You are on page 1of 8

Pendahuluan

Penelitian yang dilakukan oleh para ahli antropologi mengenai kebudayaan


di Indonesia sudah banyak. Tulisan-tulisan para ahli tersebut kebanyakan membah
as pembentukan keluarga beserta serangkaian upacara di sekitarnya, upacfara-upac
ara lingkaran hidup serta tradisi dan budaya secara komprehensif.
Secara konseptual teoritik, upacara perkawinan merupakan bagian dari teo
ri evolusi pembentukan keluarga, yang didalamnya didapati ada tahapan didalam pr
oses atau evolusi pembentukan keluarga, yaitu dari promoskuitas sampai pada perk
awinan eksogami dan endogami. Di dalam kegiatan perkawinan pada serangkaian upac
ara lingkaran hidup, dalam kaitannya dengan berbagai keyakinan yang menyelimuti
serangkaian upacara tersebut, ada teori asas religi yang terfokus pada sikap dan
upacara religi. Pada dasarnya, inti dari berbagai upacara tersebut adalah dinya
takan dalam konsepsi orang jawa sebagai slametan, yang didalamnya mengandung kon
sepsi ceremonial fund yang bervariasi menurut jenis dan bentuknya.
Setiap tradisi akan mengalami perubahan ketika harus berhubungan dengan
dunia sosial yang terus berubah. Untuk memahami hal ini maka ada konsepsi teorit
ik yang dikemukakan oleh Suparlan, mengenai tahapan dari disorganisasi ke integr
asi, sedangkan Kleden menyatakan, Perubahan kebudayaan dapat dilihat dari juru
san nilai melalui tahapan integrasi disintegrasi ke reintegrasi, dari sudut makn
a maka dapat dilihat dari orientasi disorientasi ke reorientasi, dari sudut inte
raksi maka dari sosialisasi dissosialisasi ke resosialisai, dan aspek kelembagaa
n maka perubahan itu melalui organisasi disorganisasi ke reorganisasi. Selanjutn
ya, perubahan juga dilihat dari konsep cultural change menurut Malinowski dan Za
niecky, mengenai disorganisasi dan reorganisasi.
Namun demikian, setiap perubahan menyisakan sesuatu yang langgeng. Dalam kerangk
a ini, konsepsi Sorokin, yang menyatakan bahwa selalu ada elemen yang berlaku la
nggeng di setiap perubahan atau continuity wthin change, juga dapat dijadikan se
bagai kerangka untuk memahami berbagai perubahan dan keajegan didalam kebudayaan
dan kehidupan manusia, termasuk mengenai perubahan didalam aktualisasi kebutuha
n manusia.
Pada dasarnya, manusia mempunyai tiga kebutuhan dasar dalam kehidupannya, yaitu
kebutuhan fisik, kebutuhan social, dan kebutuhan integratif. Salah satu kebutuh
an manusia tersebut ialah hasrat untuk reproduksi, memperoleh kenikmatan, kehang
atan, kasih saying, dan sebagainya melalui pranata perkawinan. Perkawinan terseb
ut terjadi manakala kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) dan orang-orang
yang terlibat didalamnya mengikuti suatu persetujuan terhadap kedua orang terseb
ut untuk menjadi pasangan suami istri. Dalam suatu perkawinan, peristiwa yang sa
ngat menentukan ialah meminang.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapat digambarkan bebera
pa penelitian yang didalamnya mencangkup dan terfokus pada aspek atau dimensi pe
rkawinan dalam tradisi kebudayaan Jawa. Di antara para ahli ialah Geertz, Hildre
d Greetz, Kodiran, Koentjaraningrat, dan Hardjowirogo. Mereka menyatakan bahwa p
erkawinanyang didahului oleh kegiatan meminang dilakukan oleh pihak laki-laki ke
pada pihak perempuan. Dengan demikian, inisiatif untuk mendatangi rumah keluarga
perempuan ialah laki-laki, bukan keluarga perempuan. Atau dengan pernyataan lai
n, peran kaum laki-laki didalam proses awal terjadinya perkawinan adalah lebih d
ominan.
