You are on page 1of 11

POSISI LEMBAGA PENGUMUMAN DALAM SISTEM PENDAFTARAN TANAH

DI INDONESIA
(SAEFUL ZAFAR – 23 Maret 2010)

I. PENDAHULUAN
Masih ingat kasus sengketa tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat beberapa
tahun silam (1999)? Ketika itu ramai diberitakan perebutan tanah seluas 44 hektar antara
PT Portanigra dan para warga yang sudah memiliki sertifikat hak milik atas tanah
tersebut. Sampai sekarang pun kasus tersebut belum tuntas.
Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin
Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya
Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh tanah ini mencapai luas 78
hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp 300 per meter persegi ke perusahaan
properti milik Beny Rachmat itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan
membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus
pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat
pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik
tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI Jakarta pada
1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare)
pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare. Dimana pada 200 ketika perkara sampai
di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Portanigra. Putusan perkara pidana dan
bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi. Sehingga Portanigra menjadi pihak
yang berhak atas tanah di lokasi sengketa
Kantor Pertanahan Jakarta Barat sering disebut-sebut ikut punya andil membuat
masalah ini jadi kisruh. Banyak anggapan jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang
PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa
memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan
tanah di atas lahan yang terlibat sengketa pada 1977.
Padahal jika melihat alas hak yang ada seharusnya hal tersebut diatas tidak akan
terjadi, karena karena berasal dari tanah girik maka dalam proses penerbitan
sertipikatnya sudah ada lembaga pengumuman selama 60 (enam puluh) hari yang
bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

2
terhadap tanah tersebut untuk melakukan gugatan atau keberatan, sehingga proses
penerbitan sertipikatnya dapat ditinjau kembali.
Hal ini seolah-olah menimbulkan pertanyaan sejauh manakah lembaga
pengumuman memiliki kekuatan hukum dalam menjadi dasar penerbitan suatu sertipikat,
apabila dalam kenyataannya masih banyak berbagai kasus yang muncul pada berbagai
bidang tanah yang dalam proses pendaftaran telah melalui lembaga pengumuman
terlebih dahulu.

II. SISTEM PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA


Sistem pendaftaran tanah, didunia ini dikenal ada dua model atau jenis
pendaftaran tanah , yaitu: pertama, disebut dengan model pendaftaran akta atau "
registration of deeds" yang oleh beberapa penulis menggunakan istilah pendaftaran tanah
dengan stelsel negatif atau pendaftaran tanah negatif dan kedua, pendaftaran hak atau
"registration of title", dimana lazim pula disebut dengan nama " pendaftaran dengan
stelsel positif" ataupun seringkali disebut " system Torrens". Hal ini diungkapkan oleh
Rowtow Simpton, menyebutkan:
" … some writers do not use our terminology of registration of deed and
registration of title, but distinguish between negative and positive system of registration.
Kedua system pendaftaran tanah ini mempunyai perbedaan – persamaan dan
kelebihan - kekurangan satu dengan yang lainnya. Secara umum perbedaan terlihat pada
wujud dokumen formal yang dipergunakan sebagai instrument atau alat pembuktian
kepemilikan hak atas tanah. Wujud dokumen formal dalam system pendaftaran tanah
dengan stelsel negative sebutannya adalah " akta " kepemilikan sedang wujud dokumen
dalam model pendaftaran tanah dengan stelsel positif sebutannya adalah berupa "
sertipikat" hak. Kedua wujud atau bentuk formal dari kedua model tersebut secara
yuridis sangat berpengaruh terhadap eksistensi kekuatan hukum dari hak kepemilikan
hak atas tanah. Khusus untuk pendaftaran tanah akta para penulis di Indonesia lebih
lazim menggunakan terminology sistem pendaftaran negatif atau stelsel negatif untuk
penyebutan sistem pendaftaran akta, seperti Abdurrahman, AP. Parlindungan, demikian
juga Boedi Harsono, lebih cenderung menggunakan istilah tersebut.
Karakter yuridis yang spesifik dari sistem pendaftaran akta (Registration of
deeds) atau sistem pendaftaran negatif ini adalah bahwa dokumen tertulis atau akta yang
dibuat oleh para pihak ( pemilik yang mengalihkan ) yang dilakukan atas bantuan pejabat
umum yang berwenang (seperti Notaris atau pejabat lain seperti ahli hukum) didaftarkan

