You are on page 1of 31

i

DAFTAR ISI

 Daftar isi .................................................................. i

 Sejarah Suku Sunda .................................................................. 1

 Bahasa Sunda .................................................................. 5

 Budaya Sunda

.....

............................................................. 9

 Aksara Sunda Baku

..... ..................................

................. .......... 12

 Senjata Khas Sunda .................................................................. 15

 Baju Adat Khas Sunda .................................................................. 20

 Rumah Adat Sunda .................................................................. 21


 Tarian Khas Sunda .................................................................. 22

 Makanan Khas Sunda .................................................................. 23

 Kerajinan Tangan .................................................................. 24

 Makanan Khas Sunda .................................................................. 25

1
SEJARAH SUKU SUNDA

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau
Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar
Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten,
sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah.

Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda.

Temuan arkeologi tertua mengenai penghuni Jawa Barat ditemukan di Anyer


dengan ditemukannya budaya logam perunggu dan besi dari sebelum
milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi kuno)
dapat ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon.

Jawa Barat pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara.


Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa
Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan
dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar
menceritakan para raja Tarumanagara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara akibat serangan kerajaan
Sriwijaya berdasarkan prasasti Kota Kapur (Tahun 686), kekuasaan di bagian
barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Ciserayu dilanjutkan oleh
Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah
prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan sunda
beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).

Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi ancaman kepada


Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cirebon lepas dari Kerajaan Sunda atas bantuan
Kesultanan Demak. Pelabuhan Cirebon kemudian menjadi Kesultanan
Cirebon yang merdeka dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas
ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian menjadi Kesultanan Banten.
Untuk menghadapi ancaman Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak, Sri
baduga Maharaja, raja Sunda saat itu meminta putranya, Surawisesa untuk
membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan bangsa Portugis di
Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa
kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada saat Surawisesa
menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, perjanjian
pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang dikenal dengan Luso-
Sundanese Treaty, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya,
Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda
Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan
perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu
monumen batu yang disebut Padrao di tepi sungai Ciliwung di sekitar daerah
Tugu.
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat,
pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan
aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan,
menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara
Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai
akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu
Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.

Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu
Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah
tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat
mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya
jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan
Banten, wilayah Priangan jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.

Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun


1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat.
Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet
tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah
provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar
Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian
Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian
besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa ibu.

Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik
Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan
yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat
sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar:
Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda.
Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for
Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.

Namun Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada


tahun 1950.

Kata Sunda bisa mengandung berbagai arti yang secara umum berkaitan
dengan etnis/suku bangsa Sunda di bagian barat Nusantara. Catatan sejarah
tertua yang sudah ditemukan mengandung kata "Sunda" adalah prasasti
Kebonkopi yang dibuat tahun 458 Saka (536 M, namun ada pula yang
berpendapat bahwa prasasti ini dibuat tahun 854 Saka, 932 M) yang
menunjuk pada kerajaan Sunda.

 Etimologi

Kata ini kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yang bisa berarti
'cahaya' atau 'air'. Dalam naskah historis lainnya menyebutkan Sunda
merujuk pada ibukota Kerajaan Tarumanegara yang bernama Sundapura.
Sehingga masyarakat yang menghuni wilayah tersebut dikenal sebagai orang
Sunda yang disebut hingga kini. Kerajaan Tarumanegar merupakan salah
satu kerajaan tertua di Nusantara yang terbukti dengan bukti prasasti dan
berita naskah kuno di negeri Tiongkok. Letak tepat kota Sundapura masih
menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bekasi atau Karawang
sekarang. Hanya di Karawang terdapat situs percandian Batujaya seluas 5
km persegi yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad
2 Masehi hingga abad 12 Masehi.

BAHASA SUNDA

Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa
dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai
dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten
khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, sebagian besar wilayah
Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan
urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar
hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.

 Dialek Bahasa Sunda

Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-
Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa
Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang
berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:
 Dialek Barat
 Dialek Utara
 Dialek Selatan
 Dialek Tengah Timur
 Dialek Timur Laut
 Dialek Tenggara

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan [2]. Dialek Utara


mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian
Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota

Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di
sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan,
dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan
akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.

 Sejarah dan Penyebaran

Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah


yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga
dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes
dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan
nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur,
Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang
menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa
nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan", sebab pada abad ke-19
nama ini seringkali ditulis sebagai "Clacap".
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6
wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa
Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap sebagai nama Sunda
(asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring
mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di
Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali, warga
Sunda menetap di daerah baru tersebut.

