You are on page 1of 19

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Alloh SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta segala kemudahan-Nya sehingga dengan
waktu yang sangat terbatas saya dapat menyelesaikan tugas dari Pembina
Penegak Gudep Samarinda 01.129 Panembahan Senopati tentang penulisan
makalah yang bertema “KESAKTIAN PANCASILA”.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
dapat menempuh ujian kenaikan tingkat ke Penegak Bantara. Disamping itu,
penulis juga berharap agar makalah ini bisa menjadi salah satu bahan
renungan bagi penulis sendiri maupun bagi rekan – rekan sesama anggota
Pramuka tentang liku – liku sejarah Idiologi Negara Republik Indonesian yaitu
Pancasila.

Seperti kita ketahui bersama, seiring dengan runtuhnya era Orde Baru
yang digantikan oleh era Reformasi, banyak sekali terjadi kontroversi mengenai
sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, sejarah lebih
didominasi oleh versi ‘PENGUASA’ dengan media ‘Pusjarah TNI’ (dulu ABRI),
TVRI, RRI dan pusat – pusat penerangan lainnya milik pemerintah yang
tentunya lebih berpihak kepada ‘PENGUASA’. Sedangkan para pelaku sejarah
yang sebagian masih hidup kala itu tidak punya keberanian untuk mengungkap
fakta sesungguhnya dari kejadian yang mereka alami. Sementara itu di masa
Reformasi ini yang notabene sebagian saksi sejarah sudah banyak yang
berpulang, orang baru berani menyampaikan sejarah dengan versi mereka
dengan meninggalkan makna dan tauladan dari sejarah itu sendiri. Kondisi ini
tentunya sangat membingungkan para kaum muda sebagai penerus sejarah.
Beberapa kejadian bersejarah yang saat ini banyak diperdebatkan dan
diragukan kebenarannya adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret,
peristiwa G30S/PKI, Kesaktian Pancasila dan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar).

Saya sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Hal ini sama sekali bukan unsur kesengajaan, melainkan karena
keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya. Pada kesempatan ini saya juga
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi
kesempurnaan penyusunan makalah ini. Adapun sumber yang menjadi acuan
dalam penyusunan makalah ini diambil dari beberapa website diinternet.
Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini, saya mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Wabillahitaufik wal Hidayah Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu


Samarinda, 06 Maret 2010
Penyusun Makalah

AGENG WISNU WARDANA


NTA. 17.07.01.001.010129
KESAKTIAN PANCASILA

PENDAHULUAN.

Pancasila mengandung makna yang amat penting bagi sejarah


perjalanan Bangsa Indonesia. Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar
negara ini. Artinya segala tindak tanduk dari orang-orang yang termaktub
sebagai warga negara dari republik yang bernama Indonesia, haruslah
didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila. Apakah dia sebagai
seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan lain sebagainya.

Akan tetapi banyak kenyataan yang bisa membuktikan bahwa nilai-nilai


dan semangat Pancasila sudah kurang membumi. Salah satu bukti bahwa
semangat dan nilai Pancasila tidak membumi di negeri ini adalah terlihat dari
kebersamaan dan persaudaraan kita yang mulai melemah. Padahal dilihat dari
sejarahnya bahwa bangsa ini dari awalnya adalah bangsa yang kaya akan
keberagaman. Kaya akan perbedaan. Singkatnya, bangsa ini adalah bangsa
yang pluralistik. Keberagaman menjadi jati diri kita sebagai sebuah bangsa.
Karena itu, keberagaman tidak perlu dihilangkan. Dia hanya perlu dihargai,
dihormati dan diperlakukan secara adil. Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu
khususnya ketika menjelang Pilkada di beberapa daerah, keberagaman itu
“terkoyak-koyak” oleh karena kepentingan politik sesaat.

Keberbedaan, baik dari segi suku, agama, warna kulit bukan untuk
dieksploitasi untuk kepentingan sesaat, apalagi yang sifatnya individual. Tetapi
lebih dijadikan sebagai potensi untuk memperkaya khasanah demokrasi.
Kemudian, bagaimana eksistensi budaya nasional yang bertumpu pada nilai-
nilai budaya yang masih hidup dan dihayati oleh masyarakat dikembangkan
dan dimanifestasikan dalam praxis kehidupan di masyarakat.

Belakangan ini, terjadi perdebatan tentang penempatan Pancasila


sebagai satu-satunya asas dalam pendirian partai. Sebetulnya, jika kita paham
akan makna dan nilai-nilai kesaktian Pancasila, maka perdebatan itu tidak
perlu lagi terjadi. Kita tidak lagi kembali ke belakang. Maka yang seharusnya
diperdebatkan dengan cerdas dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
(RUU) paket politik, khususnya RUU Partai Politik (Parpol), adalah bagaimana
menata agar parpol lebih aspiratif terhadap keberadaan rakyat serta
peranannya dalam konsolidasi demokrasi kita.

Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak boleh lagi diganggu gugat
sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh sebagai
pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak ada
yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan lagi.
Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini
didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah
hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia.

Kemudian, kita patut bertanya, apa gerangan yang terjadi dengan


perubahan politik kita sehingga Pancasila tidak layak lagi dijadikan sebagai
asas dari seluruh perikehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk
kehidupan berpolitik? Adakah sesuatu yang berubah dengan sejarah kita?

Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga.


Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan
sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan
kesaktian Pancasila itu sendiri. Hal ini penting khususnya bagi generasi muda
bangsa ini. Generasi baru tidak akan memiliki rasa percaya diri dan
kebanggaan atas bangsa ini tanpa mengenali sesungguhnya sejarah
kehidupannya.

