You are on page 1of 14

PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM

DI NEGARA BERKEMBANG
PERAN BUDAYA HUKUM

Nama : IQBAL YULIANTO


Nim : B2A006147

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2010
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam membandingkan kebudayaan-kebudayaan manusia, maka salah satu hal yang
menarik perhatian untuk dipahami secara mendalam dalam konteks yang universal adalah :
norma-norma yang selalu terumus dalam setiap bentuk kehidupan bersama dari manusia
sebagai pedoman, yang diajarkan kepada warganya supaya diperhatikan dalam berperilaku.
Sehubungan dengan perhatian tersebut berkembanglah bidang perhatian baru yang
menghasilkan berbagai karya tulis dengan keterangan-keterangan tentang berfungsinya
hukum dalam berbagai kebudayaan; dalam kebudayaan yang masih bersahaja dan juga dalam
kebudayaan yang sudah bersifat kompleks.
Hukum lahir dari kebudayaan. Melihat hal tersebut di atas tentunya menyadarkan kepada
kita akan peran Antropologi Budaya sebagai sebuah perspektif untuk melihat berbagai
macam corak hukum yang lahir dan berkembang pula dari berbagai corak dan ragam
kebudayaan. Mempelajari Antropologi Budaya berarti kita melihat sebuah realitas, kenyataan
atas kehidupan budaya yang sesungguhnya berjalan di masyarakat yang didalamnya terdapat
aturan hukum baik berasal dari hukum tertuli maupun tidak tertulis.
Satu hal yang dapat kita ambil dari antropologi budaya, adalah diharapkan dapat
memunculkan kesadaran atas kenyataan adanya keberagaman hukum karena beragamnya
budaya. Beragamnya hukum tersebut jangan dimaknakan sebagai pertentangan hukum
(conflict of laws), tetapi patut dianggap sebagai khazanah kekayaan hukum yang akan
mampu memperkuat serta memperbaharui hukum nasional. Di sisi lain akibatnya adalah
memunculkan sikap toleransi untuk menghargai umat manusia yang beragam pola fikir,
karakter, pemahaman, dan tentunya juga beragam hukum.
Makalah ini merupakan pemaparan peran budaya hukum dalam proses pembangunan
hukum, terutama di negara berkembang khususnya di indonesia. Tujuannya adalah untuk
menggarisbawahi pentingnya budaya hukum dalam masyarakat yang menginginkan
terjadinya reformasi hukum.  Ini hanyalah sebatas sebuah konsep, makalah ini disertai dengan
beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun 1990-an.
PEMBAHASAN

