luas (seftazidim, klaforan, dibeksin, gentamisin, tobramisin).
3. Bila disebabkan oleh ulkus kornea:
a. Bila didapatkan bakteri dari pewarnaan Gram dan tidak
ditemukan hifa jamur, berikan antibiotik tetes mata gentamisin, tobramisin,
dibekasin fortified atau golongan kuinolon (ofloxacin, ciprofloxacin) tiap jam, anti
biotic golongan fluro kuinolon per oral seperti ciprofloxacin 2 kali 750 mg.
b. Bila kerokan kornea didapatkan hifa jamur, berikan tetes mata
natamisin 5% tiap jam, flukonazol (diflucan, solnazol) tiap jam, dan zalf mata
natamisin 5% 3 kali sehari. Bila pasien mampu, berikan tetes mata amfoteresin B
0,15% tiap jam (tetes mata amfoteresi B 0,15% dapat dibuat dengan me
modifikasi sediaan bubuk 50 mg untuk pemberian intravena). Keadaan kornea
diperiksa tiap hari hingga didapatkan adanya kemajuan pengobatan, yang
kemudian frekwensi pemberian dapat dikurangi hingga 3-5 minggu.
4. Berikan injeksi intraviteal antibiotika apabila dicurigai endoftalmitis bacterial,
antibiotika yang diberikan haruslah mempunyai spektrum luas dan merupakan
kombinasi dari 2 golongan antibiotika. Umumnya pilihan pertama diberikan
vankomisin 1mg/0,1 ml dan seftazidim 2,25 mg/0,1 ml. pilihan lain sefazolin 2,25
mg/0,1 ml dikombinasi dengan tobramicin 0,1-0,2 mg/0,1 ml.
5. Apabila dicurigai endoftalmitis jamur, berikan injeksi intraviteal amfoteresin B
2,25 mg/0,1 ml. vitreus tap harus dilakukan sebelum dilakukan injeksi intravitreal.
6. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah tetes mata sikloplegik dan anti-
glaukoma apabila didapatkan peningkatan TIO.pemberian analgetik apabila
diperlukan.
7. Lakukan pemeriksaan gula darah puasa dan 2 jam PP sebagai salah satu faktor
resiko ulkus kornea.
8. Rujuk ke spesialis mata konsultan infeksi dan imunologi mata atau klinik mata
tersier bila tidak didapatkan kemajuan terapi setelah 3 hari pengobatan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pasien dirawat untuk membantu menegakkan diagnosis.
2. Penatalaksanaan seperti fasilitas sekunder dan dilakukan vitreoktomi pars plana
dengan injeksi intravitreal seperti pada fasilitas sekunder.
3. Bila visualisasi vitreus sulit dilakukan karena kekeruhan kornea, maka lakukan
injeksi antibiotika intravitreal

RETINOPATI PREMATURITAS (ROP)


Retinopati prematuits atau retinophaty of prematurity (ROP) adalah kelainan retina
vasoproliferatif yang disebabkan imaturitas vascular pada bayi-bayi premature dan BBL
rendah. Kelainan yang terjadi dapat ringan tanpa defek penglihatan, atau progresif
hingga menyebabkan kebutaan. Insiden ROP meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah bayi dengan berat badan makin rendah dan usia gestasi makin muda yang
bertahan hidup. Terapi oksigen pada bayi premature dibuktikan bukan merupakan satu-
satunya faktor penyebab ROP.penyebab ROP adalah multifaktorial, dan berbagai faktor

61
TERBATAS

resiko masih terus diteliti hingga saat ini. Umumnya penyakit ini regresi spontan, dan
apabila dilakukan tindakan laser/krio/bedah umumnya masih ditemukan masalah seperti
miopia, strabismus, ablation dikemudian hari. Tindakan bedah umumnya memberi hasil
anatomis baik, tapi fungsional memelukan evaluasi jangka lama dan hasilnya dapat
tidak menggembirakan.

Gejala dan tanda


1. Setiap bayi dengan resiko ROP sebaiknya menjalani screening atau penapsian
untuk ROP.
2. Kelompok dengan resiko tertinggi terjadinya ROP adalah bayi neonatus dengan
usia gestasi saat lahir 32 minggu atau kurang. Dengan BB lahir 1500 Gram atau
kurang. ROP masih dapat ditemukan paa bayi dengan usia gestasi saat lahir 33-36
minggu dan BB lahir 1500-2000 gram, dengan keadaan klinis yang buruk/tidak stabil
seperti distress pernafasan, penyakit jantung, dll.
3. Diagnosis ROP dilakukan berdasarkan International Classification of Retinopathy
Prematurity (ICROP), yang menentukan derajat ROP berdasarkan lokasi (zona
I,II,III), luas (jumah kuadran yang terlibat), tingkat keparahan (dalam stadium 1
hinnga 5), dan adanya plus disease.