Di tengah terpaan pengaruh kekuatan global, kita seharusnya


menguatkan dan memperlengkapi diri agar tidak terjerembab dalam lika-liku
zaman sekarang ini. Salah satunya adalah dengan menggali kembali nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai itulah yang kemudian
kita maknai sebagai energi untuk membangun kembali jati diri bangsa ini.
Bangsa ini bisa berdiri tegak, hanya jika mau kembali menghidupkan dan
sekaligus mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan


menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat
Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai
salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di
negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.
LATAR BELAKANG TIMBULNYA HARI KESAKTIAN PANCASILA

Mengapa 1 Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila?

Menjelang dan pada tahun 1965, PKI merupakan partai komunis terbesar
setelah partai komunis di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Rusia. Walaupun DN
Aidit, pemimpin partai pada saat itu selalu menyerukan untuk kerja sama
dengan militer dan polisi, serta menolak sistem penerapan komunisme dari
RRC dan Rusia, PKI tetap menjadi dan dianggap sebagai ancaman bagi militer.
Anggapan ini diperkuat dengan propaganda pemikiran Soekarno tentang
Nasionalisme, Agama dan Komonisme (Nasakom) dan dukungannya untuk
mempersenjatai angkatan ke lima yang terdiri dari buruh dan petani, selain
Angkatan Militer dari Darat, Laut, Udara dan Polisi.

Angkatan kelima, yang merupakan usulan PKI, diadakan karena situasi politik
yang penuh gejolak dan seruan revolusioner dari Presiden Soekarno serta
banyaknya konflik seperti Irian Barat (Trikora) dan Ganyang Malaysia (Dwikora)
yang membutuhkan banyak sukarelawan-sukarelawan. Hal ini menambah
kegusaran dikalangan pimpinan militer khususnya Angkatan Darat. Khawatir
unsur ini digunakan oleh PKI untuk merebut kekuasaan, meniru pengalaman
dari revolusi baik dari Rusia maupun RRC.

Peringatan Hari Kesaktian Pascasila ini bercikal bakal pada peristiwa 30


September 1965, di mana enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang dilakukan oleh para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah :

* Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,


* Mayjen TNI R. Suprapto
* Mayjen TNI M.T. Haryono
* Mayjen TNI Siswondo Parman
* Brigjen TNI DI Panjaitan
* Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun
dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:


* AIP Karel Satsuit Tubun
* Brigjen Katamso Darmokusumo
* Kolonel Sugiono

Berikut kronologi Gerakan 30 September yang didalangi PKI menurut versi


Militer (TNI) :

1 Oktober 1965, Kegiatan PKI menjelang Penculikan Jenderal TNI AD

• Pada pukul 01.30 tanggal 1 Oktober 1965, para pemimpin pelaksana


gerakan yang diketuai oleh Sjam mengikuti Letkol Untung untuk melihat
persiapan terakhir di Lubang Buaya.

• Pada pukul 02.30 tanggal 1 Oktober 1965 Lettu Dul Arief, Komandan
Pasukan Pasopati yang bertugas menculik para Jenderal, mengumpulkan para
anggotanya. Ia memberikan briefing kepada para komandan peleton, dan
kemudian membagi tugas Pasukan Pasopati. Ia menjelaskan, bahwa mereka
yang akan diculik adalah tokoh-tokoh Dewan Jenderal yang akan mengadakan
kup terhadap Presiden Sukarno. Oleh karena itu, mereka harus ditangkap
hidup atau mati. Taktik penculikan ialah mengatakan bahwa mereka
diperintahkan menghadap oleh Presiden. Selanjutnya para komandan pasukan
peleton penculik kembali ke anak buahnya untuk mempersiapkan diri.

• Pada pukul 03.00 tanggal 1 Oktober 1965 dimulai penculikan perwira


tinggi Angkatan Darat, yaitu Menko Hankam/Kasab Jenderal TNI A.H. Nasution.
Namun penculikan ini gagal karena Jenderal Nasution berhasil melarikan diri.
Namun, ajudan Jenderal Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean berhasil diculik
dan putri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani gugur sebagai perisai ayahnya.
Selanjutnya penculikan dilakukan terhadap Menteri/Panglima Angkatan Darat
Letnan Jenderal TNI A. Yani, pada pukul 03.30 tanggal 1 Oktober 1965,
kemudian Asisten I/Pangad Mayor Jenderal TNI S. Parman, Deputy II/Pangad
Mayor Jenderal TNI Suprapto, Deputy III /Pangad Mayor Jenderal TNI Haryono
M.T, Oditur Jenderal Militer/Inspektur Kehakiman AD Brigadir Jenderal TNI
Sutojo Siswomihardjo dan Asisten IV/Pangad Brigadir Jenderal TNI D.I.
Pandjaitan. Kesemua perwira tinggi AD yang berhasil dibunuh dan diculik
dibawa ke Lubang Buaya. Di Lubang Buaya, daerah Pondok Gede Jakarta,
semua korban penculikan yang masih hidup disiksa dan dibunuh, kemudian
mereka dimasukkan ke dalam sumur tua. Untuk menghilangkan jejak, sumur
itu ditimbuni dengan sampah dan dedaunan, sehingga tersamar.

