Professional Documents
Culture Documents
1. PENGANTAR
2. TINJAUAN ATAS PSAK
3. Lampiran
PENGANTAR
Laporan auditor independen menggunakan istilah “prinsip akuntansi yang
berlaku umum (PABU) sebagai acuan untuk penyajian laporan keuangan secara
wajar. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan salah satu unsur PABU di
samping ketentuan Bapepam dan standar akuntansi keuangan internasional
(seperti IAS dan FASB untuk hal-hal yang belum diatur SAK).
Di lain pihak, untuk standar yang diterapkan oleh akuntan publik, laporan
auditor independen dengan tegas menyatakan “kami melaksanakan audit
berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia.
a. SAK belum cukup mengatur PABU, karenanya masih ada sumber acuan lain
yang perlu diperhatikan. Ini tentunya tidak mengherankan karena PABU
berkembang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Karena dunia usaha
bergerak secara dinamis, SAK akan tertinggal. Implikasi dari hal ini adalah
adanya tuntutan untuk :
- menambah, memperbaharui dan meninjau kembali SAK yang ada. Ini
merupakan tantangan bagi IAI.
- Mencari sumber-sumber lain selagi SAK belum mengatur suatu prinsip
akuntansi atau jika SAK belum dimutakhirkan untuk mengikuti dinamisnya
dunia usaha. Ini merupakan tantangan bagi dunia usaha dan akuntan
publiknya.
• alinea 14
Komentar :
Pelaksanaan alinea ini masih bervariasi antara penyajian kerugian ini
sebagai goodwill (asset) atau sebagai ekuitas negatif.
Alinea 23
(a) Perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan.
(b) Peristiwa atau transaksi material yang terjadi diantara tanggal pelaporan
tersebut diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan kon solidasi”.
Komentar :
Yang belum diatur dalam PSAK ini adalah penerbitan saham baru oleh
anak perusahaan kepada pihak lain dengan agio. Contoh : perusahaan anak
mempunyai modal disetor Rp 100 juta, tanpa agio, yang dimiliki 100 % oleh
perusahaan induk. Perusahaan anak kemudian mengeluarkan saham dengan
nilai nominal Rp 25 juta dan menjualnya kepada pihak luar dengan harga Rp 50
juta (agio Rp 25 juta) yang mewakili 20 % saham dalam perusahaan anak. Agio
“milik perusahaan induk” sebesar 80 % dari Rp 25 juta, atau Rp 20 juta, harus
disajikan sebagai apa dalam parent interest : sebagai “income” atau disajikan
terpisah dalam equitas.
Alinea 32 (b)
“Dalam menjabarkan laporan keuangan suatu entitas asing untuk disatukan /
diinkorporasi dengan laporan keuangan perusahaan pelapor, digunakan
prosedur sebagai berikut :
(a) ….
(b) Pendapatan dan beban entitas asing dijabarkan dengan menggunakan
kurs berlaku pada tanggal transaksi.
(c) …”
apabila perusahaan menerapkan aturan ini, biaya penerapannya akan tinggi.
Alternatif yang lebih baik dapat dilihat dalam PSAK # 31 ( Akuntansi Perbankan)
alinea 23
sayangnya PSAK #31 alinea 23 (“Laporan Keuangan dalam mata uang asing
terlebih dahulu harus disajikan sesuai dengan SAK”) justru mengacu kembali
kepada SAK.
Alinea 86
“Suatu penyatuan kepemilikan (uniting of interest) harus dibukukan dengan
menggunakan metode penyatuan kepemilikan (pooling of interest method), yang
akan dijelaskan pada paragraf 87,88,dan 89”.
Alinea 92 (b)
“Laporan keuangan harus mengungkapkan :
(a)…..
(b)bila masa manfaat goodwill lebih dari lima tahun, penjelasan tentang
alasan dan pertimbangan yang digunakan.
(c) …
(d) …”
Bagi saya, PSA ini secara keseluruhan merupakan PSA yang paling
kontroversial. PSA ini “dipindahtangankan” dari Statement on Auditing Standard
# 54 (Illegal Act by Client). Dalam alam legalitas Amerika, SAS ini masuk akal.
Misalnnya dalam konteks foreign Corrupt Practices Act, mereka ingin
menegaskan tanggungjawab perusahaan dan akuntan publik mengenai korupsi
di luar Amerika.
Namun, bagaimana PSA ini akan diterapkan dalam suasana berbisnis maupun
suasana sosial di negara kita ?
Pengamatan ini bukan barang baru. Peserta diskusi exposure draft waktu
itu sudah mengemukakan kekhawatiran ini. Apakah ada akuntan yang
mempertimbangkan PSA ini dalam praktek akuntan publiknya ? kalau ya, apakah
ada indikasi dari pelaksanaan PSA ini di dalam kertas kerja auditnya ?
Lampiran