Professional Documents
Culture Documents
Razif
Abstrak: Buruh pelabuhan mempunyai status sebagai buruh lepas (casual) yang
mendapatkan pekerjaan berdasarkan perantara mandor. Pada umumnya para mandor
ini berasal dari kampung halaman yang sama dengan buruh pelabuhan. Buruh
pelabuhan Tanjung Priok sebagian besar berasal dari Banten dan Tangerang. Mereka
datang ke pelabuhan Priok, karena alat-alat produksi atau tanah di kampungnya telah
hilang. Pada masa kolonial, buruh-buruh pelabuhan Priok bekerja untuk empat
perusahaan pelayaran yakni, Koninklijke Paketvaart Maatschappij, Stoomvaart
Maatschappij Nederlands, Rotterdamsche Lloyd dan Japan-China-Java Lijne. Status
lepas buruh pelabuhan bekerja berdasarkan pekerjaan yang tersedia pada hari itu.
Jika mereka ingin bekerja lagi harus melakukan registrasi pada pasar tenaga kerja.
Paska revolusi tahun 1950, mereka melakukan serangkaian pemogokan menuntut jam
kerja lebih singkat dan mempunyai pekerjaan yang tetap (permanen) dan pada tahun
yang sama berdiri serikat buruh pelabuhan dan pelayaran yang kemudian
mendelegasikan tuntutan-tuntutan buruh pelabuhan. Inisiator-inisiator pemogokan
melakukan pendekatan dengan para mandor agar dapat berkeinginan untuk
mendukung serikat buruh. Dikemudian hari, banyak mandor yang ikut menjadi anggota
serikat buruh, akan tetapi sistem annemer (borongan) masih tetap berlaku di
pelabuhan Priok.
Catatan: Penelitian ini dapat berlangsung atas dukungan dana dari NIOD dan belum
dipublikasi dimedia manapun.
Pengantar
Kalau saya perhatikan pola pengaturan dan sistem kerja buruh bongkar muat masih
seperti zaman kolonial. Pada periode kolonial pelabuhan mempekerjakan hampir sekitar
15.000 buruh untuk melakukan bongkar muat di pelabuhan. Sejak dibukanya
pelabuhan Tanjung Priok tahun 1876 setiap harinya paling sedikit berlabuh 15 kapal di
tiga dermaga. Perusahaan-perusahaan pengapalan seperti Koninklijke Paakeervaart
Maatschappij (KPM), Rotterdamsche Llyoid (RL) dan Stoomvaart Maatschappij
Nederlandsche (SMN) memperoleh buruh dengan sistem annemeer (agen tenaga
kerja). Setiap perusahaan pengapalan mempunyai annemeer sendiri. Annemeer
memperoleh buruh melalui mandor-mandor. Mandor memperoleh buruh dari kampung
halamannya sendiri di sekitar pedesaan Jawa Barat. Untuk mempermudah penyediaan
tenaga kerja pelabuhan, perusahaan-perusahaan besar KPM, RL dan SMN
membangun kompleks perumahan di Kodja. Di tempat ini buruh-buruh tinggal dan
mendapat pengawasan dari Mandor. Komplek perumahan diberi nama Uniekampong
dan bertahan hingga tahun 1980-an yang digusur untuk terminal truk kontainer.
Bersamaan dengan penggunaan truk kontainer dan teknologi pemindahan barang,
jumlah penggunaan tenaga buruh bongkar muat oleh perusahaan turun drastis dari
15.000 buruh perhari hanya sekitar 1500 per-hari. Lantas apa yang membuat sistem
kerja dan relasi kerja sosial buruh bongkar muat mengalami kemiripan dengan periode
kolonial? Apakah pernah terjadi perubahan dalam pengertian buruh mempunyai posisi
tawar-menawar cukup kuat menghadapi perusahaan?
Setelah revolusi kemerdekaan tahun 1949 lahir Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran
(SBPP). Lahirnya SBPP melalui pemogokan besar selama tiga belas hari dengan
tuntutan pengakuan serikat buruh dan menghapuskan peranan pemungutan uang
kompensasi, kepastian mendapatkan pekerjaan dan pemerataan pekerjaan di
pelabuhan bagi buruh bongkar muat. M eskipun tidak seluruh tuntutan dipenuhi oleh
perusahaan pengapalan, tetapi fungsi dan pengakuan serikat buruh dapat berjalan.
Kemudian mandor dapat ikut serta dalam serikat buruh, mandor bisa mengurangi
permintaan uang kompensasi kepada buruh. Lebih jauh mandor juga ikut berperan
dalam Pemilu pertama tahun 1955 untuk memenangkan Partai Komunis Indonesia di
pelabuhan Tanjung Priok. Juga pada nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tahun
1956 serikat buruh berperan besar dalam mengambil alih perusahaan pengapalan dan
ikut mengelola perumahan uniekampong lebih demokratis bagi buruh bongkar muat.
Sepanjang dekade 1950-an hingga 60-an buruh-buruh pelabuhan bersama dengan SBPP
berusaha membangun dunia baru. Dunia baru yang ingin mereka bangun adalah
pemerataan pekerjaan di pelabuhan, adanya organisasi buruh yang memperjuangkan
hak-hak mereka dan pekerjaan yang tetap.
Dunia baru yang ingin diciptakan oleh buruh-buruh pelabuhan luluh lantak bersamaan
dengan tragedi nasional peristiwa G30S 1965. Dalam peristiwa ini pertamakali
dihancurkan adalah fungsi serikat buruh. Tidak hanya fungsi serikat buruh yang
dihancurkan, tetapi akar sejarah dari serikat buruh dan kaitan dengan gerakan
nasionalisme turut dimusnahkan. Dalam tulisan ini saya akan memaparkan dinamika
gerakan buruh dipelabuhan Tanjung Priok jauh kebelakang awal abad ke 20, hal ini
untuk dapat memperoleh bagaimana proses relasi sosial buruh, mandor dan perusahaan
pengapalan. Hal yang juga penting dengan cara apa perusahaan merekrut buruh
pelabuhan? Kemudian langkah-langkah apa yang diambil perusahaan untuk
mengkontrol dan mendisiplinkan buruh-buruh pelabuhan? selanjutnya sejauh apa
peran mandor dalam ikut memperkuat pergerakan buruh pelabuhan?
BAB PERTAM A
KERJA DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK
Pada tahun 1877 Direktur Burgelijke Openbare Werken (BOW, Pekerjaan Umum) Van
Raders memenangkan rencana pembangunan pelabuhan Tanjung Priok di sebelah
timur Batavia. Pembangunan pelabuhan baru ini memakan biaya 26,5 juta gulden,
merupakan proyek infrastruktur termegah pada akhir abad ke-19. Pelabuhan Tanjung
Priok terdiri dari pelabuhan luar dipeluk oleh dua dermaga dan lembah pelabuhan
dalam. Kapal-kapal dapat menambatkan sauh didermaga Barat pelabuhan dalam,
bongkar muat kapal-kapal dengan menggunakan derek dan menurunkannya di tujuh
gudang besar. Di dermaga sebelah timur khusus untuk bongkar muat garam, timah
dan batubara. Sebuah galangan kapal berbobot 4000 ton disewa dari galangan kapal
Surabaya berfungsi untuk memperbaiki kapal. Luas keseluruhan pelabuhan Tanjung
Priok 189 hektar ketika dibuka pertengahan tahun 1886. Sedangkan daya tampung
pelabuhan bisa memuat tujuh kapal uap per hari dengan bobot 10.000 ton untuk
masing-masing kapal. Awal dibukanya pelabuhan tidak begitu ramai jauh dari harapan
pemerintah kolonial Belanda, hilir mudik kapal laut sekitar 487 kapal uap dan 47 kapal
layar. Namun antara tahun 1887 hingga 1890 mengalami peningkatan keluar
masuknya kapal yakni 587 kapal uap dan 56 kapal layar. Sementara itu pada 1913
jumlah hilir mudik kapal laut ke pelabuhan Tanjung Priok adalah 1.636 kapal uap dan 31
perahu layar. Peningkatan ini tentunya dengan semakin kokohnya keberadaan armada
dagang Belanda KPM yang menguasai tigabelas jalur pelayaran diseluruh nusantara.
Sedangkan pada tahun 1938 jumlah kapal hilir mudik mencapai 1.732 kapal uap dan 30
kapal layar.
Sementara itu jumlah volume barang yang masuk ke pelabuhan Tanjung Priok pada
tahun 1937 adalah 306.000 ton beras dari negeri-negeri Asia Tenggara, sedangkan
beras dari pulau-pulau nusantara sebesar 160.000 ton. Batu bara yang diangkut oleh
KPM dari Palembang dengan jumlah 179.000 ton. Kemudian garam yang dibawa dari
kepulauan Madura mencapai 124.000 ton. Lantas semen diangkut dari Padang dengan
menggunakan kapal Rotterdamsche Llyoid sebesar 116.000 ton dan timah sejumlah
41.500 ton.
