You are on page 1of 10

ABSTRACTION

Siti Qurroti A’yun, 2008.


ANALOGY
M. Faizin, M. Ag.
The Working Paper of Logic

In the knowledge of Logic, there are deductive logical reasoning process and
inductive logical reasoning process. Generally, the deductive logical reasoning
process is a logical reasoning process from common to specific. The other way, the
inductive logical reasoning process is a logical reasoning process from specific to
common.
The inductive logical reasoning process could be done by several techniques like
generalisation, analogy, causality, hypothesis and theory. In this working paper, I
describe one of the techniques, the analogy technique. Analogy is one of the logical
reasoning process from a phenomena to other likely phenomena. What would
happened in one phenomena will be happened in other phenomena. Therefore, in
analogy must contained of main phenomenon to be based of analogy, the prinsipal
similarity wich be binding agent, and the phenomena will be analogy.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam membuat sebuah perbandingan, orang mencari persamaan dan
perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Jika dalam perbandingan
itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat
perbedaannya, maka timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang
berbeda.
Pada proses analogi ini tentunya melibatkan sebuah pengalaman,
berangkat dari suatu fenomena yang sudah kita ketahui menuju fenomena
serupa dalam hal-hal yang pokok. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan
akan terjadinya kekeliruan besar. Bisa saja karena tidak memenuhi syarat atau
tidak dapat diterima, meskipun sepintas sulit bagi kita untuk menunjukkan
kekeliruannya.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui analogi secara benar
agar tidak terjadi kekeliruan dalam membuat analogi. Dalam makalah ini kami
mencoba menjelaskan analogi dan beberapa hal yang berhubungan dengan
analogi berdasarkan beberapa referensi sehingga diperoleh suatu pemahaman
yang utuh.

B. Rumusan Masalah
Membicarakan proses penalaran analogi tentunya tidaklah cukup jika
semua dituangkan dalam makalah ini sehingga kami hanya membatasi
penjelasan kami pada:
1. Pengertian analogi
2. Macam-macam analogi
3. Cara menilai analogi
4. Kesesatan analogi

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Logika
2. Menjelaskan tentang analogi dan ruang lingkupnya

2
3. Diharapkan mahasiswa mampu memahami konsep analogi dengan
benar
4. Diharapkan mahasiswa mampu menerapkan proses penalaran analogi
dengan benar

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kajian Teoritis
1. Pengertian Analogi
Analogi dalam bahasa Indonesia adalah kias (Arab: Qasa=mengukur,
membandingkan).1 Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba
membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya
dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang
pertama.2 Sedangkan dalam kitab Imam Ghozali disebutkan3
‫قياس بيان المعانى المفردة ووجوه دال لة االءلفاظ عليها‬
Berbicara mengenai analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan. Dua hal yang berlainan tersebut dibandingkan. Jika dalam
perbandingan itu hanya diperhatikan persamaannya saja tanpa melihat
perbedaannya, maka timbullah analogi, yakni persamaan di antara dua hal
yang berbeda.
Analogi merupakan salah satu teknik dalam proses penalaran induktif.
Sehingga analogi kadang-kadang disebut juga sebagai analogi induktif, yaitu
proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis
kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama
akan terjadi juga pada fenomena yang lain. 4 Persamaan hanya terdapat pada
anggapan orang saja. Ini dalam kesusastraan disebut sebagai metafora. Oleh
karena orang yakin bahwa sebetulnya memang hanya anggapan saja, kerap
kali dipakai kata seakan-akan atau seolah-olah. Yang demikian ini bukanlah
analogi sebenarnya, hanya seolah-seolah. Bisa dikatakan analogi jika
pengertian itu menunjuk perbandingan dalam realitas.5
Analogi, pertama kali dipakai oleh para sahabat ketika mereka
berselisih pendapat dalam pemilihan Abu bakar sebagai Khalifah. 6 Dalam
hukum Islam, analogi disebut sebagai Qiyas. Para sahabat menyetujui
1
R. G. Soekadijo, Logika Dasar: Tradisional, simbolik, dan induktif, (Jakarta: PT Gramedia, 1983),
hlm. 139.
2
W. Poespoprodjo & T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), hlm. 179.
3
Imam Ghozali, Tahafutu al-Falasifah, (Mesir: Darul Ma’arif), hlm. 130.
4
Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 157.
5
R. Poedjawijatna, Logika Filsafat Berfikir, (Jakarta: Rineka Cipta), hlm. 40.
6
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis; Studi perbandingan
Hukum Islam, (Yogya: PT Tiara Wacana), hlm. 107.

4
penggunaan analogi. Demikian juga para Fuqaha. Masalah analogi telah
menyebabkan banyak sekali pertentangan. Pengaturan mengenai
penggunaan analogi dalam pembuatan pertimbangan hukum merupakan
salah satu sebab yang menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam antar
sesama Fuqaha.7

2. Macam-macam analogi
a. Analogi Induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan
persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan
bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena
kedua.8 Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat
bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima
berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang
khusus yang diperbandingkan.9 Misalnya, Tim Uber Indonesia mampu
masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka tim Thomas
Indonesia akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
b. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau
menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan
sesuatu yang sudah dikenal.10 Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide
baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan
hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai. 11 Misalnya, untuk
penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala
negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk
mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan
hati.

