You are on page 1of 9

CATATAN FESTIVAL DRAMA REALIS REMAJA SE-EKS

KERESIDENAN SURAKARTA 27-30 DESEMBER 2009


(mendidik generasi muda pelajar melalui pertunjukan teater)
Oleh: Afrizal Harun

PENDAHULUAN
Hari begitu mendung, walau rintik sudah meneteskan titik
airnya pada kepala, tepat di depan Teater Kecil ISI Surakarta pada
hari Senin, 27 Desember 2009. Terdapat layar screen di luar gedung,
mungkin saja, apabila penonton begitu sesak maka masih bisa
melihatnya di luar gedung. saya sempat menyaksikan atraksi Jimbe
dari mahasiswa ISI Surakarta, kemudian bergegas mengisi buku
tamu dan menerima sebuah hadiah dari seorang gadis cantik berupa
booklet rangkaian kegiatan Festival. Saya langsung menuju pintu
sebelah kanan, duduk di deretan bangku nomor tiga dan dengan
tenang saya mulai mempersiapkan diri, mengamati dialog dua MC
yang menceritakan rangkaian acara festival dan tujuan kenapa
acara ini diselenggarakan. Saya membuka booklet kegiatan, dan
melihat isi pengantar dari Rektor ISI Surakarta bapak Prof. Dr.
Slamet Suparno, S.Kar, MS yang berbunyi secara ringkas “saya
menyambut baik atas diselenggarakannya lomba/festival Drama
Realis Remaja se-Solo Raya tahun 2009, menyampaikan
penghargaan kepada panitia festival dan para peserta yang sudah
berpartisipasi dan berharap agar kegiatan ini merupakan titik awal
bagi adik-adik mahasiwa khususnya UKM Teater Jejak Institut Seni
Indonesia Surakarta” dan sambutan dari ketua panitia yang berbunyi
secara ringkas yaitu “dapat kita sadari, bahwa untuk memajukan
apresiasi teater tidak cukup dengan wacana, akan tetapi perlu
dilakukan kegiatan aktif, semoga festival ini selain menjadi wacana
juga dapat memajukan apresiasi dan menjadi saksi dari dinamika
perkembangan seni teater ditingkat SMA dan se-derajat”. Sebagai
penonton yang baru pertama kali menyaksikan festival teater dalam
konteks drama realis remaja, menilai isi dari pengantar dan
sambutan ini memiliki suatu harapan besar dalam memajukan seni
dan budaya di kota Solo, khususnya teater.