Penculikan Men/Pangad Letjen A. Yani

Pukul 02.30 tanggal 1 Oktober 1965 pasukan penculik dari G30S/PKI


sudah berkumpul di Lubang Buaya. Pasukan dengan nama Pasopati dipimpin
Lettu Dul Arief. Pasukan penculik Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) Letjen TNI A. Yani memakai seragam Cakrabirawa tiba di
sasaran pukul 04.00 dan berhasil melucuti regu pengawal. Mereka memasuki
rumah dan bertemu dengan seorang putera Jenderal A. Yani. Para penculik
menyuruh anak tersebut untuk membangunkan ayahnya. Jenderal A. Yani
keluar dari kamar dengan berpakaian piyama. Salah seorang penculik
mengatakan bahwa Bapak diminta segera menghadap Presiden. Beliau akan
mandi dan berpakaian dulu. Salah seorang anggota penculik mengatakan tidak
perlu mandi dan mencuci muka pun tidak boleh. Melihat sikap yang kurang
ajar itu, Jenderal A. Yani marah dan menampar oknum tersebut. Beliau berbalik
dan menutup pintu. Ketika itulah Pak Yani diberondong dengan senjata
Thomson dan gugur seketika. Kemudian tubuh Jenderal A. Yani yang
berlumuran darah diseret ke luar rumah dan dilemparkan ke atas truk, lalau
dibawa ke Lubang Buaya.

Penganiayaan di Lubang Buaya

Dini hari tanggal 1 Oktober 1965 gerombolan G30S/PKI menculik 6 orang


pejabat teras TNI AD dan seorang perwira pertama. Mereka membawa para
perwira itu ke desa Lubang Buaya dan menawan mereka di sebuah rumah
yang bernama rumah penyiksaan. Di rumah ini tubuh mereka dirusak dengan
benda-benda tumpul dan senjata tajam, seperti senapan, pisau, dan benda-
benda lainnya sehingga tubuh mereka rusak.

Penyiksaan dan pembunuhan itu dilakukan oleh anggota Pemuda Rakyat


(PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan ormas-ormas PKI lainnya.
Sesudah disiksa para korban dilemparkan dalam sumur tua yang sempit.

Pertama jenazah Jenderal Pandjaitan, Jenderal A. Yani, Jenderal M.T. Haryono,


Jenderal Sutoyo, Jenderal Suprapto yang diikat bersama-sama dengan Jenderal
S. Parman. Terakhir adalah Jenazah Lettu P.A. Tendean. Penganiayaan tersebut
berlangsung sampai pukul 06.30 pagi.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 Partai Komunis Indonesia kembali


mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang
dikenal dengan nama Gerakan 30 September (G30S/PKI). Mereka menculik dan
membunuh Jenderal-Jenderal pimpinan Angkatan Darat dengan maksud
melumpuhkan kekuatan Pancasilais. Pagi itu pula mereka berhasil menguasai
Gedung RRI dan Gedung Pusat Telekomunikasi. Di bawah todongan pistol,
seorang penyiar RRI dipaksa menyiarkan pengumuman yang menyatakan
bahwa G30S/PKI telah menyelamatkan negara dari usaha kudeta “dewan
Jenderal”. Tengah hari mereka mengumumkan pembentukan Dewan revolusi
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara dan pendemisioneran
kabinet.

Pada saat negara sedang dalam bahaya, Panglima Komando Cadangan


Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto tampil untuk
menyelamatkan negara. Langkah pertama yang diambil adalah mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat yang pada waktu itu kosong, karena gugurnya
Jenderal Ahmad Yani.

Untuk menghentikan pengumuman-pengumuman yang menyesatkan


rakyat itu, Panglima Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
Mayjen Soeharto yang telah mengambil alih sementara pimpinan Angkatan
Darat memerintahkan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD) untuk membebaskan Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi
dari penguasaan G30S/PKI. Operasi yang dimulai pukul 18.30, dengan
mengerahkan kekuatan satu kompi dalam waktu hanya 20 menit, RPKAD
berhasil menguasai kembali kedua gedung vital itu. Pukul 20.00 tanggal 1
Oktober 1965 RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato radio Mayjen Soeharto
yang menjelaskan adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh PKI melalui G30S.

Setelah RRI dan Kantor Pusat Telekomunikasi dikuasai kembali,


selanjutnya diadakan penumpasan terhadap konsentrasi kekuatan G30S/PKI
yang berada di Pangkalan Udara Utama Halim, Jakarta. Pada hari tanggal 2
Oktober 1965 Halim berhasil dibebaskan. Sementara itu, D.N. Aidit, pimpinan
utama G30S/PKI merasa aksinya gagal segera melarikan diri meninggalkan
Pangkalan Halim Perdanakusuma menuju Yogyakarta sekitar pukul 02.00
tanggal 2 Oktober 1965. Di Yogyakarta dan kemudian di Jawa Tengah, ia masih
melanjutkan petualangannya sampai ditangkap dan ditembak mati oleh
pasukan TNI.

Dari peristiwa tersebut diatas, maka tanggal 1 Oktober diperingati


sebagai Hari Kesaktian Pancasila, yaitu telah terbukti bahwa Pancasila itu
ampuh dan berhasil menghalau dan menumpas komunis dan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dari muka bumi Indonesia dan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran pada percobaan
kudeta PKI tahun 1965.
.

KONTROVERSI TENTANG PERISTIWA G30S/PKI

Peristiwa G30S memang suatu peristiwa bersejarah yang perlu diteliti


secara tuntas, obyektif dan tanpa apriori untuk ditarik pelajaran-pelajaran
tertentu bagi rakyat Indonesia. Sebab dalam peristiwa itu ternyata banyak
adegan-adegan yang perlu dibongkar secara transparan, jelas dan tuntas demi
keadilan, misalnya :

Tersangkutnya Mayjen Suharto (presiden RI ke - 2) dalam peristiwa G30S,


berhubung dia telah mengetahui sebelumnya akan adanya gerakan tersebut.
Dia sangat bertanggung jawab terjadinya malapetaka tersebut, sebab tidak
melaporkan kepada Presiden Soekarno. Dengan demikian logis kalau dia juga
harus bertanggung jawab atas kematian jenderal-jenderal di Lubang Buaya.