Klasifikasi ROP menurut ICROP

klasifiasi defenisi
Lokasi:
Zona I Daerah posterior retina berbentuk lingkaran dengan radius 60º
(dua kali jarak papil saraf optik ke pusat macula) dengan papil
saraf optik sebagai pusatnya.

Zona II Lingkaran konsentris diluar zona II, engan ora serata bagian nasal
sebagai batas nasalnya

Zona III Daerah retina temporal perifer (temporal crescent) yang tersisa

Luas: Daerah lesi dalam hitungan jam


Tingkat
keparahan :
Stadium 1 Terbentuknya garis demarkasi (demarcation line) antara daerah
retina avascular dan vascular
Stadium 2 Ridge intreretina, Diana garis demarkasi sudah menebal, atau
memiliki tinggi, lebar, dan volume

Stadium 3 Proliferasi jaringan fibrovascular ekstraretina (ringan, sedang, atau


berat) pada ridge, di permukaan posterior ridge atau di permukaan
anteriornya (kearah rongga vitreus)

Stadium 4 Ablasi retina subtotal

4A Fovea masih attached

4B Fovea sudah mengalami ablasi

62
TERBATAS

Stadium 5 Ablasi retina total dengan bentuk corong (funnel-shaped) terbuka


(open funnel) atau tertutup (narrow funnel) pada bagian anterior
dan posterior nya

Plus disease Pembuluh darah retina yang melebar dan berkelok-kelok di polus
posterior, yang dapat disertai pelebaran pembuluh darah iris, pupil
yang rigid dan kekeruhan vireus. Plus disease dapat ditemukan
pada semua stadium, dan menggambarkan tingkat keparahan
yang makin tinggi.

Dalam pemeriksaan penting untuk mengidentifikasi adanya threshold disease, yaitu


apabila ditemukan:

1. Di zona I terdapat ROP stadium 1+, 2+, atau 3+.


2. Di zona II terdapat ROP stadium 3+ seluas 5 jam berurutan atau lebih, atau 8
jam kumulatif atau lebih.

Threshold disease bila disertai plus disease merupakan indikasi untuk melakukan
tindakan terapi laser atau krio. Pada stadium lanjut seperti stadium 4 dan 5 memerlukan
terapi bedah.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Bayi neonatus dengan resiko ROP yang memerlukan screening (seperti tertera dalam
butir A), atau balita/anak dengan kecurigaan riwayat ROP sebaiknya dirujuk ke
pelayanan kesehatan mata sekunder untuk menjalani pemeriksaan.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan dilakukan pada Bayi neonatus dengan resiko ROP yang
memerlukan screening (seperti tertera dalam butir A), atau balita/anak dengan
kecurigaan riwayat ROP
2. Screening ROP sebaiknya dilakukan pada usia 4-6 minggu setelah lahir, atau
pada usia koreksi (usia gestasi + post natal) 31-33 minggu. Pemeriksaan sebaiknya
dilakukan di bangsal perawatan bayi, di lingkungan yang nyaman untuk bayi
(misalnya dalam incubator/box bayi/tempat pemeriksaan bayi dengan pemanas)
dengan manipulasi bayi seminimal mungkin. Pemeriksaan selanjutnya 2-3 minggu
kemudian, dan 1-2 hari apabila ditemukan threshold disease atau plus disease.
3. Teknik pemeriksaan fundus:
a. Setengah jam sebelum pemeriksaan, kedua mata bayi ditetesi
tropikamid 0,5% dan efrisel 2,5% diulang 5 menit kemudian (hanya 2 kali). Obat
tetes ini dapat dibuat dengan mencampur 0,3cc tropikamid dengan 0,1cc efrisel
10%. Setiap tetes yang keluar dari kelopak mata segera dibersihkan kain yang
lembut.
b. Pemeriksaan dilakukan dengan oftalmoskop indirek,
menggunakan condensing lens 20D atau 28D.

