You are on page 1of 115

SENJATA PEMUSNAH MASSAL

DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI


KOLONIALIS

Alih Bahasa:
M. Ramdhan Adhi, dkk.
THE WEST’S WEAPONS OF MASS
DESTRUCTION AND COLONIALIST
FOREIGN POLICY

THE ASSESSMENT OF THE MUSLIM


COMMUNITY IN BRITAIN

Hizbut Tahrir – Inggris


3 November 2002/25 Sya’ban 1423

Khilafah Publications
www.mindspring.eu.com

Alih Bahasa:
M. Ramdhan Adhi
Mahardhika Zifana
R. Dian Dia-an Muniroh
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis; Penerjemah, M. Ramdhan Adhi,
dkk.; Penyunting ……………………; Cetakan I Bogor, 2003.

… hlm. ; 14,8 x 21 cm

ISBN …………………………

Judul Asli : THE WEST’S WEAPONS OF MASS DESTRUCTION AND


COLONIALIST FOREIGN POLICY – THE ASSESSMENT OF
THE MUSLIM COMMUNITY IN BRITAIN
Penulis : Hizbut Tahrir – Inggris
Penerbit : Khilafah Publications
Tahun : 2002 M / 1423 H
:
Edisi Indonesia
Judul : Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis
Penerjemah : M. Ramdhan Adhi, dkk.
Penyunting : A. Saifullah
Penatak letak :
Disain Sampul :
Penerbit :
Alamat :

Cetakan : I, Maret 2003


Kata Pengantar
Hizbut Tahrir – Inggris

Statesmen will invent cheap list, putting blame upon the nation that is attacked, and
every man will be glad of those conscience falsities, and will dilligently study them,
and refuse to examine any refutations of them; and thus he will by-and-by convince
himself that the war is just, and will thank God for the better sleep he enjoys after
this process of grotesque self-deception
(Para negarawan akan membuat daftar murahan, menyalahkan bangsa yang
diserang, dan setiap orang akan merasa senang dengan kesalahan secara sadar
itu, dan ia akan rajin mempelajarinya, serta menolak mengkaji setiap penolakan
atasnya; lantas ia akan terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa perang itu adil,
dan akan bersyukur kepada Tuhan atas tidurnya yang lebih nyenyak begitu
selesainya proses penipuan diri sendiri yang demikian fantastis)
[Mark Twain]

