You are on page 1of 31

Buruh Pelabuhan Tandjung Priok

Razif

Abstrak: Buruh pelabuhan mempunyai status sebagai buruh lepas (casual) yang
mendapatkan pekerjaan berdasarkan perantara mandor. Pada umumnya para mandor
ini berasal dari kampung halaman yang sama dengan buruh pelabuhan. Buruh
pelabuhan Tanjung Priok sebagian besar berasal dari Banten dan Tangerang. Mereka
datang ke pelabuhan Priok, karena alat-alat produksi atau tanah di kampungnya telah
hilang. Pada masa kolonial, buruh-buruh pelabuhan Priok bekerja untuk empat
perusahaan pelayaran yakni, Koninklijke Paketvaart Maatschappij, Stoomvaart
Maatschappij Nederlands, Rotterdamsche Lloyd dan Japan-China-Java Lijne. Status
lepas buruh pelabuhan bekerja berdasarkan pekerjaan yang tersedia pada hari itu.
Jika mereka ingin bekerja lagi harus melakukan registrasi pada pasar tenaga kerja.
Paska revolusi tahun 1950, mereka melakukan serangkaian pemogokan menuntut jam
kerja lebih singkat dan mempunyai pekerjaan yang tetap (permanen) dan pada tahun
yang sama berdiri serikat buruh pelabuhan dan pelayaran yang kemudian
mendelegasikan tuntutan-tuntutan buruh pelabuhan. Inisiator-inisiator pemogokan
melakukan pendekatan dengan para mandor agar dapat berkeinginan untuk
mendukung serikat buruh. Dikemudian hari, banyak mandor yang ikut menjadi anggota
serikat buruh, akan tetapi sistem annemer (borongan) masih tetap berlaku di
pelabuhan Priok.

Catatan: Penelitian ini dapat berlangsung atas dukungan dana dari NIOD dan belum
dipublikasi dimedia manapun.

Pengantar

Tanjung Priok sebagai kota pelabuhan terbesar di Indonesia memperkerjakan ribuan


buruh setiap harinya untuk melayani perdagangan pelayaran bagi jalur antar
kepulauan nusantara maupun pelayaran antar Samudra. Pekerjaan buruh-buruh
bongkar muat ini dikelola dan diatur oleh koperasi yang memperoleh legitimasi dari tiga
surat keputusan Dirjen (Dirjen Departemen Tenaga Kerja, Dirjen Perhubungan Laut
dan Dirjen Koperasi). Koperasi ini yang akan menyalurkan tenaga buruh bongkar muat
kepada perusahaan-perusahaan bongkar muat. Buruh yang memperoleh pekerjaan
bongkar muat memberikan uang kepada koperasi sebesar Rp. 16.000,-, per hari
sedangkan upah buruh perhari Rp. 50.000,-. Uang kompensasi sebesar Rp. 16.000,-
diatas kertas dipergunakan untuk uang pensiun buruh, kesehatan dan tunjangan lain
seperti THR. Buruh-buruh bongkar muat ini direkrut dan diawasi oleh mandor. Pada
dewasa ini buruh bongkar muat yang terdaftar menjadi anggota koperasasi bekerja di
pelabuhan Tanjung Priok berjumlah 3.7002 orang. Dari jumlah sebesar itu tidak
semuanya bekerja setiap hari, mereka bergiliran untuk memperoleh pekerjaan. Hampir
rata-rata setiap orang buruh bekerja hanya dua minggu selama satu bulan.

Kalau saya perhatikan pola pengaturan dan sistem kerja buruh bongkar muat masih
seperti zaman kolonial. Pada periode kolonial pelabuhan mempekerjakan hampir sekitar
15.000 buruh untuk melakukan bongkar muat di pelabuhan. Sejak dibukanya
pelabuhan Tanjung Priok tahun 1876 setiap harinya paling sedikit berlabuh 15 kapal di
tiga dermaga. Perusahaan-perusahaan pengapalan seperti Koninklijke Paakeervaart
Maatschappij (KPM), Rotterdamsche Llyoid (RL) dan Stoomvaart Maatschappij
Nederlandsche (SMN) memperoleh buruh dengan sistem annemeer (agen tenaga
kerja). Setiap perusahaan pengapalan mempunyai annemeer sendiri. Annemeer
memperoleh buruh melalui mandor-mandor. Mandor memperoleh buruh dari kampung
halamannya sendiri di sekitar pedesaan Jawa Barat. Untuk mempermudah penyediaan
tenaga kerja pelabuhan, perusahaan-perusahaan besar KPM, RL dan SMN
membangun kompleks perumahan di Kodja. Di tempat ini buruh-buruh tinggal dan
mendapat pengawasan dari Mandor. Komplek perumahan diberi nama Uniekampong
dan bertahan hingga tahun 1980-an yang digusur untuk terminal truk kontainer.
Bersamaan dengan penggunaan truk kontainer dan teknologi pemindahan barang,
jumlah penggunaan tenaga buruh bongkar muat oleh perusahaan turun drastis dari
15.000 buruh perhari hanya sekitar 1500 per-hari. Lantas apa yang membuat sistem
kerja dan relasi kerja sosial buruh bongkar muat mengalami kemiripan dengan periode
kolonial? Apakah pernah terjadi perubahan dalam pengertian buruh mempunyai posisi
tawar-menawar cukup kuat menghadapi perusahaan?

Setelah revolusi kemerdekaan tahun 1949 lahir Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran
(SBPP). Lahirnya SBPP melalui pemogokan besar selama tiga belas hari dengan
tuntutan pengakuan serikat buruh dan menghapuskan peranan pemungutan uang
kompensasi, kepastian mendapatkan pekerjaan dan pemerataan pekerjaan di
pelabuhan bagi buruh bongkar muat. M eskipun tidak seluruh tuntutan dipenuhi oleh
perusahaan pengapalan, tetapi fungsi dan pengakuan serikat buruh dapat berjalan.
Kemudian mandor dapat ikut serta dalam serikat buruh, mandor bisa mengurangi
permintaan uang kompensasi kepada buruh. Lebih jauh mandor juga ikut berperan
dalam Pemilu pertama tahun 1955 untuk memenangkan Partai Komunis Indonesia di
pelabuhan Tanjung Priok. Juga pada nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tahun
1956 serikat buruh berperan besar dalam mengambil alih perusahaan pengapalan dan
ikut mengelola perumahan uniekampong lebih demokratis bagi buruh bongkar muat.
Sepanjang dekade 1950-an hingga 60-an buruh-buruh pelabuhan bersama dengan SBPP
berusaha membangun dunia baru. Dunia baru yang ingin mereka bangun adalah
pemerataan pekerjaan di pelabuhan, adanya organisasi buruh yang memperjuangkan
hak-hak mereka dan pekerjaan yang tetap.

Dunia baru yang ingin diciptakan oleh buruh-buruh pelabuhan luluh lantak bersamaan
dengan tragedi nasional peristiwa G30S 1965. Dalam peristiwa ini pertamakali
dihancurkan adalah fungsi serikat buruh. Tidak hanya fungsi serikat buruh yang
dihancurkan, tetapi akar sejarah dari serikat buruh dan kaitan dengan gerakan
nasionalisme turut dimusnahkan. Dalam tulisan ini saya akan memaparkan dinamika
gerakan buruh dipelabuhan Tanjung Priok jauh kebelakang awal abad ke 20, hal ini
untuk dapat memperoleh bagaimana proses relasi sosial buruh, mandor dan perusahaan
pengapalan. Hal yang juga penting dengan cara apa perusahaan merekrut buruh
pelabuhan? Kemudian langkah-langkah apa yang diambil perusahaan untuk
mengkontrol dan mendisiplinkan buruh-buruh pelabuhan? selanjutnya sejauh apa
peran mandor dalam ikut memperkuat pergerakan buruh pelabuhan?

Dalam penulisan sejarah pergerakan buruh pelabuhan Tanjung Priok, saya


menggunakan sumber arsip dan wawancara dengan bekas buruh pelabuhan. Arsip
secara relatif memperoleh informasi tentang lalu-lintas pelayaran perdagangan di
pelabuhan Tanjung Priok. Sedangkan wawancara mendapatkan ingatan sosial buruh
pelabuhan mengenai dinamika sejarah mereka. Dalam artikel ini saya akan memulai dari
tahun 1930-an dan berujung pada peristiwa G30S 1965, hal ini untuk membeberkan
dinamika perubahan politik dan ekonomi yang berkelit berkelindan dengan kehidupan
kelas buruh pelabuhan. Saya berawal dari mobilisasi dan organisasi buruh dipelabuhan,
untuk memperlihatkan peran mandor dalam memobilisasi buruh. Kemudian saya juga
akan mengangkat kelas buruh penghuni Uniekampong dalam menghadapi depresi
ekonomi. Ditambah pula terjadi perubahan status buruh Uniekampong yang pada era
kolonial hidupnya sebagai indentured labour dan kemudian berubah 1950-an sebagai
kelas buruh yang bergabung dengan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran. Berlanjut
pada proses nasionalisasi perusahaan asing, apakah pengambil-alihan perusahaan ini
berpihak kepada kelas buruh atau sebaliknya? Tulisan ini akan berujung pada akhir
tahun 1965 dengan mendeskripsikan “bunyi” G-30-S di Tanjung Priok dan seperti apa
dampaknya pada kelas buruh? Dari sini saya berharap dapat memaparkan dunia yang
hilang dari kelas buruh pelabuhan sebagai prasyarat munculnya kapitalisme, dunia
modern dan global ekonomi.

BAB PERTAM A
KERJA DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK

Pada tahun 1877 Direktur Burgelijke Openbare Werken (BOW, Pekerjaan Umum) Van
Raders memenangkan rencana pembangunan pelabuhan Tanjung Priok di sebelah
timur Batavia. Pembangunan pelabuhan baru ini memakan biaya 26,5 juta gulden,
merupakan proyek infrastruktur termegah pada akhir abad ke-19. Pelabuhan Tanjung
Priok terdiri dari pelabuhan luar dipeluk oleh dua dermaga dan lembah pelabuhan
dalam. Kapal-kapal dapat menambatkan sauh didermaga Barat pelabuhan dalam,
bongkar muat kapal-kapal dengan menggunakan derek dan menurunkannya di tujuh
gudang besar. Di dermaga sebelah timur khusus untuk bongkar muat garam, timah
dan batubara. Sebuah galangan kapal berbobot 4000 ton disewa dari galangan kapal
Surabaya berfungsi untuk memperbaiki kapal. Luas keseluruhan pelabuhan Tanjung
Priok 189 hektar ketika dibuka pertengahan tahun 1886. Sedangkan daya tampung
pelabuhan bisa memuat tujuh kapal uap per hari dengan bobot 10.000 ton untuk
masing-masing kapal. Awal dibukanya pelabuhan tidak begitu ramai jauh dari harapan
pemerintah kolonial Belanda, hilir mudik kapal laut sekitar 487 kapal uap dan 47 kapal
layar. Namun antara tahun 1887 hingga 1890 mengalami peningkatan keluar
masuknya kapal yakni 587 kapal uap dan 56 kapal layar. Sementara itu pada 1913
jumlah hilir mudik kapal laut ke pelabuhan Tanjung Priok adalah 1.636 kapal uap dan 31
perahu layar. Peningkatan ini tentunya dengan semakin kokohnya keberadaan armada
dagang Belanda KPM yang menguasai tigabelas jalur pelayaran diseluruh nusantara.
Sedangkan pada tahun 1938 jumlah kapal hilir mudik mencapai 1.732 kapal uap dan 30
kapal layar.

Sementara itu jumlah volume barang yang masuk ke pelabuhan Tanjung Priok pada
tahun 1937 adalah 306.000 ton beras dari negeri-negeri Asia Tenggara, sedangkan
beras dari pulau-pulau nusantara sebesar 160.000 ton. Batu bara yang diangkut oleh
KPM dari Palembang dengan jumlah 179.000 ton. Kemudian garam yang dibawa dari
kepulauan Madura mencapai 124.000 ton. Lantas semen diangkut dari Padang dengan
menggunakan kapal Rotterdamsche Llyoid sebesar 116.000 ton dan timah sejumlah
41.500 ton.

Pertumbuhan Tanjung Priok menyumbangkan pembangunan ekonomi diperdalaman


Jawa Barat. Ditambah pula, Tanjung Priok semakin mencapai peranan sebagai
pelabuhan transito untuk produk-produk dari kepulauan luar Jawa, sesuai dengan
kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Peranan KPM juga sangat penting. Pada
awalnya pelayanan KPM dirangsang dan diawasi oleh pemerintah kolonial, hal ini
berkaitan erat dengan ekspansi militer dan administratif, juga untuk integrasi ekonomi
kepulauan luar Jawa kedalam pasar ekonomi global. Jaringan KPM berpusat di seputar
Batavia, merupakan jalur pengapalan utama di Asia Tenggara sebelum perang dunia
ke dua. KPM juga mempunyai kontrak transit dengan jalur pengapalan internasional-
Belanda seperti Stoomvaart Maatchappij Nederlands dan Rotterdamsche Lloyd
membuat Tanjung Priok sebagai pelabuhan Transito yang penting. Tiga perusahaan
pengapalan Belanda ini yang mendominasi operasi bongkar muat pelabuhan. Lima
puluh persen lebih seluruh pengapalan Tanjung Priok dikuasai oleh tiga perusahaan
tersebut.

Buruh bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok mulai bekerja ketika kapal masuk dan
bersandar di dermaga. Buruh tugboat (kapal penggandeng) yang mulai bekerja
menggandeng kapal besar masuk kedalam dermaga. Kemudian disusul oleh ratusan
buruh untuk melakukan bongkar kapal dan memasukkan barang-barang ke gudang
tidak jauh jaraknya dari dermaga. Akhir abad ke 19 pihak perusahaan pengapalan
seperti KPM, SMN dan RL senantiasa kewalahan dalam memperoleh tenaga kerja.
Sering pekerjaan angkut dan muat tersendat-sendat karena kurang tersedianya
tenaga kerja. Seandainya dalam satu hari terdapat kapal masuk tiga buah dengan
bobot masing-masing 5000 ton, kapal-kapal ini paling tidak membutuhkan 4000 buruh
untuk membongkarnya dalam tempo satu minggu. Jika kurang tenaga kerja untuk
bongkar muat atau buruh melakukan pemogokan akan terjadi ketidak stabilan di
Batavia hingga keperdalaman Jawa Barat.

Bab 2 Organisasi dan Mobilisasi Kerja di Pelabuhan

2.1. Organisasi Kerja Buruh

Buruh yang berkerja di pelabuhan Tanjung Priok terorganisasi sangat hirarkhi. Buruh-
buruh yang bekerja dalam setiap kelompok terdiri dari 15 orang, setiap kelompok
mempunyai komando kleine mandoer, mandor kecil. Enam dari kelompok ini
mendapatkan pengawasan dari groote mandoer, mandor besar. Buruh-buruh ini
tinggal di kampong Warakas, Lorong 100, juga di kampong Pendjongkoran dan
kampung (Pekodjan) Kodja. Mereka tinggal bersama dengan mandor kecil, agar mudah
mendapatkan pekerjaan, dan juga mudah diawasi oleh mandor besar. Pengelompokan
buruh-buruh pelabuhan ini berlandaskan pada asal muasal desa mereka, misalkan
kelompok buruh dari Tangerang tinggal di kampung Warakas dan mereka tinggal atas
dasar penentuan mandor yang membawa mereka dari desa. Selain itu, juga
memudahkan mandor untuk membayar buruh-buruh yang ada dalam kelompoknya.
Biasanya pada hari libur lebaran buruh dan mandor kembali ke kampung halaman.

Agen-agen tenaga kerja perusahaan pelabuhan dalam merekrut buruh berhubungan


langsung dengan mandor besar, dan biasanya mandor adalah orang yang disegani
dan mempunyai pengaruh. Untuk itu mandor juga mudah memperoleh tenaga kerja
pada saat diperlukan oleh perusahaan pelabuhan. Mandor juga akan mengambil
tindakan terhadap buruh yang berusaha melarikan diri dari perusahaan pada saat
hari-hari sibuk di pelabuhan. Selain itu, mandor juga melindungi kelompok buruhnya
dari ancaman mandor lain, dan mandor seringkali tawar menawar dalam menaikkan
upah, maka tidak mengherankan mandor juga tidak tinggal jauh dari kelompok
buruhnya. Biasanya mandor juga mempunyai peran lain yaitu sebagai seorang Jago.
Persyaratan seorang Jago memiliki sejumlah orang (clients) yang patuh terhadapnya,
syarat ini telah dimiliki oleh mandor besar.

Hampir rata-rata mandor besar yang berada di Tanjung Priok mempunyai peran
sebagai Jago. Bagi buruh-buruh pelabuhan jago adalah sosok memiliki kekuatan,
kehidupan yang keras, bisa berbicara dengan pihak penguasa pelabuhan dan juga
mengenal harapan-harapan dari buruh pelabuhan seperti kehidupan buruh yang lebih
baik dan dapat melindungi mereka dari hukum kolonial. Mandor dengan berperan
sebagai Jago, ia bisa menaklukkan anak buah (buruh-buruh yang direkrut), dengan
demikian Jago juga memperoleh hak komisi dari perusahaan setelah bisa menyediakan
tenaga kerja. Peran mandor yang juga sebagai Jago perlu mempunyai suara yang
keras dan lantang. Mandor di pelabuhan Tanjung Priok juga berfungsi sebagai
penghubung bagi buruh
bersama mandor kecil ia dapat memerintah seluruh buruh karena ia mengetahui cara
menyenangkan penguasa pelabuhan. kewibawaan mandor diperlukan agar semua
urusan berjalan lancar. Ia juga memperlihatkan kepada perusahaan bahwa kelompok
buruh yang dipimpin bisa bekerja cepat, untuk kapal dengan bobot 5000 ton bisa
selesai dibongkar dalam tiga hari, agar perusahaan terus mempekerjakan tenaga
kelompoknya.

Peran mandor sebagai jago, dia harus tetap mempertahankan kepercayaan buruh-
buruhnya, untuk itu dia harus mencukupi kebutuhan pokok kaum buruh bongkar muat.
Ini berarti mandor perlu mencarikan pekerjaan bagi kaum buruh, walaupun keadaan di
pelabuhan sepi dengan pekerjaan. Mandor memperbolehkan buruh pelabuhan
mengambil barang-barang dari kapal, ketika buruh sulit memperoleh bahan kebutuhan
pokok, misalkan makanan-makanan kaleng dari Belanda seringkali dicuri oleh buruh
bongkar muat. Selain itu, mandor juga perlu mencegah perlakuan buruh yang
merugikan perusahaan seperti melakukan pemogokan atau bahkan memberontak
terhadap penguasa pelabuhan. Para pengusaha pelabuhan sangat paham bahwa
mandor sebagai seorang jago adalah kunci untuk meredam pergolakan buruh, dan
mandor akan memudar kharismanya sebagai jago jika tidak bisa menengahi
ketegangan antara perusahaan dan kaum buruh, dalam masalah ini mandor lebih
seringkali membela kepentingan pengusaha.

Selain itu, mandor juga mengawasi rumah-rumah pelacuran disepanjang jalan Koja.
Kebanyakan buruh yang datang ke rumah pelacuran adalah buruh berstatus lajang.
Awalnya rumah-rumah pelesir ini diperuntukkan bagi para pelaut yang ingin melancong
dan minum-minum untuk beberapa saat, tetapi kemudian juga berlaku untuk buruh-
buruh pelabuhan angkut muat. Setiap buruh yang ingin melancong ke rumah pelacuran
yang berlokasi disepanjang jalan Kodja harus melalui ijin dari mandor besar, artinya
apakah mereka sudah memberikan bayaran kepada mandor, dan juga kalau ingin
berhutang pada rumah pelacuran juga perlu ada pemberitahuan dari mandor sebagai
jaminan.

Nampaknya hubungan antara mandor sebagai jago dengan buruh pelabuhan adalah
relasi antar anggota-anggota bersifat pribadi. Disini Jago adalah suatu jenis
kepemimpinan mengatur hubungan anak-buah dengan pemimpin, yaitu apa yang
disebut sebagai bapakisme. Dalam perkembangan hubungan kerja antara pengusaha,
mandor dan buruh perlu ada keberlanjutan peran mandor sebagai jago yang
mempertahankan keberlangsungan tata hubungan kerja dipelabuhan. Mandor sebagai
jago juga harus menetramkan buruh dari pengaruh pergolakan-pergolakan diluar
pelabuhan.

Suku bangsa lain yang juga bekerja sebagai buruh bongkar muat adalah orang Bugis.
Mereka datang ke Tanjung Priok mulai dari generasi pertama, yakni tahun 1880-an,
mereka tinggal didaerah pengasinan ikan, satu wilayah dengan Pasar Kodja. Sebelum
menjadi buruh bongkar muat, orang-orang Bugis ini bekerja sebagai nelayan, dan
ketika pelabuhan Tanjung Priok dibuka tahun 1886, mereka berusaha mendapatkan
pekerjaan dan kehidupan dari pelabuhan dan dermaga. Sedangkan mandor untuk
buruh-buruh bugis biasanya telah bekerja agak lama dipelabuhan, dan ia juga
mempunyai uang sedikit, juga mempunyai pengaruh untuk memerintahkan buruh-
buruh yang ada dalam kelompoknya. Mereka bekerja dipelabuhan untuk menarik
kapal-kapal besar dengan volume berat 20 ton. Perlu dijelaskan, bahwa tekhnologi
penarikan kapal besar ke dermaga dengan menggunakan perahu motor dimulai pada
awal abad ke 20. Sebelumnya buruh-buruh Bugis membongkar dan memuat kapal
ditengah lautan dimana kapal besar berlabuh, pekerjaan ini memerlukan keahlian agar
jangan terjatuh ke laut.

Kemudian buruh-buruh bongkar muat yang bekerja di Tanjung Priok paling besar
jumlahnya berasal dari Banten dan Tangerang. Berdasarkan sensus tahun 1930 yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Batavia, bahwa sudah menjadi
pengetahuan umum orang dari Banten dan Tangerang bekerja di Priok. Sebelum
berdirinya UnieKampoeng, buruh-buruh dari Banten dan Tangerang bekerja di
pelabuhan hanya untuk beberapa bulan, kemudian mereka kembali ke desa lagi.
Sedikitnya 75 persen dari buruh-buruh Banten tinggal di Priok dalam satu tahun.
Migrasi musiman telah menjadi cara hidup yang mantap di Banten, terutama orang-
orang mudanya yang mencari pekerjaan di pelabuhan, tetapi mereka kembali ke desa
memanen beras atau berhari lebaran, atau mereka mencari uang secukupnya untuk
membeli bibit tanaman padi untuk sepetak sawah.

Tetapi tidak seluruh buruh pelabuhan dari Banten tinggal menetap di Tanjung Priok,
setidaknya hingga tahun 1930-an masih ada beberapa kelompok buruh dari Banten
masih sering kembali ke Banten. Buruh-buruh yang kembali ke Banten biasanya
upahnya tidak mencukupi untuk hidup di pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu, mereka
juga mempunyai pekerjaan yang pada lazimnya bisa dikerjakan oleh buruh lain yakni
sebagai buruh pemandu kapal masuk ke dalam pelabuhan (tugboat).

Buruh-buruh pelabuhan berasal dari Banten dan Tangerang sebelum berdirinya


UnieKampoeng, mereka tinggal di kampoeng Pedjongkoran, Kodja, Warakas, Lorong
satu dan dua. Buruh-buruh ini juga tinggal dengan mandor kecil yang bertugas
sebagai pengawasnya, apabila buruh-buruh melarikan diri, mandor kecil yang
mencegahnya. Lazimnya antara buruh dengan mandor kecil mempunyai tali
kekerabatan dan keadaan ini yang membuat mandor bisa melakukan pengawasan
hingga ke desa asalnya. Selain itu, mandor juga mudah untuk menyusun rencana
pekerjaan, atau pekerjaan mendesak ketika kapal datang pada malam hari. Rumah-
rumah buruh pelabuhan adalah tempat tinggal tidak permanen terbuat dari kayu atau
bambu, sedangkan atapnya terbuat dari pelepah daun kelapa dan secara keseluruhan
rumah-rumah ini bisa bertahan 2 hingga 5 tahun. Sedangkan tanah yang
dipergunakan untuk bangunan rumah-rumah adalah tanah havenaardirectie
(penguasa pelabuhan), dan tidak dipungut sewa oleh penguasa pelabuhan, asalkan
mandor memberikan jaminan tanah tersebut diperuntukkan untuk rumah buruh
pelabuhan.

Dalam laporan-laporan pemerintah kolonial buruh-buruh dari Banten dideskripsikan


mempunyai mentalitas yang bertentangan, sebagaimana dituturkan Resident Banten
pada tahun 1926, ketika menyerahkan jabatannya kepada penggantinya:”buruh-
buruh pelabuhan dari Banten dan Tangerang sangat disenangi oleh perusahaan-
perusahaan pelabuhan, karena mereka rajin dan senang bekerja. Buruh-buruh dari
Banten juga dikenal bebas dari peminum alkohol, hemat dan taat beragama, tetapi
dipihak lain mereka mempunyai reputasi yang buruk dengan mempunyai sifat fanatik
agama dan pemberontak”. Kadang-kadang pendapat ini terlalu berlebihan
menggambarkan orang Banten adalah buruh yang rajin dan menyenangkan untuk
perusahaan pelabuhan.

Demikianlah, dasar pembagian pekerjaan menurut bangsa adalah ciri-ciri kelompok


yang biasanya dapat ditelusuri dari sejarah masing-masing. Ciri itu antara lain
diakibatkan oleh perbedaan dalam tradisi kerja. Orang Tionghoa mengangkut barang
dengan memikulnya, sedang orang Banten dengan menjunjungnya dalam keranjang di
atas kepala. Faktor terpenting mengapa pembagian pekerjaan menurut bangsa
dipertahankan pastilah karena para pengusaha pelabuhan berpendapat bahwa demi
efisiensi yang optimal diperlukan heterogenitas para pekerja sekalipun akan
mempersulit kerjasama antar buruh. Keadaan ini pula yang membuat para buruh di
pelabuhan Tanjung Priok senantiasa mengikuti perintah dan keinginan para mandor
besar.

2.1 Upah Buruh


Sedangkan upah yang diterima oleh buruh bongkar muat perhari 70 sen, namun tidak
seluruh upah itu masuk kedalam kantong mereka, sebagai imbalan kepada mandor,
buruh pelabuhan mesti memberikan 14 sen perhari. Jadi hasil bersih pendapatan buruh
56 sen. Untuk makan sehari-hari buruh membeli beras, ikan dan sayur mayur dari
pedagang keliling yang dikuasai oleh orang-orang Tionghoa. Bisa juga buruh
pelabuhan membeli ikan dari para nelayan berlokasi di Pengasinan (tempat ikan
diawetkan). Untuk mempermudah pengawasan terhadap buruh-buruh pelabuhan,
kedudukan mandor dibagi menjadi status dan fungsi yang berbeda. Pertama adalah
mandor besar yang menguasai 50-70 buruh, mandor besar juga mengatur jadwal
pekerjaan yang dilakukan buruh. Kedua, mandor kecil yang mengkontrol 10-12 buruh,
biasanya buruh-buruh yang baru direkrut berada dalam pengawasan mandor kecil.

Mandor besar dalam melakukan pengerahan tenaga kerja ke desa-desa di Banten


mendatangi orang-orang yang mau bekerja di pelabuhan dengan aturan-aturan
kontrak kerja yang telah disepakati antara mandor dengan perusahaan. Aturan
pekerjaan adalah buruh pelabuhan harus tepat waktu hadir ketika kapal bersandar di
pelabuhan, kapal yang berlabuh per harinya hampir sekitar 30 kapal dan setiap kapal
mempunyai bobot ribuan ton. Bisa dibayangkan kapal-kapal ini tidak hanya pelayaran
inter-insular antar pulau, tetapi juga kapal lintasan antar negara dan benua. Ketika
kapal berlabuh pasukan buruh pelabuhan beraksi untuk mengangkut barang-barang,
sementara mandor kecil mengawasi dan menghitung jumlah barang-barang tersebut.
Sedangkan mandor besar memperhatikan dari kejauhan, mandor besar menghitung
berapa jumlah buruh dan mandor kecil yang membongkar kapal. Setelah menghitung
dengan pasti jumlah buruh, maka mandor besar akan menagih sejumlah uang kepada
perusahaan pelabuhan. Kemudian mandor besar akan memperhitungkan berapa
jumlah pinjaman-pinjaman kecil buruh kepadanya, ketika belum mendapatkan upah.
Pinjaman ini dipergunakan untuk membeli kebutuhan pokok atau melancong ke rumah-
rumah pelacuran. Sedangkan mandor kecil juga perlu memberikan upeti tetap kepada
mandor besar sebagai tanda rasa terimakasih. Mandor kecil sudah mengerti bahwa
pengangkatannya sebagai pengawas harus dibeli dengan sejumlah uang.

2.1 Intensitas dan Jam Kerja

Pada sore hari menjelang magrib ketika buruh-buruh selesai bekerja di pelabuhan,
mandor besar sibuk berkeliling untuk mendaftar buruh yang akan bekerja malam dan
esok harinya. Buruh yang ingin bekerja harus bersiap menjawab bersedia jika mandor
memanggil namanya. Buruh-buruh yang ingin bekerja malam hari, biasanya tidak
bekerja pada siang hari mereka pada sore hari sudah bersiap-siap didepan pintu jalan
masuk menuju pelabuhan dan setelah mandor datang bersama-sama mereka menuju
ke dermaga. Buruh bongkar muat biasanya datang ke pelabuhan secara berkelompok
dari jalan Kodja tempat Unie Kampong berada. Pada umumnya mereka pukul lima sore
sudah bergerombol untuk masuk ke pelabuhan. Untuk kelompok kecil berjumlah
sepuluh orang. Sedangkan untuk kelompok besar bisa mencapai tiga puluh orang.

Buruh-buruh yang bekerja pada sore hari biasanya membongkar kapal yang baru
bersandar dan lama mereka bekerja tergantung dari volume kapal yang akan
dibongka. Biasanya untuk bobot kapal 10.000 ton bisa diselesaikan selama 5 hari oleh
150 buruh. Sementara itu, buruh-buruh lain yang mengerjakan bongkar-muat kapal
lain mempunyai bobot diatas 10.000 ton masih tetap bekerja. Sehingga bisa
dibayangkan betapa sibuknya arus pekerjaan dan keluar masuk barang-barang dari
dermaga dan ke pelabuhan. Sebelum perang dunia kedua pengangkutan barang-
barang ke luar dan ke dalam pelabuhan Tanjung Priok dipergunakan kereta-api. Sejak
dibangunnya pelabuhan Tanjung Priok tahun 1886 jalan kereta-api langsung masuk ke
pelabuhan untuk mempermudah proses pengangkutan dan distribusi barang ke
pelosok pulau Jawa dan Sumatra. Stasiun kereta-api Tanjung Priok juga merupakan
stasiun besar, hingga tahun 1960-an termasuk bagian dari haveendereksi atau
penguasa pelabuhan Tanjung Priok. Stasiun kereta-api Tanjung Priok juga tempat
memproduksi bricket (cetakan) batubara untuk wilayah eksploitasi Jawa bagian Barat
hingga tahun 1960-an.

Terdapat tiga faktor yang mendorong intensitas kerja dan terbentuknya kelas pekerja
di pelabuhan Tanjung Priok. Pertama, intensitas kerja semakin dipacu melalui teknologi
pemindahan barang dari kapal ke dermaga. Alat ini dikalangan buruh angkut muat
dikenal sebagai “penggerek”, menggerek barang-barang dalam jumlah besar, alat ini
mengandalkan tenaga uap, dan alat ini juga bisa memindahkan peti kayu besar dari
pelabuhan ke palka kapal. Faktor kedua adalah perahu motor juga menjadi pemacu
bekerja buruh-buruh pelabuhan, dengan perahu motor semakin mempercepat menarik
kapal-kapal besar untuk masuk ke dermaga. Faktor ketiga adalah lori atau kereta
dorong, alat pengangkut didarat yang sepenuhnya mempergunakan tenaga manusia,
dengan menggunakan lori buruh-buruh bisa mengangkut barang-barang dari kapal ke
gudang-gudang penyimpanan dalam satu hari bisa mencapai 1.000 ton. Setelah
barang-barang ini diletakkan didalam gudang untuk sementara, maka keesokan hari
barang-barang tersebut diangkut ke stasiun kereta-api. Dengan demikian pelabuhan
Tanjung Priok bersama dengan alat-alat kerja dan juga mesin uap untuk
menggerakkan alat membentuk kelas pekerja sebagai pasukan industri di Tanjung
Priok.

Secara spontanitas buruh-buruh juga membangun rumah-rumah tinggal di sekitar


pelabuhan, dan wilayah yang pertama kali dibangun adalah kampung Kodja yang
berseberangan dengan pelabuhan. Kemudian pembangunan rumah menjalar ke
kampung-kampung Lorong 22, 24 dan 100. Jenis rumah yang dibangun adalah rumah-
rumah barak sederhana yang bahannya dari nabati yakni kayu dan bambu,
diperkirakan bisa bertahan antara tiga hingga lima tahun. Rumah-rumah barak ini bisa
memuat 6 sampai 10 orang. Pembangunan rumah ini hanya diperuntukkan bagi buruh-
buruh beristirahat setelah berjam-jam bekerja di pelabuhan, awalnya kedatangan
buruh dari Banten tidak membawa istri atau anak berkelamin perempuan, setelah
pembangunan rumah-rumah diseputar kampung Kodja mulai berdiri, buruh-buruh mulai
membawa anak dan istrinya. Tujuan membawa anak dan istri ke Tanjung Priok untuk
bisa turut membantu menggerakkan kerja-kerja di pelabuhan.

Pada galibnya buruh pelabuhan setelah bekerja keras dan memperoleh gaji pergi ke
warung minuman bertempat dilapangan jembatan MB seberang stasiun kereta api
Tanjung Priok. Sebagaimana diceritakan oleh Sarmanto yang waktu itu tinggal di
kampung Warakas: Aaah kalau tempat bersenang-senang itu diseberang stasiun itu
lapangan, nah disitu istilahnya warung remang-remang itu, jadi pada minum.
Istilahnya keleningan itu disitu. Bentuknya Belanda begitu orang yang habis bekerja
keras dikasih hiburan itu. Buruh-buruh pelabuhan yang habis gajian, karena kalau
klaar bongkar muatnya kan dapat gaji langsung. Kapal datang, barangnya dibongkar
dapat gaji, nanti kapal itu dimuat lain orang lagi tuh buruhnya. Nah itu ganti shift itu.
Gajian dah, langsung mereka kelapangan, dulu namanya lapangan jembatan MB.

Havendireksi yang menguasai pelabuhan Tanjung Priok memahami watak buruh


bongkar muat yang perlu diberikan hiburan setelah mereka bekerja keras dalam waktu
duabelas jam. Hiburan dalam bentuk minum-minum dan mendengar musik gamelan
sebagai cara mengendalikan emosi mereka terhadap kondisi pekerjaan dipelabuhan
dan juga cara mereka dapat menghilangkan sejenak rasa jenuh bekerja sebagai buruh
bongkar muat. Pada galibnya buruh yang datang ke tempat hiburan lapangan
jembatan mb adalah buruh-buruh lajang yang keesokan hari libur bekerja hingga kapal
lain datang untuk dibongkar atau dimuat.

Karakter pekerjaan buruh-buruh angkut muat pelabuhan bergantung sepenuhnya


pada kehadiran kapal di pelabuhan, jika hanya ada dua buah kapal yang berlabuh
adalah hari sepi bagi buruh pelabuhan karena tidak seluruh buruh mendapatkan
pekerjaan. Rakyat pekerja di pelabuhan adalah buruh yang bekerja tanpa mempunyai
ikatan dengan perusahaan pelabuhan, mereka terus bekerja selama kapal berlabuh di
Tanjung Priok.
Intensitas dan jam kerja juga sangat erat hubungannya dengan keluar masuknya
barang-barang di pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Tanjung Priok bisa dikatakan
adalah pelabuhan tersibuk dari seluruh pelabuhan di Indonesia dengan jumlah 156
kapal berlabuh setiap bulannya pada tahun 1954 terdiri dari kapal bermuatan barang
dan penumpang. Komoditi yang diekspor ke luarnegeri melalui pelabuhan Tanjung Priok
adalah gula yang jumlahnya sekitar 189.000 ton pada tahun 1957.

2.2Mobilisasi, Rekruitmen Buruh dan Peran Mandor

Ketika pelabuhan baru dibuka oleh penguasa pelabuhan (Havenbedrifj) tahun 1886,
hal pertama yang dihadapi oleh kepala pelabuhan adalah kurangnya tenaga kerja,
umumnya untuk pengangkutan bongkar muat di pelabuhan, dan terutama untuk
mengangkut batu bara sebagai bahan bakar kapal laut. Perusahaan pelabuhan
menghubungi perusahaan pengangkutan perkapalan Loen Tjoen untuk mengangkut
buruh-buruh dari Cina, perusahaan Loen Tjoen ini merekrut buruh-buruh Tionghoa dari
Kalimantan Barat. Mendapatkan buruh-buruh Tionghoa ini memerlukan biaya yang
cukup tinggi, selain perlu untuk menyewa perusahaan khusus untuk merekrut buruh
dan juga tarif upah mereka cukup tinggi karena mereka sebagai buruh ahli yang
terbiasa bekerja dipertambangan batu bara.

Kemudian rekruiment buruh dimulai dengan cara mengajak orang-orang Bugis dan
Banten yang telah tinggal di kampung Pengasinan ikan, mereka sudah lama menjadi
nelayan di seputar teluk Batavia dan sering melakukan pelayaran antar pulau.
Sebelum tahun 1886 mereka pun telah bekerja menarik kapal-kapal besar dengan
perahu motor ke gudang-gudang didermaga. Diantara buruh-buruh Banten yang telah
lama bekerja diangkat sebagai mandor sebagai penghubung antara perusahaan dan
buruh. Bahan tertulis tidak banyak menceritakan latar belakang mandor tersebut.
Mereka mencari buruh-buruh baru dikampung halamannya sendiri yakni Banten.
Mandor diangkat untuk memimpin regu yang terdiri atas 20 sampai 50 orang buruh.
Pola dengan merekrut buruh diwilayah mandor sendiri telah berlaku umum dipelabuhan
dunia dan Indonesia. Contohnya, di Tanjung Perak (Surabaya) kebanyakan buruh-
buruh pelabuhan berasal dari Madura, dan di pelabuhan Semarang buruh-buruh
diambil dari wilayah tetangga seperti Kudus, Demak, Juana, Kendal dan Jepara.
Pengerahan buruh-buruh pelabuhan langsung melalui mandor ke daerah pedalaman
Banten dan Tangerang ke Tanjung Priok. Ini tidak berarti buruh diberangkatkan secara
bergerombolan. Kepemimpinan informal mungkin sekali sudah mulai nampak ketika
tenaga kerja mulai dikerahkan. Di pelabuhan Tanjung Priok tidak ada mandor
mengerahkan tenaga kerja yang membentuk sendiri rombongannya dan bersama
rombongan itu—atas inisiatif sendiri atau karena pesanan—mengikatkan diri pada
sebuah perusahaan pelabuhan saat kapal datang berlabuh.

Mandor besar tetap mempertahankan cara rekruitment buruh secara langsung ke


desa-desa di Banten dan perusahaan pelabuhan juga terpenuhi kebutuhan akan
tenaga kerja, dan tidak ada hari sepi sebelum buruh-buruh direkrut langsung dari
Banten. Sementara itu dilanjutkan usaha mengambil buruh-buruh Banten langsung dari
tempat asalnya. Akhirnya, berhasil diadakan hubungan langsung antara daerah asal
dan daerah tempat bekerja. Sejumlah perusahaan pelabuhan mengambil kebijakan
mengirim perantara khusus (mandor kepala) atau buruh senior ke kampung mereka.
Mereka diberikan tugas mengerahkan cadangan tenaga kerja di sekitar kampung
mereka dan membawanya ke pelabuhan. Cara ini tidak hanya berarti penghematan
biaya yang cukup besar. Kaum buruh yang dikerahkan pun datang langsung dari
daerah pedesaan. Buruh-buruh yang direkrut langsung dari desa jauh lebih bermutu
daripada tenaga kerja yang dikerahkan oleh agen tenaga kerja melalui advertensi di
suratkabar.

Pengerahan tenaga kerja ini oleh para mandor yang lebih dikenal sebagai koeliwerkven
seringkali juga dilakukan secara sembunyi tanpa izin dari kepala desa atau kampung
setempat. Bila tanpa pemberitahuan dari kepala residen, maka buruh-buruh yang
telah direkrut akan dikembalikan ke desa asalnya. Rahasia terhadap koeliwerkven
yang membawa masuk buruh-buruh ke pelabuhan secara tidak sah seringkali dilakukan
oleh polisi Batavia. Terutama mandor tidak diperkenankan membawa anak-anak dan
perempuan dibawah umur 17 tahun. Peraturan ini berdasarkan keputusan residen
Batavia. Nampaknya dalam pengerahan buruh, para mandor mempunyai hubungan
kuat dengan kepala desa setempat agar mudah untuk pengangkutan langsung
kepelabuhan. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda tidak menginjinkan penduduk-
penduduk Banten atau dari tempat lain ke kota Batavia tanpa surat-surat resmi dari
daerah asalnya.

Perpindahan pekerjaan buruh dari satu perusahaan ke perusahaan lain di area


pelabuhan, mempercepat pula pemasukan yang diperoleh mandor besar, karena
kapal-kapal laut yang masuk rata-rata bisa seberat 10.000 ton dan ini bisa dibongkat
selama lima hari. Pada masa proses bekerja membongkar dan memuat kapal uang
upah buruh sudah diberikan oleh pihak perusahaan kepada mandor besar, lantas
mandor akan memperhitungkan hutang-hutang buruh, sebelum membayarkan
sejumlah uang dari perusahaan. Setelah itu, buruh bisa berpindah ke kapal lain yang
menunggu untuk dibongkar dan dimuat. Pekerjaan buruh-buruh pelabuhan semakin
sibuk saat menjelang hari Raya Lebaran mereka akan mengejar uang muka pekerjaan
(voorschot ) dan perusahaan-perusahaan akan memberikan uang muka kepada
mandor-mandor kepala. Kemudian uang voorschot ini akan dibayar oleh buruh dengan
mandor memotong penerimaan upah buruh pada bulan-bulan mendatang.
Pembayaran upah buruh dengan menggunakan Voorschot kepada pembesar
perusahaan berlaku menjelang hari raya lebaran. Biasanya para kepala mandor
mengajukan pembayaran voorschot kepada pembesar perusahaan selama tiga bulan
sebelum hari lebaran. Perusahaan menyetujui permintaan kelompok mandor dengan
persyaratan upah buruh selama bekerja tiga bulan akan dipotong. Hari kerja buruh
selama tiga bulan menjelang lebaran dipergunakan sebagai borgh.

Perusahaan pelabuhan dengan memberikan uang muka pada waktu hari raya Lebaran
adalah mengikat buruh untuk bekerja tanpa upah pada bulan-bulan menjelang
lebaran. Selain itu, ini memperlihatkan perusahaan melakukan campur-tangan
terhadap kehidupan buruh. Campur tangan dilakukan oleh perusahaan pelabuhan
agar peran mandor dalam proses kerja buruh dengan pihak perusahaan tidak semakin
mendalam, paling tidak hanya sebatas rekruitment dan pengawasan buruh bekerja di
pelabuhan.

2.2 Uniekampong dan Kondisi Sosial Pemukiman

Perkampungan buruh lepas di Tanjung Priok dinamakan Unie Kampoeng (UK) berdiri
tahun 1919 atas prakarsa politik etis pemerintah Hindia Belanda. Beberapa
perusahaan besar perkapalan dan pelabuhan Belanda terlibat dalam pembiayaan
pendirian UK, antara lain Koninkljike Paakevaart Maatschappij (KPM), Stoomvaart
Maatschappij Nederland (SMN), Rotterdamsche Llyod (RL) dan Java-China-Japan Lijn
(JCJL). Dasar pemikiran mendirikan UK adalah untuk menampung tenaga kerja
cadangan bagi kebutuhan pekerjaan di pelabuhan, sehingga perusahaan
pengangkutan dan perkapalan tidak perlu lagi mencari serta menunggu buruh-buruh
pelabuhan ketika kapal membuang sauhnya didermaga. Selain itu, UK dipimpin oleh
seorang direktur yang bertanggung jawab kepada empat perusahaan pengangkutan
dan perkapalan tersebut di atas.

Pendirian perkampungan buruh UK yang utama adalah untuk mengontrol pasar tenaga
kerja, untuk itu perlu penyediaan perumahan, obat-obatan dan bahan makanan pokok
bagi buruh pelabuhan. Kapasitas bangunan UK diperuntukkan bagi 4000 buruh, setiap
buruh yang tinggal dan akan bekerja di pelabuhan mesti memiliki rumah dan
mendapatkan makanan serta berbadan sehat. Boleh dikatakan UK bebas dari penyakit
epidemik malaria, karena sejak awal sudah diterapkan sistem pembuangan kotoran
yang cukup baik. Pembangunan UK mencontoh pelabuhan Rotterdam dan Amsterdam
yang mempunyai Haven Arbeids Reserve (HAR), pengumpulan buruh-buruh cadangan
pelabuhan.

Selama buruh-buruh tinggak di UK mereka secara ekslusif bekerja untuk empat


perusahaan pendiiri UK, tetapi mereka tidak mempunyai kontrak kerja, dan seringkali
bisa bekerja untuk perusahaan lainnya. Setelah pendaftaran buruh-buruh pelabuhan
mendapatkan izin khusus untuk keluar-masuk kompleks perkampungan UK. Sedangkan
status kerja buruh sebagai buruh lepas, dan mereka tetap dibawah penguasaan
mandor besar dan kecil.

Pembangunan UK jelas untuk melayani kepentingan ekonomi perusahaan pelabuhan


dan perkapalan Belanda; mempunyai 60 hingga 70 persen saham dalam keseluruhan
pergerakan kapal di Tanjung Priok, mereka mengharapkan berkurangnya kekuatan
kompetisi pada pasar tenaga kerja, sehingga dapat mengawasi perkembangan upah.
Motif-motif etika yang mengembangkan awal kehidupan sosial di UK seperti lingkungan
tinggal yang sehat dan makanan yang mencukupi bagi buruh pelabuhan. seruan ini
menjadi kampanye penting bagi direktur UK untuk menjaga keseimbangan pasar
tenaga kerja murah. Sebagaimana ditegaskan oleh direktur UK pertama “politik etis
adalah perbaikan yang cerdas terhadap kondisi hidup buruh pribumi, praktis
menguntungkan kita dengan penampilan buruh yang lebih baik dan lebih baik pula
menjaga mereka.”

Ciri utama bangunan kompleks uniekampong nampaknya memperdaya. Kompleks


bangunan bukan seperti kampung dalam pengertian separuh kota. UK pastinya
mempunyai karakteristik seperti tangsi atau barak, sebagai tempat tinggal bersama
buruh dalam bangunan besar, dengan ruang-ruang pribadi. Kemungkinan kehidupan
komunitas lebih berkembang di UK ketimbang di barak, terutama untuk buruh-buruh
yang membawa keluarganya. Dengan koelikampong KPM sangat bergembira karena
beberapa buruh yang membawa keluarganya membuat stabil penyediaan tenaga
kerja, mereka dapat tinggal diruangan yang memadai. Membanjirnya penduduk di UK
terdiri dari banyak bujang, pemuda belum menikah, mereka berasal dari Banten
bekerja di pelabuhan untuk periode yang sangat terbatas.

Separuhnya bangunan UK adalah bekas kampong buruh sebelumnya yang menjadi


tempat tinggal 90 kepala keluarga bangunannya terbuat dari kayu dan bambu. Tiga
tahun kemudian dibongkar didirikan UK dengan bangunan dari bata dan semen, setiap
los mempunyai 56 kamar, dan seluruh areal UK mempunyai 20 los. Setiap pojok dari los
terdapat empat kamar yang ditempati oleh mandor kepala berfungsi untuk mengawasi
buruh. Setiap pagi direktur UK berkeliling ke setiap pojok los untuk membagikan tugas
pekerjaan kepada mandor dan kelompoknya. Jarak kompleks perumahan UK ke
dermaga mencapai 2 kilometer, buruh-buruh yang bekerja pagi bisa naik kapal feri kecil
ke tempat pekerjaan. Buruh-buruh yang tinggal di UK resminya bekerja mulai jam 8
pagi dan selesai membongkar muat kapal jam 5 sore. Sementara untuk bekerja pada
malam hari dan hari minggu perlu memperoleh izin dari otoritas pelabuhan, tetapi ini
hanya menjadi formalitas belaka. Banyak buruh yang bekerja lembur secara tetap
untuk menyelesaikan bongkar muat kapal.

Pada tahun-tahun pertama beroperasinya UK, KPM membayar buruh tinggal di UK 45


sen, sedangkan untuk buruh yang tinggal di luar UK mendapatkan upah 75 sen per
hari, jadi sebesar 30 sen dipotong untuk kontribusi rumah dan makan. Pada 1920 upah
buruh telah meningkat menjadi 85 sen per hari, sedangkan untuk buruh-buruh di luar
UK menerima 1, 25 gulden, serta mendapatkan satu kali makan gratis. Di tahun 1921
upah meningkat kembali menjadi 1 gulden per hari untuk buruh penghuni UK dan 1,60
gulden per hari diluar UK. Pada tahun yang sama sektor perkapalan mengalami krisis
yang berakibat dengan pemotongan upah buruh pelabuhan. Upah telah direduksi
menjadi 70 sen bagi buruh UK, dan tingkat upah itu tidak pernah berubah hingga 9
tahun ke depan. Pada masa depresi ekonomi malah diturunkan menjadi 65 sen bagi
buruh UK dan 70 sen buruh diluar UK. Sedangkan uang kontribusi untuk makan dan
rumah tidak lagi dipungut, buruh mendapatkan bantuan makan, UK semacam jaringan
pengaman bagi buruh-buruh pelabuhan selama deperesi ekonomi.

Periode 1919 hingga 1942 jumlah buruh yang tinggal dikomplek UK tidaklah menentu,
tergantung dari musim dan situasi ekonomi. Selama masa sulit buruh berusaha
mendapatkan tempat diperkampungan UK. Contohnya pada 1921 ketika trafik
perkapalan mengalami kemerosotan UK menampung 2600 buruh sedangkan yang
bekerja hanya 2000 orang. Demikian pula di masa depresi ekonomi 1930-31 UK
menampung sekitar 3600 buruh yang bekerja hanya 1500 orang, buruh-buruh yang
tidak bekerja untuk keperluan tinggal dan makan ditanggung oleh manajemen UK.
Keadaan ini nampaknya terus berlangsung selama periode 50-an sebelum UK diambil-
alih oleh tentara tahun 1957, sebagaimana dikisahkan Sarmento yang pernah tinggal
di Uniekampong “sejak datang dari Solo saya langsung tinggal di Uniekampong, kalau
siang hari saya ngantri nasi disitu, di Uniekampong kuli dikasih makan sebelum kerja.
Jadi kalau orang belum mempunyai pekerjaan bisa mengambil nasi dari situ.”

Ketika aktivitas pelabuhan meningkat, permintaan terhadap tenaga kerja semakin


luas. Majikan-majikan pelabuhan mencoba memikat buruh dengan cara yang berbeda
dari perusahaan lainnya. Khususnya NIKAS, perusahaan pelabuhan yang memperbaiki
kapal-kapal dari luar-negeri, dan NISHM, perusahaan yang tidak hanya aktif dalam
pengisian bahan bakar batu bara, tetapi juga memberikan pelayanan penggandengan
kapal, sehingga persaingan menjadi alot. Di tahun 1924 kesepakatan dicapai untuk
memisahkan tugas dan tidak berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan buruh.
NISHM akhirnya diizinkan untuk menyewa buruh dari UK pada periode-periode
tertentu, misalkan pada masa sibuk dipelabuhan.

UK juga berhasil mengatasi kompetisi antara SMN dan JCL yang mencoba
memantapkan buruh pelabuhannya yang telah berpengalaman digudang khusus
mereka. Buruh-buruh terbaik ditarik dari UK, yang tidak berpengalaman ditinggalkan.
KPM memperketat prinsip-prinsip UK dengan memotong kegiatan individu perusahaan
untuk memperoleh buruh. Setiap perusahaan diizinkan bisa membawa sekelompok kecil
buruh, paling banyak 50 hingga 100 buruh, lebih dari itu harus seizin manajemen UK.
KPM juga memperkuat peranan mandor dalam mengontrol buruh saat diminta bekerja
oleh perusahaan pelabuhan. Dengan cara pembayaran upah yang dilakukan oleh
perusahaan harus melalui mandor, pembayaran upah tidak bisa langsung kepada
buruh.

Pada masa depresi ekonomi 1930, perusahaan-perusahaan pelabuhan banyak


mengalami kelumpuhan, tidak mampu lagi beroperasi akibatnya pengurangan besas-
besaran terhadap ongkos produksi, terutama upah buruh. Sementara itu,
perkampungan UK menampung 3600 buruh dan hanya bisa mempekerjakan 1500
orang. Agar bahan makanan dan ongkos perumahan tidak terbuang dengan percuma,
maka manajemen UK mengambil keputusan untuk tidak menggunakan sistem shift,
tetapi sistem kelompok. Jam 11.30 siang selesai satu kelompok buruh, disusul oleh
kelompok buruh lainnya hingga pukul 4.30 sore dan diteruskan oleh grup buruh lainnya
hingga jam 7.30 malam dan dilanjutkan kembali oleh kelompok lainnya hingga jam 12
malam, dan kelompok terakhir meneruskan hingga pukul 5.00 pagi. Meskipun cara
pembagian kerja seperti ini agak aneh tetapi berhasil menyerap tenaga kerja hingga
1500 orang per-minggu dan untuk seorang buruh mendapatkan upah 25 sen. Angka
ini merupakan nilai minimal upah terendah dalam sejarah perkampungan UK.

Keadaan di UK mulai membaik pada tahun 1933 KPM dan perusahaan pelabuhan
lainnya mulai berhasil memperbaiki lalu-lintas perkapalan dan pertukaran luar negeri
juga membaik, ditandai dengan gudang-gudang hasil industri perkebunan dan
pertanian bersiap kembali untuk dieskpor. Perdagangan dan ekspor mulai tumbuh
mencapai 19 persen ke negeri Induk, Belanda. Buruh-buruh UK menerima upah
sebesar 65 sen, merupakan nilai upah sebelum terjadinya depresi ekonomi. Hasil ini
akibat dari keputusan pemerintah Belanda memberikan tempat bagi hasil-hasil ekspor
Hindia Belanda, juga bantuan pemerintah Belanda sebesar 25 juta gulden, bantuan
untuk jaminan bagi pinjaman, terutama dipergunakan untuk dasar-dasar hak istimewa
terbukanya peluang bagi pasaran negeri Belanda bagi sejumlah hasil produksi ekspor
Hindia Belanda, termasuk menyerap tenaga kerja bagi pertukaran barang-barang ke
luar negeri. Di tahun 1933 ke atas buruh-buruh UK begitu sibuk untuk mengangkut
barang-barang ekspor yang tiga tahun mengendap digudang, mereka melakukan
bongkar muat hampir 15 jam perhari, jumlah kapal berbendera Nederland yang dikelola
oleh KPM jumlah mencapai 150 kapal, rata-rata mempunyai bobot 5000 ribu ton untuk
setiap kapalnya berlabuh di Tanjung Priok pada tahun yang sama. Selain itu, terdapat
dua perusahaan pelayaran terpenting non Belanda yakni, Hamburg American Line
(Hapag) sebelum perang Pasifik merupakan perusahaan pelayaran non Belanda
terpenting ke Eropa dan Tokyo Senpaku Kaisha, perusahaan pelayaran Jepang
terpenting sebelum perang.

Pada periode pendudukan Jepang kehidupan di UK begitu sulit, perusahaan-


perusahaan pelabuhan hampir seluruhnya tutup dan beberapa perusahaan diambil alih
oleh militer pendudukan Jepang, beberapa kapal KPM yang selamat dipergunakan
untuk keperluan mesin pertempuran balatentara Jepang. Sedangkan perkampungan
UK tetap dihuni oleh buruh-buruh pelabuhan, namun mereka harus bekerja rodi
membongkar muat barang-barang keperluan tentara Jepang tanpa memperoleh upah.
Deskripsi singkat mengenai kehidupan di UK diceritakan oleh Rjadi yang pada
pendudukan Jepang berumur empat belas tahun bekerja di perusahaan Seikubu Jawa
Congsokai (Perusahaan Muatan Kapal Laut), “kalau zaman Jepang tidak bisa kita
jadikan ukuran untuk hidup. Zaman itu betul-betul dalam keadaan minus sama sekali.
Saya pada zaman Jepang bekerja sebagai ketok-ketok kapal, kemudian sebagai
bersih-bersih meja dan mengantarkan air minum teh dan kopi. Sedangkan buruh
Uniekampong kerja rodi mengangkut peti-peti kemas persenjataan dan barang-barang
kebutuhan Jepang lainnya. Kalau kedatangan truk-truk militer Jepang dari Singapur,
pembongkarannya bisa sampai dua minggu. Buruh-buruh UK pada zaman itu tidak
pernah makan nasi, kita banyak makan singkong, yang sedikit beruntung yang bekerja
di kantor, kalau ada sisa-sisa nasi kita makan sisa nasi mereka.

Masa pendudukan Jepang situasi pelabuhan Tanjung Priok berubah secara


menyeluruh dari kesibukan buruh-buruh memunggah perut-perut kapal perdagangan
dan kapal-kapal tunda (tugboat) hilir mudik menggandeng kapal besar menjadi
pangkalan pelabuhan militer Jepang. Pada Maret 1942 pelabuhan Cilacap dan Tanjung
Priok digempur habis oleh balatentara Jepang, praktis perusahaan-perusahaan
pelabuhan dan perdagangan Belanda melarikan diri tunggang langgang ke pelabuhan
Sidney, Melbourne, Brisbane dan Fremantle Australia. Mereka juga turut serta
membawa para montir kapal dan pelaut Indonesia ke negeri pembuangan Australia.
Pemerintah Hindia Belanda sementara berada di Wacol, pinggiran kota Brisbane.
Penguasa militer Jepang juga menebar ranjau-ranjau di sepanjang pantai kepulauan
Seribu dan Tanjung Priok untuk menghadang kapal-kapal musuh yang akan masuk ke
pelabuhan.

BAGIAN II
Perlawanan Buruh di Tandjung Priok
Ada pertanyaan-pertanyaan menggantung mengenai perlawanan buruh di Tanjung
Priok pada tahun 30-an dan masa revolusi hingga tahun 50-an. Apa yang
menyebabkan tidak ada perlawanan pada periode 20-an dan 30-an? Padahal terjadi
pemberontakan kapal Zeven Proviciens (kapal Tujuh) pada 5 Febuari 1933 dalam
perjalanannya ke Aceh, dan pemberontakan kapal tujuh menjadi populer dan diingat
kembali pada tahun 50-an, dan menjadi simbol perlawanan Serikat Buruh Pelayaran
dan Pelabuhan (SBPP) terhadap dominasi KPM. Lebih lanjut bagaimana proses
terlepasnya buruh-buruh uniekampong dari kontrol para mandor? Apakah sepenuhnya
mereka tidak lagi dikontrol oleh para mandor? Dan bagaimana peranan mandor pada
uniekampong pada periode 60-an? Bagian dari tulisan di bawah ini akan membahas
perlawanan buruh di Tanjung Priok, khususnya di uniekampong dan kaitannya cara
mengorganisasi buruh lepas dari kendali para mandor.

Munculnya organisasi buruh di Tanjung Priok dan khususnya di uniekampong tidak


seperti siklus matahari terbit di timur dan terbenam di barat, melainkan mempunyai
proses yang cukup panjang. Pada tahun 1927-28 buruh-buruh Cina bekerja sebagai
anak kapal tergabung dalam Sarekat Anak Kapal Indonesia (SAKI), kalau mereka
berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok mereka tinggal sesaat di desa Tugu atau di
kampung Warakas. Selain itu, SAKI bekerjasama dengan Sarekat Kaoem Chauffeur
(Sopir) yang juga anggotanya peranakan Cina. Dikalangan anggota SAKI dan SKC
mereka telah mempunyai kesadaran untuk membantu perjuangan rakyat Tiongkok
dengan melakukan aksi solidaritas, terutama ketika gerakan di Tiongkok terpecah dua
tahun 1927-28. Para anak kapal berpidato di Tandjung Priok “bedanja tanah Rusland,
Tiongkok dengan tanah Djawa itoe, tanah Rusland dan Tiongkok itoe ra’jatnja
roekoen, bisa mengoesir pada pemerintah, kedjadian sekarang bisa merdika (Harry A.
Poeze, Dell II 1929-1930).