Buruh bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok mulai bekerja ketika kapal masuk dan
bersandar di dermaga. Buruh tugboat (kapal penggandeng) yang mulai bekerja
menggandeng kapal besar masuk kedalam dermaga. Kemudian disusul oleh ratusan
buruh untuk melakukan bongkar kapal dan memasukkan barang-barang ke gudang
tidak jauh jaraknya dari dermaga. Akhir abad ke 19 pihak perusahaan pengapalan
seperti KPM, SMN dan RL senantiasa kewalahan dalam memperoleh tenaga kerja.
Sering pekerjaan angkut dan muat tersendat-sendat karena kurang tersedianya
tenaga kerja. Seandainya dalam satu hari terdapat kapal masuk tiga buah dengan
bobot masing-masing 5000 ton, kapal-kapal ini paling tidak membutuhkan 4000 buruh
untuk membongkarnya dalam tempo satu minggu. Jika kurang tenaga kerja untuk
bongkar muat atau buruh melakukan pemogokan akan terjadi ketidak stabilan di
Batavia hingga keperdalaman Jawa Barat.
Buruh yang berkerja di pelabuhan Tanjung Priok terorganisasi sangat hirarkhi. Buruh-
buruh yang bekerja dalam setiap kelompok terdiri dari 15 orang, setiap kelompok
mempunyai komando kleine mandoer, mandor kecil. Enam dari kelompok ini
mendapatkan pengawasan dari groote mandoer, mandor besar. Buruh-buruh ini
tinggal di kampong Warakas, Lorong 100, juga di kampong Pendjongkoran dan
kampung (Pekodjan) Kodja. Mereka tinggal bersama dengan mandor kecil, agar mudah
mendapatkan pekerjaan, dan juga mudah diawasi oleh mandor besar. Pengelompokan
buruh-buruh pelabuhan ini berlandaskan pada asal muasal desa mereka, misalkan
kelompok buruh dari Tangerang tinggal di kampung Warakas dan mereka tinggal atas
dasar penentuan mandor yang membawa mereka dari desa. Selain itu, juga
memudahkan mandor untuk membayar buruh-buruh yang ada dalam kelompoknya.
Biasanya pada hari libur lebaran buruh dan mandor kembali ke kampung halaman.
Hampir rata-rata mandor besar yang berada di Tanjung Priok mempunyai peran
sebagai Jago. Bagi buruh-buruh pelabuhan jago adalah sosok memiliki kekuatan,
kehidupan yang keras, bisa berbicara dengan pihak penguasa pelabuhan dan juga
mengenal harapan-harapan dari buruh pelabuhan seperti kehidupan buruh yang lebih
baik dan dapat melindungi mereka dari hukum kolonial. Mandor dengan berperan
sebagai Jago, ia bisa menaklukkan anak buah (buruh-buruh yang direkrut), dengan
demikian Jago juga memperoleh hak komisi dari perusahaan setelah bisa menyediakan
tenaga kerja. Peran mandor yang juga sebagai Jago perlu mempunyai suara yang
keras dan lantang. Mandor di pelabuhan Tanjung Priok juga berfungsi sebagai
penghubung bagi buruh
bersama mandor kecil ia dapat memerintah seluruh buruh karena ia mengetahui cara
menyenangkan penguasa pelabuhan. kewibawaan mandor diperlukan agar semua
urusan berjalan lancar. Ia juga memperlihatkan kepada perusahaan bahwa kelompok
buruh yang dipimpin bisa bekerja cepat, untuk kapal dengan bobot 5000 ton bisa
selesai dibongkar dalam tiga hari, agar perusahaan terus mempekerjakan tenaga
kelompoknya.
Peran mandor sebagai jago, dia harus tetap mempertahankan kepercayaan buruh-
buruhnya, untuk itu dia harus mencukupi kebutuhan pokok kaum buruh bongkar muat.
Ini berarti mandor perlu mencarikan pekerjaan bagi kaum buruh, walaupun keadaan di
pelabuhan sepi dengan pekerjaan. Mandor memperbolehkan buruh pelabuhan
mengambil barang-barang dari kapal, ketika buruh sulit memperoleh bahan kebutuhan
pokok, misalkan makanan-makanan kaleng dari Belanda seringkali dicuri oleh buruh
bongkar muat. Selain itu, mandor juga perlu mencegah perlakuan buruh yang
merugikan perusahaan seperti melakukan pemogokan atau bahkan memberontak
terhadap penguasa pelabuhan. Para pengusaha pelabuhan sangat paham bahwa
mandor sebagai seorang jago adalah kunci untuk meredam pergolakan buruh, dan
mandor akan memudar kharismanya sebagai jago jika tidak bisa menengahi
ketegangan antara perusahaan dan kaum buruh, dalam masalah ini mandor lebih
seringkali membela kepentingan pengusaha.
Selain itu, mandor juga mengawasi rumah-rumah pelacuran disepanjang jalan Koja.
Kebanyakan buruh yang datang ke rumah pelacuran adalah buruh berstatus lajang.
Awalnya rumah-rumah pelesir ini diperuntukkan bagi para pelaut yang ingin melancong
dan minum-minum untuk beberapa saat, tetapi kemudian juga berlaku untuk buruh-
buruh pelabuhan angkut muat. Setiap buruh yang ingin melancong ke rumah pelacuran
yang berlokasi disepanjang jalan Kodja harus melalui ijin dari mandor besar, artinya
apakah mereka sudah memberikan bayaran kepada mandor, dan juga kalau ingin
berhutang pada rumah pelacuran juga perlu ada pemberitahuan dari mandor sebagai
jaminan.
Nampaknya hubungan antara mandor sebagai jago dengan buruh pelabuhan adalah
relasi antar anggota-anggota bersifat pribadi. Disini Jago adalah suatu jenis
kepemimpinan mengatur hubungan anak-buah dengan pemimpin, yaitu apa yang
disebut sebagai bapakisme. Dalam perkembangan hubungan kerja antara pengusaha,
mandor dan buruh perlu ada keberlanjutan peran mandor sebagai jago yang
mempertahankan keberlangsungan tata hubungan kerja dipelabuhan. Mandor sebagai
jago juga harus menetramkan buruh dari pengaruh pergolakan-pergolakan diluar
pelabuhan.
Suku bangsa lain yang juga bekerja sebagai buruh bongkar muat adalah orang Bugis.
Mereka datang ke Tanjung Priok mulai dari generasi pertama, yakni tahun 1880-an,
mereka tinggal didaerah pengasinan ikan, satu wilayah dengan Pasar Kodja. Sebelum
menjadi buruh bongkar muat, orang-orang Bugis ini bekerja sebagai nelayan, dan
ketika pelabuhan Tanjung Priok dibuka tahun 1886, mereka berusaha mendapatkan
pekerjaan dan kehidupan dari pelabuhan dan dermaga. Sedangkan mandor untuk
buruh-buruh bugis biasanya telah bekerja agak lama dipelabuhan, dan ia juga
mempunyai uang sedikit, juga mempunyai pengaruh untuk memerintahkan buruh-
buruh yang ada dalam kelompoknya. Mereka bekerja dipelabuhan untuk menarik
kapal-kapal besar dengan volume berat 20 ton. Perlu dijelaskan, bahwa tekhnologi
penarikan kapal besar ke dermaga dengan menggunakan perahu motor dimulai pada
awal abad ke 20. Sebelumnya buruh-buruh Bugis membongkar dan memuat kapal
ditengah lautan dimana kapal besar berlabuh, pekerjaan ini memerlukan keahlian agar
jangan terjatuh ke laut.
Kemudian buruh-buruh bongkar muat yang bekerja di Tanjung Priok paling besar
jumlahnya berasal dari Banten dan Tangerang. Berdasarkan sensus tahun 1930 yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Batavia, bahwa sudah menjadi
pengetahuan umum orang dari Banten dan Tangerang bekerja di Priok. Sebelum
berdirinya UnieKampoeng, buruh-buruh dari Banten dan Tangerang bekerja di
pelabuhan hanya untuk beberapa bulan, kemudian mereka kembali ke desa lagi.
Sedikitnya 75 persen dari buruh-buruh Banten tinggal di Priok dalam satu tahun.
Migrasi musiman telah menjadi cara hidup yang mantap di Banten, terutama orang-
orang mudanya yang mencari pekerjaan di pelabuhan, tetapi mereka kembali ke desa
memanen beras atau berhari lebaran, atau mereka mencari uang secukupnya untuk
membeli bibit tanaman padi untuk sepetak sawah.
Tetapi tidak seluruh buruh pelabuhan dari Banten tinggal menetap di Tanjung Priok,
setidaknya hingga tahun 1930-an masih ada beberapa kelompok buruh dari Banten
masih sering kembali ke Banten. Buruh-buruh yang kembali ke Banten biasanya
upahnya tidak mencukupi untuk hidup di pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, mereka
juga mempunyai pekerjaan yang pada lazimnya bisa dikerjakan oleh buruh lain yakni
sebagai buruh pemandu kapal masuk ke dalam pelabuhan (tugboat).