Hukum dan Pembangunan


Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan
dengan hubungan antara hukum dan pembangunan, terutama negara-negara berkembang.
Gerakan ini dimaksudkan untuk mengkaji peran hukum dalam konteks pembangunan sosial,
ekonomi dan politik. Salah satu kunci dari gerakan ini terletak pada dapat tidaknya hukum
modern negara maju diimpor dan digunakan negara berkembang untuk mempercepat
pembangunan. Ada beberapa pendekatan terhadap permasalahan ini.
Kaum ortodoks dan mayoritas melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama
pengenalan ide dan lembaga hukum modern negara barat kepada negara berkembang,
memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik. Dua sarjana bidang
hukum dan pembangunan menyebut pendekatan ini sebagai ‘hukum liberal’. Inti dari
pendekatan ini adalah masyarakat terdiri atas individu, kelompok dan negara; negara
memegang kontrol hukum untuk mencapai tujuan masyarakat; negara menerapkan hukum
yang sama kepada semua orang secara bebas dan rasional; dan perilaku sosial cenderung
mengikuti hukum tersebut.
Pendekatan ini percaya bahwa pembangunan hukum merupakan prasyarat pembangunan
ekonomi dan hukum modern negara maju dapat diterapkan di negara berkembang sebagai
cangkok hukum untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebenarnya, kajian Watson terhadap
cangkok hukum menunjukkan bahwa peminjaman telah menjadi fenomena umum dalam
sejarah dan merupakan sumber paling subur dalam pembangunan hukum.
Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau
dipinjam dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci Inggris
untuk menutup lekuk yang bocor. Pandangan ini berasal dari Montesquieu dan sarjana asal
Jerman, Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara mempunyai kesatuan
oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui pembentukan norma-
norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik. Di sini tidak akan dibicarakan
pengraruh aliran yurisprudensi Savigny pada para sarjana Belanda pada awal abad 20 (seperti
Cornelius dan Vollenhoven) dan pemimpin nasional Indonesia , seperti Soepomo,. Mengikuti
garis pemikiran ini, Robert Seidman yang dikenal melalui ‘ Hukum dari Hukum yang tidak
dapat dipindahkan’ (The Law of Non-Transferability of Law) mengatakan bahwa
perpindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak mungkin dilakukan karena hukum
tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu digunakan di tempat asal.
Pandangan yang menyatakan bahwa cangkok hukum mempunyai peran positif dalam
pembangunan ekonomi dipertegas oleh gencarnya program modernisasi bidang hukum di
beberapa negara Amerika Latin  dan Afrika juga sebagian kecil negara berkembang di Asia
pada tahun 1960-an dan 1970-an. Proses ini dijuluki ‘difusi hukum’ (legal difusionism).
Namun demikian, momen keraguan terhadap kemanjuran program modernisasi hukum
ini mulai muncul. Patrick Mc Auslan, 1997, menulis bahwa hukum dan gerakan
pembangunan tahun 1960-an sangat percaya jika hukum mempunyai peran yang sangat vital
dalam pembangunan. Dalam pandangannya, gerakan tersebut kehilangan momen karena
penekanan dari gerakan tersebut terletak pada bidang hukum struktural dan substantif dan
gagal menentukan sifat hubungan sebab akibat antara hukum dan pembangunan secara lebih
umum.
Pada tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi tpoik yang hangat. Hal
ini tidak mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara maju
terhadap ferormasi hukum pada negara berkembang. Dukungan ini dilakukan melalui agen-
agen multilateral seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan juga lembaga bantuan individu
seperti USAID. Tak di sangkal bahwa minat pembaharuan bidang hukum merupakan atribut,
meskipun sebagian, terhadap realisasi bahwa pemerintahan yang baik- yang pada gilirannya
nanti mensyaratkan kerangka kerja hukum yang memuaskan- merupakan inti dari
pembangunan ekonomi yang kokoh. Bank Dunia, khususnya, mengetahui secara eksplisit
pentingnya reformasi hukum dalam konteks ini:
Kerangka hukum dalam sebuah negara merupakan unsur penting dalam pembangunan
ekonomi, politik dan sosial. Menciptakan kemakmuran melalui komitmen kumulatif manusia,
sumber daya teknologi dan modal sangat bergantung pada hukum yang dapat mengamankan
hak milik, masyarakat sipil yang teratur, dan perilaku komersial, dan membatasi kekuasaan
negara.
Lebih dari itu, ketika masalah hukum dan pembangunan kembali mendapatkan perhatian,
Melihat sisi positif lain, mereka yang terlibat dalam perdebatan ini lebih menyadari
keterbatasan reformasi hukum struktural dan substantif, terutama dalam cangkok hukum.
Justru, ada kesadaran yang semakin bertambah jika keyakinan dan norma sosial untuk
menerima masyarakat dan keinginan dan kapasitas mereka untuk menjelajah, memahami dan
mematuhi hukum baru merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan cangkok
hukum tersebut.
Pendekatan lain juga menyebutkan bahwa reformasi hukum, melalui penggunaan
cangkok hukum, bukanlah inti dalam pembangunan ekonomi bahkan tidak relevan. Perannya
terletak di tengah-tengah dengan memainkan peran pemberdayaan yang sederhana tetapi
penting dalam proses perubahan sosial. Tugas mendesak untuk memunculkan kembali
perdebatan antara hukum dan pembangunan adalah dengan menemukan hubungan antara
pembangunan hukum dan masalah ekonomi, sosial dan politik secara luas. Dengan kata lain,
tugas mendesak saat ini sama seperti yang dikatakan empat dekade lalu:
Yang dibutuhkan adalah suatu kajian terhadap metode di mana hukum yang didukung
oleh otoritas negara dapat mempengaruhi perilaku  dan faktor sosial, politik, psikologis dan
faktor lain yang jauh dari sistem hukum normatif membatasi kemampuan hukum untuk
mengubah perilaku.
Tujuan di atas disampaikan karena akan memperjelas pengaruh faktor eksternal terhadap
sistem hukum dan membatasi kemanjuran hukum jika hukum tersebut dapat mengubah
perilaku. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa sebagian dari pikiran dasar
liberalisme liberal ortodoks- misalnya, hukum merupakan alat yang efektif untuk mengubah
masyarakat- tetap ada meskipun bukan merupakan yang dikritisi. Kita dapat terus menyakini
kemanjuran bidang reformasi hukum dalam proses pembangunan dengan sedikit
mengabaikan dampak daya ekonomi, sosial dan politik terhadap sistem hukum. Jadi,
reformasi hukum dapat dianggap sebagai sebab dan dampak dari perubahan sosial yang luas.
Dengan demikian, kita dapat mengembangkan model yang lebih menyeluruh dan memahami
potensi dan keterbatasan hukum dalam pembangunan ekonomi secara lebih realistis.
Pendekatan Holistik pada Sistem Hukum
Dari pembahasan awal, kita mengetahui bahwa pendekatan holistik terhadap pembangunan
dan hukum sangat penting. Kunci dari pendekatan ini adalah apresiasi yang sepenuhnya
terhadap unsur sistem hukum lain, sifat dan keluasan faktor eksternal yang
mempengaruhinya.  Dengan memahami unsur sebuah sistem hukum, kita mengetahui
bagaimana sebuah sistem bekerja pada satu titik waktu. Dengan memahami faktor eksternal,
kita dapat mengetahui petunjuk-petunjuk bagaimana faktor-faktor tersebut dapat membuat
sistem mengalami perubahan. Memahami unsur sebuah sistem hukum merupakan analisis
statis sedangkan memahami faktor eksternal merupakan analisis dinamis. Keduanya dapat
digunakan jika model teorinya dibuat dengan tujuan menganalisa sistem hukum karena model
ini akan senantiasa berkembang.
Sampai di sini membahas dua konsep analitik yang dapat menjelaskan perilaku sistem hukum
statis dan dinamis. Konsep pertama adalah konsep ‘budaya hukum’ karya Lawrence M.
Friedman dan konsep Ugo Mattei ‘taksonomi sistem hukum’ yang disebutnya ‘ pola hukum’
(Patterns of Law)