Namun demikian, kiranya terdapat variasi lain didalam tradisi perkawinan ini, ya
itu tradisi meminang yang dilakukan oleh keluarga perempuan terhadap pihak kelua
rga laki-laki; tradisi perkawinan yang terjadi di wilayah Tuban, sebagian Lmonga
n dan Bojonegoro. Seperti diketahui, penelitian yang telah diungkap di atas berl
atar kebudayaan Jawa bagian tengah sebab Clifford Geertz dan Hildred Greetz mene
liti kebudayaan Jawa di wilayah Pare Kediriatau Mojokutoyang settingnya ialah da
erah Mataraman yang lebih dekat kebudayaannya dengan wilayah kebudayaan Jawa pus
at, dan Kodiran, Koentjaraningrat, dan Hardjowirogo juga meneliti kebudayaan Jaw
adi wilayah centrum-nya Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta sehingga berkesimpulan
seperti itu.
Di wilayah kabupaten Tuban sebagai wilayah kebudayaan manca negari—peminangan di
lakukan oleh keluarga sehingga keluarga perempuan yang berhak menentukan siapa c
alon menantu yang akan dipilihnya. Akibatnya, pihak keluarga perempuan berinisia
tif melakukan pilihan, sedangkan keluarga laki-laki yang berhak menolak pinangan
tersebut.
Di dalam trsdisi perkawinan tersebut, posisi laki-laki lebih tinggi disbanding p
erempuan. Tak jarang dijumpai banyak laki-laki yang justru secara ekonomi bergan
tung kepada perempuan. Seorang perempuan dari keluarga kaya relatif lebih mudah
mencari jodoh ketimbang yang tak berpunya. Demikian pula keluarga perempuan yang
cantik jelita juga lebih mudah mencari jodoh meski tidak kaya dibanding perempu
an yang rupanya tidak cantik, apalagi tidak kaya. Akan tetapi, meskipun tidak ca
ntik jika memiliki harta banyak atau anak orang kaya maka akan lebih mudah menem
ukan jodohnya. Untuk itu, ada semacam diskriminasi perlakuan terhadap keluarga t
idak mampu. Dengan demikian, status keluarga kaum perempuan turut serta berperan
di dalam peroses perkawinan. Di dalam wacana masyarakat pedesaan diungkap denga
n pernyataan, larang bawang murah Lombok (laki-laki mahal harganya, sedangkan pe
rempuan murah harganya). Inilah sebabnya, perempuan seringkali menolerir terhada
p “kesalahan” laki-laki sebagai akibat terhadap begitu pentingnya laki-laki di d
alam kehidupan dan menjadi kelompok yang dibutuhkan.
Disamping itu, di kalangan masyarakat pedesaan juga terdapat semacam ketakutan j
ika anak perempuannya belum kawin. Fenomena di pedesaan menggambarkan keluarga p
erempuan terburu-buru untuk mengawinkan anaknya karena takut tidak laku tersebut
. Di lapangan menunjukkan, banyak anak perempuan yang belum cukup umur untuk me
nikah “terpaksa” dikawinkan karena persoalan tersebut. Di kalangan mereka menjad
i janda lebih baik disbandingkan menjadi perawan tua. Tak ayal lagi posisi atau
status perempuan menjadi lebih rentan disbanding kaum laki-laki di dalam sebuah
rumah tangga.
Namun demikian, terkait dengan perubahan sosial yang terjadi, perubahan-perubaha
npun tak akan dapat dielakkan sehingga corak dan bentuk perkawinanpun mengalami
perubahan. Di antara perubahan tersebut adalah semakin longgarnya ikatan tradisi
perkawinan. Banyak dijumpai, misalnya di wilayah pedesaan, yang menggunakan pol
a baru di dalam proses perkawinan, termasuk dalam hal peminangan. Hal ini diduga
karena faktor eksternal semakin terbukanya isolasi masyarakat desa—sehingga per
ubahan merupakan suatu keniscayaan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat variasi tradisi dalam sistem perkawinan
masyarakat jawa, keajegan, dan perubahannya serta faktor-faktor yang terlihat d
i dalam proses perubahan dan keajegan tersebut.
Meskipun demikian, penelitian di bidang antropologi mengenai perkawinan sudah ba
nyak dilakukan oleh berbagai ahli dalam mengungkap pola-pola perkawinan pada mas
yarakat Jawa, pola perkawinan, teutama tradisi keluarga perempuan meminang, belu
m disentuh secara maksimal sebab hasil penelitian selama ini lebih banyak terfok
us pada peminangan yang dilakukan oleh keluarga kaum laki-laki kepada keluarga k
aum perempuan.
Oleh karena itu, melalui kajian ini diharapkan akan diperoleh hasil konsepsi ata
u teoritisasi baru yang memberikan sumbangan terhadap teori atau konsep yang rel
evan dengan bidang antropologi, terutama varian tradisi pada masyarakat Jawa. Da
n dengan demikian, permasalahan yang akan diungkap melalui kajian ini adalah:
1. Bagaimana tradisi peminangan di Tuban, Jawa Timur sebagai variasi dari t
radisi perkawinan di Jawa?
