You are on page 1of 68

Hikayat Abdulah dan Amerika

Raja Abdul Aziz bin Saud adalah seorang pendekar gurun yang mampu
mempersatukan suku-suku di Semenanjung Arab pada 1932. Sejak itulah berdiri
Kerajaan Arab Saudi modern yang sampai kini dikendalikan para pewaris dinastinya.
Raja Ibnu Saud terkenal tegas dalam menanamkan disiplin pada anak-anaknya.

"Saya melatih anak-anak saya berjalan dengan kaki telanjang, bangun dua jam
sebelum fajar, makan sedikit, mengendarai kuda tanpa pelana," begitu kalimat yang
sering dinukil dari Raja Ibnu Saud.

Menurut para ahli Timur Tengah, kalau ada satu dari 37 putra Ibnu Saud yang
mewarisi pelajaran itu, dialah Putra Mahkota Saudi Pangeran Abdullah. Pangeran
Abdullah, putra Fahda, istri kedelapan dari 16 istri Ibnu Saud, merasakan bagaimana
kehidupan keras yang dijalaninya. Sejak kecil, dia dijauhkan dari istana, dititipkan
pada keluarga suku Badui di tengah padang pasir.

Tentu saja, Pangeran Abdullah kini tidak menunggang kuda ke mana-mana, apalagi
tanpa pelana. Dia menyetir Rolls Royce dengan nomor registrasi 001. Toh, citranya
terbilang "bersahaja" dibanding para pangeran Saudi lainnya yang rata-rata
flamboyan. Perokok berat yang masih tampak gagah di usia 79 tahun ini belum lama
berselang menyambut para wartawan untuk jumpa pers dengan mengenakan sepatu
olahraga.

Salah satu contoh indikasi ketangguhan Abdullah adalah ketika menghadapi kritik
pers Amerika yang meragukan kesungguhannya bekerja sama dalam investigasi
terhadap serangan 11 September. Kampanye media Barat itu terhadap Saudi itu,
katanya, tak lebih dari manifestasi kebencian yang mengakar dalam terhadap Islam.
"Komitmen pada Islam dan tanah air tak perlu diperdebatkan," ujarnya.

Sebagian analis Timur Tengah di Washington mulai mengecapnya sebagai anti-


Amerika. Walau begitu, banyak juga yang melihat Abdullah sebagai orang yang tepat
pada saat yang tepat untuk melindungi kepentingan Arab Saudi, dan pada gilirannya
kepentingan AS.

James Akins, bekas duta besar AS untuk Saudi, melihat Abdullah punya ciri-ciri yang
diperlukan untuk mendapat penghormatan dari dunia Arab dan Islam. "Abdullah
adalah seorang nasionalis Arab dan seorang muslim yang baik, tidak korup, dan
populer," puji Akins.

"Memang banyak yang mengatakan Abdullah anti-Amerika. Sejujurnya, saya tidak


melihat demikian," F. Gregory Gause, Direktur Studi Timur Tengah di University of
Vermont, menimpali. Menurut dia, Abdullah memang punya perhatian yang lebih
terhadap isu Palestina dibanding orang-orang lain dalam keluarganya. "Pada tingkat
tertentu, orang melihatnya sebagai anti-Amerika," ujar Gause.

Gause punya contoh sederhana. Pada musim panas lalu, Saudi mengundang
perusahaan-perusahaan asing untuk ikut tender proyek gas senilai US$ 50 miliar.
Perusahaan-perusahaan Amerika melenggang dan meraup banyak porsi dari bisnis
ini. "Jika Abdullah memang anti-Amerika, keadaannya tidak akan seperti itu," kilah
Gause. the christian science monitor/bbc/washington post/yanto musthofa
Unsur Intrinsik Novel

Nama : TETTY NURHIDAYATI

NIM : 0701521

No. absent : 12

Kelas : Bahasa Indonesia

Unsur Intrinsik Novel

Judul : Seventeen (17 th)

Pengarang : Agung Bawantara

Penerbit : Gagasmedia

Tahun : 2005

Sinopsis :

Dua geng di SMU Garuda yaitu The Caredox Girls yang mengaku

sebagai kelompok cewek mandiri yang beranggotakan Merpati, Rindang,

Cintya dan Harva dan Geng Cokol alias Cewek Kolot yang beranggotakan Rio,

Didom, Cacu dan Omet. Ke dua kelompok itu selalu saling menjahili, hampir

dua tahun mereka berseteru, tidak ada yang mau mengalah. Pada akhirnya

timbulah keinginan dari Rio untuk mendamaikan kedua kelompok ini. Akan

tetapi niat Rio mengurungkan niatnya, dia mengambil kesempatan saat

bertandang ke rumah Merpati untuk menyatakan perasaan hatinya. Akhirnya

niat ingin mendamaikan berubah menjadi pertemuan yang menggabungkan dua

orang komandan kelompok yang sedang berseteru.


Diceritakan seorang gadis bernama Susan berasal dari keluarga miskin.

Ayahnya seorang pemabuk dan sering main judi. Ketika kehabisan uang, ia

memanfaatkan kegadisan Susan anaknya untuk diperjual belikan kepada lelaki

jahanam yang mempunyai uang banyak untuk membayarnya. Oleh karena itu

Susan dipaksa oleh ayahnya untuk melayani setiap lelaki hidung belang yang

menginginkan kepuasan. Sampai pada akhirnya Susan hamil dan berita

tersebut diketahui oleh pihak sekolah. Berat menerima kenyataan, Susan

berniat mengakhiri hidupnya. Namun Merpati berhasil mencegahnya. Ia

menghibur Susan untuk tetap terus berjuang menjalani kehidupan. Selama 9

bulan Susan bersembunyi samapi pada akhirnya bayi nya pun lahir. Beruntung

Susan karena masih ada seorang Lelaki yang mencintainya dengan tulus, mau

menerima Susan apa adanya. Lelaki itu bernama Dika. Akhirnya Susan dan

Dika pun menikah di usia 17 tahun.

Kutipan :

SEVENTEEN

Buah karya : AGUNG BAWANTARA

Merpati memang anak band dengan kepribadian yang unik. Ia adalah

komandan grup The Caredox Girls yang beranggotakan Rindang, Harva dan

Cintya. Gerombolan ini memproklamirkan diri sebagai cewek-cewek mandiri.

Maksudnya, bisa mandi sendiri dan nggak tergantung sama yang namanya

cowok. Kalau perlu, begitu ikrar mereka, semua kerjaan yang selama ini

dianggap bagian cowok, harus diambil alih!


Hhhh! Merpati menghela nafas panjang. Jam-jam segini memang jadi

jam-jam yang membosankan, benar saja tanpa sadar Merpati sudah

ngelamunin Rio, komandan Geng Cokol alias “Cowok Kolot”, grup band yang

cukup beken di sekolahannya. Selain Rio, anggota lain geng itu adalah Omet,

Didom, dan Cacu.

Sayang, Geng Cokol musuhan sama The Caredox Girls. Permusuhan

keduanya tergolong berat dan laten. Musuhan anjing sama kucing masih kalah

seru disbanding permusuhan dua kelompok ini. Kalau anjing sama kucing

ketemu, salah satunya (biasanya kucing) pastilah buru-buru melarikan diri.

Kalau permusuhan para begundil ini, tidak! Dua grup ini bisa berantem habis-

habisan dan nggak bisa dipisah sampai mereka kecapekan sendiri. Mungkin

perumpamaan yang rada mirip adalah ibarat minyak jelantah ketemu air

rebusan sayur di penggorengan yang lagi panas, pasti pletak-pletok, nyiprat

ke sana kemari bikin geger.

Hampir saban hari kedua geng ini saling mengerjai geng musuhnya.

Misalnya, suatu kali geng cokol ngejahilin The Caredox Girls dengan seplastik

kumbang-kumbang kecil yang sudah dicelupin dengan jus udang campur kuning

telur.

Merpati tahu, sebetulnya diantara Geng Cokol itu ada seorang yang

belakangan ini sama sekali tidak pernah menyetujui dan melakukan kejahilan,

meskipun seringkali ia ikut jadi korban dari kejahilan The Caredox Girls.

Masih cukup pagi . Jam seklah mulai masih lama. Omet, Didom, Cacu

duduk berderet di atas beton yang melingkari papan SMU Garuda.


Jam istirahat. Susan duduk melamun sendirian di bawah pohon rindang

di taman sekolah. Dengan ranting kering ia mengorek-orek tanah menuliskan

kata-kata bernada kemarahan :”bangsat!”, “laknat!”, “najis!” yang segera

dihapus begitu ada teman atau anak kelas lain mendekat. Setiap hari,

aktivitas aneh itu dilakukannya berulang-ulang sampai jam istirahat habis.

Susan menyusur koridor sekolah menuju kelas dengan muka tertunduk.

Langkahnya lebar-lebar dan cepat. Dibalik rambut lurus dan tergerai, wajah

susan tampak merona merah karena marah. Mulutnya manyun seperti sungut.

Beberapa orang yang menyapa atau mengomentari langkahnya tak ia hiraukan

sedikitpun. Hanya satu yang ada dibenak: masuk kelas, ambil tas lalu pulang.

Tapi, tiba-tiba seseorang mencegat langkahnya tepat di tikungan

menuju kelas. Ternyata Dika, cowok ganteng yang setengah mati

mendambakan cinta Susan.

Matahari tepat di ubun-ubun. Aspal jalanan mendidih karena panas

yang begitu terik. Didi berjalan di sebuah lorong dekat sekolah. Didi tak

menyadari kalau tiga cowok berseragam SMU yang sedang nongkrong di

tempat ketinggian dekat mulut lorong mengawasinya. Ketiga cowok itu

langsung mengepung Didi.

“pahami api cinta dalam kehidupan

yang telah kuberikan untukmu

jangan kau coba berdusta

pada hati kecilmu untuk meyakini


mungkin satu yang belum kau pahami

hingga kau tetap ragu

percuma kau sembunyikan cinta …”

Di studio musik langganan mereka, Genk Cokol sedang asyik berlatih.

Cacu menyanyikan lagu ciptaan Rio dengan nada memukau. Dengan penuh

perasaan Rio mengiringi dengan petikan gitar yang mantap. Pada drum, Omet

tampak trans mnegetuk-ngetukkan stiknya. Didom yang memegang gitarpun

menimpali dengan betotan yang akurat.

Namun entah kenapa menjelang lagu terakhir, konsentrasi Rio menjadi

bubrah. Petikan gitarnya melantur hingga lepas harmoni menyebabkan seluruh

permainan jadi terhenti.

Mendapati hal itu, dengan kasar Omet mendrible drumnya untuk

menumpahkan kekesalannya.

“Ngapain sih lo mikirin cewek jahil kayak kuntilanak itu?” sambut

Didom.

Tak dinyana, Rio dengan heroic menyanggah ucapan temen-temennya.

“sebenarnya Merpati itu nggak jahil. Kalian juga sih yang sering ngejahilin

dia!”

Pada saat itu Omet bangkit dari tempat duduk dan berdiri sambil

mengangkat stick Drum. Dengan lantang ia berucap: “Disaksikan oleh stick

drum yang selalu mendentumkan setiap ketukan nurani kita.. Demi kecintaan
kita pada musik, demi kesetiakawanan dan kebersamaan kita… jangan sampai

kita terpisahkan karena jatuh hati pada si gendut Rindang, Harva, Cintya dan

Merpati!”

Mendengar itu, DIdom dan Cacau langsung memegang stick drum di

tangan Omet tanda sepakat.

Setelah tangan ketiganya saling berpegangan, mereka menoleh ke arah

Rio untuk mengetahui reaksinya. Dengan lemas Rio terpaksa mendekat dan

ikut memegang stick sebagai tanda turut berikrar.

Sementara itu, di studio band yang lain, Merpati dan gerombolan juga

tengah seru berlatih. Sekian lagu telah mereka lewatkan. Saatnya istirahat

sejenak untuk melepas lelah.

Tiba-tiba Cintya angkat bicara dengan tema yang sama sekali di luar

dugaan.

“Eh, Mer! Gue tahu, Rio itu orangnya cakep, agak baik..,” ucapnya sambil

memasukkan handuk ke dalam tas.

“Cuma, teman-temannya itu lho! Si Omet, Didom, Cacu semuanya bikin

gue mau muntah, tahu nggak sih!”

“Buka mata lebar-lebar, Neng! Masih banyak kok cowok lain yang lebih

ganteng!” sambung Rindang dengan tegangan yang tak mereda sedikitpun.

Sambil merebut stick drum dari tangan Cintya, Rindang terus bicara.

Begitu kedua stick drum itu berada di tangan nya, Rindang berjalan ke tengah
dan mengangkat stick tinggi-tinggi, lalu dengan lantang berucap: “Demi

kecintaan kita pada musik… Demi kesetiakawanan kita… Disaksikan stick drum

yang agung, yang menggelorakan setiap detak nafas kita. Inilah sumpah kita.

Tidak akan pernah ada saat kita mencintai Omet, Didom, cacu dan … Rio!”

Harva memegang stick drum yang ada di tangan Rindang sebagai tanda

turut berikrar. Cintya menyusul melakukan hal yang sama. Dengan berat hati,

Merpati pun turut bergabung.

Hari itu, semakin kental permusuhan Geng Cokol dan The Caredox

Girls!

Di depan kelas Merpati mendapati Cintya dan Harva yang tengah

kebingungan menghadapi Rindang yang pasang muka cemberut. Rindang tak

sedikitpun memberi reaksi ketika diajak bicara. Tak betah melihat Rindang

begitu, akhirnya Merpati yang duduk di sebelah Rindang mengajukan

pertanyaan straight to the point: ”Memangnya kamu tahu dari siapa kalau

bokap lo mau kawin lagi?”

“Dari foto! Nih!” katanya sambil menunjukkan foto yang sudah disobek

menjadis erpihan kecil-kecil.

“Hah! Ini kan Tante Wina!” merpati kaget setengah mati melihat sosok

perempuan yang ada di dalam foto yang baru saja ia satukan itu.

‘Dia itu tante Wina, adik nyokap gue!’ Gue mesti ngomong sama nyokap

gue!” kata Merpati membuat hati Rindang sedikit tentram.


Tok! Tok! Dika mengetuk pintu rumah Susan dengan rada ragu. Ibu

susan datang membukakan pintu. “Mau nyari siapa, nak?”

“Selamat siang, Susan ada, Tante?” saya Dika, teman sekolahnya.”

“Ooo… Tunggu sebentar, ya. Ibu panggilkan dulu. Ayo, silakan masuk.”

Selama menunggu, Dika mengobral pandangannya ke seluruh ruangan,

dari kiri ke kanan, lalu kembali lagi ke kiri. Tidak banyak waktu yang

dibutuhkan Dika untuk merekam semua detil ruangan itu. Soalnya ruangan itu

tak banyak berisi perabotan. Hanya kursi tamu dan beberapa dekorasi rumah

yang sangat sederhana.

Ini adalah sebuah pemandangan ganjil yang pernah Dika lihat. Jika

disuruh menduga bagaimana kondisi keluarga yang tinggal di rumah ini

berdasarkan tata letak ruang tamunya, Dika akan merasa kesulitan.

Ini boleh dibilang keputusan yang nekat,. Seandainya Omet, cacu dan

Didom tahu kalau Rio bertandang ke rumah Merpati di malam minggu, pastilah

mereka kan mengguyur habis dirinya dengan ledekan dan umpatan, bahkan

makian.

Tapi itulah kejadiannya. Malam itu Rio tengah berhadap-hadapan

dengan Merpati, gadis cantik anggota The Caredox Girls, geng cewek yang

menjadi musuh bebuyutan Geng Cokol. Sebagai anggota Geng Cokol,

sesungguhnya sudah sejak lama ia menginginkan diberlakukan gencatan

senjata dan penandatanganan ikrar perdamaian antara kedua kelompok yang

nyaris selama dua tahun saling berseteru itu. Tapi, kondisi internal geng
masing-masing masih belum memungkinkan untuk dibangun hubungan bilateral

yang harmonis diantara keduanya.

Mudah-mudahan ini bisa jadi kunjungan diplomatik pertama yang

membuka jalan ke arah perdamaian antara Geng Cokol dan The Caredox Girls,

begitu pikir Rio sebelum berangkat tadi.

Tapi, ketika tiba di rumah Merpati, pikiran Rio jadi berubah 180

derajat. Kunjungan diplomatik yang semula bertujuan untuk mendamaikan

kedua kelompok, berubah menjadi menggabungkan dua komandan. Jadi, suit…

suit…!, Rio dengan terus terang mengungkapkan perasaan cintanya pada

Merpati.

Setiap orang tentulah punya problematika sendiri-sendiri. Tapi Dika

merasa tak banyak teman yang menghadapi problem sepelik yang ia hadapi.

Dika naksir seorang cewek bernama Susan. Ia melakukan pendekatan

dengan cara-cara yang biasa digunakan orang yang jatuh cinta. Berkenalan,

mengajak berbincang lalu mengungkapkan perasaan cintanya melalui surat.

Tak ada yang aneh. Tak ada yang bertelbihan. Tapi, kenapa jalan cinta yang

dia tempu menjadi begitu menjelimet?

Heeeeeeek! Suara itu begitu kencang merobek keheningan udara subuh di

rumah Susan. Susan mual-mual lagi. Perutnya terasa melilit-lilit dan hendak

menyemburkan seluruh isinya. Segera ia berlari ke kamar mandi untuk

menumpahkan gas dan isi perutnya yang memebrontak. Ibu Susan yang

mendengar suara gaduh itu, segerta datang menghampiri. Dipijat-pijatnya


tengkuk Susan agar cairan yang hendak menyembur dari dalam lambung dapat

keluar dengan lancar sehingga perut Susan cepat lega.

Tetap saja tak ada sesuatu pun yang keluar dari mulut Susan kecuali

air liur yang mengental. Tahulah ibu Susan apa yang terjadi. Susan hamil.

Guru BP memmanggil Susan ke ruangan bimbingan dan konsultasi.

Panggilan itu adalah iklan yang cukup ampuh untuk menyiarkan ke seluruh

siswa bahwa Susan hamil.

Di pelataran gedung, para murid dan guru serta orang-orang tampak

berkerumun. Mereka semua mendongak melihat ke puncak gedung dimana

Susan berdiri dan siap untuk melompat.

Merpati berlari ke dalam gedung, lalu menaiki tangga menuju puncak

gedung. Dihatinya hanya ada satu tekad yang menggumpal yaitu

menyelamatkan nyawa Susan.

Susan menelungkup di pangkuan Merpati, sambil menangis ia

menceritakan kisah hidupnya yang tragis.

“Lo harus tegar, san. Lo harus tetap sekolah buat ngewujudin cita-cita

dan harapan lo.” Merpati menghiburnya sambil membelai-belai rambut susan.

Drai semua cerita yang ia beberkan dan akhirnya tersiar oleh media,

ada satu hal yang penting yang ia simpan rapat-rapat. Sesuatu yang hanya

Tuhan yang tahu, yakni cinta dan kekagumannya pada seorang cowok yang

dengan tulus mencintainya. Cowok itu adalah Dika.


Tema : cinta dan kehidupan seorang gadis bernasib malang.

Tokoh & watak :

 Merpati : jahil, tengil, usil, slebor, cuek, perhatian.

 Rindang : lucu, keras.

 Cintya : setia kawan, suka jahil.

 Harva : penakut, cuek, lemot.

 Rio : cool, calm and conpident, konyol.

 Omet : penakut, polos.