Dari sejarah yang kita baca yang lebih banyak didominasi oleh versi TNI,
banyak sekali terdapat kejanggalan yang bisa memunculkan beberapa
pertanyaan sebagai berikut :

- Apa latar belakang pembunuhan para Jenderal yang mayoritas dari


Angkatan Darat?
- Mengapa Mayjen Suharto tidak mematuhi perintah Presiden Soekarno
(Pangti) 1 Oktober 1965 untuk menghentikan semua gerakan militer?
- Mengapa Mayjen Suharto memboikot pengangkatan Pranoto
Reksosamodro sebagai Pangad?
- Mengapa Aidit yang dituduh sebagai organisator G30S dibunuh, sehingga
tidak dapat diambil kesaksiannya yang diperlukan dalam
pengadilanmengenai G30S?
- Mengapa seorang Agen Polisi yang bernama SUKITMAN yang
menemukan Lubang Buaya tidak pernah muncul dalam sejarah bahkan
disejarah ditulis bahwa yang menemukan sumur maut itu adalah Pasukan
RPKAD yang menurut pengakuan dari Brigjen TNI (Pur) R. Sukendar

Dari beberapa misal tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa peristiwa


G30S belumlah tuntas jelas.

Tapi mengapa Pancasila dihubung - hubungkan dengan peristiwa G30S,


kalau peristiwa G30S-nya sendiri belum tuntas jelas? Bukankah belum jelas
juga apakah G30S anti Pancasila? Maka adalah suatu tanda tanya besar
mengapa tanggal 1 Oktober dijadikan "Hari Kesaktian Pancasila", disamping
penghapusan 'Hari Lahirnya Pancasila' 1 Juni. Apakah ini juga bukan rekayasa
lagi untuk menjadikan Pancasila sebagai topeng atau kuda tunggangan demi
maksud-maksud politik tertentu?

Rakyat Indonesia telah belajar dari kegagalan-kegagalan perjuangan


nenek
moyangnya melawan kolonialisme. Berkat rahmat Tuhan, dengan menyandang

Pancasila rakyat Indonesia yang bermacam-macam sukunya, agamanya dan


bahasanya telah bersatu padu berjuang untuk mendirikan Negara Indonesia
Merdeka dan berhasil mempertahankannya dari usaha kaum kolonialis
Belanda
yang ingin menjajah kembali.

Dengan dijiwai Pancasila pula rakyat Indonesia telah berhasil mempertahankan


keutuhan negara Indonesia dari bahaya perpecahan. Satu demi satu
pemberontakan - pemberontakan (Republik Maluku Selatan, PRRI-Permesta,
DI-TII dan lain-lainnya) berhasil dipatahkan. Dan akhirnya pada tahun 1962
Irian Barat dapat direbut kembali meski melalui perjuangan fisik dan diplomasi
yang berat. Hal-hal tersebut diatas membuktikan kesaktian Pancasila.

Tapi toh tidak perlu pada hari jatuhnya RMS dijadikan Hari Kesaktian
Pancasila?
Tapi toh tidak perlu hari runtuhnya PRRI - Permesta dijadikan Hari Kesaktian
Pancasila?
Tapi toh tidak perlu hari direbutnya kembali Irian Barat dijadikan Hari
Kesaktian Pancasila?

Jawaban mengapa 1 Oktober dijadikan Hari Kesaktian Pancasila adalah


rekayasa penguasa untuk menunggangi Pancasila demi kepentingan-
kepentingan politik.

Memang benarlah bahwa tekad pelaksanaan Pancasila secara


murni dan konsekwen itu "perlu dipertanyakan terus menerus agar
tetap segar dan tidak sekedar jadi slogan politik sementara isinya
tidak pernah tersentuh".

Kita tidak boleh menutup mata bahwa disamping kesaktian yang telah
terbukti, ternyata dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pusaka sakti Pancasila
tidak sepenuhnya berhasil digunakan. Malah ada kesan dia disimpan dalam
lemari kaca sebagai perhiasan belaka. Dan Pancasila hanya dijadikan label
dalam segala move politik penguasa, demi untuk kepentingan-kepentingannya
yang sesungguhnya jauh dari bau-baunya hakekat Pancasila. Sehingga hal itu
mengakibatkan timbulnya keresahan, kegoncangan, dan kesenjangan dalam
masyarakat. Akibatnya akhir-akhir ini (1996-97) di banyak tempat di
Indonesia timbul kerusuhan-kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa, raga
dan harta-benda (Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Kalimantan Barat,
Banjarmasin, Ujungpandang dan lain-lainnya). Dengan adanya pembakaran
gereja-gereja dan tempat ibadah lainnya, telah membuktikan tentang adanya
bahaya yang mengancam ajaran toleransi antar agama yang terkandung
dalam
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara
orang-orang Dayak dan orang-orang Madura di Kalimantan Barat yang
mengorbankan ratusan (mungkin ribuan) nyawa juga membuktikan adanya
bahaya yang mengancam atas ajaran kerukunan antar suku bangsa yang
terkandung di dalam Sila Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Meskipun
demikian tidaklah berarti bahwa Pancasila telah kehilangan kesaktiannya.
Bagaimana mungkin bisa dimanfaatkan kesaktiannya, kalau Pancasila
diselewengkan, dipenjara dalam almari kaca, hanya labelnya sajalah yang
ditempelkan dimana-mana? Sementara tidak ada upaya yang
berkesinambungan untuk menyebarluaskan makna yang terkandung
didalamnya.

