You are on page 1of 7

Menjadi Muslim Kaffah: Menerjunkan Diri Dalam Syariat Islam

Secara Total

Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi


Publikasi 06/04/2004

hayatulislam.net - Pendahuluan

Seorang muslim wajib masuk Islam secara kaffah, yaitu masuk ke dalam segala
syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan
mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Jika seorang muslim
melaksanakan Islam sebagian seraya melaksanakan selain Islam pada sebagian
lainnya, itu berarti dia mengikuti langkah-langkah syaitan yang terkutuk. Firman
Allah SWT:

“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu kepada Islam secara menyeluruh.
Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan
itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs al-Baqarah [2]: 208).

Sebab turunnya (sababun nuzul) ayat ini, sesuai riwayat dari Ibnu Abbas berkaitan
dengan Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya –para shahabat yang masuk Islam
dan dulunya adalah pemeluk Yahudi— yang telah beriman kepada Nabi Muhammad
SAW dan syariat Islam yang dibawa beliau, akan tetapi tetap mempertahankan
keyakinan mereka kepada sebagian syariat Nabi Musa AS. Misalnya, mereka tetap
menghormati dan mengagungkan hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta.
Hal ini telah diingkari oleh shahabat-shahabat Rasulullah SAW lainnya. Abdulah bin
Salam dan kawan-kawannya berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Taurat
adalah kitabullah. Maka biarkanlah kami mengamalkannya.” Setelah itu, turunlah
firman Allah surat al-Baqarah [2]: 208 di atas (Majalah Al Wa’ie, no. 159, Rabiuts
Tsani, 1421, hal. 14).

Jadi, siapa saja yang telah masuk Islam, dia wajib masuk Islam secara
keseluruhannya. Tidak boleh mempertahankan hukum selain Islam, sebab Islam telah
menasakh (menghapus) syariat-syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman:

“(Al-Qur`an itu) membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang


diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Qs. al-
Maa'idah [5]: 48).

Yang dimaksud batu ujian (muhaiminan) artinya adalah penghapus (nasikhan) bagi
syariat-syariat sebelumnya. Dengan demikian, mempertahankan sedikit saja dari
syariat-syariat sebelumnya –yang tidak diakui Islam—berarti mengikuti langkah-
langkah syaitan. Firman Allah SWT:

“…dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan


itu musuh yang nyata bagi kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]: 208).

Makna-makna inilah yang telah dikemukan oleh para ahli tafsir terpercaya. Secara
lebih mendalam, Imam Ibnu Katsir menfasirkan ayat di atas (2: 208) dengan
menyatakan, “Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin dan
mempercayai Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh ikatan dan syari'at Islam,
mengerjakan seluruh perintah-Nya serta meninggalkan seluruh larangan-Nya, sesuai
kemampan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, Juz I, hal. 247). Sejalan dengan ini, Imam
An-Nasafi, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah berserah
diri dan ta'at, yakni berserah diri dan ta'
at kepada Allah atau Islam. Menurutnya, kata
“kaaffah” adalah haal (penjelasan keadaan) dari dlomir (kata ganti) udkhulu
(masuklah kalian) yang bermakna jamii'an (menyeluruh/semuanya, dari kalangan
kaum mukminin). Diriwayatkan dari Ikrimah, firman Allah di atas diturunkan pada
kasus Tsa' labah, 'Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang lain yang
telah masuk Islam. Mereka mengajukan konsensi kepada nabi untuk diijinkan
beribadah di hari Sabtu. sebagai hari besar orang Yahudi (hari Sabath). Kemudian
dijawab oleh Allah dengan ayat di atas. (Tafsir Al-Nasafi, Madarik al-Tanziil wa
Haqaaiq al-Ta`wil, Juz I, hal.112). Imam Thabari mengutip dari Ikrimah, bahwa
ta'wil ayat di atas adalah seruan kepada orang-orang mu' min untuk menolak semua
hal yang bukan dari hukum Islam; melaksanakan seluruh syari' at Islam, dan
menjauhkan diri dari upaya-upaya untuk melenyapkan sesuatu yang merupakan
bagian dari hukum-hukum Islam. (Tafsir al-Thabariy, Jilid II, hal. 337).