3. Cara Menilai Analogi


7
Ibid, hlm. 108.
8
Mundiri, Op. Cit., hlm. 159.
9
W. Poespoprodjo, Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Bandung: Pustaka Grafika,
1999), hlm. 243.
10
Mundiri, Op. Cit., hlm. 160.
11
W. Poespoprodjo, Op. Cit., hlm. 243.

5
Untuk menguji apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya,
dapat kita gunakan analisa berikut:12
a. Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan.
Semakin banyak peristiwa sejenis yang dianalogikan, semakin besar
taraf kepercayaannya. Misalnya, suatu ketika saya mengambil mata
kuliah Logika dengan dosen bapak Faizin dan ternyata beliau murah hati
dalam memberikan nilai kepada mahasiswanya, maka atas dasar analogi,
saya bisa menyarankan kepada teman saya, si B, untuk memilih bapak
Faizin sebagai dosen mata kuliah logikanya. Analogi saya menjadi lebih
kuat setelah B juga mendapat nilai yang memuaskan dari bapak Faizin.
Analogi menjadi lebih kuat lagi setelah ternyata C, D, E, dan F juga
mengalami hal serupa.
b. Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi.
Semakin banyak aspek yang menjadi dasar analogi, semakin besar taraf
kepercayaannya. Misalnya, tentang flashdisk yang baru saja saya beli di
sebuah toko A. Bahwa flashdisk yang baru saya beli tentu akan awet dan
tidak mudah terserang virus karena flashdisk yang dulu dibeli di toko A
juga demikian. Analogi menjadi lebih kuat lagi misalnya diperhitungkan
juga harganya, mereknya, dan kapasitasnya.
c. Sifat dari analogi yang kita buat. Semakin rendah taksiran
yang dianalogikan, semakin kuat analogi itu. Misalnya, Ahmad yang
duduk di kelas unggulan di SLTP Harapan Bangsa dapat menyelesaikan
50 soal matematika dalam waktu 60 menit. Kemudian kita
menyimpulkan bahwa Olivia, teman satu kelas Ahmad juga akan bisa
menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 60 menit, analogi
demikian cukup kuat. Analogi ini akan lebih kuat jika kita mengatakan
bahwa Olivia akan menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 50
menit, dan menjadi lemah jika kita mengatakan bahwa Olivia akan
menyelesaikan 50 soal matematika dalam waktu 75 menit.
d. Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda
pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas
unsur-unsurnya yang berbeda, semakin kuat analogi itu. Misalnya, kita
menyimpulkan bahwa Fahri adalah mahasiswa yang pandai karena dia
12
Mundiri, Op. Cit., hlm 161.

6
berhasil menjadi delegasi untuk dikirim ke Mesir. Analogi ini menjadi
lebih kuat jika dipertimbangkan juga perbedaan yang ada pada para
delegasi sebelumnya, A, B, C, D dan E yang mempunyai latar belakang
yang berbeda dalam ekonomi, pendidikan SLTA, keluarga, daerah,
pekerjaan orang tua, toh kesemuanya adalah mahasiswa yang pandai.
e. Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila
masalah yang dianalogikan itu relevan, maka semakin kuat analogi itu.
Bila tidak, analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal. Analogi yang
relevan biasanya terdapat pada peristiwa yang mempunyai hubungan
kausal. Misalnya, kita tahu bahwa sambungan rel kereta api dibuat tidak
rapat untuk menjaga kemungkinan mengembangnya. Bila kena panas, rel
tetap pada posisinya. Maka ketika hendak membangun rumah, kita
menyuruh tukang untuk memberikan jarak pada tiap sambungan besi
pada rangka rumah. Disini kita hanya mendasarkan pada suatu hubungan
kausal bahwa karena besi memuai bila kena panas, maka jarak yang
dibuat antara dua sambungan besi akan menghindarkan bangunan dari
bahaya melengkung.

4. Kesesatan Analogi
Disamping faktor-faktor tersebut di atas, yang bisa disebut faktor-
faktor obyektif, juga ada faktor-faktor subyektif, yang mempengaruhi tinggi
rendahnya probabilitas analogi. Faktor subyektif itu terletak pada diri
manusia yang berpikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat
pribadi dan tidak disadari.13
Kesalahan dalam membuat analogi bisa terjadi karena beberapa hal.
Pertama, tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat menarik konklusi, sedang fakta-
fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup mendukung konklusi itu. Kedua,
kecerobohan, kesimpulan yang ceroboh terjadi karena mengabaikan adanya
faktor-faktor analogi yang penting. Ketiga, prasangka, prasangka membuat
orang tidak mengindahkan fakta-fakta yang tidak cocok dengan konklusi.
Keempat, memaksa, menjadikan ide agar terlihat benar dengan cara
membandingkannya dengan ide lain yang sesungguhnya tidak mempunyai
hubungan dengan ide yang pertama tadi.
13
R. G. Soekadijo, Op. Cit., hlm. 141.

