You are on page 1of 3

Nama : Komarudin

NIM : 207201751

Kelas : PBA /A

FILSAFAT IBNU THUFAIL

Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja


kontemplatif, Ibnu thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-
prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya. Beliau merangkum
hasil-hasil pencerahannya dalam novel yang terkenal, “Hayy bin Yaqdzan
(hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari
intelek Tuhan )” atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah
(rahasia-rahasia filsafat eluminasi).
Secara ringkas, karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh
tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut
oleh Ibnu Thufail sebagai Hayy Ibn Yaqdzan (hidup anak kesadaran). Tokoh
Hayy hidup terpencil dan bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya
hanya dengan menggunakan akal dan pancaindera. Hay digambarkan
sebagai sosok manusia alam yang tak pernah mengenali orangtuanya.
Tetapi alam telah memberinya seekor kijang yang mengasuh dan
memberinya makan. Setelah dewasa, dia mengarahkan pandangannya
terhadap perkara yang ada di sekelilingnya. Di sini, dia mulai memahami
tentang kejadian, pengalaman, dan rahasia perubahan yang terjadi di
sekelilingnya; sehingga ia tahu, bahwa di balik alam ini terdapat sebab-
sebab yang tersembunyi yang menciptakan dan membentuk alam raya dan
dirinya. Hayy Ibnu Yaqdzan selalu membahas dan menganalisa sesuatu
perkara secara sendiri melalui akalnya, sehingga dia mampu mengetahui
bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan manusia itu bergantung kepada
hubungannya dengan Sang Pecipta. Ia kemudian dikenalkan dengan nama
Allah, sebagai Yang Maha segalanya, setelah bertemu dengan Asal, tokoh
fiktif yang berperan sebagai pendakwah (da`i) yang membawa kebenaran
agama. Dengan melalui lika-liku perdebatan yang kritis dan dialogis, Hayy
menerima pandangan-pandangan agama yang disampaikan Asal. Hay
mengakui adanya kesamaan tentang Allah sebagai Tuhan yang menciptakan
alam semesta raya dengan “Sang-Realitas” yang berada dibalik alam raya
yang diakuinya sebagai Tuhan. Dengan karakter tokoh Hayy itu, Ibnu Thufayl
berhasil membuat uraian yang menarik sekaligus membantu memahami
pemikiran-pemikirannya.
Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan
bahwa seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki
kesiapan secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu
pengetahuan secara gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang
rasional atau dari suatu yang tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di
ketahui ( ma’lum) sampai kemudian menuju ke pembentukan pengetahuan
yang bersifat metafisika , dan kemungkinan itu tetap ada sekalipun ia hidup
di habitat yang terisolir dari manusia tanpa bantuan bahasa, tradisi, agama
dan budaya yang mewarnainya , dan itulah tema yang ingin di tunjukkan
dalam kehidupan hay bin yaqdhan dalam keterisolasirannya yang total sejak
kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina dan Ibnu Bajah yang
berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika merupakan hasil
dari pembelajaran, studi, dan inteletualitas yang berarti mensyaratkan bagi
orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam habitat
manusia.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa sumber-sumber
pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya ada tiga
meliputi indrawi, akal atau rasio dan intuisi( hati) , adapun yang pertama
yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima yaitu penglihatan,
pendengaran, perasam pencium dan peraba yang merupakan alat untuk
mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara,
rasa , bau-bauan dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih
mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna
maka di sinilah di butuhkan sumber pengetahuan yang kedua yaitu akal atau
rasio yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu
obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek
( mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu dapat
membantu anda memahami konsep ini ) selain ia juga mampu menangkap
esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan
demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi, akan tetapi akalpun
masih bersifat terbatas, misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa
orang yang sedang jatuh cinta akan sangat berbeda dalam melihat realitas,
kenapa amr qois ketika memandang rumah laila akan memiliki makna yang
berbeda di banding orang lain. Dalam hal inilah di butuhkan sumber
pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi ( hati ) yang menurut Ibnu
Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan
wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa (tazkiah annafs/ riyadhah
ruhiyah) yang sering di capai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari
pencapaian intusi ini adalah wahyu yang di khususkan sebagai status
kenabian.
Di roman filsafatnya, beliau juga ingin menyampaikan bahwa
kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal dan eksternal yang
sebenarnya sama saja . dan kedua wajah tersebut berkaitan dengan
dikhotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khowash yang mampu
mencapai taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun
pencerahan mistik ( kasyaf ) dan kalangan awam yang tak mampu
mencapainya dan hanya mampu mengerti bahasa literal dari matan-matan
kudus wahyu keagamaan

You might also like