Kegiatan intelejen Belanda mulai mengintai aktivitas buruh keturunan Cina yang pro
dengan gerakan Komunis. Dari laporan intelejen diperoleh informasi “pada malam 14
Januari 1930 ditemukan kurang lebih 100 pamflet berbahasa Cina, yang berisi slogan-
slogan komunis di jalan raya Tanjung Priok (antara lain di daerah Droogdok
Maatschappij. Pamflet-pamflet disita oleh polisi. Sementara didua tempat di Batavia,
ditemukan kain-kain merah dengan tulisan memperingati kematian Lenin. (Harry A.
Poeze Dell II 1986, 16). Bisa jadi provokasi intelejen Belanda untuk memancing
gerakan kaum muda Cina totok untuk keluar dari persembunyiannya dan
memperlihatkan jaringan mereka. Selain itu, ada semacam momok terhadap hantu
komunisme di kepala para pejabat intelejen Belanda sejak pemberontakan nasional
tahun 1926 di Jawa dan Sumatera, mereka berupaya untuk melakukan kategorisasi
terhadap perkumpulan buruh sebagai organisasi radikal. Apalagi pergerakan buruh
yang tumbuh di pelabuhan teramai di Hindia Belanda, tempat berputarnya devisa dan
bongkar muat kapal, ini harus dicegah kalau tidak akan terjadi kekacauan ekonomi dan
politik. Pemerintah Hindia Belanda juga sangat tidak menyukai Cina totok ketimbang
Cina peranakan, karena Cina totok tidak pernah bisa mereka pengaruhi dan
kendalikan. Cina totok ini mempunyai basis perdagangan dan keuangan di Singapura
dan juga sering melakukan pelayaran ke Palembang untuk melakukan bongkar muat
karet dan teh di pelabuhan Cirebon. Salah satu pesaing sengit KPM adalah Heap Eng
Moh SS yang sering melakukan pelayaran Semarang, Cirebon dan Singapura dan
sebaliknya untuk kepentingan raja uang Oei Tiong Ham.

Pada tahun 1919 Havenaarbeidersbond (Serikat Buruh Pelabuhan) telah berdiri di


Semarang, mereka mengakui mempunyai cabang di pelabuhan lain, termasuk di
Tanjung Priok, tetapi tidak ada bukti kuat atau terdengar mengenai aktivitas Serikat
Buruh Pelabuhan di Priok. Mereka juga mengakui bahwa cabang-cabangnya tidak
begitu aktif, dan tidak ada dukungan substansial dari anggotanya, demikian pula
dengan penggantinya Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan (SPPL). Pola umum
pecahnya pemogokan dikalangan buruh pelabuhan dengan peran kekuatan dari
Mandor.

Meskipun para staff pelabuhan takut terhadap organisasi buruh, terutama ketika kaum
nasionalis dan komunis terlibat dalam pergerakan buruh. Inisiatif untuk mendirikan
perkumpulan pegawai terhenti, contohnya tahun 1930 direktur pelabuhan secara
resmi melarang pertemuan-pertemuan di wilayah pelabuhan. Pada tahun 1930-an
serikat buruh didirikan bagi perusahaan pelabuhan dibawah naungan Persatoean
Pegawai Hindia Belanda (PPHB), tetapi tuntutannya agak praktis dan jauh dari radikal,
yakni transportasi gratis bagi buruh-buruh. Demikian pula, operator-operator krani
keturunan Jawa dipaksa oleh perusahaan untuk menandatangani dokumen
pernyataan loyalitas terhadap majikan mereka, karena telah bergabung dengan
serikat buruh.

Demikian pula ketika pecah pemberontakan Kapal Perang De Zeven Proviencien (Kapal
Tujuh) Pada 5 Febuari 1933, merupakan perlawanan militer dari dalam, tidak juga
mempunyai pengaruh di kalangan buruh pelabuhan UK maupun seputar Tanjung Priok.
Pemberontakan awak-awak Kapal Tujuh dipicu dengan pemotongan upah dan
penangkapan teman-teman mereka di Surabaya. Pemberontakan ini dengan
melakukan pengambil-alihan Kapal Tujuh pada 4 Febuari malam di pelabuhan Oleleh,
Aceh, ketika Komandan kapal dan para perwiranya turun ke darat. Pemberontakan
dilakukan oleh awak kapal pribumi maupun Belanda, kapal dibawa menyusuri pantai
barat Sumatra hingga dihentikan paksa melalui pelembaran bom dari atas pesawat
udara di selat Sunda. Seluruh awak kapal Tujuh yang melakukan pemberontakan
dimasukkan ke sel penjara Pulau Onrust, sekitar 40 kilometer dari Tanjung Priok.
Meskipun pemberontakan ini tidak mempunyai pengaruh dikalangan buruh pelabuhan
UK, tetapi pada awal revolusi hingga tahun 1950-an pemberontakan ini menjadi
semangat untuk pembentukan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran.

Zaman pemogokan dan perjuangan buruh di Tanjung Priok berbarengan dengan


perebutan perusahaan-perusahaan Belanda di pelabuhan pada awal revolusi
kemerdekaan, dan pembangunan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran berkaitan
erat dengan gagasan-gagasan pemimpin buruh untuk melakukan pengorganisasian
buruh.

SBPP dan Dunia yang Hilang

Proses pembentukan SBPP cukup panjang yakni dari tahun 1947 hingga 1950,
menurut Sukrisno langkah penting dalam membangun SBPP adalah dengan menguasai
Uniekampong, tetapi untuk bisa memegang dan mengendalikan buruh-buruh UK, kami
berkepentingan untuk mengontrol para mandor UK. Pada waktu itu sudah ada SBKP,
dan daerah pengorganisasian pada empat dermaga dan unikampong yang menjadi
basis terbesar, UK merupakan ranting terpenting SBKP. Seluruh dermaga meminta
tenaga kerja dari UK, demikian pula perusahaan KPM, SMN dan RL meminta tenaga
dari UK, setiap hari pengerahan tenaga kerja untuk keperluan bongkar muat kapal.
Pertama kali untuk menembus UK sangat sulit menghadapi mandor-mandor kepala,
mereka seperti raji kecil yang dalam waktu singkat para mandor kepala bisa membeli
tanah di Kampungnya. Kemudian Sukrisno menceritakan mandor-mandor kepala
mempunyai kuasa “Mandor kepala unikampong istrinya tidak ada yang satu, gadis-
gadis desa sangat terhormat kawin dengan mandor, sebab mandor di unikampong
mempunyai kekuasaan yang besar. Namun, di unikampong juga mempunyai penjara
untuk menghukum mandor dan buruh yang tidak patuh.” Agar bisa menembus
kekuasaan para mandor kepala, kami juga mempergunakan para mandor, tetapi yang
berasal dari Banten seperti Ahmad Saufan, Abdul Qufur dan Ahmad Supena. Mereka
semua adalah perintis yang bisa menggabungkan buruh-buruh unikampong kedalam
SBKP. Ketiga mandor ini menurut buruh-buruh UK kalau diparang tidak luka, dan
mereka berhasil ditarik menjadi anggota SBKP. Pada awalnya para mandor takut
menghadapi direktur UK, mereka khawatir tidak akan memperoleh upah, dan memang
direktur UK menolak SBKP. Keadaan ini kemudian dihadapi dengan mencoba melakukan
pemogokan dengan keyakinan pemogokan akan didukung oleh seluruh buruh
Unikampong dan para mandor besar.

Agar pemogokan berhasil, para pimpinan SBKP perlu melakukan pendekatan secara
personal terhadap mandor-mandor untuk tidak menggagalkan pemogokan tersebut.
Pemogokan yang pertamakali terjadi dipelabuhan Tanjung Priok sejak pelabuhan
tersebut dioperasikan secara modern pada tahun 1886. Riadi salah seorang pimpinan
SBKP dan saat itu telah bekerja di N.V. Entriovier, perusahaan pengangkutan air
bercerita:

“akhirnya secara pendekatan pribadi mandor-mandor besar kita ajak


bicara, mereka juga sering dirugikan oleh perusahaan-perusahaan
pelabuhan, terutama dalam pengupahan. Kita dekati secara pribadi,
kita ajak omong, ya ini tidak bisa kalau mau diselesaikan begini? Ini
perlu persatuan. Kita harus mempunyai serikat buruh. Percayalah kita
tidak akan merugikan bapak mandor, yang penting buruh bapak bisa
bergabung dalam SBKP. Siapkan tuntutan bersifat umum, kita ajukan,
nanti kita yang maju. Nah, kita yakinkan lama-lama dia yakin juga
bahwa kepentingan dia tidak kita rugikan, kepentingan dia tidak kita
ganggu, biar saja dia mau bayar kepada buruh, dia mau mengambil dari
tiap buruh umpamanya satu rupiah, dua rupiah biar saja, yang penting
buruhnya tau bahwa gajinya dikurangi sama mandornya. Tetapi secara
berserikat dia tidak menganggu kita. Lama-lama kita jalin hubungan
pribadi. Pokoknya dari sekian banyak pimpinan serikat buruh, siapa
kira-kira yang bisa menghubungi secara pribadi, entah seminggu sekali,
dua hari sekali ketemu sama mandor-mandor kepala untuk diajak
omong. Lama-lama dia mau, bahwa kita tidak mengurangi haknya, yang
penting kita bertujuan bagaimana supaya hak buruh ini tidak dikurangi
oleh pengusaha.”

Para pimpinan SBKP menjalin hubungan dengan para mandor kepala adalah senjata
ampuh untuk mendobrak rezim pelabuhan Tanjung Priok. Walaupun relasi ganjil
pimpinan serikat buruh harus bekerjasama dengan orang-orang yang mengambil
keuntungan dari nilai bekerja buruh. Relasi antara pimpinan serikat buruh dengan para
mandor kepala terus berlanjut dan harmonis. Sejak peritiwa pemogokan, hampir rata-
rata mandor kepala masuk kedalam tubuh SBPP.

Pemogokan ini berlangsung selama awal bulan Febuari 1950 bertepatan dengan
pemberontakan kapal De Zeven Proviencien pada 5 Febuari 1933. Pemogokan ini
menjadi momentum penting bagi pembentukan SBPP, pemogokan yang melibatkan
sekitar 40.000 buruh pelabuhan, yang terdiri dari tiga dermaga dan Unikampong.
Seluruh dermaga mengalami kelumpuhan, hampir selama satu minggu penuh buruh-
buruh Unikampong dan buruh yang tinggal luar Unikampong tidak melakukan aktifitas
bongkar muat terhadap kapal-kapal yang berlabuh. Menurut Sukrisno, peranan
mandor-mandor dalam pemogokan ini sangat penting, mereka sebelumnya begitu
patuh terhadap tuan dan perusahaan pelabuhan Belanda, sekarang mereka
membebaskan buruh-buruh dari ikatan dan langgam kolonial, seperti perlawanan dari
dalam yang dilakukan oleh awak-awak kapal De Zeven Proviencien. Namun tidak
seluruh mandor kepala beralih ke kubu SBKP/SBPP, mandor kepala yang memegang
buruh cukup besar dan mempunyai status agen perusahaan tetap berpihak kepada
perusahaan Belanda. Setidaknya setelah terjadi pemogokan tersebut terjadi
perimbangan kekuatan terutama di Unikampong, buruh-buruh pelabuhan bisa
mengajukan tuntutan kenaikkan upah, permintaan pakaian seragam dan tunjangan
kesehatan. Sebelum pemogokan seluruh tuntutan hanya diajukan melalui mandor,
seringkali insiatif untuk menuntut hak mereka juga berasal dari mandor. Seakan-akan
buruh-buruh Uniekampong baru menemui harkat dan identitas dirinya yang mempunyai
sejarah dan pengalaman bersama dengan buruh-buruh lainnya. Dengan mandor
kepala masuk kedalam keanggotaan SBPP, maka seluruh buruh pelabuhan yang tinggal
di unikampong juga menjadi anggota serikat buruh.

Pemogokan ini terjadi untuk pertamakali dan melibatkan 40.000 kaum buruh,
berlangsung selama tiga belas hari dengan tuntutan kenaikkan upah dan pengakuan
serikat buruh oleh perusahaan-perusahaan pelabuhan Belanda. Pemogokan yang
cukup panjang dan melelahkan, membutuhkan energi, persiapan serta dukungan dari
segenap buruh pelabuhan. Untuk dapat menghasilkan buah dalam pemogokan
tersebut menurut Riadi penggeraknya adalah:

“Kita bilang kepada anggota-anggota serikat buruh pemogokan bukan


jalan yang terbaik bagi kita, tapi bagaimanapun juga harus kita
tempuh, karena tidak ada jalan lain. Jadi dengan bagaimanapun kita
tanggung resikonya itu semua. Tapi satu hal yang kita minta pada saat
itu para anggota harus disiplin. Disiplinnya begini kita tentukan pos-pos
dimana tempat tertentu mereka tiap hari, tiap jam berkumpul disitu,
kiita melakukan orasi untuk menjelaskan apakah perkembangan kita ada
kemajuan atau tidak. Jadi satu tempat umpamanya sebagian buruh
yang tinggal di uniekampong berkumpul di stasiun kereta-api, yang di
Cilincing tinggal dirumah saya. Itu setiap pagi selama tiga belas hari,
setiap pagi kita sebagai pimpinan datang ke tempat tersebut ada 5
orang omong dengan 5 orang ada 10 orang omong dengan 10 orang.
Nanti yang 10 orang menyebar kepada buruh yang lain. Misalkan kabar
kita hari ini majikan masih belum memberikan jawaban. Jadi untuk
mengetahui perjuangan kita, saudara-saudara hari jam 9.00 hingga
10.00 pagi harus tunggu di masing-masing tempat yang sudah
ditentukan. Kita akan datang dan akan memberitahu perkembangan,
setiap hari sampai tiga belas hari. Dan itu ternyata membawa proses
pendidikan yang baik juga. Jadi semangat kaum buruh itu semakin
berkobar. Sampai kita mendapatkan jawaban pasti dan tuntutan kita
diterima, kita mengadakan pesta dari kantor serikat buruh sampai ke
pelabuhan.

Pemogokan buruh pertamakali dalam era paska kemerdekaan mewujudkan tuntutan


kenaikan upah dan pengakuan SBKP sebagai serikat kaum buruh pelabuhan. Sulit
untuk membayangkan pimpinan serikat buruh bersama anggota mempunyai gagasan
berkumpul, menyebarkan informasi kepada buruh yang lain dan mengatur irama protes
terhadap perusahaan-perusahaan pelabuhan. Cara kerja seperti ini tidak pernah
mereka pelajari dan praktekan pada periode sebelumnya. Pemogokan yang dilakukan
oleh pimpinan dan anggota serikat buruh ini seperti untuk menggempur penjajahan,
mereka menginginkan pekerjaan dengan upah, makanan dan tempat tinggal yang lebih
baik. Upah yang rendah, pola konsumsi yang buruk dan sistem jam kerja panjang
adalah identik dengan rezim kolonial, dan rezim ini perlu diruntuhkan untuk
menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Lebih dari itu, cara baru dari semangat
revolusi adalah setiap konflik antara buruh dengan perusahaan harus ditempuh
dengan perundingan, masing-masing pihak patut diwakili oleh lembaga untuk
melakukan perundingan dan hak-hak dasar untuk berorganisasi. Pada periode sebelum
perang, buruh-buruh pelabuhan inisiatif dan suaranya berada ditangan mandor,
sedangkan mandor harus patuh terhadap peraturan perusahaan. Setelah pasca
revolusi, buruh pelabuhan tergabung dalam serikat buruh, demikian pula mandor juga
masuk kedalam tubuh SBPP organisasi yang memayungi hak-hak dasar pekerjanya
terhadap perusahaan pelabuhan. Dengan pengakuan SBPP setiap konflik antara buruh
dan majikan, maka SBPP yang akan mewakili buruh pelabuhan dalam perunding
dengan organisasi perusahaan pelabuhan, tidak ada lagi perlakuan untuk
menghancurkan gagasan kemajuan dari kaum buruh seperti yang dilakukan terhadap
buruh-buruh kapal de Zeven Proviencien pada masa penjajahan kolonial.

