You are on page 1of 3

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM

Nama: Siti Qurroti


A’yun
NIM: D01207214

1. Belum tercapainya kualitas guru


 Seharusnya: Para guru mempunyai kompetensi paedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial.
 Senyatanya: Sebagian besar guru menjadikan profesi guru sebagai
sarana untuk mengeruk keuntungan materi. Ambisi utama dan
perhitungan pentingnya adalah untung rugi materi; guru mengeluhkan
nasibnya yang buruk. Ia pesimis pada saat temannya optimis dan telah
meraih kedudukan tinggi; guru tidak mengenal kemuliaan mengajar,
tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan; guru kehilangan
ghirah, guru merasa bahwa tugasnya hanya mengajar, atau
menerangkan komposisi sesuatu dan teori-teorinya; guru memikul
beban mengajar karena terpaksa, bukan karena pilihan sukarela. Dia
tidak mendapatkan pekerjaan lain selainnya, atau karena ia ingin
menetap di daerahnya dan inilah satu-satunya pilihan untuknya.
2. Perguruan Tinggi Agama Islam mulai diragukan out putnya
 Seharusnya: PTAI mampu bersinergi dengan pesatnya perubahan
budaya.
 Senyatanya: Lulusan PTAI terlalu sempit dalam spesialisasinya atau
sebaliknya terlalu luas pengetahuannya tanpa fokus, sehingga dua-
duanya tidak siap masuk ke dalam bidang-bidang baru yang
menentukan kemampuan nasional untuk bersaing.
3. Belum terlaksananya peran pendidikan
 Seharusnya: Pendidikan mampu menyiapkan sumber daya manusia
yang mampu berpikir secara mandiri dan kritis. Salah satu upaya untuk
mengembangkan kemampuan tersebut adalah dengan mengembangkan
pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya
menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan.
 Senyatanya: Meskipun di Indonesia ditetapkan kebijakan kurikulum
berupa KBK kemudian KTSP yang berbasis pendidikan partisipatif,
namun pada praksisnya keterlibatan peserta didik masih sebatas
sebagai pendengar, pencatat, dan penampung ide-ide pendidik. Selain
itu, metodologi pendidikan Islam yang selama ini berlangsung masih
mengedepankan pendekatan indoktrinasi yang akhirnya akan
melahirkan sikap dogmatis yang ekstrim dan bukan pendekatan
partisipatoris.
4. Peserta didik yang pasif
 Seharusnya: Keaktifan lebih dibebankan kepada peserta didik,
sedangkan pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator. Oleh
karena itu, perlu persiapan materi yang matang bagi peserta didik
sebelum menerima materi dari guru yaitu dengan membaca sendiri
sehingga ketika di kelas siswa tidak blank.
 Senyatanya: Peserta didik malas untuk melakukan persiapan itu.
5. Tidak adanya sintesa antara perguruan tinggi dengan pesantren
 Seharusnya: Ada sintesa, konvergensi atau sinergisitas antara
perguruan tinggi dengan pesantren.
 Seharusnya: Kedua institusi tersebut sudah terlanjur dikembangkan
dalam wacana keilmuan yang dualisme-dikotomik. Perguruan tinggi
mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan ditambah dengan
pengayaan di bidang skill tetapi minus pengayaan moral. Sedangkan
pesantren mempunyai keunggulan dari sisi moralitas tapi minus tradisi
rasional.
6. Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang
dimilikinya masih dipertanyakan
 Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai
pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan.
 Senyatanya: Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam
cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah,
NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam.
7. Potensi pendidikan Islam belum menjadi kekuatan aktual
 Seharusnya: Pendidikan Islam menjadi kekuatan aktual.
 Senyatanya: Umat Islam yang kaya dengan lembaga-lembaga
pendidikan belum memiliki lembaga riset dan pengembangan
pendidikan Islam yang tangguh dan mumpuni.
8. Pendidikan Islam tampak lebih mementingkan ranah kognitif peserta didik dan
kurang menekankan pada ranah afektifnya
 Seharusnya: Seimbang antara ranah kognitif dan afektif.
 Senyatanya: Guru lebih menekankan tercapainya materi ajar secara
kuantitatif dari pada menanamkan nilai agama kepada anak sebagai
kerangka spiritual dan pedoman moral untuk menatap masa depannya.
9. Pergeseran orientasi PTAI
 Seharusnya: PTAI berjalan mengikuti zaman.
 Senyatanya: Lembaga pendidikan Islam tingkat dasar dan menengah
telah bergerak mengikuti arus zaman namun PTAI masih jalan di
tempat.
10. Sistem pendidikan kita yang keliru
 Seharusnya: Sistem pendidikan kita mampu mensinergikan antara
kepentingan individu dengan aspek tanggungjawab kemasyarakatan.
 Senyatanya: Sistem pendidikan kita lebih menekankan peningkatan
kualitas individu secara optimal dan mampu berkompetisi dengan yang
lain, lebih menekankan learning to know, learning to do, learing to be,
dan kurang mengarah ke learning to live together. Nilai-nilai
kooperatif dan kolaboratif sebagai karakteristik dari masyarakat
patembayan sudah mulai ditinggalkan.
11. Pengembangan kurikulumnya terjebak pada pengembangan subyek akademik
semata
 Seharusnya: Mampu memproduk pemikiran baru.
 Senyatanya: Di PTAI agaknya belum pernah muncul Ushul Fiqh atau
Qawa’id al-Fiqhiyah, ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits, Ilmu Kalam
dan sebagainya yang baru. Yang ada hanya terbatas pada upaya
melestarikan dan mempertahankan produk pemikiran Ulama terdahulu.

You might also like