1. Budaya Hukum
Freidman, seorang sosiolog hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa
sistem hukum terdiri atas tiga komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya
hukum. Struktur mengacu pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum
merupakan badan, kerangka kerja, dan sistem yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem
pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hukum substansi mengacu pada
hukum – peratutan prosedur dan substansi- dan norma yang digunakan dalam sebuah
lembaga dan mengikat hukum struktur secara bersama. para pengacara dan sarjana hukum
cenderung membatasi analisis mereka terhadap struktur dan substansi sistem hukum yang
sedang mereka pelajari. Friedman membrikan tanggapan terhadap kecenderungan ini:
Struktur dan substansi merupakan komponen inti dari sebuah sistem hukum, tetapi baru
sebatas desain atau cetakbiru dan bukan mesin kerja. Struktur dan substansi menjadi
masalah karena keduanya statis; keduanya ibaratnya gambar dari sistem hukum. Potret
tersebut tidak memiliki gerak dan kebenaran dan seperti ruang pengadilan yang
dipercantik, membeku, kaku, sakit berkepanjangan.
Menurut Friedman, unsur yang hilang yang memberikan kehidupan dalam sistem
hukum adalah ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan opini
dalam masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa bagian
hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan, opini, cara
bekerja dan berpikir- yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari
hukum dengan cara khusus. Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan
komponen yang paling penting:
Budaya hukum menentukan kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan
hukum, lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga
lain atau tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain, faktor budaya merupakan
ramuan penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi badan
hukum yang hidup. Menambahkan budya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam
atau menyalakan mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak.
Namun demikian, konsep Friedman bukannya tanpa kritik. Roger Cotterrell, seorang
sarjana Inggris, mengatakan bahwa konsep Friedman ‘tidak mempunyai kekerasan’  dan 
‘secara teoritis tidak padu’. Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan
bahwa tidak adanya presisi dalam istilah ‘budaya hukum’ tidak membuat konsep itu tidak
padu. Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai kesamaan dalam hal kekurangan presisi
sama halnya dengan ‘hukum struktur’, ‘sistem hukum’, dan ‘opini publik’. Menurut
Friedman, arti pentingya ‘budaya hukum’ adalah bahwa konsep ini merupakan variabel
penting dalam proses menghasilkan hukum statis dan perubahan hukum. Cotterrell
menggarisbawahi kesulitan dalam menggunakan konsep budaya hukum. Dia salah dalam
menarik kesimpulan bahwa konsep tidak padu karena tidak adanya hal yang khusus.
Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks ‘budaya hukum’ cenderung sulit dipahami.
Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya hukum menembus masyarakat dan
bukan tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell sendiri mengakui bahwa konsep
Friedman ‘merupakan usaha yang paling dapat menjelaskan konsep budaya hukum dalam
sosiologi hukum komparatif dan mempertahankan dan mengembangkan secara teoritis
penggunaan konsep tersebut’.
Friedman selanjutnya menjelaskan sikap dan nilai dalam budaya hukum. Sikap
menurut Friedman merupakan ‘budaya hukum situasi’. Konsep ini mengacu pada sikap
dan nilai masyarakat umum. Konsep kedua adalah ‘budaya hukum internal’. Konsep ini
mengacu pada sikap dan nilai profesional yang bekerja dalam sistem hukum, seperti
pengacara, hakim, penegak hukum dan lain-lain. Friedman juga menyampaikan bahwa
budaya hukum situasi tidaklah homogen. Bagian masyarkat yang berbeda memiliki nilai
dan sikap berbeda terhadap hukum.
Di negara berkembang, konsep budaya hukum menempati posisi penting karena
negara berkembang sering mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem
hukum dari negara barat dalam usahanya untuk melakukan modernisasi kerangka kerja
hukum mereka. Masalah muncul jika cangkok hukum mengabaikan budaya hukum
setempat. Jika budaya hukum lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan
substantif asing, konsep ini tidak akan dapat diterapkan dengan baik.
Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, konsep ini telah disampaikankan
oleh komentator luar negeri pada awal tahun 1972.  Pada tahun 1982 mantan menteri
hukum dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal yang sama. Namun
setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum dan baru sekarang
diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia. Tim Lindsey menulis:
Pandangan instrumentalis yang menyerap banyak literatur dan praktek belumlah
cukup. Seperti yang terjadi di Indonesia, hukum bukan sekedar tugas yang dapat ditarik
oleh pemerintah, multilateral dan legislatif untuk memulai atau menghentikan atau
memperbaki kegiatan sosial dan ekonomi…. Hukum juga bukan sekedar keputusan hukum
dan statuta. Sebagian besar pengacara sekarang mengetahui bahwa hukum dan norma
yang berada di balik peraturan dan orang yang membuat dan menerjemahkannya. Hukum,
dalam pengertian ini, tidak dapat dibedakan dari politik dan ekonomi.
Dengan demikian, analisis pada struktur hukum dan hukum substantif dan terjemahan
terhadap budaya hukum dapat memperlebar jarak. Hasil survei terhadap reformasi hukum
di Indonesia pada tahun 1950-an sampai dengan 1990-an oleh David Linnan merupakan
informasi penting yang dapat didiskusikan. Linan menyatakan tiga artikulasi yang saling
melengkapi yang dapat menjelaskan kegagalan reformasi hukum di Indonesia sejak tahun
1950-an, yaitu: a) pendekatan ilmu politik dan sosiologi yang menekankan peran elit
penguasa, b) pendekatan budaya dan psikologi yang menekankan peran sikap feudal orang
Jawa atau Indonesia, c) interpretasi disfungsi organisasi yang menekankan dampak
problem mendasar dalam organisasi pemerintah Indonesia, terutama di bawah UUD 1945.
Linnan menyatakan bahwa interpretasi disfungsi organisasi dapat memberikan penjelasan
kegagalan reformasi hukum selama Orde Baru.
Intinya adalah penjelasan institusional tidak dapat sepenuhnya menjelaskan keluaran
reformasi hukum di Indonesia yang belum memuaskan pada tahun 1990-an. Hukum
Perniagaan di Indonesia adalah contohnya. Hukum perniagaan di Indonesia dibuat terpisah
dan berbeda pada tahun 1998 dengan mengikuti revisi undang-undang kebangkrutan.
Hukum yang baru ini diharapkan dapat memberikan perbaikan dalam proses dan
penyelesaian kasus, terutama catatan buruk terhadap sistem hukum Indonesia yang korup.
Meskipun terdengar sebatas konsep, pengadilan baru tidak dapat memenuhi harapan.
Sebagaimana yang terlihat, kegagalan ini disebabkan karena keberhasilan reformasi
hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara, tetapi juga sikap
mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi dan menggunakan
lembaga ini. Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum tanpa lembaga budaya
tidak akan efektif.
Ketika melihat hukum di Indonesia, perhatian dititikberatkan pada masalah structural,
seperti sistem dewan dua pintu dan ketetapan hukum perusahaan yang dikeluarkan pada
tahun 1995 dan membandingkannya dengan produk hukum lainnya. Pendekatan ini sering
mengabaikan bagaimana hukum perusahaan benar-benar bekerja dalam kehidupan. –
permasalahan-permasalahan seperti mengapa pemegang saham menolak untuk
mengajukan direktor dan komisaris ke pengadilan ketika mereka mempunyai hak untuk
menuntut mereka, atau mengapa pegawai di Amsterdam bertindak dengan cara berbeda
ketika mereka bekerja di Jakarta meskipun ketetapan hukum perusahaan sama. Menurut
Friedman, pendekatan tersebut gagal membedakan sistem hukum yang tertulis dengan
system hukum yang berlaku dalam masyarakat.