Imam Qurthubi menjelaskan bahwa lafadz kaaffah adalah sebagai haal (penjelasan
keadaan) dari lafadz al-silmi atau dari dlomir mu'minin. Sedangkan pengertian
kaaffah adalah jamii'an (menyeluruh) atau 'aamatan (umum). (Tafsir Qurthubiy, Juz
III hal. 18). Bila kedudukan lafadz kaaffah sebagai haal dari lafadz al-silmi maka
tafsir dari ayat tersebut adalah Allah SWT menuntut orang-orang yang masuk Islam
untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (total). Tanpa ada upaya memilih
maupun memilah sebagian hukum Islam untuk tidak diamalkan. Pemahaman ini
diperkuat dengan sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut yang mengisahkan
ditolaknya dispensasi beberapa orang Yahudi, ketika mereka hendak masuk Islam.
Tentunya hal semacam ini bukan hanya untuk orang yang mau masuk Islam saja,
akan tetapi juga berlaku untuk orang-orang mu' min sebagaimana penjelasan Ibnu
Jarir al-Thabari yang mengutip tafsir (penjelasan) dari Ikrimah di atas.

Oleh karena itu, kaum muslimin diperintahkan untuk hanya berserah diri, ta'
at, dan
melaksanakan seluruh syari'at Nabi Muhammad SAW (yakni Islam), bukan pada
aturan-aturan lain.
Dengan demikian, jelaslah, seorang muslim dituntut masuk ke dalam Islam secara
menyeluruh. Merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku
dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari' at
Islam dari realitas kehidupan –seperti mengikuti sekulerisme. Al-Qur'
an dengan tegas
mengecam sikap semacam ini, firman Allah SWT:

“...Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) serta mengingkari


sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara
kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti
mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras.” (Qs. al-Baqarah [2]: 85).

Prinsip mengambil Islam secara kaffah inilah yang ditekankan dalam buku karya Drs.
H. Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri (GIP, Jakarta,
2000). Dalam buku setebal 453 halaman yang terbagi dalam 11 bab ini, Toto Tasmara
menjelaskan pengertian kaffah secara unik. Katanya, “Yang dimaksudkan dengan
kaffah, adalah bagaikan seorang yang terjun ke laut. Seluruh tubuhnya, mulai dari
ujung rambut sampai ujung kaki, basah dan asin.” (hal. 49). Dengan bahasa lain,
Toto Tasmara mengartikan firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 208 itu dengan
ungkapan, “…masuklah ke dalam Islam secara total, menyeluruh (kaffah), dan
janganlah ikuti sikap dan cara setan yang ingkar dan membangkang, dan tidak
berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya…” (hal. 49). Dalam bagian lain, dia
menyatakan, “Kaffah sebagai bentuk dan sikap mengambil al-Qur`an dan as-Sunnah
sebagai rujukan hidup…tidak mengikuti jalan lain” (hal. vii).

Dalam buku yang ditulisnya tahun 1996 itu, Toto Tasmara menjelaskan bagaimana
kiat menjadi seorang muslim kaffah dalam bab I-IV. Sementara dalam bab V-XI, dia
secara khusus menerangkan Kristologi, khususnya komparasi antara al-Qur`an dan
Injil (Bibel), yang tujuannya adalah untuk lebih memantapkan keimanan kepada al-
Qur`an, karena al-Qur`an memang betul-betul masih murni dan orisinal dari Allah
SWT. Ini berbeda dengan Injil yang telah terkotori oleh manipulasi dan pemalsuan
akibat perbuatan tangan-tangan manusia yang kafir dan tidak bertanggung jawab.
Firman Allah SWT:

“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan
menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?” (Qs. Ali-
Imran [3]: 71).

“Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Alkitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu mengatakan, `Ini dari Allah’…” (Qs. al-Baqarah [2]: 79).
Menjadi Muslim Kaffah

Muslim kaffah adalah yang berislam secara menyeluruh. Menurut Toto Tasmara, kiat
menjadi muslim kaffah diawali dengan berpikir dan bertindak di bawah naungan al-
Qur`an (bab I), memahami misi dan visi muslim kaffah (bab II), menjadi manusia
dunia yang berkarakter ulil albab (bab IV), dan mengendalikan potensi hawa (bab
IV).

Muslim kaffah, berpikir dan bertindak mengikuti tuntunan al-Qur`an dan as-Sunnah,
bukan berpikir secara liar tanpa kaidah (freethinker). Dalam Islam, kegiatan berpikir
sangatlah utama sehingga Rasulullah SAW bersabda:

“Berpikir sesaat, lebih baik daripada ibadah seratus tahun.” [HR. Ibnu Hibban].

Namun demikian, pemikiran seorang muslim tentu tidak boleh lepas dari tuntunan al-
Qur`an dan as-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan hidup seorang muslim.
Jika seorang muslim telah mengubah cara berpikirnya mengikuti al-Qur`an, dia akan
dapat mengubah dunia. Toto Tasmara menegaskan, “Ubahlah pikiranmu di bawah
naungan al-Qur`an, niscaya engkau akan mampu mengubah dunia.” (hal. 11).

