Professional Documents
Culture Documents
Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Alloh SWT yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah serta segala kemudahan-Nya sehingga dengan
waktu yang sangat terbatas saya dapat menyelesaikan tugas dari Pembina
Penegak Gudep Samarinda 01.129 Panembahan Senopati tentang penulisan
makalah yang bertema “KESAKTIAN PANCASILA”.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
dapat menempuh ujian kenaikan tingkat ke Penegak Bantara. Disamping itu,
penulis juga berharap agar makalah ini bisa menjadi salah satu bahan
renungan bagi penulis sendiri maupun bagi rekan – rekan sesama anggota
Pramuka tentang liku – liku sejarah Idiologi Negara Republik Indonesian yaitu
Pancasila.
Seperti kita ketahui bersama, seiring dengan runtuhnya era Orde Baru
yang digantikan oleh era Reformasi, banyak sekali terjadi kontroversi mengenai
sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Baru, sejarah lebih
didominasi oleh versi ‘PENGUASA’ dengan media ‘Pusjarah TNI’ (dulu ABRI),
TVRI, RRI dan pusat – pusat penerangan lainnya milik pemerintah yang
tentunya lebih berpihak kepada ‘PENGUASA’. Sedangkan para pelaku sejarah
yang sebagian masih hidup kala itu tidak punya keberanian untuk mengungkap
fakta sesungguhnya dari kejadian yang mereka alami. Sementara itu di masa
Reformasi ini yang notabene sebagian saksi sejarah sudah banyak yang
berpulang, orang baru berani menyampaikan sejarah dengan versi mereka
dengan meninggalkan makna dan tauladan dari sejarah itu sendiri. Kondisi ini
tentunya sangat membingungkan para kaum muda sebagai penerus sejarah.
Beberapa kejadian bersejarah yang saat ini banyak diperdebatkan dan
diragukan kebenarannya adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret,
peristiwa G30S/PKI, Kesaktian Pancasila dan Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar).
Saya sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari sempurna. Hal ini sama sekali bukan unsur kesengajaan, melainkan karena
keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya. Pada kesempatan ini saya juga
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi
kesempurnaan penyusunan makalah ini. Adapun sumber yang menjadi acuan
dalam penyusunan makalah ini diambil dari beberapa website diinternet.
Apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah ini, saya mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
PENDAHULUAN.
Keberbedaan, baik dari segi suku, agama, warna kulit bukan untuk
dieksploitasi untuk kepentingan sesaat, apalagi yang sifatnya individual. Tetapi
lebih dijadikan sebagai potensi untuk memperkaya khasanah demokrasi.
Kemudian, bagaimana eksistensi budaya nasional yang bertumpu pada nilai-
nilai budaya yang masih hidup dan dihayati oleh masyarakat dikembangkan
dan dimanifestasikan dalam praxis kehidupan di masyarakat.
Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak boleh lagi diganggu gugat
sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh sebagai
pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak ada
yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan lagi.
Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini
didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah
hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia.
Menjelang dan pada tahun 1965, PKI merupakan partai komunis terbesar
setelah partai komunis di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Rusia. Walaupun DN
Aidit, pemimpin partai pada saat itu selalu menyerukan untuk kerja sama
dengan militer dan polisi, serta menolak sistem penerapan komunisme dari
RRC dan Rusia, PKI tetap menjadi dan dianggap sebagai ancaman bagi militer.
Anggapan ini diperkuat dengan propaganda pemikiran Soekarno tentang
Nasionalisme, Agama dan Komonisme (Nasakom) dan dukungannya untuk
mempersenjatai angkatan ke lima yang terdiri dari buruh dan petani, selain
Angkatan Militer dari Darat, Laut, Udara dan Polisi.
Angkatan kelima, yang merupakan usulan PKI, diadakan karena situasi politik
yang penuh gejolak dan seruan revolusioner dari Presiden Soekarno serta
banyaknya konflik seperti Irian Barat (Trikora) dan Ganyang Malaysia (Dwikora)
yang membutuhkan banyak sukarelawan-sukarelawan. Hal ini menambah
kegusaran dikalangan pimpinan militer khususnya Angkatan Darat. Khawatir
unsur ini digunakan oleh PKI untuk merebut kekuasaan, meniru pengalaman
dari revolusi baik dari Rusia maupun RRC.