 Didom : penakut, humoris, jahil.

 Cacu : jeli, meledek, penakut.

 Susan : misterius.

 Dika : tulus.

 Didi Rabbani : kutu buku, culun.

 Gaga : setia kawan.

 Pak Maman : perhatian dan bijaksana.

 Papa+Mama Merpati : baik, perhatian dan bijaksana.

 Kak Yuda : humoris, perhatian.

 Mbok Misem : rajin.

 Papa Rindang : humoris.

 Mama Rindang : sensitive, perhatian.

 Ayah Susan : kejam, keras.


 Ibu Susan : penyayang.

 Ari : baik,perhatian, setia kawan.

 Tante Wina : baik, jujur.

Alur : maju-mundur, maju.

Setting : Rumah Merpati, SMU garuda (kelas, di kantin, BP), rumah


Susan, Rumah Rindang, studio band, SMU
Pancasila, di jalan, Food Court.

Amanat : rasa cinta dan ketulusan hati mampu mengatasi segala kesulitan
bahkan kematian sekalipun.

Just another WordPress.com weblog


Unsur intrinsik pada novel Pada Sebuah Kapal oleh N.H Dini

Di bab 7, Sri pun menikahi Charles Vincent. NH Dini menyimpulkan bahwa Sri tidak
meminta ijin dari keluarganya, yang membuat Ia terkesan pemberontak, dan cuek
terhadap kata-kata yang terlontar dari keluarganya. Di bab ini pun tertulis ”Dan apalagi
uang akan kau kerjakan dengan kewarganegaraanmu, kau seorang penari, dan kau penari
tanah airmu.” Kalimat ini dilontarkan oleh Sutopo yang menentang keras pernikahan Sri
dan Charles. Kalimat ini menyimpan unsur nasionalisme yang terselubung. Sutopo
mengatakan bahwa dengan kewarganegaraan Sri yaitu Indonesia, Ia tidak patut untuk
menikah dengan seorang yang berkewarganegaraan asing.

Tema
Tema di dalam cerita ini kurang lebih menceritakan tentang perasaan seorang perempuan
(Sri) di dalam kesehariannya diantara keluarga, hubungannya dengan dunia luar, speperti
dengan teman-temannya, dan juga kisah percintaan yang dialaminya. Bisa dijebut juga
roman/romansa.

Latar
Latar pada novel ini berganti serining beralurnya cerita. Sri berkunjung ke Semarang.
Jakarta, Perancis, Jepang, dan beberapa kota lainnya. Walaupun demikian, hampir
setengah bagian dari buku ini menjelaskan tentang keseharian Sri di kapal.

Latar social
Pada awal cerita, Sri mencertiakan tentang masa kecilnya, yang berlanjut dengan
ceritanya menikah, kapal, dan hidupnya sebagai ibu. Di bab 7, Sri pun menikahi Charles
Vincent. NH Dini menyimpulkan bahwa Sri tidak meminta ijin dari keluarganya, yang
membuat Ia terkesan pemberontak, dan cuek terhadap kata-kata yang terlontar dari
keluarganya. Di bab ini pun tertulis ”Dan apalagi uang akan kau kerjakan dengan
kewarganegaraanmu, kau seorang penari, dan kau penari tanah airmu.” Kalimat ini
dilontarkan oleh Sutopo yang menentang keras pernikahan Sri dan Charles. Kalimat ini
menyimpan unsur nasionalisme yang terselubung. Sutopo mengatakan bahwa dengan
kewarganegaraan Sri yaitu Indonesia, Ia tidak patut untuk menikah dengan seorang yang
berkewarganegaraan asing.

Alur Cerita dan Konflik


Konflik eksternal terjadi pada Sri ketika Ia memutuskan untuk bekerja menjadi
pramugari, tetapi gagal karena sakit. Konflik lainnya pun menyusul dan juga membuat
cerita lebih menarik. Alur cerita masih membicarakan tentang penari, dan kehidupannya
saat masih gadis. Alur cerit aberubah menjadi semakin menarik dan seru ketika romans
nya dimulai.
Konflik yang mengambil tempat disini yaitu adalah antara Sri dan Sutopo, tetapi juga
konflik internal yang ada di pikiran Sri. BUkan ahanya perdebatannya dengan Sutopo
saja, melainkan juga Sri tetap ber argumentasi dengan pikirannya sendiri.

Tokoh
Tokoh utama pada novel ini adalah narrator, yaitu Sri sendiri. Ia dikelilingi oleh berbagai
macam tokoh dan penokohannya masing-masing. Contohnya, Charles yang antagonis,
Narti dan Michel sebagai teman dekatnya yang hanya muncul beberapa kali dalam novel
ini.
Sangat terlihat bahwa Sri adalah perempuan yang tangguh dan bisa menerima
konsekuensi nya sendiri. Di halaman 117 dikatakan ”Aku akhirnya berkata bahwa aku
yang akan kawin. Aku sanggup menerima segala akibatnya seorang diri.”. Terdengar
sangat berani, Sri sepertinya benar-benar keras kepala untuk menikahi Charles.

Amanat
Amanat yang saya dapatkan dari cerit aini adalah bahwa belum tentu kita mengenal orang
yang kita kenal, dalam artian bahwa tidak ada batas waktu yang ditentukan untuk
mengetahui seluruh seluk-beluk karakter orang. COntohnya, Sri berpikiran bahwa
suaminya sangat lebut, baik, dan pengertian, tetapi tidak lama setalah menikah, Ia
menyadari bahwa suaminya berubah menjadi kasar dan cepat marah.
Amanat kedua yang saya dapatkan setalah membaca novel ini juga adalah bagaimana
kultur bisa memisahkan kepercayaan ataupun kebiasaan dari pasangan. Karena kultur
yang berbeda, dan suami Sri baru mengetahuinya, makanya Ia berubah.
Di cerita ini disebutkan bahwa Sri akhirnya pindaj ke Jepang bersama suaminya, Charles.
Dan pula ia mengandung. Pada suatu hari ia menyesal akan menikahi Charles, sebab
Charles tidak dapat menahan emosinya. Pesan moral yang saya dapatkan adalah bahwa
terkadang tidak sepenuhnya kita mengenal orang, walaupun sepertinya suda sangat akrab
sekali, karena setiap orang mempunyai sifat yang berbeda, yang mungkin orang lai ntidak
tahu, yang bisa berakibat buruk.

Sudut Pandang
SUdut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang pertama. Narator
di dalam cerita ini adalah Sri, sebagai tokoh utama. Jadi kita sebagai pembaca tidak
terlalu tahu apa yang Sri rasakan sepenuhnya, karena terkadang Ia tidak
menceritakannya. Mungkin inilah apa yang penulis inginkan, bahwa pembaca hanya
mengetahui Sri secara terbatas.

Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menulis cerita ini sebenarnya bukanlah
bahasa yang rumit. Penulisa menggunakan kata-kata dan struktur kalimat yang
meruapakan dialog sehari-hari.
Informasi awalan untuk nove Salah Pilih

Kegiatan sebelum membaca buku Salah pilih oleh N. St. Iskandar.

Beberapa informasi tentang budaya Minang:


• Matrilineal
o Garis keturunan dihitung menurut garis keturunan ibu
o Suku anak menurut suku ibu
o Gelar pusaka tinggi turun dari mamak kepada kemenakan laki laki.
o Matrilokal (suami kerumah istri)
o Exogami (kawin diluar suku
o Sehina semalu, seraso separesao
• Memperoleh perlindungan dari system matrilinealnya.
• mempunyai posisi yang tinggi dan terhormat dalam keluarga.
• secara ekonomi mempunyai hak atas rumah ,sawah, ladang, serta sumber ekonomi
lainnya.
• Anak perempuan yang putus sekolah umumnya dinikahkan pada usia muda, tidak hanya
mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan, tetapi juga untuk mengurangi beban
orang tua.

Nur Sutan Iskandar


Nur Sutan Iskandar dilahirkan di Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November1893 dan
wafat di Jakarta, 28 November1975. Nama aslinya Muhammad Nur. Setelah menamatkan
sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada
tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali sebagai
korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai
Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka,
yang dijabatnya 1942-1945.Ia adalah sastrawan paling produktif di masanya.

Sinopsis Novel Salah Pilih

Tema

Novel ini menceritakan tentang kesalahan seseorang dalam menentukan pilihannya

Latar

* Latar tempat berada di Minangkabau, Sumatera Barat.

Yaitu di Maninjau, Sungaibatang, Bayur, dan Bukittinggi.

* Sebagian juga mengambil latar di Pulau Jawa.

Sudut pandang dan gaya penulisan


* Sudut Pandang

Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga

* Gaya penulisan

Bahasa dalam novel ini sebagian besar bergaya Melayu sehingga sedikit sulit dipahami.
Juga terdapat beberapa pantun dan peribahasa Melayu dalam novel ini.

Amanat

* Walaupun sudah berpendidikan tinggi, janganlah lupa pada adat negeri sendiri
* Janganlah menilai seseorang dari rupa atau hartanya saja
* Jangan membeda-bedakan orang karena kaya atau miskinnya
* Menurut pada perintah dan nasihat orang tua itu wajib, tetapi jika perintah orang tua itu
salah, sebisa mungkin harus bisa menolaknya
* Sesuatu yang menurut orang banyak itu salah, belum tentu merupakan suatu kesalahan

Penokohan

* Asnah
* Asri
* Saniah
* Mariati
* Sitti Maliah
* Rangkayo Saleah
* Rusiah
* Dt. Indomo
* Kaharuddin
* Mariah
* St. Bendahara

Kutipan

Pendek kata, Asnah sungguh-sungguh kawan sejati bagi Asri. Baik di dalam kesusahan
dan kesukaran, baikpun di dalam senang sentosa dan riang gembira. Hal itu sebagaimana
bumi dan langit bedanya dengan pengalamannya di kampung dahulu. “Betul-betul salah
pilih,” katanya dalam hati apabila ia teringat akan masa lampau itu. ”Akan
tetapi,ya,takdir…..”

ALUR

* Asri adalah seorang pemuda dari Minangkabau yang sedang bersekolah di sebuah
sekolah di Pulau Jawa. Namun, karena desakan dari ibunya, ia terpaksa mengubur
keinginannya untuk melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran. Ia pun kembali ke
kampung halamannya dan menikah dengan seorang gadis bernama Saniah.
* Saniah ternyata mempunyai perangai buruk dan sering berbuat kasar terhadap keluarga
Asri, terutama pada Asnah, saudara angkat Asri. Saniah pun tak segan-segan berbuat
kasar terhadap Asri, bahkan terhadap Mariati, ibu Asri.
* Begitu banyak permasalahan muncul hingga Saniah memutuskan untuk pulang ke
rumah ibunya.
* Suatu saat, dalam perjalanan menuju Padang bersama ibunya, Saniah mengalami
kecelakaan dan akhirnya meninggal dunia.
* Sepeninggalan Saniah, Asri memutuskan untuk menikah dengan Asnah. Meski sempat
mendapat tentangan dari berbagai pihak dan sempat diusir dari kampung halamannya,
namun akhirnya mereka berdua hidup bahagia.
3.1 Analisis Unsur Intrinsik Novel

3.1.1 Alur/ Plot

Alur adalah penceritaan rentetan peristiwa yang penekanannya ditumpukan kepada


sebab-akibat. Untuk merangkai peristiwa-peristiwa menjadi kesatuan yang utuh,
pengarang harus menyeleksi kejadian mana yang perlu dikaitkan serta mana yang kiranya
harus dipenggal ditengah-tengah. Hal yang demikian berguna untuk lebih menghidupkan
cerita menjadi menarik sehingga pembaca berambisi terus untuk menekuninya.

Alur dalam cerita kadang sulit untuk dicari karena tersembunyi dibalik jalan cerita.
Namun, jalan cerita bukanlah alur. Jalan cerita hanyalah manifestasi bentuk wadah,
bentuk jasmaniah dari alur cerita. Dengan mengikuti jalan cerita maka dapat ditemukan
alur.

Alur bisa dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir terjadinya
peristiwa. Tahap progresif bersifat linier. Jalan regresif (alur mundur) yaitu bertolak dari
akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak dan berakhir pada tahap awal. Tahap
regresif bersifat non linier. Ada juga tehnik pengaluran flash back (sorot balik) yaitu
tahapannya dibalik seperti halnya regresif. Flash back mengubah tehnik pengaluran dari
progresif ke regresif. Selain yang tersebut diatas ada juga tehnik alur yang lain yaitu
tehnik tarik balik (back tracking) yang dalam tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur


tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan
mengapa hal itu terjadi, dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah
cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir. Antara awal dan akhir ini lah terlaksana alur
itu. Tentu sudah jelas, alur itu mempunyai pula bagian-bagiannya yang sederhana dapat
dikenal sebagai permulaan, pertikaian dan akhir.

Walaupun cerita rekaan berbagai macam contoh, ada pola-pola tertentu yang hampir
selalu terdapat dalam sebuah cerita rekaan, yang disebut struktur umum alur, yang
digambarkan sebagai berikut :

1. paparan (exposition)
Awal 2. rangsangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
4. tikaian (conflict)
Tengah 5. rumitan (complication)
6. klimaks (climax)
7. leraian (falling action)
Akhir 8. selesaian (denouement)
Pengarang: Lizsa Anggraeny - Seriyawati
Penerbit: Samudera,, PT. Niaga Swadaya
Menyemai Cinta di Negeri Sakura

Berdasarkan teknik pengaluran, novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura menggunakan


alur sorot balik (flash back), yaitu urutan tahapannya dibalik seperti regresif. Sorot balik
dapat terlihat dalam kutipan berikut :

“Hari itu aku pergi berbelanja ke Supermarket yang agak jauh dari rumahku….” (Lizsa,
2007 :166).
“Kejadian itu telah berlalu beberapa tahun, tetapi masih membekas kuat dalam ingatan.
Karena aku tak tahu mengapa pertanyaan seperti itu terlontar. Hingga kini ku tak tahu
jawabnya….” (Lizsa, 2007 :190).

3.1.2 Penokohan/ Perwatakan/ Karakter

Penokohan merupakan proses yang digunakan pengarang untuk menciptakan tokoh-tokoh


pelaku cerita serta sifat atau gambaran yang berkenaan dengannya.

Tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peran yang berbeda-beda.

Menurut fungsinya, tokoh dibagi menjadi 3 yaitu :

Tokoh Sentral yaitu tokoh yang menentukan gerak dalam suatu cerita.
Tokoh Utama yaitu tokoh yang mendukung suatu cerita baik tokoh protagonis maupun
antagonis.
Tokoh Pembantu yaitu tokoh yang hanya berfungsi melengkapi terjadinya suatu cerita.

Menurut perannya, tokoh dibagi menjadi 3 yaitu :

Tokoh Protagonis yaitu pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi
pembaca.
Tokoh Antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak
yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca.
Tokoh Tritagonis adalah pelaku yang membantu dalam suatu cerita, baik tokoh
protagonis maupun antagonis.

Penyajian watak dan tokoh serta penciptaan citra tokoh terdapat beberapa metode,
masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Ada kalanya Pengarang melalui
penceritaan mengusahakan sifat-sifat tokoh, pikiran, hasrat dan perasaannya. Kadang
menyisipkan komentar pernyataan setuju tidaknya akan sifat-sifat tokoh itu.

Secara garis besar dapat mengenal watak para tokoh dalam sebuah cerita yaitu melalui
apa yang diperbuatnya melalui ucapan-ucapannya, melalui penggambaran fisik seorang
tokoh, melalui pikiran-pikirannya dan melalui penerangan langsung dari pengarang.
Penokohan adalah penampilan watak atau karakter para tokoh oleh pengarang.

Penampilan watak yang dilakukan oleh pengarang ada tiga macam cara yaitu :

Cara Analitik yaitu pengarang secara langsung memaparkan watak tokoh-tokohnya.


Misalnya, pengarang menyebutkan watak tokoh yang pemarah, otoriter, sombong, kasar,
dan sebagainya.

Cara Dramatik yaitu watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, perilaku
tokoh, bahkan penampilan fisik, lingkungan atau tempat tokoh, cara berpakaian dan
pilihan nama tokoh, dan sebagainya.

Cara Campuran yaitu gambaran watak tokoh menggunakan cara Analitik dan Dramatik
secara bergantian.

Dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”, cara yang digunakan pengarang untuk
menampilkan watak tokoh dalam ceritanya, menggunakan cara Analitik. Pengarang
memaparkan watak tokoh-tokohnya yang ditunjukkan pada kutipan berikut ini :
“Joy, seorang suami yang otoriter (perintah yang mutlak tidak boleh dilanggar). Namun,
disisi lain sebenarnya ia sangat menyayangi istrinya yaitu Ummu S.” ( Lizsa, 2007 :17).

“Ummu S, istri Konsulat Bosnia. Lahir dan besar sebagai seorang muslim. Namun,
tergerak hati untuk belajar agama di usia senja. Ia seorang ibu rumah tangga, sabar dan
pengalah.” (Lizsa, 2007 :15)
“Saya percaya, galaknya mertua, cerewetnya mertua atau cap miring apalah yang ada
pada mertua, tidak lebih semata-mata karena mereka pun adalah manusia. Hamba Allah
yang tak lepas dari sifat baik dan buruk. Namun ada kalanya ibu mertua seperti sahabat
yang bisa diajak curhat. Kalaupun ada pergesekan,saya anggap hal yang wajar tak perlu
dimasukkan dalam hati.” (Lizsa, 2007: 68-69).

Berdasarkan fungsinya, tokoh dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”


menampilkan tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh utama yang protagonis adalah
Ummu S, semenjak dalam perantauan negeri Sakura, Nagoya yang individualis, seorang
suami yang otoriter. Namun ia tetap tegar dan tabah. Yang akhirnya ia berhasil menarik
warga masyarakat Nagoya untuk mengenal islam. Hingga semua berhasil membangun
organisasi islamiah di berbagai daerah. Anak-anaknya pun ikut serta menggeluti islam
serta suaminya pun mau untuk beragama islam dan berubah menjadi sosok yang
penyayang.

Tokoh Antagonis adalah Joy suami Ummu S sendiri. Ia tidak setuju dengan agama yang
dianut Ummu S yaitu Islam. Dia berusaha mempengaruhi Ummu S untuk melepas jilbab
kemana pun ia pergi. Akan tetapi Ummu S mampu mengelak dengan berbagai akal untuk
menjawabnya. Pernyataan tersebut terdapat dalam kutipan dibawah ini :
“Sudah. Lepas aja tutup kepalanya itu…”katanya. (Lizsa, 2007: 106)
“Kalau bisa, jangan pakai itu, kata suamiku kedua kalinya. Liat tuh di TV, orang Islam
ngebom Inggris,” katanya pula. Dia masih mencoba menggoncangkan kemantapan
hatiku….” (Lizsa, 2007: 107)

Tokoh bawaannya yaitu Kiki, Yosh, Chi-chi, Mertua Ummu S, Shota dan Takahashi.
Disebut tokoh bawaan karena kemunculannya berfungsi untuk mendukung tokoh utama,
walaupun sebagian ada hubungannya dengan tokoh utama. Dilihat dari cara menampilkan
tokoh, dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”menggunakan tokoh bulat.
Pengarang menampilkan tokoh protagonist Ummu S selain menyoroti sifat baik, sabar,
tabah, rajin sembahyang dan penolong, juga menyoroti sifatyang tidak baik, tidak
mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

3.1.3 Latar/ Setting

Latar adalah tempat suatu peristiwa dalam cerita yang bersifat fisikal biasanya berupa
waktu, tempat dan ruang. Termasuk didalam unsur latar adalah waktu, hari, tahun,
periode sejarah, dan lain-lain.
Latar cerita mencakup kerengan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat dimana
peristiwa itu terjadi.

Fungsi latar selain memberi ruang gerak pada tokoh juga berfungsi untuk menghidupkan
cerita. Dalam latar ini, pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa
yang selain berkaitan untuk membangun cerita yang utuh.

Kemunculan latar dalam cerita disebabkan adanya peristiwa, kejadian, juga adanya
tokoh. Tokoh dan peristiwa membutuhkan tempat berpijak, membutuhkan keadaan untuk
menunjukkan kehadirannya.

Latar dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”meliputi aspek waktu, ruang dan
suasana.

1. Waktu

Novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” menggunakan istilah waktu dalam cerita
seperti pagi, sore, malam, sekian hari, sekian minggu, sekian bulan dan sebagainya.
Terlihat dalam kutipan berikut :
“Dua minggu kebelakang saya mendapat kabar gembira dari seorang sahabat melalui
telepon.” (Lizsa, 2007: 16)
“…..Kejadian tersebut telah berlalu lewat dari 10 tahun. Meski kini tak pernah lagi
mengejar bus jurusan ini. Namun peristiwanya masih lekat dibenak.” (Lizsa, 2007: 43)

2. Tempat

Tempat yang digunakan dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”di Negara
Jepang tepatnya di Nagoya. Tempat tinggal Ummu S setelah menikah dengan Joy.
Terlihat dalam kutipan berikut :
“Di Nagoya tempat tinggal saya ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan tiap
hari ahad pekan ke dua”. (Lizsa, 2007: 192)

3. Suasana

Suasana yang tergambar dalam novel ini adalah suasana kota Nagoya yang Individualis.
Negara sekuler yang tak peduli akan keberadaan agama. Kehidupan bebas, hedonisme,
serta mementingkan karier duniawiah saja.

3.1.4 Gaya bahasa

Bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia tidak hanya sebagai alat
penyampaian maksud pengarang, melainkan juga sebagai penyampaian perasaan.
Pengarang dalam menyampaikan tujuannya dapat menggunakan cara-cara lain yang tidak
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Cara-cara tersebut misalnya dengan
menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda mati,
melukiskan sesuatu keadaan dan menggunakan gaya bahasa yang berlebihan.

Usaha atau tindakan yang dilakukan sastrawan agar pendengar atau pembaca tertarik dan
terpengaruh oleh gagasan yang disampaikan melalui tuturnya dengan pemilihan bahasa,
pemakaian ulasan, dan pemanfaatan gaya bertutur Bahasa dalam novel ini menggunakan
bahasa tak baku. Bahasa yang tidak sesuai dengan EYD. Terdapat dalam kutipan berikut :

“Nggak….nggak suka ah,”kata Kiki dengan wajah tak suka. (Lizsa, 2007:130)
“Ah….masih agak sepi, nih,” batinku senang. (Lizsa, 2007: 119)

Sementara gaya bahasa antara lain meliputi :

Personifikasi
Perbandingan Metafora
Alegori
Perumpamaan
Majas Hiperbola
Pertentangan Ironi
Litotes
Metonimia
Pertautan Alusio
Eufimisme
Sinekdok
Parsprototo Totemproparte

Serta menggunakan gaya bahasa personifikasi yaitu membandingkan benda yang


tercantum dalam kutipan berikut :
“….suara hati yang satu makin menonjolkan dorongannya.”
“Tapi aku ragu, dan sedikit takut kalau nanti tak berjalan lancar….,” bisik hati yang lain.
(Lizsa, 2007: 118)
3.1.5 Amanat

Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Amanat
dipakai pengarang untuk menyampaikan tanggung jawab problem yang dihadapi
pengarang lewat karya sastra. Amanat merupakan pesan atau gagasan yang mendasar
yang dituangkan pengarang dalam karyanya untuk memecahkan peristiwa yang terjadi.

Istilah amanat berarti pesan. Amanat cerita merupakan pesan pengarang kepada pembaca
atau publiknya. Pesan yang hendak disampaikan mungkin tersurat. Tetapi mungkin juga
tidak jelas, samara-samar atau tersirat.

Amanat yang terdapat dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” adalah :
“Hendaknya seseorang bersabar dalam segala hal menghadapi cobaan hidup, tetap
mempertahankan islam diri di Negara yang minoritas Islam, hura-hura, hedonisme dan
sebagainya. Dan setidaknya kita mampu mengajak non muslim atau orang-orang tak
beragama untuk bergabung masuk islam dengan teknik pengajaran yang menarik.”
Inilah amanat yang dapat penulis ambil dari novel “Menyemai Cinta di Negeri
Sakura”karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati yang diambil secara tersirat.

3.1.6 Tema

Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita tetapi mau mengatakan
suatu hal pada pembacanya. Sesuatu yang ingin dikatakan itu bila suatu masalah
kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau karakter terhadap kehidupan
ini. Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semua didasari oleh ide dari pengarang.

Berdasarkan keterangan diatas dan dengan membaca novel Menyemai Cinta di Negeri
Sakura karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati mengisahkan pelaku utama yaitu Ummu S
atau Mrs A, dengan segala permasalahan yang dihadapi maka akan ditemukan ide dasar
cerita atau tema yang terkandung didalam karya sastra tersebut.

Adapun tema dari novel ini ialah keteguhan hati dan pendirian agama dalam negeri
perantauan.

3.1.7 Sudut Pandang/ Point Of View

Sudut Pandang ialah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkan. Sudut Pandang merupakan hasil karya seorang pengarang sehingga terdapat
pertalian yang erat antara pengarang dengan karyanya.

Sudut Pandang/ Point Of View menyarankan pada cara sebuah cerita kisahan. Ia
merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pusat pengisahan meliputi : narrator
omniscient,narrator observer, narrator observer omniscient, serta narrator the third person
omniscient.
Sudut Pandang cerita itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam 2 macam :
persona pertama, gaya “aku”, dan persona ketiga, gaya “dia”.

Pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam cerita, atau
darimana dia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.

Lizsa Anggraeny dan Seriyawati menceritakan para pelaku dalam novel adalah
pengarang sebagai orang pertama dengan kata aku atau –ku untuk tokoh utama. Dapat
dilihat dalam kutipan berikut :
“Aku menguatkan diri sendiri dengan menceramahi diri, mengolok diri dan
mempertanyakan langkah-langkahku selama ini.” ( Lizsa, 2007: 109)

“Disinilah, cintaku bersemi dan makin mekar kepadaNya. Yang kuharap hanyalah
cintaNya.” (Lizsa, 2007: 109)

3.2 Analisis Unsur Ekstrinsik Novel

Dalam karya sastra, nilai-nilai pendidikan yang disampaikan penciptaannya dimuat


didalamnya. Hasil karya sastra, pengarang tidak hanya ingin mengekspresikan
pengalaman jiwanya saja tetapi secara implisit juga mempunyai maksud dorongan,
mempengaruhi pembaca untuk memahami, menghayati dan menyadari masalah serta ide
yang diungkapan termasuk nilai-nilai pendidikan yang terdapat didalam karya sastra
tersebut. Pembaca bisa mengambil nilai-nilai pendidikan yang terdapat didalamnya.

Pembaca karya sastra bisa mengambil pelajaran serta hikmah, nilai-nilai dan contoh-
contoh dari karya sastra yang dibacanya dengan penuh kesadaran sehingga dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan dan pengajaran sastra jika ditangani
dengan bijaksana, akan membawa kita dan anak-anak didik ke dalam kontak dengan
pikiran-pikiran dan kepribadian-kepribadian besar dunia. Para pendidik dan pemikir besar
dari berbagai zaman.

Unsur kepribadian dapat dilatih melalui pendidikan dan pengajaran sastra, meliputi :

1. Penginderaan (Sensory)
Dalam pengambangan aspek ini studi sastra dapat digunakan untuk memperluas
jangkauan dari semua unsure penginderaan klasik yaitu pengliatan, pedengaran pengecap,
pembau, sentuhan, perabaan, pembeban.

2. Kecerdasan (intellect)
Bentuk pendidikan yang paling bernilai adalah yang telah mengajarkan para siswa untuk
memecahkan masalah bagaimana memperoleh kebenaran-kebenaran yang
memungkinkan. Untuk dapat menguji derajat atau peringkat keberhasilannya. Adapun
sastra mengandung hal-hal yang menjadi tuntutan dalam dunia pendidikan tersebut.

3. Perasaan (feel)
Sastra memberikan kepada kita sesuatu cakupan situasi dan kegawatan yang luas yang
seakan-akan menstimulasi beberapa jenis respondensi emosional dan juga bahwa dalam
keseluruhannya penulis sastra lazim menyajikan situasi-situasi itu dalam cara-cara yang
memungkinkan kita untuk mengeksplorasi, mengkaji dalam perasaan kita dalam suatu
cara kemanusiaan yang layak.

4. Kesadaran Sosial
Sastra berfungsi menghasilkan suatu kesadaran konprehensip terhadap orang lain.
Penulis-penulis sastra modern, termasuk penulis sastra Indonesia, telah banyak berbuat
untuk merangsang minat dan simpati pada masalah-masalah kegagalan, ketidak
beruntungan, ketertindasan, ketidakberhasilan, pengucilan. Rasa hina dan sakit hati, yaitu
mereka yang memerlukan protes.

5. Kesadaran Religius
Baik suka maupun tidak suka, apakah kita tahu betul atau tidak, segala pikiran dan
perbuatan kita secara rutin didasarkan beberapa asumsi positif dan semua kecerdasan
manusia pada abad ini, termasuk manusia Indonesia akan selalu didasarkan pada
pragmatisme kehidupan mereka yang lebih daripada diatas landasan rohaniah atau
spiritual yang rapuh.

Berdasarkan uraian diatas, nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel


“Menyemai Cinta di Negeri Sakura”dapat dikaji dan dianalisis.

Unsur Ekstrinsik novel adalah unsur yang berasal dari luar cerita. Meliputi nilai religi,
nilai susila atau nilai estetika serta nilai sosial dan sebagainya.

Karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang tergantung pada pengertian yang
didapat pembaca lewat karya sastra yang dipahami. Nilai-nilai pendidikan tersebut
didapat dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” meliputi :

1. Nilai Religi/ Nilai Agama

Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada Nabi sebagai petunjuk bagi
manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan
dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat
serta alam sekitarnya.

Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin,
keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi.
Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah
kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Kesadaran religius
dalam upaya mengembangkan kepribadian melalui pendidikan dan pengajaran.

Nilai religius dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” antara lain :
Salah satu keindahan itu adalah saya semakin menghargai gaungan gema adzan. Ketika
masih berada ditanah air, dimana suara adzan sangat mudah di dengar.
Di bulan Ramadhan amalan sunnah dihitung sebagai amalan fardlu diberi ganjaran 700X
lipat. Puasa fisabilillah akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun. Puasa
Ramadhan akan memberi syafaat di yaumil akhir.

Terbukanya pintu surga Al-Rayyan bagi orang-orang yang berpuasa. Juga menghapus
dosa-dosa yang lalu. (Lizsa, 2007: 188)
Kegiatan para tokoh memberi nilai religius dapat terlihat dalam kutipan berikut:
…..Allah membimbingnya untuk datang ke sebuah pengajian keliling di daerahnya….
(Lizsa, 2007: 17-18)
Di Nagoya kota tempat tinggal saya ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan
tiap hari ahad pekan kedua. Acara itu diadakan dirumah salah satu keluarga secara
bergantian tiap bulannya. (Lizsa, 2007: 192)

2. Nilai Estetika

Semua karya sastra atau karya seni memiliki keindahan apabila terdapat keutuhan antara
bentuk dan isi, keseimbangan dan keserasian penampilan dari karya seni yang lain. Nilai
keindahan akan tampak lebih relatif, jika yang kita perhatikan adalah penilaian atau
penghargaan terhadap sastra itu.

Sastra sebagai cabang seni akan melengkapi sentuhan estetis dengan mengembangkan
aspek rasa ini demi sempurnanya aspek keindahan dalam sastra, yang dihubungkan
dengan tehnik cerita, gaya bahasa, unsur-unsur yang lain sebagai variasinya. Nilai
estetika adalah nilai kesopanan dan budi pekerti atau akhlak. Nilai susila adalah yang
berkenan dengan tata krama atau disebut beradab.

Nilai susila atau estetika dapat terlihat dalam kutipan berikut :


“Saya mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari
sang anak tersebut. Mimik sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan
berkata,” Maaf…maafkan anak saya…maaf ,”ujar sang ibu.

Bagi setiap orang yang melakukan suatu kesalahan hendaknya segera mengucap maaf, itu
adalah cara berperilaku yang baik. Terdapat kata membungkukkan badan, bagi orang
Indonesia terutama Jawa itu menunjukkan sikap yang sopan dan menghormati orang lain.

3. Nilai Sosial

Keadaan seseorang sebagai individu tidak terlalu penting. Tetapi individu ini secara
bersama membantu masyarakat yang selaras akan menjamin kehidupan yang lebih baik
bagi masing-masing individu. Manusia tidak bisa lepas hidup sendiri terpisah dari yang
lainnya. Lebih-lebih bila seseorang belum mampu menyelesaikan kebutuhan jasmaninya
sendiri walaupun itu yang paling sederhana, seperti seorang anak kecil yang belum
mampu mengerjakan sendiri
untuk mencukupi kebutuhannya seperti misalnya mandi, makan, berpakaian, dan
sebagainya tanpa bantuan orang lain baik itu ayah, ibu maupun kakaknya.
Dalam novel ini banyak terlihat interaksi sosial yang terjadi. Antara lain : suasana
kebersamaan, saling membantu, menghargai, menghormati dan menyayangi satu sama
lain dalam mengerjakan sesuatu akan menghasilkan hal positif. Hal inilah yang
dinamakan nilai kerukunan atau nilai sosial.

Manusia perlu dihargai, dihormati dan diperlakukan secara layak. Sudah sepantasnya kita
menghargai jerih payah dan keinginannya untuk membantu tugas rumah tangga meski
tanpa adanya limitasi pekerjaan. (Lizsa, 2007: 74)

4. Nilai Moral

Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar
dan salah berdasarkan adapt kebiasaan dimana individu itu berada.

Pesan-pesan moral yang terdapat pada novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” ini bisa
diambil setelah membaca dan memahami isi ceritanya. Penulis menemukan segi positif
dan negatifnya. Kedua hal itu perlu disampaikan, sebab kita dapat memperoleh banyak
teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang patut ditiru dan
diteladani. Demikian segi negatif perlu juga diketahui serta disampaikan kepada
pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik
mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih
baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan.

Nilai Moral dalam novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura, Jadilah seseorang yang
menyemai cinta pada-Nya meski berada dalam perantauan.

3.3 Sinopsis

Cerita menggambarkan tentang kehidupan Mrs A atau Ummu S, hidup di negeri Sakura
dengan keislamannya. Menikah dengan pria pilihannya dengan harapan hidup
berkecukupan dan bahagia. Namun, ternyata kebahagiaan itu hanya semu. Istri identik
dengan pembantu bagi suami. Perlakuan kasar secara fisik/ melalui ucapan yang melukai
hati. Sering terlontar dari laki-laki yang menjadi Qawwam baginya. Perintah-perintah
otoriter yang mutlak tak dapat dilanggar. Lemahnya iman dan tak kuatnya dasar pijakan
Ruhiyah, menyebabkan dia terombang ambing dalam kehidupan.

Ia seorang ibu rumah tangga, yang dianggap remeh ternyata tak sesederhana yang
dibayangkan. Melewati tahun pernikahan ke-8 sudah tak terhitung berapa banyak
pertanyaaan sejenis tapi Ummu S belum bisa menjawab.

Masalah klasik ketidakcocokan antara mertua dan menantu sering terjadi setelah
pernikahan. Yang awalnya begitu baik hati dan dirasa lebih perhatian daripada ibu
kandungnya sendiri.

Seiring berjalannya waktu. Suatu hari ketika memandang cermin. Ummu S merasa
banyak kekurangan dalam tubuhnya. Hidung yang tidak mancung *(pesek = Bahasa
Jawa), bulu mata yang tidak lentik, serta berbagai titik minus lainnya yang menimbulkan
kekecewaan dalam diri, menimbulkan organ-organ yang tak menghargai kondisi apa
adanya. Hingga ketika mencuci piring, tanpa disadari ibu jari tangan kirinya terluka oleh
pecahan gelas yang ditumpuk bersama dengan piring kotor. Sehingga dia harus dirawat
ke UGD. Ternyata menurut ahli syaraf, otot ibu jari tangan kirinya ada yang putus. Maka
dari itu telapak tangan kirinya harus di gips selama 3 pekan. Dan perlu waktu kira-kira 3
bulan untuk mengembalikan fungsi otot. Ini semua terjadi akibat dirinya yang tidak
mensyukuri anugerah yang ada.

Sekian lama Ummu S memakai jilbab membuat suaminya risih dan menyuruh untuk
melepas jilbab. Ummu S hanya diam dan dengan ragu dia menuruti perintah suami.
Semakin lama akhirnya dia gerah dengan perbuatan buka tutup jilbab. Merasakan dikejar
oleh dosa, merasa mempermainkan Allah. Karena takut akan laknat Allah maka ia pun
menentang perintah suaminya dan kembali berjilbab sepenuhnya. Tiap malam
memanjatkan dan memohon kekuatan dan kesabaran dan petunjuk-Nya.

Meskipun hidup jauh dari suasana keislaman, seperti tidak terdengarnya suara adzan dari
masjid-masjid, mushola ataupun langgar, ceramah-ceramah keagamaan di TV atau
majelis taklim, tetapi mereka yang minoritas senantiasa berusaha saling menjaga
keimanan dan membuat beragam kegiatan. Bahkan di negeri orang inilah rasa
persaudaraan sesama perantauan terasa mudah terjalin dan terikat kuat.

Setelah tinggal di Jepang, tidak sedikit yang makin meningkat keimanannya dan
memakai jilbab. Bahkan bisa mengajak teman-temannya sesama orang Indonesia
memakai jilbab dan juga membuat orang Jepang menjadi tertarik dengan agama islam.
Di Nagoya, kota tempat tinggal Ummu S ada kegiatan pengajian keluarga yang
dilaksanakan tiap hari ahad pekan kedua. Acara itu diadakan dirumah salah satu

keluarga secara bergantian tiap bulannya. Lalu tiap hari Ahad di akhir bulan ada
pengajian umum yang sebelumnya dimulai dengan acara mengaji untuk anak-anak.

Selain itu, untuk menambah jam belajar dan bermain bersama anak-anak, ada pula
kegiatan mengaji tiap hari Sabtu di Masjid Nagoya. Juga ada kegiatan mengkaji Al-
Qur’an bagi ibu-ibu. Kelompok mengaji Al- Qur’an ada beberapa kelompok berdasarkan
wilayah tempat tinggal karena tempat tinggal mereka tersebar.

Untuk mereka para muslimah ada milis Fahima sebagai wadah forum silaturahmi
muslimah di Jepang yang mencakup sampai ke negara-negara lain. Ada muslimah dari
Perancis, Singapura, Qatar, Amerika dan lain-lain.