Pada sore hari menjelang magrib ketika buruh-buruh selesai bekerja di pelabuhan,
mandor besar sibuk berkeliling untuk mendaftar buruh yang akan bekerja malam dan
esok harinya. Buruh yang ingin bekerja harus bersiap menjawab bersedia jika mandor
memanggil namanya. Buruh-buruh yang ingin bekerja malam hari, biasanya tidak
bekerja pada siang hari mereka pada sore hari sudah bersiap-siap didepan pintu jalan
masuk menuju pelabuhan dan setelah mandor datang bersama-sama mereka menuju
ke dermaga. Buruh bongkar muat biasanya datang ke pelabuhan secara berkelompok
dari jalan Kodja tempat Unie Kampong berada. Pada umumnya mereka pukul lima sore
sudah bergerombol untuk masuk ke pelabuhan. Untuk kelompok kecil berjumlah
sepuluh orang. Sedangkan untuk kelompok besar bisa mencapai tiga puluh orang.
Buruh-buruh yang bekerja pada sore hari biasanya membongkar kapal yang baru
bersandar dan lama mereka bekerja tergantung dari volume kapal yang akan
dibongka. Biasanya untuk bobot kapal 10.000 ton bisa diselesaikan selama 5 hari oleh
150 buruh. Sementara itu, buruh-buruh lain yang mengerjakan bongkar-muat kapal
lain mempunyai bobot diatas 10.000 ton masih tetap bekerja. Sehingga bisa
dibayangkan betapa sibuknya arus pekerjaan dan keluar masuk barang-barang dari
dermaga dan ke pelabuhan. Sebelum perang dunia kedua pengangkutan barang-
barang ke luar dan ke dalam pelabuhan Tanjung Priok dipergunakan kereta-api. Sejak
dibangunnya pelabuhan Tanjung Priok tahun 1886 jalan kereta-api langsung masuk ke
pelabuhan untuk mempermudah proses pengangkutan dan distribusi barang ke
pelosok pulau Jawa dan Sumatra. Stasiun kereta-api Tanjung Priok juga merupakan
stasiun besar, hingga tahun 1960-an termasuk bagian dari haveendereksi atau
penguasa pelabuhan Tanjung Priok. Stasiun kereta-api Tanjung Priok juga tempat
memproduksi bricket (cetakan) batubara untuk wilayah eksploitasi Jawa bagian Barat
hingga tahun 1960-an.
Terdapat tiga faktor yang mendorong intensitas kerja dan terbentuknya kelas pekerja
di pelabuhan Tanjung Priok. Pertama, intensitas kerja semakin dipacu melalui teknologi
pemindahan barang dari kapal ke dermaga. Alat ini dikalangan buruh angkut muat
dikenal sebagai “penggerek”, menggerek barang-barang dalam jumlah besar, alat ini
mengandalkan tenaga uap, dan alat ini juga bisa memindahkan peti kayu besar dari
pelabuhan ke palka kapal. Faktor kedua adalah perahu motor juga menjadi pemacu
bekerja buruh-buruh pelabuhan, dengan perahu motor semakin mempercepat menarik
kapal-kapal besar untuk masuk ke dermaga. Faktor ketiga adalah lori atau kereta
dorong, alat pengangkut didarat yang sepenuhnya mempergunakan tenaga manusia,
dengan menggunakan lori buruh-buruh bisa mengangkut barang-barang dari kapal ke
gudang-gudang penyimpanan dalam satu hari bisa mencapai 1.000 ton. Setelah
barang-barang ini diletakkan didalam gudang untuk sementara, maka keesokan hari
barang-barang tersebut diangkut ke stasiun kereta-api. Dengan demikian pelabuhan
Tanjung Priok bersama dengan alat-alat kerja dan juga mesin uap untuk
menggerakkan alat membentuk kelas pekerja sebagai pasukan industri di Tanjung
Priok.
Pada galibnya buruh pelabuhan setelah bekerja keras dan memperoleh gaji pergi ke
warung minuman bertempat dilapangan jembatan MB seberang stasiun kereta api
Tanjung Priok. Sebagaimana diceritakan oleh Sarmanto yang waktu itu tinggal di
kampung Warakas: Aaah kalau tempat bersenang-senang itu diseberang stasiun itu
lapangan, nah disitu istilahnya warung remang-remang itu, jadi pada minum.
Istilahnya keleningan itu disitu. Bentuknya Belanda begitu orang yang habis bekerja
keras dikasih hiburan itu. Buruh-buruh pelabuhan yang habis gajian, karena kalau
klaar bongkar muatnya kan dapat gaji langsung. Kapal datang, barangnya dibongkar
dapat gaji, nanti kapal itu dimuat lain orang lagi tuh buruhnya. Nah itu ganti shift itu.
Gajian dah, langsung mereka kelapangan, dulu namanya lapangan jembatan MB.
Ketika pelabuhan baru dibuka oleh penguasa pelabuhan (Havenbedrifj) tahun 1886,
hal pertama yang dihadapi oleh kepala pelabuhan adalah kurangnya tenaga kerja,
umumnya untuk pengangkutan bongkar muat di pelabuhan, dan terutama untuk
mengangkut batu bara sebagai bahan bakar kapal laut. Perusahaan pelabuhan
menghubungi perusahaan pengangkutan perkapalan Loen Tjoen untuk mengangkut
buruh-buruh dari Cina, perusahaan Loen Tjoen ini merekrut buruh-buruh Tionghoa dari
Kalimantan Barat. Mendapatkan buruh-buruh Tionghoa ini memerlukan biaya yang
cukup tinggi, selain perlu untuk menyewa perusahaan khusus untuk merekrut buruh
dan juga tarif upah mereka cukup tinggi karena mereka sebagai buruh ahli yang
terbiasa bekerja dipertambangan batu bara.
Kemudian rekruiment buruh dimulai dengan cara mengajak orang-orang Bugis dan
Banten yang telah tinggal di kampung Pengasinan ikan, mereka sudah lama menjadi
nelayan di seputar teluk Batavia dan sering melakukan pelayaran antar pulau.
Sebelum tahun 1886 mereka pun telah bekerja menarik kapal-kapal besar dengan
perahu motor ke gudang-gudang didermaga. Diantara buruh-buruh Banten yang telah
lama bekerja diangkat sebagai mandor sebagai penghubung antara perusahaan dan
buruh. Bahan tertulis tidak banyak menceritakan latar belakang mandor tersebut.
Mereka mencari buruh-buruh baru dikampung halamannya sendiri yakni Banten.
Mandor diangkat untuk memimpin regu yang terdiri atas 20 sampai 50 orang buruh.
Pola dengan merekrut buruh diwilayah mandor sendiri telah berlaku umum dipelabuhan
dunia dan Indonesia. Contohnya, di Tanjung Perak (Surabaya) kebanyakan buruh-
buruh pelabuhan berasal dari Madura, dan di pelabuhan Semarang buruh-buruh
diambil dari wilayah tetangga seperti Kudus, Demak, Juana, Kendal dan Jepara.
Pengerahan buruh-buruh pelabuhan langsung melalui mandor ke daerah pedalaman
Banten dan Tangerang ke Tanjung Priok. Ini tidak berarti buruh diberangkatkan secara
bergerombolan. Kepemimpinan informal mungkin sekali sudah mulai nampak ketika
tenaga kerja mulai dikerahkan. Di pelabuhan Tanjung Priok tidak ada mandor
mengerahkan tenaga kerja yang membentuk sendiri rombongannya dan bersama
rombongan itu—atas inisiatif sendiri atau karena pesanan—mengikatkan diri pada
sebuah perusahaan pelabuhan saat kapal datang berlabuh.
Pengerahan tenaga kerja ini oleh para mandor yang lebih dikenal sebagai koeliwerkven
seringkali juga dilakukan secara sembunyi tanpa izin dari kepala desa atau kampung
setempat. Bila tanpa pemberitahuan dari kepala residen, maka buruh-buruh yang
telah direkrut akan dikembalikan ke desa asalnya. Rahasia terhadap koeliwerkven
yang membawa masuk buruh-buruh ke pelabuhan secara tidak sah seringkali dilakukan
oleh polisi Batavia. Terutama mandor tidak diperkenankan membawa anak-anak dan
perempuan dibawah umur 17 tahun. Peraturan ini berdasarkan keputusan residen
Batavia. Nampaknya dalam pengerahan buruh, para mandor mempunyai hubungan
kuat dengan kepala desa setempat agar mudah untuk pengangkutan langsung
kepelabuhan. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda tidak menginjinkan penduduk-
penduduk Banten atau dari tempat lain ke kota Batavia tanpa surat-surat resmi dari
daerah asalnya.
Perusahaan pelabuhan dengan memberikan uang muka pada waktu hari raya Lebaran
adalah mengikat buruh untuk bekerja tanpa upah pada bulan-bulan menjelang
lebaran. Selain itu, ini memperlihatkan perusahaan melakukan campur-tangan
terhadap kehidupan buruh. Campur tangan dilakukan oleh perusahaan pelabuhan
agar peran mandor dalam proses kerja buruh dengan pihak perusahaan tidak semakin
mendalam, paling tidak hanya sebatas rekruitment dan pengawasan buruh bekerja di
pelabuhan.