Walaupun telah terbentuk organisasi modern yang mewakili klas buruh pelabuhan di
Tanjung Priok, sistem hubungan kerja annemer atau mempergunakan jasa mandor
kepala untuk memperoleh tenaga kerja dan sebaliknya buruh memberikan uang
kompensasi atas jasa mandor tetap berlangsung di kawasan dermaga Tanjung Priok.
Menurut Sarmanto yang telah aktif sejak tahun 1950 dalam tubuh SBPP, bahwa kami
belum mempunyai prioritas untuk menghapuskan hubungan kerja annemer di
pelabuhan, dan hubungan kerja ini begitu rumit melibatkan sanak keluarga, kampung
dan hubungan kerja yang telah berjalan puluhan tahun. Kemungkinan sistem
hubungan kerja annemer ini pula yang bisa mempertahankan uniekampong sebagai
tempat penampungan buruh-buruh kasar pelabuhan di Tanjung Priok.

Pada awal Febuari 1950 setelah paska pemogokan di Tanjung Priok upah buruh
pelabuhan sudah mencapai f. 130,- dengan pertukaran kenaikan barang yang tajam.
Pada satu pihak, pegawai-pegawai KPM, SMN dan KRL dipungut pula uang pajak dari
upah mereka. Di pihak lain, buruh-buruh harian lepas UK memperoleh upah sebesar
f.100 dengan memperoleh bonus dengan peraturan khusus, dalam pengertian
kelompok buruh bisa menyelesaikan bongkar muat dalam satu minggu dengan kapal
berbobot 5000 ton. Di tahun yang sama volume peredaran uang jauh melebihi
pasokan barang dan jasa. Sedangkan produk kebutuhan pokok dalam negeri seperti
beras belum berjalan normal, jatah beras didistribusikan melalui pos-pos dermaga
Tanjung Priok dengan kupon, penjualan cara ini sangat terbatas jangka waktunya.
Keadaan ini juga diperburuk dengan defisit anggaran republik yang berakibat perlu
mengubah nilai rupiah terhadap mata uang asing. Para pengusaha impor telah
menahan distribusi kebutuhan pokok sebelum republik menentukan mata uang rupiah
terhadap kurs uang asing.

Pemilu 1955 dan Nasionalisasi Perusahaan

Pada dekade 50-60 perjuangan SBPP terkait dengan dua peristiwa penting. Pertama
adalah (Pemilhan Umum) pertama yang berlangsung pada tahun 1955. Kedua, pada
tahun 56-57 berlangsung nasionalisasi perusahaan yang melibatkan segenap buruh
pelabuhan di Tanjung Priok. Keberhasilan kedua peristiwa ini tidak terlepas dari
kekuatan besar buruh yang terorganisir didalam SBPP.

Pemilu pertama 1955 adalah untuk memilih anggota parlemen. Sekitar 40 partai politik
mengikuti perebutan kursi di parlemen, tetapi dalam kenyataannya dari 40 partai yang
ikut pemilu hanya 13 partai yang memperoleh kursi, sedangkan sisanya hanyalah
partai gurem. Partai pemenang Pemilu secara keseluruhan adalah Partai Nasional
Indonesia, sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan tempat keempat.
Akan tetapi untuk suara pemilihan lokal belum tentu dimenangkan oleh PNI,
sebagaimana yang terjadi di Tanjung Priok pemenangnya mutlak adalah PKI.
Kemenangan PKI atas pemilu pertama diwilayah pelabuhan tidak terlepas dari peranan
SBPP dalam memberikan dukungan kepada PKI. Selain itu, Pemilu 1955 merupakan
pemilu pertama, maka untuk pemilihnya diberikan penjelasan sangat terinci dan teknis
agar tidak mengalami kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh Selamet yang pada
berlangsungnya Pemilu pertama berperan sebagai panitia Tempat Pemilihan Suara di
wilayah Cilincing:

Dulu karena pemilu pertama ya jadi suasananya seperti mencekam


rakyat belum mempunyai pengalaman dengan pemilihan umum itu
kesatu. Kedua, antusiasnya ada tetapi pengalamannya belum ada, jadi
takut khawatir salah, atau macam-macam. Karena itu tugas panitianya
pada waktu itu betul-betul memberikan pengarahan detail ya sampai
kepada soal teknisnya, saudara-saudara harus begini, begini karena
pada waktu itu dianggapnya masih pertama belum mempunyai
pengalaman. Kalau dulu mencekamnya yaitu belum mempunyai
pengalaman tapikita harus melakukan itu.Jadi terpaksa yang menjadi
panitia pada waktu itu tugasnya betul-betul berat, beratnya apa begitu
serine bunyi menandakan jam tujuh pagi mereka sudah mengumpulkan
orangnya, terus pidato dia menjelaskan gitu. Menjelaskan nanti
caranya begini antri disini saudara dikasih ini terus dibuka begini terus
kita coblos begini setelah itu tutup lagi yang rapi termasuk kesalahan-
kesalahannya jangan sampai dilakukan. Pokoknya segala persoalan
teknisnya dijelasin, sampai sudah jelas, jelas nggak ada pertanyaan.
Kita bisa mulai, ya dimulai ternyata memang betul-betul
pelaksanaannya sukses.

Dalam pemilu ini serikat buruh juga memberikan penjelasan kepada anggota-
anggotanya bahwa yang dipilih adalah bukan serikat buruh, tetapi partai politik. Pemilu
merupakan ujian bagi serikat buruh, dalam pengertian untuk memandang apa
sebenarnya aspirasi politik dari kelas buruh sendiri. Pada pihak lain, serikat buruh perlu
menahan diri untuk tidak mengarahkan aspirasi dari pilihan para anggotanya. Tugas
serikat buruh hanya memberikan pengarahan teknis pemilu, sebagaimana dijelaskan
kembali oleh Selamet:

Dulu pada waktu pemilu pertama dipelabuhan waktu itu juga diadakan
latihan-latihan gitu ya. Jadi kita seperti saya katakan tadi, kita baru
pertamakali, jadi serikat buruh pada waktu itu juga mempunyai tugas,
dia memberikan pengarahan juga kepada anggota-anggotanya, jadi
nanti saudara-saudara pada tanggal sekian kita akan mengadakan
pemilihan umum caranya begini-begini, dijelaskan juga secara teknis,
kesatu. Kedua, saudara itu memilih partai, bukan memilih organisasi.
Jadi terserah saudara-saudara mau memilih partai yang mana?
Cobloslah tanda gambar itu. Nah kita bikin kartu dari panitia pemeilihan
umum. Nah kita bikin latihan-latihan di perusahaan-perusahaan, nah
nanti saudara-saudara menerima kartu seperti ini. Nah nanti coblosnya
seperti ini mana partai yang saudara pilih. Jadi waktu itu kita
mempunyai tanggung jawab kaum buruh itu mengerti, tugas politiknya
dia mengerti dalam menghadapi pemilihan umum. Pada waktu itu muncul
Partai Komunis Indonesia yang mungkin orang-orang lain tidak
menduga gitu bahwa partai PKI ada yang memilih, ternyata yang
memilih itu cukup memadai sehingga sampai pada waktu itu, Soekarno
harus mengakui hasil pemeilihan umum iti, jadi PKI termasuk nomer tiga
pada waktu itu, dari situ muncul NASAKOM.

Dalam Pemilu pertama itu, PKI tampil sebagai empat besar secara nasional dan
kedudukan pertama untuk di Tanjung Priok. Kemenangan PKI ini sebenarnya tidak
terlepas dari peran aktif dari mandor-mandor uniekampong. Mandor-mandor ini secara
langsung mendorong buruh-buruh yang dalam pengawasan mereka untuk memilih PKI,
sebagaimana dituturkan kembali oleh Selamet:

Mandor-mandor itu dia memegang peranan juga, sebab dia memberikan


pengarahan juga kepada anak bawahannya. Sebab pada waktu itu
kuli-kuli Gudang Baru/Uniekampong, mereka mengganggap mandornya
itu sebagai pemimpinnyalah gitu yang harus didengar dan harus
dituruti, ini kesatu. Kedua, kerja tidak kerjakan tergantung mandor,
kalau ada buruh yang melawan dia tidak dikasih kerjaan nanti. Jadi mau
tidak mau dia istilah Jawanya memanut gitu ya, turutlah. Mereka
memang berperanan mandor-mandor itu seperti jurukampanye nggak
resmi, seperti mereka katakan ya kita harus pilih partai mana yang bela
kita dipelabuhan kira-kira gitu, yang sering bela kita dipelabuhan, dia
ngomong sama anak buahnya begitukan. Itu yang saya kira, termasuk
saya pribadi kagum, kagumnya tidak ada cerita, tidak ada apa. PKI bisa
masuk partai nomer tiga. Sama sekali tidak diduga yang selama ini tidak
pernah kita lihat, kan selama ini yang kita lihat Kepala Banteng, PNI.

Dalam Pemilu 1955, nampak politik aliran masih cukup berperan dari masing-masing
pemilihnya. Hal ini cukup terlihat ketika mandor-mandor di Tanjung Priok
memerintahkan kepada buruh-buruh bawahannya untuk memilih Partai Komunis
Indonesia. Hasil Pemilu September 1955 di Tanjung Priok dimenangkan oleh Partai
Komunis Indonesia dengan memperoleh suara 14.307 dari 92 TPS.
Keadaan ini akan menambah ketegangan antara pimpinan militer dan parlemen. Pada
satu pihak untuk meredam ketegangan ini maka Soekarno dari hasil Pemilu melontarkan
kembali NASAKOM sebagai politik nasional. Di pihak lain posisi pimpinan pusat tentara
diperkuat oleh pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda pada Desember
1957.

Pengambil-alihan perusahaan Belanda atau nasionalisasi perusahaan berlangsung


sangat alot, terutama di pelabuhan Tanjung Priok, karena jaringan pelayaran antar
pulau telah lama dikuasai oleh KPM. Selain itu jaringan annemeer di pelabuhan Tanjung
Priok sedikit banyak masih dikontrol oleh KPM, meskipun jaringan tersebut sudah
terbatas ruang geraknya, karena peran SBPP begitu kuat dalam merangkul kepala-
kepala mandor kedalam aktivitas perburuhan pelabuhan. Untuk menghadapi keadaan
itu, perusahaan bongkar muat KPM memanfaatkan persoalan ethnis di pelabuhan
Tanjung Priok. Sebagai contoh, pada bulan April 1956 buruh-buruh Uniekampong
menolak untuk membongkar kapal-kapal, buruh-buruh berasal dari Bugis yang tinggal
diluar Uka bekerja di pelabuhan untuk membongkar kapal KPM, namun tindakan KPM ini
tidak berjalan karena yang mau bekerja hanya segelintir buriuh. Ditambah pula yang
menjadi persoalan utama adalah ketika SBPP menghadapi pimpinan kerja atau staff di
perusahaan-perusahaan pengapalan Tanjung Priok sebagaimana yang dituturkan oleh
Selamet:

Pimpinan kerja, pimpinan kerja di tingkat atas gitu, staff itu maksudnya.
Justru di employee itu yang kita bilang “saudara masih mau kerja, kalau
mau masih kerja terus, order-order terus dijalankan, kita bantu dari
belakang saudara-saudara. Tapi kalau sudah tidak mau kerja, saudara
minggir saja” tapikan employe-employe orang Indonesia. Indonesia tapi
ada suku Ambon, ada suku Timur. Pada waktu itu yang dipercaya sama
Belanda kan suku-suku itu. Ya gitu. Jarang ada staf yang Jawa, itu
jarang. Itu kenyataannya ya. Entah Belanda nganggap suku itu paling
nggak mau dipengaruhi atau gimana nggak tahu ya, tapi yang banyak
di situ Ambon, Manado, Bugis dan Flores.

KPM juga berusaha membangun serikat buruh yang bernama Serikat Buruh KPM
(SBKPM) namun ini terbentur dengan tidak adanya basis anggota cukup kuat dan
akhirnya bubar begitu saja. Politik perusahaan pengapalan untuk melakukan pemecah-
belah perjuangan buruh pelabuhan senantiasa kandas, hal ini dikarenakan kuatnya
SBPP dipelabuhan Tanjung Priok. Hampir seluruh penduduk dewasa di pelabuhan
menjadi anggota SBPP dan mereka sudah begitu ahli menolak siasat perusahaan untuk
memperkerjakan etnis tertentu di dermaga.

Ketika nasionalisasi perusahaan dilancarkan, uniekampong juga mengalami perubahan


pengelolaan terutama dalam pemungutan uang kompensasi dari upah buruh kepada
uniekampong. Uang kompensasi untuk uniekampong yang sebelumnya ditentukan oleh
direktur unikampong berpindah kepada serikat buruh. Perubahan ini diceritakan oleh
Martadi bekas salah seorang pimpinan SBPP:

Uniekampong membikin...serikat buruh uniekampong tampil bersama-


sama dengan pimpinan uniekampong ikut ngatur. Mereka ikut mengelola
yang tadinya sebagian diambil keuntungan dari perusahaan.
Umpamanya gaji buruh dari perusahaan 20 misalnya diberikan kepada
buruhnya cuma 15, yang 5000 masuk ke uniekampong untuk ini, untuk
ini macam-macam. Nah itu serikat buruh ikut masuk dikurangi jangan
sekian, ambil saja 3000 yang 17.000 diberikan kepada buruh. Nah itu
bentuk-bentuk menghilangkan penghisapan itu. Nanti yang mengelola
serikat buruh juga masuk, ikut memimpin maksudnya.

Pengambil-alihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Tanjung Priok


dilakukan oleh buruh-buruh pelabuhan dan SBPP mempunyai peranan besar dalam
politik nasional ini. Selain serikat buruh berperan dalam ambil-alih, kementerian
Perhubungan Laut sebagai koordinator dalam aksi nasionalisasi di pelabuhan dan
kantor pusat KPM.

“Nasionalisasi perusahaan dalam mendukung seruan Bung Karno melaksanakan


Trikora jadi sebelum ayam berkokok tahun 1962 Irian Barat harus masuk
Indonesia. Di situ kita di SBPP mau tidak mau harus mengambil peranan juga.
Kita mengajukan surat kepada menteri perhubungan laut yang mengorganisir
kita adalah menteri perhubungan laut. Sebab dulu Kementerian Perhubungan
dibagi tiga; laut, darat dan udara. SBPP menyerukan sita perusahaan-
perusahaan Belanda, kita di serikat buruh dan kaum buruh sanggup untuk
menjalankan perusahaan-perusahaan itu, itu pernyataan konkritnya kepada
pemerintah”.
Perusahaan-perusahaan Belanda tidak mau menyerah begitu saja. Walaupun mereka
sulit untuk mendapatkan tenaga kerja bongkar muat, terutama untuk memperoleh
buruh dari Uniekampong secara tetap perusahaan-perusahaan asing mengalami
kesulitan. Untuk menghadapi hal ini mereka menggunakan annemer-annemer diluar
Uniekampong untuk mencari tenaga kerja, sebagaimana diceritakan oleh Selamet:

Di samping Uniekampong terdapat tenaga-tenaga kerja dan annemer-


annemer diluar Unikampong yang jumlahnya jauh lebih besar dari
Uniekampong ya mereka melalui itulah. Dia tugaskan untuk cari
annemer A, B dan C untuk mencari buruh-buruh bongkar muat. Mereka
iming-imingkan hadiah atau bisnis atau persenan. Bisa nggak mencari
buruh ini sekian. Kalau saya perhatikan dari annemer itu pada
umumnya saya perhatikan dari annemer itu kedaerahannya,
umpamanya saya dari daerah Serang saya giring dia semua kemari
suruh jadi tenaga kerja, orang Balaraja, semua orang Balaraja.