1. Pola Hukum Mattei


Jika konsep Friedman ‘budaya hukum’ mencoba menjelaskan unsur dalam setiap
sistem hukum, Mattei dengan konsep ‘pola hukum’ mencoba menjelaskan, dengan
membuat taksonomi sistem hukum komparatif, bagaimana sistem hukum berbeda satu
dengan yang lain dan bagaimana perkembangan perbedaan tersebut. Mattei
menyampaikan pandangannya ‘pola sistem hukum’ pada tahun 1997. Dia beranggapan
bahwa taksonomi sistem hukum standar pada hukum sipil, umum, agama dan tradisi
hukum masyarakat atau keluarga tertinggal zaman, utamanya di belahan Eropa-Amerika
yang mengabaikan peta dunia hukum berdasar geografis dan tidak memasukkan  budaya.
Konsep taksonomi sistem hukum yang diajukan Mattei, yang disebut ‘pola sistem hukum’,
mempunyai nilai karena taksonomi tersebut menghasilkan kerangka kerja yang dapat
digunakan untuk menganalisa perubahan dan pembangunan dalam sistem hukum yang
berbeda-beda.
Dengan menggunakan pendekatan Weber, Mattei mempostulatkan bahwa ada tiga
sumber utama norma sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi perilaku individu,
yaitu politik, hukum dan filsafat dan tradisi agama. Sistem hukum selalu didefinisikan
dalam skema tripartit sesuai dengan sumber perilaku sosial yang memainkan peran utama
di atara mereka. Dengan ini, Mattei melihat sistem hukum dunia menganut pada salah satu
dari tiga kategori sistem hukum tersebut, yaitu: peraturan hukum profesional, hukum
politik, dan hukum tradisional.
Sistem hukum yang termasuk dalam kategori ketiga, aturan hukum tradisional, dapat
dilihat dari pola hukum dimana agama ataupun filosofi transcendental yang melekat dalam
dimensi internal individu dan dimensi kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Dalam sebuah sistem, lembaga hukum bisa saja terbentuk; akan tetapi, bagaimana
lembaga hukum tersebut bekerja tentunya akan berbeda jika dibandingkan dengan  suatu
sistem yang dijalankan dengan hukum profesional. Menurut Mattei, beberapa ciri dari
suatu sistem hukum tradisional adalah: terbatasnya peranan pengacara dikarenakan
besarnya peran sesepuh atau orang yang dianggap mengerti agama, mediator, dan mereka
yang memiliki wewenang keagamaan; pandangan yang begitu menomorsatukan rasa
penyesalan; pandangan yang begitu menjunjung tinggi keselarasan; serta keberadaan
kode-kode bergaya Barat yang tidak memiliki landasan sosial yang penting, sehingga
membatasi kinerja lembaga-lembaga hukum hanya pada bidang-bidang hukum tertentu
saja atau masyarakat tertentu saja.
Taksonomi Mattei dapat dibandingkan dengan pendekatan terhadap pembangunan
hukum yang dikenalkan oleh Eugene Kamenka Alice Tay. Pendekatan tersebut diambil
dari karya-karya Weber serta ahli sosiologi lainnya, Ferdinand Tonnies, serta
pengembangan dari pandangan yang menyatakan bahwa sistem hukum modern dan
pembangunan hukum biasanya terdiri dari:
Benturan yang agak sulit dimengerti antara tiga paradigma besar mengenai ideologi
sosial, organisasi sosial, hukum dan administrasi… disebut dengan the Gemeinschaft atau
keluarga komunal organik, the Gesellschaft atau perjanjian individu-komersial, serta
paradigma birokrasi administratif.
Aturan sosial model gemeinschaft berdasar pada norma-norma intrinsik dan nilai-nilai
masyarakat yang dijunjung tinggi. Sedangkan aturan sosial model gesellschaft berasal dari
ideologi liberal Barat; khususnya pemikiran tentang pemisahan antara negara dan individu.
Bentuk birokrasi administratif suatu aturan sosial memaknai aturan sebagai suatu cara
untuk mendapatkan intisari dari tujuan kebijakan yang ditetapkan oleh negara. Dengan
demikian, gemeinschaft lebih terarah pada internalisasi norma sosial, gesellschaft lebih
terarah pada hak asasi manusia, dan konsep birokrasi administratif lebih pada kebijakan
negara.
Pandangan Kamenka-Tay mengenai pembangunan hukum sangatlah berguna dimana
pandangan tersebut menjelaskan tiga tipe dasar organisasi sosial dan bagaimana setiap tipe
