You are on page 1of 9

Hak kemanusiaan merujuk kepada hak yang dimiliki oleh semua insan.

Konsep Hak
kemanusiaan adalah berdasarkan andaian bahasa semua insan memiliki satu bentuk hak
yang sama, sebagaimana mereka memiliki indentiti insan, yang tidak dipengarahui oleh
faktor tempatan, perkauman dan kewarganegaraan.

Pada dasarnya, Hak kemanusiaan boleh difahamkan dari dua segi, yakni dari segi
perundangan dan juga dari segi moral. Dari segi perundangan, Hak kemanusian
merupakan satu bentuk hak yang dinikmati oleh seorang warganegara seperti apa yang
telah termaktub dalam undang-undang negara berkenaan. Contohnya,dalam
perlembagaan malaysia terdapat penerangan mengenai hak kemanusiaan yang terlindung
di bawah perlembagaan[1]. Percabulan hak kemanusiaan yang berkenaan, mungkin akan
membawa kepada tindakan undang-undang yang sewajarnya. Penakrifan hak
kemanusiaan dari segi undang-undang adalah berbeza dari satu negara ke satu negara
yang lain.

Dari satu segi moral, Hak Kemanusiaan merupakan satu tanggapan moral yang didukung
oleh anggota masyarakat. Sehubungan dengan perkara ini, anggota masyarakat akan
mengakui wujudnya hak tertentu yang harus dinikmati oleh setiap individu, yang
dianggap sebagai "sebahagian daripada sifatnya sebagai manusia", walaupun ia mungkin
tidak termaktub dalam undang-undang. Maka anggota-anggota masyarakat berkenaan
akan cuba megelakkan diri daripada mencabuli hak masing-masing dengan penuh
perasaan moral.

Kewujudan, keabsahan dan isi kandungan Hak kemanusiaan telah menjadi isu
pendebatan dalam bidang falsafah dan sains politik. Dari segi perundangan, Hak
kemanusiaan telah termaktub dan diberi takrifan dalam undang-undang antarabangsa, dan
juga dalam undang-undang bagi sesetengah negara. Walaupun begitu, cara penakrifan
dan pelakasaan hak kemanusiaan masih memperlihatkan kepelbagaian.

Konsep Hak Asasi Manusia


Jump to Comments

Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999: Telaah dalam
Perspektif Islam

Catatan Pembuka

Dewasa ini hak asasi manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan paham
individualisme dan liberalisme seperti dahulu. Hak asasi manusis lebih dipahami secara
humanistik sebagai hak-hak yang inheren dengan harkat martabat kemanusiaan, apa pun
latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin  dan pekerjaannya. Konsep
tentang hak asasi manusia dalam konteks modern dilatarbelakangi oleh pembacaan yang
lebih manusiawi tersebut, sehingga konsep HAM diartikan sebagai berikut:

“Human rights could generally be defined as those rights which are inherent in our nature
and without which we cannot live as human beings”

Dengan pemahaman seperti itu, konsep hak asasi manusia disifatkan sebagai suatu
common standard of achivement for all people and all nations, yaitu sebagai tolok ukur
bersama tentang prestasi kemanusiaan yang perlu dicapai oleh seluruh masyarakat dan
negara di dunia.

Pada tataran internasional, wacana hak asasi manusia telah mengalami perkembangan
yang sangat signifikan. Sejak diproklamirkannya The Universal Declaration of Human
Right tahun 1948, telah tercatat dua tonggak historis lainnya dalam petualangan
penegakan hak asasi manusia internasional.  Pertama, diterimanya dua kovenan
(covenant) PBB, yaitu yang  mengenai Hak Sipil dan Hak Politik serta Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Dua kovenan itu sudah dipemaklumkan sejak tahun 1966, namun
baru berlaku sepuluh tahun kemudian setelah diratifikasi tiga puluh lima negara anggota
PBB. Kedua, diterimanya Deklarasi Wina beserta Program Aksinya oleh para wakil dari
171 negara pada tanggal 25 Juni 1993 dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia PBB
di Wina, Austria. Deklarasi yang kedua ini merupakan kompromi antar visi negara-
negara di Barat dengan pandangan negara-negara berkembang dalam penegakan hak
asasi manusia.

Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya.
Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu
semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah
diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak
itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicran yang serius dan
berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan
persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat
implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan
perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh
internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun
penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang
merespon gejala internasional secara positif. 

Adalah pada tahun 1999 lah, Indonesai memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas
dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia.
Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak
terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu
internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih
jauh isinya.

Beberapa pertanyaan mendasar muncul pada waktu itu sampai saat ini. Bagaimana
konsep HAM menurut undang-undang tersebut? Sejauh mana memiliki titik relevansi
dengan dinamisasi masyarakat? Bagaimana penegakannya selama ini? Seberapa besar ia
mengakomodasi nilai-nilai universal?   