Perusahaan-perusahaan pengapalan asing masih bisa bertahan untuk


melakukan bongkar muat dengan memperoleh tenaga kerja dari luar
uniekampong. Namun semenjak 3 Desember 1957 ketka gedung-gedung KPM
dikuasai dan diambil alih oleh buruh-buruh pelabuhan, direktur KPM yang telah
melarikan diri ke Singapura mengumumkan bahwa kapal-kapal KPM tidak
menuju ke pelabuhan-pelabuhan nusantara, terutama ke Tanjung Priok karena
terjadi pemogokan besar. Dan diharapkan kapal-kapal yang sudah memasuki
perairan nusantara untuk kembali atau berlabuh ke pelabuhan negara asing
terdekat. Sementara itu serikat-serikat buruh seperti SBPP mulai menduduki
perusahaan-perusahaan pengapalan besar:

kami melakukan aksi penempelan Milik RI. Milik RI. Belanda-Belanda


takut untuk masuk ke pelabuhan hingga akhirnya mereka pada pulang
ke negeri Belanda. Perusahaan tidak stagnan jalan terus yang
mengatur kita sendiri. Barang dikirim keluar dan barang masuk, yang
menjadi krani dan klerk biasa saja. Yang penting adalah employee-
employeenya, pimpinan kerja ditingkat atas. Justru pada employeenya
kita bilang, saudara masih mau kerja tidak, kalau mau masih kerja
terus. Kita akan bantu dari belakang. Employee-employee ini terdiri dari
orang Ambon dan Menado, jarang pimpinan staf dari Jawa, ini
kenyataannya”.

Serikat buruh pada era tahun 50-an dan 60an mendapatkan dukungan kuat dari para
anggota serikat buruh dan kelas buruh sangat bergantung dengan serikat buruh
dalam menuntut kenaikan upah maupun tuntutan kesejarahteraan lainnya. Bisa jadi
tanpa serikat buruh, buruh-buruh bongkar muat sulit untuk mendapatkan upah yang
layak maupun memperjuangkan hak-hak buruh yang dilanggar oleh perusahaan. Selain
itu, serikat buruh pada saat itu mempunyai rasa kebangsaan yang cukup kuat.
Keadaan ini diceritakan oleh Martadi:

Begini pada waktu kaum buruh menghadapi masalah, katakanlah


tentang upah, yang pertama tentang upah. Sebab ingatan saya,
sebab setiap tahun itu ekonomi kita tidak menurun malah naik. Jadi mau
tidak mau upah ikut menyesuaikan. Untuk menyesuaikan ini saja perlu
perjuangan, belum di atasnya itu. Baru menyesuaikannya saja butuh
perjuangan. Nah itu serikat buruh yang paling berani memperjuangkan
adalah serikat buruh SBPP. Kalau buruh mengatakan kalau bukan SBPP
tidak beres begitu. Ada beberapa serikat buruh tetapi mereka tidak
dapat berbuat apa-apa kalau sudah begitu. Kita bisa mengadakan aksi
pemogokan. Berani, karena kita membela kebenaran. Resikonya kita
pada waktu itu kita siap ditangkap. Negara kita pada waktu itu mau
mengerti, bagaimana kita bisa hidup. Nah kita minta dengan baik-baik
mereka tidak mau mengerti. Kaum buruh senjatanya hanya cuma itu
doang. Cuma satu, kita tidak mau kerja. Padahal itu senjata yang
paling berbahaya buat kita. Kaum buruh sudah tidak kerja gitu, sudah
tidak makan resikonya, hanya itu senjatanya satu-satunya. Sekarang
tinggal pemerintah sebagai orang yang melindungi antar keduanya ini.
Bagaimana sikap pemerintah sekarang, mau memihak sana atau sini.
Kami sudah menggunakan senajata kami ini, kalau nggak diterima kita
berhenti, nggak makan. Tetapi kita diterima kita kerja lagi mungkin kerja
kita lebih giat lagi daripada yang kemarin. Akhir-akhirnya pemerintah
mau menuruti kita, menang SBPP mulai disitu. Pokoknya kalau serikat
buruh sudah berhasil memperjuangkan nasibnya satu saja nggak
banyak-banyak pengaruhnya luar biasa. Sampai kita sendiri kewalahan
untuk menampung permintaan-permintaan mereka. Sebab
pengaruhnya aksi pemogokan itu sendiri disamping kita bertambah
pengalaman. Bagi pengusaha-pengusaha sebagai suatu pukulan.
Mereka takut kalau urusannya kayak dia lagi. Jadi kalau buruh sudah
mulai minta mereka sudah mulai buru-buru apa ini, selesaikan, nah itu
pengaruhnya.

Pengambil-alihan perusahaan-perusahaan asing disekitar pelabuhan oleh buruh-buruh


pelabuhan meskipun berjalan dengan lancar, namun untuk dikemudian hari
perusahaan-perusahaan itu dikuasai oleh militer. Pada awalnya pihak militer hanya
melakukan penugasan dan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut
sebelum melakukan langkah pengambil-alihan. Pihak militer melakukan pengambil-alihan
karena lebih mempunyai kemampuan dalam menata administrasi pelabuhan. Tingkat
hirarkhi militer dalam penguasaan perusahaan asing ditentukan berdasarkan jumlah
buruh yang bekerja di perusahaan tersebut. Dan mulai ketegangan antara serikatat
buruh dengan militer. Keadaan ini diceritakan oleh Selamet yang saat itu pemimpin
SBPP untuk seksi PN Jakarta Llyoid:

Setelah kita ambil alih mungkin Belanda masih menghitung, kalau kita
ngotot perusahaan kita yang asetnya sekian besar akan hilang. Akhirnya
mereka angkat tangan, tetapi sebelum mereka angkat tangan perusahaan-
perusahaan yang kita ambil alih ini militer mulai mengincar juga, pada waktu
itu Nasution yang masih jadi KSAD-nya. Dia membikin satu program yang
diberikan kepada bawahannya pada perusahaan Belanda yang diambil alih
ini dalam penugasan, pengawasan dan pengambil-alihan. Setiap
perusahaan itu minimal pangkatnya Letnan dua, ada yang Kapten, dan
kolonel dilihat besarnya perusahaannya. Kalau perusahaan saya pekerja
jumlah buruhnya hanya 90-100 orang ditaruh Letnan Dua. Kita dalam
pusaran iklim politik tersebut mau-tidak mau kita juga terpengaruh.
Pengaruh itulah yang harus kita selesaikan, kalu tidak akhirnya seperti
sekarang ini. Reaksi dari kaum buruh samasekali tidak ada, hal ini
dimungkinkan tidak ada dukungan dari pimpinan serikat buruh, partai politik
dan juga Soekarno. Akibatnya program Nasution mulus berjalan.
Penugasan perwira tersebut, kemudian pengawasan dan terus pengambil
alihan sekaligus. Setelah dikatakan selesai pengambil-alihan, diambil-alih dia
yang mewakili kita dan militer yang menjadi direkturnya. Baju hijaunya
dibuka ganti pakai dasi. Jadi sekarang serikat buruh langsung berhadapan
dengan militer. Misalnya apa saudara-saudara, kebutuhan saudara? Ini
pak, ini pak, ini pak gitu kan. Wah nggak bisa ini, nggak bisa, nggak bisa.
Tetap saja akhirnya kita bertengkar sama mereka gitu. Dilarang sudah
pemogokan dianggap apa, dianggap mengganggu pemerintah ya. Mereka
terus langsung mebikin peraturan-peraturan. Serikat buruh, larangan-
larangan dan sebagainya. ”

Piimpinan serikat buruh pelabuhan dan pelayaran ikut terbawa dalam suasana dan iklim
politik persatuan yang dicanangkan oleh Soekarno. Mereka diminta untuk bekerjasama
didalam Dewan Perusahaan untuk menghadapi imprealisme. Dewan perusahaan
adalah semacam “kapal” yang dikemudikan secara bersama-sama baik oleh militer
maupun sipil. Sementara itu pemimpin serikat buruh yang duduk sebagai anggota
Dewan Perusahaan sibuk untuk melakukan pengawasan terhadap produksi
perusahaan, sedangkan pekerjaan mengurus basis mulai terbengkalai. Keadaan ini
dikarenakan pemimpin serikat buruh yang duduk dalam Dewan Perusahaan harus
membaca laporan-laporan produksi perusahaan, dan ini tidak dikuasai oleh mereka.
Pimpinan serikat buruh tidak mempunyai pengalaman dalam mengelola urusan hitungan
perusahaan.

Meskipun sudah nampak ketegangan antara serikat buruh dengan militer dalam
pengelolaan perusahaan pengapalan pelabuhan. Persoalan utama yang dihadapi oleh
republik adalah menyingkirkan operasi KPM dari perairan dan pelabuhan Indonesia.
Pada paruh kedua tahun 1950-an pemerintah melakukan tekanan terhadap KPM dan
jaringannya, termasuk perusahaan internasional Belanda, seperti Stoomvaart
Maatschappij Nederlands (SMN) dan Rotterdamsche Llyoid (RL). KPM juga
bekerjasama dengan perusahaan eksport-impor, dikenal sebagai the Big Five:
“Internatio, “Borsumij”, “Jacoberg” (Firma Jacobson van den Berg), “Lindeteven
Stokvis”, dan Geo. Wehry”. Seluruh anggota Big Five mempunyai dermaga gudang
sendiri diseluruh pelabuhan nusantara. Sebaliknya Perusahaan Pelayaran Nasional
Indonesia (PELNI) sebagai pendatang baru sangat sulit untuk masuk kedalam jaringan
pelayaran internasional Belanda. Untuk itu pemerintah melakukan pemotongan
jaringan perdagangan luar-negeri dan perusahaan pengapalan mancanegara,
pemerintah mengambil-alih seluruh perusahaan angkut-muat di Indonesia dan
membiarkan orang-orang Indonesia untuk terlibat dalam usaha ini. Untuk tujuan ini
dikeluarkannya peraturan pemerintah N0. 61/1954. Peraturan ini memisahkan fungsi
antara transportasi laut dan transportasi bongkar muat dipelabuhan yang dikelola oleh
perusahaan Indonesia. Peraturan ini jelas dengan tujuan menyingkirkan dominasi
asing pada usaha pengapalan dan bongkar muat di pelabuhan Indonesia.

G-30-S dan Kesudahannya

Dalam pembahasan tentang peristiwa G 30 S di Tanjung Priok pertamakali perlu


dibahas mengenai “bunyi” peristiwa tersebut dikalangan anggota serikat buruh. Bunyi
disini adalah untuk mempertanyakan dari media apa buruh-buruh mengetahui peristiwa
penculikan enam Jendral dan satu perwira menengah? Kemudian apa yang mereka
lakukan setelah itu? Dan yang juga penting adalah cara penangkapan terhadap buruh-
buruh pelabuhan oleh aparat militer? Lantas bagaimana keadaan pelabuhan Tanjung
Priok sesudah serikat buruh pelabuhan dan pelayaran dihancurkan? Dan apakah pola
hubungan kerja mengalami perubahan? Seperti apa sosok titik balik relasi sosial di
pelabuhan?

Menjelang satu minggu pecahnya peristiwa tragedi nasional Gerakan 30 September


1965 keadaan dipelabuhan Tanjung Priok dan perumahan komplek Uniekampong
berjalan relatif normal. Kapal-kapal masuk dan bersandar dipelabuhan, dan buruh-
buruh bongkar muat bekerja seperti biasanya dalam pengawasan mandor. Keadaan ini
dikisahkan oleh Sarmanto:

Suasana biasa-biasa saja tidak ada persoalan apa-apa. Sedang dikantor nggak
ada apa-apa. Orang saya ditugasi ke Sukabumi. Peristiwa pecah saya di
Sukabumi, saya dengar di Radio. Tidak ada perasaan apa-apa, tidak ada
takut, tidak was-was, orang waktu kita mau berangkat tidak ada apa-apa.
Juga dipelabuhan tidak ada persoalan apa-apa. Seminggu kemudian semua
orang SBPP, kepala-kepalanya, kepala-kepala cabang diambilin semua.
Didatangi kerumah-rumahnya. Kalau saya dulu diambil dikantor. Alasannya
karena kamu itu SBPP, kamu anak buah PKI. Jadi prosesnya kita tidak
mengerti. Seperti kawan-kawan saya pada keluar nggak salah, tapi kalau
sudah ditahan 4-5 tahun, 6 tahun, 7 tahun bagaimana? Artinya sudah pada
hilangkan. Di uniekampong semua orang yang namanya mandor satu sudah
habis. Sampai mandor kecil yang bawa 12 orang itu, itukan satu mandor, itu
saja sudah hilang. Sementar itu pelabuhan macet, satu bulan macet.
Bongkaran itu satu bulan satu kapal, biasanya paling lama lima hari.”

Pada saat terjadinya peristiwa G-30-S 1965 dengan melakukan penculikan enam
Jenderal dan satu perwira menengah, banyak kalangan di sekitar pelabuhan Tanjung
Priok mendengarnya dari berita Radio. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki
pesawat televisi masih sangat minim, bahkan hampir tidak ada yang memilikinya.
Sedangkan pada tanggal 1 Oktober hampir seluruh suratkabar terbit dan baru pada
sore hari dilakukan pembereidelan terhadap seluruh terbitan suratkabar. Keadaan
penerimaan sumber informasi ini diceritakan oleh Selamat Koesnadi:

Berita pertama saya dengar dari Radio. Pada waktu itu pemilik televisi
belum ada, sedikit sekali dah yang punya televisi, paling satu dua
orang. Jadi kita belum bisa ikut dari gambar berlayar kaca itu belum.
Radio penyiarannya yang cepat diterima. Setekah itu, keesokan
harinya baru suratkabar.

Setelah mendengarkan informasi mengenai gerakan 30 September pimpinan-pimpinan


serikat buruh di Tanjung Priok mulai merasa tidak tenang. Mereka mulai merasa perlu
melakukan sesuatu. Perasaan yang tidak tenang dikalangan pimpinan serikat buruh
lebih disebabkan sebelum peristiwa G30S terjadi aktifitas serikat buruh yang berafiliasi
dengan dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) sangat menonjol
dalam membela hak-hak kelas buruh, sebagaimana dituturkan oleh Martadi yang pada
saat itu sebagai pimpinan seksi SBPP pada PT Entrovier dan pengajar pendidikan buruh
di SBPP:

Pada waktu itu rasa-rasa was-was itu ada was-wasnya. Karena pada
waktu itu serikat buruh yang paling disorot adalah yang paling disorot
adalah SOBSI dan secara vertikal kebawah itu anak-anak SOBSInya
seperti SBPP dipelabuhan dan diperkebunan adalah Sabupri [Sarikat
Buruh Perkebunan Seluruh Indonesia]. Jika kita bilang pada teman-
teman ya siap-siap saja, hanya itu saja yang kita punya persiapan itu.

Lebih jauh Martadi yang pernah menjadi panitia TPS pada pemilu pertama mempunyai
pengalaman pada peristiwa 1965, hampir seluruh pengurus serikat buruh pelabuhan
ditangkap:
Pada waktu itu terutama yang dikejar terutama SBPPnya, kalau
anggotanya mungkin masih bisa mengelak ya, tapi yang namanya
fungsionaris atau pengurus dari ranting sampai cabang-cabang dikejar
semua pada tahun 1965.