Perkampungan buruh lepas di Tanjung Priok dinamakan Unie Kampoeng (UK) berdiri
tahun 1919 atas prakarsa politik etis pemerintah Hindia Belanda. Beberapa
perusahaan besar perkapalan dan pelabuhan Belanda terlibat dalam pembiayaan
pendirian UK, antara lain Koninkljike Paakevaart Maatschappij (KPM), Stoomvaart
Maatschappij Nederland (SMN), Rotterdamsche Llyod (RL) dan Java-China-Japan Lijn
(JCJL). Dasar pemikiran mendirikan UK adalah untuk menampung tenaga kerja
cadangan bagi kebutuhan pekerjaan di pelabuhan, sehingga perusahaan
pengangkutan dan perkapalan tidak perlu lagi mencari serta menunggu buruh-buruh
pelabuhan ketika kapal membuang sauhnya didermaga. Selain itu, UK dipimpin oleh
seorang direktur yang bertanggung jawab kepada empat perusahaan pengangkutan
dan perkapalan tersebut di atas.
Pendirian perkampungan buruh UK yang utama adalah untuk mengontrol pasar tenaga
kerja, untuk itu perlu penyediaan perumahan, obat-obatan dan bahan makanan pokok
bagi buruh pelabuhan. Kapasitas bangunan UK diperuntukkan bagi 4000 buruh, setiap
buruh yang tinggal dan akan bekerja di pelabuhan mesti memiliki rumah dan
mendapatkan makanan serta berbadan sehat. Boleh dikatakan UK bebas dari penyakit
epidemik malaria, karena sejak awal sudah diterapkan sistem pembuangan kotoran
yang cukup baik. Pembangunan UK mencontoh pelabuhan Rotterdam dan Amsterdam
yang mempunyai Haven Arbeids Reserve (HAR), pengumpulan buruh-buruh cadangan
pelabuhan.
Periode 1919 hingga 1942 jumlah buruh yang tinggal dikomplek UK tidaklah menentu,
tergantung dari musim dan situasi ekonomi. Selama masa sulit buruh berusaha
mendapatkan tempat diperkampungan UK. Contohnya pada 1921 ketika trafik
perkapalan mengalami kemerosotan UK menampung 2600 buruh sedangkan yang
bekerja hanya 2000 orang. Demikian pula di masa depresi ekonomi 1930-31 UK
menampung sekitar 3600 buruh yang bekerja hanya 1500 orang, buruh-buruh yang
tidak bekerja untuk keperluan tinggal dan makan ditanggung oleh manajemen UK.
Keadaan ini nampaknya terus berlangsung selama periode 50-an sebelum UK diambil-
alih oleh tentara tahun 1957, sebagaimana dikisahkan Sarmento yang pernah tinggal
di Uniekampong “sejak datang dari Solo saya langsung tinggal di Uniekampong, kalau
siang hari saya ngantri nasi disitu, di Uniekampong kuli dikasih makan sebelum kerja.
Jadi kalau orang belum mempunyai pekerjaan bisa mengambil nasi dari situ.”
UK juga berhasil mengatasi kompetisi antara SMN dan JCL yang mencoba
memantapkan buruh pelabuhannya yang telah berpengalaman digudang khusus
mereka. Buruh-buruh terbaik ditarik dari UK, yang tidak berpengalaman ditinggalkan.
KPM memperketat prinsip-prinsip UK dengan memotong kegiatan individu perusahaan
untuk memperoleh buruh. Setiap perusahaan diizinkan bisa membawa sekelompok kecil
buruh, paling banyak 50 hingga 100 buruh, lebih dari itu harus seizin manajemen UK.
KPM juga memperkuat peranan mandor dalam mengontrol buruh saat diminta bekerja
oleh perusahaan pelabuhan. Dengan cara pembayaran upah yang dilakukan oleh
perusahaan harus melalui mandor, pembayaran upah tidak bisa langsung kepada
buruh.
Keadaan di UK mulai membaik pada tahun 1933 KPM dan perusahaan pelabuhan
lainnya mulai berhasil memperbaiki lalu-lintas perkapalan dan pertukaran luar negeri
juga membaik, ditandai dengan gudang-gudang hasil industri perkebunan dan
pertanian bersiap kembali untuk dieskpor. Perdagangan dan ekspor mulai tumbuh
mencapai 19 persen ke negeri Induk, Belanda. Buruh-buruh UK menerima upah
sebesar 65 sen, merupakan nilai upah sebelum terjadinya depresi ekonomi. Hasil ini
akibat dari keputusan pemerintah Belanda memberikan tempat bagi hasil-hasil ekspor
Hindia Belanda, juga bantuan pemerintah Belanda sebesar 25 juta gulden, bantuan
untuk jaminan bagi pinjaman, terutama dipergunakan untuk dasar-dasar hak istimewa
terbukanya peluang bagi pasaran negeri Belanda bagi sejumlah hasil produksi ekspor
Hindia Belanda, termasuk menyerap tenaga kerja bagi pertukaran barang-barang ke
luar negeri. Di tahun 1933 ke atas buruh-buruh UK begitu sibuk untuk mengangkut
barang-barang ekspor yang tiga tahun mengendap digudang, mereka melakukan
bongkar muat hampir 15 jam perhari, jumlah kapal berbendera Nederland yang dikelola
oleh KPM jumlah mencapai 150 kapal, rata-rata mempunyai bobot 5000 ribu ton untuk
setiap kapalnya berlabuh di Tanjung Priok pada tahun yang sama. Selain itu, terdapat
dua perusahaan pelayaran terpenting non Belanda yakni, Hamburg American Line
(Hapag) sebelum perang Pasifik merupakan perusahaan pelayaran non Belanda
terpenting ke Eropa dan Tokyo Senpaku Kaisha, perusahaan pelayaran Jepang
terpenting sebelum perang.
BAGIAN II
Perlawanan Buruh di Tandjung Priok
Ada pertanyaan-pertanyaan menggantung mengenai perlawanan buruh di Tanjung
Priok pada tahun 30-an dan masa revolusi hingga tahun 50-an. Apa yang
menyebabkan tidak ada perlawanan pada periode 20-an dan 30-an? Padahal terjadi
pemberontakan kapal Zeven Proviciens (kapal Tujuh) pada 5 Febuari 1933 dalam
perjalanannya ke Aceh, dan pemberontakan kapal tujuh menjadi populer dan diingat
kembali pada tahun 50-an, dan menjadi simbol perlawanan Serikat Buruh Pelayaran
dan Pelabuhan (SBPP) terhadap dominasi KPM. Lebih lanjut bagaimana proses
terlepasnya buruh-buruh uniekampong dari kontrol para mandor? Apakah sepenuhnya
mereka tidak lagi dikontrol oleh para mandor? Dan bagaimana peranan mandor pada
uniekampong pada periode 60-an? Bagian dari tulisan di bawah ini akan membahas
perlawanan buruh di Tanjung Priok, khususnya di uniekampong dan kaitannya cara
mengorganisasi buruh lepas dari kendali para mandor.
Kegiatan intelejen Belanda mulai mengintai aktivitas buruh keturunan Cina yang pro
dengan gerakan Komunis. Dari laporan intelejen diperoleh informasi “pada malam 14
Januari 1930 ditemukan kurang lebih 100 pamflet berbahasa Cina, yang berisi slogan-
slogan komunis di jalan raya Tanjung Priok (antara lain di daerah Droogdok
Maatschappij. Pamflet-pamflet disita oleh polisi. Sementara didua tempat di Batavia,
ditemukan kain-kain merah dengan tulisan memperingati kematian Lenin. (Harry A.
Poeze Dell II 1986, 16). Bisa jadi provokasi intelejen Belanda untuk memancing
gerakan kaum muda Cina totok untuk keluar dari persembunyiannya dan
memperlihatkan jaringan mereka. Selain itu, ada semacam momok terhadap hantu
komunisme di kepala para pejabat intelejen Belanda sejak pemberontakan nasional
tahun 1926 di Jawa dan Sumatera, mereka berupaya untuk melakukan kategorisasi
terhadap perkumpulan buruh sebagai organisasi radikal. Apalagi pergerakan buruh
yang tumbuh di pelabuhan teramai di Hindia Belanda, tempat berputarnya devisa dan
bongkar muat kapal, ini harus dicegah kalau tidak akan terjadi kekacauan ekonomi dan
politik. Pemerintah Hindia Belanda juga sangat tidak menyukai Cina totok ketimbang
Cina peranakan, karena Cina totok tidak pernah bisa mereka pengaruhi dan
kendalikan. Cina totok ini mempunyai basis perdagangan dan keuangan di Singapura
dan juga sering melakukan pelayaran ke Palembang untuk melakukan bongkar muat
karet dan teh di pelabuhan Cirebon. Salah satu pesaing sengit KPM adalah Heap Eng
Moh SS yang sering melakukan pelayaran Semarang, Cirebon dan Singapura dan
sebaliknya untuk kepentingan raja uang Oei Tiong Ham.
Meskipun para staff pelabuhan takut terhadap organisasi buruh, terutama ketika kaum
nasionalis dan komunis terlibat dalam pergerakan buruh. Inisiatif untuk mendirikan
perkumpulan pegawai terhenti, contohnya tahun 1930 direktur pelabuhan secara
resmi melarang pertemuan-pertemuan di wilayah pelabuhan. Pada tahun 1930-an
serikat buruh didirikan bagi perusahaan pelabuhan dibawah naungan Persatoean
Pegawai Hindia Belanda (PPHB), tetapi tuntutannya agak praktis dan jauh dari radikal,
yakni transportasi gratis bagi buruh-buruh. Demikian pula, operator-operator krani
keturunan Jawa dipaksa oleh perusahaan untuk menandatangani dokumen
pernyataan loyalitas terhadap majikan mereka, karena telah bergabung dengan
serikat buruh.
Demikian pula ketika pecah pemberontakan Kapal Perang De Zeven Proviencien (Kapal
Tujuh) Pada 5 Febuari 1933, merupakan perlawanan militer dari dalam, tidak juga
mempunyai pengaruh di kalangan buruh pelabuhan UK maupun seputar Tanjung Priok.
Pemberontakan awak-awak Kapal Tujuh dipicu dengan pemotongan upah dan
penangkapan teman-teman mereka di Surabaya. Pemberontakan ini dengan
melakukan pengambil-alihan Kapal Tujuh pada 4 Febuari malam di pelabuhan Oleleh,
Aceh, ketika Komandan kapal dan para perwiranya turun ke darat. Pemberontakan
dilakukan oleh awak kapal pribumi maupun Belanda, kapal dibawa menyusuri pantai
barat Sumatra hingga dihentikan paksa melalui pelembaran bom dari atas pesawat
udara di selat Sunda. Seluruh awak kapal Tujuh yang melakukan pemberontakan
dimasukkan ke sel penjara Pulau Onrust, sekitar 40 kilometer dari Tanjung Priok.
Meskipun pemberontakan ini tidak mempunyai pengaruh dikalangan buruh pelabuhan
UK, tetapi pada awal revolusi hingga tahun 1950-an pemberontakan ini menjadi
semangat untuk pembentukan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran.
Proses pembentukan SBPP cukup panjang yakni dari tahun 1947 hingga 1950,
menurut Sukrisno langkah penting dalam membangun SBPP adalah dengan menguasai
Uniekampong, tetapi untuk bisa memegang dan mengendalikan buruh-buruh UK, kami
berkepentingan untuk mengontrol para mandor UK. Pada waktu itu sudah ada SBKP,
dan daerah pengorganisasian pada empat dermaga dan unikampong yang menjadi
basis terbesar, UK merupakan ranting terpenting SBKP. Seluruh dermaga meminta
tenaga kerja dari UK, demikian pula perusahaan KPM, SMN dan RL meminta tenaga
dari UK, setiap hari pengerahan tenaga kerja untuk keperluan bongkar muat kapal.
Pertama kali untuk menembus UK sangat sulit menghadapi mandor-mandor kepala,
mereka seperti raji kecil yang dalam waktu singkat para mandor kepala bisa membeli
tanah di Kampungnya. Kemudian Sukrisno menceritakan mandor-mandor kepala
mempunyai kuasa “Mandor kepala unikampong istrinya tidak ada yang satu, gadis-
gadis desa sangat terhormat kawin dengan mandor, sebab mandor di unikampong
mempunyai kekuasaan yang besar. Namun, di unikampong juga mempunyai penjara
untuk menghukum mandor dan buruh yang tidak patuh.” Agar bisa menembus
kekuasaan para mandor kepala, kami juga mempergunakan para mandor, tetapi yang
berasal dari Banten seperti Ahmad Saufan, Abdul Qufur dan Ahmad Supena. Mereka
semua adalah perintis yang bisa menggabungkan buruh-buruh unikampong kedalam
SBKP. Ketiga mandor ini menurut buruh-buruh UK kalau diparang tidak luka, dan
mereka berhasil ditarik menjadi anggota SBKP. Pada awalnya para mandor takut
menghadapi direktur UK, mereka khawatir tidak akan memperoleh upah, dan memang
direktur UK menolak SBKP. Keadaan ini kemudian dihadapi dengan mencoba melakukan
pemogokan dengan keyakinan pemogokan akan didukung oleh seluruh buruh
Unikampong dan para mandor besar.
Agar pemogokan berhasil, para pimpinan SBKP perlu melakukan pendekatan secara
personal terhadap mandor-mandor untuk tidak menggagalkan pemogokan tersebut.
Pemogokan yang pertamakali terjadi dipelabuhan Tanjung Priok sejak pelabuhan
tersebut dioperasikan secara modern pada tahun 1886. Riadi salah seorang pimpinan
SBKP dan saat itu telah bekerja di N.V. Entriovier, perusahaan pengangkutan air
bercerita:
Para pimpinan SBKP menjalin hubungan dengan para mandor kepala adalah senjata
ampuh untuk mendobrak rezim pelabuhan Tanjung Priok. Walaupun relasi ganjil
pimpinan serikat buruh harus bekerjasama dengan orang-orang yang mengambil
keuntungan dari nilai bekerja buruh. Relasi antara pimpinan serikat buruh dengan para
mandor kepala terus berlanjut dan harmonis. Sejak peritiwa pemogokan, hampir rata-
rata mandor kepala masuk kedalam tubuh SBPP.
Pemogokan ini berlangsung selama awal bulan Febuari 1950 bertepatan dengan
pemberontakan kapal De Zeven Proviencien pada 5 Febuari 1933. Pemogokan ini
menjadi momentum penting bagi pembentukan SBPP, pemogokan yang melibatkan
sekitar 40.000 buruh pelabuhan, yang terdiri dari tiga dermaga dan Unikampong.
Seluruh dermaga mengalami kelumpuhan, hampir selama satu minggu penuh buruh-
buruh Unikampong dan buruh yang tinggal luar Unikampong tidak melakukan aktifitas
bongkar muat terhadap kapal-kapal yang berlabuh. Menurut Sukrisno, peranan
mandor-mandor dalam pemogokan ini sangat penting, mereka sebelumnya begitu
patuh terhadap tuan dan perusahaan pelabuhan Belanda, sekarang mereka
membebaskan buruh-buruh dari ikatan dan langgam kolonial, seperti perlawanan dari
dalam yang dilakukan oleh awak-awak kapal De Zeven Proviencien. Namun tidak
seluruh mandor kepala beralih ke kubu SBKP/SBPP, mandor kepala yang memegang
buruh cukup besar dan mempunyai status agen perusahaan tetap berpihak kepada
perusahaan Belanda. Setidaknya setelah terjadi pemogokan tersebut terjadi
perimbangan kekuatan terutama di Unikampong, buruh-buruh pelabuhan bisa
mengajukan tuntutan kenaikkan upah, permintaan pakaian seragam dan tunjangan
kesehatan. Sebelum pemogokan seluruh tuntutan hanya diajukan melalui mandor,
seringkali insiatif untuk menuntut hak mereka juga berasal dari mandor. Seakan-akan
buruh-buruh Uniekampong baru menemui harkat dan identitas dirinya yang mempunyai
sejarah dan pengalaman bersama dengan buruh-buruh lainnya. Dengan mandor
kepala masuk kedalam keanggotaan SBPP, maka seluruh buruh pelabuhan yang tinggal
di unikampong juga menjadi anggota serikat buruh.
Pemogokan ini terjadi untuk pertamakali dan melibatkan 40.000 kaum buruh,
berlangsung selama tiga belas hari dengan tuntutan kenaikkan upah dan pengakuan
serikat buruh oleh perusahaan-perusahaan pelabuhan Belanda. Pemogokan yang
cukup panjang dan melelahkan, membutuhkan energi, persiapan serta dukungan dari
segenap buruh pelabuhan. Untuk dapat menghasilkan buah dalam pemogokan
tersebut menurut Riadi penggeraknya adalah:
Walaupun telah terbentuk organisasi modern yang mewakili klas buruh pelabuhan di
Tanjung Priok, sistem hubungan kerja annemer atau mempergunakan jasa mandor
kepala untuk memperoleh tenaga kerja dan sebaliknya buruh memberikan uang
kompensasi atas jasa mandor tetap berlangsung di kawasan dermaga Tanjung Priok.
Menurut Sarmanto yang telah aktif sejak tahun 1950 dalam tubuh SBPP, bahwa kami
belum mempunyai prioritas untuk menghapuskan hubungan kerja annemer di
pelabuhan, dan hubungan kerja ini begitu rumit melibatkan sanak keluarga, kampung
dan hubungan kerja yang telah berjalan puluhan tahun. Kemungkinan sistem
hubungan kerja annemer ini pula yang bisa mempertahankan uniekampong sebagai
tempat penampungan buruh-buruh kasar pelabuhan di Tanjung Priok.
Pada awal Febuari 1950 setelah paska pemogokan di Tanjung Priok upah buruh
pelabuhan sudah mencapai f. 130,- dengan pertukaran kenaikan barang yang tajam.