1
SEDIKIT KRITIK PERTUNJUKAN, SEMOGA BERMANFAAT
Penampilan pertama, dari SMA N 1 Slogohimo dengan nama
kelompok Teater Awan Hijau. Kelompok ini membawa naskah “Les
Chaises” karya Eugene Ionesco adaptasi “Kereta Kencana” W.S
Rendra. Yang di sutradarai oleh Heru Purwoko. Umi Rohmah sebagai
nenek dan Tarjo sebagai kakek. Sebuah naskah absurd yang diusung
dalam tema Festival Drama Realis ini, menceritakan tentang dua
orang (kakek dan nenek) telah berusia ratusan tahun, dua orang
yang kesepian dan tidak memiliki anak, dua orang yang memilki
kejayaan masa lalu namun di masa tuanya hanya bisa berkhayal
agar kematian yang segera mejemput mereka berdua dapat menjadi
sesuatu yang bermakna, namun tetap saja absurd. Dari pertunjukan
ini, saya melihat kurangnya suatu pendalaman terhadap proses
akting yang dilakukan di atas panggung sehingga terkesan dialog-
dialog yang dimunculkan sangat tergesa-gesa, karakter, gestur dan
vokal yang coba dieksplorasi tidak tampak hadir secara maksimal. Di
tambah dengan unsur pencahayaan yang sama sekali tidak
mencerminkan penegasan dramatik pertunjukan. Ada satu momen
yang membuat saya tertawa geli waktu itu yaitu, terjadinya sebuah
kecelakaan teknis di atas panggung yaitu copotnya kumis tokoh
kakek sehingga membuyarkan seluruh impresi yang sudah saya
bangun dari awal ketika menyaksikan pertunjukan ini.
Pertunjukan kedua yaitu dari kelompok Teater Ngilir yang
berasal dari SMA N 1 Karanganyar. Naskah yang mereka bawa
berjudul “Pesta Terakhir” karya Ratna Sarumpaet, sutradara Dukul
Wahyu Nugroho. Pertunjukan ini menceritakan tentang
penghormatan terakhir terhadap pemimpin otoriter dengan nama
pak Sepuh yang tidak dihadiri oleh siapapun kecuali anaknya
bernama Haryati dan beberapa pelayan, mandor, sahabat dan
kenalannya. Dengan keteguhan hati, Haryati tetap bersikukuh untuk
tidak mensemayamkan bapaknya, sebelum orang-orang datang
menghadiri upacara penghormatan tersebut. Pertunjukan dengan
durasi 50 menit ini, sedikit memberikan warna lain dengan
menghadirkan suasana yang cukup realis, dengan menghadirkan
sett panggung yang sugestif sehingga penonton dapat memahami
kalau itu adalah suasana penghormatan terakhir sebelum jasad
dimakamkan. Dari awal sampai akhir pertunjukan, saya mengamati
hampir seluruh pemain seperti tidak merasa punya beban di atas
panggung. Hal ini sebenarnya cukup membahayakan juga, karena
dalam sebuah pertunjukan teater dengan membawa naskah
realisme, bukan berarti tidak ada stilisasi di dalamnya, tetap harus
dilakukan karena sesuatu yang dimunculkan oleh aktor/aktris harus
tertangkap dengan baik oleh penonton sehingga dialog-dialog,
ekspresi, movement dan gestur yang dihadirkan betul-betul menjadi
ruang komunikasi efektif antara panggung dan penonton. Hal inilah
yang tidak terjadi dalam pertunjukan ini, hampir semua aktor asyik
bermain dengan dirinya di atas panggung, mereka lupa bahwa
pertunjukan mereka disaksikan oleh ratusan mata yang disebut
penonton. Sehingga dari hal tersebut, pertunjukan kurang
memberikan impression (kesan) dari apa yang sudah ditampilkan di
atas panggung.
Pada hari Selasa, 28 Desember 2009, seperti biasa saya hadir
sebagai penyaksi Festival Drama Realis yang diselenggarakan oleh
UKM Teater Jejak ISI Suirakarta ini. Terdapat tiga pertunjukan pada
malam itu yaitu Teater Biroe dari SMA Pagudi Luhur St. Yosef dengan
mengangkat naskah berjudul “Pada Suatu Hari” karya Arifin C Noer
dengan sutradara Didik Panji. Pertunjukan ini, memberikan
paradigma yang sama dari apa yang saya pahami dari sebuah
pertunjukan teater yang berangkat dari naskah-naskah realisme.
Ada well made play (drama yang dibuat dengan baik) di dalamnya.
Dengan penggambaran karakter yang jelas, perkembangan kejadian
yang diatur secara cermat, penuh kejutan-kejutan logis, memiliki
suspense, tidak artifisial, memilki konflik yang jelas, konvensi
panggung empat dinding, memiliki dramatik, punya detail sett dan
properti dan identifikasi tokoh yang jelas. Sepertinya sutradara
sangat paham apa yang harus dilakukan kepada seluruh elemen
pendukung di atas panggung. Sempat terlintas dibenak saya, kalau
sutradaranya bukan seorang siswa SMA, namun seseorang yang
diminta untuk melatih proses pertunjukan festival ini. Ternyata
dugaan saya benar, setelah semua pertunjukan usai, di luar gedung,
saya diperkenalkan oleh seorang teman dengan sutradara
pertunjukan ini. Bukan siswa SMA, tetapi juga seorang sutradara
yang cukup dikenal di kota Solo. Orangnya begitu asyik diajak
ngobrol, tidak merasa seperti seniman besar yang cenderung
inklusif, dan dia juga pernah membantu teman saya waktu ujian
akhir S2 di ISI Surakarta.