tersebut dapat menentukan jenis sistem hukum yang terjadi dalam masyarakat. Terlebih
lagi, pandangan-pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan pola hukum menurut
Mattei. Aturan Mattei terhadap hukum tradisional secara umum dapat disamakan dengan
paradigma  gemeinschaft: aturan mengenai hukum politis dengan paradigma birokrasi-
administratif; dan aturan hukum profesional dengan paradigma gesellschaft.
Akan tetapi, meskipun terdapat kesamaan, masih terdapat hal-hal yang belum
sempurna. Dalam hal ini, taksonomi Mattei secara terbuka mengakui adanya dampak
politik terhadap sistem hukum serta menciptakan sebuah kategori baru mengenai hal ini.
Senada dengan Weber, taksonomi Mattei membuat kekuatan politik dan aturan hukum
politik menjadi kekuatan yang berseberangan dengan rasionalitas formal yang membentuk
landasan bagi aturan hukum profesional. Sebaliknya, dalam pendekatan Kamenka-Tay
tidak jelas apakah rasionalitas formal Weber merupakan suatu fungsi bagi gesellschaft dan
paradigma birokrasi administratif, atau salah satunya, atau tidak keduanya. Perbedaan
yang tidak jelas ini mengakibatkan tidak diperhitungkannya kekuatan politik dalam suatu
sistem hukum. Berdasarkan alasan ini, pendekatan Mattei biasanya lebih disenangi
daripada pendekatan Kamenka-Tay.
Sampai disini, penting untuk membahas dua implikasi penting yang diperoleh dari
taksonomi Mattei. Pertama, taksonomi ini mencoba untuk menggabungkan dan
merefleksikan peran budaya hukum dalam suatu sistem hukum yang berlaku. Dengan
mengunakan pandangan fundamental Weber, dimana hukum adalah suatu alat organisasi
sosial, Mattei mengembangkan sebuah taksonomi yang secara eksplisit menjelaskan
bahwa  norma-norma budaya suatu masyarakat memiliki muatan kritis terhadap sifat dari
sistem hukum ini. Norma-norma budaya ini bermanifestasi dalam berbagai kekuatan
sosial, politik, dan ekonomi yang kemudian akan menentukan tipe aturan hukum yang
mendominasi suatu sistem hukum tertentu.
Kedua, dengan menambahkan bahwa klasifikasi dari suatu sistem hukum merupakan
hasil dari perubahan kompetiti atas tiga kekuatan politik, hukum, dan tradisi, Mattei
menawarkan sebuah perspektif yang dinamik terhadap studi tentang komparasi sistem
hukum. Lebih dari itu, fakta bahwa ia menyebut kategori hukum politis sebagai “hukum
tentang pengembangan dalam transisi” menjelaskan bahwa Mattei mengerti akan hal itu,
sehingga dalam situasi tertentu, sistem hukum mampu dan mau untuk pindah dari model
hukum tradisional, model hukum politis, menjadi model hukum profesional.
Perubahan Model
Gagasan Friedman tentang budaya hukum sangatlah berguna untuk menganalisis kenapa dan
bagaimana sebuah sistem hukum bekerja pada waktu tertentu. Namun demikian, konsep dia
sepertinya tidak banyak membantu ketika digunakan dalam analisis tentang bagaimana
sebuah sistem hukum dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan perubahan yang terjadi dari
waktu ke waktu. Taksonomi Mattei yang baru sangat berguna untuk tujuan pemahaman
terhadap bagaimana sebuah sistem hukum bisa berubah dari pola hukum tradisional menjadi
pola hukum politis dan akhirnya pola hukum profesional. Namun, ternyata terdapat mata
rantai yang hilang antara pandangan Mattei terhadap perubahan dinamik dalam suatu sistem
hukum dan gagasan Friedman tentang apa yang menjadikan sebuah sistem hukum.
Oleh karena itu, bahkan dengan kontribusi yang diberikan oleh Friedman dan Mattei, masih
tetap sulit untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Apakah hubungan kausal, jika ada, yang
terjadi antara tiga elemen struktur, hukum substantive dan budaya hukum di satu sisi, serta
kekuatan ekonomi eksternal, politik atau sosial di sisi lainnya? Ketika kekuatan eksternal ini
bersinggungan  dengan sistem hukum, apakah hal ini menimbulkan suatu perubahan dalam
struktur, hukum substantive atau budaya hukum? Dapatkah sebuah perubahan dalam hukum
substantive,  misalnya import, juga mengubah budaya hukum, dan kerangka ekonomi serta
politik?