63
TERBATAS

c. Pemeriksaan dapat menggunakan spektrum palpebra Barraquer


untuk bayi apabila kesulitan untuk membuka palpebra. Indentasi ringan pada
sclera dapat dilakukan untuk melihat fundus perifer.
4. Berdasarkan hasil pemeriksaan, diagnosis ROP dilakukan menurut klasifikasi
ROP oleh ICROP.
5. Neonatus dirujuk ke TEC apabila ditemukan plus disease, atau threshold
disease.
6. Sebaiknya bayi dikonsulkan ke pelayanan kesehatan mata tersier apabila:
a. Tidak dapat melakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop
indirek.
b. Dengan oftalmoskop indirek ditemikan/diduga adanya kelainan
fundus, tetapi sukar untuk melakukan klasifikasi ROP.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan dilakukan pada Bayi neonatus dengan resiko ROP yang
memerlukan screening (seperti tertera dalam butir A), atau balita/anak dengan
kecurigaan riwayat ROP
2. Pemeriksaan seperti pada SEC.
3. Pemeriksaan pada balita/anak dengan regresi ROP meliputi pemeriksaan
oftalmologis lengkap, pemeriksaan tajam penglihatan subjektif pada balita/anak
dapat dilakukan, sesuai dengan tingkatan usia dan kemampuan balita/anak.
4. Teknik pemeriksaan fundus seperti pada SEC.
5. Menentukan gambaran fundus neonatus yang merupakan indikasi untuk terapi
laser/krio/bedah.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Bayi neonatus dengan resiko ROP yang memerlukan screening (seperti tertera dalam
butir A), atau balita/anak dengan kecurigaan riwayat ROP sebaiknya dirujuk ke
pelayanan kesehatan mata sekunder untuk menjalani pemeriksaan.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Setiap bayi neonatus premature atau dengan resiko ROP sebaiknya menjalani
pemeriksaan mata selama perawatan.
2. Bila tidak ditemukan ROP atau ditemukan ROP ringan, bayi diperiksa ulang
setiap 2-3 minggu hingga vaskulariasi retina lengkap, atau didapatkan regresi.
3. Bila menemukan threshold disease, plus disease, atau gambaran lain yang
meragukan segera rujuk ke TEC untuk menjalani pemeriksaan/penatalaksanaan
lebih lanjut.
4. Pada balita/anak dengan riwayat ROP, dilakukan penatalaksanaan sesuai
dengan kelainan mata yang ditemukan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Setiap bayi neonatus premature atau dengan resiko ROP sebaiknya menjalani
pemeriksaan mata selama perawatan.
2. Bila tidak ditemukan ROP atau ditemukan ROP ringan, bayi diperiksa ulang
setiap 2-3 minggu hingga vaskulariasi retina lengkap, atau didapatkan regresi.
3. Bila menemukan threshold disease, plus disease dan dalam pemantauan 1-2
hari bertambah berat, segera dilakukan terapi dalam kurun waktu 24-72 jam. Terapi
bersifat ablative, yang pada prinsipnya bertujuan mematikan daerah perifer yang
avaskular.

64
TERBATAS

4. Modalitas terapi meliputi:


a. Krioterapi: sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum karena
menyebabkan rasa sakit yang hebat serta bahaya lainnya seperti bradikardia
dan apnea. Krioterapi menyebabkan kerusakan jaringan yang luas (seluruh
ketebalan dinding boa mata).
b. Fotokoagulasi laser: dengan indirect ophtalmoscope delivery, dapat
menggunakan laser argon atau diode. Prosedur ini tidak menimbulkan kerusakan
seluas krioterapi (lebih terfokus pada jaringan dan tidak melibatkan seluruh
ketebalan dinding bola mata). Selain itu, rasa sakit dan efek sistemik yang terjadi
lebih rendah sehingga laser merupakan pilihan terapi utama. Tindakan ini
dilakukan diruangan neonatal ICU dengan pengawasan neonatologist/anesthetist
mengingat kemungkinan bradikardia apnea tetap ada, atau diruangan lain
dengan pengawasan.
c. Evaluasi ulang dapat dilakukan beberapa hari kemudian tergantung
kondisi, dan kemungkinan terapi tambahan laser/krio/bedah.
5. Bila menemukan ROP stadium 4 atau 5, dapat dilakuka prosedur scleral buckling
atau vitrektomi. Scleral buckling dilakukan pada ablasi retina yang dangkal akibat
traksi jaringan fibrovascular yang mengalami sikatrisasi, terutama bila macula belum
terangkat. Vitrektomi dapat dilakukan dengan atau tanpa pemasangan sceral buckle,
juga dengan atau tanpa lensektomi. Teknik vitrektomi open-sky dilakukan bila
terdapat kekeruhan kornea. Umumnya, prognosis ROP tetap buruk walaupun telah
menjalani tindakan bedah.
6. Bila ditemukan balita/anak dengan resiko ROP, dilakukan penatalaksanaan
sesuai dengan kelainan mata yang ada.

SUMBATAN VENA RETINA


Manifestasi klinis dapat berupa:
1. sumbatan vena retina (central retinal vein occlusion [ CRVO]), bila sumbatan
mengenai seluruh kuadran retina.
2. sumbatan vena retina hemisentral (hemicentral retinal vein occlusion [HCVO]),
bila sumbatan mengenai setengah dari bagian dari retina.
3. sumbatan vena retina cabang (branch retinal vein occlusion [BRVO]), bila
mengenai salah satu kuadaran dari retina, umumnya di superior.
Sumbatan pada aliran vena retina ini akan menimbulkan Tekanan intra vascular yang
meningkat dan hambatan pada aliran darah balik. Peningkatan tekanan intravascular
selanjutnya dapat mmenyebabkan terjadinya edema dan perdarahan. Sumbatan pada
aliran darah balik akan mengakibatkan gangguan perfusi ringan yang dapat
menyebabkan iskemia jaringan retina, dan secara klinis tampak sebagai eksudat lunak
(cotton wool spot [CWS]), atau capillary non perfussion pada pemeriksaan FFA.
Luasnya daerah retina yang iskemi dapat merangsang pertumbuhan neovaskular retina.
Faktor-faktor predisposisi adalah penyakit kardiovaskuler, hipertensi sistemik, diabetes
melitus. Umumnya dibedakan antara tipe iskemik dan non iskemik. Tipe iskemik
mempunyai konsekuensi lebih serius seperti timbulnya komplikasi neovaskularisasi
retina hingga perdarahan vitreus, atau neovaskularisasi iris/ sudut hingga timbul
glaukoma neovaskular.