Meskipun hidup diluar negeri yang fasilitas keagamaannya masih kurang daripada di
Indonesia, bukan berarti kehausan mereka akan belajar dan menambah pengetahuan
tentang agama Islam tidak tersalurkan. Justru dengan adanya fasilitas teknologi canggih,
komunikasi antara mereka bisa berjalan lancar. Ditambah dengan tersedianya transportasi
yang beraneka ragam dan tepat waktu, membuat mereka mudah untuk melangkah kaki
menuju majelis ilmu. Dan yang lebih penting lagi, bukan berarti mereka akan dengan
mudah berganti agama.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan terhadap landasan teori serta analisis struktural novel
menyemai Cinta di Negeri Sakura karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

Sastra adalah karya imajinatif bermedia bahasa yang nilai atau unsur estetikanya
dominan. Karya sastra adalah sesuatu yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya
adalah manusia dengan segala macam perilakunya berupa rekaan dari sastrawan.
Memiliki 5 fungsi (Fungsi rekreatif, estetis, didaktif, moralitas dan religiusitas) yang
intinya sebagai hiburan dan memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan.
Macam-macam karya sastra modern antara lain : Novel, Cerpen, serta Puisi.

Hasil analisis unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam novel Menyemai Cinta di Negeri
Sakura karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati. Unsur Intrinsik meliputi :

1. Alur/ Plot, tehnik pengaluran yang digunakan pengarang adalah tehnik sorot balik/
Flash back yaitu urutan tahapan dibalik seperti regresif.

2. Penokohan, dilukiskan dengan jelas dalam cuplikan-cuplikan novel. Ummu S, tokoh


yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius dalam tiap langkah.

3. kehidupan dan tegar menghadapi setiap permasalahan hidup yang dialaminya.


Sedangkan tokoh lain berkarakter sesuai dengan sifatnya.

4. Latar, meliputi aspek tempat, waktu dan suasana. Latar tempat dalam novel tersebut
terjadi di beberapa tempat, antara lain di sebuah supermarket di Jepang, Nagoya, Stasiun
Tokyo dan lain-lainnya. Aspek waktu pada tahun 2000-an, kebanyakan bahasa
menggunakan bahasa tidak baku layaknya kehidupan saat ini. Suasana kehidupan yang
dialami masyarakat Nagoya adalah karier, kesibukan yang dilakukan semata hanyalah
kepentingan karier namun masih bersosialisasi dengan masyarakat meskipun ada yang
bersifat individualis.

5. Amanat yang dapat dipetik adalah hendaknya seseorang bersabar dalam menghadapi
cobaan hidup, tetap mempertahankan islam diri di Negara lain, serta mampu mengajak
masyarakat untuk ikut serta menjadi muslimin dan muslimah yang baik.

6. Tema yang terdapat adalah keteguhan hati dan pendirian agama dalam negeri
perantauan.
7. Gaya bahasa, dalam novel banyak menggunakan kata-kata tidak baku misal : Nggak…,
Ah…, Agak…,…aja, dan lain sebagainya. Majas yang digunakan yaitu personifikasi.

8. Sudut Pandang, pengarang sebagai orang pertama dengan kataaku atau –ku untuk
tokoh utama.

Unsur Ekstrinsik yang ada antara lain nilai religi adanya masjid tergambar dalam cerita
novel meski hanya sedikit, acara siraman rohani dan lain sebagainya, nilai sosial, saling
membantu, menghargai, menyayangi satu sama lain serta nilai estetika kesopanan dalam
bertingkah laku yang dilakukan tokoh dalam novel adalah ucapan maaf bila sekiranya
telah berbuat kesalahan. Itu akan lebih baik daripada tidak mengucap sekalipun.
Unsur-Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik Drama “The Effect Of
Gamma Rays On Man-In-The-Moon Marigolds”
10 Votes

UNSUR INTRINSIK

Tokoh : (Tokoh Utama) Beatrice Hunsdoffer, Matilda “Tillie”, Ruth,


(Tokoh Figuran) Nanny, Mr. Goodman, Janice
(Tokoh Sentral) Beatrice “Ibu Tillie dan Ruth”

Tema : Semangat hidup anak dalam keluarga disfungsional (Tema tergantung persepsi
pembaca)

Setting : Rumah keluarga Hunsdoffer (Ruang tamu, dapur, kamar) dan Sekolah

Terjadi pada pagi dan malam hari

Plot :

Drama ini menceritakan tentang seorang anak yang tidak diizinkan oleh ibunya untuk
bereksperiemen di bidaing sains. Tokoh-tokohnya adalah Beatrice seorang single parent
yang menjadi peminum, perokok berat, dan juga ibu yang suka sinis. Ruth adalah anak
Beatrice yang menderita penyakit kejang-kejang. Matilda, atau Tillie adalah anak
Beatrice yang sangat terobsesi dengan sains dan atom dan satu-satunya dari ketiga wanita
ini yang terlihat normal. Mereka tinggal di sebuah rumah bekas gudang sayur-sayuran.

Meskipun Tillie sangat senang bersekolah, tetapi Beatrice sering menyuruhnya


tetap di rumah untuk membersihkan kotoran kelinci dan melayani nenek tua yang buta
dan tuli yang tinggal bersama mereka untuk lima puluh dollar per bulan. Beatrice selalu
mengancam untuk membunuh kelinci Tillie.

Tillie menemukan peliharaan lain selain kelinci ketika ia membawa benih


marigold yang diperlakukan dengan cahaya yang berbeda. Beatrice sangat marah melihat
kekacauan yang dibawa oleh Tillie ke dalam rumah. Namun meskipun begitu, Tillie tetap
memelihara marigold-nya sebagaimana ia merawat kelincinya.

Suatu hari ketika Ruth pulang dari sekolah, ia mengatakan kepada ibunya bahwa
Tillie dan marigold-nya menjadi finalis dalam kompetisi sains, dan Beatrice akan muncul
di atas panggung bersama Tillie saat ia mempresentasikan penemuannya. Beatrice
jengkel, tetapi ini pertama kalinya ia merasa bangga pada dirinya.

Selanjutnya silahkan baca sendiri..

UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK
Drama “The Effect of Gamma Rays on Man-In-The-Moon Marigolds”

Drama ini adalah drama yang menceritakan tentang disfungsi keluarga Hunsdoffer.
Dalam drama ini terdapat tiga tokoh utama yaitu Beatrice, Matilda, dan Ruth. Beatrice
yang menjadi sosok ibu pada keluarga ini sering memperlakukan anaknya sesuai
keinginannya, seperti melarangnya ke sekolah dan memberdayakan anak khususnya
kepada Matilda.

Drama ini dibuat pada tahun 1964 oleh Paul Zindel dan dipentaskan pada tahun 1970 di
New York. Telah mendapatkan penghargaan Pulitzer Prize for Drama pada tahun 1971
dan di-film-kan pada tahun 1972 oleh 20th Century Fox.

Paul Zindel – Penulis Drama “The Effect of Gamma Rays on Man-In-The-Moon


Marigolds”

Paul Zindel adalah seorang penulis drama, pengarang dan juga seorang guru sains. Lahir
di Staten Island, New York, USA pada 15 Mei 1936 dan meninggal karena kanker paru-
paru di New York City, New York, USA pada 27 Maret 2003.

Paul Zindel telah menulis 39 buku yang semuanya didedikasikan kepada anak-anak dan
remaja. Kebanyakan karyanya yakni tentang remaja atau anak-anak yang tidak
mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya. Beliau sendiri tumbuh di tengah
keluarga yang kurang harmonis. Ia hanya hidup bersama ibunya yang bekerja sebagai
perawat. Sementara ayahya tidak pernah mempedulikannya. Mungkin berdasarkan
pengalamannya tersebut beliau merefleksikannya ke dalam drama atau novel. Seperti
Confessions of A Teenage Baboon.

Sementara novelnya yang berjudul The Pigman yang terbit pada tahun 1968 telah
menjadi bahan ajaran di sekolah-sekolah di Amerika.

Kondisi Amerika pada tahun 1960-an

Amerika pada tahun 1960-an disebuat sebagai masa kelam Amerika. Karena pada masa
itu, terjadilah berbagai konflik dan demonstrasi besar-besar untuk membela hak asasi
manusia. Kondisi pasca perang dunia kedua ini khususnya perang Vietnam benar-benar
merupakan kondisi buruk di Amerika. Banyak mahasiswa yang melakukan protes dan
pergerakan-pergerakan menuntut perubahan.

Pada masa kelam ini, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dibunuh (1963), Partai
Black Panther terbentuk (1966), Black Nasionalis Malcolm X juga terbunuh (1965)
sebagaimana Revolusional Dr. Martin Luther King Jr., (1968).

Karena protes mahasiswa yang begitu agresif mengakibatkan banyak dari mereka yang
mati dalam insiden tersebut.
Pada masa tahun 1960-an di Amerika tersebut tidak hanya diwarnai oleh masa-masa
kelam tetapi perkembangan-perkembangan positif juga terjadi. Sebanyak 70 juga anak di
Amerika tumbuh menjadi remaja yang keluar dari budaya konservatif 50-an di Amerika
dan mereka berhasil melakukan perubahan yang berdampak baik bagi pendidikan dan
gaya hidup mereka.

Berdasarkan latar belakang sejarah yang terjadi pada pasa 1960-an ini, dapat disimpulkan
bahwa di saat Paul Zindel menulis drama ini, anak-anak dan remaja pada saat itu sudah
dapat melakukan perubahan-perubahan yakni dengan bersekolah dan memiliki
pendidikan. Sebagaimana halnya tokoh remaja Matilda yang sangat sendang bersekolah
dan melakukan penemuan-penemuan di bidang sains.

- Kondisi keluarga di Amerika di Tahun 1960-an


Sejak tahun 1960 sampai 1979, jumlah anak-anak Amerika tanpa ayah meningkat
dua kali lipat. Satu dari lima anak Amerika pada masa itu tumbuh di dalam keluarga
yang dikepalai oleh wanita. Menurut Garfinkel dan McLanahan (1986) “families
headed by women with children are the poorest of all major demographic groups
regardless of how poverty is measured” (p.11). . the vast majority of these families
remain poor for long periods because they have very low education levels and low
earning capacity. They lack sufficient child support from absent fathers and receive
low levels of public aid (Garfinkel & McLanahan, 1986). Keluarga yang dipimpin
oleh wanita dianggap sebagai keluarga termiskin yang akan berlangsung lama karena
rata-rata mereka berasal dari latar belakang pendidikan rendah dan pendapatan yang
kurang. Serta mereka kekuarangan anak yang tidak diperhatikan oleh ayahnya dan
sedikit menerima pertolongan masyarakat.

Menurut Wright dan Wright (1992) ada 4 faktor yang dapat menjelaskan hubungan
single-parent dengan kenakalan remaja:

1) Masalah ekonomi
2) Kurang pengawasan, control formal dan dukungan sosial
3) Hidup di tengah lingkungan miskin yang memiliki tingkat kriminal yang tinggi
(McLanahan & Booth, 1989), dan
4) Meningkatnya sistem hukuman kriminal pada anak
Masalah-masalah seperti ini biasanya timbul karena tidak adanya ayah yang dapat
membantu dalam menyelesaikan persoalan baik dari segi ekonomi, pengawasan dan
dukungan sosial. Inilah yang dapat menimbulkan disfungsi keluarga. Dimana karena
banyaknya masalah yang timbul dalam keluarga dan ibu yang memiliki tanggung
jawab besar dalam mengatur keluarga tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya
mereka pun menjadi seorang peminum, perokok berat, dan suka memperlakukan
anaknya sesuai kehendaknya.

- Disfungsi Keluarga
Keluarga di mana terjadi banyak konflik, perilaku buruk, dan bahkan pelecehan
di antara anggota-anggotanya. Anak-anak yang tumbuh di keluarga seperti ini
cenderung berpikir bahwa hal ini normal. Keluarga disfungsional biasanya terjadi
akibat kecanduan alkohol, obat terlarang, dan lain-lain oleh orang tua; penyakit jiwa
atau gangguan kepribadian orang tua; atau orang tua yang meniru tingkah laku orang
tua mereka sendiri dan pengalaman keluarga mereka yang disfungsional.

Berdasarkan penelitian di atas yang memaparkan bahwa sejak tahun 1960-an di


Amerika sudah banyak wanita menjadi single-parent tanpa kepedulian lagi dari mantan
suaminya sehingga timbullah disfungsi keluarga yang mengakibatkan anak-anak tidak
mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Bisa disimpulkan bahwa pada masa drama
“The Effect of Gamma Rays on Man-In-The-Moon Marigolds” dibuat, sudah banyak
disfungsi keluarga dikarenakan kasus single-parent dan masalah-masalah yang
ditimbulkan.

Menurut Dr. Dan Neuharth salah satu ciri dari disfungsi keluarga adalah orang tua yang
mengisolasi anaknya atau tidak mengizinkan anaknya berhubungan dengan dunia luar
dan biasanya anak-anaknya dilarang untuk mengembangkan potensi dirinya serta tidak
mengizinkan mereka berbicara atau mengeluarkan pendapat.

Inilah yang terefleksi dalam drama “The Effect of Gamma Rays on Man-In-The-Moon
Marigolds” dimana Matilda yang sering diisolasi oleh ibunya dan dilarang kesekolah
bahkan untuk mengembangkan potensi dirinya.
judul : sang pemimpi
> pengarang : Andrea Hirata
> penerbit/tahun : Penerbit Bentang/ cetakan ke dua puluh, mei 2008
> jumlah halaman : 288 halaman
> ukuran : 25 x 13 cm
> harga : Rp 49.000,-
> ISBN : 979-3062-92-4

II. Unsur-unsur intrinsik :


¤ TEMA
Novel tersebut bertemakan "Perjuangan dan Pendidikan" karena dalam novel tersebut
ketiGa orang anak, sang pemimpi, yaitu : ikal, arai dan jimbroN yang berjuang dEngan
sepenuh hati dan tenaga serta penuh dEngan semangat dan optimis agar dapat menggapai
apa yang menjadi mimpi-mimpi mereka. Untuk melanjutkan study ke altar suci
alamamater sarbonne, prancis dan menjelajahi eropa sampai afrika.

¤ AMANAT :
" Berusah, semangat dan optimis" jika kita ingin semua cita-cita kita tercapai kita harus
berusaha, semangat, dan optimis. Dan apabila hasilnya nol, sesungguhnya kita
mendapatkan keberhasilan yang tertunda kegagalan itu sesungguhnya suatu pelajaran
bagi kita agar menjadi seseorang yang lebih baik. Apapun kodisinya kita harus tetap
memiliki cita-cita, walaupun dengan logika tidak masuk akal, tetapi didunia ini tidak ada
yang tidak mungkin, jadi apapun caranya kita harus tetap " berusaha, semangat dan
optimis".

¤ ALUR
Campuran, dilihat dari cerita, nOvel ini menceritakan yang telah terjadi di masa lalu dan
menceritakan hal yang sedang terjadi serta kejadian yang berSifat kontinu.

¤ LATAR
Sekolah, gudang peti es, pasar, dermaga, bioskop, terminal, tanjung priok, perahu,
cimahi, Dll.

¤ PENOKOHAN
ARAI : Pemberani, penuh perjuangan, pantang menyerah, selalu semangat, selalu
optimis, memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. IKAL : agak pemalu, penuh semangat,
penuh perjuangan, selalu optimis, memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. JIMBRON :
Pemalu, setia kawan, reka berkorban, baik hati, jiwanya penuh dengan semangat dan
pantang menyerah. Dan tokoh yang lainnya seperti Ibu, ayah, pak mustar, pak balia,
laksmi, nurmala, dll. Memiliki karakter masing-masing yang kuat.

¤ SUDUT PANDANG
Sudut pandang orang pertama. Dimana yang menjdi orang pertama ( aku ) adalah ikal.

¤ GAYA BAHASA
Novel ini memiliki gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca seakan membawa
si pembAcA ikuT serta dalam setiap adEgan. Sangat menyentUh yang mengakibAtkan
setiap perisTiwa yang terjadi sangat menarik untuk di baca.

¤ KOMENTAR
Novel ini sangat bagus sekali untUk dibaca karena memberikan suatu pesan sekaliGus
peran dan ajaran moral kepada pembaca. Serta tidak bertele-tele dalam menyampaikan
setiap kejadian sehingga pembaca tidak bosan untuk melahap sampai habis cerita yang
disajikan di nOvel ini. Disamping itu nOvel ini sangat memberikan coNtoh pola pikir
setiap manusia. Membangun semangat dan rasa optimis untuk meraiH semua cita-cita
pembaca.
Hikayat Si Miskin : Sinopsis
Ada seorang suami istri yang dikutuk hidup miskin. Pada suatu hari mereka
mendapatkan anak yang diberi nama Marakarma, dan sejak anak itu lahir hidup mereka
pun menjadi sejahtera dan berkecukupan. Ayahnya termakan perkataan para ahli nujum
yang mengatakan bahwa anak itu membawa sial dan mereka harus membuangnya.
Setelah membuangnya, mereka kembali hidup sengsara. Dalam masa pembuangan,
Marakrama belajar ilmu kesaktian dan pada suatu hari ia dituduh mencuri dan dibuang ke
laut. Ia terdampar di tepi pantai tempat tinggal raksasa pemakan segala. Ia pun ditemukan
oleh Putri Cahaya dan diselamatkannya. Mereka pun kabur dan membunuh raksasa
tersebut.
Nahkoda kapal berniat jahat untuk membuang Marakarma ke laut, dan seekor
ikan membawanya ke Negeri Pelinggam Cahaya, di mana kapal itu singgah. Marakrama
tinggal bersama Nenek Kebayan dan ia pun mengetahui bahwa Putri Mayang adalah adik
kandungnya. Lalu Marakarma kembali ke Negeri Puspa Sari dan ibunya menjadi
pemungut kayu. Lalu ia memohon kepada dewa untuk mengembalikan keadaan Puspa
Sari. Puspa Sari pun makmur mengakibatkan Maharaja Indra Dewa dengki dan
menyerang Puspa Sari. Kemudian Marakrama menjadi Sultan Mercu Negara.

Unsur-unsur intrinsik:

 Tema: Kesuksesan Dibalik Kesengsaraan


 Tokoh dan Karakter:
- Maharaja Indra Angkasa (Si Miskin):
mudah percaya orang lain, lebih mementingkan harta dari pada anak.
- Ratna Dewi (Istri Si Miskin):
Penyayang.
- Marakarma:
Mudah memaafkan.
- Nila Kesuma (Mayang Mengurai):
Penyayang.
- Maharaja Indra Dewa:
Pendendam, iri hati, murah hati.
- Putri Cahaya Kairani:
Suka menolong, membela yang benar.