Pada satu pihak, pegawai-pegawai KPM, SMN dan KRL dipungut pula uang pajak dari
upah mereka. Di pihak lain, buruh-buruh harian lepas UK memperoleh upah sebesar
f.100 dengan memperoleh bonus dengan peraturan khusus, dalam pengertian
kelompok buruh bisa menyelesaikan bongkar muat dalam satu minggu dengan kapal
berbobot 5000 ton. Di tahun yang sama volume peredaran uang jauh melebihi
pasokan barang dan jasa. Sedangkan produk kebutuhan pokok dalam negeri seperti
beras belum berjalan normal, jatah beras didistribusikan melalui pos-pos dermaga
Tanjung Priok dengan kupon, penjualan cara ini sangat terbatas jangka waktunya.
Keadaan ini juga diperburuk dengan defisit anggaran republik yang berakibat perlu
mengubah nilai rupiah terhadap mata uang asing. Para pengusaha impor telah
menahan distribusi kebutuhan pokok sebelum republik menentukan mata uang rupiah
terhadap kurs uang asing.
Pada dekade 50-60 perjuangan SBPP terkait dengan dua peristiwa penting. Pertama
adalah (Pemilhan Umum) pertama yang berlangsung pada tahun 1955. Kedua, pada
tahun 56-57 berlangsung nasionalisasi perusahaan yang melibatkan segenap buruh
pelabuhan di Tanjung Priok. Keberhasilan kedua peristiwa ini tidak terlepas dari
kekuatan besar buruh yang terorganisir didalam SBPP.
Pemilu pertama 1955 adalah untuk memilih anggota parlemen. Sekitar 40 partai politik
mengikuti perebutan kursi di parlemen, tetapi dalam kenyataannya dari 40 partai yang
ikut pemilu hanya 13 partai yang memperoleh kursi, sedangkan sisanya hanyalah
partai gurem. Partai pemenang Pemilu secara keseluruhan adalah Partai Nasional
Indonesia, sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan tempat keempat.
Akan tetapi untuk suara pemilihan lokal belum tentu dimenangkan oleh PNI,
sebagaimana yang terjadi di Tanjung Priok pemenangnya mutlak adalah PKI.
Kemenangan PKI atas pemilu pertama diwilayah pelabuhan tidak terlepas dari peranan
SBPP dalam memberikan dukungan kepada PKI. Selain itu, Pemilu 1955 merupakan
pemilu pertama, maka untuk pemilihnya diberikan penjelasan sangat terinci dan teknis
agar tidak mengalami kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Selamet yang pada
berlangsungnya Pemilu pertama berperan sebagai panitia Tempat Pemilihan Suara di
wilayah Cilincing:
Dalam pemilu ini serikat buruh juga memberikan penjelasan kepada anggota-
anggotanya bahwa yang dipilih adalah bukan serikat buruh, tetapi partai politik. Pemilu
merupakan ujian bagi serikat buruh, dalam pengertian untuk memandang apa
sebenarnya aspirasi politik dari kelas buruh sendiri. Pada pihak lain, serikat buruh perlu
menahan diri untuk tidak mengarahkan aspirasi dari pilihan para anggotanya. Tugas
serikat buruh hanya memberikan pengarahan teknis pemilu, sebagaimana dijelaskan
kembali oleh Selamet:
Dulu pada waktu pemilu pertama dipelabuhan waktu itu juga diadakan
latihan-latihan gitu ya. Jadi kita seperti saya katakan tadi, kita baru
pertamakali, jadi serikat buruh pada waktu itu juga mempunyai tugas,
dia memberikan pengarahan juga kepada anggota-anggotanya, jadi
nanti saudara-saudara pada tanggal sekian kita akan mengadakan
pemilihan umum caranya begini-begini, dijelaskan juga secara teknis,
kesatu. Kedua, saudara itu memilih partai, bukan memilih organisasi.
Jadi terserah saudara-saudara mau memilih partai yang mana?
Cobloslah tanda gambar itu. Nah kita bikin kartu dari panitia pemeilihan
umum. Nah kita bikin latihan-latihan di perusahaan-perusahaan, nah
nanti saudara-saudara menerima kartu seperti ini. Nah nanti coblosnya
seperti ini mana partai yang saudara pilih. Jadi waktu itu kita
mempunyai tanggung jawab kaum buruh itu mengerti, tugas politiknya
dia mengerti dalam menghadapi pemilihan umum. Pada waktu itu muncul
Partai Komunis Indonesia yang mungkin orang-orang lain tidak
menduga gitu bahwa partai PKI ada yang memilih, ternyata yang
memilih itu cukup memadai sehingga sampai pada waktu itu, Soekarno
harus mengakui hasil pemeilihan umum iti, jadi PKI termasuk nomer tiga
pada waktu itu, dari situ muncul NASAKOM.
Dalam Pemilu pertama itu, PKI tampil sebagai empat besar secara nasional dan
kedudukan pertama untuk di Tanjung Priok. Kemenangan PKI ini sebenarnya tidak
terlepas dari peran aktif dari mandor-mandor uniekampong. Mandor-mandor ini secara
langsung mendorong buruh-buruh yang dalam pengawasan mereka untuk memilih PKI,
sebagaimana dituturkan kembali oleh Selamet:
Dalam Pemilu 1955, nampak politik aliran masih cukup berperan dari masing-masing
pemilihnya. Hal ini cukup terlihat ketika mandor-mandor di Tanjung Priok
memerintahkan kepada buruh-buruh bawahannya untuk memilih Partai Komunis
Indonesia. Hasil Pemilu September 1955 di Tanjung Priok dimenangkan oleh Partai
Komunis Indonesia dengan memperoleh suara 14.307 dari 92 TPS.
Keadaan ini akan menambah ketegangan antara pimpinan militer dan parlemen. Pada
satu pihak untuk meredam ketegangan ini maka Soekarno dari hasil Pemilu melontarkan
kembali NASAKOM sebagai politik nasional. Di pihak lain posisi pimpinan pusat tentara
diperkuat oleh pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda pada Desember
1957.
Pimpinan kerja, pimpinan kerja di tingkat atas gitu, staff itu maksudnya.
Justru di employee itu yang kita bilang “saudara masih mau kerja, kalau
mau masih kerja terus, order-order terus dijalankan, kita bantu dari
belakang saudara-saudara. Tapi kalau sudah tidak mau kerja, saudara
minggir saja” tapikan employe-employe orang Indonesia. Indonesia tapi
ada suku Ambon, ada suku Timur. Pada waktu itu yang dipercaya sama
Belanda kan suku-suku itu. Ya gitu. Jarang ada staf yang Jawa, itu
jarang. Itu kenyataannya ya. Entah Belanda nganggap suku itu paling
nggak mau dipengaruhi atau gimana nggak tahu ya, tapi yang banyak
di situ Ambon, Manado, Bugis dan Flores.
KPM juga berusaha membangun serikat buruh yang bernama Serikat Buruh KPM
(SBKPM) namun ini terbentur dengan tidak adanya basis anggota cukup kuat dan
akhirnya bubar begitu saja. Politik perusahaan pengapalan untuk melakukan pemecah-
belah perjuangan buruh pelabuhan senantiasa kandas, hal ini dikarenakan kuatnya
SBPP dipelabuhan Tanjung Priok. Hampir seluruh penduduk dewasa di pelabuhan
menjadi anggota SBPP dan mereka sudah begitu ahli menolak siasat perusahaan untuk
memperkerjakan etnis tertentu di dermaga.
Serikat buruh pada era tahun 50-an dan 60an mendapatkan dukungan kuat dari para
anggota serikat buruh dan kelas buruh sangat bergantung dengan serikat buruh
dalam menuntut kenaikan upah maupun tuntutan kesejarahteraan lainnya. Bisa jadi
tanpa serikat buruh, buruh-buruh bongkar muat sulit untuk mendapatkan upah yang
layak maupun memperjuangkan hak-hak buruh yang dilanggar oleh perusahaan. Selain
itu, serikat buruh pada saat itu mempunyai rasa kebangsaan yang cukup kuat.
Keadaan ini diceritakan oleh Martadi:
Setelah kita ambil alih mungkin Belanda masih menghitung, kalau kita
ngotot perusahaan kita yang asetnya sekian besar akan hilang. Akhirnya
mereka angkat tangan, tetapi sebelum mereka angkat tangan perusahaan-
perusahaan yang kita ambil alih ini militer mulai mengincar juga, pada waktu
itu Nasution yang masih jadi KSAD-nya. Dia membikin satu program yang
diberikan kepada bawahannya pada perusahaan Belanda yang diambil alih
ini dalam penugasan, pengawasan dan pengambil-alihan. Setiap
perusahaan itu minimal pangkatnya Letnan dua, ada yang Kapten, dan
kolonel dilihat besarnya perusahaannya. Kalau perusahaan saya pekerja
jumlah buruhnya hanya 90-100 orang ditaruh Letnan Dua. Kita dalam
pusaran iklim politik tersebut mau-tidak mau kita juga terpengaruh.
Pengaruh itulah yang harus kita selesaikan, kalu tidak akhirnya seperti
sekarang ini. Reaksi dari kaum buruh samasekali tidak ada, hal ini
dimungkinkan tidak ada dukungan dari pimpinan serikat buruh, partai politik
dan juga Soekarno. Akibatnya program Nasution mulus berjalan.