Pola penangkapan buruh-buruh Tanjung Priok para aparat militer dan polisi datang
langsung ke rumah-rumah mereka atau datang ke kantor dan kemudian dibawa ke
kantor militer terdekat untuk diperiksa. Setelah penangkapan oleh militer, mulai
dilakukan mobilisasi penangkapan oleh orang-orang sipil yang kemungkinan telah
mempunyai perasaan tidak senang dengan anggota-anggota serikat buruh.
Penanggkapan atau lebih tepatnya orang yang memberikan penunjuk diceritakan oleh
Martadi:

Pada waktu itu orang yang benci sama kita menggunakan kesempatan
semacam itu untuk menuduh kita macam-macamlah. Misalkan itu orang-
orang PKI pak, apa benar iya-iya, ditangkap. Itu ditunjuk oleh orang-
orang yang tadinya benci sama kita, yang tadinya tidak senang sama
kita. Yang jelas mereka-mereka itu tidak senang sama kita. Apakah itu
atas nama organisasi atau perorangan yang jelas mereka-mereka itu
sebagai petunjuknya gitu. Telunjuk dan mulutnya itu sudah paling
ampuh.

Martadi juga menceritakan pengalamannya tentang pemeriksaan dan harus mengakui


bahwa dia ikut merancang perlawanan G 30 S di wilayah pelabuhan Tanjung Priok.
Cara pemeriksaan semacam ini merupakan hal ampuh untuk menghancurkan
keberadaan serikat buruh di Tanjung Priok sebagaimana diceritakan oleh Martadi:

Kita takut juga, takutnya salah sasaran. Ternyata benar juga, saya
ditangkap dimasukkan penjara, sampai dikirim juga ke Pulau Buru,
tujuannya ya itu. Dan dalam proses verbal saya, saya sebagai
pimpinan serikat buruh pimpinan ranting, atau kalau dulu istilahnya di
SBPP seksi PN Jakarta Llyoid bagian angkutan air. Sebab Jakarta Llyoid
itu luas ada bagian kantornya, bagian pelayarannya, bagian
keamanannya, saya bagian angkutan airnya (Tugboat) yang perahu
motor. Nah itu tuduhan saya, bahwa saudara pernah bikin surat begini-
begini sebagai pimpinan seksi SBPP saudara pernah bikin surat kepada
pimpinan perusahaan untuk melakukan sesuatu dalam menghadapi
peristiwa G30 S PKI. Wah tuduhannya begitu. Sama sekali itu hanya
dibuat-buat saja, kita tidak sebodoh itu, itu ada suratnya.
Kemungkinan kita harus siap-siap untuk menghadapi Gerakan 30
September. Kata-kata itu siap-siap diartikan untuk melakukan sesuatu.
Ini surat saudara, ini tanda-tangan saudara. Waktu yang periksa saya
adalah Letnan Angkatan Laut. Nggak tau Letnan siapa itu namanya.
Nah disitu menjadi korbannya. PKI mau berontak, saudara sebagai
simpatisan PKI harus tau.

Penangkapan terus berlangsung di pelabuhan Tanjung Priok. Agar dapat


menghentikan nasionalisasi dan Dewan Perusahaan, serikat-serikat buruh dibubarkan
dan kantornya dijadikan penampungan tapol atau diduduki oleh militer. Tetapi yang
terpenting dari itu, untuk menghentikan pengambil-alihan perusahaan asing pada 16
Desember 1965 berlangsung pertemuan pejabat-pejabat tingkat tinggi Indonesia
untuk mendiskusikan tuntutan pemberhentian nasionalisasi di kantor Waperdam II
Chaerul Saleh. Dalam pertemuan ini Suharto tiba dengan Helikopter, masuk keruangan
pertemuan dan “membuat nasionalisasi menjadi jelas sekali bagi seluruh pejabat militer
yang hadir untuk tidak berpihak pada nasionalisasi perusahan-perusahaan asing,
terutama perusahaan minyak. Artinya perusahaan-perusahaan asing harus
dikembalikan kepada pemiliknya.

Sejalan dengan kebijakan ini, Soeharto sebagai Panglima Komando Ketertiban dan
Keamanan (Pangkopkamtib) menyerukan mulai 6 Desember 1965 seluruh aktivitas
serikat buruh, transportasi dan media massa dibawah Komando Operasi Tertinggi
(KOTI). Dampak dari kebijakan UK diganti menjadi Yayasan Usaha Karya (YUKA) pada
Febuari 1967 dan langsung dibawah pimpinan Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Alokasi dan permitaan tenaga kerja buruh-buruh bongkar muat harus
berdasarkan atas permintaan YUKA, bukan lagi pada perusahaan. Perusahaan
memberikan upah buruh-buruh bongkar muat kepada pimpinan YUKA, jadi peranan
YUKA disini sebagai makelar tenaga kerja. Sebagaimana dituturkan oleh Suyatna: Saat
YUKA menguasai UK, buruh-buruh yang ingin bekerja diperusahaan pelabuhan harus
mengajukan lamaran pekerjaan untuk satu minggu, dua minggu hingga satu bulan.
Upah dan tunjangan buruh tergantung dari YUKA, kami tidak tau berapa perusahaan
memberikan uang keseluruhan untuk upah dan tunjangan. Selain itu, tidak semua
buruh pelabuhan dan komunitas UK bisa diterima bekerja di pelabuhan, YUKA
menseleksi buruh-buruh yang mendaftar pekerjaan, paling banter per-hari hanya 200
buruh yang bekerja di pelabuhan. Sedangkan yang lainnya menunggu giliran dari
YUKA.

YUKA adalah segerombolan mandor yang disahkan secara resmi oleh pemerintah Orde
Baru, melalui surat keputusan tiga Dirjen Tenaga kerja, Perhubungan dan Koperasi.
YUKA pula yang mengelola tenaga kerja diseluruh pelabuhan Tanjung Priok. Jumlah
buruh bongkar muat yang dikelola oleh YUKA adalah 3.7002 orang, tidak setiap buruh
dapat bekerja setiap hari, paling tidak dalam satu bulan mereka bekerja dua minggu.
Kemudian YUKA berganti dengan koperasi tenaga kerja bongkar muat yang berdiri
bersamaan dengan berdirinya Jakarta International Container Terminal (JITC) sekitar
tahun 1990-an. Setiap buruh bongkar muat diwajibkan untuk menjadi anggota
koperasi dan setiap mendapatkan pekerjaan diharuskan menyetor ke koperasi sebesar
Rp. 16.000,-. Sejak dibangunnya JITC yang merupakan lokasi dari Uniekampong
dipindahkan ke rumah susun Cilincing.

Relasi tenaga kerja di pelabuhan mengalami perubahan sangat penting tentunya


akibat dipergunakannya tekhnologi truk kontainer. Proses bongkar muat selain
menggunakan kontainer, juga mempergunakan sistem ban berjalan yang tidak
mempergunakan banyak tenaga kerja. Dan juga yang terpenting tidak berfungsinya
serikat buruh sebagai institusi yang melindungi hubungan kerja buruh bongkar muat.
Sarmanto menggambarkan keadaan ini di pelabuhan dengan semakin menipisnya
penggunaan tenaga kerja:

Terutama buruh berkurang adanya kontainer ini, sekarang 50 ton


diangkut sekaligus bagaimana sih. Sudah berkurang itu hampir 70
persen kurangnya. Yang namanya dari Goedang Baroe kalau pagi itu
jam 7-8 orang penuh mau masuk pelabuhan semua, seperti orang
berbaris, kalau pagi yang kelihatan. Pulangkan nggak sama, tapi kalau
pagi setengah delapan harus sudah siap, belum yang dari Warakas,
belum yang dari Sungai Bambu. Sekarang setelah ada teknologi canggih
berkuranglah orangnya. Kapal sekarang tinggal 6 orang diluar, dan
didalam 6 orang. Karena dia cuman narik tali yang buat nyantelin itukan
cuman empat orang. Di bawah enam, di atas enam di dalam palka. Ini
mulai menjamur tahun 90-an. Sekarang yang tidak dikontainer cuman
kacang kedele. Sekarang jagung sudah disedot dan semen sudah tidak
memakai tenaga orang.

Dewasa ini terdapat sekitar 120 perusahaan bongkar muat di pelabuhan Tanjung
Priok. Mereka memperkejakan 3.7002 orang tanpa berdasarkan daftar tenaga kerja
yang pasti. Koperasi tidak melindungi hak-hak anggotanya, seandainya anggota tidak
mendapatkan pekerjaan bukan urusan koperasi. Bahkan ketika salah seorang anggota
koperasi dibayar kurang oleh perusahaan bongkar muat, bukanlah kewajiban koperasi
untuk menuntut pembayaran upah yang layak. Malah sekarang ini para pejabat
koperasi tenaga kerja bongkar muat bisa memperjual-belikan kartu dispensasi bagi
pekerja yang tidak terdaftar di koperasi. Keadaan ini mengakibatkan menjamurnya
buruh-buruh tanpa terdaftar di koperasi bekerja di pelabuhan.

Penutup

Dari pemaparan di atas tampak jelas dinamika kehidupan buruh pelabuhan dan UK.
Pada zaman Belanda mereka dikuasai oleh para mandor (annemer). Para mandor ini
yang menempatkan pekerjaan buruh, menetapkan upah dan jam kerja. Agar dengan
demikian disiplin dari buruh-buruh UK dapat dijalankan. Memang mandor besar dan
mandor kecil mendapatkkan keuntungan dari sini, mereka bisa mendapatkan
keuntungan sedikit, apalagi ditambah jika buruh ingin pelesir ke Kramat Tunggak.
Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan pengapalan dan perusahaan bongkar
muat juga besar, terutama buruh sangat disiplin dan patuh terhadap mandor. Pada
masa kolonial mandor di pelabuhan Tanjung Priok sebagai simbol penjaga ketertiban
dan kestabilan di pelabuhan.

Selanjutnya pada awal tahun 1950 terbentuk serikat buruh di pelabuhan bersamaan
dengan pemogokan. Terbentuknya serikat buruh mengubah relasi kerja antara buruh
dengan mandor. Mandor mengurangi pengambilan uang kompensasi dari buruh
bongkar muat, dan bahkan mandor juga ikut masuk kedalam keanggotaan serikat
buruh. Serikat buruh juga berhasil menuntut kepada perusahaan pengapalan untuk
memberikan uang jaminan kepada buruh selama satu minggu serta menjamin buruh
untuk memperoleh pekerjaan sampingan diluar bongkar-muat di pelabuhan. Hampir
sekitar 15 tahun terhitung dari 1950 hingga 1965, peran SBPP dalam membangun
relasi kerja yang baru yakni memperjuangkan upah layak dan setiap penghuni
uniekampong dapat memperoleh pekerjaan di pelabuhan adalah cukup menonjol.

Awal Orde Baru buruh pelabuhan dan UK dikontrol dan dikuasai oleh mandor dan
preman resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Kontrol pasar tenaga kerja benar-benar
berada ditangan mandor. Dan sekumpulan mandor YUKA mempunyai otoritas untuk
memperkejakan buruh dengan sistem kontrak, YUKA juga menseleksi ulang buruh
harian lepas UK, hanya 15% yang mendapatkan pekerjaan kembali. Kemudian pada
era 1990-an YUKA berubah menjadi Koperasi tenaga kerja bongkar muat. Anggota
koperasi bisa bekerja dipelabuhan asalkan buruh bisa membayar uang iuran ke
koperasi. Di dalam koperasi terdapat mandor berfungsi sebagai pengawas buruh,
mandor tidak diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi kepada koperasi. Peran
koperasi hampir mirip dengan annemer pada masa kolonial, hanya sekarang relasi
kerjanya lebih kompleks, anggota koperasi bisa memperjualkan kartu dispensasi
kepada buruh yang tidak terdaftar sebagai anggota koperasi. Jelas keruwetan dari
situasi ini adalah tidak berfungsi serikat buruh pelabuhan baik dalam memperjuangkan
hak buruh maupun mengelola relasi kerja di pelabuhan.

Bibliographi

Sumber-Sumber Wawancara:

Wawancara dengan Sasmita, Tanjung Priok, 23 Mei 2003


Wawancara dengan Kholid, Tanjung Priok, 2 September 2003
Wawancara dengan Sarmanto, Tanjung Priok, 29 Juli 2006
Wawancara dengan Sarmanto, Tanjung Priok, 14 Agustus 2007
Wawancara dengan Selamet, Tanjung Priok, 23 Februari 2003
Wawancara dengan Martadi, Tanjung Priok 16 dan 19 Agustus 2007
Wawancara dengan Yusuf, Tanjung Priok, 10 Januari 2003
Wawancara dengan Riadi, Tanjung Priok, 2 Juli 2003.
Wawancara dengan Sukrisno,Jakarta, 14 Juli 2005.
Wawancara dengan Sadeli, Bekasi, 12 Maret 2003.
Wawancara dengan Sujatna, Tanjung Priok 23 September 2003

Suratkabar:

Pemberita Betawi
Perniagaan
Boeroeh
Harian Rakjat
Sin Po

Arsip:
Memorie Van Overgave Bantam 1931
Harry A. Poeze. Polieteke Politoneele Overzichten Van Nederlandsch-Indie Deel I-IV.
The Haque-Martinus Nijhoff 1982
Antara 1955
Buku:

Allen. G.C. and A.G. Donnithorne. Western Enterprise in Indonesia and Malaya: A
Study Development. Allen and unwin. London 1954

Bruno Lasker. Human Bondage in Souhteast Asia. Chape Hill. University of North
Carolina.1951.

Dixon. DJ. De Mandoer in Havenaar Priok Practische Op Merkingen met Betrekking to


Den Omgang met Arbeid. De Bussy. Amsterdam 1930

H. Mol. Memories Van Een Havenbeider. Edited by T. Jansen end J.Giele. Sun.
Hijmegen 1980

H. Baudet & I.J. Brugmans. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta. Yayasan
Obor 1987.
H.W. Dick. The Indonesian Interisland Shipping Industry: An Analysist of Competition
and Regulation. Institute Southeast Asian Studies. Singapore 1987

John Roosa. Pretex For Mass Murder. Wisconsin University. Madison. 2006.
J.O. Sutter. Indonesianisasi: Politics in a Changing Economy. 1940-1955. Ithaca, NY.
Cornell University Press. 1959

Artikel:
Arjan Veering. “Labour Management and Workers Independence in the port Tanjung
Priok (Batavia), 1900-1942: the case of the ‘Uniekampong’”. Paper presented at the
workshop: Indonesian Labour in the 20th century . CLARA. CAPTRANS, LIPI. Bali,
Indonesia 4-6 Desember 2001

S. De Graff en D.G. Stibbe. “Havenwerken” Encyclopaedie Van Nederlansch-Indie.


Tweede Deel. Martinus Nijhof. Leiden 1918.

J.A. Campo. “Steam Navigation and State Formation”. In Robert Cribb (ed) The Late
Colonial State in Indonesia Political and Economic Foundation of Netherland Indies
1880-1942. KILTV Press. Leiden 1994

J. Ingleson. “Life and Work in Colonial Cities Harbour Workers in Java in the 1910s and
1920s. Modern Asian Studies. 1983

Singgih Tri Sulistiyono. “In The Shadow of Nationalism: Pelni during The Period of
Indonesianisasi. Dalam Lembaran Sejarah. Vol. 8. No.2, 2005, hal. 69-85

You might also like