2. Bagaimana tradisi tersebut bertahan (ajeg) dan bagaimana proses pergerak
annya di tengah perubahan sosial yang terus terjadi dewasa ini?
3. Bagaimana pola hubungan di dalam keluarga sebagai akibat dari tradisi pe
minangan yang lebih menempatkan keluarga perempuan sebagai orang yang lebih memb
utuhkan?
Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk:
1. Memahami tradisi peminangan di Tuban, Jawa Tengah, sebagai varian tradis
i perkawinan di Jawa yang berpola lain.
2. Memahami keajegan dan proses perubahannya di tengah perubahan sosial yan
g terjadi dewasa ini.
3. Memahami pola hubungan dalam keluarga sebagai akibat tradisi perkawinan
yang lebih berpihak kepada laki-laki.
Di samping itu, penelitian ini diharapkan berguna:
1. Sebagai sarana untuk mengungkap variasi tradisi di masyarakat Jawa, teru
tama dalam hal peminangan dalam sistem perkawinan di Tuban Jawa Timur.
2. Sebagai sarana untuk menentukn pola keajegan dan perubahan di masyarakat
Jawa, terutama di dalam tradisi perkawinan yang terfokus pada pola peminanganny
a.
3. Sebagai sarana untuk menentukan variasi teoritik di bidang antropologi,
terutama teori mengenai tradisi perkawinan yang berimplikasi terhadap pola hubun
gan di dalam keluarga.
Kajian Pustaka dan Studi Terdahulu
1. Upacara Perkawinan di dalam Kebudayaan Jawa
Secara teoritik-konsepsional dalam budaya Jawa dikenal konsep meminang, yaitu pi
hak keluarga laki-laki meminang terhadap perempuan. Dalam pengamatannya, Geertz
menyatakan:
“Bagi kebanyakan orang, walaupun di dalam banyak kasus anak laki-laki da
n perempuan itu sudah sampai pada saling tahap pengertian dalam hal ini, pola la
ma mengenai lamaran resmi dari orang tua pihak pria masih dilaksanakan, setidak-
tidaknya dalam bentuk resminya. Dalam lamaran itu, keluarga pihak laki-laki meng
unjungi keluarga pihak perempuan untuk saling tukar basa-basi formalism kosong y
ang diperkerok, dan sudah menjadi keahlian orang Jawa sejak dahulu. Ayah pihak l
aki-laki mungkin membuka percakapan itu dengan ucapan seperti “embun di pagi har
i berarti hujan di malam hari,” yang menyatakan bahwa soal yang ingin diperbinca
ngkan ialah soal yang “dingin” atau sederhana saja dan tidak perlu membangkitkan
perasaan yang bukan-bukan. Dengan perkataan dan gaya pemisahan yang sama, ia ti
ba pada pokok persoalan dan menyatakan bahwa ia ingin menjadi besan tuan rumah d
engan mengawinkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan rumah, (kemudian
tuan menjawab) seperti bahwa anak perempuannya itu agak manja, walaupun sudah de
wasa, masih bertingkah laku seperti anak-anak dan ia sendiri merasa bahwa puteri
nya jauh dari memenuhi syarat menjadi menantu tamunya, dan seterusnya.”
Berdasarkan tradisi Jawa, sebagaimana uraian Geertz tersebut, ternyata perkawina
n selalu didasarkan atas kesepakatan awal yang disebut sebagai meminang atau lam
aran, di mana pihak keluarga laki-laki meminang kepada pihak keluarga perempuan.
Meskipun kegiatan ini penuh basa-basi, tentunya mengenang peran penting sebab k
esepakatan untuk melakukan ikatan besanan ditentukan oleh proses awal ini.
Menurut Hildred Geertz, pola pinangan secara formal yang benar menurut kejawen
adalah terdiri atas tiga tahap. Pertama, semacam perundingan penjajakan yang dil
akukan seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud menghindari rasa malu
apabila ditolak. Kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu jaminan yang serba basa
-basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si gadis yang disertai ayah atau
anak saudaranya yang lain. Kunjungan ini dinamakan nontoni, melihat-lihat, tuju
annya untuk member kesempatan, baik kepada si gadis maupun si pemuda untuk salin
g melihat dan barangkali yang lebih penting member kesempatan bagi orang tua ked
ua belah pihak untuk saling menilai. Secara tradisional, dan bahkan sekarangpun
masih sering terjadi, calon mempelai itu belum saling kenal maka saat inilah sat
u-satunya kesempatan bagi mereka untuk saling mengenal. Ketiga, ialah pinangan r
esmi untuk menentukan kapan hari perkawinan dilangsungkan.