Penugasan perwira tersebut, kemudian pengawasan dan terus pengambil
alihan sekaligus. Setelah dikatakan selesai pengambil-alihan, diambil-alih dia
yang mewakili kita dan militer yang menjadi direkturnya. Baju hijaunya
dibuka ganti pakai dasi. Jadi sekarang serikat buruh langsung berhadapan
dengan militer. Misalnya apa saudara-saudara, kebutuhan saudara? Ini
pak, ini pak, ini pak gitu kan. Wah nggak bisa ini, nggak bisa, nggak bisa.
Tetap saja akhirnya kita bertengkar sama mereka gitu. Dilarang sudah
pemogokan dianggap apa, dianggap mengganggu pemerintah ya. Mereka
terus langsung mebikin peraturan-peraturan. Serikat buruh, larangan-
larangan dan sebagainya. ”
Piimpinan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran ikut terbawa dalam suasana dan iklim
politik persatuan yang dicanangkan oleh Soekarno. Mereka diminta untuk bekerjasama
didalam Dewan Perusahaan untuk menghadapi imprealisme. Dewan perusahaan
adalah semacam “kapal” yang dikemudikan secara bersama-sama baik oleh militer
maupun sipil. Sementara itu pemimpin serikat buruh yang duduk sebagai anggota
Dewan Perusahaan sibuk untuk melakukan pengawasan terhadap produksi
perusahaan, sedangkan pekerjaan mengurus basis mulai terbengkalai. Keadaan ini
dikarenakan pemimpin serikat buruh yang duduk dalam Dewan Perusahaan harus
membaca laporan-laporan produksi perusahaan, dan ini tidak dikuasai oleh mereka.
Pimpinan serikat buruh tidak mempunyai pengalaman dalam mengelola urusan hitungan
perusahaan.
Meskipun sudah nampak ketegangan antara serikat buruh dengan militer dalam
pengelolaan perusahaan pengapalan pelabuhan. Persoalan utama yang dihadapi oleh
republik adalah menyingkirkan operasi KPM dari perairan dan pelabuhan Indonesia.
Pada paruh kedua tahun 1950-an pemerintah melakukan tekanan terhadap KPM dan
jaringannya, termasuk perusahaan internasional Belanda, seperti Stoomvaart
Maatschappij Nederlands (SMN) dan Rotterdamsche Llyoid (RL). KPM juga
bekerjasama dengan perusahaan eksport-impor, dikenal sebagai the Big Five:
“Internatio, “Borsumij”, “Jacoberg” (Firma Jacobson van den Berg), “Lindeteven
Stokvis”, dan Geo. Wehry”. Seluruh anggota Big Five mempunyai dermaga gudang
sendiri diseluruh pelabuhan nusantara. Sebaliknya Perusahaan Pelayaran Nasional
Indonesia (PELNI) sebagai pendatang baru sangat sulit untuk masuk kedalam jaringan
pelayaran internasional Belanda. Untuk itu pemerintah melakukan pemotongan
jaringan perdagangan luar-negeri dan perusahaan pengapalan mancanegara,
pemerintah mengambil-alih seluruh perusahaan angkut-muat di Indonesia dan
membiarkan orang-orang Indonesia untuk terlibat dalam usaha ini. Untuk tujuan ini
dikeluarkannya peraturan pemerintah N0. 61/1954. Peraturan ini memisahkan fungsi
antara transportasi laut dan transportasi bongkar muat dipelabuhan yang dikelola oleh
perusahaan Indonesia. Peraturan ini jelas dengan tujuan menyingkirkan dominasi
asing pada usaha pengapalan dan bongkar muat di pelabuhan Indonesia.
Suasana biasa-biasa saja tidak ada persoalan apa-apa. Sedang dikantor nggak
ada apa-apa. Orang saya ditugasi ke Sukabumi. Peristiwa pecah saya di
Sukabumi, saya dengar di Radio. Tidak ada perasaan apa-apa, tidak ada
takut, tidak was-was, orang waktu kita mau berangkat tidak ada apa-apa.
Juga dipelabuhan tidak ada persoalan apa-apa. Seminggu kemudian semua
orang SBPP, kepala-kepalanya, kepala-kepala cabang diambilin semua.
Didatangi kerumah-rumahnya. Kalau saya dulu diambil dikantor. Alasannya
karena kamu itu SBPP, kamu anak buah PKI. Jadi prosesnya kita tidak
mengerti. Seperti kawan-kawan saya pada keluar nggak salah, tapi kalau
sudah ditahan 4-5 tahun, 6 tahun, 7 tahun bagaimana? Artinya sudah pada
hilangkan. Di uniekampong semua orang yang namanya mandor satu sudah
habis. Sampai mandor kecil yang bawa 12 orang itu, itukan satu mandor, itu
saja sudah hilang. Sementar itu pelabuhan macet, satu bulan macet.
Bongkaran itu satu bulan satu kapal, biasanya paling lama lima hari.”
Pada saat terjadinya peristiwa G-30-S 1965 dengan melakukan penculikan enam
Jenderal dan satu perwira menengah, banyak kalangan di sekitar pelabuhan Tanjung
Priok mendengarnya dari berita Radio. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki
pesawat televisi masih sangat minim, bahkan hampir tidak ada yang memilikinya.
Sedangkan pada tanggal 1 Oktober hampir seluruh suratkabar terbit dan baru pada
sore hari dilakukan pembereidelan terhadap seluruh terbitan suratkabar. Keadaan
penerimaan sumber informasi ini diceritakan oleh Selamat Koesnadi:
Berita pertama saya dengar dari Radio. Pada waktu itu pemilik televisi
belum ada, sedikit sekali dah yang punya televisi, paling satu dua
orang. Jadi kita belum bisa ikut dari gambar berlayar kaca itu belum.
Radio penyiarannya yang cepat diterima. Setekah itu, keesokan
harinya baru suratkabar.
Pada waktu itu rasa-rasa was-was itu ada was-wasnya. Karena pada
waktu itu serikat buruh yang paling disorot adalah yang paling disorot
adalah SOBSI dan secara vertikal kebawah itu anak-anak SOBSInya
seperti SBPP dipelabuhan dan diperkebunan adalah Sabupri [Sarikat
Buruh Perkebunan Seluruh Indonesia]. Jika kita bilang pada teman-
teman ya siap-siap saja, hanya itu saja yang kita punya persiapan itu.
Lebih jauh Martadi yang pernah menjadi panitia TPS pada pemilu pertama mempunyai
pengalaman pada peristiwa 1965, hampir seluruh pengurus serikat buruh pelabuhan
ditangkap:
Pada waktu itu terutama yang dikejar terutama SBPPnya, kalau
anggotanya mungkin masih bisa mengelak ya, tapi yang namanya
fungsionaris atau pengurus dari ranting sampai cabang-cabang dikejar
semua pada tahun 1965.
Pola penangkapan buruh-buruh Tanjung Priok para aparat militer dan polisi datang
langsung ke rumah-rumah mereka atau datang ke kantor dan kemudian dibawa ke
kantor militer terdekat untuk diperiksa. Setelah penangkapan oleh militer, mulai
dilakukan mobilisasi penangkapan oleh orang-orang sipil yang kemungkinan telah
mempunyai perasaan tidak senang dengan anggota-anggota serikat buruh.
Penanggkapan atau lebih tepatnya orang yang memberikan penunjuk diceritakan oleh
Martadi:
Pada waktu itu orang yang benci sama kita menggunakan kesempatan
semacam itu untuk menuduh kita macam-macamlah. Misalkan itu orang-
orang PKI pak, apa benar iya-iya, ditangkap. Itu ditunjuk oleh orang-
orang yang tadinya benci sama kita, yang tadinya tidak senang sama
kita. Yang jelas mereka-mereka itu tidak senang sama kita. Apakah itu
atas nama organisasi atau perorangan yang jelas mereka-mereka itu
sebagai petunjuknya gitu. Telunjuk dan mulutnya itu sudah paling
ampuh.
Kita takut juga, takutnya salah sasaran. Ternyata benar juga, saya
ditangkap dimasukkan penjara, sampai dikirim juga ke Pulau Buru,
tujuannya ya itu. Dan dalam proses verbal saya, saya sebagai
pimpinan serikat buruh pimpinan ranting, atau kalau dulu istilahnya di
SBPP seksi PN Jakarta Llyoid bagian angkutan air. Sebab Jakarta Llyoid
itu luas ada bagian kantornya, bagian pelayarannya, bagian
keamanannya, saya bagian angkutan airnya (Tugboat) yang perahu
motor. Nah itu tuduhan saya, bahwa saudara pernah bikin surat begini-
begini sebagai pimpinan seksi SBPP saudara pernah bikin surat kepada
pimpinan perusahaan untuk melakukan sesuatu dalam menghadapi
peristiwa G30 S PKI. Wah tuduhannya begitu. Sama sekali itu hanya
dibuat-buat saja, kita tidak sebodoh itu, itu ada suratnya.