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun
dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.
• Pada pukul 02.30 tanggal 1 Oktober 1965 Lettu Dul Arief, Komandan
Pasukan Pasopati yang bertugas menculik para Jenderal, mengumpulkan para
anggotanya. Ia memberikan briefing kepada para komandan peleton, dan
kemudian membagi tugas Pasukan Pasopati. Ia menjelaskan, bahwa mereka
yang akan diculik adalah tokoh-tokoh Dewan Jenderal yang akan mengadakan
kup terhadap Presiden Sukarno. Oleh karena itu, mereka harus ditangkap
hidup atau mati. Taktik penculikan ialah mengatakan bahwa mereka
diperintahkan menghadap oleh Presiden. Selanjutnya para komandan pasukan
peleton penculik kembali ke anak buahnya untuk mempersiapkan diri.
Dari sejarah yang kita baca yang lebih banyak didominasi oleh versi TNI,
banyak sekali terdapat kejanggalan yang bisa memunculkan beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
Tapi toh tidak perlu pada hari jatuhnya RMS dijadikan Hari Kesaktian
Pancasila?
Tapi toh tidak perlu hari runtuhnya PRRI - Permesta dijadikan Hari Kesaktian
Pancasila?
Tapi toh tidak perlu hari direbutnya kembali Irian Barat dijadikan Hari
Kesaktian Pancasila?
Kita tidak boleh menutup mata bahwa disamping kesaktian yang telah
terbukti, ternyata dalam perjalanan sejarah selanjutnya, pusaka sakti Pancasila
tidak sepenuhnya berhasil digunakan. Malah ada kesan dia disimpan dalam
lemari kaca sebagai perhiasan belaka. Dan Pancasila hanya dijadikan label
dalam segala move politik penguasa, demi untuk kepentingan-kepentingannya
yang sesungguhnya jauh dari bau-baunya hakekat Pancasila. Sehingga hal itu
mengakibatkan timbulnya keresahan, kegoncangan, dan kesenjangan dalam
masyarakat. Akibatnya akhir-akhir ini (1996-97) di banyak tempat di
Indonesia timbul kerusuhan-kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa, raga
dan harta-benda (Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Kalimantan Barat,
Banjarmasin, Ujungpandang dan lain-lainnya). Dengan adanya pembakaran
gereja-gereja dan tempat ibadah lainnya, telah membuktikan tentang adanya
bahaya yang mengancam ajaran toleransi antar agama yang terkandung
dalam
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara
orang-orang Dayak dan orang-orang Madura di Kalimantan Barat yang
mengorbankan ratusan (mungkin ribuan) nyawa juga membuktikan adanya
bahaya yang mengancam atas ajaran kerukunan antar suku bangsa yang
terkandung di dalam Sila Persatuan Indonesia (Nasionalisme). Meskipun
demikian tidaklah berarti bahwa Pancasila telah kehilangan kesaktiannya.
Bagaimana mungkin bisa dimanfaatkan kesaktiannya, kalau Pancasila
diselewengkan, dipenjara dalam almari kaca, hanya labelnya sajalah yang
ditempelkan dimana-mana? Sementara tidak ada upaya yang
berkesinambungan untuk menyebarluaskan makna yang terkandung
didalamnya.
baik di forum-forum ilmiah maupun dalam forum gerakan - gerakan unjuk rasa.
Bahkan penguasa Orba sendiri dalam padato-pidatonya banyak menyinggung
masalah yang berhubungan dengan pengembangan demokrasi (lepas apakah
itu keluar dari hati nuraninya ataukah hanya untuk lamis-lamis saja). Itu semua
membuktikan bahwa jalannya demokrasi tidak beres, pincang, tidak
berkembang, sehingga perlu dibenahi supaya berjalan wajar dan lancar sesuai
dengan tuntutan hakekat Pancasila. Pada Masa Orba dengan nyata bahwa 5
paket UU politik dan pelaksanaan Dwifungsi ABRI telah merupakan perangkat
politik yang jelas-jelas menjegal realisasi sila Demokrasi, sehingga dapat
dikatakan demokrasi tidak berjalan. Misalnya, sistim keparataian yang
membatasi hanya 3 partai saja (Golkar, PPP, PDI). Ini berarti orang yang tidak
mendukung ketiga partai tersebut (karena tidak setuju dengan programnya)
kehilangan hak demokrasinya. Sedang UU tentang susunan dan keanggotaan
MPR jelas-jelas menjamin apa saja yang dikehendaki penguasa dalam
kaitannya dengan pemilihan presiden dan pembentukan GBHN. Juga
pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI telah memungkinkan adanya pemerintahan yang
totaliter – otoriter – militeristik.