Berpikir ini merupakan pangkal dari tindakan. Dan dengan tindakan seorang manusia
di dalam interaksinya dalam masyarakat itulah, kualitas seorang individu diukur.
Sedang berpikir itu sendiri, berpangkal dari pengalaman-pengalamannya, yakni
seluruh perenungan dan hubungan dengan dunia luar yang kemudian ditangkap,
dimengerti, dan disimpan dalam sistem memori individu, yang pada saatnya nanti
digunakan sebagai landasan tindakan dan perilaku (hal. 10).

Agar seseorang dapat berpikir Qur`ani, mau tak mau dia harus akrab dan sering
bergaul dengan al-Qur`an, misalnya dengan membiasakan diri membaca, menelaah,
dan membicarakan makna kandungan al-Qur`an, juga membiasakan diri dengan
menghafal hadits, karena hadits menjelaskan operasional al-Qur`an (hal. 16).

Lalu apa misi dan visi seorang muslim kaffah? Misi seorang muslim adalah
melaksanakan dan membuktikan secara nyata segala perintah dan amanah Allah,
sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`an dan diteladankan oleh Rasulullah SAW
(hal. 46). Salah satu amanah Allah adalah perintah-Nya untuk memenangkan Islam
dari segala ajaran, ideologi, dan agama lainnya. Firman Allah SWT:

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur`an)


dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun
orang-orang musyrik tidak menyukai.” (Qs. at-Taubah [9]: 33).
Dengan memahami misi, maka setiap pribadi muslim mempunyai visi, posisi, dan
aksi sebagai : pejuang kebenaran untuk menegakkan agama Allah, pemimpin yang
teladan, pionir yang penuh inisiatif dan kreativitas, pelita yang menerangi relung
kehidupan, dan penebar rahmat bagi seluruh alam (hal. 47).

Seorang muslim kaffah adalah adalah manusia yang mendunia, artinya tidak
mengasingkan diri atau tidak cuek terhadap urusan masyarakat, tapi sebaliknya harus
terjun dalam kehidupan dunia, peduli terhadap urusan masyarakat dan dunia, dengan
tetap tidak melupakan akhirat sebagai tujuannya (ultimate goal) sebagaimana firman
Allah SWT:

“Dan carilah pada apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu (berupa
kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari
(kenikmatan) duniawi…” (Qs. al-Qashshash [28]: 77).

Untuk bisa meraih keduanya (dunia dan akhirat) seorang muslim menjadi ulil albab,
yaitu individu yang berakal, yang menggabungkan potensi potensi pikir dan zikir
(hal. 122) (lihat Qs. Ali-Imran [3]: 190-191).

Selanjutnya, seorang muslim kaffah haruslah mampu menguasai dirinya, yakni


seorang “master” yang mampu mengendalilkan hawa nafsunya. Pengendalian
terhadap ambisi dan dorongan-dorongan hawa nafsu merupakan salah satu kriteria
seorang muslim yang sangat rindu mencapai derajat kaffah. Dan kunci untuk
pengendalian hawa nafsu, terletak pada pikiran, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan
kita sendiri (hal. 140).

Perbandingan al-Qur`an Dan Injil

Pada bab V-XI Toto Tasmara banyak menekankan pada studi Kristologi, terutama
penjelasan tentang penyimpangan Injil. Meski demikian Toto mengawali studi ini
dengan menunjukkan “keajaiban” al-Qur`an dengan metode matematis. Metode yang
lebih mendasarkan diri pada prinsip “othak- athik- gathuk” (yang penting terasa
pas,cocok) ini memang menarik, meskipun ada pula sebagian ulama dan intelektual
yang menentangnya. Misalnya, jumlah kata fardhu, di dalam al-Qur`an disebut
sebanyak 17 kali, sama dengan jumlah rakaat shalat. (hal. 203). Jumlah kata shalawat
di dalam al-Qur`an disebut 5 kali, sama dengan jumlah shalat wajib sehari semalam
(hal. 201). (Padahal bisa saja, jumlah itu digunakan untuk menjustifikasi sesuatu yang
lain yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan al-Qur`an, misalnya jumlah kata
fardhu yang 17 itu, bisa dianggap cocok dengan tanggal proklamasi RI, 17 Agustus,
atau jumlah kata shalawat yang 5 tadi bisa dianggap cocok dengan jumlah sila dalam
Pancasila!)
Mengenai penyimpangan dan pemalsuan Injil, Toto Tasmara banyak memberikan
contoh. Misalnya, adanya informasi yang tidak sama antara satu ayat dengan ayat
lain, padahal topik pembicaraannya itu-itu juga. Dalam II Tawarikh 9:25 dikatakan,
“Solomon mempunyai empat ribu kandang kuda untuk keretanya dan dua belas ribu
orang berkuda.” Sementara dalam I Raja-Raja 4:26 disebutkan, “Solomon
mempunyai empat puluh ribu kandang kuda untuk kereta-keretanya dan dua belas
ribu orang berkuda.” Mana yang benar, empat ribu kandang kuda atau empat puluh
ribu kandang kuda? (hal. 262)