Buku ini terbit ketika genderang perang telah ditabuh. Mesin perang AS dan
Inggris bersiap-siap membombardir rakyat Irak yang tak berdosa dalam rangka
perang kolonial dan mengganti rezim bentukan Barat berupa ‘Hamid Karzai versi
Irak’ yang setia.
Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan sebuah
dokumen busuk yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction, yang penuh
propaganda akan tetapi kering dengan fakta. Minimnya fakta itu bukanlah sesuatu
yang mengherankan apabila kita menyimak ucapan Tony Blair pada bulan Agustus
2002, ‘Kami tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi selama 4 tahun
belakangan ini’. Pengakuan atas kebodohannya itu ternyata tidak menyurutkan
langkah untuk menerbitkan ‘dossier of evidence’ (dokumen penuh bukti) tersebut.
Hal ini menunjukkan betapa proses penerbitan dokumen itu tidak lebih dari upaya
untuk menggalang opini publik atas aksi militer terhadap Irak.
Tidaklah mengherankan jika kemudian dokumen yang diterbitkan pemerintah
Inggris tersebut ditanggapi dengan penuh skeptisme dan keraguan, terutama bagi
kalangan Muslim. Mereka sudah sampai pada kesimpulan bahwa ‘perang terhadap
teror’ pada hakikatnya adalah kampanye untuk memperkokoh dan memperkuat
hegemoni dan pengaruh Barat atas negeri-negeri Islam, kaum Muslim, dan sumber
daya alamnya, sebagai upaya represif terhadap setiap bentuk kebangkitan Islam
politik.
Buku kecil ini secara jeli memuat motif-motif sejati di balik serangan AS
terhadap Irak, dengan mengkaji kepentingan strategis, ekonomi, dan politik Barat.
Juga memuat sejarah dunia kontemporer di bawah dominasi ideologi Kapitalisme,
dengan memaparkan penggunaan senjata pemusnah massal oleh Barat, dukungan
Barat terhadap sejumlah penguasa diktator dan tiran yang memiliki reputasi buruk
di sejumlah negara di seluruh penjuru dunia, dengan tanpa mengindahkan
eksistensi PBB dan hukum internasional. Buku ini juga menyajikan sejumlah
dakwaan dan sejarah yang memalukan bagi pemerintahan Barat, ideologi
Kapitalisme dan pandangan kolonialisnya.
Mengumpulkan informasi dan data-data intelijen tentang hal ihwal kebijakan
luar negeri Barat adalah perkara mudah. Rezim Barat-Kapitalis sangat terbuka
dalam menyatakan tujuan riil kebijakan luar negeri mereka. Oleh karena itu, buku
ini mampu menyingkap ‘data-data intelijen secara rinci’. Meskipun seringkali
bersembunyi di balik klaim altruisme, nation building, penegakan HAM dan
demokrasi, akan tetapi tujuan riil kebijakan luar negeri Barat teramat jelas dan
gamblang bagi siapapun.
Selama beberapa dekade, AS berupaya memainkan peranan yang lebih
permanen dalam keamanan kawasan Teluk. Selagi konflik berkepanjangan dengan
Irak memberikan pembenaran, kebutuhan akan hadirnya pasukan AS di Teluk
melebihi isu rezim Saddam Husein. [Rebuilding America’s Defences: Strategies,
Forces and Resources for a New Century].
Eksistensi akan ‘tatanan dunia’ atau hukum internasional, yang mengontrol
hubungan antar negara di dunia, telah berubah menjadi kontrol oleh satu negara,
atau sejumlah kecil negara terhadap negara-negara lain di dunia. Hal ini
mengancam stabilitas internasional dan kedaulatan negara-negara lemah.
Hasilnya, peperangan terjadi dimana-mana hanya karena masalah yang sepele.
Terlebih lagi, tatanan dunia seperti itu memberi kesempatan negara-negara kuat
untuk tanpa sungkan (dan tidak tahu malu) mencampuri masalah dalam negeri dan
tata nilai yang dianut negara lain. Hal ini makin mengokohkan kolonialisme,
arogansi dan tirani, serta perluasan pengaruh dengan memperbudak bangsa-bangsa
lain. Semuanya dilakukan dengan mengatasnamakan hukum internasional dan
tatanan dunia. Jurang antara negara-negara kaya dan miskin, Utara dan Selatan,
Dunia Kesatu dan Dunia Ketiga, menjadi semakin dalam dan lebar.
Walhasil, orang-orang di hampir seluruh dunia, Muslim maupun non-Muslim,
kini menyaksikan sendiri bahwa negara-negara Barat bukanlah sebagai penjaga
kebebasan dan kesempatan (peluang), melainkan penjaga keserakahan dan
kepentingannya sendiri; dengan pengerahan kekuatan militer dan ekonomi yang
menghancurluluhkan kultur negara-negara lain; sebuah bangsa pembajak di darat
maupun di laut, yang semakin kaya di atas penderitaan bangsa-bangsa lain.
Karena itu, ancaman dari negara-negara kolonialis Barat sangat serius dan
nyata di hadapan kita. Upaya mereka mengejar ambisi materialistis di seluruh dunia
harus dihentikan. Setiap orang yang telah memiliki kesadaran wajib untuk melawan
barbarisme Barat.
Buku ini ditutup dengan sebuah pesan yang jelas dan gamblang, yang kini
diemban oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia. Sebuah pesan perubahan, bukan
hanya ‘perubahan rezim’, melainkan ‘perubahan ideologi’. Perubahan dalam
tatanan dunia. Sudah saatnya dunia membuang jauh-jauh ideologi Kapitalisme dan
setiap penyakit yang diakibatkan olehnya; untuk kemudian diganti dengan ideologi
yang adil, yang bisa dipahami dan diemban oleh setiap orang di seluruh dunia,
setelah mereka menyaksikan (dan merasakan sendiri) penerapan praktis ideologi
tersebut. Yaitu ideologi Islam.
Komunitas Muslim (Inggris) mengajak Anda mengkaji, memikirkan dan
memperjuangkan perubahan, karena hanya orang-orang yang memiliki kesadaran
saja yang mampu menghentikan Kapitalisme.
Dr. Imran Wahid
3 November 2002 M
28 Sya’ban 1423 H
IKHTISAR
(Executive Summary)

1. Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan dokumen


yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction. Dokumen yang sangat
ditunggu-tunggu banyak orang itu memuat serangkaian mitos dan kebohongan,
seraya mendaur ulang kisah propaganda klasik. Poin-poin berikut ini berupaya
mengemukakan beberapa mitos dan kebohongan tersebut.
2. Inggris dan AS dengan sok alim mengklaim bahwa mereka hanya bermaksud
untuk melucuti persenjataan Irak. Namun, klaim ini bertentangan dengan
ucapan seorang pembantu kebijakan luar negeri senat AS, yang mengatakan,
ketakutan terbesar gedung putih adalah diizinkannya inspektur persenjataan
PBB masuk (ke Irak). [Majalah TIME, edisi 13 Mei 2002].
3. Inggris dan AS berupaya membenarkan perang yang mereka canangkan dengan
argumentasi bahwa mereka hanya bermaksud menggusur rezim yang kejam dan
brutal. Akan tetapi, yang sebenarnya direncanakan oleh Barat adalah
mendudukkan ‘Hamid Karzai’ versi Irak, yang lebih loyal kepada mereka,
bukan untuk menghilangkan penderitaan rakyat Irak. Hal itu dikatakan oleh
Richard Haas pada tahun 1991, pada saat ia bekerja di National Security
Council (kini ia bekerja di Departemen Luar Negeri AS), kebijakan kami
adalah mengenyahkan Saddam, bukan rezimnya. [dalam Andrew Cockburn
dan Patrick Coburn., ‘Out of the Ashes The Resurrection of Saddam
Hussain., hal. 37].
4. AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap Irak dapat dibenarkan
karena Irak tidak mematuhi tim inspeksi persenjataan PBB sejak tahun 1998.
Akan tetapi, justru AS dan sekutunyalah yang memastikan kegagalan tim
inspeksi senjata PBB tersebut. Mereka melakukan hal itu melalui tindakan
provokatif dan memanfaatkan ketua UNSCOM (saat itu) Richard Butler.
Butlerlah, bukannya Irak, yang atas desakan AS menarik inspektur senjata PBB
keluar dari Irak pada bulan Desember 1998, seusai pertemuannya dengan Duta
Besar AS, Peter Burleigh. Butler memerintahkan penarikan tim inspeksi PBB
meskipun ia mengaku bahwa Irak sebenarnya melanggar hanya lima dari tiga
ratus insiden. [Richard Butler., ‘Saddam Defiant’., hal. 224., dan laporan
Associated Press tertanggal 17 Desember 1998]. Butler bahkan tidak
melaporkan penarikan para inspektur itu kepada DK PBB, suatu hal yang
seharusnya ia lakukan. Ketika pemboman atas Irak dimulai, Duta Besar Rusia
untuk PBB mengakui bahwasanya krisis tersebut adalah ‘krisis rekaan’,
sedangkan perwakilan RRC di DK PBB menuding Butler telah memainkan
peran ‘yang tidak terhormat’ dalam konfrontasi itu. [Guardian, 18 Desember
1998].
5. AS dan Inggris mengklaim bahwa tim inspeksi PBB telah gagal dalam
menjalankan misinya, sementara Saddam Husein terus-menerus -dalam bahasa
mereka- ‘main kucing-kucingan’ (cheat and retreat). Satu hal yang tidak
mereka ungkapkan dan luput dalam dokumen pemerintah Inggris adalah fakta
tentang adanya penyusupan terhadap UNSCOM oleh intelijen Barat dan Israel.
