Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja
kontemplatif, Ibnu thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses- prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam novel yang terkenal, “Hayy bin Yaqdzan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan )” atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi). Secara ringkas, karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut oleh Ibnu Thufail sebagai Hayy Ibn Yaqdzan (hidup anak kesadaran). Tokoh Hayy hidup terpencil dan bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya hanya dengan menggunakan akal dan pancaindera. Hay digambarkan sebagai sosok manusia alam yang tak pernah mengenali orangtuanya. Tetapi alam telah memberinya seekor kijang yang mengasuh dan memberinya makan. Setelah dewasa, dia mengarahkan pandangannya terhadap perkara yang ada di sekelilingnya. Di sini, dia mulai memahami tentang kejadian, pengalaman, dan rahasia perubahan yang terjadi di sekelilingnya; sehingga ia tahu, bahwa di balik alam ini terdapat sebab- sebab yang tersembunyi yang menciptakan dan membentuk alam raya dan dirinya. Hayy Ibnu Yaqdzan selalu membahas dan menganalisa sesuatu perkara secara sendiri melalui akalnya, sehingga dia mampu mengetahui bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada hubungannya dengan Sang Pecipta. Ia kemudian dikenalkan dengan nama Allah, sebagai Yang Maha segalanya, setelah bertemu dengan Asal, tokoh fiktif yang berperan sebagai pendakwah (da`i) yang membawa kebenaran agama. Dengan melalui lika-liku perdebatan yang kritis dan dialogis, Hayy menerima pandangan-pandangan agama yang disampaikan Asal. Hay mengakui adanya kesamaan tentang Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta raya dengan “Sang-Realitas” yang berada dibalik alam raya yang diakuinya sebagai Tuhan. Dengan karakter tokoh Hayy itu, Ibnu Thufayl berhasil membuat uraian yang menarik sekaligus membantu memahami pemikiran-pemikirannya. Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan bahwa seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu pengetahuan secara gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang rasional atau dari suatu yang tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di ketahui ( ma’lum) sampai kemudian menuju ke pembentukan pengetahuan yang bersifat metafisika , dan kemungkinan itu tetap ada sekalipun ia hidup di habitat yang terisolir dari manusia tanpa bantuan bahasa, tradisi, agama dan budaya yang mewarnainya , dan itulah tema yang ingin di tunjukkan dalam kehidupan hay bin yaqdhan dalam keterisolasirannya yang total sejak kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina dan Ibnu Bajah yang berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika merupakan hasil dari pembelajaran, studi, dan inteletualitas yang berarti mensyaratkan bagi orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam habitat manusia. Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga meliputi indrawi, akal atau rasio dan intuisi( hati) , adapun yang pertama yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan, pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa , bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah di butuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek ( mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat membantu anda memahami konsep ini ) selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi, akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas, misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas, kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain. Dalam hal inilah di butuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi ( hati ) yang menurut Ibnu Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah annafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering di capai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian. Di roman filsafatnya, beliau juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang sebenarnya sama saja . dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan mistik ( kasyaf ) dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan