You are on page 1of 5

Karawitan

Karawitan adalah seni suara daerah baik vokal atau instrumental yang mempunyai klarifikasi dan perkembangan
dari daerahnya itu sendiri. Karawitan di bagi 3, yaitu :

• Karawitan Sekar,
• Karawitan Gending,
• Karawitan Sekar Gending.

Karawitan Sekar

Karawitan Sekar merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan terhadap
unsur vokal atau suara manusia.

Karawitan Gending

Karawitan Gending merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan unsur
instrumental atau alat musik.

Karawitan Sekar Gending

Karawitan Sekar Gending adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat unsur gabungan
antara karawitan sekar dan gending

Pengertian dari karawitan itu sendiri secara khusus dapat diartikan sebagai Seni Musik Tradisional yang terdapat di
seluruh wilayah etnik Indonesia.

Penyebaran seni karawitan terdapa di Pulau Jawa, Sumatra, Madura dan Bali. Karawitan memainkan alat musik
bernama gamelan, sebagai contoh Gamelan Pelog/Salendro, Gamelan Cirebon, Gamelan Degung dan Gamelan
Cianjuran (untuk bentuk sajian ensemble/kelompok). Dalam prakteknya, karawitan biasa digunakan untuk
mengiringi tarian dan nyanyian, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk mengadakan pementasan musik saja.

Musik sebagai salah satu cabang seni disebut sebagai seni bunyi. Seni bunyi ini tak hanya untuk mendukung aneka
ragam lagu (seni tarik suara), namun juga mendukung aneka ragam seni lainnya seperti seni tari, seni balet, seni
wayang, seni sulap, dll.

Bahkan musik bisa saja dimainkan dan dinikmati tanpa musti mendukung seni lainnya. Ada yang menyebutnya
instrumentalia, orkes simfoni, karawitan, atau sebutan-sebutan lain sesuai pengetahuan dan pemahaman orang
yang menyebutnya.

Terlepas apapun ragam seninya dan/atau karawitan pendukungnya, tak sedikit klip seni dan karawitan yang layak
tayang di BLog/Jos Jiwa ♪ Musik ♫. Untuk itulah, per tanggal 2 Maret 2008 ada tambahan Ragam:

Seni Karawitan :

» Nasional, Tradisional, Universal

Gamelan Pelog Salendro


Monday, August 3, 2009 at 11:38pm
Gamelan Pelog Salendro
Gamelan merupakan sebentuk nama alat yang didukung oleh bermacam-macam waditra di dalamnya, yang
merupakan satu kesatuan komposisi dalam wujud pergelarannya.
Nama-nama Waditra Gamelan Pelog-Salendro
Adapun waditra-waditra itu tertentu dalam jumlahnya menurut kebutuhan atau teknik dan tradisinya. Waditra-
waditranya kebanyakan terdiri dari alat pukul, seperti: dua perangkat saron, peking, demung (panerus), selentem,
bonang, rincik, kenong, kenong, kendang, kempul dan gong, rebab, gambang.
Dilihat dari segi cara membunyikannya, maka waditra-waditra dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu: alat pukul,
alat petik/gesek, alat tiup.
Pada gamelan pelog-salendro sangat jarang sekali dipergunakan alat tiup (misalnya suling) karena lagu (melodi)
dipercayakan pada rebab. Sebaliknya pada gamelan degung tidak dipergunakan alat gesek (rebab) karena suling
telah berfungsi sebagai pembawa lagu. Bahkan pada pergelaran renteng, suling dan rebab tidak dipergunakan,
melodi lagu dibawakan oleh bonang.
Fungsi Waditra Gamelan Pelog Salendro
Komposisi yang dijalin oleh nada-nada waditra gamelan mempunyai tugas-tugas khusus dalam pergelarannya.
Sifat-sifat berdialog dalam jalur melodi lagu yang berbeda-beda antar waditra berjalan bersama menuju daerah
kenongan dan goongan menjadikan gending suatu kesatuan tabuh yang kaya dalam ragam gending. Dalam hal
inilah salah satu unsur yang membentuk ciri husus dalam gending gamelan Sunda.
Tugas-tugas waditra dalam gending gamelan bisa diuraikan sebagai berikut:
a Balunganing gending, Arkuh gending, Rangka gending (cantus firmus) merupakan rangka dasar gending, diisi
oleh waditra Selentem dan atau Demung.
b Anggeran wilet an (inter punctie) diisi oleh Kempul, Gong dan Kenong

WADITRA BERPENCLON

1. BONANG
Pada dasarnya waditra Bonang mengisi ketukan ke satu dan ke tiga dengan nada yang menjadi kenongan dan
goongan sedangkan pada ketukan ke empat menabuh nada yang berfungsi sebagai Pancer sebagai tanda
perpindahan antar kenongan dan goongan suatu lagu.
2. RINCIK
Tabuh Rincik sifatnya mengambang artinya tidak bersamaan dengan ketukan. ketukan yang dibuntutinya mulai
ketukan ke satu sampai selesai. Nada yang ditabuhnya adalah nada yang berfungsi sebagai kenongan dan goongan
Jelasnya ritme tabuh Rincik sebagai berikut :

c Melodi Lagu, biasanya diisi oleh waditra Rebab atau Gambang


d Pengatur Irama, biasa dibawakan oleh Kendang.
e Lililitan melodi oleh Rincik
f. Lilitan Balunganing Gending diisi oleh waditra-waditra: Saron, Demung dan Bonang.
Tugas-tugas waditra ini sedemikian rupa jalinannya sehingga keharmonisan akan terasa apabila kita menelitinya
secara seksama. Mereka hanya bertemu nada yang sama di daerah kenongan dan goongan, sedangkan sebelumnya
mereka berjalan teratur secara menyendiri menurut tugasnya masing-masing.