Harus kita akui bahwa sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat) belum


berjalan seperti apa yang diinginkan. Dewasa ini banyak suara protes yang
menuntut pelaksanaan demokrasi,

baik di forum-forum ilmiah maupun dalam forum gerakan - gerakan unjuk rasa.
Bahkan penguasa Orba sendiri dalam padato-pidatonya banyak menyinggung
masalah yang berhubungan dengan pengembangan demokrasi (lepas apakah
itu keluar dari hati nuraninya ataukah hanya untuk lamis-lamis saja). Itu semua
membuktikan bahwa jalannya demokrasi tidak beres, pincang, tidak
berkembang, sehingga perlu dibenahi supaya berjalan wajar dan lancar sesuai
dengan tuntutan hakekat Pancasila. Pada Masa Orba dengan nyata bahwa 5
paket UU politik dan pelaksanaan Dwifungsi ABRI telah merupakan perangkat
politik yang jelas-jelas menjegal realisasi sila Demokrasi, sehingga dapat
dikatakan demokrasi tidak berjalan. Misalnya, sistim keparataian yang
membatasi hanya 3 partai saja (Golkar, PPP, PDI). Ini berarti orang yang tidak
mendukung ketiga partai tersebut (karena tidak setuju dengan programnya)
kehilangan hak demokrasinya. Sedang UU tentang susunan dan keanggotaan
MPR jelas-jelas menjamin apa saja yang dikehendaki penguasa dalam
kaitannya dengan pemilihan presiden dan pembentukan GBHN. Juga
pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI telah memungkinkan adanya pemerintahan yang
totaliter – otoriter – militeristik.

Sangat memprihatinkan adalah kenyataan realisasi sila Keadilan Sosial,


yang tergambar sebagai makin melebarnya jurang pemisah antara sikaya dan
simiskin, yang menjadi sumber dari segala keresahan di dalam masyarakat.
Benarlah teori 'rumput kering', dimana kesenjangan sosial ini diumpamakan
sebagai rumput kering. Siapa saja yang melempar api kepadanya maka akan
terbakarlah rumput tersebut dan terjadilah malapetaka yang tragis. Sedang
api tersebut bisa berasal dari macam-macam pembakar, tidak mesti dari
bensin yang disulut, tapi bisa juga dari puntung rokok. Jelasnya api
penyulutnya itu bisa dari perselisihan etnis, agama, politik, dan apa saja.
Seandainya kue hasil pembangunan itu bisa mengucur ke bawah, ke rakyat,
mungkin kesenjangan sosial sedikit demi sedikt bisa diatasi. Tapi sampai
sekarang kue pembangunan tersebut hanya dinikmati para lapisan atas.
Padahal untuk membiayai terciptanya 'kue pembangunan' ini telah dikeruk
habis-habis kekayaan rakyat (minyak, gas, hutan, emas dll.) ditambah dengan
hutang luar negeri yang berjumlah lebih dari 200 milyar USD. Maka jelaslah
'pemerataan' yang pada tahun-tahun silam ramai dibicarakan di Indonesia
(berkat udara
perestroikanya Gorbacev yang sempat mengalir ke Indonesia), sukar
diharapkan realisasinya. Ada suatu anggapan bahwa lapisan atas dengan
sengaja berusaha melupakan kata kunci 'pemerataan', yang sejak dulu
(sebelum adanya perestroikanya Gorbacev) telah merupakan salah satu tujuan
dari Sila Keadilan Sosial.

Pembangunan yang berwujud gedung-gedung tinggi megah, obyek-


obyek rekreasi
mewah, jalan-jalan aspal halus dan sebagainya, tidaklah membantu
meringankan derita puluhan juta orang yang hidup disekitar garis kemiskinan.
Kiranya bagi mereka perlu adanya bantuan konsumptif (yang langsung bisa
dimanfaatkan), disamping adanya bantuan produktif (yang bisa membantu
untuk
membuka sesuatu usaha di bidang produksi). Sudah waktunya Indonesia
mengambil pelajaran kebijaksanaan pemerintah negara-negara Eropah yang
melaksanakan teori 'solidaritas sosial', misalnya Nederland, Jerman, Swedia,
Denmark, Belgia dan lain-lainnya. Di Nederland misalnya, seseorang yang
penghasilannya sebatas 'gajih minimum', berhak mendapat bantuan-bantuan
tertentu, misalnya bantuan subsidi sewa rumah, tunjangan anak-anak dll.
Sedang orang yang karena sesuatu hal tidak mempunyai nafkah (belum/tidak
mendapatkan pekerjaan) menerima uang tunjangan sosial sebanyak f.1330,-
tiap
bulan bagi orang yang hidup sendirian, sedang bagi orang yang hidup
berkeluarga jumlah yang diterima lebih banyak lagi (sebesar gaji minimum).
Selain itu mereka masih mendapat tunjangan-tunjangan lainnya, misalnya
subsidi sewa rumah, uang vakansi tahunan dan lain-lainnya.

Ketika saya berkesempatan berbincang-bincang dengan seorang sahabat,


dosen
IAIN yang pernah tugas belajar di Nederland, dia dengan mata menyala-nyala
mengomentari hal tersebut diatas: "Betul-betul kebijaksanaan yang Islami,
padahal Nederland bukanlah negara Islam, dan tidak mempunyai Pancasila.
Sungguh luar biasa!". Kalau dia tahu bahwa peraturan tersebut berlaku tidak
hanya terhadap warganegaranya saja, tapi juga terhadap orang asing yang
mempunyai izin mukim tetap (waktu tak terbatas), maka dia akan lebih
memuji
lagi. Mengapa Indonesia yang kaya raya dengan kekayaan alamnya yang
berlimpah-limpah (apalagi punya banyak orang supra-kaya), dan mempunyai
Pancasila, tidak bisa melaksanakan kebijaksanaan jaminan sosial untuk
membantu orang-orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan? (Tentu saja
tidak usah sama sehebat Nederland).

Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)


masih
perlu diluruskan. Adalah wajar bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum
harus ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi jelas tidak wajar
bahwa didalam negara hukum Indonesia telah terjadi puluhan ribu orang
bertahum-tahun meringkuk di dalam tahanan tanpa proses hukum yang ada.
Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa orang yang menjadi korban
penyerbuan (di gedung DPP PDI jalan Diponegoro) malah diseret ke pengadilan

dan dijatuhi hukuman. Sedang para penyerbunya dibiarkan bebas, seakan-


akan
tidak melakukan sesuatu yang bersifat kriminal, seakan-akan sah-sah saja
mereka membunuh, menganiaya orang, melakukan pengrusakan gedung dan
isinya.
Dimana sila Kemanusian? Yang Adil dan Beradab? Bukankah didalam buku
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR
No.II/MPR/1978)
mengenai Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab kita diharuskan
"mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang
rasa
dan 'tepa slira', serta sikap tidak semena-mena terhadap orang lain"?

Suatu pertanyaan yang meskipun utopis perlu juga kami teriakkan demi
pelampiasan desakan hati nurani: "Bisakah MPR/DPR (1997-2002)berbuat
sesuatu
demi pelurusan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen? Berani
dan
mampukah MPR/DPR memperjuangkan aspirasi rakyat yang 'diwakili', sesuai
dengan tuntutan filsafat/dasarnegara Pancasila.
DIBALIK HARI KESAKTIAN PANCASILA

Oleh Beni Bevly


Berkaitan dengan 1965 Incident Road Show in the United States, ada satu
peristiwa monumental yang bagiku tidak bisa begitu saja ditelan dan diterima
secara bulat-bulat. Peristiwa ini masih berjalan sampai sekarang, yaitu upacara
nasional pada tanggal 1 Oktober pagi di Lubang Buaya, Jakarta yang oleh
pemerintahan Orde Baru, di bawah pimpinan Suharto/Soeharto, diberi nama
Hari Kebangkitan Pancasila. Kemudian upacara ritual ini dilanjutkan oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita semua tahu dari pelajaran sekolah
apa sebabnya diberi nama Hari Kesaktian Pancasila, yaitu telah terbukti
bahwa Pancasila itu ampuh dan berhasil menghalau dan menumpas
komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari muka bumi
Indonesia dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran
pada percobaan kudeta PKI tahun 1965. Benarkah demikian? Apakah arti
sesunggunya di balik peringatan ini?
Setiap tanggal 1 Oktober pagi, hampir semua pejabat kunci negara Republik
Indonesia (RI) berkumpul di Lubang Buaya, Jakarta untuk mengadakan ritual,
memperbaharui dan mengkokohkan tekat untuk melindungi negara RI dari
rongrongan komunis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Upacara ritual ini
disimbolkan dengan pengorbanan nyawa yang sangat memilukan dan
menyayat hati dari 6 jenderal senior dan lainnya. Dikabarkan bahwa para
korban ini disayat-sayat dengan silet, mata mereka dicungkil dan kelaminnya
dipotong. Hal ini dibantah oleh Soekarno.

Upacara ritual seperti ini mengingatkan aku akan adegan sembayang ritual
dalam satu film laga Hongkong. Seingatku, dalam adegan itu, para guru dan
murid melukai tangan mereka, meneteskan darahnya di dalam satu panci
arak, diminum secara bergantian dengan khidmat dan penuh kegeraman
sambil bersumpah dengan sengit akan menjaga dan menjunjung nama baik,
persatuan dan keutuhan perguruan mereka. Meraka juga bersumpah akan
mengusir dan membalas dendam kalau perlu dengan cara membunuh para
musuh dan mantan musuh para leluhur mereka sampai ke akar-akarnya.

Peringatan Hari Kesaktian Pascasila ini bercikal bakal pada peristiwa 30


September 1965, di mana enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang dilakukan oleh para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

* Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,


* Mayjen TNI R. Suprapto
* Mayjen TNI M.T. Haryono
* Mayjen TNI Siswondo Parman
* Brigjen TNI DI Panjaitan
* Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun
dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

* AIP Karel Satsuit Tubun


* Brigjen Katamso Darmokusumo
* Kolonel Sugiono

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,


Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober 1965.

Setelah peristiwa percobaan kudeta ini, menyusul pembantaian yang dipimpin


oleh Soeharto terhadap para pengikut atau orang yang dianggap berhubungan
dengan PKI. Diperkirakan paling tidak 1 juta orang tewas dan ratusan ribu
orang dipenjara atau ditahan di camp konsentrasi tanpa melalui pengadilan
dan perlawanan. Majalah Time pada saat itu menggambarkan,
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian
sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di
Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-
sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi
sungai menjadi terhambat secara serius.”