1. Budaya, Kesadaran & Kebiasaan

Sebuah buku antropologi karangan antropolog Amerika terkenal, Clifford Geertz,


memberikan sebelas definisi budaya. Geertz sendiri mendefinisikan budaya sebagai:
sebuah pola yang diwariskan turun-temurun tentang makna yang terkandung dalam simbol-
simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan dan tertuang dalam bentuk-bentuk simbolik
yang merupakan cara bagi manusia untuk berkomunikasi, meneruskan, dan mengembangkan
pengetahuan mereka dan sikap mereka dalam menghadapi hidup.
Definisi oleh rancis Fukuyama: budaya adalah ‘kebiasaan baik yang diwariskan turun
temurun’. Definisi Fukuyama yang kurang jelas ini sebenarnya menekankan pada dua aspek
penting budaya. Pertama, budaya bersifat baik dalam pengertian bahwa budaya mengandung
nilai-nilai yang membedakan antara yang baik dan yang benar, atau apa yang dapat diterima
dan tidak dapat diterima dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya mengatur segala tingkah
laku dengan menyatakan nilai-nilai dan norma tertentu yang baik atau dapat diterima dan
yang tidak baik atau tidak dapat diterima.
Aspek penting kedua yang harus diperhatikan dalam definisi Fukuyama adalah budaya tidak
harus rasional. Sebaliknya, budaya diwariskan dan diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui suatu proses pengulangan. Fukuyama mengutip contoh seorang lelaki
China yang menggunakan sumpit untuk makan mie. Orang itu melakukan hal tersebut karena
suatu kebiasaan, bukan melalui proses penilaian efisiensi atau tingkat kenikmatan yang
diperoleh dengan makan mie menggunakan pisau dan garpu ala Barat dibandingkan dengan
memakai sumpit. Dalam hal ini, budaya bukanlah sesuatu yang rasional atau irasiomal tetapi
sesuatu yang arational.
Berdasarkan pendapat bahwa budaya adalah kebiasaan baik yang diwariskan, disini dapat
dientifikasi dua elemen terpisah dari konsep Friedman tentang budaya hukum. Elemen yang
pertama dengan ‘legal habit (kebiasaan hukum.’ Dalam hal ini, merujuk pada tindakan, sikap,
nilai-nilai dan pendapat berkaitan dengan lembaga hukum dan hukum yang diwariskan dan
diteruskan oleh seorang individu atau masyarakat melalui proses pembiasaan. Disebut elemen
kedua ini ‘legal consciousness (kesadaran hukum)’.
Dalam hal ini menekankan pada kemampuan yang mencerminkan dan menilai sikap serta
nilai-nilai yang membentuk kebiasaan hukum (legal habit). Oleh karenanya kesadaran hukum
sebuah komunitas mengacu pada kapasitas komunitas tersebut untuk mempertimbangkan
apakah beberapa kebiasaan hukum—sikap tertentu, nilai, pendapat atau keyakinan  tentang
hukum—dapat diterima atau tidak diterima dalam komunitas tersebut.
Menurut definisi-definisi tersebut, kebiasaan hukum (opini aktual atau sikap) dan kesadaran
hukum (segala hal mengevaluasi kebiasaan hukum) keduanya merupakan fungsi dari pikiran.
Kunci dari perbedaan ini adalah kebiasaan (habit), dalam bentuk sikap, nilai-nilai, dan opini,
menjelaskan isi dari pikiran kita pada suatu saat tertentu. Sebaliknya, kesadaran menjelaskan
kapasitas dari pikiran yang sama untuk menilai sikap dan pendapat yang dipercayainya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan hukum (legal habit) berhubungan
dengan masalah sikap, dan kesadaran hukum (legal consciousness) berhubungan dengan
kapasitas penilaian. Dengan kata lain, kebiasaan hukum lebih banyak menggambarkan sikap
masyarakat terhadap hukum pada suatu masa, sementara kesadaran hukum menentukan
bagaimana sikap tersebut selalu berubah sepanjang waktu.
Mungkin contoh berikut ini akan membantu memberikan gambaran perbedaan antara
kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness). Perhatikan sikap
orang Asia terhadap proses pengadilan gaya Barat yang berlawanan. Banyak komentator
yang melihat bahwa orang-orang Asia cenderung menolak proses pengadilan dan lebih
menyukai metode penyelesaian masalah tanpa menggunakan jalur pengadilan, misalnya
mediasi. Sikap seperti itu terjadi akibat sistem nilai yang lebih menghargai keselarasan sosial
dan menjaga hubungan baik dibandingkan dengan penghargaan banyak masyarakat Barat
terhadap nilai-nilai tersebut.
Jika penolakan terhadap proses pengadilan ini dianut oleh komunitas orang Asia tertentu,
maka hal ini akan menjadi kebiasaan hukum (legal habit) dari masyarakat tersebut, lebih luas
lagi, budaya hukum masyarakat tersebut. Lebih jauh lagi, jika Fukuyama benar dalam
melakukan penilaian bahwa budaya adalah warisan atas kebiasaan baik, hal ini berarti bahwa
penolakan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses
pembiasaan dan bukan suatu pilihan yang rasional. Dengan kata lain, dalam masyarakat Asia,
anak-anak tumbuh berkembang dalam suatu kebiasaan hukum (legal habit) yang menolak
suatu proses pengadilan tanpa harus memikirkan lebih dalam hal tersebut.
Namun demikian, ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya sendiri serta mulai merefleksikan isu-isu hukum, kesadaran hukum individual
dan kolektif mulai terbentuk. Mereka mulai mengevaluasi kebiasaan hukum mereka (legal
habit). Seandainya, pada akhirnya, salah satu dari anak-anak ini ada yang menjadi eksekutif
senior perusahaan yang harus memutuskan untuk mengajukan tuntutan terhadap partner
bisnis yang curang. Dia mungkin akan memutuskan untuk tetap menggunakan proses hukum
daripada melakukan penolakan seperti para pendahulunya.
Dengan kata lain, kesadaran hukumnya telah melakukan evaluasi terhadap kebiasaan
hukumnya dan dengan demikian melemahkan keengganannya terhadap proses pengadilan.
Jika pengalaman-pengalaman individu ini banyak terjadi dalam masyarakat, maka setelah