Disebutkan pula oleh Toto Tasmara kepalsuan Injil yang terlihat dari
kekurangajarannya menggambarkan perilaku sebagian Nabi. Padahal tidak mungkin
seorang nabi melakukan suatu kebejatan dan dosa, misalnya mabuk dan berzina.
Dalam Kitab Kejadian 19:30-38 disebutkan perilaku mabuk dan zina yang dilakukan
oleh Nabi Luth. “Lot (Nabi Luth) mabuk, dan selama beberapa malam bergiliran
meniduri kedua putrinya dan kedua putri itu mengandung…” Ini sangat berbeda al-
Qur`an yang menjelaskan Nabi Luth sebagai orang saleh, bermoral luhur:

“Dan Kami masukkan dia (Luth) ke dalam rahmat Kami, karena sesungguhnya dia
termasuyk orang-orang yang saleh.” (Qs. al-Anbiyaa` [21]: 75) (hal. 264).

Menurut Toto Tasmara, metode mengungkap kepalsuan Injil seperti ini bertujuan
untuk menambah keimanan kepada al-Qur`an yang berulangkali mengungkapkan
adanya penyisipan informasi yang tidak orisinal pada Injil, dan juga untuk
menyuburkan iman yang ada pada dada kita semua (hal. 257).

Catatan Akhir

Sebagai penambah wawasan dan pemerluas cakrawala berpikir, buku karya Toto
Tasmara ini kiranya cukup menarik untuk dibaca. Hanya saja memang diperlukan
sedikit catatan atau kritik positif demi kesempurnaan dan kemurnian pemahaman kita
tentang Islam. Toto Tasmara misalnya lebih menyoroti aspek kaffah dari segi
individu muslim, tetapi tidak menjelaskan cakupan ajaran Islam yang menyeluruh
dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat (seperti keharusan adanya
sistem ekonomi dan politik Islam) yang dengan itu bisa diketahui bahwa kita sudah
berislam secara kaffah atau tidak. Dia juga kurang cermat menggunakan istilah
“mujahid” sehingga dia membuat istilah “mujahid dakwah” (hal. x), padahal istilah
mujahid secara syar’i hanya digunakan untuk orang yang berperang secara riil di
medan perang melawan kaum kafir, misalnya muslim yang berperang dengan kaum
kafir di Maluku atau Palestina. Juga definisi “iman” yang diartikannya sebagai
“keberpihakan kepada al-Qur`an dan as-Sunnah” (hal. 48). Padahal, hakikat iman
adalah pembenaran yang bersifat pasti (tashdiq jazim) terhadap segala sesuatu yang
dikabarkan Rasulullah SAW kepada kita melalui al-Qur`an dan as-Sunnah (Lihat
Taqiyyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah, Juz I, 1990), sedang
keberpihakan adalah buah dari pembenaran atau iman itu, bukannya iman itu sendiri.
Toto Tasmara nampaknya juga belum terlalu peka terhadap ide-ide kufur dari Barat
yang sebenarnya kontradiktif dengan Islam semacam pluralisme dan demokrasi (hal,
xii dan hal. 388), sehingga dia tidak mengomentarinya sebagai ide yang perlu
diwaspadai. Padahal kedua itu sangat bertentangan dengan Islam (Lihat buku
Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, 1997).

Terlepas dari kekurangan itu, buku Toto Tasmara memang cukup menarik dan
informatif. Bahasanya tidak terlalu berat, bahkan cenderung bercorak sastera yang
mencoba menyentuh perasaan dan emosi kita. Barangkali yang sangat perlu kita
ambil darinya adalah semangatnya yang tinggi, menggebu-gebu, dan menderu-deru,
yaitu semangat untuk berislam secara kaffah. Semoga kita semua memang sedang
menuju ke arah sana.
[Disampaikan dalam acara bedah buku Menuju Muslim Kaffah Menggali Potensi Diri karya Drs. H. Toto Tasmara, di Kampus
Jurusan Eknomi Islam STAIN Surakarta SEM Institute, Jumat 20 Oktober 2000]

(CP/Asseifff)

You might also like