1. KENONG
Ketukan ke empat atau ketukan terakhir pada setiap matera diisi oleh tabuhan Kenong dan biasanya nada yang
ditabuh adalah nada yang berfungsi sebagai Kenongan, Goongan serta Pancer.

1. SELENTEM
Waditra Selentem mengisi ritme dan nada yang berfungsi sebagai Arkuh Lagu/Balunganing Gending pada ketukan
ke dua dan ke empat.

2. GAMBANG
Waditra Gambang dapat befungsi sebagai melodi lagu dan dapat pula sebagai lilitan melodi lagu. Melodi
dibawakan ketika tidak mengiringi sekar dan ketika mengiringi sekar maka Gambang tabuhannya dicaruk dengan
ritme motif tabuh sederhana
2. KEMPUL DAN GONG
Dalam jalannya suatu lagu maka kedua waditra ini merupakan waditra yang memberikan keajegan wiletan atau
“ANGGERAN WILETAN” sehingga perubahan suatu irama akan tampak jelas dari kedua waditra ini namun pada
dasarnya Kempul akan mengisi ketukan pada bilangan ke dua, tetapi sebagai tanda akan jatuh Goongan maka
Kempul menabuh kempul tanggara yang jatuh pada bilangan ke empat matera ke tiga. Sedangkan waditra Goong
menabuh pada ketukan ke empat dari bagian akhir lagu pada setiap irama. Lengkapnya:
DEMUNG/PANERUS
Demung mempunyai keunikan tersendiri dalam motif tabuhannya dalam setiap irama. Dalam irama sawilet cara
yang dipakai adalah bergerak ke arah kanan atau kiri menuju arah dua nada, kemudian kembali ke nada semula
melalui nada yang pernah dilewatinya. Mengenai hubungannya dengan ketukan, Demung ada yang jatuh pada
ketukan dan ada yang mengambang (dalam istilah Sunda :”nyentugan” ). Lebih jelasnya perhatikan ritme dan
nada-nadanya berikut ini:

Teknik/Motif Tabuhan Gamelan Pelog Salendro


Pada bahasan di atas telah diuraikan mengenai fungsi waditra gamelan pelog-salendro. Untuk lebih memperjelas
tentang fungsi waditranya, maka di bawah ini akan diuraikan mengenai dasar teknik tabuhan dan penempatan
nada-nada waditra yang bersangkutan pada daerah-daerah wiletan. Dicontohkan pada irama lagu sawilet.

WADITRA BERWILAH

1. SARON
Saron pada gamelan Sunda ada dua perangkat dimana salah satu sifat dalam lagu dan tabuhannya bersahutan atau
istilahnya “dicaruk”. Untuk membedakan kedua saron tersebut, maka diberilah nama Saron 1 (Indung) dan Saron 2
(Anak). Tabuh saron 1 selaku pembawa lagu sedangkan saron 2 mengimbanginya dengan jalan membuat sahutan,
kedua saron ini menabuh dengan ketentuannya masing-masing.
Saron 1 menabuh pada tiap ketukan
Saron 2 memebuntutinya serta melingkari dengan tabuh yang khusus dan biasanya pada setiap ketukan keempat
jatuh pada nada yang sama dengan Saron 1

Pada prinsipnya tabuh Saron 1 untuk ketukan ke satu, dua dan empat jatuh pada nada yang sama sedangkan untuk
ketukan ke tiga melewati satu nada ke arah kanan atau ke arah kiri. Sedangkan untuk Saron 2 dimulai dari nada
disebelah kiri atau kanan dari nada Saron 1 dan melewati satu wilah/nada ke sebelah kiri atau kanan.

A. SALENDRO

5
4
3
2154
B. PELOG JAWAR - LIWUNG - SOROG (JATU LIGA SOPA)
5
4
3
3- 2 1 5+
5
4
3 3- 2
1 5+
543
3- 2
1
5+

2. PEKING
Sampai saat ini patokan tabuh Peking belum ada karena waditra ini pada tabuhannya lebih bersifat improvisasi,
yang menjadi patokan adalah jatuhnya kenongan dan goongan. Namun untuk tahap pemula tentu saja harus
diberikan salah satu motif, salah satunya motif sbb:

Gamelan Degung

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog
dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan
dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang
dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan
cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung
dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras
salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah
satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat
bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.

Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec.
Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak ada
yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan
KOROMONG ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG ini dapat
ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.

Sejarah

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini
jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal
abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934)
mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat),
Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1
perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki
pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai,
di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat
Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.

Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman
dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung”
(megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi
kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan,
menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam
literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De
gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.

Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan
degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran
Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828).

Perkembangan

Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V
(1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika
bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga
turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini
menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.

Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang,
Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan
dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan
menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan
(perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat
gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.

Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres
(saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan
waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh
bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending
karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java
Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung,
yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul
Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya
yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris
Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.

Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak
mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya,
Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu
baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI
Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari
Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali
terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana
khas Sunda dalam hati masyarakat.

Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun
1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit
(sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang
memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita
dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda
Artadinata (menantu Oyo).

Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang.
Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra
gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya
Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan
wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan
pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap
tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb.
Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro
(dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya
lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai
untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.

Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya
(1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung
gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan
sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur
waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen
tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya
Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan
Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih
populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun
1987.

Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan
salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari
kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan
berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman
Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.

Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango,
Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang
Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan,
Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan
menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar,
Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang
Kuring, dsb.

Perkembangan di luar negeri

Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya
Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel
Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal
(Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali
digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.

You might also like