Tulisan singkat ini tidak akan menjawab semua persoalan di atas, tetapi hanya akan
mencoba menelisik persoalan HAM di Indonesia dengan melakukan pengujian terhadap
instrumen UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM secara sederhana dan melakukan studi
komparatif dengan konsep HAM dalam Islam mengingat keberadaan Indonesia yang
berpenduduk mayoritas muslim.  Pembahasan akan diawali dengan membeberkan konsep
HAM dalam kerangka UU. No. 39 tahun 1999, dilanjutkan dengan HAM dalam
perspektif Islam dan diakhiri dengan analisis berupa kajian UU tentang HAM ditinjau
dalam perspektif Islam.

Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

Hak Asasi Manusia  adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1
angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM).

Pelanggaran Hak Asasi Manusia  adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM).

Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak
anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi
Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI
Nomor XVII/MPR/1998.

Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia terdiri dari:
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup,
meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir
dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk
kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang
bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak
pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara
pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara
obyektif  oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-
masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas
bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat
dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan,
berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi
melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan
dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan,
profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di
samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau
profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat
dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri
dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Masalah hak asasi manusia menurut para sarjana yang melakukan penelitian pemikiran
Barat tentag negara dan hukum, berpendapat bahwa secara berurut tonggak-tonggak
pemikiran dan pengaturan hak assasi manusia mulai dari Magna Charta (Piagam Agung
1215), yaitu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja John dari Inggris
kepada bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi
kekuasaan raja tersebut. Kedua adalah Bill of Right (Undang-Undang Hak 1689) suatu
undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun 1688
melakukan rrevolusi tak berdarah (the glorius revolution) dan berhasil melakukan
perlawanan terhadap raja James II. Menyusul kemudian The American eclaration of
Indepencence of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776.
seterusnya Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai
dan warga negara, 1789) naskah yang dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja dengan kekuasaan absolut. Selanjutnya
Bill of Right (UU Hak), disusun oleh rakyat Amerika Serikatr pada tahun 1789,
bersamaan waktunya dengan revolusi Perancis, kemudain naskah tersebut dimasukkan
atau doitambahkan sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada
tahun 1791. 

Beberapa pemikiran tentang hak asasi manusia pada abad ke 17 dan 18 di atas hanya
terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, misalnya persamaan hak, kebebasan, hak
memilih dan sebagainya. Sedangkan pada abad ke 20, ruang lingkup hak asasi manusia
diperlebar ke wilayah ekonomi, sosial, dan budaya. 

Berdasar naskah-naskah di atas, Franklin Delano Roosevelt (Presiden Amerika ke-32)


meringkaskan paling tidak terdapat Empat Kebebasan (The Four Freedoms) yang harus
diakui, yakni (1) freedom of speech (kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan
pendapat, (2) freedom of religion (kebebasan beragama), (3) freedom from want
(kebebasan dari kemiskinan), dan (4) freedom from fear (kebebasan dari rasa takut).  

Jika dilihat lebih seksama, semua yang termasuk isi utama dari naskah-naskah politik di
atas, yang berkaitan dengan hak asasi manusia, terdapat dalam al-Qur’an, sedangkan
Empat Kebebsan terdapat dalam Konstitusi Madinah, baik tersirat maupun tersurat.
Kendati demikian, Konstitusi Madinah yang sudah tersurat pada tahun 622 (abad ke-7 M)
dan al-Qur’an sudah selesai dikumpulkan dan ditulis sebagai kitab pada tahun 25 H
(tahun 647 M) tetapi ternyata dalam studi tentang hak-hak asasi manusia oleh
kebanyakan para sarjana tidak disinggung sama sekali. Padahal kalau dibandingkan
dengan naskah-naskah di atas, semuanya tertinggal tujuh sampai tiga belas abad di
belakang Konstitusi Madinah dan al-Qur’an.

Secara historis, berbicara tentang konsep HAM menurut Islam dapat dilihat dari isi
Piagam Madinah. Pada alenia awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai
berikut:
‫ هذا كتاب من محمد النبي صلى هللا عليه وسلم بين المؤمنين والمسلمين من قريش و يثرب و‬.‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
‫من تبعهم فلحق بهم وجاهد معهم‬
Terdapat sedikitnya lima makna pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama,
penempatan nama Allah SWT pada posisi terata, kedua, perjanjian masyarakat (social
contract) tertulis, ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open
membership), dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).

Hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi
tiga, yaitu hak untuk hidup, kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.

1. Hak untuk hidup


Pasal 14 mencantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk
kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang
mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh
kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.

2. Kebebasan
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a. Kebebasan mengeluarkan pendapat
Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan
perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan
mengeluarkan pendapat. 
b. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera
di dalam pasal 25.
c. Kebebasan dari kemiskinan
Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat
kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk
hal ini adalah upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.
d. Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup
bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta
akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.

3. Hak mencari kebahagiaan


Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan nama Allah SWT pada
posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena
kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin. 