2. Upacara di dalam Tradisi Perkawinan
Di dalam tradisi Jawa, upacara yang terkait dengan kehidupan dikonsepsikan oleh
para ahli antropologi sebagai upacara lingkaran hidup (rites of the life cycle)
yang dikonsepsikan oleh prang Jawa sebagai slametan, yaitu suatu upacara makan b
ersama makanan yang telah dibeiri doa sebelum dibagi-bagikan. Slametan tidak ter
pisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubungannya dengan kep
ercayaan pada unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus. Slametan
ditujukan agar tidak ada gangguan apa pun di dalam kehidupan manusia.
Setiap kegiatan upacara ritual atau slametan adalah sebuah kegiatan yang melibat
kan semua unsur masyarakat di dalam lingkungan bertetangga. Partisipasi masyarak
at di dalam upacara ritual atau slametan menggambarkan adanya tindakan harmoni s
osial, keteraturan sosial, dan kerukunan sosial sebab semua anggota masyarakat d
alam lingkaran bertetangga tersebut dalam suasana yang sama dan juga menikmati m
akanan yang hampir sama sehingga inilah suatu wujud dari konsepsi Jawa mengenai
slamet, rukun, dan harmoni.
Slametan adalah inti kehidupan orang Jawa, slametan adalah wujud tidak hanya har
monisasi antara sesama makhluk hidup (hidup), tetapi juga bermakna harmonisasi a
ntara kekuatan natural dan supranatural, antara mikrokosmos dan makrokosmos, ant
ara kekuatan kodrati dan adikodrati, antara kekuatan manusia dan makhluk halus,
dan lain sebagainya. Di dalam hubungan antara kekuatan makrokosmos dan mikrokosm
os, ada proses saling mengisi. Sementara itu, kekuatan dunia sacral memberikan k
eselamatan atau barokah bagi manusia sehingga terdapat sebuag ruang kosong di da
lamnya, dan manusia harus mengisi ruang kosong tersebut supaya selalu penuh. Rua
ng kosong yang tidak terisi oleh berbagai upacara ritual akan menyebabkan terjad
inya bencana atau malapetaka.
Upacara perkawinan disebut kepanggihan (pertemuan) dan selalu diselenggarakan di
rumah pengantin perempuan. Di sini, ada semacam kewajiban bagi orang tua untuk
menyelenggarakan sebuah pesta besar, terutama di dalam tradisi perkawinan. Jika
keluarga perempuan tidak mampu maka keluarga calon mempelai laki-laki bisa memba
ntu sesuai dengan kemampuannya. Dan kalau penyelenggaraan upacara ditunda sampai
beberapa bulan atau bagi yang beragama Islam kuat bisa juga dilakukan di masjid
.
Ketika terjadi upacara perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan kepada pihak
perempuan, yaitu berupa peningset dan seserahan. Peningset merupakan seperangka
t pakaian lengkap dan sasrahan biasanya berupa kerbau atau sapi yang akan disemb
elih untuk kegiatan upacara. Bisa saja sasrahan itu berupa uang dengan jumlah te
rtentu, meskipun tidak senilai dengan sapi atau kerbau. Menurut konsepsi Jawa, a
nak perempuan pertama yang dikawinkan disebut bubak atau membersihkan daerah per
awan, sedangkan untuk anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek atau pengh
ormatan yang terakhir.
Slametan perkawinan diselenggarakan pada malam hari menjelang upacara sebenarnya
. Di sini, pengantin laki-laki akan tetap disembunyikan dari pandangan pengantin
perempuan dan mereka tidak diperkenankan untuk saling memandang sampai upacara
sebenarnya dilakukan.
Sesudah slametan, pengantin perempuan ditempatkan di sentong tengah, gadis perem
puan didudukkan didepannya selama kira-kira empat jam sampai tengah malam, pada
saat bidadari turun dan memasukinya, untuk tinggal di sana sampai lima hari sesu
dah perkawinan. Itulah yang menyebabkan pengantin kelihatan lebih cantik dari b
iasanya. Pada saat ini, si ibu pengantin perempuan mencari kembang mayang atau b
unga yang sedang mekar yang terdiri dari batang pohon pisang, dan kumpulan bunga
nya terbuat dari dedaunan yang diberi lekuk-lekuk dan diberi daun kelapa muda. K
eduanya menggambarkan keperawanan dan kejejakaan mempelai. Kembang mayang dibuat
untuk masing-masing pengantin, dan jika pengantin laki-laki tersebut tidak jeja
ka maka hanya dibuat sepasang, sedangkan jika pengantin perempuan tidak perawan
maka upacara kepanggihan tidak diperlukan lagi.