7
Analogi yang pincang karena hal-hal tersebut di atas amat banyak
digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan
pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena
sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap
pendengar.14

B. Analisis Kritis
Secara umum, analogi merupakan proses penalaran dengan cara mencari
persamaan di antara dua hal yang berbeda. Analogi banyak dimanfaatkan
sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya
disebut perumpamaan atau persamaan. Secara tidak sadar, sebenarnya kita
sangat sering menggunakan analogi. Tidak sedikit orang yang menggunakan
analogi dalam memberikan penjelasan, karena dengan analogi maksud dan
tujuan lebih mudah untuk diterima. Begitu juga dalam pembelajaran.
Seringkali pendidik menggunakan analogi dalam menyampaikan pelajaran
kepada peserta didik.
Sebelum saya menyusun makalah ini, saya kurang menyadari akan
penggunaan analogi yang kerap kali digunakan. Kemudian ketika saya
menyusun makalah berjudul Analogi ini, saya menjadi lebih tahu mengenai
analogi dan macam-macamnya. Semenjak itulah saya mencoba
memperhatikan dosen-dosen saya dengan seksama ketika mereka berbicara,
menjelaskan materi kuliah, ternyata tidak sedikit dosen yang menggunakan
analogi.
Setelah jauh memahami analogi ternyata tidak semua analogi itu bisa
diterima atau dipercaya begitu saja. Oleh karena analogi ini banyak
dimanfaatkan dalam sebuah penjelasan dan sangat efektif pengaruhnya
terhadap pendengar, maka perlu diketahui mana analogi yang sesuai aturan
dan mana analogi yang timpang. Analogi yang timpang, dalam beberapa buku
disebut sebagai analogi palsu atau kesesatan analogi atau analogi yang
pincang. Kekeliruan dalam analogi disebabkan oleh beberapa faktor, baik
faktor subyektif maupun faktor obyektif. Faktor subyektif itu terletak pada diri
manusia yang berpikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat
pribadi dan tidak disadari. Misalnya karena tergesa-gesa, kecerobohan,
14
Mundiri, Op. Cit., hlm. 167.

8
prasangka, atau terlalu memaksakan dalam membuat analogi. Sedangkan
faktor obyektifnya ada beberapa macam. Faktor obyektif ini dapat digunakan
sebagai alat ukur probabilitas suatu analogi. Pertama, Sedikit banyaknya
peristiwa sejenis yang dianalogikan. Kedua, Sedikit banyaknya aspek-aspek
yang menjadi dasar analogi. Ketiga, Sifat dari analogi yang kita buat.
Keempat, Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada
peristiwa yang dianalogikan. Kelima, Relevan dan tidaknya masalah yang
dianalogikan.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut maka bisa diketahui
apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat untuk dipercaya atau malah
sebaliknya, analogi yang dihasilkan adalah analogi yang pincang.
Akhirnya, perlu diketahui bahwasanya pengetahuan mengenai analogi
penting untuk dikaji dalam rangka menghindari kekeliruan dalam membuat
analogi. Karena analogi yang salah bisa menyebabkan pemahaman yang salah
terhadap fenomena yang dianalagikan. Analogi yang pincang amat banyak
digunakan dalam perdebatan maupun dalam propaganda untuk menjatuhkan
pendapat lawan maupun mempertahankan kepentingan sendiri. Karena
sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif pengaruhnya terhadap
pendengar.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

9
Dalam membuat sebuah perbandingan, orang mencari persamaan dan
perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Jika dalam perbandingan itu
orang hanya memperhatikan persamaannya saja tanpa melihat perbedaannya,
maka timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda. Analogi
adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar
dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan
dengan gagasan yang pertama. Ada dua macam analogi, yaitu analogi induktif dan
analogi deklaratif. Untuk menguji apakah analogi yang dihasilkan cukup kuat
untuk dipercaya, dapat kita gunakan beberapa analisa berikut. Pertama, Sedikit
banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Kedua, Sedikit banyaknya aspek-
aspek yang menjadi dasar analogi. Ketiga, Sifat dari analogi yang kita buat.
Keempat, Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada
peristiwa yang dianalogikan. Kelima, Relevan dan tidaknya masalah yang
dianalogikan.
Analogi yang pincang amat banyak digunakan dalam perdebatan maupun
dalam propaganda untuk menjatuhkan pendapat lawan maupun mempertahankan
kepentingan sendiri. Karena sifatnya seperti benar, analogi ini sangat efektif
pengaruhnya terhadap pendengar. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai analogi
penting untuk dikaji dalam rangka menghindari kekeliruan dalam membuat
analogi. Karena analogi yang salah bisa menyebabkan pemahaman yang salah
terhadap fenomena yang dianalagikan.

C. Saran
Demikianlah pembahasan mengenai analogi. Hendaknya para pembaca lebih
teliti dalam membuat suatu analogi agar tidak diperoleh analogi yang pincang.
Makalah ini tidak lebih hanyalah suatu kumpulan pemikiran dan teori dari
berbagai sumber. Kami menyadari malakah ini masih jauh dari sempurna, maka
saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan. Semoga bermanfaat
untuk para pembaca.

10

You might also like