Fakta ini diungkap oleh mantan ketua UNSCOM, Rolf Ekeus, pada bulan Juli
2002. Ia mengaku telah ditipu semasa memimpin UNSCOM. Setelah Ekeus
mundur, Scott Ritter, inspektur senjata senior AS, mengatakan bahwa ia bekerja
sama dengan seseorang yang dijuluki ‘Moe Dobbs’. Moe Dobbs adalah staf
‘CIA Special Activites (Operasi Khusus CIA)’ dan spesialis covert operationsi
yang, dengan menggunakan teknologi CIA, menyambungsiarkan informasi
intelijen langsung ke Dewan Keamanan National AS di Fort Meade, untuk
diterjemahkan dan diuraikan isi sandinya. Dalam tulisannya, Ritter juga
mengungkap pertemuannya dengan intelijen Israel dan bagaimana mereka
membekalinya dengan pencari frekuensi dan alat perekam kode komunikasi
dari Irak [Scott Ritter., ‘Endgame’., hal. 135., dan Dilip Hero., ‘Neighbours
Not Friends’., hal. 103-104]. Pertanyaannya adalah, sudikah suatu negara
mengizinkan para inspektur senjata, yang mengaku tim inspeksi PBB, padahal
bekerja untuk agen intelijen asing, masuk secara leluasa ke negerinya sendiri?
6. Inggris dan AS kerap kali berargumentasi bahwa kepemilikan Irak atas senjata
pemusnah massal dan hasrat Irak membuat senjata nuklir menunjukkan
semacam itikad buruk yang harus direspon. Akan tetapi setiap negara atau
bangsa yang licik seperti AS dan Inggris sebenarnya telah mengembangkan
pula senjata tersebut, baik untuk kepentingan pertahanan maupun demi tujuan
kebijakan luar negeri mereka di masa yang akan datang. Sebagaimana dibahas
dalam Bab 1, Barat secara sistematis telah menggunakan senjata pemusnah
massal mereka untuk mencapai tujuannya. Satu hal yang tidak diungkapkan
baik oleh AS maupun Inggris adalah fakta bahwa Irak berada di posisi yang
sulit, yakni menghadapi musuh potensial seperti Israel, serta terancam oleh
kehadiran –dalam jumlah besar– pasukan Barat di Teluk yang beroperasi di
zona larangan terbang. Israel sendiri memiliki senjata nuklir dan
mengembangkan fasilitas produksi gas mustard dan gas syaraf di daerah Sinai
sejak tahun 1982. Anthony Cordesman dan Ahmed Hashim, analis militer AS,
dengan lugas menyatakan, ‘Mengasumsikan bahwa upaya tersebut –yaitu
mengembangkan senjata pemusnah massal– dapat dikaitkan dengan
kelangsungan Saddam Hussein dan elit (partai) Ba’ath adalah hal yang
berbahaya. Mayoritas calon pemimpin Irak memiliki rasa takut dan ambisi
yang sama setidaknya dalam waktu dekat ini. Tidak akan ada pemimpin Irak
yang mampu mengabaikan upaya Iran atau Israel atau tantangan potensial
dari AS dan sekutunya di bagian selatan Teluk’ [Cordesman dan Hashim.,
‘Iraq Sanctions and Beyond’., hal. 336].
7. AS dan Inggris senantiasa menuding rezim Irak telah melakukan tindakan
represif terhadap rakyatnya sendiri, terutama terhadap rakyat Kurdi dan
kelompok Syi’ah. Dalam Bab 3, kami akan mengekspos argumentasi tersebut
dengan menggambarkan kedekatan Barat dengan beberapa ‘world’s worst
leaders’ (para pemimpin terburuk sedunia). Namun, perkara yang bisa dengan