 Fonologi

Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada

lima suara vokal murni (a, é, i, o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (ɤ),
dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya ditulis dengan huruf p, b, t, d, k,
g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.

Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan
utama: f -> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.

 Undak-usuk

Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-


Islam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-
usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa
loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah
pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma
(bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di
bawah ini disajikan beberapa contoh.

Tempat

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


Bahasa Indonesia
(normal) (sopan/lemes)
di atas .. di luhur .. di luhur ..
di belakang .. di tukang .. di pengker ..
di bawah .. di handap .. di handap ..
di dalam .. di jero .. di lebet ..
di luar .. di luar .. di luar ..
di samping .. di samping .. di gigir ..
di antara .. di antara .. di antawis ..
dan .. jeung .. sareng ..

Waktu

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


Bahasa Indonesia
(normal) (sopan/lemes)
sebelum saacan sateuacan
sesudah sanggeus saparantos
ketika basa nalika
Besok Isukan Enjing

Lain Lain

Bahasa Sunda Bahasa Sunda


Bahasa Indonesia
(normal) (sopan/lemes)
Dari Tina Tina
Ada Aya Nyondong
Tidak Embung Alim
9

BUDAYA SUNDA

Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi


sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat sunda, ramah tamah
(someah), murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati orang tua.
Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Di dalam bahasa Sunda
diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua.

 Reog

Kesenian reog menggunakan dogdog (gendang) yang ditabuh, diiringi oleh


gerak tari yang lucu dan lawak oleh para pemainnya. Biasanya disampaikan
dengan pesan-pesan sosial dan keagamaan. Kesenian reog dimainkan oleh
empat orang, yaitu seorang dalang yang mengendalikan permainan, wakilnya
dan ditambah oleh dua orang lagi sebagai pembantu. Dalang memainkan
dogdog berukuran 20 cm yang disebut dogdog Tilingtingtit. Wakilnya
memegang dogdog yang berukuran 25 cm yang disebut Panempas, pemain
ketiga menggunakan dogdog ukuran 30-35 cm yang disebut Bangbrang dan
pemain keempat memegang dogdog ukuran 45 cm yang disebut Badublag.

Lama permainannya berkisar antara satu sampai satu setengah jam. Untuk
lagu-lagunya ada pula penabuh waditra dengan perlengkapan misalnya dua
buah saron, gendang, rebab, goong, gambang dll. yang berfungsi sebagai
pengiring lagu-lagunya sebagai selingan atau pelengkap.

Reog yang sekarang memang beda dengan reog zaman dahulu, sedikit
sudah dikembangkan terlihat dari jumlah personil dan alat musik yang
dipakai. Alat musik yang di pakai pada Reog adalah Reog atau ada yang
nyebut dogdog atau ogel yang terdiri dari Dalang, Wakil, Beungbreung,

10

Gudubrag, dan Kecrek (markis), alat musik pengiring Reog biasanya


kendang, goong, torompet dan kacapi. Pada Reog hasil pengembangan
biasanya di tambah alat musik keyboard dan gitar.

 Kabayan

Kabayan merupakan tokoh imajinatif dari budaya Sunda yang juga telah
menjadi tokoh imajinatif masyarakat umum di Indonesia. Polahnya dianggap
lucu, polos,tetapi sekaligus cerdas. Cerita-cerita lucu mengenai Kabayan di
masyarakat Sunda dituturkan turun temurun secara lisan sejak abad ke-19
sampai sekarang. Seluruh cerita Kabayan juga menggambarkan kehidupan
sehari-hari masyarakat Sunda yang terus berkembang sesuai zaman.

 Kabuyutan
Istilah Kabuyutan dalam budaya Sunda setidaknya sudah ada pada awal
abad ke-11 M. Prasasti Cibadak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M,
menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah
menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu)
selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus
dituruti oleh semua rakyatnya.

Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung
dua arti. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat
(orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu
atau pamali.

Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung
konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan

11

hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu,


peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong
kabuyutan. Adapun satru kabuyutan alias musuh kabuyutan berarti musuh
yang turun-temurun, dan sukar berakhir.

Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan
merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa
berupa bangunan, tapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi
pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah
salah satu contoh kabuyutan.

Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat
pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di
kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu
agama, atau memanjatkan doa.

Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah


satu jejak kebudayaan Hindu di tatar Sunda. Kadang-kadang tempat tersebut
disebut pula mandala.

Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu


tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki
Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah
satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan
Kota Garut.

12

AKSARA SUNDA BAKU

Aksara Sunda Baku merupakan sistem penulisan hasil penyesuaian Aksara


Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer.
Saat ini Aksara Sunda Baku juga lazim disebut dengan istilah Aksara Sunda.

 Latar Belakang dan Sejarah

Setidaknya sejak Abad IV masyarakat Sunda telah lama mengenal aksara


untuk menuliskan bahasa yang mereka gunakan. Namun demikian pada awal
masa kolonial, masyarakat Sunda dipaksa oleh penguasa dan keadaan untuk
meninggalkan penggunaan Aksara Sunda Kuna yang merupakan salah satu
identitas budaya Sunda. Keadaan yang berlangsung hingga masa
kemerdekaan ini menyebabkan punahnya Aksara Sunda Kuna dalam tradisi
tulis masyarakat Sunda.

Pada akhir Abad XIX sampai pertengahan Abad XX, para peneliti
berkebangsaan asing (misalnya K. F. Holle dan C. M. Pleyte) dan bumiputra
(misalnya Atja dan E. S. Ekadjati) mulai meneliti keberadaan prasasti-prasasti
dan naskah-naskah tua yang menggunakan Aksara Sunda Kuna.
Berdasarkan atas penelitian-penelitian sebelumnya, pada akhir Abad XX
mulai timbul kesadaran akan adanya sebuah Aksara Sunda yang merupakan
identitas khas masyarakat Sunda. Oleh karena itu Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Barat menetapkan Perda No. 6 tahun 1996 tentang
Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara

13

Sunda yang kelak digantikan oleh Perda No. 5 tahun 2003 tentang
Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah.

Pada tanggal 21 Oktober 1997 diadakan Lokakarya Aksara Sunda di Kampus


UNPAD Jatinangor yang diselenggarakan atas kerja sama Pemerintah
Daerah Tingkat I Jawa Barat dengan Fakultas Sastra Universitas
Padjadjaran. Kemudian hasil rumusan lokakarya tersebut dikaji oleh Tim
Pengkajian Aksara Sunda. Dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 1999 keluar
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor
343/SK.614-Dis.PK/99 yang menetapkan bahwa hasil lokakarya serta
pengkajian tim tersebut diputuskan sebagai Aksara Sunda Baku.
Saat ini Aksara Sunda Baku mulai diperkenalkan di kepada umum antara lain
melalui beberapa acara kebudayaan daerah yang diadakan di Bandung.
Selain itu, Aksara Sunda Baku juga digunakan pada papan nama Museum
Sri Baduga, Kampus Yayasan Atikan Sunda dan Kantor Dinas Pariwisata
Daerah Kota Bandung. Langkah lain juga diambil oleh Pemerintah Daerah
Kota Tasikmalaya yang menggunakan Aksara Sunda Baku pada papan
nama jalan-jalan utama di kota tersebut.

Namun demikian, setidaknya hingga akhir tahun 2007 Dinas Pendidikan


Nasional Propinsi Jawa Barat belum juga mewajibkan para siswa untuk
mempelajari Aksara Sunda Baku sebagaimana para siswa tersebut
diwajibkan untuk mempelajari Bahasa Sunda. Langkah memperkenalkan
aksara daerah mungkin akan dapat lebih mencapai sasaran jika Aksara
Sunda Baku dipelajari bersamaan dengan Bahasa Sunda. Dinas Pendidikan
Nasional Propinsi Lampung dan Propinsi Jawa Tengah telah jauh-jauh hari

14

menyadari hal ini dengan mewajibkan para siswa Sekolah Dasar yang
mempelajari bahasa daerah untuk juga mempelajari aksara daerah.

 Sunda Baku dan Sunda Kuna


Sebagaimana diungkapkan di atas, Aksara Sunda Baku merupakan hasil
penyesuaian Aksara Sunda Kuna yang digunakan untuk menuliskan Bahasa
Sunda kontemporer. Penyesuaian itu antara lain didasarkan atas pedoman
sebagai berikut : bentuknya mengacu pada Aksara Sunda Kuna sehingga
keasliannya dapat terjaga, bentuknya sederhana agar mudah dituliskan,
sistem penulisannya berdasarkan pemisahan kata demi kata, dan ejaannya
mengacu pada Bahasa Sunda mutakhir agar mudah dibaca. Dalam
pelaksanaannya, penyesuaian tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya
huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet),
dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma).
15

SENJATA KHAS SUNDA

 Kujang

Kujang adalah sebuah senjata unik dari daerah Jawa Barat. Kujang mulai
dibuat sekitar abad ke-8 atau ke-9, terbuat dari besi, baja dan bahan pamor,
panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram.

Kujang merupakan perkakas yang merefleksikan ketajaman


dan daya kritis dalam kehidupan juga
melambangkan kekuatan dan keberanian untuk
melindungi hak dan kebenaran. Menjadi ciri khas,
baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang,
hiasan, ataupun cindera mata.

Pada zaman dulu perkakas ini hanya digunakan oleh


kelompok tertentu yaitu para raja, prabu anom, golongan
pangiwa, panengen, golongan agamawan, para
putri serta golongan kaum wanita tertentu, dan para
kokolot.

16
Deskripsi

Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui


sebagai senjata tradisional masyarakat Masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan
Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai
kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal
dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kujang (juga) berasal
dari kata Ujang, yang berarti manusia atau manusa. Manusia yang sakti
sebagaimana Prabu Siliwangi. Manusia yang sempurna dihadapan Allah dan
mempunyai derajat Ma'rifat yang tinggi. Pantas ageman (agama) gaman
Kujang menjadi icon Prabu Siliwangi. Sebagai Raja yang tidak terkalahkan.

Replika kujang pada monumen kota Bogor


17

Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai
kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk
menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga
disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari
bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di
dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 :
405-406)

Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam


beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti
dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa
Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian
disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang


mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan
sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu
posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda).
Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di
dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa
lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai
pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya
dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat


Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera
dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun
tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah
18

Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai


peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada
masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi


masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran
bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan
cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru
kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad
9 sampai abad 12.

Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara
lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih
(lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian
perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain
bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya
bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-


2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi,
kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan
pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang
Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas (sebagai alat
berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang
Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung
ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak
(menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan
19

Kujang Bangkong (menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula tipologi


bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol
kesuburan.
20

BAJU ADAT KHAS SUNDA


21
RUMAH ADAT SUNDA

o Miniatur rumah khas Sunda


22
TARIAN KHAS SUNDA

 Jaipongan

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari


yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal
Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada
kesenian rakyat yang salah satunya adalah
Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan
mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak
tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran
atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari
beberapa kesenian di atas cukup memiliki
inspirasi untuk mengembangkan tari atau
kesenian yang kini dikenal dengan nama
Jaipongan
 Tari Topeng
 Reog sunda
23
MAKANAN KHAS SUNDA

 Karedok  Combro  Pisang Bolen


 Soto Bandung  Colenak  Peuyeum
 Batagor  Misro  Roti Unyil
 Es Doger  Mie Kocok  Cireng
 Empal Gentong  Nasi Timbel  Soto Mie
 Laksa Bogor  Sayur Asem  Toge Goreng
 Bakso kocok  Pepes Jamur Jasinga Bogor
 Lotek  Gurame Bakar  Asinan Sukasari
 Serabi  Jagung Bakar  Gepuk
 Uli Bakar  Pepes Ikan Mas  Sambel Oncom
 Colenak  Serabi Oncom  Sayur Asam
 Tahu Sumedang  Ladu Kacang Merah
 Bajigur
 Es Goyobod

Sega Jamblang

 Sega Lengko
 Empal Gentong
 Tahu gejrot

 Laksa
 Bir Kocok
 Serabi Bogor
 Tauge Goreng
24

KERAJINAN TANGAN

Aneka wayang golek dari mulai ukuran 25 cm


sampai 100 cm, gamelan, angklung, suling, topeng, gantungan kunci, pulpen,
congklak,
sandal anyaman, tas anyaman dan lain-lain.
25

MAKANAN KHAS SUNDA

Keadaan alam Jawa Barat yang banyak ditumbuhi aneka macam jenis
tumbuhan dan banyak dialiri sungai mempengaruhi pada jenis menu khas
Jawa Barat. Banyaknya pohon pisang yang tumbuh di tanah Sunda memberi
inspirasi kepada wanita Sunda untuk berkarya membuat aneka macam pais
(pepes) yang menggunakan daun pisang. Seperti pepes ikan, pepes ayam,
pepes tahu, pepes oncom, nasi timbel dan lain-lain.
Begitu pula dengan banyaknya sungai dan kolam di Tanah Sunda
memungkinkan budidaya ikan berkembang baik di wilayah Jawa Barat,
terutama ikan mas dan gurame. Sehingga hal ini memberi jalan kepada
masyarakat Sunda untuk mahir dalam seni memasak ikan.

