Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan
penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih
menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal
tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan
kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan
fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran
Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan
Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan
Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad
pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari
masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan
sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam
berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para
sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan
periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran
akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih
banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah
sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka
dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah
yang belum mereka ketahui.
1
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah
itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu
yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti
Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta
dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat
semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran
pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan
hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah.
Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio
dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan
sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor
yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa
memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang
disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
B. POKOK PERMASALAHAN
Sebelum sampai kepada pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan
pokok permasalahan sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melabar dan
menyimpang. Sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini adalah
Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya empat mazhab fiqih?
2
Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena
bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing
dalam hal pengambilan dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata
benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah
ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”,
yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido
Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum
Islam1.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan
pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari
dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan
(ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama
lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208;
Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197),
istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam
yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan
(tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam
dari dalil-dalilnya yang rinci2.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini
dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai
metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam
hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395)3.
1
http://diaz2000.multiply.com
2
Http://www.hayatulislam.net/persoalan-seputar-mazhab.html
3
Ibid.
3
2. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini,
berikut akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran
mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-
Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada
masa Dinasti Umayyah4. Semua literatur yang mengungkapkan
kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah
seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy,
khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar
pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia
bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di
kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan
Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan
sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan
ulama5.
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali
menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal
dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti
oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i,
Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya6.
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang
disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan
bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imam
Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah
memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena
ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah,
4
Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqih sepanjang sejarah, 2001, Hal. 72
5
Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, 1995, Hal. 333
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
4
memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur
melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih
mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah
bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud7.
Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab
tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
5
bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek
Nabi10.
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir
di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan
Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya,
Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua
tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah11.
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal
Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi.
Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa ,
fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain,
kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat
mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab
fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi
oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan
dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama)
dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i
dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke
Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan
Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di
Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat
sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di
muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke
Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat
pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap
10
29 . ص,دمشق,دار القلم,( المام الشافعى )فقيه السنة الكبر,عبد الغنى الدقر
11
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Risalah Gusti:Surabaya, Cet.2,
2006. Hal. 100
6
masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak
adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat
pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan
sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah
ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi
ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di
Mesir12.
12
Ibid, Hal. 109-110
13
Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqih sepanjang sejarah, LKPSM:
Yogyakarta, 2001, Hal. 105
7
Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin
Ma’qil14
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin
Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi
gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu
Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad,
Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah
bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah
menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan
dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun.
Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam
puluh ribu pelayat perempuan.15
14
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
15
Ibid.
8
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan
umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman
bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah
buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara
lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H)
dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak
Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim)
oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak,
sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-
Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para
pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan
Maliki16.
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran
tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y
dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl
al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang
'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada
umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan
argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya
Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i
(150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis
dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan
tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap
ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis, maka ia
dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang
sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah
wa al-Jama'ah.
16
http://www.hupelita.com
9
1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah
tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah
pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut.
Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di
kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari
sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab
utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk
masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah
SAW17.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan
masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat
dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang
tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu
itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam
sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad
kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah
Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran
fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab
fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa
sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-
mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab –
17
http://diaz2000.multiply.com
10
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada
sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat
itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi
sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau
sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar
dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-
mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110
H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150
H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin
Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-
Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam
Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah
(wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.),
dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) 18.
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi
periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode
khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode
keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan
yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih19.
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan
Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.).
Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada
di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-
Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan
periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih
banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada
periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam
18
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Risalah Gusti:Surabaya, Cet.2,
2006. Hal. 79
19
http://www.cybermq.com
11
rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem
kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada
Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang
hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan
hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah
ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu
Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41
H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai
ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang
akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash.
Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi
khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas
dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di
tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada
pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini
merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin
ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak
Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.),
munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2
sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah
peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan
Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas
yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang
12
tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja
dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke
panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki
tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para
penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk
melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi
persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah
Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik
untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan
kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal
disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik,
al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-
Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang
muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i.
Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan,
seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan
abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih
adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam
mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam
mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad
dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada
hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka
masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri)
13
tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka
ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut.
Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-
mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip
yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh
yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-
ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab)
sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab
imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini
untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada
salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat
pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid
(mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid
imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing
mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat
mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari
sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini
sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan
haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada
pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam
al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26
Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan
14
lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada
periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh
dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan
terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab
masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar
(ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam
mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas
pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa
menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri
perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa,
sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama
yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam
berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan
penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-
Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi
ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai
diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya
maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu.
Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan
ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah
ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak
penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi.
Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara',
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka
transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk
melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak
15
pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan
utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas
sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini
dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada
masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566]
dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti
Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam
sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa
pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam
al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang
berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh
Mazhab Hanafi.
16
pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-
jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut
“diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi
menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-
kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya,
maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu
Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada
kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral
dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu
hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas,
istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya.
Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak
menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits
ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan
suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat,
hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang
dipahaminya21.
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal
dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu
hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti
ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau
meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang
menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-
Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan)
sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata
lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar
kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di
21
Ibid, Hal. 87-88
17
Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah,
membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang
berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah
mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah,
dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan
pemikiran fiqih rasional kepadanya.
22
Ibid, Hal. 97
18
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu
tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam.
Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-
lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan
menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan
karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie,
kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan
sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang global,
mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri
yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie
adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan
ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.”23 Untuk membuktikan
hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam
menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu
hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang
mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang
mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang
lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-
Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam
shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa
kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam
Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu
hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk
penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan
23
Ibid. Hal. 111
19
taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al-
Qur’an disebutkan : (4:80)
24
Q.S. 59 : 7
20
dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9)
ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.25
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya
ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit
penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan
penggunaan qiyas.
D. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat penulis mengambil beberapa poin
kesimpulan di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
E. PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, dengan harapan semoga ada
manfaatnya bagi pembaca, khususnya bagi penulis sendiri.
Saran-saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis
harapkan untuk melengkapi makalah ini dan untuk kemajuan ilmu
pengetahuan kedepan.
F. DAFTAR PUSTAKA
21
http://apat-kedahi.blogspot.com/2009/04/mazhab-mazhab-fiqih-dan-
pengertiannya.html
http://www.hupelita.com/baca.php?id=495
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//100/sejarah-perkembangan-fiqh
http://neobyadver.blog.plasa.com/2009/05/26/sejarah-singkat-munculnya-
mazhab-mazhab-dalam-islam/
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg08055.html
http://www.hayatulislam.net/persoalan-seputar-mazhab.html
22