jelas dilihat adalah bahwa AS dan Inggris tidak memiliki kecenderungan
kepada pihak manapun selain kepentingan materi mereka sendiri. Hal ini
terlihat usai Perang Teluk ketika mereka mengabaikan suku Kurdi dan
kelompok Syi’ah yang dibantai. Brigadir Ali, pejabat Irak yang dibuang,
mengatakan, ‘Kami mendapat pesan bahwa Amerika mendukung kami. Tetapi
saya melihat dengan mata kepala sendiri pesawat-pesawat Amerika terbang di
atas helikopter. Kami berharap mereka membantu; kini kami dapat melihat
mereka menyaksikan kepunahan kami di antara Najaf dan Kerbala’ [Andrew
dan Patrick Coburn., ‘Out of the Ashes’., hal. 23].
8. UNICEF menyatakan bahwa sejumlah 500.000 anak-anak Irak tewas akibat
sanksi ekonomi PBB. Namun Inggris dan AS mengklaim bahwa kematian itu
disebabkan kebijakan rezim Irak. Argumentasi itu merupakan upaya sistematis
bangsa Kapitalis dan menunjukkan betapa mereka tidak menghargai nyawa
manusia. Dr. Leon Eisenberg, yang bekerja untuk Harvard Medical School,
menyaksikan bahwa penghancuran pembangkit tenaga listrik pada tahun 1991,
telah ‘menyebabkan terhentinya seluruh sistem penjernihan air dan saluran
distribusinya, mengakibatkan epidemi kolera, demam tipus, dan
gastroenteritis, khususnya pada anak-anak’. Sebuah kelompok studi
internasional yang disponsori oleh UNICEF menyimpulkan, bahwa ‘selama 8
bulan pertama tahun 1991, sekitar 47.000 anak di bawah usia lima tahun
meninggal dunia’ [Len Eisenberg., ‘The Sleep of Reason Produces
Monsters – Human Costs of Economic Sanctions’., New England Journal
of Medicine., 24 April 1997., hal. 1248-1250]. Hal yang sama dinyatakan oleh
Milan Rai, ‘Banyak yang dilakukan ketika cerita (rekaan) tentang inkubator
Kuwait dicuri pasukan Irak. Namun sedikit yang dikatakan tatkala inkubator di
Irak hilang akibat diputusnya pasokan listrik’ [Milan Rai., ‘War Plan Iraq’.,
hal.138].
9. AS dan Inggris mengklaim bahwa serangan terhadap Irak kelak tidak akan
banyak memakan korban warga sipil, dan bahwa serangan terhadap pembangkit
tenaga listrik harus dilakukan mengingat pembangkit tenaga listrik tersebut bisa
dimanfaatkan pasukan bersenjata Irak. Akan tetapi, jika serangan itu nantinya
mengikuti pola tahun 1991, maka kita akan menyaksikan kembali sebuah
bencana kemanusiaan. Mitos bahwa pembangkit tenaga listrik harus dijadikan
sasaran karena berpotensi digunakan untuk kepentingan militer telah ditolak
mentah-mentah oleh kelompok HAM di AS, yaitu Middle East Watch, yang
mengatakan bahwa ‘Beberapa target militer penting langsung diserang pada
awal-awal perang, dan serangan terhadap target militer tersebut seharusnya
sudah menghilangkan keinginan untuk menghancurkan sumber-sumber tenaga
listrik secara simultan meski sebelumnya telah memasoknya’ [Middle East
Watch., ‘Needless Deaths in the Gulf War 1991’., dalam Mark Curtis.,
‘The Ambiguities of Power’., hal. 192]. Serangan terhadap pembangkit
tenaga listrik hanya berdampak kecil bagi militer Irak, akan tetapi berdampak