Upacara perkawinan yang sebenarnya dilakukan pagi harinya, bisa dilakukan di rum
ah, masjid, atau di KUA. Melalui bimbingan naib atau pegawai pencatat nikah, pro
sesi perkawinan tersebut diselenggarakan. Si pengantin laki-laki diharuskan untu
k membaca syahadat dan setelah itu dibimbing untuk menerima pernikahan perempuan
yang akan dinikahinya. Prosesi ini berakhir setelah si pengantin laki-laki memb
aca ta’liq talaq atau perjanjian akan kesanggupan laki-laki untuk menghidupi kel
uarganya dan jika mengingkari maka si perempuan dapat menuntut cerai.
Pada kalangan santri, pernikahan diselenggarakan dengan pola perkawinan islam, y
aitu pengantin menghadap ke pengantin naib dan disertai dengan kiayi, saksi, wal
i (biasanya orang tua pengantin perempuan), dan juga kerabat pengantin laki-laki
. Upacara diawali dengan bacaan khutbah oleh seseorang (biasanya kiayi), setelah
itu dilanjutkan dengan bacaan ijab dan qabul yang diawali dengan naib dan kemud
ian dilanjutkan oleh pengantin laki-laki dalam bahasa Arab. Jika naib sudah memb
aca halan maka segera pengantin laki-laki menjawab qabiltu nikachaha dan seterus
nya. Jika dianggap telah sah maka kiayi memimpin doa dan diakhiri dengan penanda
tanganan oleh saksi di buku register perkawinan.
Di rumah pengantin perempuan terdapat kegiatan yang disebut duwe gawe atau ewoh,
dalam bahasa Jawa madya disebut gadah damel. Di kala ini, pengantin pengantin p
erempuan berdandan layaknya seorang puteri, wajahnya dibuat berwarna kuning deng
an bedak, bulu matanya dilentikkan, bibirnya merah menyala, di dahinya diberi hi
asan hitam pekat, dan rambutnya diatur rapi. Demikian pula di dadanya, tergantun
g hiasan-hiasan emas atau perak, tangannya diberi gelang emas dan daun telingany
a diberi giwang yang berwarna keemasan. Sementara sang laki-laki, berpakaian ala
Eropa—memakai jas, dasi, dan celana yang biasanya berwarna gelap, bersepatu ata
u sandal sepatu atau bisa juga memakai pakaian adat. Upacara ini biasanya dipimp
in oleh dukun manten.
3. Hubungan Suami-Istri: antara Hak dan Kewajiban
Suami-istri adalah konsep yang diakibatkan oleh adanya proses pernikahan dan per
kawinan antara dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Kesepakatan mengenai
tali perkawinan pada dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa kedua makhluk ini s
aling memiliki perbedaan baik yang bersifat natural maupun potensi. Oleh karena
itu, selalu ada konsepsi dikotomis ketika melihat relasi antara laki-laki dan pe
rempuan di dalam konteks kontruksi sosial, baik yang berasal dari paham keagamaa
n, sosial, maupun budaya.
Dalam pandangan Islam, dikotomi antara laki-laki dan perempuan atau masalah lai
nnya, sebagaimana pandangan umum lainya. Ulama klasik rata-rata menyatakan bahwa
laki-laki dan perempuan memang berbeda, bukan hanya dalam masalah antonomi, mel
ainkan juga dalam masalah lain. Namun demikia, di antara para pemikir Islam ada
yang berpendapat bahwa perbedaan itu sebenarnya dari penafsiran terhadap teks ag
ama yang seringkali bias gender.
Kontroversi ini sebenarnya berawal dari penafsiran teks-teks ajaran islam yang s
ecara maknawi memang menyajikan perbedaan, terutama dalamkonteks fiqih. Kontrove
rsi itu dating dari ayat mengenai keunggulan laki-laki atas perempuan, terutama
didalam persoalan kepemimpinan. Misalnya, An-Nisa’ ayat 34 memberikan gambaran b
ahwa “laki-laki bertanggung jawab terhadap (pemimpin) perempuan”, sesuai dengan
kelebihan yang diberikan Allah kepada sebagian mereka terhadap sebagian lainnya,
dan juga laki-laki menafkahkan harta bagi keluarganya.
