Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kondisi perekonomian nasional yang saat ini masih belum pulih akibat terjadinya krisis
moneter berkepanjangan menyebabkan kalangan dunia usaha belum bisa bangkit seperti sedia
kala. Ditambah lagi dengan adanya resesi ekonomi dalam skala global dewasa ini yang
berdampak pada kegiatan perekonomian nasional, baik dalam skala makro maupu mikro.
Sebagai konsekuensi dari guncangan ekonomi tersebut banyak perusahaan yang terpaksa
ditutup / dilikuidasi karena kelangsungan usahanya tidak dapat dipertahankan. Hal tersebut
berimbas pula terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Salah satu masalah yang menyebabkan BUMN di masa lalu kurang mampu menunjukkan
prestasi bisnisnya adalah kurang jelasnya arah kebijakan BUMN. Sejak dibentuknya Kementrian
Negara BUMN di tahun 1998, arah itu mulai Nampak, dan semakin jelas ketika diterbitkan UU
No. 19/2003 tentang BUMN.
Agenda dari setiap BUMN adalah melakukan perubahan. Setiap saat tuntutan bisnis
berubah, dan BUMN harus berubah menyesuaikan diri dan mengantisipasi tantangan di masa
depan. Perubahan pun tidak identik dengan penggantian, namun bisa juga dengan inovasi atau
penyempurnaan. Termasuk didalamnya mengembangkan kapasitas terpasang, hingga fine-tuning
proses bisnis, merupakan upaya perubahan.
Namun, BUMN-BUMN yang berada pada kondisi kritis perlu untuk dilakukan perubahan
secara mendasar, atau restrukturisasi, yaitu penataan ulang secara mendasar. Jumlah BUMN
dibawah pembinaan Menteri Keuangan & Pemberdayaan (d/h Meneg PM&PBUMN) pada tahun
1998 secara keseluruhan apabila dihitung dengan anak perusahaan dan cucu BUMN bisa
mencapai 1000 perusahaan. Total asset yang dikelola BUMN sekitar Rp. 500 triliun (akhir tahun
1999) dan bergerak hampir di seluruh bidang aktivitas ekonomi. Mengingat BUMN memegang
peranan yang penting dan turut mempengaruhi kinerja perekonomian nasional, maka BUMN
perlu dikelola dengan efektif dan efisien berdasarkan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance (GCG)., yaitu Transparansi (Transparency), Pengungkapan (Disclosure) atau
Fairness, Akuntabilitas (Accountability) dan Legalitas (Legality). Untuk menuju program
restrukturisasi dan privatisasi BUMN diperlukan terbentuknya corporate governance.
BAB II
PEMBAHASAN
I. BUMN
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi
dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. Badan Usaha Milik Negara
mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam perekonomian nasional untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang belum optimal.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang 19/2003, BUMN adalah badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan
adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas
lainnya.
Konstelasi ekonomi-politik dalam skala global juga akan berkorelasi dengan konteks
nasional. Globalisasi adalah suatu tantangan terbesar bagi kemandirian perekonomian nasional,
khususnya BUMN dalam fungsinya menyelenggarakan perekonomian guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan ekonomi hari ini adalah semakin mantabnya posisi
liberalisme ekonomi yang ditandai dengan semakin tingginya ketimpangan sosial masyarakat.
Hingga dirasa peran BUMN menjadi sangat krusial untuk melakukan suatu inovasi tidak hanya
pada pertumbuhan ekonomi namun juga dalam pemerataan ekonomi nasional.
BUMN dalam segi bentuk, ada 2 macam :
a) Perusahaan Umum (Perum) à Public Corporation
• Memiliki tujuan sosial dan tujuan keuntungan (profit oriented) dengan
pembagian presentase tujuan 50-50 (fifty-fifty)
• Modal keseluruhan dimiliki oleh negara dan dipisahkan dengan APBN,
tetapi dipertanggungjawabkan secara tersendiri kepada Departemen
Keuangan dan tekhnis.
• Karyawan Perum sebagian merupakan PNS dan sisanya Perum diberikan
otonomi untuk merekrut pegawai perusahaan sendiri
b) Persero à State Company
• Modal sebagian saja dimiliki oleh negara , hanya ada aturan bahwa yang
harus dimiliki oleh negara adalah 51% dan sisanya dimiliki oleh non
pemerintah, yaitu 49%.
• Pegawai Persero tidak memiliki fasilitas seperti PNS pada umumnya,
diperlakukan seperti pegawai swasta biasa (ada UU yang mengatur)
• Menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing
kuat
• Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Secara praktis peran BUMN adalah sebagai stabilitator, dinamisator, sekaligus inovator
dalam perekonomian nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa BUMN merupakan salah satu
instrument utama negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Senyampang dengan hal
tersebut BUMN merupakan manifestasi dari suatu amanat konstitusi, UUD 1945 pasal 33 ayat 2
yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak di kuasai oleh negara”. Secara statistik bila ditinjau dari jumlah BUMN sampai
saat ini terdapat sekitar 139 yang masih eksis.
Penurunan statistik jumlah BUMN secara drastis dari 158 (pada tahun 2002) menjadi 139
(pada tahun 2006) menunjukkan bahwa terdapat kesalahan dalam pengelolaannya. Ukuran dari
adanya kesalahan dalam pengelolaan adalah berkaitan dengan tingkat kesehatan kondisi BUMN
tersebut. Adapun ukuran penilaian tingkat kondisi BUMN adalah sebagai berikut:
1. Rentabilitas ( kemampuan memperoleh laba )
- Sehat Sekali > 12 %
- Sehat > 8 – 12 %
- Kurang Sehat > 5 – 8 %
- Tidak Sehat dibawah 5 %
2. Likuiditas ( kemampuan membayar hutang jangka
pendek/ perbandingan antara modal dengan hutang )
Sehat ataupun tidaknya BUMN tercermin pada keuntungan – kerugian yang dihasilkan.
Pada tahun 2006 jumlah total kerugian BUMN berdasarkan prognosa berjumlah Rp. 2.268,30
milyar, sedangkan keuntungannya sejumlah Rp. 54.417,11 milyar.
• Agar mampu berperan sebagai sarana dan prasarana untuk mencetak Sumber Daya
Manusia yang unggul terutama dalam kepemimpinan dunia usaha.
• Agar dapat mendayagunakan asset yang dikelola secara optimal, antara lain melalui
program restrukturisasi dan privatisasi secara transparan dan simultan.
Mengingat BUMN memegang peranan yang penting dan turut mempengaruhi kinerja
perekonomian nasional, maka BUMN perlu dikelola dengan efektif dan efisien berdasarkan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
bagaimana BUMN mampu menjadi sokoguru perekonomian yang berdasarkan pada falsafah
Pancasila, utamanya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan pemerataan
ekonomi.
Solusi akan peningkatan kualitas BUMN adalah berkaitan dengan proses restrukturisasi.
Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi
secara efisien, transparan, dan profesional. Hal ini penting adanya guna peminimalisiran nuansa
politis yang seringkali menjadi permasalahan utama dalam pengelolaan di tubuh BUMN. Hingga
nantinya BUMN mampu mandiri sebagai instrument penggerak perubahan perekonomian
nasional yang lebih progresif dan produktif.
Kalimat pertama dalam bukunya The Renewal Factor, Robert H. Waterman Jr.
mengatakan bahwa the constant is change. Yang tetap adalah perubahan. Namun sayangnya
banyak orang yang membenci perubahan, banyak orang takut terhadap perubahan bahkan
sebagian lagi tidur pada saat perubahan datang. Tanpa perubahan tidak mungkin kita akan
bertahan.
Restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang
merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna
memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat
beroperasi secara efisien, transparan, dan professional. Tujuan restrukturisasi adalah untuk:
1. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
2. memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara;
3. menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen
4. memudahkan pelaksanaan privatisasi.
Restrukturisasi meliputi:
a. restrukturisasi sektoral yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor
dan/atau peraturan perundang-undangan;
b. restrukturisasi perusahaan/korporasi yang meliputi:
1. peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat
monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah;
2. penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN
selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban
pelayanan publik.
Salah satu masalah yang menyebabkan BUMN di masa lalu kurang mampu menunjukkan
prestasi bisnisnya adalah kurang jelasnya arah kebijakan BUMN, hingga dibentuknya
Kementerian Negara BUMN (1998) dan diterbitkannya UU No. 19/2003 (tentang BUMN) dirasa
mampu mereduksi permasalahan yang ada dalam BUMN.
Dibentuknya Kementerian Negara BUMN adalah untuk lebih menegakkan peran
Pemerintah sebagai kuasa pemegang saham/pemilik BUMN yang terpisah dengan peran
Pemerintah sebagai regulator. Sedangkan UU No. 19/2003 telah mendikotomikan peran antara
pemilik, regulator supervisor dan operator. Untuk bank BUMN, misalnya pemilik adalah
Pemerintah melalui Menteri BUMN, regulator dan supervisor adalah Bank Indonesia, dan bagi
yang sudah go public, supervisor lain adalah Menteri Keuangan melalui Badan Pengawasan
Pasar Modal, sedangkan operator adalah Dewan direksi yang diawasi oleh Dewan Komisaris.
Dengan adanya dikotomi ini, maka intervensi politik dan birokrasi semakin dapat diminimalisir,
pun akan berdampak pada profesionalisme manajerial BUMN yang semakin optimal.
Kebijakan pemerintah dalam restrukturisasi BUMN didorong oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi organisasi dalam kinerja BUMN itu sendiri dan
keuangan Negara yang tidak menggebirakan. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi
pendorong restrukturisasi BUMN adalah pendirian dan aktivitas organisasi bisnis internasional
serta regional yang menetapkan prinsip-prinsip pasar bebas dalam bisnis global.
Sedangkan tujuan go-public sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN di Indonesia
adalah untuk :
i.Meningkatkan penerimaan Negara yang digunakan untuk mempercepat pelunasan
hutang luar negeri dengan beban bunga komersil dan untuk meningkatkan
penerimaan BUMN yang akan digunakan untuk membiyai investasi baru.
ii.Meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN dipasar.
iii.Mendorong pertumbuhan pasar modal dalam negeri.
Progam restukturisasi BUMN sebagai salah satu upaya pemerintah untuk membenahi
BUMN agar pengelolaanya sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis dan tidak bertentangan dengan
konstitusi. Pasal 33 undang-undang dasar 1945 sebagai pedoman dalam sistem ekonomi nasional
bukanlah suatu prinsip atau ketentuan yang berdiri sendiri, melainkan sangat erat dengan prinsip-
prinsip lainya terutama dengan masalah kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pasal 33
ditempatkan bersama dengan pasal 34 di dalam bab tentang kesejahteraan sosial. Kesejahteraan
sosial merupakan suatu tujuan yang sangat erat dengan masalah keadilan sosial seperti yang
dimaksudkan oleh sila kelima pancasila dan asas-asas yang secara konstitusional pada
pembukaan undang-undang dasar 1945.
Restuktrurisasi BUMN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjadikan
BUMN sebagai sarana pemerintah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
sesuai dengan yang dimaksud oleh sila kelima pancasila dan alenia keempat pembukaan undang-
undang dasar 1945. Menurut Rawls, teori keadilan merupakan teori yang paling komprehensif
sampai saat ini. Menurut Rawls “keadilan adalah kejujuran. Keadilan merupakan suatu nilai yang
mewujudkan keseimbangan antara bagian-bagian dalam kesatuan, dan antara tujuan pribadi
dengan tujuan bersama, itulah yang disebut dengan keadilan.
Secara hipotesis teori Rawls ini dapat diaplikasikan dengan kondisi di Indonesia. Dalam
realitas terjadi ketimpangan dalam sektor ekonomi nasional, oleh karena itu perlu diperbaiki.
Oleh karena itu melalui restrukturisasi BUMN, secara ideal merupakan kesempatan bagi
pemerintah untuk menata kembali sistem ekonomi nasional yang dalam prakteknya tidak
seimbang tersebut. Peran BUMN yang strategis dan jumlah aset yang relatif sangat besar akan
merupakan sarana yang dapat memungkinkan penataan kembali sistem ekonomi nasional seperti
yang dikemukakan oleg Rawls dengan seruan untuk reorganisasi sebagai syarat untuk dapat
menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru. Sedangkan tujuan keadilan sosial ialah
menyusun suatu masyarkat yang seimbang dan teratur dimana semua warganya mendapatkan
kesempatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak dan mereka yang lemah
kedudukannya mendaptkan bantuan seperluhnya. Pemerintah sebagai pimpinan Negara bertugas
untuk memajukkan kesejahteraan yang merata dan dalam rangka itu berhak dan berwajib untuk
menuntut kepada para warganya agar memberikan sumbangan mereka sesuai dengan
kemampuan mereka masing-masing.
Agenda dari setiap BUMN adalah bagaimana mampu survive dalam perubahan yang ada.
Restrukturisasi merupakan salah satu cara BUMN agar tetap eksis dalam menggerakkan
perekonomian nasional dengan cara penataan ulang secara mendasar.
Pertanyaan pokok sebelum membenahi tata kelola BUMN adalah apakah kita telah
benar-benar memahami BUMN dan mengapa BUMN menjadi demikian. Pertanyaan ini sangat
fundamental, mengingat upaya pembenahan BUMN tidak sepenuhnya berhasil disebabkan tidak
cukup mengetahui ke-BUMN-an itu sendiri. Bahkan, program restrukturisasi BUMN akan
menjadi bumerang tersendiri apabila tidak dipahami secara mendasar.
Restrukturisasi BUMN yang berhasil memerlukan strategi yang kontekstual. Konteks
BUMN yang strategis adalah budaya perusahaan, kepemimpinan, dan tugas atau misi BUMN.
a. Budaya Perusahaan
Salah satu cara memahami BUMN adalah dengan membandingkan budaya kerjanya,
karena nilai budaya yang ada dalam organisasi perusahaan, secara signifikan ikut menentukan
keberhasilan pendayagunaan sumber daya manusia dalam pencapaian tujuan bersama.
1) Orientasi Kerja. Dalam perusahaan swasta yang berorientasi hasil, pola
manajerial cenderung kepada kemampuan produktivitas pencapaian tujuan
(manajement by objective). Sedangkan di perusahaan BUMN kecenderungannya
orientasi kerja adalah prosedur. Hingga ada stigma di BUMN adalah birokrasi
berbelit. Hal ini berkaitan dengan pengambilan kebijakan yang kurang efisien
dalam mengeksekusi bahkan cenderung subjektif.
2) Cara Menghadapi Masalah. Pada perusahaan BUMN, budaya yang berkembang
adalah mengedepankan proses penyelesaian masalah daripada permasalahannya
sendiri. Konsekuensinya, kebijakan perusahaan menjadi lebih lambat, karena
setiap isu terjebak pada proses daripada substansinya.
3) Punishment. Hal ini berkaitan dengan nalar subjektifitas yang lebih diutamakan
daripada objektifitas pada mekanisme kerja BUMN. Penghargaan terhadap
karyawan lebih mengutamakan senioritas daripada kinerja yang telah dicapai.
4) Komunikasi. Pada perusahaan swasta, terdapat kecenderungan untuk menghargai
komunikasi yang terbuka, lugas dan apa adanya. Proses inovasi pun berasal dari
bottom – up sehingga berdampak pada kinerja perusahaan yang progresif.
Berbeda pada BUMN yang cenderung kaku, pun proses inovasi lebih mengarah
pada pola top – down sehingga akan berdampak pada keberlangsungan BUMN
semakin tertinggal dalam persaingan yang semakin global.
5) Kesetaraan. Watak paternalistik yang mengakar kuat di tubuh BUMN
menyebabkan sulit menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance.
b. Kepemimpinan
Restrukturisasi akan lebih berhasil jika dimulai dari pemimpinnya, terlebih untuk
organisasi yang sedang menurun kinerjanya. Selain daripada BUMN membutuhkan pemimpin
berkualitas yang the right man in the right place, juga harus merubah nilai paternalistik menjadi
lebih “membumi”. Dalam hal ini kaum-kaum teknokrat akan lebih berarti daripada
kepemimpinan yang bersifat “karbitan” yang berbau nepotisme.
c. Misi BUMN
Perusahaan swasta biasanya berkembang dengan cepat karena memiliki tugas yang lebih
sempit, yaitu menciptakan nilai dan memberikan laba. Terlepas dari itu, mereka juga dituntut
menjadi corporate citizen, yaitu menjadi warga negara yang baik, dengan melakukan program
corporate social responsibility.
BUMN, sejak awal didirikan mengemban tugas nasional – bukan tugas korporasional.
Misalnya, menyalurkan kredit bersubsidi (seperti BRI), menjaga ketersedian pupuk nasional
(seperti PUSRI), menjaga distribusi BBM (Pertamina), ketersediaan listrik (PLN), dan lain-lain.
Hal ini menjadi pekerjaan rumaha (PR) tersendiri bagi BUMN untuk menyeleraskan kewajiban
terhadap pelayanan publik dengan tugas eksistensialnya sebagai perusahaan.
UU No. 19/2003 pasal 12 dikatakan bahawa BUMN persero adalah BUMN yang
bertujuan menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan
mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Sementara pada pasal 36 disebutkan
bahwa maksud dan tujuan perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk
kemanfaatan umumberupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Amanat
undang-undang tersebut sudah jelas kiranya untuk melaksanakan secara konsisten dan
berkomitmen terhadap rakyat.
Saat ini, BUMN berjumlah 139 perusahaan. Tentu saja, tidak seluruh BUMN menjadi
unit usaha yang menguntungkan (profit making). Maka dari itu, perlu dikelompokkan unit usaha
yang berfungsi sebagai public service obligation (PSO), seperti transportasi publik, rumah sakit,
dan sebagainya. Selain itu, ada kelompok usaha yang memang sangat strategis, seperti Perum
Peruri (percetakan uang), Perum PNRI (percetakan dokumen negara), PT Pindad (produsen
senjata api).
Restrukturisasi kelembagaan harus dimulai dari pangkalnya, yaitu kementerian negara
BUMN. Selama ini, Kementerian ini memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu perumusan kebijakan
publik dan pengelolaan BUMN.
Agar tidak menimbulkan kerancuan, Kementerian Negara BUMN sebaiknya
memfokuskan diri pada perumusan kebijakan publik. Kementerian ini juga bisa menjadi
semacam “penghubung” dengan DPR dan lembaga lain yang terkait (juga dengan masyarakat).
Dalam kaitannya dengan strategi pembangunan nasional, dialah yang harus menerjemahkan visi
Presiden ataupun kebijakan Bappenas.
Idealnya, Menteri Negara BUMN berperan sebagai Kepala Badan yang bertugas
merumuskan kebijakan publik, mengembangkan secara strategis dan politis semua BUMN.
Tentu saja isu-isu terkait hukum dan kebijakan makro pengembangan BUMN berada dalam
ruang lingkupnya. Adapun urusan teknis operasional BUMN akan berada di tangan para direksi
perusahaan holding dan direksi setiap BUMN.
Restrukturisasi juga dilakukan dengan membentuk beberapa perusahaan holding.
Holding-holding tersebut dibentuk dengan mempertimbangkan kesamaan karakteristik bisnis,
skala usaha ataupun alasan-alasan keekonomisan lainnya. Untuk menampung unit-unit usaha
unggulan, misalnya, bisa dibentuk sebuah perusahaan holding dari kelompok BUMN blue chips.
Bisa juga kelompok usaha berbasis keuangan bersatu menjadi perusahaan investasi yang
membawahi bank, sekuritas, asuransi dan multifinance.
Sejalan dengan tujuan pembentukan Holding, maka program ini akan memberikan
manfaat sebagai berikut: (1) Mendorong proses penciptaan nilai, market value creation dan value
enhancement. (2) Mensubstitusi defisiensi manajemen di anak-anak perusahaan. (3)
Mengkoordinasikan langkah agar dapat akses ke pasar internasional. (4) Mencari sumber
pendanaan yang lebih murah. (5) Mengalokasikan kapital dan melakukan investasi yang
strategis. (6) Mengembangkan kemampuan manajemen puncak melalui cross-fertilization.
Suatu niat yang baik tentu selalu akan ada tantangannya (bukan hambatan). Demikian
pula dengan pembentukan perusahaan yang berdaya saing dan berdaya cipta tinggi melalui
Holding, banyak pro dan kontra dilontarkan. Terutama oleh kelompok yang belum pernah
melakukan kegiatan bisnis secara nyata atau pihak yang belum mengetahui konsep dan strategi
program ini secara rinci. Bagi praktisi bisnis atau pebisnis rencana ini sangat mudah dimengerti
dan memang cara terbaik (meskipun bukan obat yang mujarab) untuk menyelamatkan BUMN
yang patut untuk diselamatkan.
Dan new business dimaksudkan membentuk perusahaan baru yang bergerak dibidang
usaha yang memang dibutuhkan oleh seluruh BUMN misalnya information technology. Dari
aspek legal masih perlu pula dikaji pengaruh ketentuan peraturan perundangan yang baru
terhadap beroperasinya Holding, misalnya Undang-undang Otonomi daerah, Undang-undang
perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ataupun Undang-undang Larangan Praktek Monopoli
dan persaingan Tidak sehat. Dan untuk bentuk usaha Holding sendiri apabila yang dimaksud
adalah Strategic Holding atau Management Holding saat ini belum ada peraturan perundangan
yang mengaturnya dan belum diatur dalam Undang-undang No. 1/1995 tentang Perseroan
terbatas.
Pembentukan Holding telah pula menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya birokrasi
baru yang berarti menambah beban pembiayaan baru yang akan menciptakan high-cost
economy. Sesungguhnya pola Holding yang ditawarkan adalah justru untuk menghilangkan
prosedur birokrasi yang saat ini masih ada sedangkan untuk beban overhead-nya sendiri akan
dapat dikendalikan karena sebenarnya dalam Holding hanya diperlukan antara 20 -30 orang saja
tenaga-tenaga yang profesional dan memiliki visi strategik kedepan. Dengan demikian
kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu timbul apabila menyadari bahwa kelemahan holding
akan dengan mudah dipecahkan dengan baik oleh suatu leadership yang kuat. Disamping itu
berbagai keuntungan yang akan diperoleh dari Holding pun tampak sangat jelas antara lain
efisiensi usaha sebagai akibat vertical-integration, cross-vertilization tenaga kerja khususnya
eksekutif BUMN, prioritas investasi untuk sektor yang lebih menguntungkan.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Daniri, Achmad, “Agenda kelembagaan dan governance, BUMN sangat mungkin menjadi
pemain tingkat dunia”, Bisnis Indonesia, 22/01/2009
Ringkasan Master Plan Revitalisasi BUMN 2005-2009, Kantor Kementerian BUMN, 2005