sangat besar terhadap kematian sejumlah warga sipil khususnya anak-anak,
yang diakibatkan oleh pengaruh penjernihan air. Lalu, untuk apa Bush dan Blair
melakukan hal itu? Jawabannya ada pada ucapan Kolonel John Warden, yang
berbicara seusai perang. Ia adalah kolega Jenderal Buster Glosson, yang terlibat
dalam penyusunan daftar target. ‘Saddam Hussein tidak dapat memulihkan
kembali listriknya. Ia perlu bantuan. Seandainya koalisi PBB memiliki tujuan
politik barangkali dapat dikatakan kepada Saddam, ‘jika Anda menyetujui
beberapa hal, kami akan mengizinkan orang-orang datang dan memperbaiki
listrik Anda’’, ujar Warden [Norman., ‘Sanctions against Iraq’]. Dengan
kata lain, anak-anak Irak harus mati agar Barat dapat meraih pengaruh dan
manfaat ekonomi.
10. AS menuding Irak memiliki keterkaitan dengan serangan dan pemboman 11
September 2001 di New York dan Washington. Bukti yang diajukan atas hal ini
adalah adanya pertemuan pada bulan April 2001 antara Muhammad Atta, yang
mengaku pemimpin aksi 11 September, dengan seorang agen intelijen Irak di
Praha, Republik Ceko. Pada bulan Oktober 2001, menteri dalam negeri
Stanislav Gross mengkonfirmasi ‘fakta’ bahwa Atta berada di Praha pada tahun
2001 dan telah bertemu dengan Samir al-Ani, seorang diplomat Irak. Setelah
itu al-Ani diusir dari Irak karena tindakannya tidak sesuai dengan statusnya.
Menurut sebuah majalah di Jerman, Atta telah memberi instruksi berkenaan
aksi 11 September beberapa waktu sebelumnya, kemudian kembali ke Praha
untuk mengambil sebotol anthraks pada bulan April 2001 [Daily Telegraph, 1
Desember 2001]. Ketika polisi Ceko menuntaskan penyelidikannya, mereka
berkesimpulan tidak ada dokumen yang dapat menunjukkan bahwa Atta telah
mengunjungi Praha pada tahun 2001, meskipun ia memang pernah berkunjung
ke sana dua kali di tahun 2000. Polisi juga mengatakan bahwa ada seorang pria
yang mirip Atta bertemu dengan Samir al-Ani. Pria itu dipanggil ‘Saleh’,
seorang penjual mobil bekas dari Nurenberg, Jerman [Daily Telegraph, 18
Desember 2001]. Kisah di atas, sebagaimana kebanyakan kampanye Barat,
merupakan cerita bohong. Buktinya, majalah TIME pada tanggal 13 Mei 2002
menulis bahwa kisah tersebut ‘tidak dapat dipercaya’, sementara BBC
menyebutkan bahwa pada tanggal pertemuan itu Atta sedang berada di Florida
[BBC Online, 1 Mei 2002]. Meskipun demikian, mitos pertemuan Praha tetap
saja ada di dalam benak setiap orang, dan menjadi bagian penting dari
pertikaian AS–Irak.
11. Dokumen terbitan pemerintah Inggris disusun berdasarkan laporan PBB dan
bukti-bukti dari para pembelot Irak. Salah satu pembelot terkenal yang muncul
di televisi AS setelah peristiwa 11 September adalah Dr. Khidir Hamza, yang
mengaku sebagai kepala program senjata nuklir Irak yang lari dari tanah airnya
pada tahun 1994. Terry Taylor, mantan Inspektur Senjata Inggris yang
mendukung perang baru sekalipun, berkomentar negatif tentang para pembelot