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
Sumbatan vena retina sentral/ cabang.

65
TERBATAS

Penurunan tajam penglihatan sentral/parasentral secara mendadak tanpa disertai mata


merah.

Tanda klinis
Sumbatan vena retina sentral
1. Perdarahan berbentuk lidah api (flame shaped) luas, mencakup seluruh kuadran
retina, dengan vena retina yang berdilatasi dan berkelok-kelok.
2. Tanda klinis lain yang dapat menyertai berupa eksudat lunak, edema papil saraf
optik, edema macula. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul pembuluh darah
kolaeral pada papil saraf optik, retina atau iris. Neovaskularisasi iris paling jelas
terlihat ditepi pupil dengan pembesaran maksimal pada slit lamp biomicroscopy
sebelum dilakukan dilatasi.
3. Dibedakan 2 jenis:
a. Tipe iskemik, tanda yang umum ditemui:
1) Eksudat lunak multiple
2) Perdarahan retina luas
3) Capillary non perfusion luas pada pemeriksaan FFA.
4) Kadang disertai dengan relative afferent papillary defect (RAPD).
5) Visus lebih buruk dari 6/60 (20/400).
b. Tipe non iskemik
1) Gambaran fundus secara klinis lebih ringan dari tipe iskemik
2) Tidak ada RAPD.
3) Visus lebih baik dari 6/60.

Sumbatan vena retina cabang


1. Perdarahan retina sektoral, sesuai dengan distribusi vena retina yang mengalami
sumbatan. Perdarahan tidak pernah melewati garis tengah horizontal.
2. Lokasi sumbatan biasanya pada persimpangan arteri-vena.
3. Tanda klinis lain yang dapat menyertai dapat berupa eksudat lunak, edema
macula atau retina, vena retina yang berdilatasi dan berkelok-kelok, penyempitan
lumen arteri, neovaskularisasi iris paling jelas terlihat di tepi pupil dengan
pembesaran maksimal pada slit lamp biomicroscopy sebelum dilakukan dilatasi.
4. Dibedakan antara tipe iskemik dan non iskemik.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Melakukan anamnesis terhadap gejala/keluhan yang timbul serta investigasi terhadap
faktor-faktor predisposisi. Pemeriksaan tajam penglihatan dan segmen anterior
sederhana untuk menemukan tanda-tanda klinis yang berhuungan pada kedua mata.
Funduskopi direk akan sangat berguna dalam menegakkan diagnosis dan melakukan
rujukan kasus ke tingkat yang lebih tinggi (sekunder/ tertier).

Pelayanan kesehatan mata sekunder


Melakukan evaluasi seperti pada pelayanan primer, ditambah dengan pemeriksaan
oftalmologis yang lebih spesifik, seperti:
1. Mengukur TIO
2. Gonioskopi untuk mendeteksi ada tidaknya neovaskularisasi pada sudut bilik
mata depan.

66
TERBATAS

3. Slit lamp biomicroskopi dan funduskopi indirek untuk menilai derajat keparahan
fundus secara keseluruhan dan mengetahui ada tidaknya komplikasi
neovaskularisasi.
Apabila ditemukan kecurigaan kearah iskemik, penderita dirujuk ke tingkat TEC untuk
penatalaksanaan lebih lanjut.

Sumbatan vena retina sentral


1. Non iskemik
Setiap 4 minggu pada 6 bulan pertama setelah onset, bila ada perburukan pada
gambaran fundus, maka diperlakukan sebagai tipe iskemik.
2. Iskemik
Setiap 3-4 minggu pada 6 bulan pertama, awasi tanda-tanda neovaskularisasi
terutama di iris atau sudut bilik mata depan. Pemeriksaan gonioskopi dapat
dilakukan pada setiap kunjungan. Bila timbul neovaskularisasi, penderita dirujuk ke
TEC untuk terapi laser.

Sumbatan vena retina cabang


Setiap 1-2 bulan sekali, kemudian dilanjutkan setiap 3-12 bulan, untuk menilai tanda-
tanda edema macula dan neovaskularisasi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan evaluasi seperti pada SEC dan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan
lanjutan seperti fluorescence angiograft sudah dapat menentukan jenis iskemik atau non
iskemik dan luasnya kerusakan serta edema macula. Pemeriksaan seperti
elektroretinograft dapat membantu penggolongan lebih tepat, untuk menentukan sikap
selanjtunya. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan untuk menilai luasnya kerusakan.

Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)


Setelah mendapatkan hasil dari investigasi faktor-faktor resiko, penatalaksanaan dapat
diberikan sesuai dengan kelainan sistemik yang ada. Memberikan konseling pada
penderita akan pentingnya mengontrol faktor sistemik serta resiko serangan pada mata
sebelahnya. Penderita dapar di rujuk ke disiplin ilmu lain seperti penyakit dalam apabila
ada penyakit lain/sistemik yang menyertai.

Pelayanan kesehatan mata sekunder


Seperti yang dilakukan pada PEC, selain faktor sistemik, faktor ocular yang dapat diatasi
adalah mengontrol TIO bila ditemukan tinggi (>20 mmHg) dengan obat-obatan anti
glaukoma.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan seperti pada PEC dan SEC, ditambah dengan terapi berupa fotokoagulasi
laser/krio. Pada sumbatan vena retina sentral, fotokoagulasi laser diindikasikan pada
tipe iskemik untuk mencegah komplikasi glaukoma neovaskuler. Sedangkan sumbatan
pada vena retina cabang, selain untuk mencegah neovaskularisasi, diindikasikan juga
pada edema macula. Laser/krio dapat juga diindikasikan untuk mengatasi glaukoma
neovaskuler yang timbul.

RETINA LEPAS (Retinal Detachment)


Defenisi secara umum adalah terlepasnya retina dari tempatnya melekat.
Terdapat 3 bentuk retina lepas (detachment), yaitu:

67
TERBATAS

1. Retina lepas dengan robekan (rhegmatogenous)


2. Akibat cairan serous dibawah retina tanpa robekan
(exudative) dan
3. Akibat tarikan akibat fibrosis vitreus seperti pada
proliferative diabetic retinophaty (PDR), retinophaty of prematurity (traksial
detachment)

Faktor resiko tergantung pada jenis RD, pada yang rhegmatogen adalah miopia, trauma,
vitreus prolaps, dsb. Pada tipe exudative adalah hipertensi, pre-eklampsia/eklampsia,
neoplasma, peradangan intra okuler (Vogt-Koyanagi Harada Disease, posterior scleritis,
dsb). Pada tipe traksial misalnya pada vascular disease sepeerti diabetes lama terutama
juvenile, bendungan vena retina, vasculitis retina, riwayat neonatus premature (ROP)
atau respiratory distress, dsb

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
1. kehilangan penglihatan ringan hingga berat, dengan defek lapang penglihatan.
2. Pada tipr rhegmatogen sering didahului oleh floaters, kilatan cahaya, bayangan
hitam yang berpindah-pindah.

Tanda klinis
Rhegmatogen
1. Ditemukan peniggian retina umumya mulai dari perifer dan dapat mencapai
posterior pole dengan cairan di bawah retina.
2. Retina nampak bergelombang, kadang ditemukan perdarahan vitreus. Di vitreus
ditemukan sel pigmen retina, tanda utama adalah robekan retina dengan cairan
dibawahnya.
3. Umumnya disertai dengan penurunan TIO, retina yang lepas tampak
bergelombang/rugae.
4. Kadang ditemukan afferent papillary defect (APD).
5. Pada yang kronis sering ditemukan pigmen epitel retina berbentuk garis lurus
(demarcation line) membatasi antara daerah retina lepas dengan yang masih
melekat, atau pada yang berat ditemukan fibrosis vitreus berat (proliferative vitreo-
retinophaty) hingga perlekatan retina hebat (star fold, napkins ring fixed fold, sub
retinal band, dsb).

Exudative
1. Ditemukan retina lepas dengan bentuk permukaan relative mulus, dengan cairan
di bawah retina.
2. Faktor resiko seperti disebutkan sebelumnya juga memberi tanda tersendiri
tergantung jenis penyakit yang menyertai.
3. Tidak ditemukan adanya robeka retina. Cairan sub retina biasanya bullous
dengan bentuk retina lepas sesuai dengan posture/posisi tubuh, cairan mencari
tempat yang paling rendah.
4. Pemeriksaan APD mungkin ditemukan.

Traksial
1. Ditemukan retina lepas, umumnya tidak terlalu tinggi kecuali pada ROP.
2. Retina yang lepas berhubungan dengan traksi/fibrosis yang terjadi didalam
vitreus, dengan detachment paling tinggi ditempat perlekatan traksi/fibrosis.

68
TERBATAS

3. Kadang disertai dengan robekan retina (Combined RD) akibat tarikan


fibrosis/traksi.
4. Tanda yang lain dapat ditemukan sesuai dengan penyakit yang
mendasari/penyerta.

Pemeriksaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Anamnesis mengenai lama kejadian, dan faktor resiko seperti disebutkan diatas.
Kecurigaan akan retinal detachment memrlukan uji konfrontasi. Pemeriksaan dengan
funduskopi langsung-apabila tersedia-memberi gambaran retina lepas atau perdarahan
retina, fibrosis vitreus dengan perlekatan retina dan tanda lain seperti disebutkan
sebelumnya.

Pelayanan kesehatan mata sekunder


Melakukan evaluasi seperti pada PEC, ditambah dengan pemeriksaan fundus untuk
evaluasi retina. Pemeriksaan fundus sebaiknya dilakukan dengan funduskopi tidak
langsung atau dengan condensed wide angle lens (mainster ocular®, super field Volk®,
super pupil Volk®) atau goldmann 3-mirror.
Seluruh retina lepas harus dianggap sebagai rhegmatogen sampai terbukti tidak
rhegmatogen. Pemeriksaan kampimetri dapat dilakukan sebagai penunjang.
Pemeriksaan di SEC sudah dapat menentukan apakah penderita perlu dirujuk atau tidak
ke TEC.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan seperti di SEC dan memutuskan jenis retina lepas. Pemeriksaan,
kampimetri, elektrofisiologi dilakukan bila diperlukan untuk penunjang diagnosis.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC) dan sekunder (SEC)
Apabila tidak ada kecurigaan tetapi ada keluhan, penderita harus diistirahatkan apabila
mengancam macula, hingga tindakan dilakukan. Semua jenis rhegmatogen yang tidak
mengancam macula atau jenis traksional yang melibatkan macula harus dirujuk
secepatnya, umumnya dalam beberapa hari. Penderita dirujuk ke TEC untuk
penanganan lebih lanjut dengan penjelasan akan faktor resiko dan keberhasilan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


Melakukan tindakan sesuai dengan jenis retina lepas. Pada rhegmatogen akut dan
traksional yang tidak mengancam macula, operasi dilakukan secepatnya, sedangkan
yang kronik dapat dioperasi dalam waktu seminggu. Jenis operasi (scleral buckling atau
vitrektomi) tergantung kondisi yang ditemukan, dan jenis vitreus tamponade ditentukan
oleh keadaan yang ditemukan oleh keadaan yang ditemukan pre-operative dan durante
operasi, kondisi mata sebelahnya dan mobilitas penderita.
Tipe exudative memerlukan pengobatan sesuai dengan penyakit yang mendasari.
Keberhasilan pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki retina yang
lepas.

KEBUTAAN MENDADAK (ACUTE BLINDNESS)

69
TERBATAS

Acute blindness adalah suatu keadaan buta mendadak. Pada keadaan yang mengenai
sarak optik, keadaan ini dapat disebabkan oleh inflamasi atau gangguan vaskularisasi.
Bila disebabkan inflamasi, keadaan ini dapat mengenai semua golongan umum, tapi
umumnya akan mengenai golongan usia muda.
Gangguan vaskularisasi biasanya akan dijumpai pada golongan usia yang lebih tua
pada penderita yang memang sebelumnya telah mempunyai kelainan sistemik yang
dapat berpengaruh pada system hemorheologi.

Gejala dan tanda klinis


Gejala Klinis
Pasien mengeluh penglihatannya hilang mendadak. Hilangnya penglihatan dapat hingga
gelap total, dapat mengenai sebagian atau seluruh lapang pandangan.
Umumnya pada satu mata.

Tanda Klinis
1. Biasanya mengenai satu mata, kecuali pada penyebab sistemik seperti
intoksikasi methanol
2. Tajam bervariasi dari hitung jari hingga no light perception (NLP)
3. Pada pemeriksaan lapangan pendangan, dapat mengenai seluruh atau sebagian
lapangan pandangan. Bila mengenai sebagian lapangan pandangan, biasanya
berupa skotoma arcuata, altitudinal hemianopsia atau quadranopsia.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Anamnesis untuk mencari kemungkinan intoksikasi (methanol) atau trauma okuli.
2. Pemeriksaan oftalmologi sederhana terdiri dari pemeriksaan tajam penglihatan,
lapang pandangan (tes konfrontasi), serta pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop
bila memungkinkan.

Pelayanan kesehatan mata skunder (SEC)


1. Anamnesa lengkap.
2. Pemeriksaan oftalmologi lengkap, terdiri atas:
a) Pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik.
b) Pemeriksaan segmen anterior mata dengan slit lamp.
c) Pemeriksaan segmen posterior dengan oftalmoskop direk/indirek.
d) Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer aplanasi.
e) Pemeriksaan lapang pandangan dengan kampimeter Goldman.
3. Pemeriksaan laboratorium lengkap.
4. Pemeriksaan Rontgen orbita/kepala bila diketahui adanya riwayat trauma
kapitis/okuli.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Anamnesis lengkap.
2. Pemeriksaan oftamologi lengkap, ditambah dengan automatic computerized
perimetry serta elektrofisiologi penglihatan (VEP).
3. Pemeriksaan CT scan kepala/orbita bila diketahui adanya riwayat trauma
kapitis/okuli.
4. Pemeriksaan laboratorium lengkap.
5. Pemeriksaan oftalmologi tambahan untuk mencari kemungkinan functional
blindness.