2
kepada pejabat yang diberikan wewenang untuk itu agar dicatatkan haknya sebagai
pemegang hak atas tanah yang baru, dan oleh pejabat pencatat tersebut dicatatkan dalam
register ( pencatatan buku tanah ), tanpa melakukan penelitian atas kebenaran akta atau
dokumen tertulis yang diserahkan. Kelebihan dari sistem pendaftaran tanah akta ini
adalah adanya jaminan yang diberikan kepada pemilik yang sebenarnya, dengan kata lain
bahwa kesempatan bagi pemilik atau yang berhak atas sebidang tanah untuk mengadakan
perlawanan atau tuntutan hukum terhadap pihak-pihak lain yang telah mendaftarkan
bidang tanah tersebut. Hal mana tuntutan atau klaim atas bidang tanah tersebut melalui
peradilan dengan alat bukti yang menunjukkan memang yang lebih berhak. Sebaliknya
bahwa dalam system pendaftaran dengan stelsel negatif (akta) dapat diketemukan
beberapa kelemahan yang oleh beberapa pakar dinilai mendasar. Adapun kelemahannya
antara lain adalah (Boedi Djatmiko, 2008) :
1. Dalam sistem pendaftaran akta lebih merefleksikan adanya ketidak adanya jaminan
kepastian hak dan hukum bagi mereka pemegang hak atas tanah dan bagi mereka
beretiket baik atas sebidang tanah yang didaftarkannya.
2. Sifat pasif dari pejabat pendaftaran tanah. Artinya bahwa pejabat pendaftaran tanah
tidak melakukan pengujian kebenaran data ( akta ) yang disampaikan oleh pemohon,
sehingga posisi hukum menjadi lemah.
3. Dalam sistem pendaftaran akta ini kekuatan hukum akte yang didaftarkan tidak
mempengaruhi kekuatan hukum akta lainnya. Bahwa pendaftaran akte hanyalah
penetapan sekala prioritas sebagai referensi waktu saat ( tanah ) tersebut didaftarkan
dan bukan waktu untuk pelaksanaannya.
4. Bahwa suatu akta bukanlah bukti hak, namun hanyalah menunjukan adanya
pencatatan selesainya transaksi dan beralihnya benda yang ditransaksikan.
Sebaliknya, pertanyaan selanjutnya adalah lalu bagaimana dengan Sistem
pendaftaran hak (registration of title) atau sistem stelsel positif atau sistem Torrens
(Torrens System).
Bahwa sistem pendaftaran ini merupakan perbaikan atau penyempurnaan atas
sistem pendaftaran sebelumnya. Sistem ini merupakan suatu pencatatan hak baik
pencatatannya maupun penyimpanannya menjadi kewenangan dari lembaga publik.
Karakter yuridis yang spesifik dari sistem pendaftaran positif, ini adalah (Boedi
Djatmiko, 2008) :

2
1. Bidang tanah yang didaftarkan menurut sistem ini dianggap belum ada haknya. Hak
baru akan lahir setelah dilakukan pengujian atau penelitian dan diumumkan. Seperti
yang dikemukakan oleh Stein bahwa dalam pendaftaran hak ini, hak hanya dapat
diperoleh melalui atau pada saat dilakukan pendaftaran atau tercatat dalam register.
2. Negara memberikan jaminan penuh bagi pemegang haknya yang tercatat ( terdaftar )
dalam daftar umum terhadap tuntutan – tuntutan atau klaim pihak ketiga atau
siapapun. Jaminan kerugian dari Negara bagi pemilik yang mungkin dirugikan atau
adanya kekeliruan atau kesalahan dalam pendaftaran haknya bersifat " Indefeasible".
Atau menurut Eugene C. Massie bersifat absolute dan tidak dapat diganggu gugat.
Setidaknya ada 3 ( tiga ) jaminan keamanan bagi tanah yang terdaftar yakni:
pertama, berkaitan dengan bendanya (property ) atau tanahnya yang terdaftar ( the
property register); kedua, berkaitan dengan kepemilikan atau penguasaannya ( the
proprietorship register); ketiga, berkaitan dengan jaminan hak-hak yang ada ( the
charges register).
3. Dalam sistem pendaftaran tanah positif ini pejabat yang diberikan kewenangan
melakukan pendaftaran bersifat aktif. Merupakan konsekuensi logis dari adanya
jaminan Negara hak yang terbit tidak lagi dapat diganggu gugat, tidak ada tuntutan
pihak-pihak lain yang merasa berhak atas bidang tanah yang didaftarkan tersebut.
untuk itu maka adanya pejabat yang disebut " Barister and Conveyancer" yang
dikenal sebagai pejabat penguji atau peneliti yang disebut " examiner of title
( pemeriksa alas hak). dalam PP No. 10 tahun 1961 disebut sebagai Panitia A atau B,
atau semacam panitia Ajudikasi dalam PP No. 24 tahun 1997.
4. Dalam sistem pendaftaran hak ini negara memberikan jaminan dana kompensasi
apabila ternyata terdapat kesalahan prosedur dalam pendaftarannya yang
mengakibatkan kerugian bagi pihak yang mungkin lebih berhak.
5. Dalam sistem pendaftaran positif ini adalah diterbitkannya tanda bukti sekaligus alat
bukti yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang didaftarkan yaitu berupa
" sertifikat hak atas tanah" atau " sertificate of title".
Pertanyaannya kemudian adalah model sistem pendaftaran tanah yang mana
yang dipergunakan di Indonesia. Jawabannya seharusnya adalah dengan mencermati
ketentuan hukum yang berlaku ( PP No. 10 tahun 1961 jo. PP No. 24 tahun 1997 )
dengan menunjuk bahwa dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketentuan
hukum tersebut berupa sertipikat hak maka dapat seharusnya sistem pendaftaran tanah di
Indonesia seharusnya mendasarkan pada system pendaftaran dengan stelsel positif,

2
karena memang ciri atau karakter khas dari sistem pendaftaran tanah ini adalah adanya
sertipikat sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah. dan terlebih lagi seluruh urutan
prosedur dan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan kita menuju
kepada aturan hukum pada system pendaftaran tanah dengan model system stelsel
positif.
Namun demikian jika kita mencermati yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia ( MARI ) secara tegas menyatakan bahwa pendaftaran tanah kita
menganut model stelsel negative. Salah satu yurisprudensi tersebut dapat dibaca dalam
Putusan MARI No. Reg. 459 K / Sip / 1975, tanggal 18 September 1975, menyatakan
bahwa: mengingat stelsel negatif tentang register / pendaftaran tanah yang berlaku di
Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolute
menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidak absahannya dapat dibuktikan oleh pihak
lain (seperti halnya dalam perkara ini).
Sistem pendaftaran negatif merupakan warisan masa lalu yang berlangsung
sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pendaftaran tanah dilakukan
untuk tanah-tanah yang tunduk terhadap hukum barat ( Belanda ) yang dilaksanakan oleh
yang namanya Kantor Kadaster ( Kantor Pertanahan ). Sesuai dengan tugas dari Kantor
Kadaster dalam melaksanakan kegiatan pendaftaran pada waktu itu, pendaftaran
tanahnya berdasarkan Stbl. 1824 No. 27 jo. 1947 No. 53, dimana perjanjian obligatoir
peralihan hak dilaksanakan dengan segala bukti tertulis, akta Notaris, ataupun dibawah
tangan yang disaksikan Notaris dan kemudian oleh Kepala Kantor Kadaster yang
merupakan seorang Pegawai Balik Nama ( Overschrijvingsambtenaar) beserta salah
seorang pegawainya membuatkan akte peralihannya. Baru didaftarkan pada daftar yang
bersangkutan setelah kewajiban – kewajiban pembayaran dilakukan lebih dahulu.
Perubahan yuridis baru setelah Negara kita merdeka dan setelah
dikeluarkannya undang-undang pokok agraria ( UUPA) beserta peraturan pelaksaannya
sebagai pengganti atau mencabut ketentuan perundangan sebelumnya yang dikeluarkan
oleh pemerintah hindia Belanda terutama yang berhubungan dengan tanah, seperti
pencabutan ketentuan yang diatur dalam buku II BW ( burgelijk Wetboek ) khusus yang
mengatur mengenai tanah. tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang berwujud
Sertipikat baru muncul setelah terbitnya UUPA ( pasal 19 UUPA ) yang ditindak lanjuti
oleh PP. No. 10 tahun 1961 dan selanjutnya digantikan oleh PP. No. 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.

2
Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 32 PP
No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan tidak
menggunakan sistem publikasi positif, namun negatif. Karakter negatif muncul karena
tidak adanya kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam
rangka penerbitan sertifikat hak atas tanahnya.

III. LEMBAGA PENGUMUMAN DI INDONESIA


Lembaga pengumuman sebagai suatu sarana yang digunakan dalam proses
penerbitan sertipikat sebenarnya hanya dikenal dalam sistem pendaftaran tanah yang
menganut sistem stelsel positif yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk menguji
secara yuridis dan formil atas data-data yang menjadi pendukung suatu permohonan
sertipikat, dimana setelah lembaga pengumuman tersebut tidak mendapatkan sanggahan
ataupun keberatan maka dapat diterbitkan sertipikatnya.
Karena proses penerbitan sertipikat dalam sistem pendaftaran tanah stelsel
positif sudah melalui pemeriksaan dan pengumuman yang sangat ketat maka setelah
terbit, sertipikat tersebut memiliki kekuatan hukum yang absolut dalam artian tidak bisa
digugat oleh siapapun. Adapun jika di kemudian hari ternyata diketahui adanya suatu
kesalahan dalam penerbitan sertipikat tersebut yang menyebabkan pemilik sertipikat
kehilangan hak atas tanahnya maka pemerintah berkewajiban mengganti rugi kepada
pemegang sertipikatnya.
Hal ini menggambarkan tentang peranan vital yang dipegang oleh lembaga
pengumuman dalam sistem stelsel positif, sehingga dalam pelaksanaannya harus benar-
benar memperhatikan asas publisitas dan transparansi dalam artian pengumuman itu
harus jelas, terbuka untuk umum serta menyajikan data-data yang sebenarnya atas
subyek dan obyek tanah yang diumumkan.
Namun khusus di Indonesia meskipun menganut sistem pendaftaran tanah
dengan stelsel negatif ternyata masih mengenal pula adanya lembaga pengumuman.
Dimana lembaga ini dikenal pada kegiatan pendaftaran tanah pertama kali yaitu pada
saat pengujian data fisik dan data yuridis dari bidang tanah yang akan diberikan
sertipikat hak atas tanahnya.
Pengumuman yang dikenal dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia
secara umum berisi dua subtasi yaitu gambar bidang-bidang tanah (obyek) tanah yang
memberikan informasi mengenai luas dan letak serta keterangan tentang subyek

2
pemilikan / penguasaan bidang tanah yang memberikan informasi mengenai pemilik dan
alas hak yang digunakan sebagai dasar perolehannya.
Namun seperti yang telah diketahui bersama, karena sistem stelsel negatif
yang dianut di Indonesia maka, kekuatan hukum dari produk sertipikat meskipun
dihasilkan setelah melewati lembaga pengumuman masih belum memiliki kekuatan
hukum yang mutlak, dalam artinya jika suatu saat ada pihak yang bisa membuktikan
lebih berhak atas bidang tanah tersebut dibandingkan pemegang hak yang tercantum
dalam sertipikat dan itu disahkan oleh pengadilan maka fungsi dari lembaga
pengumuman seolah-olah menjadi tidak mempunyai arti karena meskipun jangka waktu
yang diberikan untuk mengajukan keberatan selama masa pengumuman telah dipenuhi,
namun diluar jangka waktu tersebut ternyata masih juga timbul suatu gugatan yang
masih mungkin dilakukan oleh pihak siapapun juga.