beberapa waktu, budaya hukum seluruh masyarakat akan berubah, yang ditandai dengan
berkurangnya penolakan terhadap proses pengadilan. Maka, budaya hukum berubah
sepanjang waktu melalui interaksi antara kesadaran hukum dan kebiasaan hukum. Dengan
kata lain, pada saat kebiasaan hukum mendominasi budaya hukum pada suatu masa tertentu,
maka kesadaran hukum-lah yang akan mempengaruhi budaya hukum dalam periode yang
lebih lama.
Maka, konsep kesadaran hukum memberikan suatu alat bagi kita untuk menganalisis
perubahan-perubahan dalam budaya hukum dalam suatu konteks yang dinamis. Dengan
identifikasi kebiasaan hukum dan kesadaran hukum sebagai dua elemen penting konsep
Friedman mengenai budaya hukum, maka disini dilakukan perbaikan terhadap konsep
Friedman. Dalam hal ini, konsep tersebut menjadi lebih tepat digunakan dalam membuat
analisis yang dinamis dan prediktif.
Gagasan Friedman mengenai budaya hukum pada tingkat permukaan dan budaya hukum
internal dapat juga dipahami sebagai tambhan terhadap konsep kesadaran hukum (legal
consciuosness). Karena budaya hukum internal mengacu pada sikap dan pendapat dari
profesional yang paham tentang hukum, maka dapat dimengerti bahwa budaya hukum
internal lebih mudah dimengerti sehingga memiliki kesadaran hukum yang lebih baik. Ketika
pengacara, hakim dan pembuat undang-undang cenderung lebih terbuka terhadap
pembangunan di luar negeri, maka sangatlah masuk akal untuk menempatkan mereka di baris
terdepan dalam pemikiran hukum serta hal-hal lain yang dapat membuat mereka memiliki
kemampuan yang sama, reformasi hukum. Sebaliknya, masyarakat umum dengan budaya
hukum tingkat permukaan yang lebih rendah tingkat kesadaran hukum-nya, cenderung
terlambat, baik dalam hal pemikiran hukum maupun reformasi hukum.
Dengan kata lain, para profesional bidang hukum—dengan budaya hukum internal yang lebih
tinggi tingkat kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat menjadi pemimpin-pemimpin
perubahan hukum dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat umum—dengan budaya
hukum pada tingkat permukaan yang lebih rendah kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat
mengikutinya, meski kadang yang terjadi adalah penolakan terhadap suatu perubahan karena
mereka memang enggan untuk berubah.
Konsep kembar tentang kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal
consciousness) dapat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya dalam mengidentifikasi
elemen-elemen budaya hukum. Satu pendekatan alternatif adalah analisa budaya hukum
melalui ‘budaya keluarga’ (misal budaya hukum orang-orang Barat, Asia, Islam, dan Africa).
Berdasarkan pendekatan ini, apa yang membuat sebuah keluarga memiliki nilai budaya yang
unik dibandingkan keluarga lain adalah faktor rasional-irasional dan faktor individualisme-
kolektivisme. Dalam nilai budaya suatu keluarga, apa yang membuat sistem hukumnya
berbeda dengan yang lain adalah ‘kebersaman pemahaman (shared understandings)’ yang
terjadi dalam masyarakat tersebut. Kebersamaan pemahaman (shared understandings) ini
meliputi konsep masyarakat tentang hukum, teori penalaran hukum, metodologi hukum, teori
argumentasi, teori legitimasi hukum, serta pandangan mendasar tentang dunia.
Namun demikian, secara keseluruhan ada dua hal dalam pengamatan yang membuat
penggunaan nilai budaya keluarga kurang begitu membantu dalam usaha ini. Pertama,
cakupan nilai budaya keluarga terlihat terlalu luas. Misalnya, dalam masyarakat Asia,
terdapat begitu banyak budaya hukum yang berbeda. Kadang-kadang, dalam satu negara Asia
—seperti Indonesia—bisa saja terdapat sejumlah budaya hukum. Untuk mengumpulkan
berbagai macam budaya hukum yang berbeda dalam satu payung ‘budaya hukum Asia’ jelas
akan mematahkan tujuan analisis hukum lintas budaya. Kedua, usaha ini kurang begitu
memuaskan karena terkesan sangat ke-Barat-barat-an dimana faktor-faktor yang memuat
kebersamaan pemahaman (shared understandings) dalam suatu masyarakat mungkin menjadi
tidak relevan bagi masyarakat lain. Misalnya, seseorang mungkin ragu apakah budaya hukum
masyarakat Jawa memiliki teori argumentasi atau memiliki kebersamaan pemahaman
(shared understandings) terhadap suatu permasalahan.
Pendekatan lainnya terhadap analisa elemen-elemen pokok budaya hukum adalah dengan
melihat budaya sebagai suatu lapisan eksplisit dan implisit. Menurut pandangan ini, lapisan
eksplisit terdiri dari kenyataan yang dapat diamati seperti mode pakaian atau bahasa dari
suatu masyarakat. Lapisan implisit terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi dasar
berkaitan dengan pandangan mereka tentang dunia. Jadi, pemahaman terhadap lapisan
implisit atau budaya sangatlah penting karena disini-lah terdapat ‘serangkaian aturan dan
metode yang telah dikembangkan masyarakat untuk menghadapi masalah-masalah yang
mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan terhadap budaya hukum dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan ternyata
sesuai dengan pendekatan yang menggunakan konsep gagasan kembar, kebiasaan hukum dan
kesadaran hukum. Budaya eksplisit mengacu pada kebiasaan hukum sedangkan budaya
implisit mengacu pada kesadaran hukum. Lebih penting lagi, kedua pendekatan tersebut
menyatakan bahwa budaya implisit (atau kesadaran hukum), ketika dihadapkan dengan isu-
isu moral atau dilema lain yang melibatkan pengambilan suatu keputusan, ternyata memiliki
kemampuan untuk mengevaluasi budaya eksplisit (atau kebiasaan hukum) dan pada akhirnya
membuat suatu perubahan yang penting.