70
TERBATAS

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila disebabkan oleh inflamasi, berikan steroid secara intravena atau peroral.
2. Bila penyebabnya adalah gangguan vaskularisasi, berikan obat-obat untuk
memperbaiki vaskularisasi.
3. Bila terdapat penyakit sistemik yang dapat menjadi penyebab, atasi penyebab
sistemiknya.
4. Bila penyebabnya adalah trauma kapitis/okuli, sebaiknya segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan yang lebih tinggi.
5. Bila penyebabnya adalah functional blindness, penderita dapat dirujuk ke
psikiater.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pada dasarnya sama dengan penatalaksanaan di fasilitas SEC, akan tetapi bila
pemeriksaan laboratorium untuk system hemorheologi dijumpai adanya kelainan,
sebaiknya segera dirujuk ke bagian Hematologi.
2. Bila penyebabnya adalah intoksikasi (methanol), dapat diberikan injeksi etanol
secara intravena.
3. Bila pada CT scan kepala/orbita tidak ditemukan tanda-tanda fraktur orbita,
dapat diberikan steroid intravena.
4. Bila ditemukan adanya interval lucide, pasien dapat segera dirujuk ke Bedah
Saraf.

AMAUROSIS FUGAX
Amaurosis fugax adalah hilangnya penglihatan sesaat, dapat beberapa detik hingga
beberapa menit. Biasanya juga disebut transient obscuration. Dapat terjadi pada semua
golongan umur, tetapi amat jarang didapatkan pada anak-anak. Penderita amaurosis
fugax biasanya mempunyai riwayat penyakit sistemik seperti diabetes melitus,
hipertensi, hiperlipidemia, polisitemia dan kelainan darah lain yang menyebabkan darah
menjadi lebih kental serta lebih cepat membeku.

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
Pasien mengeluh penglihatannya hilang sesaat. Hilangnya penglihatan dapat mengenai
sebagian atau seluruh lapang pandangan. Lamanya hilang penglihatan dapat beberapa
detik hingga beberapa menit, dapat mencapai 30 menit, untuk kemudian penglihatan
kembali seperti semula. Hilangnya penglihatan dapat juga terjadi pada perubahan posisi
tubuh, misalnya dari duduk tiba-tiba berdiri, menegakkan kepala secara mendadak,dsb.

Tanda klinis
Pada pemeriksaan oftalmologi biasanya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan
terutama ditujukan untuk mencari etiologi.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)

71
TERBATAS

1. Anamnesis lengkap mengenai hilangnya penglihatan sesaat tersebut, lamanya


hilang penglihatan, apakah berhubungan dengan perubahan posisi tubuh.
2. Pemeriksaan yajam penglihatan terbaik. Bila perlu sekaligus dengan
pemeriksaan refraksi.
3. Pemeriksaan oftalmologi untuk segmen anterior maupun segmen posterior
dengan menggunakan senter dan lup serta oftalmoskop direk.
4. Pemeriksaan lapang pandangan dengan tes konfrontasi.
5. Pemeriksaan penglihatan warna dengan buku iscihara.
6. Pemeriksaan status generalis serta laboratorium darah rutin.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Seperti pada PEC, ditambah dengan:
1. Pemeriksaan lapang pandangan dengan kampimetri Goldmann.
2. Pemeriksaan oftalmologi lengkap.
3. Pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab sistemik.
4. Pemeriksaan X-Ray untuk melihat kemungkinan adanya SOL/peningkatan
tekanan intra cranial.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan oftalmologi lengkap.
2. Pemeriksaan laboratorium lengkap.
3. Pemeriksaan Hemorheologi.
4. Pemeriksaan CT-Scan kepala untuk mencari kemungkinan adanya
SOL/peningkatan intra cranial.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Segera rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Bila terdapat kelainan sistemik, pengobatan diberikan sesuai dengan
penyebabnya.
2. Bila terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan itra cranial, dapat diberikan
preparat asetazolamide.
3. Berikan obat-obat pengencer darah bila tidak ditemukan tanda-tanda
peningkatan tekanan intra cranial.
4. Rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Bila terdapat SOL, segera rujuk ke Bedah Saraf.
2. Bila terdapat kelainan pada system pembekuan darah/hemorheologi, segera
dirujuk ke bagian Hemotologi.

KEHILANGAN PENGLIHATAN BERLANJUT KRONIS (Chronic Progressive Visual


Loss)
Chronic progressive visual loss adalah hilangnya/turunnya fungsi penglihatan secara
perlahan-lahan. Yang dimaksud dengan fungsi penglihatan disini adalah tajam
penglihatan atau lapang pandangan. Penyebab keadaan ini biasanya berupa proses
degenerasi, intoksikasi atau kompresi. Keadaan ini dapat mengenai segala umur serta
tidak ada predisposisi jenis kelamin.