3
Pertunjukan kedua pada malam itu berjudul “Eng Ing Eng”
karya Taat Wihargo, sutradara M. Amiruddin. Dengan nama
kelompok yaitu Teater Gandrung Gusti berasal dari Madrasah Aliyah
Al Azhar. Pertunjukan ini bercerita tentang Wadul anak pak Suro
yang masih berstatus pelajar SMP. Ibunya sudah meninggal. Ketika
ia mengenal cinta, akhirnya ia-pun ingin mengungkapkan rasa
cintanya kepada seorang gadis bernama Senuk. Percintaan
keduanya ditentang oleh bulik Senuk, ketika bulik senuk mengetahui
percintaan mereka secara diam-diam. Wadul-pun akhirnya dihina,
dicaci maki dan diusir. Alasannya adalah bahwa bulik Senuk
mengetahui bahwa Wadul adalah anak pak Suro yang notabene
adalah mantan pacarnya dulu. Wadul melaporkan hal ini kepada
bapaknya, dan mereka berdua mendatangi rumah bulik Senuk.
Keadaan berubah, ketika pak Suro tidak memarahi bulik Senuk
tetapi malah mengembalikan rasa cinta yang hilang selama ini,
anaknya merestui hubungan mereka berdua asal mereka-pun juga
merestui hubungan Senuk dan Wadul. Begitulah sekilas sinopsis dari
pertunjukan ini. Pertunjukan ini, berusaha menembus garis imajiner
yang dibangun antara penonton dan tontonan. Dengan adanya
pergerakan aktor yang keluar dari panggung, sangat memecah
konsentrasi penonton terhadap karakter tokoh yang coba dibangun,
sehingga suasana yang dihadirkan menjadi cair, tidak menimbulkan
sugesti dan impresi di dalamnya. Hal ini, merupakan sesuatu hal
yang fatal dalam pertunjukan realisme, karena pertunjukan realisme
sangat memberikan ketegasan terhadap batas antara pannggung
dan penonton.
Pertunjukan ketiga berasal dari kelompok Teater Tiga SMA N 3
Wonogiri, dengan judul Si Badrun “Kado Buat Nenek” karya Pardyat
Moko, sutradara Pardyat Moko sendiri. Dengan sinopsis pertunjukan
yaitu sendiri itu menyakitkan, kesepian itu menyakitkan, tapi apa
rasanya dilupakan orang-orang yang di cintai, dan ketika saat di
nanti-nanti tiba, orang-orang yang dicintainya tak kunjung datang,
kesedihan semakin menjadi, dan rasa putus asa mulai melanda dan
di saat itu pahlawan pun datang untuk menyelamatkan situasi ini.
Sebuah peristiwa yang sebenarnya menarik untuk disimak, terhadap
situasi orang tua yang berhadapan dengan anak-anak yang tidak
lagi mau mengurus di usia tuanya. Ia akan di masukkan kedalam
Panti Jompo, dan itu-pun diketahui dari kedua orang cucunya yang
kebetulan datang menjenguk perempuan tua yang kesepian tadi.