itu dengan mengatakan bahwa ‘mereka cenderung melebih-lebihkan
pengetahuan dan pentingnya diri mereka pribadi demi tunjangan,
perlindungan dan pekerjaan’ [Peter Beaumont, Kamal Ahmed dan Edward
Helmore., ‘Should We Go To War Against Saddam’., Observer., 17 Maret
2002]. Namun AS dan Inggris ingin agar kita percaya bahwa kesaksian para
pembelot merupakan keterangan kunci dalam melawan Irak. Agak
mengherankan, dokumen Inggris tidak mempublikasikan ‘bukti rinci’ atau
menyebutkan ‘sumber-sumber terpercaya’ mereka.
12. Poin terakhir yang perlu kami bantah adalah argumentasi bahwa serangan
terhadap Irak tidak ada hubungannya dengan minyak. Sudah teramat jelas dan
tak dapat disangkal lagi bahwa politik di Timur Tengah sejak akhir PD II
dibentuk oleh politik minyak. Pada bulan September 1945, Lord Altrincham,
seorang menteri Inggris yang tinggal di Timur Tengah, mengatakan bahwa
wilayah Timur Tengah ‘Menawarkan cadangan minyak pelumas dan bahan
bakar terkaya, yang andaikan kita tidak bisa menguasainya, kita tidak boleh
membiarkan kekuatan lain menguasai wilayah itu’ [Altrincham., 2 September
1945 dalam William Roger Louis., ‘Imperialism at Bay’]. AS pun
menyadari pentingnya cadangan minyak ‘sebagai sumber kekuatan strategis
yang menakjubkan, dan salah satu bahan paling berharga dalam sejarah
dunia’ [Dokumen Departemen Luar Negeri AS, tahun 1945, Volume VIII].
Untuk menggambarkan besaran keuntungan dari minyak, AIOC sebagai
cikal-bakal BP (British Pteroleum) mengeruk £170 juta dari Iran selama
periode tahun 1950 saja. Ketika pemerintahan Iran memiliki keberanian untuk
menasionalisasi minyak untuk kebaikan rakyatnya, Pemerintahan Buruh yang
telah menasionalisasi asetnya sendiri merasa geram, sehingga muncul
pernyataan Departemen Luar Negeri, ‘satu-satunya harapan mengenyahkan
Mr. Musadiq (PM Iran saat itu) adalah kudeta, dengan syarat adanya seorang
pemimpin yang kuat untuk mengemban tugas tersebut. Seorang diktator akan
mampu melaksanakan reformasi pemerintahan dan ekonomi serta mengatur
masalah minyak secara lebih rasional’ [Foreign Office Memorandum., Sir F.
Shepherd’s analysis of the Persian situation 28 January 1952. FO
371/98684]. Bagi mereka yang tetap skeptis agaknya cukup menyimak ucapan
Condoleeza Rice, Penasihat Keamanan AS, yang baru-baru ini berbicara dalam
siaran stasiun TV Fox. Saat ditanya tentang masa lalunya sebagai Dewan
Direksi (perusahaan) Chevron, ‘Saya sangat bangga akan hubungan saya
dengan Chevron, dan saya kira sudah seharusnya kita bangga terhadap
perusahaan-perusahaan minyak Amerika yang melakukan eksplorasi di luar
negeri, di dalam negeri, dan yang memastikan bahwa kita memiliki persediaan
energi yang cukup’. Meskipun sudah sedemikian banyak dan gamblangnya
keterangan semacam ini, Bush dan Blair tetap mengatakan bahwa serangan itu
tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan minyak.
Bab I
Barat dan Senjata Pemusnah Massal