Relevansi Konsep HAM dalam UU No. 39 tahun 1999 dan Islam

Walaupun tidak sampai pada tingkatan studi kritis dan dengan mencoba melakukan
komparasi secara sederhana antara konsep hak asasi manusia yang tertuang dalam UU
No. 39 tahun 1999 dengan konsep HAM dalam Islam melalui pendekatan relevansional
maka studi ini bermaksud menjawab pertanyaan sejauh mana relevansi antar kedua
konsep tersebut.
Untuk melakukan kajian ini penulis membagi ke dalam beberapa domain, antara lain
Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan, kesejahteraan bersama, 

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Piagam Madinah dimulai dengan kalimat basmalah. Dalam pasal 22 ditegaskan bahwa
orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak akan menolong pelaku kejahatan
dan juga tidak akan membelanya. Bilamana terjadi peristiwa ataun perselisihan di antara
pendukung Piagam Madinah yang dikhawatirkaan akan menimbulkan bahaya dan
kerusakan, penyelesaiannya menurut ketentuan Allah, demikian ditetpakan dalam pasal
42.

Sedangkan dalam UU. No. 39 tahun 1999 tepatnya pada bagian “Ketentuan Umum” point
1 disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah hak yang melekat pada
manusia dalam eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah-Nya.
Artinya persoalan penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja menempatkan
manusia pada posisi sentral (antropoSentris) akan tetapi terdapat dimensi transendental
yang juga harus diperhatikan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penegakan Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang dalam terminologi Islam disebut tauhid tertera baik dalam Piagam Madinah
maupun UU tentang HAM.  

2. Keadilan

Keadilan tercantum secara tegas baik di dalam Islam yang tertera dalam al-Qur’an
maupun dalam Piagam Madinah maupun di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan konstitusi mana saja di dunia ini. Bahkan kata keadilan ini bergema
pada setiap ada persekutuan sosial, tidak terkecuali dalam suatu keluarga. Keadilan,
menurut Daniel Webster, adalah kebutuhan manusia yang paling luhur.

Pasal 17, 18, dan 19 UU No. 39 tahun 1999 secara umum menetapkan bahwa bahwa
setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh keadilan. Tentu saja cara
mmeperolehnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan melalui mekanisme yang telah
diatur. Semua perkara, kasus, dan sengketa yang terjadi dalam masyarakat harus
diselesaikan melalui jalur hukum.

Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma
dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia
sehingga keadilan, keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan dalam konsepsi
Islam, berbuat adil merupakan aktivitas yang dekat dengan takwa.

3. Kesejahteraan bersama

Dalam pasal 36 UU No. 39 tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak
untuk memiliki demi pengembangan dirinya dengan cara yang tidak melanggar hukum.
Lebih jauh lagi dalam pasal 27 (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Hak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam Islam merupakan salah satu yang
diutamakan. Ajaran zakat, infaq dan sodaqoh merupakan bentuk kepedulian Islam
terhdapa terciptanya kesejahteraan bersama dan kebebasan dari kemiskinan. Selain itu,
Islam juga sangat mengutamakan kebersamaan dan menganjurkan tolong menolong
terutama terhadap kaum miskin dan lemah dan oleh karena itu, Islam mengharamkan
riba.

Catatan Penutup

Berdasar penelusuran historik, M. Mahfud MD menulis bahwa ada tiga konsepsi dasar
yang harus dipenuhi untuk membangun negara yang sejahtera, yaitu perlindungan HAM,
demokrasi, dan negara hukum. Ketiga konsep ini lahir dari paham yang menolak
kekuasaan absolut menyusul Renaissance yang bergelora di dunia Barat sejak abad XIII.

Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kekuasaan untuk menyelenggarakan


pemerintahan negara, agar negara dapat memberi perlindungan atas Hak-hak Asasi
Manusia (HAM). UU. No. 39 tahun 1999 bisa jadi merupakan manifestasi dari pemberian
perlindungan tersebut. Jika ditelusuri ternyata konsep HAM dalam UU No. 39 tahun
1999 relevan dengan konsep HAM dalam Islam baik yang tertuang dalam al-Qur’an
maupun Piagam Madinah. Bentuk relevansinya terletak pada nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

Kendati demikian, pertanyaan kritis yang selalu patut dilayangkan kepada pemerintah
adalah bagaimana penegakan HAM pada tataran aplikatif. Serentetan kasus yang
berkaitan dengan pelanggaran HAM masih saja terjadi di Indonesia sampai sekarang.
Nampaknya pembicaraan tentang hak asasi manusia hanya berhenti pada wilayah
diskursif di forum-forum ilmiah tanpa pernah ditindaklanjuti secara nyata.

Semoga dapat ber(di)manfaat(kan). Selamat berdiskusi!!!

Daftar Bacaan

Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstiitusi Madinah
dan UUD 1945. Yogyakarta: UII Press.

Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: PT. Refika
Aditama

Bahar, Saafroedin. 1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Komnas HAM. 1998. Membangun Jaringan Kerjasama Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Komnas HAM.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana
Internasional. Jakarta: ELSAM.

Muzaffar, Chandra. 1995. Hak Asasi Manusia dalam tata Dunia Baru (Menggugat
Dominasi Global Barat). Bandung:  Mizan.

Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

http://mlatiffauzi.wordpress.com/2007/10/14/konsep-hak-asasi-manusia-dalam-uu-
nomor-39-tahun-1999-telaah-dalam-perspektif-islam

http://www.scribd.com/doc/22500662/EUU-LECT-10-Islam-Hak-Asasi

You might also like