Menjelang dan pada tahun 1965, PKI merupakan partai komunis terbesar
setelah partai komunis di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Rusia. Walaupun DN
Aidit, pemimpin partai pada saat itu selalu menyerukan untuk kerja sama
dengan militer dan polisi, serta menolak sistem penerapan komunisme dari
RRC dan Rusia, PKI tetap menjadi dan dianggap sebagai ancaman bagi militer.
Anggapan ini diperkuat dengan propaganda pemikiran Soekarno tentang
Nasionalisme, Agama dan Komonisme (Nasakom) dan dukungannya untuk
mempersenjatai angkatan ke lima yang terdiri dari buruh dan petani, selain
Angkatan Militer dari Darat, Laut, Udara dan Polisi. Angkatan kelima, yang
merupakan usulan PKI, diadakan karena situasi politik yang penuh gejolak dan
seruan revolusioner dari Presiden Soekarno serta banyaknya konflik seperti
Irian Barat (Trikora) dan Ganyang Malaysia (Dwikora) yang membutuhkan
banyak sukarelawan-sukarelawan. Hal ini menambah kegusaran dikalangan
pimpinan militer khususnya Angkatan Darat. Khawatir unsur ini digunakan oleh
PKI untuk merebut kekuasaan, meniru pengalaman dari revolusi baik dari
Rusia maupun RRC dan Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey, A
Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, 1971).

Akhirnya, percobaan kudeta oleh Kolonel Untung inilah yang dijadikan


momentum dan alat pemukul oleh militer angkatan darat di bawah pimpinan
Soeharto untuk menumpas rival politik mereka, yaitu PKI yang selanjutnya
membawa ia ke tatah kekuasaan selama 32 tahun.

Kembali ke pertanyaan tentang esensi peringatan Hari Kesaktian Pancasila di


atas. Sebagai jawaban, agaknya peringatan dan upacara ritual ini lebih tepat
berupa konfirmasi atas ketekatan sekelompok orang untuk menumpas dan
membunuh berapun banyaknya orang demi merebut kekuasaan dan sekarang
terbukti cenderung untuk kepentingan sekelompak orang.

Ternyata, latarbelakang dan akibat peristiwa yang diperingati oleh petinggi


negara kita di Lubang Buaya jauh lebih mengerikan dan sadis dibandingkan
adegan peringatan ritual film laga Hongkong di atas.

Dari segi kemanusiaan, bukankan peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini


mestinya menitikberatkan pada penyesalan dan keprihatinan atas jutaan
nyawa rakyat Indonesia yang melayang
karena ulah seorang yang bernama
Soeharto?
UPAYA PLAGIATOR Membendung Syari’at Islam

KEKACAUAN politik berawal dari kacaunya sistem pemerintahan negara.


Kerusakan masyarakat disebabkan rusaknya para pemimpin.

Simposium dan Sarasehan Peringatan Hari Lahir Pancasila yang


diselenggarakan UGM, KAGAMA, LIPI dan Lemhanas 14-15 Agustus 2006 di
Jogjakarta melahirkan kesimpulan menarik, yang meragukan kesaktian
Pancasila. “Pancasila bukanlah ideologi dan doktrin yang lengkap, yang begitu
saja dapat diterjemahkan atau dijabarkan dalam tindakan, tetapi merupakan
orientasi, memberikan arah ke mana bangsa dan Negara harus dibangun.”

Senada dengan itu, Mochtar Pabottinggi, pengamat politik LIPI mengatakan


bahwa Pancasila bukanlah ideologi Negara melainkan vision of state yang
mendahului berdirinya Republik Indonesia (Republika 1/6/’06).

Sebagai dasar negara, Pancasila memang tidak memiliki parameter dan


ukuran yang jelas sehingga memberi peluang bagi siapa saja untuk
menafsirkan sesuai dengan latar belakang pemikiran dan kepentingannya.

Ketika presiden pertama RI Soekarno yang mempopulerkan Pancasila sebagai


dasar Negara berkuasa, maka Pancasilais sejati adalah pendukung Nasakom
(Nasionalis, Agama, dan Komunis). Zaman Soeharto Pancasilais sejati mengacu
kepada doktrin Eka Prasetya Pancakarsa (P-4 alias Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) dan mendapat justifikasi dengan pola penataran P-4
hingga berpuluh-puluh jam lamanya.

Padahal dasar Negara adalah fondamen sebuah


pemerintahan negara. Dalam UUD ’45 dasar negara secara
formal diletakkan pada BAB Agama yaitu Ps. 29 ayat 1:
Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagaimana penjelasan masalah ini?

Bukan itu saja yang membuat resah, saat menghadapi


situasi krisis seperti sekarang. Undang-undang Dasar 1945
yang telah diubah (diamandemen) sebanyak empat kali
dinilai tidak sah.

Akibatnya, timbul kerancuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Menurut


Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf TNI AD, dalam sebuah diskusi yang
diselenggarakan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama di Jakarta, Rabu
(3/1), mengatakan, UUD 1945 yang telah diamandeman saat ini illegal.
Pasalnya, UUD tersebut telah dijalankan meskipun UUD 1945 yang asli belum
dicabut penggunaannya.
Selain itu, UUD yang diubah juga belum disahkan dalam lembaran negara.
“UUD 1945 yang diamandemen tidak sah secara hukum,” ujar Tyasno, yang
juga deklarator Gerakan Revolusi Nurani.

Oleh karena itu Undang-undang dan aturan hukum yang menginduk kepada
UUD 1945 juga tidak sah. Kondisi tersebut membuat landasan ketatanegaraan
di Indonesia tidak jelas. Karena itu, UUD Indonesia harus segera dikembalikan
lagi ke UUD 1945.

“Penamaan UUD 1945 yang telah diamandemen dengan menggunakan nama


yang sama juga membingungkan masyarakat. Karena itu, bangsa Indonesia
harus kembali kepad jati dirinya dan konsisten terhadap cita-cita proklamasi,
UUD 1945, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika,” kata Tyasno.