Berbagai cara memasak ikan seperti dibakar, digoreng, dipepes, dibubuy


(dibungkus pakai daun pisang lalu dimasukan ke dalam abu panas), dicobek,
diacar, dibumbu rujak, dan lain-lain.
Orang Sunda menyenangi aneka jenis tanaman sebagai penyerta makan
(lalab). Tidak kurang dari 70 jenis tanaman yang tumbuh di wilayah Jawa
Barat dapat dijadikan lalab, baik dimakan mentahnya maupun dimasak
dahulu (Edi Ekadjati, 1991).

Lalab biasanya dimakan beserta sambal, aneka macam sambal diantaranya


sambal terasi, sambel muncang (kemiri), sambal oncom, sambel goreng,
sambel cabe hejo dan lain-lain. Lalab dibuat pula sebagai bahan beberapa
jenis masakan seperti karedok, pencog, reuceuh, ulukutek, lotek, tumis dan
angeun (sayur kuah).
26
Jenis-jenis masakan yang terbuat dari ikan dan lalab tersebut dewasa ini
telah dipandang sebagai makanan khas Sunda yang tidak hanya disenangi
oleh orang Sunda, melainkan juga oleh orang-orang lain dari dalam negeri
dan luar negeri.

Kehadiran rumah makan khas Sunda yang ditandai dengan menu khas yang
disajikan juga ditandai dengan cara penyajian, perlengkapan yang dipakai,
seprti boboko (bakul), coet (ulekan), samak (tikar). Kemudian gaya
bangunannya dengan arsitektur khas Sunda, seperti adanya rumah
panggung, kolam, bahan bangunan terbuat dari kayu atau bambu.

Bahkan nama rumah makannya pun mencerminkan identitas Sunda, seperti


Lembur Kuring, Ponyo, Boboko, Nasi Timbel, Geksor dan lain-lain.Beberapa
menu makanan khas Sunda yang hampir ditemui di daerah Jawa Barat,
khususnya daerah Parahyangan, antara lain sangu timbel, tutug oncom,
karedok, lotek, angeun haseum. Sedangkan beberapa daerah yang
mempunyai menu makanan khas, antara lain :
1. Bandung : mie kocok, sayur kupat. soto bandung, baso tahu bandung
angeun kacang beureum.,
2. Cianjur : geco.
3. Purwakarta : sate maranggi.
4. Bogor : laksa.
5. Cirebon : empal gentong, tahu gejrot.

Di samping menu makanan pokok orang Sunda sehari-hari (seperti nasi,


pepes, karedok, sayur asem dan sambel lalab) yang sering dikonsumsi, juga
banyak makanan khas daerah berupa penganan atau jenis makanan
27
kecil/ringan yang khas lainnya, seperti dari daerah :

1. Bandung : peuyeum sampeu & ketan, borondong, ladu, burayot, ali agrem,
kolontong, opak, ranginang, kiripik tempe, kiripik oncom, awug, tahu
bandung.
2. Bogor : sirop pala. kiririp taleus, asinan bogor, lapis hejo.
3. Cirebon : kurupuk udang, sirop campolai, terasi, ikan asin, emping.
4. Sumedang : tahu, hui cilembu.
5. Cianjur : tauco, aneka manisan buah.
6. Sukabumi : sirop pala, kueh moci, bika ambon.
7. Kuningan : peuyeum ketan bodas.
8. Majalengka : kecap.
9. Purwakarta : simping, peuyeum gandul.
10. Subang : dodol ganas, sale ganas.
11. Garut : aneka macam dodol ketan, sale kesemek.
12. Tasikmalaya : dodol sirsak, sale cau, opak, ranginang.
13. Ciamis : minyak kelapa, galendo, kiripik cau, sale cau.

Sedangkan jenis minuman khas orang Sunda antara lain lahang, cai atah, cai
teh, bandrek, bajigur, goyobod,es puter, sakoteng dan es cingcaw.

You might also like