72
TERBATAS

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis
1. Pasien mengeluh penglihatannya mundur secara perlahan-lahan.
2. Apabila gangguan pada lapang pandangan, pasien mengeluh bila berjalan sering
tersandung atau menabrak-nabrak.

Tanda klinis
1. Tajam penglihatan mundur.
2. Lapang pandangan menyempit.

Evaluasi
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
1. Anamnesis lengkap untuk mengetahui kemungkinan intoksikasi (etambutol),
penyakit herediter (retinis pigmentosa, glaukoma), degeneratif (ARMD, retinopati)
atau tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial (sakit kepala, muntah)serta
kompresi pada kiasma (siklus haid).
2. Pemeriksaan tajam penglihatan terbaik dengan snellen chart.
3. Bila memungkinkan, dilakukan pemeriksaan refraksi dan diberikan koreksi kaca
mata terbaik. Bila tidak memiliki sarana untuk pemeriksaan tersebut, dapat dilakukan
tes pin-hole.
4. Pemeriksaan lapang pandangan dengan tes konfrontasi.

5. Pemeriksaan penglihatan warna dengan buku iscihara


6. Pemeriksaan reflek pupil dengan menggunakan lampu senter.
7. Pemeriksaan fundus okuli dengan oftalmoskop direk.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik. Pemeriksaan refraksi
hendaknya dilakukan secara subyektif maupun objektif.
2. Pemeriksaan lapang pandangan dengan perimetri kinetic Goldmann.
3. Pemeriksaan oftalmologi, baik untuk segmen anterior maupun segmen posterior.
Untuk segmen anterior hendaknya menggunakan slit lamp, sedang untuk segmen
posterior menggunakan oftalmoskop direk/indirek atau lensa +90 D.
4. Pemeriksaan penglihatan warna dengan menggunakan buku iscihara atau test
fansworth-munsell bila ada.
5. Pemeriksaan roentgen foto orbita maupun kepala. Bila perlu pemeriksaan sella
khusus. Pemeriksaan CT-Scan orbita ataupun kepala bila sarana memungkinkan.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan koreksi terbaik. Pemeriksaan refraksi
hendaknya dilakukan secara subyektif maupun objektif menggunakan streak
retinoskop serta autorefraktometer.
2. Pemeriksaan lapang pandangan dengan perimetri kinetic Goldmann atau
automatic perimetri (Humphrey atau Octopus).
3. Pemeriksaan oftalmologi, baik untuk segmen anterior maupun segmen posterior.
Untuk segmen anterior hendaknya menggunakan slit lamp, sedang untuk segmen
posterior menggunakan oftalmoskop direk/indirek atau lensa +90 D.
4. Pemeriksaan elektrofisiologi untuk elektroretinografi maupun visual evoked
potential (VEP).

73
TERBATAS

5. Pemeriksaan CT-Scan atau MRI orbita atau kepala.

Penatalaksanaan
Pelayanan kesehatan mata primer (PEC)
Rujuk ke pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi. Bila penyebabnya bukan kelainan
refraksi.

Pelayanan kesehatan mata sekunder (SEC)


Dicari penyebab kearah kemungkinan adanya glaukoma (TIO, kampus dan sudut bilik
mata depan).
1. Bila ditemukan ada glaukoma, maka pasien diberikan terapi
(medikamentosa atau bedah).
2. Bila penyebabnya adalah intoksikasi etambutol, segera
hentikan pemberian etambutol dengan sepengetahuan dokter yang memberikan
etambutol.
3. Bila terdapat tanda-tanda peningkatan ekanan intra cranial,
rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi/ bedah saraf.
4. Bila terdapat tanda-tanda proses degeneratif pada mata,
rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan mata yang lebih tinggi.
5. Bila penyebabnya adalah penyakit yang bersifat herediter,
dapat diberikan penjelasan kepada pasien mengenai kemungkinan-kemungkinan
nya.

Pelayanan kesehatan mata tersier (TEC)


1. Sama dengan SEC.
2. Bila ditemukan penyebab, segera dirujuk sesuai dengan
penyebab.
3. Bila penyebabnya adalah proses degeneratif/ herediter,
dapat dilakukan konseling.
4. Low vision aid yang sesuai.

BAB III
PENUTUP

Demikian Standard Operating Procedure (SOP) Bagian Mata ini dibuat untuk
dijadikan pedoman bagi seluruh tenaga medis di Rumkital Dr. Komang Makes. Sehingga
diharapkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dan budaya profesionalisme
tenaga medis meningkat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta mendukung tujuan pelayanan kesehatan di Rumkital Dr. Komang Makes secara
keseluruhan.

74
TERBATAS

Belawan, Desember 2007


Kepala Rumkital Dr. Komang Makes

Dr. J.B Lengkong, SpA


Letkol Laut (K) NRP. 11663/P

75

You might also like