Ketika anak-anaknya datang maka konflik cerita ini-pun dimulai.
Saya melihat, pertunjukan ini terkesan dua orang laki-laki yang
berprofesi sebagai salesment datang menawarkan produk kepada
seorang perempuan tua yang sedang kesepian, sehingga terjadi
suatu perdebatan. Artinya adalah, di sini tidak kelihatan feel (rasa)
bermain dari tokoh laki-laki, seolah-olah mereka membangun jarak
begitu jauh antara ibu dan anak yang seharusnya mereka harus
dekat, terlihat akrab, intens, dan tidak terkesan artifisial (mengada-
ada). Sehingga dari laku seperti tidak muncul suasana tragik yang
seharusnya diberikan porsi yang menonjol dalam pertunjukan ini.
Pada hari ketiga, hari Rabu 29 Desember 2009 masih dalam
rangkaian Festival Drama Realis yang diselenggarakan oleh UKM
Teater Jejak ISI Surakarta. Pertunjukan pada malam itu diawali
dengan penampilan Teater Lincak SMA N 1 Teras dengan membawa
naskah berjudul “Tidak Penting” karya Bandung Mawasti, sutradara
Doli. Pertunjukan ini mengisahkan tentang hidup yang hanya
sekedar memperkarakan kekonyolan dan mencari bahan untuk
tertawa. Dengan sett minimalis mengandalkan batas imajiner
dengan menggunakan tali, pertunjukan ini cukup menarik juga untuk
di apresiaisi. Terdapat suatu bakat alami yang dimunculkan oleh
para pemain, sehingga pertunjukan realis yang sederhana dan
minimalis ini memberikan suatu penyegaran baru. Namun, kontrol
bermain yang harus diperhatikan dengan baik, sehingga tidak
kebablasan melanggar garis yang berfungsi sebagai dinding imajiner
rumah yang sudah di bangun. Fokus pencahayaan yang cukup
menarik dalam memberikan batas area permainan. Dalam benak
saya, mudah-mudahan saja kesalahan kecil yang bersifat teknis
dapat ditolerir oleh dewan juri yang terhormat.
Penyaji kedua yaitu Teater Bungkus SMA N 2 Wonogiri, dengan
judul naskah “Buruh” karya Dadang Catur. Mengisahkan tentang sisi
kehidupan marginal (kelas pinggiran) yang hidup sebagai buruh.
Namun, sangat banyak sekali tuntutan hidup yang harus dipenuhi,
namun tetap saja tidak bisa merealisasikannya begitulah kehidupan
keluarga Ibu Darsi dalam lakon ini. Ranti anak pertama ingin
menikah dengan pemuda idamannya, sementara si Bungsu ingin
kuliah di Perguruan Tinggi yang murah. Konflik sesama mereka
terjadi, dan akhirnya amarah seorang bapak tidak bisa dipendam. Ia-
pun marah besar sehingga menuntaskan klimaks pertikaian tadi.