Hasil Plagiat

Lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diciptakan Wage


Rudolf Supratman, ternyata merupakan karya jiplakan
(contekan). Tudingan tersebut datang dari budayawan dan
seniman senior Indonesia bernama Remy Sylado (23761).
Menurut Remy yang bernama asli Yapi Tambayong ini, lagu
Indonesia Raya merupakan jiplakan dari sebuah lagu yang
diciptakan tahun 1600-an berjudul Leka Leka Pinda Pinda.
Remy juga mengungkapkan selain Indonesia Raya, sebuah
lagu lain berjudul Ibu Pertiwi juga merupakan karya jiplakan
dari sebuah lagu rohani Kristen (lagu gereja).
Ungkapan tersebut disampaikan Remy Sylado di Jakarta 4 Januari 2007 pada
saat menjelaskan hasil Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang kontroversial.

Rupanya founding fathers kita memang sudah terbiasa melakukan jiplak


menjiplak. Pancasila, yang diakui Bung Karno (BK) sebagai hasil karyanya
dengan memerah nilai-nilai yang hidup di Nusantara, ternyata juga hasil
jiplakan dari asas Zionisme dan asas Freemasonry, seperti Monotheisme
(Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme
(Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan
Sosialisme (Keadilan Sosial).

BK tanpa malu-malu mengatakan Pancasila yang kemudian dijadikan asas


negara itu merupakan karya otentiknya. Padahal, karya
contekan itu sengaja dijadikan landasan ideologis untuk
membendung kecenderungan rakyat Indonesia saat itu yang
mau menjadikan Islam sebagai asas. Kemampuan retorika BK
yang punya daya ‘sihir’ itu akhirnya bisa mengecoh tokoh Islam
saat itu.

Caranya, selain mengatakan Pancasila sebagai ekstrak dari


nilai-nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia, BK juga menempatkan sila
Ketuhanan di urutan terakhir. Dengan demikian, maka yang diributkan tokoh
Islam kala itu adalah bukan Pancasilanya, tetapi urutan sila-silanya.

Maka, tokoh Islam kala itu, berusaha keras memperjuangkan agar sila
Ketuhanan berada di urutan pertama. Akhirnya, mereka merasa sudah
‘berhasil’ memperjuangkan kepentingan Islam dengan menempatkan sila
Ketuhanan pada urutan pertama. Namun sebenarnya mereka terpedaya.
Tokoh umat itu akhirnya sama sekali tidak menolak sebuah karya contekan
untuk dijadikan landasan ideologis. Hingga kini.

Karya contekan lain yang diakui Bung Karno sebagai karya otentiknya adalah
teks Proklamasi yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagaimana bisa dilihat, dokumen sejarah asli teks Proklamasi berupa tulisan
tangan BK, terlihat banyak coretan. Karena sesungguhnya naskah itu
merupakan jiplakan dari naskah proklamasi negara Islam yang dibuat SM
Kartosoewirjo.

Proklamasi Negara Islam Indonesia:


Bismillahirrahmanirrahiim,
Asyhaduan Lailaha illallah,
wa asyhaduanna Muhammadarasulullah.

Kami ummat Islam bangsa Indonesia menyatakan berdirinya


Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas
Negara Islam Indonesia itu adalah hukum Islam.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Madinah Indonesia, 12 Syawal 1368 H / 7 Agustus 1948 H

Imam Negara Islam Indonesia:


SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO

Menurut Holk H Dengel, sejak 14 Agustus 1945 sebenarnya SMK sudah


mensosialisasikan deklarasi negara Islam. Ketika Hiroshima dan Nagasaki
dibom atom oleh sekutu, SMK sudah mengetahuinya melalui berita radio, dan
berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialiasi proklamasi negara Islam.
Maka, SMK pun ke Jakarta bersama pasukan Hizbullah, mengumpulkan masa
untuk mensosialisasikan berdirinya negara Islam, dan konsep proklamasi
negara Islam kepada masyarakat luas. Di antara yang hadir tampak Sukarni
dan Ahmad Subardjo. Dari kedua orang inilah BK mengetahui banyaknya
dukungan terhadap sosialisasi berdirinya negara Islam. Maka para pemuda pun
berinisiatif ‘menculik’ Soekarno-Hatta yang saat itu sedang berada di
persembunyiannya (di Rengas Dengklok) untuk ke Jakarta dan segera
memproklamasikan negara sekuler, agar tidak terdahului oleh proklamasi
negara Islamnya SMK. Naskah yang dipersiapkan BK berdasarkan ingatan
Ahmad Soebardjo dan Sukarni tentang konsep proklamasi yang disiapkan SMK
sejak awal Agustus 1945.
Satu lagi, lambang negara RI bendera merah-putih, juga bukan karya otentik
founding fathers kita, tetapi “menjiplak” bendera Belanda yang mempunyai
tiga warna merah-putih-biru, kemudian ‘diadaptasi’ hanya menjadi merah-
putih. Sama persis dengan bendera Monaco. Masih lebih kreatif bangsa
Singapura yang juga berbendera merah-putih namun ada tambahan gambar
bintang di atasnya.

Coba bayangkan, bagaimana penilaian bangsa lain kepada bangsa Indonesia


yang lagu kebangsaannya hasil jiplakan, landasan ideologisnya (Pancasila)
karya jiplakan, begitu juga dengan lambang negara merah-putihnya karya
‘adaptasi’ bendera Belanda bukan otentik alias jiplakan juga? Bahkan naskah
proklamasi yang dibacakan Soekarno dan menjadi dokumen sejarah itu, juga
karya jiplakan!

You might also like