 Alur plot: Maju


 Setting:
- Latar : Kerajaan, di laut.
- Waktu : Zaman pemerintahan Raja Antah Beranta
- Suasana : Meratapi nasib.
• Sudut pandang: orang ketiga
• Gaya Bahasa:
- Hiperbola: “seorang anak laki-laki terlalu amat baik parasnya dan elok
rupanya…”
• Pesan moral:
- Jangan mudah percaya kepada orang lain
- Tidak boleh iri kepada keberhasilan orang lain
Analisis Hikayat Sri Rama

ANALISIS HIKAYAT SRI RAMA (HSR)


Oleh ASEP SAEPUDIN

Penyunting : Achadiati Ikram


Penerbit : Penerbit Universitas Indonesia
Jakarta, 1980

Ikhtisar Cerita

Awal hikayat, diceritakan perihal lahirnya Rawana setelah dikandung ibunya,


Raksagandi, selama dua tahun. Pada usia 12 tahun Rawana sudah biasa memukul
mati teman-teman sepermainannya sehingga ia dibuang oleh kakeknya, Bermaraja ke
bukit Srandib. Setelah bertapa selama 12 tahun di sana, ia bertemu dengan Nabi
Adam. Dengan syarat taat akan hukum Allah SWT., ia dianugerahi empat alam
kearajaan yang kesemua rajanya tunduk kepadanya, yaitu kerajaan alam keindraan,
kerajaan di dalam bumi, kerajaan di laut, dan kerajaan di permukaan bumi. Di negeri
keindraan ia berkuasa, beristri Nila Utama dan beranak yang dinamainya Indrajit. Di
dalam bumi ia berkuasa, beristri Putri Pertiwi Dewi beranak Patala Maharayan. Di
laut ia berkuasa, beristri Gangga Mahadewi dan beranak Rawana Gangga Mahasura.
Dalam usia 12 tahun anak-anaknya diangkatnya menjadi raja. Di Serandib sendiri
Rawana mendirikan istana kerajaan besar, Langkapuri. Semua kerajaan di permukaan
bumi (alam dunia) takluk kepadanya kecuali kerajaan Indrapuri, Birukasyapurwa,
Lakurkatakina, dan negeri Aspahaboga.
Sepeninggal Rawana, Negeri Indrapurinegara, Bermaraja, kakek Rawana
meninggal digantikan oleh Badanul. Setelah Badanul meninggal, naik tahtalah Raja
Citrabaha, ayah Rawana. Citrabaha memiliki tiga orang anak, yaitu Kumbakarna,
Bibusanam, dan Surapandaki. Citrabaha meninggal digantikan oleh Naruna. Naruna
meninggal digantikan oleh Raja Syaksya.
Alkisah, terjadi permusuhan antara kerajaan Biruhasyapurwa dengan kerajaan
Indrapurinegara. Citrabaha menyerang Birukasyapurwa dan membunuh keluarga raja
Datikawaca. Balikasya, anak adik Datikawaca, naik takhta. Setelah mengembalikan
kejayaan Birukasyapurwa, Balikasya ingin membalas dendam, menyerang kerajaan
Indrapuranegara. Untuk itu, Balikasya mengutus Sipanjalma dan hulubalang lainnya,
menyelidiki negeri Indrapuranegara. Dalam penyelidikannya Sipanjalma meracuni
menteri dan hulubalang musuh. Setelah meninggalkan surat tantangan, Sipanjalma
mengundurkan diri ke negerinya. Sardal dan Kemendekata atas suruhan Raja
Syaksya, mengejar Sipanjalma ke Biruhasyapurwa. Terjadilan perang besar-besaran.
Rawana berusaha dan berhasil mendamaikan peperangan antara kerajaan-kerajaan
tersebut.
Alkisah pula, Dasarata Raman cucu Nabi Adam dari Dasarata Cakrawati,
menikah dengan putri Mandudari, anak Mahabisnu. Dari perkawinan mereka, lahirlah
Sri Rama dan Laksmana. Sebagai balas jasa atas pertolongannya, Dasarata juga
mengawini Baliadari. Dari baliadari Dasarata dikaruniai dua orang anak, yaitu
Berdana dan Citradana.
Rawana mendengar kabar bahwa Dasarata memiliki seorang istri yang sangat
cantik. Merasa tertarik, dia menemui Dasarata dan meminta Mandudari. Tanpa
sepengetahuan suaminya, Mandudari berusaha menciptakan Mandudari tiruan.
Mandudari tiruan inilah yang diberikan Dasarata kepada Rawana. Dengan menyamar
sebagai anak-anak, Dasarata menemuni Mandudari tiruan. Pada malam harinya,
Dasarata kembali ke wujud aslinya dan bersetubuh dengan Mandudari tiruan. Pagi
hari Dasarata kembali menjadi anak-anak dan pulang.
Beberapa bulan kemudian Mandudari tiruan melahirkan seorang anak perempuan
yang sangat cantik. Akan tetapi, karena ramalan Bibusyanam, saudaranya, bahwa
suami anak tersebut akan membahayakannya, anak perempuan tersebut dimasukkan
ke dalam lung besi dan dibuangnya ke laut.
Lung besi itu hanyut ke laut negeri Darwatipura dan ditemukan oleh raja negeri
itu, Maharaja Kala. Dengan serta merta air susu istrinya, Minuram Dewi pun
terpancar. Putri temuannya itu dinamai oleh Maharaja Kala Sita Dewi. Maharaja Kala
menamam 40 pohon lontar berbanjar dan berkata, “barang siapa yang berhasil
memanah 40 pohon lontar tersebut dengan sekali panah, maka putri itu akan
diberikan kepadanya”.
Mencapai usia 12 tahun, Sita Dewi tumbuh dan termashur sebagai putri Maharaja
Kala yang sangat cantik. Banyak putra raja yang datang memintanya untuk dijadikan
istri. Maka Maharaja Kala mengumumkan bahwa siap yang dapat memanah 40 pohon
lontar yang ditanamnya dalam sekali panah, maka Sita Dewi akan diberikan
kepadanya. Dalam sayembara itu, atas panggilan langsung Maharaja Kala, Sri Rama
datang mengikuti sayembara. Sri Rama memenangkan sayembara. Akhirnya Sri
Rama menikah dengan Sita Dewi.
Setelah berhasil melewati peperangan dengan empat anak raja yang sama-sama
menginginkan Sita Dewi, Sri Rama memutuskan untuk tinggal di hutan Dalinam,
artinya rimba manikam. Mereka ditemani oleh Laksmana. Di hutan itu, Sri Rama dan
Sita Dewi mandi di kolam jernih Kala Sehari Bunting. Serta merta mereka jadi kera.
Pada saat menjadi kera itu mereka melakukan hubungan intim. Akibatnya, kata
Laksmana, Sita akan melahirkan seekor kera. Dengan diurut, akhirnya Sita Dewi
mengeluarkan manikam melalui kerongkongannya. Dengan bantuan Bayu Bata,
manikam yang telah dibungkus dengan daun budi, dimasukkan ke dalam mulut Dewi
Anjani yang sedang bertapa. Akhirnya Dewi Anjani melahirkan seorang anak laki-
laki serupa kera yang dinaminya Hanuman.
Merasa sakit hati karena hidung Surapandaki, saudaranya, dirumpungkan oleh
Laksmana, Rawana berniat membalas dendam melalui Sita Dewi. Dengan akal dan
kesaktiannya, Rawana menculik Sita Dewi.
Dalam perjalanannya mencari Sita Dewi, Sri Rama bertemu dengan bangau yang
memberikan kabar bahwa istrinya diculik Rawana. Sri Rama juga bertemu dengan
Jentayu yang melawan Rawana ketika Rawana menculik Sita Dewi. Rawana juga
bertemua dengan Sugriwa serta Baliraja. Pada saat di Negeri Lakurkatakina, negeri
baliraja itu, datanglah Citradana dan Berdana, dua saudaranya dari negeri Indrapura.
Mereka datang untuk mengabarkan kematian ayah mereka, Dasarata, dan ingin
menjemput Sri Rama agar bersedia menjadi raja di Inderapuri. Sri Rama menolaknya.
Di negeri Lakurkatakina, Sri Rama memperoleh bantuan. Di sini Sri Rama
bertemu dengan Hanuman, anaknya yang lahir melalui Dewi Anjani. Hanuman pula
yang disuruhnya untuk menyelidiki keadaan Sita Dewi di Langkapuri . Di Langkapuri
Hanuman membakar semua istana kecuali tempat tinggal Sita Dewi. Kalau pada saat
pergi bertumpukan lengan Sri Rama, maka ketika pulang Hanuman bertumpukan batu
kecil di bukit Serandib.
Berdasarkan informasi hasil penyelidikan Hanuman, Sri Rama memutuskan untuk
menyerang negeri Rawana itu. Untuk menyeberang ke Langkapuri, dibuatlah tambak
dan jembatan penyeberangan. Dalam pekerjaan itu Sri Rama dibantu oleh Maharesi
Sahagentala. Setelah tambak dan jembatan penyeberangan selesai dibangun,
dimulailah penyeberangan ke Langkapuri dan pecahlah perang antara pihak Sri Rama
dan pihak Rawana. Betapa banyaknya rakyat dan prajurit dari kedua belah pihak yang
gugur dalam peperangan itu. Sri Rama sendiri berhasil membinasakan Kumbakarna,
Badubisa, Patala Marayan, Gangga Mahasura, Indrajit, dan Mulamatani.
Dalam peperangan itu, Sri Rama keluar sebagai pemenang. Dengan begitu Sri
Rama berhak menguasai Langkapuri dan menjadi raja yang kedaulatannya sangat
luas. Ucapan selamat datang dari kerajaan-kerajaan lain, antara lain dari Maharaja
Kala dari negeri Darwati dan Citradana serta Berdana, saudaranya, dari negeri
Mandupuranegara. Karena ragu akan kesuciannya, Sita Dewi diuji Sri Rama dengan
cara dibakar. Ternyata Sita Dewi tidak terbakar sedikit pun. Artinya, Sita Dewi masih
suci.
Atas saran Bibusanam, Sri Rama mendirikan negeri baru, yaitu negeri
Daryapuranegara. Adapun kerajaan Langkapuri dikuasakan kepada Jamumenteri. Di
negeri baru itu, Sri Rama mendirikan pemerintahan yang adil dan makmur. Pada saat
itu pula, Sita Dewi hamil atas upaya Maharesi Kala. Namun, Sita Dewi dipitnah
Kikuwi, adik Sri Rama, sehingga Sita Dewi pergi dan menetap selama 12 tahun di
negeri Darwati, bersama Maharesi Kala. Dalam pembuangannya itu Sita Dewi
melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Tilawi. Karena kehilangan Tilawi,
saat diasuhnya, Maharesi Kala menciptakan seorang anak laki-laki lain yaitu Gusi
yang segalanya persis Tilawi. Kedua anak tersebut akhirnya hidup bersama seperti
dua saudara kandung.
Setelah sekian lama, Sri Rama mmenyadari kekeliruannya. Menurut
keyakinannya Sita Dewi tidak bersalah. Justru Kikuwilah yang bersalah. Karena itu,
Sri Rama menjemput Sita Dewi. Sri Rama dan Sita Dewi dikawinkan lagi dengan
upacara kebesaran. Mereka kembali ke negeri Daryapuranegara, hidup rukun dan
bahagia di negeri yang adil makmur.
Dalam kondisi yang sentosa itu, Sri Rama mengawinkan Tilawi dengan putri
Indra Kusuma Dewi, anak Indrajit. Sedangkan Gusi dikawinkan dengan Gangga
Surani Dewi, putri Gangga Mahasura. Adapun Hanuman menolak untuk dikawinkan
dengan putri Balikasya dari negeri Biruhsyapurwa.
Hanuman sempat berperang dengan Tilawi dan Gusi. Peperangan terjadi karena
Hanuman menodai istri muda Tilawi, Sendari Dewi. Peperangan terhenti karena Sri
Rama turun tangan mendamaikan mereka.
Setelah kejadian itu, Sri Rama mengasingkan diri bertapa di Indipuri bersama Sita
Dewi. Di sana Sri Rama ditemani Laksmana dan Hanuman. Dalam masa pertapaan
Sri Rama dan Sita Dewi mengajari anak-anaknya tentang tata tertib kerajaan.
Demikian juga raja-raja lain banyak yang datang menemuinya. Setelah hampir selama
empat puluh tahun, Sri Rama akhirnya meninggal dunia.
Struktur Hikayat
Alur