5
Sebuah naskah yang bagus, dan juga digarap begitu detail oleh
sutradara. Hampir setiap pertunjukan memberikan suspense-
suspense yang logis, tata sett yang memberikan kesan yang sesuai
dengan tematik naskah, karena memuat detail-detail setting dan
properti kehidupan keluarga miskin, juga aktor, musik, pencahayaan,
pola bloking yang begitu mengalir terkesan tidak terlalu diatur,
akting yang tidak terkesan artifisial sehingga unsur spektakel dalam
pertunjukan ini benar-benar menjadi perhatian sutradara. Itu hal
yang menarik dari pertunjukan ini.
Pertunjukan terakhir pada malam itu, menyuguhkan naskah
berjudul “Opera Dua Cinta” karya Agung Pamuji Adi, sutradara
Yustinus Popo. Sebuah cerita yang merupakan modifikasi dari cerita
klasik William Shakespeare yang berjudul Remeo dan Juliet. Cerita
Romeo dan Juliet gaya Yustinus Popo ini mengisahkan dua orang
remaja yang menjalin cinta, namun hubungan mereka sangat
ditentang oleh orang tua mereka terutama dari Ayah tokoh
perempuan. Prinsip pertunjukan ini murni sebuah hiburan yang
menarik untuk di apresisasi. Pertunjukan ini memberikan satu
bentuk parodi gaya bercinta anak muda pelajar saat sekarang ini
yang sudah dipengaruhi dengan budaya globalisasi yang hedon dan
cenderung bersifat konsumeristik, teori-teori ilmu pengetahuan tidak
dibutuhkan lagi, kecuali pola hidup hura-hura dan tidak lagi
memperhatikan nasehat orang tua. Tidak ada penegasan dan
intensitas karakter akting dalam pertunjukan ini, karena layaknya
kesenian tradisional, ketika ia keluar dari area permainan yang
masih kelihatan oleh penonton ia telah beralih fungsi sebagai
dirinya, dan ketika ia mulai berdialog kembali, maka ia seolah-olah
menjadi tokoh yang ada dalam cerita itu. Para pemusik berada
ditengah-tengah panggung dengan seorang penyanyi cantik sambil
melantunkan irama lagu dan tari-tarian mencoba menyesuaikan
dengan peristiwa dramatik pertunjukan dari awal sampai akhir.
Begitulah Bertold Brecht memberikan batasan efek alienasi di dalam
akting, berbeda dengan konsep Constantin Sergeyev Stanislavsky
dengan konsep inner act (akting yang lahir dari dalam diri) sebuah
persenyawaan tubuh dan pikiran sehingga memberikan batasan
yang disebut to be (menjadi). Sebenarnya pertunjukan ini, tidak pas
dalam tajuk festival drama realis kali ini, harus dibuatkan ruang
festival lain, mungkin saja festival drama eksperimental atau yang
lain sebagainya. Tetapi untuk sebuah kreativitas, dan kerapihan
adegan-peradegan maka pertunjukan ini sangat layak diapresiasi.
Pada hari terakhir, masih dalam rangkaian agenda Festival
Drama Realis, tanggal 30 Desember 2009. Saya-pun kembali hadir
sebagai penyaksi yang baik dalam iven ini. Penampilan pertama
yaitu Teater Trie SMA N 3 Sragen. Menyajikan naskah berjudul
“Pucung” adaptasi “Anak Kandung” karya N. Riantiarno, Pine
Wiyatno. Mengisahkan tentang Pucung yang bertutur tentang rasa
kekeluargaan yang telah tergilas oleh hedonisme dan materialisme
ditengah gelombang kehidupan yang bernaung dalam globalisasi.
Pucung bagi keluarga Mulyana adalah salah satu falsafah hidup bagi
orang Jawa yang terdapat dalam tembang Macapat. Pucung menjadi
pegangan dalam menyikapi tantangan zaman, di mana etika dan
moralitas serta rasa kebersamaan terus terkuras oleh globalisasi.
Begitulah hantaran dalam lakon pertunjukan ini., sudah 25 menit
pertunjukan berlalu, itu artinya saya telat malam ini. Begitulah,
hujan hadir lagi malam itu. Sehingga untuk pertunjukan yang satu
ini, saya tidak berani berkomentar karena takut mengada-ada, lebih
baik kita maklumkan saja dan siapa yang melihat dari awal
barangkali saja dapat berkomentar pada tulisan yang lain.
Pertunjukan kedua, sebagai penampil terakhir dalam
rangkaian Festival Drama Realis yang dilaksanakan oleh UKM Teater
Jejak ISI Surakarta adalah Teater Tenda SMA N 2 Karanganyar,
dengan membawa lakon berjudul “Pada Suatu Hari” karya Arifin C
Noer, sutradara Rahmad M. lakon ini mengisahkan tentang
kecemburuan tokoh nenek kepada nyonya Wenas di suasana ulang
tahun perkawinan emas mereka. Cemburu ini, akhirnya berujung
pada permintaan cerai tokoh nenek pada tokoh kakek. Pada saat
yang sama, Novia datang dan juga menceritakan persoalan
permintaan cerai pada suaminya yang bernama Vito. Melihat situasi
ini, ibu dan bapak mereka tidak mungkin membiarkan hal ini terjadi,
akhirnya keretakan rumah tangga antara ibu dan anak dapat teratasi
dengan baik. Pada awal pertunjukan ini, terkesan dua orang pemain
agak sedikit nervous (bingung, gugup dan grogi), sehingga suasana
pertunjukan belum tercipta dengan baik, karena vokal dialog yang
masih timbul tenggelam. Ketika pada suasana tokoh nenek merasa
cemburu kepada nyonya Wenas, barulah roh pertunjukan mulai
terangkat, sehingga tiap-tiap peristiwa dramatik yang mereka
mainkan sangat dibantu dengan kekuatan ekspresi dan gestur

