You are on page 1of 13

PENGARUH POTENSI DAN TANTANGAN PAD PASCA PENGESAHAN

UU NO.28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN


RETRIBUSI DAERAH

I. PENDAHULUAN

Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan perubahan yang mendasar
mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah berupa pengaturan
hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi
pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.

Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang


lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini
berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri,
yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi
pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Pemerintah
Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan secara
maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan
dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Tentu saja dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku,
termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang
menjadi unsur PAD yang utama.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar


dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan
retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan
daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang

1
2

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali
atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997. UU No.28 Tahun
2009 yang baru saja disahkan oleh DPR pada 18 Agustus 2009 lalu
diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan
retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting
guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat
perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian
diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan
retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan
akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Lantas, apakah pajak
daerah pasca pengesahan UU No.28 Tahun 2009 secara nyata berpotensi
meningkatkan kemandirian daerah bila dibandingkan dengan UU
sebelumnya? Lalu, apa saja tantangan dalam penerapannya?
3

II. PEMBAHASAN

Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat


dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Otonomi daerah ditujukan untuk
meningkatkan kemandirian daerah yang dindikasikan dengan meningkatnya
pendapatan sendiri (PAD). Pemerintah cenderung menggali potensi
penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub
dan Akoto, 2004). Upaya Pajak ( Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak
daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi)
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-
sumber Pendapatan Asli Daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah
untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan
mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini
adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat
dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.

Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan


otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah
seringkali diukur dengan menggunakan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dimana pajak daerah dan retribusi daerah menjadi komponen PAD yang
memberikan kontribusi yang sangat besar. Pelaksanaan otonomi daerah
direspon secara agresif oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan perda-
perda terkait dengan pajak maupun retribusi daerah. Penelitian Stine (2003)
menunjukkan adanya pertambahan perda pajak/retribusi yang signifikan
dibanding sebelum otonomi daerah. Fakta ini menunjukkan adanya respon
yang sangat agresif untuk segera meningkatkan penerimaan sendiri,
khususnya pajak maupun retribusi daerah.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemberian


kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain
mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum,
sepantasnya juga mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak
daerah. Pajak daerah yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Richard M.
4

Bird memiliki kriteria, yaitu: (1) that easy to administer locally , (2) that are
imposed solely (or mainly) on local resident , (3) that do not raise problem of
‘harmonization’ or ‘competition’ between sub national government or
between sub national and national government.

Selain itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak


harus tetap menempatkan pajak sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi
pajak antara lain: fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter
yaitu bahwa pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan
untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan,
fungsi regulator yaitu bahwa pajak dipergunakan sebagai alat mengatur
untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak ekspor dimaksudkan untuk
mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka
menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.

Mengingat begitu pentingnya peran Pajak Daerah dalam


meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penguatan local taxing power
kemudian dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: menambah jenis
pajak daerah dan retribusi daerah, memperluas basis pajak daerah dan
retribusi daerah yang sudah ada, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat
menjadi pajak daerah, dan memberikan diskresi (keleluasaan) kepada
daerah untuk menetapkan tarif. Disamping itu, tarif maksimum beberapa
jenis pajak daerah juga dinaikkan untuk memberikan ruang gerak yang lebih
fleksibel bagi daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah sesuai
kebijakan dan kondisi daerahnya.

Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65


Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dijelaskan mengenai perbedaan antara
jenis pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang
dipungut oleh Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4
(empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan
5

Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah


Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat
limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang
telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.

Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi


kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Hotel;
(ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak
Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii)
Pajak Parkir. Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya
Kabupaten/Kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber
keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun
2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan
memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria yang
dimaksud adalah:
a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota
yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta
hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang
bersangkutan;
c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum;
d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek
pajakPusat;
e. Potensinya memadai;
f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
h. Menjaga kelestarian lingkungan.

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Kabupaten/Kota


ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari
6

tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya


pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh
Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun


2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak,
yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB &
KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
(BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv)
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
(P3ABT & AP); (v) Pajak Rokok. Pajak Rokok ditetapkan dalam undang-
undang ini sebagai pajak provinsi yang menjadi penyempurna kebijakan dan
peraturan pajak daerah dalam bentuk perluasaan objek pajak daerah. Hasil
penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini
merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok
tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang
kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu
dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak
pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan
kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan
dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan
alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaan Pajak Rokok
dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan
penegakan hukum terkait dengan rokok ilegal.

Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan dengan


penambahan 3 (tiga) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu PBB
Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Jenis pajak yang selama ini
dipungut oleh Pusat, yaitu PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB
memang hampir seluruh penerimaan PBB dan BPHTB telah diserahkan
kepada daerah. Oleh karenanya, pengalihan atas kedua jenis pajak ini
7

menjadi pajak daerah tidak akan banyak berdampak terhadap tambahan


beban masyarakat dan relatif bersifat netral terhadap fiskal nasional.
Sedangkan Pajak Sarang Burung Walet merupakan pajak baru yang dapat
dipungut oleh beberapa daerah apabila memiliki potensi pajak yang
memadai.

Walaupun demikian, pemberlakuan pemungutan pajak baru tersebut


akan dilakukan secara bertahap. BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya oleh
daerah pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan Pajak Rokok dan PBB
Perdesaan dan Perkotaan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada
tanggal 1 Januari 2014. Selama masa peralihan tersebut, Pemerintah
memberikan berbagai fasilitasi yang diperlukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

UU No.28 Tahun 2009 ini paling tidak diharapkan memperbaiki 3


(tiga) hal, yaitu: penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di
bidang perpajakan (local taxing empowerment), dan peningkatan efektifitas
pengawasan. Ketiga hal tersebut diharapkan dapat berjalan secara
bersamaan, sehingga upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dilakukan dengan tetap sesuai dan konsisten terhadap prinsip-prinsip
perpajakan yang baik dan tepat, dan diperkenankan sanksi apabila terjadi
pelanggaran. Langkah-langkah penyempurnaan kebijakan dan peraturan
pajak daerah sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dilakukan dengan
menambah jenis pajak baru, yaitu Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet,
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan, serta Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan penambahan 4
jenis pajak ini, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5
jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota.

UU No.28 Tahun 2009 selain menambah jenis pajak daerah, juga


dikembangkan dalam perluasan basis pajak, antara lain: kendaraan
pemerintah termasuk dalam objek Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
8

Nama Kendaraan Bermotor; seluruh pelayanan persewaan di hotel menjadi


objek Pajak Hotel; dan katering/jasa boga termasuk dalam objek Pajak
Restoran. Pajak Hiburan yang tergolong mewah, tarif pajaknya dapat
ditetapkan lebih tinggi, namun tidak lebih dari 75%. Tarif Pajak Parkir yang
semula 20% dinaikkan menjadi 30% dan tarif Pajak Mineral Bukan Logam
dan Batuan (sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C)
dinaikkan menjadi 25% dari yang sebelumnya 20%. Kenaikan tarif pajak
maksimun juga dilakukan terhadap beberapa jenis pajak provinsi, yaitu Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor yang sebelumnya masing-masing 5%, 10%, dan
5% diubah menjadi masing-masing 10%, 20% dan 10%.

Jika ditilik kembali, UU No.28 Tahun 2009 memang memberikan


kewenangan yang besar kepada daerah untuk memungut sendiri pajaknya
dengan penambahan beberapa jenis pajak daerah baru serta perluasan basis
pajak daerah. Bila dilihat dari sisi otonomi fiskal peraturan ini sama sekali
tidak mempunyai makna apabila tidak disertai dengan kewenangan dalam
penetapan tarifnya. Daerah propinsi yang sebelumnya sama sekali tidak
memiliki diskresi (keleluasaan) dalam penetapan tarif, dalam UU ini diberikan
kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah dengan batasan tarif
minimum dan maksimum.

Pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut akan


mempermudah daerah mengaitkan pengenaan tarif dengan tingkat
pelayanan (the benefit tax-link). Daerah dapat mendesain kebijakan tarif
pajak untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengenakan tarif pajak yang
tinggi untuk meningkatkan kualitas pelayanan, atau menurunkan tarif pajak
untuk menarik investasi ke daerahnya. Melalui penguatan perpajakan daerah
sebagaimana diuraikan di atas, struktur penerimaan daerah akan berubah
dengan peningkatan peranan PAD dalam APBD secara signifikan.
Diperkirakan pada tahun 2011 (tahun pertama pelaksanaan RUU ini secara
efektif) peranan PAD terhadap APBD provinsi meningkat menjadi 63% dari
semula 50% dalam tahun 2009, sedangkan peranan PAD kabupaten/kota
9

akan meningkat menjadi 10% dari semula sebesar 7% dalam tahun 2009.
Secara nasional peranan PAD terhadap total APBD meningkat dari 19%
menjadi 24%. Kondisi tersebut akan semakin baik pada tahun 2014, dengan
asumsi semua daerah telah melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi
dengan menerapkan tarif maksimum yang ditetapkan sesuai ketentuan UU
ini. Peranan PAD terhadap APBD pada tahun 2014 diperkirakan akan
meningkat menjadi 68% untuk provinsi dan 15% untuk kabupaten/kota.
Secara nasional, peranan PAD terhadap APBD tahun 2014 diperkirakan
mencapai 29% dari yang semula hanya 19%.

Selain itu, penambahan pendapatan daerah tersebut sepatutnya pula


harus diikuti dengan peningkatan dan perbaikan good governance dan clean
government, sehingga penggunaan pajak daerah yang dipungut benar-benar
bermanfaat bagi pembayar pajak dan seluruh lapisan masyarakat. Dalam UU
ini, penerimaan beberapa jenis pajak daerah di earmarkarmarking” ini
daerah dipacu untuk secara bertahap dan terus menerus melakukan
perbaikan (sustainable development) kualitas pelayanan publik di daerahnya.
untuk mendanai pengeluaran yang berkaitan dengan pajak yang dipungut.
Sebagai contoh, hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit
10% dialokasikan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan jalan
serta peningkatan sarana transportasi umum. Melalui kebijakan ”e

Namun, upaya optimalisasi sumber-sumber PAD lewat cara intensifikasi dan


ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan mengalami tidak luput dari
tantangan-tangan dalam penerapannya. Dalam jangka pendek, intensifikasi
terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang seyogyanya dilakukan
tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang
memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi
informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak menjadi mutlak
diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini
cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur
pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan
secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan
10

tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.
Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya: baik
dalam hal data wajib pajak atau retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah
tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal.

Penerapan UU ini harus sejalan pula dengan penguatan proses


pemungutan. Upaya yang dapat dilakukan dalam memperkuat proses
pemungutan, yaitu antara lain dengan mempercepat penyusunan Perda,
mengubah tarif, dan peningkatan SDM. Selain itu, diperlukan pula sistem
pengawasan yang mampu mengontrol proses pemungutan maupun alokasi-
alokasi dari penerimaan pajak daerah dalam pembiayaan belanja daerah. Hal
ini dapat ditingkatkan yaitu antara lain dengan melakukan pemeriksaan
secara dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan, menerapkan
sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta
meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.

Kemudian, daerah juga diharapkan mampu Meningkatkan efisiensi


administrasi dan menekan biaya pemungutan pajak daerah. Tindakan yang
dapat dilakukan oleh daerah yaitu antara lain dengan memperbaiki prosedur
administrasi pajak melalui penyederhanaan administrasi pajak,
meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
Selanjutnya, daerah harus meningkatkan kapasitas penerimaan melalui
perencanaan yang lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait di daerah.
11

III. PENUTUP

Pajak daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat


dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah
akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung dengan sumber-
sumber pembiayaan yang memadai. Potensi ekonomi daerah sangat
menentukan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan keuangan
daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Pajak daerah merupakan
sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut,
optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itulah, intensifikasi dan
ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan daerah menjadi sangat
diperlukan.

Berbeda dengan UU sebelumnya (UU No.34 Tahun 2000), UU No.28


Tahun 2009 memberikan kewenangan dan keleluasaan besar bagi
pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya
melalui penambahan beberapa jenis pajak daerah yang baru. Namun
demikian, UU ini juga tidak luput dari masalah penggalian sumber-sumber
pajak daerah dan retribusi daerah yang belum memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Sebagai contoh,
terkait dengan pengenaan pajak rokok, bagi daerah sekelas DKI Jakarta
yang penerimaan pajak daerahnya, dalam hal ini pajak reklame, yang
nilainya jauh signifikan, pemungutan pajak rokok menjadi menjadi kurang
signifikan dalam potensinya meningkatkan pendapatan asli daerah.
Memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang kurang
menguntungkan saat ini, disarankan agar pengadaan pajak daerah perlu
dipertimbangkan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan gejolak di
masyarakat yang pada gilirannya akan mendistorsi kegiatan perekonomian
12

daerah yang bersangkutan. Penciptaan suatu jenis pajak selain


mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum
juga perlu mempertimbangkan ketepatan suatu jenis pajak sebagai pajak
daerah, karena pajak daerah yang baik akan mendorong peningkatan
pelayanan publik yang pada gilirannya akan meningkatkan kegiatan
perekonomian daerah yang bersangkutan.
13

IV. DAFTAR PUSTAKA

Adi, Priyo Hari. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi. Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
______________. 2008. Relevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya
Pajak Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa.
Jurnal Kritis disampaikan pada The 2 nd National Conference 2008.
Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
Bird, Richard M. “Subnational Revenues: Realities and Prospect ”. Paper yang
disampaikan pada Intergovernmental Fiscal Relations and Local
Financial Management yang diselenggarakan oleh The World Bank
Institute tanggal 17-21 April 2000 di Almaty, Kazakhstan. Almaty,
Kazakhstan: World Bank, 2000b.
Pendapat akhir pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disampaikan oleh Menteri
Keuangan, Sri Mulyani, pada rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Jumat, 28 agustus 2009
Peraturan pelaksanaan dari UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun
1999
Republik Indonesia, Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah
Daerah”.
Republik Indonesia, Undang-undang No.33 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.

You might also like