2.  Model Kerja

Apa yang terjadi jika model sistem hukum Friedman, dimodifikasi dengan memasukkan
elemen-elemen kebiasaan hukum dan kesadaran hukum, kemudian disejajarkan dengan
taksonomi Mattei serta pendekatan evolusioner terhadap hukum dan pembangunannya seperti
yang telah dibahas pada awal bab ini? Hal ini akan menciptakan sebuah model yang
sederhana namun tepat guna tentang bagaimana suatu sistem hukum berubah dalam suatu
cakupan yang lebih luas dalam bidang ekonomi, politik dan kerangka sosial yang melekat
dalam sistem hukum tersebut. Lebih jelasnya, model seperti ini mencermati empat implikasi
penting berkaitan dengan hubungan antara hukum dan pembangunannya.
Implikasi pertama adalah bahwa budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu
reformasi hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena budaya hukum-lah
yang melemahkan perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum yang sebenarnya;
dengan demikian, budaya hukum adalah ‘sumber hukum—norma-norma yang dimilikinya
menciptakan norma hukum’. Usaha-usaha untuk mengubah tingkah laku dengan mengubah
lembaga hukum atau hukum itu sendiri, jika tidak didukung perubahan dalam budaya hukum
hanya akan bertahan sebentar dan tentu saja sia-sia.
Yang menarik perhatian, setelah melakukan survey tentang pembangunan ekonomi manusia,
Landes berjalan dalam suatu jalur paralel ketika dengan tepat ia menyimpulkan:”Jika kita
belajar dari sejarah pembangunan ekonomi, maka, budaya lah yang membuat semua
berbeda.”
Implikasi kedua adalah bahwa budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat dari
semakin berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini tertanam dalam kenyataan bahwa
nilai-nilai atau sikap tertentu terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi masyarakat. Hal
ini terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya berkaitan dengan hak indvidu
dan demokrasi dan meninggalkann gagasan lama seperti status dan sistem patriarchal. Hal ini
dipelopori oleh kelas kecil elit hukum yang menerapkan budaya hukum internal. Sebaliknya,
ketika budaya hukum berubah, masyarakat akan lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan
dalam lembaga hukum dan hukum itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, hukum asing dapat
dengan mudah diadaptasi dan diimplementasikan.
Implikasi ketiga adalah perubahan-perubahan dalam kesadaran hukum yang dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti peristiwa-peristiwa ekonomi, politik dan
sosial. Friedman mengerti akan hal ini ketika ia menyatakan bahwa budaya hukum ‘adalah
suatu variabel yang aling terkait. Kekuatan sosial membuat hukum, tetapi mereka tidak
membuat nya langsung…’ Maka, di satu sisi kesadaran hukum merubah budaya hukum,
budaya hukum merubah sistem hukum, dan sistem hukum mempengaruhi sistem sosio-
ekonomi dan politik dalam cakupan yang lebih luas. Dan di sisi lainnya, tekanan sosio-
ekonomi dan politik sangat mempengaruhi kesadaran hukum.
Pandangan ini sesuai dengan pendekatan Weberian terhadap hukum dan masyarakat yang
mencermati keterkaitan berbagai hubungan sosial. Secara khusus, dampak tekanan terhadap
kesadaran hukum dari para elit profesional hukum sangatlah penting karena para elit-lah yang
biasanya menjadi pemimpin dalam membentuk budaya hukum masyarakat. Harus pula
dicatat bahwa agenda politik dari mereka yang memegang kekuasaan—yang mungkin tidak
sama dengan para elit hukum—akan menentukan pengaruh eksternal mana yang akan
dijabarkan kedalam perubahan-perubahan nyata dalam kesadaran hukum.
Implikasi keempat adalah bahwa pendekatan Weberian menyatakan, selama ini pembangunan
eksternal dalam bidang ekonomi, politik dan sosial dapat mempengaruhi kesadaran hukum
suatu masyarakat terhadap penerimaan yang lebih besar akan sistem hukum yang lebih
rasional. Hal ini memberi jalan bagi pandangan Weber atas masyarakat yang berpandangan
rasional terhadap hukum yang selama ini didomonasi oleh birokrasi yang kuat.
Perubahan yang serupa juga dijelaskan oleh Kamenka-Tay sebagai suatu konfrontasi antara
gemeinschaft, gessellschaft dan paradigma birokrasi administratif. Intinya adalah bahwa
pendekatan Kamenka-Tay tidak menjelaskan bagaimana konfrontasi antara ketiga kekuatan
itu akan dimainkan. Model pendekatan menjelaskan bahwa faktor penentunya adalah
kesadaran hukum dalam suatu masyarakat.  Jika jumlah kesadaran hukum bersimpati
terhadap intrinsik, memegang teguh norma tradisional, maka paradigma gemeinschaft akan
mendominasi; jika berganti dan menjadi lebih bersimpati terhadap liberalisme klasik Barat
atau pemikiran tentang birokrasi negara yang kuat, maka gessellschaft atau paradigma
birokrasi administratif yang sebaliknya akan mendominasi.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, saat ini sangat mungkin untuk menggambarkan
hubungan antara struktur hukum, hukum itu sendiri dan budaya hukum—termasuk juga
kebiasaan hukum dan kesadaran hukum—dalam suatu sistem hukum tertentu, begitu pula
dengan dampak dari faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik dan sosial terhadap
sebuah sistem.

You might also like