Secara garis besar alur hikayat ini sebagai berikut. Merasa sebagai raja besar di
Langkapuri, Rawana meminta Mandudari istri Dasarata, kepada suaminya. Dasarata
tidak menolak. Rawana diberi Mandudari tiruan oleh Mandudari Asli. Dasarata
meniduri Mandudari tiruan. Mandudari tiruan melahirkan anak perempuan yang
kemudian dibuang oleh Rawana. Maharaja Kala menemukan anak perempuan yang
dinamainya Sita Dewi. Karena menang sayembara, Sri Rama berhasil memperistri
Sita Dewi. Sita Dewi diculik Rawana sebagai balas dendam terhadap Laksmana yang
telah menganiaya saudaranya, Surapandaki. Sri Rama berusaha mencari dan merebut
Sita Dewi dari Rawana, mendapat bantuan dari Sugriwa dan Hanuman dari kerajaan
Lakurkatakina, dari Maharesi Sahagenta. Terjadilah perang besar-besaran antara
pihak Sri Rama dan Rawana, dimenangkan Sri Rama. Sri Rama berkuasa di kerajaan
Langkapuri kemudian mendirikan negeri Daryapuranegara yang adil makmur aman
sejahtera. Sri Rama memiliki anak Tilawi dan Gusi dari Sita Dewi. Sri Rama
mengasingkan diri bertapa selama empat puluh tahun dan meninggal.
Pada umumnya alur dalam Hikayat Sri Rama (HSR) ini terjalin rapi dan
merupakan suatu unsur yang menunjang amanat. Akan tetapi, walaupun dalam
keseluruhannya demikian halnya, dalam bagian-bagiannya ia ciri khas lain, sehingga
tampaknya menjadi amat kompleks. Ini disebabkan juga oleh gaya yang menyukai
pengulangan, banyaknya tokoh, dan keanekaan peristiwa.
Unsur lain yang menambah kerumitan ialah kenyataan bahwa kisah utama
ditinggalkan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang dimaksudkan sebagai
persiapan, tumpuan, atau penjelasan dari kejadian-kejadian selanjutnya. Alur-alur kcil
semacam itu, yang kemudian masuk dalam alur besar, dinamakan sub-alur (Ikram,
1980: 22). Dalam novel modern, bagian-bagian seperti ini ibarat sorot balik, yaitu
sisipan yang menguraikan latar belakang suatu tokoh di masa lampau tanpa
melepaskan alur utamanya. Perbedaannya, bahwa dalam HSR hampir tak mengenal
masa lampau dan tidak membedakan mana yang lebih penting: semuanya adalah
sekarang.
Dalam (HSR) ini banyak subalur yang menjadi bagian dari alur. Bagian-bagian
alur ini merupakan pengantar bagian yang sebenarnya atau bagian alur yang penting.
Selain itu, berfungsi sebagai sarana untuk memperkenalkan tokoh yang akan
memegang pernana penting dalam cerita. Hal ini misalnya, terjadai pada kisah
Rawana. Setelah memberi gamabaran yang sempurna mengenai pribadi Rawana,
penulis meninggalkannya dan beralih ke kejadian-kejadian yang berlangsung selama
Rawana bertapa (HSR II). Setelah jelas, keadaan ini pun ditinggalkannya untuk
beralih ke cerita yang menjelaskan asal usul Raja Baliksya dan permusuhannya
dengan keluarga Rawana (HSR III). Kedua sub alur ini bertemu dalam HSR IV dan
berpaut kembali dengan HSR I dalam HSR V yang menceritakan Rawana
mendamaikan kedua raja yang berperang dalam HSR IV tadi. Dua kali pergantian
tempat dan pokok cerita ini cukup ditandai dengan kata ”alkisah” dan dengan
menyebutkan nama tokoh utamanya: ” ... ini diceritakan orang yang empunya cerita
ini. Tatkala itu tersebut pulang perkataan Bermaraja.” (HSR : 12). Kata ”pulang” ini
mengaitkan pokok baru ini kepada cerita pembukaan (HSR: 1). Kadang-kadang juga
didijelaskan tempatnya, ” ... datanglah kepada hikayat Maharaja Balikasya di negeri
Biruhasyapurwa.” (HSR: hlm. 24).
Untuk memperjelas alur berikut ini adalah kutipan Garis Besar HSR (Ikram, 1980:
36-43).
Lampiran A Garis Besar Hikayat Sri Rama
I. Rawana jadi raja Pembuangannya ke Bukit Srandib. (h. 1)
besar (h. 1) Pertapaannya selama dua belas tahun (h. 2)
Pertemuan dan perjanjian dengan Nabi Adam (h.
4)
Ra jadi raja dalam empat alam (h. 7)
Kelahiran anak-anaknya: Indrajit, Patala
Maharayan, Gangga Mahasura (h. 8)
Rawana ajdi raja raja di Langkapuri (h. 11)
II. Negeri Bermaraja, kakek Rawana, meninggal (h. 12)
Indrapurinegara Badanul jadi raja; meninggal (h. 12)
sepeninggal Rawana Citrabaha, ayah Rawana, jadi raja, kelahiran
(h. 12) Kumbakarna, Bibusanam, dan Surapandaki,
anak-anaknya; Citrabaha meninggal (h. 14)
Naruna jadi raja; meninggal (h. 18)
Syaksya jadi raja (h. 22)
III. Awal mula Negeri Biruhasyapurwa dikalahkan Citrabaha;
permusuhan raja Datikawaca sekeluarga dibunuh (h. 24)
Balikasya terhadap Kelahiran Balikasya, anak adik Datikawaca (h.
Syakasya (h. 24) 24)
Balikasya mengembalikan kebesaran negeri
Biruhasyapurwa; ia ingin membalas (h. 25)
IV. Peperangan antara Sipanjalma dikirim untuk menyelidiki negeri
Balikasya dan Indrapuranegara (h. 31)
Syaksya (h. 31) Sipanjalma meracuni menteri dan hulubalang
musuh; iameninggalkan surat tantangan (h.
40)
Sipanjalma mengundurkan diri ke negerinya (h.
49)
Sradal dan Kemendakata mengejar ke
Biruhsyapurwa (h. 61)
Perang besar-besaran (h. 61)
V. Rawana Rawana menemui Syaksya untuk usaha
mendamaikan raja- perdamaian (h. 93)
raja (h. 93) Indrajit diutus ke Baliksya (h. 96)
Perdamaian terlaksana (h. 126)
Rawana membawa saudara-saudaranya dan
Jamumenteri ke Langkapuri (h. 136)
VI. Kelahiran Sri Rama Dasarata mendirikan negeri (h. 140)
(h. 140) Ia mendapat putri Mandudari, anak Mahabisnu;
mereka kawin (h. 143)
Baliadari menyelamatkan Dasarata dan
Mandudari (h. 146)
Mandudari melahirkan Sri Rama dan Laksmana;
Baliadari melahirkan Berdana dan Citradana
(h. 148)
Dasarata diselamatkan oleh Baliadari (h. 152)
VII. Kelahiran Sita Dewi Rawana datang meminta Mandudari; diberi
(h. 153) Mandudari tiruan (h. 153)
Kutukan Kisuberisu (h. 159)
Dasarata mengunjungi Mandudari tiruan (h. 159)
Rawana dan Mandudari kawin (h. 163)
Sita Dewi lahir dan dibuang (h. 165)
VIII. Perkawinan Sri Sita Dewi ditemukan oleh Maharesi Kala (h.
Rama dan Sita Dewi 172)
(h. 168) Sayembara Sita Dewi (h. 171)
Sri Rama dijemput oleh Maharesi Kala (h. 172)
Sri Rama membunuh Jagini dan Giaganda (h.
181)
Ia menang sayembara (h. 185)
Sri Rama mengusir Gagak Sura (h. 187)Sita
Dewi disembunyikan (h. 190)
Perkawinan Sri Rama dan Sita Dewi (194)
Perkawinan Sri Rama dan Sita Dewi (h. 194)
IX. Sri Rama, Sita Dewi, Peperangan dengan empat anak raja (h. 196)
dan Laksmana Sri Rama memutuskan tidak akan pulang (h.
menetap di hutan (h. 204)
196) Kelahiran Hanuman dari Sri Rama dan Sita Dewi
dengan perantaraan Anjani (h. 209)
Sri Rama membunuh Raksasa (h. 213)
Pemukiman di hutan (h. 214)
X. Penculikan Sita Rawana ingin mengalahkan matahari (h. 216)
Dewi (h. 216) Kematian Bergasinga oleh Rawana (h. 217)
Anak Surapandaki terbunuh oleh Laksmana (h.
20)
Perkelahian antara Laksmana dan Surapandaki
(h. 222)
Rawana melarikan Sita Dewi (h. 232)
Catayu dikalahkan oleh Rawana (h. 234)
XI. Pencarian jejak Sita Kisah kerbau jantan yang dibunuh oleh anaknya
Dewi (h. 214) (h. 214)
Baliraja mengalahkan kerbau Hamuk (h. 245)
Kekalahan dan pembuangan Sugriwa (h. 250)
Pertemuan Sri Rama dengan bangau (h. 254)
Pertemuan dengan Catayu (h. 258)
Pertemuan dengan raksasa (h. 263)
Pertemuan dan perjanjian dengan Sugriwa (h.
266)
Sri Rama dicobai (h. 269)
Kematian Baliraja oleh Sri Rama (h. 273)
XII. Penyerahan kerajaan Dasarata meninggal (h. 281)
kepada Berdana dan Berdana dan Citradana menjemput Sri Rama (h.
Citradana (h. 281) 284)
XIII. Perjalanan Hanuman Sri Rama mencari orang yang dapat melompat ke
menemui Sita Dewi Langkapuri (h. 290)
(h. 290) Hanuman dikenal oleh Sri Rama sebagai
anaknya; ia sanggup melompat (h. 297)
Hanuman berangkat (h. 303)
Pertemuan dengan Maharesi Kipabara (h. 304)
Hanuman menyelundupkan cincin Sri Rama
kepada Sita Dewi (h. 307)
Pertemuan dengan Sita Dewi (h. 309)
Hanuman merusak Langkapuri (h. 313)
XIV. Persiapan pembuatan Dua orang hulubalang mencari tempat terdekat
tambak (h. 329) (h. 329)
Sri Rama berangkat (h. 336)
Pengaduan maharesi Sahagentala kepada Sri
Rama (h. 338)
Peperangan melawan jayasinga (h. 346)
XV. Pembangunan Pekerjaan dimulai (h. 383)
jembatan dan Perkelahian Hanuman dengan Nola Nila (h. 385)
peristiwa-peristiwa Penemuan maulhayat (h. 389)
selama itu (h. 383) Sita Dewi ditipu oleh Rawana dengan berita Sri
Rama sudah mati (h. 393)
Sagasadana memata-matai tentara Sri Rama
(h.409)
Gangga Mahasura merusak tambak (h. 418)
Tambak selesai (h. 421)
XVI. Permulaan Sri Rama berangkat menyeberang ke
Peperangan (h. 421) Langkapuri. (h. 421)
Peringatan Bibusanam dan penyeberangannya ke
pihak Sri Rama (h. 426)
Peringatan Indrajit kepada Rawana (h. 435)
XVII. Kematian Sepuluh hulubalang Rawana mati dalam
Kumbakarna (h. peperangan (h. 439)
439) Kumbakarna dipanggil (h. 443)
Peringatan Kumbakarna (h. 446)
Kematian Kumbakarna oleh Sri rama (h. 449)
XVIII. Kematian Badubisa Hanuman diutus ke Rawana membawa surat (h.
(h. 461) 461)
Badubisa dikeluarkan untuk melawan Sri Rama
(h. 468)
Kematian Badubisa berkat petunjuk Bibusanam
(h. 469)
XIX Kematian Patala Patala Maharayan sanggup melawan Rawana (h.
Maharayan (h. 479) 479)
Peringatan Jamu Menteri (h. 482)
Penculikan Sri Rama (h. 486)
Pengejaran oleh Hanuman (h. 498)
Perang dengan Laguda Indra dan Sampa Wadini
(h. 499)
Pertemuan dengan Niwarani (h. 505)
Kisah tamanta Gangga (h. 511)
Amiraba dibunuh; Periaban dirajakan (h. 519)
Sri Rama dibawa pulang (h. 520)
Patala Maharayan dibunuh oleh Sri Rama (h.
523)
XX. Kematian empat Mereka ditinggalkan oleh Indrajit (h. 530)
anak Rawana (h. Mereka berperang dan mati (h. 532)
529)
XXI. Kematian Gangga
Mahasura (h. 543)
XXII Kematian Indrajit (h. Indrajit akan maju (h. 549)
549) Sri Rama bersiap diri dengan petunjuk Hanuman
(h. 551)
Indrajit menyerang (h. 552)
Sri Rama kena panah; Anggada mengambil obat
(h. 555)
Indrajit mau membunuh Sri Rama dengan diam-
diam (h. 557)
Hanuman mengambil obat untuk yang mati (h.
565)
Pemujaan Indrajit digagalkan oleh Laksmana (h.
577)
Peperangan (h. 582)
Indrajit berpamitan kepada istrinya (h. 596)
Indrajit melawan Laksmana; kematiannya oleh
Sri Rama (h. 605).
Peringatan Mandudari (618)
XXIII. Kematian Sejarah Mulamantani (h. 620)
Mulamantani (h. Mulamatani dibujuk oleh Rawana (h. 624)
620) kematiannya oleh Sri Rama (h. 632)
XXIV. Kemenangan Sri Peperangan (h. 648)
Rama atas Rawana Laksmana kena panah Rawana (h. 655)
(h. 648) Hanuman memanggil obat (h. 656)
Ia mengiikat rambut Rawana dan Mandudari (h.
667)
Perang antara Sri Rama dan rawana (h. 672)
Hanuman menanyakan kematian Rawana kepada
Sita Dewi (h. 690)
XXV. Sri Rama jadi raja di Sri Rama masuk kota (h. 690)
Langkapuri (h. 690) Sita Dewi membakar diri (h. 692)
Sri Rama menata negeri (h. 695)
Berdana dan Citradana datang (h. 703)
Perkawinan Kikuwi dan Bibusanam (h. 706)
Kunjungan Maharesi Kala (h. 709)
Pengungkapan rahasia kelahiran Sita Dewi (h.
710)
Berdana dan Citradana pulang (h. 715)
XXVI. Pendirian negeri Saran Bibusanam untuk mendirikan negeri (h.
baru (h. 717) 717)
Pembangunan negeri idaman Daryapurenegara
(h. 717)
Gambaran pemerintahan yang adil dan makmur
(h. 725)
XXVII. Pengusiran Sita Sita Dewi hamil (h. 730)
Dewi (h. 730) Ia dipitnah oleh Kikuwi (h. 733)
Ia pergi ke Maharesi Kala (h. 736)
XXVIII Masa kanak-kanak Kelahiran Tilawi (h. 738)
. Tilawi dan Gusi (h. Gusi diciptakan oleh maharesi Kala (h. 738)
738) Kepahlawanan mereka (h. 741)
XXIX Sri Rama dan Sita Sri Rama insaf bahwa Sita Dewi tidak bersalah
Dewi rukun kembali (h. 749)
(h. 749) Penjemputan Sita Dewi (h. 750)
Laksmana ditangkap oleh Tilawi dan Gusi (h.
751)
Sri Rama dan Sita Dewi dikawinkan lagi dengan
upacara kebesaran (h. 757)
Mereka pulang ke daryapuranegara (h. 759)
Gambaran negeri yang makmur dan bahagia (h.
760)
XXX Sri Rama mengatur Berdana dan Citradana dijemput (h. 762)
rakyatnya (h. 763) Perkawinan Tilawi dan Gusi (h. 764)
Hanuman tidak mau dikawinkan (h. 777)
Percakapan Laksmana, Berdana, dan Citradana
mengenai Hanuman (h. 778)
Berturut-turut Sri Rama mengawinkan dan
merajakan Hanuman Tugangga, Pariaban,
Jambuana, Sugriwa, anila, Anggada,
Anggata, Mahabiru, Karang, Ketula, dan
janda-janda raksasa (h. 781)
Bibusanam tidak mau menjadi raja (h. 784)
Perkawinan anak-anakBerdana dan Citradana (h.
785)
XXXI. Perkelahian Tilawi Tilawi kawin dengan anak Bibusanam (h. 787)
dan Hanuman (h. Hanuman menodai istrinya (h. 789)
787) Perang antara Tilawi dan Gusi melawan
Hanuman (h. 792)
Pendamaian oleh Sri Rama (h. 796)
XXXII. Pengunduran Sri Sri Rama membuat negeri tempat bertapa (h.
Rama (h. 798) 797)
Sri rama dan Sita Dewi bertapa dan ditunggui
oleh Laksmana dan Hanuman.(h. 802)
Ciradana dirajakan di Aspahaboga (h. 800)
XXXIII Akhir hayat Sri Sri Rama memberi pelajaran kepada Tilawi dan
. Rama (h. 802) raja-raja yang lain (h. 803)
Sri Rama wafat setelah empat puluh tahun
bertapa (h. 806)

Berdasarkan Garis Besar HSR di atas, kita bisa melihat bahwa HSR VI
merupakan permulaan cerita utama. HSR I –V merupakan sub-alur yang berfungsi
untuk memperkenalkan Rawana yang nanti dalam hidup Rama akan memegang
peranan yang penting. Pola semacam ini dijumpai berkali-kali dalam hubungan
yang lebih sempit. HSR VI-IX memperlihatkan kejadian-kejadian yang membina ke
arah pertemuan antara kedua tokoh utama; suatu tahap yang terutama merupakan
perkembangan watak. Dalam HSR X terjadi paeristiwa yang menentukan jalannya
cerita setelah sebelumnya peristiwa tersebut dibina dengan baik: Sita Dewi diculik;
dan tugas Rama jelas, yaitu ia harus merebutnya kembali. HSR X-XXVI merupakan
penyelesaian tugas itu. Titik puncak terjadi pada HSR XXIV. Setelah itu alur mejadi
sangat lemah karena cerita hanya menyoroti perkembangan pribadi Sri Rama, yaitu
dalam HSR XXV-XXVI yang merupakan masa konsolidasi pertama bagi
kedudukan Rama sebagai raja. Sesungguhnya di sini sudah terjadi penyelesaian
yang memuaskan, tetapi kegoncangan timbul dengan pembuangan Sita Dewi.
Seperti layaknya seorang raja, Sri Rama dapat juga memperbaiki kesalahannya.
Pengalaman pahit serta masa konsolidasi yang kedua lebih mengokohkan
kedudukannya dan mematangkan budinya sehingga petualangan Hanuman pada
HSR XXXI dan XXXIII merupakan penutup yang pantas dari hidup seorang raja
yang penuh kebaktian terhadap tugasnya sebagai pelindung alam.
Tokoh dan Perwatakan

Kisah dalam HSR diceritakan dengan gaya diaan, dan si penutur adalah sebagai
the third person point of view. Pengarang bertindak sebagai orang yang
menceritakan apa adanya secara objektif. Para Pelaku yang diceritakan sangat
banyak. Di antara para pelaku tersebut yang bisa dianggap sebagai tokoh cerita
adalah:
Sri Rama, seorang yang secara fisik sangat sempurna. Akan tetapi, dari segi watak
sesekali diceritakan berwatak tidak seperti seorang pahlawan. Ia anak Dasarata,
cicit Nabi Adam, AS(?) yang dianugerahi Dewata Mulia Raya (Allah Swt)
kerajaan, kekuatan, kekuasaan yang tiada bandingnya.
Rawana, seorang raja yang pada awalnya memiliki sifat agung sebgai raja. Akan
tetapi, kemudian ia menjadi sangat sombong, serakah, kasar, kejam, dan bengis,
Ia merupakan tokoh antagonis Sri Rama.
Hanuman, seorang anak Sri Rama dan Sita Dewi yang dilahirkan secara tak lazim
melalui Anjani. Dia juga sebagai orang kepercayaan Sri Rama dalam melawan
Rawana. Dia digambarkan sebagai seekor kera sakti yang terampil, penuh akal,
dan tipu daya.
Laksmana, adik kandung dan sekaligus abdi Sri Rama. Hampir selama hidupnya, ia
mengabdikan diri kepada Sri Rama.
Sita Dewi, istri Sri Rama. Ia seorang istri yang ideal model kuno, setia, pasif. Ia
tahu akan kewajiban Sri Rama sebagai raja dan ksatria. Dia juga sangat tahu
kewajibannya sebagai seorang seorang istri.
Tokoh-tokoh lainnya yang bisa dianggap sebagai pelaku cerita yang tidak
terlalu penting, yaitu: Dasarata, Mandudari, Maharaja Kala, Citradana, Berdana,
Gagak Sura, Catayu, Sugriwa, Kikuwi, Bibusanam, Tilawi, Gusi, Hanuman
Tugangga, Pariaban, Janbuana, Anila, Anggada, Anggata, Mahabiru, Karang, dan
Ketula (pelaku cerita pembatu Sri Rama); Surapandaki, Sagasadana, Gangga
Mahasura, Indrajit, Kumbakarna, Badubisa, Patala Maharayan, Laguda Indra,
Sampa Wadini, Mulamatani (pelaku-pelaku pembantu Rawana); Bermaraja,
Raksagandi, Citrabaha,Naruna, Syaksya, Balikasya, Sipanjalma, sardal,
Kemendakata, dan Jamu Menteri, Baliadari, Kisuberisu, Jagini, dan Gigandini
(sebagai pelaku cerita yang netral).
Perwatakan para tokoh dilakukan dengan cara penjelasan langsung oleh
pengarang, prilaku tokoh tersebut, dan dialog tokoh-tokoh lain.
Pengarang memaparkan secara lengsung watak tokoh cerita, misalnya:

Adapun anak baginda yang bernama Sri Rama itu pun besarlah, terlalu maha
elok rupanya, dalam alam dunia ini seorang pun tiada sebagainya. Syahdan lagi
perkasya dan berani. Datanglah usianya baginda kepada tujuh tahun tahun Maka
terlalu sekali nakal. (HSR: 149).
Dari awal pemunculannya, Sri Rama ditampilkan sebagai seorang yang
memang dipastikan akan menjadi penguasa dunia. Dari pihak ibunya, ia anak
dasarata, cucu Maharaja Bisnu (HSR: 264, 278), sedangkan dari ayahnya ia cicit
nabi Adam a alaihissalam (HSR: 140). Baik dari sudut agama Hindu maupun Islam
ia amat berhak menjadi raja dunia. Ini dikemukakan oleh pengarang secara
langsung.
Pemaparan tokoh Sri Rama dilakukan juga melalui prilakunya atau peranannya.
Hal ini tampak misalnya dalam HSR VIII-IX yang menggambarkan bagaimana
gagah dan saktinya Sri Rama. Demikian juga pada HSR XI-XII, XVI-XXIV. Pada
HSR XII Sri Rama tampak prilakunya sebagai seorang guru yang mengajarkan
ajaran raja adil. Mulai HSR XII ini tampak ada perubahan yang substantif dalam
watak Sri Rama. Sebelumnya ia berperan sebagai pahlawan yang bertindak;
sekarang ia menjadi tokoh raja yang memerintah dan dijaga hambanya.
Demikianlah, pengarang memberikan gambaran watak Sri Rama hampir
seluruhnya dilakukan melalui prilakunya. Cara demikian juga dilakukan oleh
pengarang dalam menggambarkan watak Rawana (HSR I, V, X, XVI-XXIV).
Dalam HSR X tampak prilaku Rawana yang sangat sombong sehingga ingin
mengalahkan matahari. ”Aku hendak mengalahkan matahari. Sampaikan aku ke
langit.” (HSR, 217).
Di bagian tertentu yang terbatas, misalnya pada HSR XIX, watak Sri Rama
digambarkan melalui dialog tokoh lain. ”jikalau dipanah tiada membunuh dia, jika
ditikam dengan senjata tiadakan membunuh Sri Rama, jika dibakar tiada hangus,
jika dibuangkan ke air itu pun tiada ia mati, jika kamu beri makan racun pun tiada ia
mati” (HSR: 487-488).
Latar
Kisah Sri Rama berlatarkan kerajaan-kerajaan yang tidak secara eksplisit
disebutkan di mana persisnya. Bahkan nama beberapa kerajaan tidak disebutkan.
Nama-nama kerajaan yang tersebut dalam kisah ini yaitu kerajaan Langkapuri,
Inderapuranegara, Biruhsyapurwa, Mandupuranegara, Darwatipurwa,
Daryapuranegara, Lakurkatakina, Asphaboga. Berdasarkan asal usul cerita HSR,
diperkirakan nama-nama kerajaan itu berasal dari daerah India.
Di samping nama-nama kerajaan, HSR juga menyebutkan nama tempat, yaitu
bukit Serandib. Lokasi persisnya tempat tersebut juga tidak jelas. Kemungkinan
juga berasal dari dari India. Selain itu disebutkan beberapa tempat lain sebagai latar
khusus peristiwa, yaitu bumi, hutan, danau, lautan, dan langit/udara (angkasa),
taman dan kota. ”Maka tatkalala Catayu pun sampailah ke bumi maka ia telentang-
lentang ke langit lalu berkata, ”Ya tuhanku, pertemukan kiranya hambamu dengan
Sri Rama.” (HSR: 238).
Berkenaan dengan latar waktu, dalam HSR ini tidak banyak yang bisa
dikemukakan. HSR memberi kesan bahwa itu tidak merupakan faktor dalam cerita.
Kejadian-kejadian dalam cerita diurutkan tanpa suatu petunjuk kapan terjadi, mana
yang yang terjadi lebih dahulu, mana yang bersamaan, dan mana yang kemudian.
Unsur waktu yang bisa diperoleh dari kisah ini adalah waktu-waktu khusus
kejadian suatu peristiwa cerita, waktu sehari-hari seperti pagi, siang, malam. Selain
itu, kalaupun ada hanyalah penjelas lamanya suatu peristiwa terjadi. Berikut adalah
sebagai contohnya:

Maka dengan kodrat Allah subhana (hu) wa taala itu Nabi Adam pun diturunkan
Allah taala dari dalam syorga, berapa lamanya dalam dunia. Maka sekali
peristiwa Nabi Adam alaihissalam berjalan-jalan pada waktu subuh. Maka
tatkala itu Nnabi Adam pun bertemu dengan Rawanapertapa itu, kakinya
digantungnya ke atas, kepalanya ke bawah. Maka Adam bertanya, ”Hai Rawana
ngapa engkau melakukan dirimu demikian dan berapa lama sekarang?” Maka
sahut Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, lama hamba sekarang baharu dua belas
tahun pertapa demikian ini.” (HSR: 4)
Perlu dikemukakan di sini bahwa rupanya bagi pengarang bilangan dua belas
merupakan angka kesayangan (Ikram, 1980:22). Rawana bertapa dua belas tahun
(HSR: 3), menjadi raja di dalam negeri keindraan, di dalam bumi, di laut masing-
masing selama dua belas tahun (HSR: 8-9). Sita Dewi kawin waktu dua belas tahun
(HSR: 171), ditawan Rawana dua belas tahun (HSR: 615), juga waktu dibuang
selama dua belas tahun (HSR: 749).
Adapun latar sosial yang tampak dalam kisah ini adalah keadaan masyarakat di
lingkungan istana kerajaan. Hal ini tampak pada status para pelaku yang
terkelompokkan atas paduka raja yang disembah dan kawula yang mengabdi.
Maka hari pun malam. Maka Bibusanam menghadap Sri Rama. Maka titah Sri
Rama pada maharaja Sugriwa dan maharaja Bibusanam dan Hanuman, Anila,
Anggada dan hanuman Tugangga, Anggata, Mahabiru, Nola, Nila, Karang,
Ketula dan segala raja-raja dan pada segala hulubalang tiga puluh tiga itu,
”Malam ini kita berjaga karena kita hendak menganugerahi ayapan akan segala
ra’yat.” (HSR: 557).
Seluruh kawula selalu mengabdikan hidupnya bagi kepentingan sang raja
sebagai tuannya.