Suatu pertanyaan yang meskipun utopis perlu juga kami teriakkan demi
pelampiasan desakan hati nurani: "Bisakah MPR/DPR (1997-2002)berbuat
sesuatu
demi pelurusan pengamalan Pancasila secara murni dan konsekwen? Berani
dan
mampukah MPR/DPR memperjuangkan aspirasi rakyat yang 'diwakili', sesuai
dengan tuntutan filsafat/dasarnegara Pancasila.
DIBALIK HARI KESAKTIAN PANCASILA
Upacara ritual seperti ini mengingatkan aku akan adegan sembayang ritual
dalam satu film laga Hongkong. Seingatku, dalam adegan itu, para guru dan
murid melukai tangan mereka, meneteskan darahnya di dalam satu panci
arak, diminum secara bergantian dengan khidmat dan penuh kegeraman
sambil bersumpah dengan sengit akan menjaga dan menjunjung nama baik,
persatuan dan keutuhan perguruan mereka. Meraka juga bersumpah akan
mengusir dan membalas dendam kalau perlu dengan cara membunuh para
musuh dan mantan musuh para leluhur mereka sampai ke akar-akarnya.
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun
dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam
usaha pembunuhan tersebut.
Menjelang dan pada tahun 1965, PKI merupakan partai komunis terbesar
setelah partai komunis di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Rusia. Walaupun DN
Aidit, pemimpin partai pada saat itu selalu menyerukan untuk kerja sama
dengan militer dan polisi, serta menolak sistem penerapan komunisme dari
RRC dan Rusia, PKI tetap menjadi dan dianggap sebagai ancaman bagi militer.
Anggapan ini diperkuat dengan propaganda pemikiran Soekarno tentang
Nasionalisme, Agama dan Komonisme (Nasakom) dan dukungannya untuk
mempersenjatai angkatan ke lima yang terdiri dari buruh dan petani, selain
Angkatan Militer dari Darat, Laut, Udara dan Polisi. Angkatan kelima, yang
merupakan usulan PKI, diadakan karena situasi politik yang penuh gejolak dan
seruan revolusioner dari Presiden Soekarno serta banyaknya konflik seperti
Irian Barat (Trikora) dan Ganyang Malaysia (Dwikora) yang membutuhkan
banyak sukarelawan-sukarelawan. Hal ini menambah kegusaran dikalangan
pimpinan militer khususnya Angkatan Darat. Khawatir unsur ini digunakan oleh
PKI untuk merebut kekuasaan, meniru pengalaman dari revolusi baik dari
Rusia maupun RRC dan Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey, A
Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, 1971).
Oleh karena itu Undang-undang dan aturan hukum yang menginduk kepada
UUD 1945 juga tidak sah. Kondisi tersebut membuat landasan ketatanegaraan
di Indonesia tidak jelas. Karena itu, UUD Indonesia harus segera dikembalikan
lagi ke UUD 1945.
Hasil Plagiat
Maka, tokoh Islam kala itu, berusaha keras memperjuangkan agar sila
Ketuhanan berada di urutan pertama. Akhirnya, mereka merasa sudah
‘berhasil’ memperjuangkan kepentingan Islam dengan menempatkan sila
Ketuhanan pada urutan pertama. Namun sebenarnya mereka terpedaya.
Tokoh umat itu akhirnya sama sekali tidak menolak sebuah karya contekan
untuk dijadikan landasan ideologis. Hingga kini.
Karya contekan lain yang diakui Bung Karno sebagai karya otentiknya adalah
teks Proklamasi yang dibacakannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagaimana bisa dilihat, dokumen sejarah asli teks Proklamasi berupa tulisan
tangan BK, terlihat banyak coretan. Karena sesungguhnya naskah itu
merupakan jiplakan dari naskah proklamasi negara Islam yang dibuat SM
Kartosoewirjo.