7
realistik. Inilah pertunjukan yang menurut saya, juga mewakili ciri
well made play dalam realisme. Karena aspek kausalitas,
penggambaran karakter yang jelas, punya ruang surprise dan
suspense, punya dramatik dan lain-lain sangat terasa dalam
pertunjukan ini terutama pengkarakteran yang dilakukan oleh tokoh
nenek, sangat memberikan dinamika terhadap pertunjukan “Pada
Suatu Hari” karya Arifin C Noer ini. Seandainya tokoh nenek
dihilangkan dalam pertunjukan ini, maka well made play dalam
konteks realisme tidak menarik lagi untuk menjadi pembahasan.

PENGUMUMAN DAN PENYERAHAN HADIAH


Para juri Festival yang terdiri dari kalangan seniman dan
akademi teater yaitu Suharyoso SK (ISI Yogyakarta), Tafsir Huda (ISI
Surakarta) dan Hanindawan (Teater Gidag-Gidig-Taman Budaya
Solo), setelah rangkaian pertunjukan usai. Maka mereka bertiga
masing-masing ingin berdebat siapa kira-kira yang layak untuk
menjadi pemenang dalam festival ini. Untuk mengisi waktu luang,
UKM Teater Jejak bekerjasama dengan Bengkel Mime Yogyakarta
membawakan karya Pantomime berjudul “Rudi Go to School” dan
HMJ Teater ISI Yogyakarta dengan membawa karya monolog berjudul
“Sepi” karya Putu Wijaya dengan aktor bernama Feri Kritz.
Penampilan dari dua kelompok ini, memberikan ruang apresiasi yang
menarik bagi kalangan siswa yang menjadi mayoritas penonton
pada malam itu, disamping para guru, seniman, pejabat dan dosen
ISI Surakarta.
Akhirnya, Tafsir Huda, selaku perwakilan Dewan Juri,
membacakan hasil perdebatan mereka yang tidak dapat diganggu
gugat, begitulah gaya festival yang berkonotasi lomba di mana-
mana di Indonesia. Juara Favorit di raih oleh Teater Timboel SMA N 5
Surakarta (Opera Dua Cinta), Artistik terbaik diraih oleh Teater Biroe
SMA Pagudi Luhur St. Yosef (Pada Suatu Hari) dan Teater Bungkus
SMA N 2 Wonogiri (Buruh), pemeran terbaik pria adalah tokoh kakek
(Kereta Kencana) Teater Awan Hijau SMA N 1 Slogohimo, pemeran
terbaik wanita adalah tokoh nenek (Pada Suatu Hari) Teater Tenda
SMA N 2 Karanganyar, penyaji terbaik 3 diperoleh oleh Teater
Bungkus SMA N 2 Wonogiri (Buruh), Penyaji terbaik 2 diperoleh oleh
Teater Biroe SMA Pagudi Luhur St. Yosef (Pada Suatu Hari), dan
penyaji terbaik 1 adalah Teater Tenda SMA N 2 Karanganyar (Pada
Suatu Hari). Setelah semua usai, hanya tinggal kelelahan, mungkin
juga kepuasan, maka semua lampu gedung dimatikan. Di luar
gedung Teater Keci ISI Surakarta, orang-orang melintas entah ke
mana dan untuk tujuan apa? Pikiran itu terlintas dibenak saya,
akhirnya saya-pun kembali menjadi penyaksi untuk sebuah
panggung yang lebih besar, yaitu dunia itu sendiri. Selamat Malam.

Solo, 18 Januari 2010


Penulis adalah Pemerhati Seni dan budaya
Sekarang tinggal di Solo

Alamat Penulis:
PASCA SARJANA ISI SURAKARTA
Jln. Ki Hajar Dewantara No. 19, Kentingan, Jebres, Surakarta.
Telp: 0271-647658-HP: 081266152700-Facebook: Afrizal Harun
e mail: afrizalharun@gmail.com

You might also like