Maka kata maharaja Bibusanam, ”Jikalau tuan hamba hendak berdatang sembah
pun nanti hari siang karena Sri Rama lagi beradu. ”Maka Indrajit (sangat)
ditegur oleh maharaja Bibusanam maka Indrajit pun undur daripada tempat itu.
Maka maharaja Bibusanam pun tahulah akan Indrajit. Maka oleh maharaja
Bibusanam dihunusnya senjatanya maka ia turun ke tanah mendapatkan Indrajit.
Maka ditegurnya Indrajit katanya, ”Mengapatah maka tuan hamba selaku ini
menghilangkannnn nama segala laki-laki? Adapun Sri Rama dan Laksmana lagi
beradu. Jikalau tuan hamba hendak bertikam marilah dengan hamba karena
hamba seorang juga yuang jaga.” (HSR: 560).
Bahasa Hikayat Sri Rama
Hikayat Sri Rama sebagai bagian dari sastra Melayu, menggunakan bahasa
Melayu sebagai medianya. Dalam mengisahkan hikayat ini, pengarang
menggunakan bahasa seperti orang yang menceritakan sejarah. Apa yang
diceritakan dan digambarkan dari tokohnya adalah apa-apa yang teramati serta
eksistensi kejiwaaan yang tersimpulkan dari prilaku para tokoh. Jadi, bahasa
digunakan sebagai alat pemaparan (ekspositoris). Bahasa yang digunakan berkesan
bahasa lugas, objektif. Bukan bahasa artifisial yang dibuat-buat demi keindahan
cerita. Bahkan untuk menggambarkan watak tokoh yang luar biasa sekali pun,
pengarang lebih memilih kata-kata pembanding yang terbatas.
Adapun anak baginda yang bernama Sri Rama itu pun besarlah, terlalu maha
elok rupanya, dalam alam dunia ini seorang pun tiada sebagainya. Syahdan lagi
perkasya dan berani. Datanglah usianya baginda kepada tujuh tahun Maka
terlalu sekali nakal. (HSR: 149).
Dalam hal penggunaan kosakata, HSR cenderung menggunakan kata-kata yang
sederhana, tanpa banyak variasi atau perbedaan nuansa. Kata henan, misalnya,
digunakan belasan kali dalam pengertian yang berbeda-beda; misalnya,
menunjukkan ’heran’ (HSR: 42), ’kagum’ (HSR: 36), ’tertegun’ (HSR: 143),
’bingung’ (HSR: 202), ’sedih’ (HSR: 677), prihatin’ (HSR: 658). Demikian pula
halnya dengan sukacita dan dukacita. Kesedihan yang sangat mendalam pada suatu
adegan dinyatakan dengan kata-kata sebagai berikut: Maka maharaja Rawana
kembali ke istananya dengan dukacitanya .... empat puluh ari empat puluh malam
dalam percintaan ” (HSR:461) atau dengan menangisnya tokoh-tokoh, umpamanya,
Laksmana ketika melihat Sri Rama telah diculik (HSR: 499).
Dalam HSR, unsur bahasa selain sebagai media untuk mengantarkan cerita, juga
berfungsi sebagai pembentuk struktur cerita. Hal ini ditandai dengan penggunaan
kalimat-kalimat tertentu sebagai judul dan pengawal episode. Dalam episode-
episode awal peperangan mulai HSR XIII sampai dengan HSR XXXII tidak dipisah-
pisahkan oleh kalimat-kalimat yang menandakan episode baru. Namun, Kematian
Indrajit dalam HSR XXII dan kematian Mulamatani, HSR XXIII, diawali oleh
semacam judul yang di sini digunakan untuk menekankan kepentingan peristiwa
tersebut. Pemasangan kalimat-kalimat judul di sini selain sebagai pengantar episode
baru, juga merupakan upaya penonjolan suatu kejadian, walaupun kecil.
Selanjutnya, episode-episode yang berjudul ialah HSR I, II, III, V, VI, X, XI, XII,
XXIII, XXVII, XXIX, dan XXXI dua di antaranya mendapat tekanan khsuus
dengan ditandai oleh kata-kata ”Ini hikayat ...” . kata-kata ini tidak digunakan pada
episode-episode lain. Pada dua puluh episode lainnya kalimat pertama langsung
memasuki cerita, meskipun diantar juga dengan kata-kata khusus seperti hata,
kalakian, berapa lamanya, alkisah, atau kombinasi kata-kata itu. Acapkali hanya
dengan kata yang lebih umum, seperti maka, sudah itu, dan sebagainya.
Hal yang menarik dari penggunaan bahasa Melayu dalam hikayat ini,
setidaknya bagi penulis yang tidak pernah menggunakan (mengenal) bahasa
tersebut adalah bahwa dalam kisah ini sangat sering digunakana kata maka. Berikut
penulis kemukakan dua petikan:

Maka beberapa lamanya maka putri itu pun bunting datang kepada masanya
akan beranak. Maka jadilah anak maharaja rawana seorang laki-laki terlalu baik
rupanya dan maha besar panjang sekali. Maka dinamai maharaja Rawana
Indrajit. Apabila anak raja itu amarah maka keluar kepalanya tiga dan tanganya
enam. Setelah datang umurnya kepada dua belas tahun usianya maka anaknya
itu dirajakan oleh maharaja Rawana (pada negeri) pada negeri keinderaan.
Sudah itu maka maharaja Rawana pun masuk ke dalam bumi maka ia jadi raja
dalam bumi. maka segala raja jin dan sjaitan dalam bumi itu semuhanya dalam
hukumnya. Maka maharaja Rawana beristri mengambil anak raja dalam bumi
bernama putri Pertiwi Dewi. Dengan demikian berapa lamanya maka beranak
seorang laki-laki anaknya itu terlalu elok rupanya lagi gagah (maka) [maka]
dinamai baginda anak itu Patala Maharayan. Maka datang kepada dua belas
tahun usia Patala Maharayan maka dirajakan ayahnya dalam bumi ... (HSR: 8-
9).
Maka Patala Maharayan pun datang. Maka dilihatnya istana Sri Rama tiada
kelihatan karena roma Hanuman. Maka ia naik ke udara maka dilihatnya roma
Hanuman sempai ke uadara, tiada ia beroleh masuk. Maka patala maharayan
pun turun ke bumi lalu masuk ke dalam bumi maka dikelilinginya bumi
dilihatnya roma Hanuman terus ke bawah bumi. Maka ia keluar dari dalam
bumi maka iamenjadikan dirinya hama masuk ke dalam roma Hanuman. maka
dicaharinya istana Sri Rama. Maka Patala Maharayan pun bertemu dengan
istana Sri Rama. Maka dilihatnya para hulubalang berkawal, setengah
mengelilingi istana Sri Rama, setengah di bawah istana Sri Rama. Maka Patala
Maharayan pun pergi. Maka .... (HSR: 492).
Amanat Hikayat Sri Rama

Menurut Ikram (1980: 9), cerita Melayu, khusunya yang tertulis, tidak lepas dari
sifatnya sebagai alat pengajaran. Dalam HSR hal ini tampak pada bagian tertentu
yang beberapa kali muncul, dapat dieknalnya sebagai ’Leitmotif’. ’Leitmotif’ ini
merupakan perumusan dari ajaran etika yang dikemukakan oleh cerita sebagai
keseluruhan, yang terkandung dalam segenap unsur ceritanya. Untuk pertama kali
’Leitmotif’ ini muncul dalam dialog Nabi Adam dan Rawana (HSR: 5-6). Melihat
perjuangan Rawana yang begitu gigih untuk mencapai kemuliaan dan kebesaran,
Nabi Adam meluluskan permohonannya dengan memohonkan kepada Allah dengan
syarat Rawana harus menjadi raja yang baik.

”Sekarang engkau dijadikan Allah taala raja kepada keempat negeri. Bukan
barang-barang kebesaran kauperoleh karena itu kepada seseorang pun belum
ada demikian dianugerahkan Allah taala; baharulah kepadamu juga jikalau
dapat engkau baik kerajaanmu dan ingat engkau menghukumkan karena Allah
subhanahu wa taala, karena dipinjaminya juga kerajaan itu dan berkata benar /
dan jangan kaubinasakan hati ra’yatmu dan teguh-teguh negerimu dengan
kelengkapan dan segala senjatamu dan kasihi segala rakyatmu dengan hukum
sebenarnya dan jangan kaukerjakan barang yang dilarangkan Allah taala.
Sekarang engkau hendaklah berjanji engkau dengan aku apabila kauperbuat
pekerjaan yang salah atau rakyatmu berbuat pekerjaan yang salah
keuperkenankan dan tiada kauhukumkan dengan hukum sebenarnya dengan
segala itu juga engkau dibinasakan Allah subhanahu wa taala. Jika engkau mau
berjanji demikian, maka aku mau memohonkan kehendakmu itu kepada Allah
karena segala raja-raja dunia semuhanya raja pinjaman. Jangan kamu takabur
karena kerajaan kamu dan kebesaran kamu semuhanya semuhanya pinjaman
juga. Jangan kamu seperti aku inilah keluar dari dalam syorga sebab tiada
menurut titah / Tuhanku dan melalui firmanNya. ... (HSR: 5-7).
Amanat yang hampir sama dengan yang dikemukakan Nabi Adam di atas,
antara lain dikemukakan pula oleh Jamumenteri ketika ia akan diangkat menjadi
raja. Pengangkatan itu ditolaknya karena ia merasa tidak dapat memenuhi
persyaratan-persyaratannya (HSR: 18-19). Dari dialog penolakannya sebagai raja,
Jamumenteri mengemukakan tujuh persyaratan sebagai raja. Tidak layak menjadi
raja jika seseorang tidak memenuhi tujuh persyaratan tersebut. Jika dianalisis dan
disusun kembali maka diperoleh tujuh sifat raja yang ideal, yaitu (1) kearifan, (2)
keadilan, (3) kasih, (4) sifat-sifat lahiriah yang menarik, (5) keberanian demi
harga diri, (6) keahlian perang, dan (7) pertapa.
Berikut adalah sekilas penjelasan amanat-amanat tersebut.
Kearifan
Arif diartikan tahu membedakan dan memilih antara yang baik dan yang buruk.
rasa moral yang tinggi seharusnya melandasi semua pikiran dan tingkah laku raja,
bahkan harus menjadi kepribadiannya. Dalam HSR digambarkan, karena kurangnya
sifat arif itu raja dapat berbuat hal yang akibatnya mencelakakan atau membuat
sengsara orang. Rawana yang memperturutkan hawa nafsunya terjatuh dalam
perbuatan yang tidak dapat dibenarkan: menculik Sita Dewi, dan keras kepala,
menolak mengembalikan Sita Dewi bahkan berniat melawan Sri Rama. Dalam
hubungan ini disarankan agar dipertimbangkan baik buruknya suatu perbuatan
sebelum dilakukan. ”Itulah segala raja-raja hendak dengan budi bicara agar supaya
ia sempurna dalam dunia” (HSR: 243), karena ”manusia tiada pernah menyesal
dahulu, kemudian juga ia menyesal”. (HSR: 436, 438).

Keadilan
Dalam HSR keadilan sering disebut bersamaan dengan kasih. Dapatlah
ditafsirkan bahwa keadilan berdasarkan kasih karena dalam hubungan ini raja
adalah penguasa, sedangkan rakyat yang tidak berdaya ada dalam naungannya
(HSR: 243, 285).

Kasih
Sri Rama menasihat kedua saudaranya, ”Jangan tiada mengasihi segala ra’yat
yang teraniaya dan mengasihi segala hamba”. (HSR: 286). Sifat ini mendapat
penekanan yang utama dalam HSR. Raja harus merasa sayang kepada rakyat dan
umat manusia pada umumnya; janganlah ia aniaya kepada siapa pun juga. Rawana
telah melanggar hukum ini ketika melarikan Sita Dewi tanpa ”memeliharakan rasa
segala hambanya”, begitu kata Catayu (HSR: 235).

Sifat-sifat lahriah yang menarik


Anggapan unsur ini penting bagi seorang raja bisa terlihat dari gambaran
beberapa raja. Maharaja Dasarata dikatakan bahwa ia ”terlalu baik parasnya” (HSR:
140). Sri Rama digambarkan sebagai ”terlalu amat elok rupanya, dalam alam dunia
ini seorang pun tiada sebagainya” (HSR: 149). Demikian pula Tabalawi dikatakan
”terlalu elok rupanya” (HSR: 738).

Keberanian demi harga diri


Raja harus disegani oleh sesamanya. Jika tidak, percumalah martabatnya yang
tinggi. Raja wajib berani bertindak jika merasa terhina. Ini dikemukakan oleh
Baliksya ketika, untuk menjaga namanya sebagai raja, ia hendak membalas
kekalahan yang pernah diderita keluarganya dari tangan keluarga raja Syaksya di
masa silam; hanya dengan demikian seorang raja dapat mengharapkan penghargaan
dari sesama raja (HSR: 28-29).

Keahlian perang
Dalam ajaran mengenai perang dan segala sesuatu yang bertalian dengan
keprajuritan menduduki tempat yang penting dalam ’Leitmotif’ ini. Keahlian
perang tidak terbatas pada pemainan senjata, tetapi mencakup juga segala pikiran
yang melatarbelakangi peperangan dan tingkah laku yang bersumber padanya.
Bagi raja, termasuk laki-laki dalam peranannya sebagai prajurit, sebagai
hulubalang, intinya dikemukakan oleh Bermarajadiraja di depan mayat anaknya
yang tewas melawan Sri Rama, ”Baik engkau mati dengan nama laki-laki daripada
akan menyembah sama raja-raja yang dijadikan Dewata Mulia Raya dalam dunia”
(HSR: 215).

Pertapa
Sifat pertapa adalah yang paling menentukan bagi perangai dan sepak terjang
raja. Seorang raja yang selalu berkecimpung dalam kemewahan dan kekuasaan jelas
sangat terbuka jiwanya bagi rasa takabur, tinggi hati, dan lupa. Dengan pertapaan,
yang berarti hidup dalam segala kekurangan, keprihatinan, dan tirakat, kata hikmat
tujuh perkara rahasia [akan] membukakan dirinya”; maksudnya ia akan mencapai
kearifan yang begitu diperlukan dalam jabatannya (HSR: 19). Ia akan menyadari
keterbatasannya sebagai manusia serta menginsafi segala kekuasaannya dan
kekayaannya itu tidak kekal; semuanya bisa hilang begitu saja. Tambahan pula
segala kekuasaan dan kekayaan itu hanyalah pinjaman dari Dewata Mulia Raya
yang justru membawa beban berat sehingga tidak pada tempatnya mereka takabur
dan lupa (HSR, 5-6, 203-204). Kealpaan ini dapat dihindari dengan menjauhkan diri
dari kesenangan dunia. ”Jangan engkau alpa dengan permainan”, tutur Sri Rama
kepada anaknya Tilawi (HSR: 806). ”Jangan lupa lalai dalam kerajaan” (HSR: 285).
”Dunia ini tiada akan sungguh”, semua akan hilang musnah kecuali nama. ”Adapun
nama yang baik itu tiada binasa lagi kekal selama-lamanya dalam dunia dan
akhirat”, pesan Sri Rama kepada adik-adiknya (HSR: 289).
Pada seorang raja, keenam sifat yang lain akan lebih mantap dan pasti dengan
terlaksananya sifat yang terakhir. Begitulah amanat terpenting yang diajarkan HSR
dan dibawakan oleh Sri Rama dan tokoh-tokoh lain.
Beberapa amanat tersebut merupakan amanat utama. Ada beberapa hal lain
sebagai amanat penunjang, yaitu:

Contoh kerajaan
Untuk melengkapi HSR sebagai suatu teladan bagi para raja ada pula dikisahkan
kebijaksanaan Sri Rama dalam mendirikan suatu kerajaan (HSR: 718-730), mulai
dari bentuk ideal sebuah keraton dengan tembok pertahanannya dan perabotannya
semapi kepada cara mencari penduduk yang serba cakap untuk isi negeri.

Hamba setia
Sifat ini dapat dilihat sebagai penopang yang kokoh bagi wibawa raja. Seiring
dengan ketinggian martabat raja, HSR mengajarkan kepatuhan mutlak kepada
semua orang yang mengabdi raja. Ini bukan berarti suatu kepatuhan yang buta;
justru sebaliknya, kepatuhan yang disertai usaha agar tuannya selalu di jalan yang
benar. Hanuman merumuskan penafsiran tentang hamba yang baik sebagai berikut:
”... manikam yang tiada terhargakan itu menteri yang budiman, yang adil acaranya,
dan hamba yang baik menjadikan kerja tuannya ... (HSR: 780).
Aspek Mimesis Hikayat Sri Rama
Karya seni merupakan dokumen sosial (Teuw, 2003:184). Hal tersebut
bermakna bahwa karya seni tidak lepas dan mencerminkan dunia nyata, masyarakat
tempat karya seni itu diciptakan. Pada proses penciptaannya, karya seni tidak dapat
lepas dari kehidupan sosial sebagai sumber inspirasi. Demikian juga, makna karya
seni tersebut, tidak bisa lepas dari penilaian berdasarkan unsur-unsur kenyataan
sosial yang ada.
Pendapat tersebut didasari oleh pandangan Plato. Menurut Plato, tidak ada
pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni: seni yang terbaik lewat
mimesis, peneladanan kenyataan mengungkapkan sesuatu makna hakiki kenyataan
itu. (Teuw, 2003: 181). Selanjutnya, Teuw menjelaskan, bahwa dalam puitika Cina
umumnya aspek mimetik ditekankan: seni, sastra harus meneladani tata semesta,
kebenaran kesejahteraan dan kebenaran kemanusiaan. Ciptaan dalam arti rekaan
murni tidak dianggap seni (Teuw, 2003:183). Jadi jelaslah, sebagai karya seni,
sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan kenyataan sehari-hari.
Sebagaimana, dikemukakan Wellek (1990: 79-153) bahwa ada 4 faktor ekstrinsik
yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yakni: (1) biografi pengarang, (2)
psikologis (proses kreatif), (3) sosiologis (kemasyarakatan), sosal budaya
masyarakat, dan (4) filosofis.
Demikian juga halnya dengan Hikayat Sri Rama (HSR). Pemaknaan hikayat ini
bisa dipahami dengan meninjaunya dari aspek mimesisnya.
Berkenaan dengan hal itu, menurut Ikram (1980: 1) HSR tidak hanya
disenangi pada masa kini, tetapi juga pada masa lampau. Dari zaman ke zaman
cerita ini tidak pernah lepas dari angan-angan nenek moyang kita. Dalam bentuk
sastra masih tersimpan antara lain Kakawin Ramayana berbahasa Jawa Kuno;
Hikayat Sri Rama berbahasa Melayu; Rama Keling, Serat Kanda, dan Serat Rama
gubahan Yasadipura dalam bahasa Jawa Baru. Dalam bentuk pahatan batu, kisah
Rama tersimpan pada relief-relief candi Prambanan dan Panataran. Di Bali pun
pengaruhnya terasa dan tersimpan dalam berbagai bentuk. Semuanya ini meliputi
kurun waktu seribu tahun lebih.
Secara umum diketahui, bahwa cerita Sri Rama berasal dari India. Di tanah
asalnya kisah Sri Rama terdapat dalam berbagai bentuk dengan berbagai bahasa
daerah; berulang-ualng diolah sejak beberapa abad sebelum Masehi sampai zaman
modern. Di antaranya yang paling terkenal dan yang dianggap baku ialah
Ramayana karangan Walmiki.
Di Indonesia, kisah Rama ini menarik perhatian beberapa orang peneliti, antara
H. Kern (1900), Juynboll (1922, 1936), Poerbatjaraka (1940), Manomohan Gosh
(1936), Hooykaas (1958). Khusus mengenai HSR sudah diteliti sejak awal, antara
lain oleh Roorda van Eijsinga (1843), Maxwell (1886), Shellabear (1915), Gerth
van Wijk (1891), Winsteadt (1929) dan Overbeck (1933) (Ikram, 1980:1-2).
Berdasarkan metode penelitian struktur cerita yang dikembangkan oleh Propp
dalam telaahnya mengenai dongeng rakyat Rusia, Ikram (1980) menganalisis HSR
berdasarkan pendekatan sinkronis. Menurut Ikram, cara-cara tersebut dapat
diterapkan juga pada sastra Melayu Lama karena keduanya memiliki banyak ciri
yang serupa (Ikram, 1980: 5). Berkenaan dengan aspek mimesis, sangat sedikit
yang dikemukakannya, meskipun diekmukakannya pula bahwa ”cipta sastra adalah
hasil daripa kumpulan paham serta konvensi yang dianut oleh masyarakat yang
menghasilkan sastra itu pada suatu kurun waktu tertentu”.
Sebagai hasil karya seni manusia, HSR tetap saja mencerminkan kehidupan
masyarakat, paling tidak pada aspek-aspek tertentu. Menurut pengamatan penulis,
dalam HSR, tercermin aspek kehidupan nyata antara lain latar kehidupan sosial
yang melatari kisah ini, alam fisik, alam khayali (metafisik), agama, dan budaya.
HSR yang diteliti oleh Ikram (1980) ini didasarkan pada kisah Rama yang ada
pada Naskah Laud. Kisah ini tergolong naskah Melayu tertua. Jika naskah ini dibeli
oleh Laud pada tahun 1633, sebagaimana tertulis pada catatan kaki naskah, maka
naskah ini merupakan penanggalan yang palin awal dari naskah Rama Melayu
(Ikram, 1980: 72). Naskah tersebut memiliki ketebalan 807 halaman.
Berdasarkan identitas naskah tersebut, HSR ini diciptakan pengarangnya
sebelum abad ke-15 atau ke-16. Pada kurun waktu itu, masyarakat dunia, sedang
dikuasai oleh penguasa-penguasa berstatus raja. Wajarlah jika HSR ini berlatar
sosial masyarakat di sekitar kerajaan (istana centris). Tidak mengherankan jika
kehidupan sosial yang digambarkan adalah kehidupan masyarakat feodal, yang
terdiri dari masyarakat umum yang berstatus sebagai abdi (kawula) di satu sisi,
dengan kelompok penguasa yang bestatus sebagai tuan. Dari dua kategori
masyarakat cerita, yang dominan, bahkan hampir selamanya, berperan adalah
kelompok tuan, pembesar kerajaan (raja-raja, hulubalang, dan kalangan istana
lainnya), masyarakat kawula hampir tidak pernah diceritakan.
Aspek latar cerita lain kisah ini adalah latar fisik cerita. Dalam kisah ini yang
diceritakan adalah istana kerajaan, medan peperangan, kota kerajaan, hutan,
angkasa, dan lautan. Dai aspek-aspek fisik tersebut yang paling banyak menjadi
latar cerita adalah istana kerajaan. Sebagian besar peristiwa yang terjadi pada kisah
ini berlatarkan istana kerajaan.
Sebagai cerita lama, yang masyarakatnya menganut kepercayaan terhadap
dewa-dewa, maka dalam kisah ini banyak kejadian-kejadian yang melampaui batas
akal pikiran manusia saat ini yang dilakoni oleh tokoh-tokoh khayali atau tokoh
metafisik. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain,

Maka dengan kodrat Allah subhana (hu) wa taala itu Nabi Adam pun diturunkan
Allah taala dari dalam syorga, berapa lamanya dalam dunia. Maka sekali
peristiwa Nabi Adam alaihissalam berjalan-jalan pada waktu subuh. Maka
tatkala itu Nabi Adam pun bertemu dengan Rawana pertapa itu, kakinya
digantungnya ke atas, kepalanya ke bawah. Maka Adam bertanya, ”Hai rawana
ngapa engkau melakukan dirimu demikian dan berapa lama sekarang?” Maka
sahut Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, lama hamba sekarang baharu dua belas
tahun pertapa demikian ini.” Maka kata Nabi Adam: ”Hai Rawana apa juga
engkau pohonkan kepada Allah subhanahu wa taala engkau menghalkan dirimu
demikian ini?” Maka sembah Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Allah, jikalau dapat
kiranya hamba pohonkan anugerah Allah taala yang hamba kehendaki itu, maka
mau hamba bersembahkan diakepada tuan hamba” Maka sabda Nabi Adam,
”Hai Rawana kaukatakanlah yang kehendak hatimu itu, kudengar. Mudah-
mudahan dapat kupohonkan kepada Allah subhanahu taala. ”Maka kata
Rawana, ”Ya tuhanku Nabi Adam yang kehendak hati hamba itu jikalau dapat
kiranya hamba pohonkan empat kerajaan kepada / empat tempat. Suatu kerajaan
dalam dunia, kedua kerajaan pada keinderaan, ketiga kerajaan di dalam dalam
bumi, keempat kerajaan di dalam laut”. Maka sahut Adam alaihissalam,
”Jikalau engkau mau berjanji-janjian dan teguh-teguh pada katamu, mau aku
mohonkan kehendakmu itu kepada Allah taala” Maka sembah Rawana, barang
janji tuan hamba hamba turut tiada hambasalahi lamun kehendak hamba ini jadi
hamba peroleh.” Maka ujar Nabi Adam alaihissalam, ”Sekarang engkau
dijadikan Allah taala raja kepada keempat negeri. Bukan barang-barang
kebesaran kauperoleh karena itu kepada seseorang pun belum ada demikian
dianugerahkan Allah taala; barulah kepadamu ... (HSR: 4-5)
Adapun dihikayatkan orang yang empunyai cerita hikayat ini setelah sudah
Rawana dibuangkan ayahnya ke bukit Serandib maka Citrabaha pun beranak
tiga orang. Seorang bernama Kumbakarna, mulanya jadi sepuluh hasta
tingginya tiga hasta lebar dadanya, rupanya menurut rupa nenenya maharaja
Datikawaca raja raksyasya. Hata kalakian datang kepada dua belas tahun
usianya. Kumbakarna jika ia tidur maka ia jaga, tiga bulan lamanya jaga, siang
malam makan kumbakarna itu, tigapuluh tempayan air sekali diminum
Kumbakarna. ... (HSR: 15)
Dua kejadian tersebut merupakan contoh kejadian yang menurut hemat penulis,
tidak bisa diterima akal sehat. Berikut ini adalah ringkasan kejadian-kejadian
sejenis.
Maharaja Dasarata menemukan putri yang sangat cantik yang sedang duduk di atas
parasana buluh betung yang ditebasnya. Sebelumnya, ketika ditetak (ditebas)
oleh abdinya, betung tersebut selalu tumbuh kembali. Putri tersebut kemudian
dinamainya Mandudari dan dinikahinya (HSR: 143)
Kedua istri Maharaja Dasarata, Mandudari dan Baliadari, tidak juga punya anak.
Karena itu, Dasarata meminta anak kepada Maharesi Dewata. Diberi empat biji
geliga. Dua biji diberikan kepada mandudari, dia biji diberikan kepeda
Baliadari. beberapa bulan kemudian, kedua istrinya masing-masing melahirkan
dua orang anak. Mandudari melahirkan Sri Rama dan Laksmana; Baliadari
melahirkan Berdana dan Citradana (HSR: 148)
Mandudari menciptakan Mandudari tiruan ketika dia diminta oleh Rawana kepada
suaminya, Dasarata. Mandudari tiruan itu diciptakannya dari daki yang
dipujanya (HSR: 59).
Hanuman anaka Sri Rama dan Sita Dewi melalui perantara Dewi Anjani. Pada
pengembaraannya di hutan, Sri Rama dan Sita Dewi sempat menjadi kera
karena mencerburkan diri pada kolam sehari bunting. Saat menjadi kera itu,
mereka bersetubuh. Setelah menjadi manusia kembali, diketahui bahwa mereka
akan melahirkan anak berwujud kera. Dipaksalah agar Sita Dewi mengeluarkan
manikam dari tubuhnya. Manikam itu dibungkus Sri Rama dengan daun budi,
kemudian diberikan kepada angin Bayu bata supaya dibubuhkan kepada mulut
Dewi Anjani yang sedang bertapa di tengah laut. Kemudian lahirlah Hanuman
(HSR: 209)
Maharesi Kala menciptakan Gusi (kembaran Tilawi, anak Sita Dewi), dari daun
pucuk ilalang. Gusi diciptakan Maharesi Kala karena Tilawi yang sedang dalam
asuhannya, hilang. Gusi akan diajdikan sebagi pengganti Tilawi. Ternyata
Tilawi menemui ibunya, Sita Dewi (HSR: 738).
Selanjutnya, dalam aspek agama, Ikram (1980: 8) menjelaskan bahwa pada
zaman itu sebagian besar penduduk Sumatra sudah beragama Islam, tetapi setebal
apa keimaan dan sekuat apa sisa-sisa agama Hindu dan kepercayaan pribumi tak
ada gambaran yang jelas. Dalam HSR, misalnya, kita lihat bahwa frekuensi
penggunaan ungkapan ’Dewata Mulia Raya’ jauh lebih tinggi daripada ungkapan
’Allah taala’, Akan tetapi, hal itu mungkin hanya merupakan penyesuaian dengan
suasana cerita saja, bukan bukti kekuatan unsur Hindu yang lebih besar. Kita tahu
pula bahwa di sekitar zaman itulah di Aceh berkembang sastra keagamaan Islam
dengan tokoh Hamzah Fansuri dan Syamsudin; suatu zaman yang merupakan taraf
konsolidasi agama Islam di Indonesia. Juga suatu zaman yang sudah mengenal
cerita-cerita Islam seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Hikayat Amir
Hamzah. Ditinjau secara umum, nilai-nilai yang dikemukakan HSR tak ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam Bahkan ada yang sesuai sekali seperti
kedermawanan yang termasuk amal yang saleh, kesabaran, dan kerendahan hati.
Menurut isinya, hikayat ditujukan kepada raja, tetapi tidak kurang pula unsur
menarik bagi orang kebanyakan sehingga dalam abad ke-19 ia disukai sebagai
bacaan umum di daerah Betawi (Ikram, 1980: 8). Winstead pernah mengemukakan
bahwa naskah Laud sangat boleh jadi ditulis untuk khalayak istana kerajaan Islam
yang masih menyukai cerita Hindu, asal saja isinya disesuaikan dengan persyaratan
Islam (dalam Ikram, 1980: 8).
Berkenaan dengan budaya, dalam HSR ini terungkap kisah tentang pembuatan
jembatan penyeberangan. Jembatan penyeberangan yang dibuat, tidak tanggung-
tanggung, yaitu jembatan untuk menyeberangi lautan dalam upaya menyerang
negeri Langkapuri tempat berkuasanya Rawana yang menculik Sita Dewi.
Meskipun dalam kisah ini, pembuatan jembatan itu dibumbui dengan kejadian-
kejadian yang luar biasa, tetapi sudah menggambarkan adanya upaya, penggunaan
akal budi, guna mencapai tujuan.

Keterkaitan antara Struktur, Bahasa, dan Aspek Mimesis dalam HSR


Keterkaitan antara Struktur dan Bahasa
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa dalam
mengisahkan hikayat ini, pengarang menggunakan bahasa seperti orang yang
menceritakan sejarah. Apa yang diceritakan dan digambarkan dari tokohnya adalah
apa-apa yang teramati. Eksistensi kejiwaaan para tokoh pun tersimpulkan dari
prilaku para tokoh tersebut. Jadi, bahasa digunakan sebagai alat pemaparan
(ekspositoris). Bahasa yang digunakan berkesan bahasa lugas, objektif, bukan
bahasa artifisial yang dibuat-buat demi keindahan cerita.
Dalam HSR, unsur bahasa selain sebagai media untuk mengantarkan cerita, juga
berfungsi sebagai pembentuk struktur cerita. Hal ini ditandai dengan penggunaan
kalimat-kalimat tertentu sebagai judul dan pengawal episode.
Dalam hal penggunaan kosakata, HSR cenderung menggunakan kata-kata yang
sederhana, tanpa banyak variasi atau perbedaan nuansa. Kesederhanaan penggunaan
bahasa tersebut berpengaruh pada penyampaian amanat oleh pengarang melalui
tokoh-tokohnya. Amanat-amanat yang diajarkan HSR tidak hanya disampaikan oleh
tokoh tertentu, tokoh utama atau atau tokoh protagonis, tetapi juga dibawakan oleh
tokoh-tokoh lain secara berulang-ulang. Penekanan amanat dilakukan dengan cara
pengulangan tidak dengan bahasa yang padat dan dalam.
Keterkaitan antara Struktur dan Mimesis
Sebagaimana karya satra lainnya, HSR, terbentuk atas unsur-unsur cerita yang
membangunnya. Mengenai struktur HSR ini sudah dijelaskan secara lengkap pada
bagian yang lalu. Demikian juga sebagai karya seorang sastrawan, HSR tidak
terlepas dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada di sekitar pengarangnya. Ada
keterkaitan yang erat antara struktur (intrinsik) dengan unsur mimesis (ekstrinsik).
Unsur kehidupan nyata atau mimesis (ekstrinsik) dalam HSR tecermin antara
lain terkandung dalam unsur tokoh, latar, dan amanat.
Berdasarkan identitas naskah tersebut, HSR ini diciptakan pengarangnya
sebelum abad ke-15 atau ke-16. Pada kurun waktu itu, masyarakat dunia, sedang
dikuasai oleh penguasa-penguasa berstatus raja. Wajarlah jika HSR ini berlatar fisik
dan sosial lingkungan masyarakat kerajaan (istana centris). Tidak mengherankan
jika tempat-tempat peristiwa berlatar istana kerajaan. Demikian juga kehidupan
sosial yang digambarkan adalah kehidupan masyarakat feodal, yang terdiri dari
masyarakat umum yang berstatus sebagai abdi (kawula) di satu sisi, dengan
kelompok penguasa yang bestatus sebagai tuan. Dari dua kategori masyarakat
cerita, yang dominan, bahkan hampir selamanya, berperan adalah kelompok tuan,
pembesar kerajaan (raja-raja, hulubalang, dan kalangan istana lainnya), masyarakat
kawula hampir tidak pernah diceritakan.
Pada saat itu juga, masyarakat Sumatra, bisa dikatakan berada pada masa
transisi keyakinan akan agama. Agama Islam sedang memasuki tahap konsolidasi,
khususnya di Aceh. Sedangkan agama Hindu memasuki masa meredup. Keadaan
ini tampak pada HSR. Pada kisah ini terdapat tokoh Islam, yaitu Nabi Adam yang
berperan menyampaikan amanat cerita dalam dialognya dengan Rawana. (lihat
HSR: 4-5). Selanjutnya, amanat tersebut meskipun disampaikan sebagai persyaratan
raja yang ideal, pada dasarnya, secara umum, nilai-nilai yang dikemukakan HSR tak
ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam Bahkan ada yang sesuai sekali
seperti kedermawanan yang termasuk amal yang saleh, kesabaran, dan kerendahan
hati.
Adapun alam khayali, bagi masyarakat masa kini, banyak terdapat dalam
peristiwa-peristiwa yang membentuk alur kisah ini. Demikian juga aspek budaya.
Keterkaitan antara Bahasa dan Mimesis
Dalam HSR, bahasa yang merupakan media cerita, juga dipengaruhi oleh aspek
mimesis yang mempengaruhi cerita. Dalam kisah ini frekuensi penggunaan
ungkapan ’Dewata Mulia Raya’ jauh lebih tinggi daripada ’Allah taala’, Akan
tetapi, hal itu mungkin hanya merupakan penyesuaian dengan suasana cerita saja,
bukan bukti kekuatan unsur Hindu yang lebih besar. Kita tahu pula bahwa di sekitar
zaman itulah di Aceh berkembang sastra keagamaan Islam dengan tokoh Hamzah
Fansuri dan Syamsudin; suatu zaman yang merupakan taraf konsolidasi agama
Islam di Indonesia. Juga suatu zaman yang sudah mengenal cerita-cerita Islam
seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, dan Hikayat Amir Hamzah.
HSR yang diteliti oleh Ikram (1980) ini didasarkan pada kisah Rama yang ada
pada Naskah Laud. Kisah ini tergolong naskah Melayu tertua. Naskah ini jelas
menggunakan bahasa Melayu sebagai medianya. Dengan begitu, dari kisah ini kita
bisa memperkirakan bahwa hikayat, yang sudah dipengaruhi oleh agama Islam, pada
masa itu sudah merupakan suatu karya sastra. Hikayat ini terutama ditujukan untuk
masyarakat istana atau raja-raja Islam. Selain itu, ditujukan juga untuk masyarakat
umum. Sebagaimana pendapat Ikram (1980: 8) bahwa menurut isinya, hikayat
ditujukan kepada raja, tetapi tidak kurang pula unsur menarik bagi orang kebanyakan
sehingga dalam abad ke-19 ia disukai sebagai bacaan umum di daerah Betawi.
Aspek mimesis lain yang justru paling penting adalah nilai-nilai kehidupan yang
disampaikan dalam amanat cerita. Asepk ini terungkap dalam HSR dalam beberapa
kali dan melalui beberapa tokoh. Hal ini karena bahasa yang digunakan adalah bahasa
yang ekspositoris dan objektif. Penekanan nilai-nilai kehidupan yang ingin
disampaikan dilakukan cara pengulangan, bukan dengan bahasa yang direkayasa.
Akhirnya, secara umum bisa disimpulkan bahwa pengarang cerita ini seakan-
akan ingin mengatakan bahwa kisah dalam HSR ini bukan rekayasa, terutama bukan
rekayasa dirinya (baca: ini kisah yang benar-benar terjadi). Dia menceritakan kisah
ini berdasarkan orang lain. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa yang sederhana,
ekspositoris, lugas dan objektif. Hal ini tampak pula dari penggunaan beberapa
ungkapan seperti : Ini hikayat yang terlalu indah-indah termashur diperkatakan
orang di atas angin dan di bawah angin, nyata kepada segala sastra, ..., Alkisah ini
diceritakan oleh orang yang empunya cerita ini ..., Adapun dihikayatkan orang yang
empunya hikayat ini ..., Ini hikayat ...., Datanglah kepada hikayat ....
Daftar Pustaka

You might also like