Kemungkinan kita harus siap-siap untuk menghadapi Gerakan 30
September. Kata-kata itu siap-siap diartikan untuk melakukan sesuatu.
Ini surat saudara, ini tanda-tangan saudara. Waktu yang periksa saya
adalah Letnan Angkatan Laut. Nggak tau Letnan siapa itu namanya.
Nah disitu menjadi korbannya. PKI mau berontak, saudara sebagai
simpatisan PKI harus tau.
Sejalan dengan kebijakan ini, Soeharto sebagai Panglima Komando Ketertiban dan
Keamanan (Pangkopkamtib) menyerukan mulai 6 Desember 1965 seluruh aktivitas
serikat buruh, transportasi dan media massa dibawah Komando Operasi Tertinggi
(KOTI). Dampak dari kebijakan UK diganti menjadi Yayasan Usaha Karya (YUKA) pada
Febuari 1967 dan langsung dibawah pimpinan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Alokasi dan permitaan tenaga kerja buruh-buruh bongkar muat harus
berdasarkan atas permintaan YUKA, bukan lagi pada perusahaan. Perusahaan
memberikan upah buruh-buruh bongkar muat kepada pimpinan YUKA, jadi peranan
YUKA disini sebagai makelar tenaga kerja. Sebagaimana dituturkan oleh Suyatna: Saat
YUKA menguasai UK, buruh-buruh yang ingin bekerja diperusahaan pelabuhan harus
mengajukan lamaran pekerjaan untuk satu minggu, dua minggu hingga satu bulan.
Upah dan tunjangan buruh tergantung dari YUKA, kami tidak tau berapa perusahaan
memberikan uang keseluruhan untuk upah dan tunjangan. Selain itu, tidak semua
buruh pelabuhan dan komunitas UK bisa diterima bekerja di pelabuhan, YUKA
menseleksi buruh-buruh yang mendaftar pekerjaan, paling banter per-hari hanya 200
buruh yang bekerja di pelabuhan. Sedangkan yang lainnya menunggu giliran dari
YUKA.
YUKA adalah segerombolan mandor yang disahkan secara resmi oleh pemerintah Orde
Baru, melalui surat keputusan tiga Dirjen Tenaga kerja, Perhubungan dan Koperasi.
YUKA pula yang mengelola tenaga kerja diseluruh pelabuhan Tanjung Priok. Jumlah
buruh bongkar muat yang dikelola oleh YUKA adalah 3.7002 orang, tidak setiap buruh
dapat bekerja setiap hari, paling tidak dalam satu bulan mereka bekerja dua minggu.
Kemudian YUKA berganti dengan koperasi tenaga kerja bongkar muat yang berdiri
bersamaan dengan berdirinya Jakarta International Container Terminal (JITC) sekitar
tahun 1990-an. Setiap buruh bongkar muat diwajibkan untuk menjadi anggota
koperasi dan setiap mendapatkan pekerjaan diharuskan menyetor ke koperasi sebesar
Rp. 16.000,-. Sejak dibangunnya JITC yang merupakan lokasi dari Uniekampong
dipindahkan ke rumah susun Cilincing.
Dewasa ini terdapat sekitar 120 perusahaan bongkar muat di pelabuhan Tanjung
Priok. Mereka memperkejakan 3.7002 orang tanpa berdasarkan daftar tenaga kerja
yang pasti. Koperasi tidak melindungi hak-hak anggotanya, seandainya anggota tidak
mendapatkan pekerjaan bukan urusan koperasi. Bahkan ketika salah seorang anggota
koperasi dibayar kurang oleh perusahaan bongkar muat, bukanlah kewajiban koperasi
untuk menuntut pembayaran upah yang layak. Malah sekarang ini para pejabat
koperasi tenaga kerja bongkar muat bisa memperjual-belikan kartu dispensasi bagi
pekerja yang tidak terdaftar di koperasi. Keadaan ini mengakibatkan menjamurnya
buruh-buruh tanpa terdaftar di koperasi bekerja di pelabuhan.
Penutup
Dari pemaparan di atas tampak jelas dinamika kehidupan buruh pelabuhan dan UK.
Pada zaman Belanda mereka dikuasai oleh para mandor (annemer). Para mandor ini
yang menempatkan pekerjaan buruh, menetapkan upah dan jam kerja. Agar dengan
demikian disiplin dari buruh-buruh UK dapat dijalankan. Memang mandor besar dan
mandor kecil mendapatkkan keuntungan dari sini, mereka bisa mendapatkan
keuntungan sedikit, apalagi ditambah jika buruh ingin pelesir ke Kramat Tunggak.
Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan pengapalan dan perusahaan bongkar
muat juga besar, terutama buruh sangat disiplin dan patuh terhadap mandor. Pada
masa kolonial mandor di pelabuhan Tanjung Priok sebagai simbol penjaga ketertiban
dan kestabilan di pelabuhan.
Selanjutnya pada awal tahun 1950 terbentuk serikat buruh di pelabuhan bersamaan
dengan pemogokan. Terbentuknya serikat buruh mengubah relasi kerja antara buruh
dengan mandor. Mandor mengurangi pengambilan uang kompensasi dari buruh
bongkar muat, dan bahkan mandor juga ikut masuk kedalam keanggotaan serikat
buruh. Serikat buruh juga berhasil menuntut kepada perusahaan pengapalan untuk
memberikan uang jaminan kepada buruh selama satu minggu serta menjamin buruh
untuk memperoleh pekerjaan sampingan diluar bongkar-muat di pelabuhan. Hampir
sekitar 15 tahun terhitung dari 1950 hingga 1965, peran SBPP dalam membangun
relasi kerja yang baru yakni memperjuangkan upah layak dan setiap penghuni
uniekampong dapat memperoleh pekerjaan di pelabuhan adalah cukup menonjol.
Awal Orde Baru buruh pelabuhan dan UK dikontrol dan dikuasai oleh mandor dan
preman resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Kontrol pasar tenaga kerja benar-benar
berada ditangan mandor. Dan sekumpulan mandor YUKA mempunyai otoritas untuk
memperkejakan buruh dengan sistem kontrak, YUKA juga menseleksi ulang buruh
harian lepas UK, hanya 15% yang mendapatkan pekerjaan kembali. Kemudian pada
era 1990-an YUKA berubah menjadi Koperasi tenaga kerja bongkar muat. Anggota
koperasi bisa bekerja dipelabuhan asalkan buruh bisa membayar uang iuran ke
koperasi. Di dalam koperasi terdapat mandor berfungsi sebagai pengawas buruh,
mandor tidak diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi kepada koperasi. Peran
koperasi hampir mirip dengan annemer pada masa kolonial, hanya sekarang relasi
kerjanya lebih kompleks, anggota koperasi bisa memperjualkan kartu dispensasi
kepada buruh yang tidak terdaftar sebagai anggota koperasi. Jelas keruwetan dari
situasi ini adalah tidak berfungsi serikat buruh pelabuhan baik dalam memperjuangkan
hak buruh maupun mengelola relasi kerja di pelabuhan.
Bibliographi
Sumber-Sumber Wawancara:
Suratkabar:
Pemberita Betawi
Perniagaan
Boeroeh
Harian Rakjat
Sin Po
Arsip:
Memorie Van Overgave Bantam 1931
Harry A. Poeze. Polieteke Politoneele Overzichten Van Nederlandsch-Indie Deel I-IV.
The Haque-Martinus Nijhoff 1982
Antara 1955
Buku:
Allen. G.C. and A.G. Donnithorne. Western Enterprise in Indonesia and Malaya: A
Study Development. Allen and unwin. London 1954
Bruno Lasker. Human Bondage in Souhteast Asia. Chape Hill. University of North
Carolina.1951.
H. Mol. Memories Van Een Havenbeider. Edited by T. Jansen end J.Giele. Sun.
Hijmegen 1980
H. Baudet & I.J. Brugmans. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta. Yayasan
Obor 1987.
H.W. Dick. The Indonesian Interisland Shipping Industry: An Analysist of Competition
and Regulation. Institute Southeast Asian Studies. Singapore 1987
John Roosa. Pretex For Mass Murder. Wisconsin University. Madison. 2006.
J.O. Sutter. Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy. 1940-1955. Ithaca, NY.
Cornell University Press. 1959
Artikel:
Arjan Veering. “Labour Management and Workers Independence in the port Tanjung
Priok (Batavia), 1900-1942: the case of the ‘Uniekampong’”. Paper presented at the
workshop: Indonesian Labour in the 20th century . CLARA. CAPTRANS, LIPI. Bali,
Indonesia 4-6 Desember 2001
J.A. Campo. “Steam Navigation and State Formation”. In Robert Cribb (ed) The Late
Colonial State in Indonesia Political and Economic Foundation of Netherland Indies
1880-1942. KILTV Press. Leiden 1994
J. Ingleson. “Life and Work in Colonial Cities Harbour Workers in Java in the 1910s and
1920s. Modern Asian Studies. 1983
Singgih Tri Sulistiyono. “In The Shadow of Nationalism: Pelni during The Period of
Indonesianisasi. Dalam Lembaran Sejarah. Vol. 8. No.2, 2005, hal. 69-85