IV. POSISI LEMBAGA PENGUMUMAN MENURUT PP NO. 24 TAHUN 1997


Jika dilihat dalam peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, sebagai
peraturan pelaksana yang mengatur mengenai pendaftaran tanah di Indonesia, secara
garis besar lembaga pengumuman digunakan dalam 2 (dua) kegiatan pendaftaran tanah
yaitu :
1. Kegiatan Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Pada PP No. 24 tahun 1997 khususnya Bab IV tentang pendaftaran tanah
pertama kali di bagian ke tiga yaitu pembuktian hak dan pembukuannya disebutkan
khusus untuk pembuktian hak lama yaitu pendaftaran hak atas tanah yang berasal
dari konversi hak-hak lama baik yang memiliki tanda bukti yang lengkap maupun
yang tidak tersedia tanda bukti yang lengkap, untuk melakukan pengujian kebenaran
tentang alas hak yang dimiliki maka dilakukan pengumpulan dan penelitian data
yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam
pendaftaran tanah secara sistematis atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik dimana hasil dari penelitian tersebut dituangkan
dalam suatu daftar isian yang telah ditetapkan (Pasal 25 PP 24/1997).
Daftar isian tersebut kemudian dilengkapi dengan peta bidang yang memuat
hasil pengukuran bidang tanah tersebut sesuai yang telah diatur dalam pasal 20 PP
24/1997, untuk selanjutnya dilakukan pengumuman selama 30 (tiga) puluh hari
dalam pendaftaran tanah secara sistematis atau 60 (enam puluh) hari untuk

2
pendaftaran tanah secara sporadik untuk memberikan kesempatan pada pihak yang
berkepentingan untuk mengajukan keberatan.
Pengumuman dilakukan pada Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala
Desa/Kelurahan setempat dalam pendaftaran tanah sistematis atau di Kantor
Pertanahan dan Kantor Kelurahan/Desa letak tanah bersangkutan dalam pendaftaran
tanah sporadik berada.
Selain itu pengumuman juga bisa dilakukan secara indiviual untuk
pendaftaran tanah secara sporadik dengan menggunakan media massa setempat,
adapun biaya untuk kegiatan ini ditanggung oleh pihak pemohon hak atas tanah itu
sendiri.
2. Kegiatan Penerbitan Sertipikat Pengganti
Ketentuan penerbitan sertipikat pengganti dimuat dalam Bab VI PP
24/1997 dimana disebutkan bahwa penerbitan sertipikat pengganti dalam dilakukan
atas permintaan pemohon sebagai pengganti sertipikat yang rusak, hilang, masih
menggunakan blanko sertipikat yang tidak digunakan lagi atau yang tidak
diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi.
Adapun khusus untuk penggantian sertipikat karena hilang, dalam
prosedurnya harus disertai dengan pernyataan dibawah sumpah dari yang
bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat lain yang ditunjuk.
Kemudian untuk menguji pernyataan tersebut maka sebelum diterbitkan
sertipikat pengganti terlebih dahulu harus dilakukan pengumuman 1 (satu) kali pada
salah satu surat kabar harian setempat atas biaya pemohon (pasal 59 ayat 2 PP
24/1997).
Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak tanggal
pengumuman di surat kabar harian tersebut tidak ada yang mengajukan keberatan
mengenai akan diterbitkannya sertipikat pengganti tersebut atau kalaupun ada
keberatan namun dinilai atau dipertimbangkan oleh Kepala Kantor Pertanahan
keberatan tersebut tidak beralasan maka dapat diteruskan prosesnya dengan
menerbitkan sertipikat baru.
Namun untuk daerah-daerah tertentu Menteri dapat menetukan cara dan
tempat pengumuman yang lain (pasal 59 ayat 7 PP 24/1997), dimana daerah-daerah
tertentu tersebut adalah apabila dilakukan pengumuman melalui surat kabar tersebut
memerlukan biaya yang relatif bebas yang tidak sebanding dengan harga tanah yang
bersangkutan.