Sebenarnya, harus diakiui bahwa perubahan tentang peran dan posisi perempuan di
masyarakat juga relatif telah terjadi. Perubahan itu sekurang-kurangnya dipicu o
leh perubahan sosial yang terus berlangsung. Perubahan posisi dan peran perempua
n di dalam keluarga tentunya terkait dengan persoalan ekonomi rumah tangga da tu
ntutan akan kemandirian perempuan di tengah desakan untuk memperoleh nafkah bagi
dirinya sendiri.
4. Perubahan Kebudayaan
Perubahan adalah inti kehidupan. Tidak ada yang stagnan di dunia sehingga semuan
ya terkena hokum perubahan baik yang bergerak linier maupun yang sirkular. Perub
ahan sosial menyangkut perubahan kehidupan manusia yang terkait dengan lingkunga
n kehidupannya yang berupa fisik, alam, dan sosial.
Perubahan tradisi pada suatu komunitas dapat dilihat dari perspektif perubahan k
ebudayaan. Secara teoritis, perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok. Pertam
a, perubahan system nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan
proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi. Kedua, p
erubahan system makna dan system pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu keran
gka makna (kerangka pengetahuan), penolakan, dan sikap penerimaan makna baru den
gan proses orientasi ke disorientasi ke reorientasi system kognitifnya. Ketiga,
perubahan system tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku. Keemp
at, perubahan system interaksi. Kelima, perubahan system kelembagaan.
Perubahan kebudayaan, dengan demikian, dapat dilihat sebagai suatu keniscayaan y
ang melazimi di dalam kehidupan manusia baik dilihat dari kerangka makna, tindak
an, dan organisasinya.
Hasil Studi
Lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Tuban, desa Sumbang. Dipilih karena sedang
dalam proses transisi karena masuknya budaya kota melalui berdirinya pabrik Seme
n Gresik di Tuban. Desa ini menggambarkan dinamika perubahan dari tradisi perkaw
inan lama ke yang baru, melalui mekanisme perubahan yang cukup berarti.
Suatu kenyataan bahwa meskipun memiliki kesamaan secara umum dengan budaya Jawa,
ternyata terdapat variasi yang mencolok terkait dengan budaya meminang di Kabup
aten Tuban. Jika biasanya budaya Jawa meminang dari pihak laki-laki, lain halnya
dengan Desa ini. Sebaliknya, yang meminang adalah dari pihak perempuan. Di teri
ma atau ditolaknya bergantung pada si laki-laki. Di dalam realitas kehidupan, ta
k jarang peminangannya ditolak dank au perempuan meminang lagi untuk kesekian ka
linya.
Dominasi kaum laki-laki juga lebih kentara di dalam dinamika kehidupan rumah tan
gga. Sementara kaum laki-laki meminum tuwak dipinggiran jalan, sementara kaum pe
rempuan bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya. Tanggung jawab perempuan
ternyata lebih besar dibanding laki-laki. Namun demikian, kesadaran seperti ini
sudah muncul. Ada cemoohan yang dilontarkan oleh kaum perempuan ketika melihat
kenyataan seperti itu. Kesadaran itu didapati biasanya di tempat ngerumpi sesama
perempuan. Dan mereka melakukannya dengan cara berbisik-bisik.
Secara kategoris, pola peminangan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki dapat d
itipologikan dengan beberapa hal, yaitu peminangan perempuan sedesa, peminangan
perempuan di luar desa, peminangan perempuan di luar kecamatan, dan peminangan p
erempuan di luar kabupaten. Peminangan tersebut memiliki substansial yang sama,
dan meskipun terdapat varian di dalam bentuk kualitasnya. Pola yang sama tersebu
t ialah pada proaktivitas keluarga perempuan, sedangkan variasi bentuk kualitasn
ya berkaitan dengan pengakomodasian tradisi local dari keluarga laki-laki.
Analisis Perubahan Kebudayaan
Sebagai sebuah penelitian yang bersumber dari buku, kesimpulan yang akan ditarik
tidak dapat digeneralisasikan pada sasaran kajian yang lebih luas. Ia hanya men
ggambarkan mengenai apa dan bagaimana hakikat sebuah fenomena berada di suatu lo
kus tertentu dalam kaitannya dengan fenomena lain yang lebih luas dan kompleks.
Ia hanya sebuah lukisan mengenai fenomena, tanpa dimaksudkan untuk menjelaskan b
agaimana fenomena berkolerasi dengan fenomena lain.