2
Dari kedua jenis lembaga pengumuman yang diakomodasi dalam PP 24/1997
tersebut diatas sebenarnya adalah sebagai suatu sarana untuk melakukan suatu pengujian
materiil terhadap data-data baik yuridis maupun fisik dari suatu kegiatan pendaftaran
tanah. Hal ini secara tidak langsung menunjukan tentang dianutnya sistem pendaftaran
hak (registration of title) di Indonesia dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19
UUPA yang antara lain berbunyi:
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2) Pendaftaran tanah meliputi:
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.
Menimbang, bahwa Pasal 32 ayat (2) UUPA menyebutkan “dalam hal atas suatu
bidang tanah telah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum
yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai, maka
pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan
hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu
tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat itu.”;
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas merupakan penyempurnaan dan penegasan
terhadap sistem publikasi negatif yang bertendensi positif dari pendaftaran tanah yang
diamanatkan UUPA, selama ini orang yang tercantum namanya di dalam sertifikat selalu
dihadapkan pada kemungkinan adanya gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai
hak atas bidang tanahnya, tetapi dengan penentuan batas waktu ini, maka orang yang
tercantum namanya dalam sertifikat seharusnya bebas dari kemungkinan adanya gugatan
setelah lewat waktu 5 (lima) tahun dan statusnya sebagai pemilik hak atas tanah akan
terus dilindungi sepanjang tanah itu diperoleh dengan itikat baik dan dikuasai secara
nyata oleh pemegang hak yang bersangkutan atau kuasanya (Yamin Lubis et al, 2008).
Sehingga adanya lembaga pengumuman dalam sistem pendaftaran tanah di
Indonesia seharusnya sudah merupakan instrumen untuk menunjukkan adanya sebuah
itikat baik dari orang yang akan mengajukan suatu permohonan hak atas tanahnya,

2
sehingga untuk itu sudah seharusnyalah pihak pengadilan memperhatikan hal tersebut
dalam pengambilan keputusannya terhadap suatu sengketa yang berkaitan dengan
kepemilikan suatu tanah yang telah bersertipikat.
Waktu 5 (lima) tahun yang diberikan untuk mengajukan gugatan apabila tidak
digunakan secara tidak langsung juga dapat digunakan untuk menerapkan lembaga
Rechtverwerking yaitu “lampaunya waktu sebagai sebab kehilangan hak atas tanah, kalau
tanah yang bersangkutan selama waktu yang lama tidak di usahakan oleh pemegang
haknya dan di kuasai pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik” (Yamin Lubis
et al, 2008), sehingga dengan tidak adanya tuntutan dalam waktu 5 (lima) tahun maka
hak atas tanah tersebut seharusnya sudah tidak bisa digugat lagi, karena sejak (lima)
tahun sertifikat diterbitkan dengan demikian secara hukum hilang hak untuk menggugat.
Apabila lembaga-lembaga yang ada dalam sistem pendaftaran tanah di
Indonesia benar-benar diterapkan secara benar, termasuk tentunya dalam proses
pengujian materiil oleh Kantor Pertanahan setempat tidak didasari oleh kepentingan-
kepentingan tertentu, maka niscaya berbagai konflik dan sengketa yang menyangkut
tentang tanah-tanah yang telah bersertipikat seharusnya tidak akan terjadi, dan cita-cita
UUPA untuk memberikan kepastian hukum melalui sertipikat tanah akan dapat
terpenuhi.

2
V. DAFTAR PUSTAKA

A.P.Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Penerbit CV. Mandar Maju,


Bandung, 1990.

Hadi Atmodjo, Boedi Djatmiko, 2009, Sistem Pendaftaran Tanah,


http://sertifikattanah.blogspot.com/ , diakses tanggal 1 Maret 2010

Harsono, Boedi , 1984, Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan


Hukum Tanah, Penerbit Djambatan, Jakarta

Lubis, Yamin dan Lubis, Abdul Rahman, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit CV.
Mandar Maju, Bandung

Soerdjo, Irawan, 2003 Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka, Surabaya

Tunggal, Hadi Setia, 2007, Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan, Harvindo,


Jakarta

Wicaksono, 2007, Kasus Tanah Meruya dan Buruknya Birokrasi Indonesia,


http://blog.tempointeraktif.com/hukum/kasus-tanah-meruya-dan-buruknya-
birokrasi-indonesia/, diakses tanggal 1 Maret 2010

www.hukumonline.com, diakses tanggal 1 Maret 2010 Peraturan Pemerintah No.24


Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Yamin, Muhammad, 2004., Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Penerbit


Pustaka Bangsa Press

Yamin, Muhamad, 2006, Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas


Tanah Dalam Pendaftaran Tanah, Universitas Sumatera Utara, Medan

You might also like