Sebagai sebuah lukisan mengenai kehidupan sebuah komunitas yang di dalamnya meng
andung kompleksitas keajegan dan perubahan, keberadaan fenomena tersebut tentuny
a mengandung keunikan dalam pengertian yang relatif berbeda dengan fenomena duni
a lain di sekitarnya.
Keunikan itu, sebagaimana hasil dari penelitian ini adalah peminangan yang dilak
ukan oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki. Sebenarnya, peminangan t
ersebut tidak memiliki ciri yang benar-benar khas. Artinya, sebuah fenomena yang
tidak ada kesamaan sedikitpun dengan tradisi lain. Akan tetapi, jika dibandingk
an dengan konsepsi budaya Jawa secara umum, ternyata variasi ini adalah sesuatu
yang nyata ada. Secara khas realitas. Budaya Jawa sebagaimana jelas menggambarka
n adanya tindakan meminang yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Ini b
erarti kaum laki-laki lah yang memilih, dan sebaliknya kaum perempuan yang dipil
ih. Posisi yang dipilih dan memiliki kemampuan menolak dalam konteks ini ternyat
a lebih dominan disbanding yang memilih. Akibatnya, posisi perempuanlah yang men
entukan dan posisi laki-laki ditentukan.
Ini sangat berbeda dengan peminangan di kabupaten Tuban. Di sini, justru kaum la
ki-lakilah yang menentukan, menolak atau menerima. Akibatnya, posisi dominan jus
tru berada di tangan laki-laki, dan perempuan tidak dominan. Dominasi itu semaki
n jelas manakala dilakukan crossing dengan tindakan kaum laki-laki baik di dalam
maupun di luar rumah. Perempuan bekerja lebih keras dan lebih bertanggung jawab
terhadap kehidupan keluarga disbanding dengan laki-laki. Sementara perempuan be
kerja keras, laki-laki justru menikmati hiburan, makan dan minum di pinggiran ja
lan atau warung-warung. Sunggug, laki-laki ialah barang langka yang keberadaanny
a meastilah dijaga sedemikian rupa. Begitu butuhnya perempuan terhadap laki-laki
, ia rela banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Peminangan tidak hanya sekedar persoalan perkawinan, tetapi juga sebuah gengsi s
osial. Keluarga dengan status sosial ekonomi tinggi akan bisa memamerkan kekayaa
nnya melalui proses peminangan ini. Banyaknya hadiah yang akan diberikan kepada
calon menantu akan menjadi ukuran seberapa besar tingkat sosial ekonomi keluarga
perempuan. Inilah sebabnya, orang seringkali berlomba untuk meminang dengan sta
ndar yang jauh dari batas kemampuan ekonominya. Semakin berkualitas hadiah yang
dibawanya, semakin besar status sosial kedua belah pihak terangkat. Jadi, status
sosial bertali temali dengan peminangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan.
Di tengah perubahan yang terus terjadi, ternyata budaya perempuan meminang masih
tetap bertahan. Inti tradisi ini tampaknya belum segera akan hilang, meskipun s
ebenarnya meminang itu hanya sekadar penguatan terhadap hubungan antara laki-lak
i dan perempuan (pacaran) yang terus terjadi dewasa ini. Meskipun masih dijumpai
hubungan perkawinan laki-laki dan perempuan yang dilakukan melalui serangkaian
pemaksaan, seiring dengan perubahan sosial yang terus berlangsung meminang juga
menjadi semakin simple, meski keberadaannya akan tetap dipertahankan.
Penelitian ini akan mengukuhkan teori tentang keajegan di dalam perubahan (conti
nuity within change), sebagaimana digagas oleh Parsudi Suparlan, Zaniecky, dan I
gnaz Kleden mengenai tahapan perubahan budaya. Dari dimensi perubahan kognisi, t
erlihat masyarakat di wilayah ini telah mengalami berbagai perubahan yang menyan
gkut seperangkat pengetahuannya mengenai variasi budaya lain, dan kebudayaannya
bukanlah yang tunggal terjadi dan ada atau dapat diterima di mana saja.
Dari dimensi perubahan perilaku, tampak bahwa proses perubahan juga sedang terja
di. Jika pada masa lalu peminangan benar-benar menjadi kewajiban dan monopoli ke
luarga perempuan maka sekarang tidak lagi. Perubahan yang terjadi ialah pada “ke
beranian” kaum laki-laki untuk menanyakan terlebih dahulu, dengan resiko ditolak
oleh pihak keluarga perempuan. Kemudian jika telah ada kesepakatan, barulah dit
indaklanjuti dengan melamar yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Hal in
i merupakan bukti perubahan perilaku tersebut. Disamping itu juga ada beberapa k
asus mengenai perilaku keluarga laki-laki yang terlebih dahulu melakukan peminan
gan. Gambaran-gambaran ini merupakan suatu kenyataan mengenai adanya perubahan y
ang terus akan berlangsung.
Perubahan kognisi itu berkaitan dengan perasaan banwa menjodohkan anak adalah ha
k dan kewajiban orang tua. Anak adalah objek yang dapat diperlakukan apa saja at
au dijodohkan dengan siapa saja. Orang tua telah memberikan ruang kemerdekaan ba
gi anak untuk melakukan apa yang cocok dan berguna bagi dirinya.
Perubahan tindakan itu bisa dipicu oleh berbagai interaksi yang intensif dengan
dunia luar akibat urbanisasi—dan juga faktor pendidikan. Semakin banyak anak yan
g berpendidikan semakin tinggi maka akan muncul kemandirian untuk melakukan tind
akan. Secara konsepsional-teoritik, mereka menjadi semakin rasional—atau dalam k
onsepsi Weber disebut tindakan rasional bertujuan, yaitu tindakan yang didasari
oleh berbagai motif dan keinginan yang bersesuaian dengan tujuan hidup. Dengan d
emikian keniscayaan bahwa perubahan akan terus berlangsung meskipun di antara be
rbagai perubahan tersebut juga masih menyisakan ruang yang ajeg, yaitu tidak ber
ubah.
Oleh karena itu, terdapat variasi tradisi pada masyarakat Jawa yang juga sedang
mengalami proses perubahan, dengan tetap mempertahankan apa yang dianggap sebaga
i inti budaya dan mengubah hal-hal yang menyertainya.
Kesimpulan
Dari uraian di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi peminangan di Tuban, Jawa Timur, ternyata memiliki perbedaan den
gan tradisi peminangan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Bentuk
variasi tradisi itu ialah peminangan yang dilakukan oleh pihak keluarga perempua
n kepada pihak keluarga laki-laki.
2. Di tengah perubahan sosial yang terus terjadi, dapat dilihat adanya feno
mena yang terus berlangsung (ajeg) dan ada fenomena yang berubah. Yang ajeg iala
h pola peminangan yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki sedesa, luar de
sa, dan luar kecamatan dengan bahan peminangan yang memiliki kekhasan dengan var
iasi yang mengalami perubahan, sedangkan yang berubah lebih nyata ialah akomodas
i tradisi keluarga laki-laki yang akan dijodohkan dengan perempuan yang memiliki
tradisi berbeda.
3. Sebagai akibat peminangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan, posisi
perempuan lebih membutuhkan terhadap laki-laki sehingga berakibat lebih lanjut,
yaitu secara ekonomis tanggung jawab perempuan lebih besar.
Keterbatasan kajian ini tentu saja ialah pada kesimpulan terakhir ini, yang dira
sakan oleh penulis sebagai kesimpulan yang masih sangat hipotesis. Kiranya diper
lukan suatu studi mendalam untuk menjawab kebenaran pernyataan ini. Data yang di
ungkap dalam tulisan ini masih elementer dan artificial, dalam arti “kurang” me
ndalam. Seyogyanya, penulisan ini akan ditindaklanjuti untuk mengkaji apakah ben
ar di dalam tradisi di mana kaum perempuan melakukan peminangan terhadap kaum la
ki-laki menjadikan peran dan tanggung jawab kaum perempuan menjadi lebih dominan
.
Penelitian ini dirasa penting di tengah banyaknya kajian tentang gender yang dia
sumsikan perlunya kesetaraan. Artinya, dugaan adanya peran subordinat yang diala
mi oleh perempuan ini apakah memang nyata terkait dengan tradisi perempuan membu
tuhkan laki-laki atau hanya faktor yang kebetulan saja.
Di dalam kerangka memberikan pemahaman lebih lanjut, kiranya penelitian yang leb
ih gender oriented dirasakan sebagai kepentingan akademik yang mendesak, dan set
idaknya penelitian seperti ini dapat direalisasikan.
Daftar pustaka
Ignaz Kleden. 1987. Kritik Kebudayaan. Jakarta: Rajawali Press.
Koentjaraningrat. 1981. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
-----. 1985. Kebudayaa Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Nur Syam. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiSYogyakarta.

You might also like