Dokumen Inggris menyatakan bahwa Irak positif memiliki senjata


pemusnah massal dan berniat memiliki senjata nuklir. Namun dokumen itu
menutup mata tentang fakta bahwa negara-negara Barat memiliki senjata pemusnah
massal yang jauh lebih besar ketimbang Irak, bahkan lebih dari cukup untuk
menghancurkan seisi bumi. Bab ini menyoroti persenjataan dan senjata pemusnah
massal Barat serta bahaya besar yang dihadapi umat manusia, dan secara gamblang
mengilustrasikan bagaimana Barat secara sistematis dan menyengaja telah
menggunakan ‘senjata terparah sedunia’ (the world’s worst weapons).
1. AS adalah negara pertama di dunia yang mengembangkan bom atom
pada tahun 1945. Pemerintah AS melihat adanya kemungkinan untuk
mengembangkan senjata nuklir yang memiliki daya rusak luar biasa. Sepanjang
tahun 1940-an, mereka telah membelanjakan US$ 2 milyar untuk proyek bom
atom, yang dikenal sebagai Proyek Manhattan; proyek yang menyita pikiran
para ilmuwan dan ahli teknik mereka. Mereka melihat proyek ini sebagai upaya
untuk menjadi negara pertama yang memiliki bom atom karena mereka
menyadari betul kekuatan strategis yang akan mereka miliki di masa depan.
Pada kurun 1940-an, uang US$ 2 milyar kira-kira setara dengan US$ 20 milyar
nilai sekarang. Uji coba pertama bom atom milik AS adalah di kawasan uji
Trinity, dekat Alamogordo, New Mexico. Berdasarkan pengamatan setelah
ledakan, mereka menyimpulkan bahwa kekuatan bom tersebut setara dengan
20.000 ton TNT, jauh lebih dahsyat dari perkiraan semula.
2. Pengamatan atas pengaruh ledakan nuklir. Para ilmuwan AS meneliti hasil
ujicoba ledakan di Trinity, dan berikut ini adalah hasil pengamatan mereka.
Tanah di bawah tempat ledakan terbagi menjadi beberapa tingkat kerusakan.
Sampai radius setengah mil dari hiposenter (pusat ledakan) disebut
vaporization point (fatalitas 98%, tubuh manusia hilang atau terbakar tanpa
dapat dikenali). Di area ini, segala sesuatu hancur. Sedangkan temperaturnya
mencapai 3000-4000 0 C. Sampai radius 1 mil disebut total destruction zone
(fatalitas 90%). Seluruh bangunan di atas permukaan tanah hancur. Sampai
radius 1,75 mil disebut severe blast damage area (fatalitas 65%, cedera 30%).
Bangunan besar runtuh, jembatan dan jalan rusak berat. Sampai radius 2,5 mil
disebut severe heat damage area (fatalitas 50%, cedera 45%). Segala sesuatu
dalam radius ini mengalami semacam luka bakar. Sampai radius 3 mil disebut
severe fire and wind damage areas (fatalitas 15%, cedera 50%). Rumah dan
bangunan lain rusak. Orang-orang terlempar dan mengalami luka bakar dengan
stadium 2 dan 3, itupun jika mereka bertahan hidup.
3. Serangan nuklir terhadap Jepang. Meskipun sudah mendapat gambaran
pasti tentang daya rusak bom tersebut, pemerintah AS tetap memutuskan untuk
menjatuhkan dua bom atom ke kota sipil, Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Pada saat itu, menurut Konvensi Jenewa, pembantaian secara menyengaja
dengan sasaran warga sipil dalam kondisi perang dianggap ilegal. Adapun
kedua target bom atom yang dinamai ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ itu sengaja
dipilih karena besarnya ukuran kedua kota itu memungkinkan AS mengetahui
seberapa besar daya rusak bom tersebut.
4. Justifikasi atas serangan ke Jepang. Saat itu ada dua justifikasi yang
digunakan AS untuk menjatuhkan dua bom atom itu. Pertama, invasi darat
akan mengakibatkan korban yang mengerikan sebagaimana perang di Iwo Jima
dan Okinawa. Kedua, perlunya mengakhiri perang secara cepat yang tak
mampu Jepang hindari. Setelah menyerahnya Nazi Jerman pada bulan Mei,
Jepang berada dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Akhir tahun 1945, Jepang
tidak memiliki satu pesawatpun, dan para pilot AS leluasa melakukan
pemboman. Tokyo, Nagoya, Osaka, Kobe, Yokohama sudah dihancurkan lebih
dulu. Jepang dapat dikalahkan, dalam arti menyerah, sebagaimana yang kita
ketahui sekarang. Tanggal 13 Mei 1945, Departemen Luar Negeri Jepang
secara resmi memberitahu kepada Rusia bahwa Kaisar ‘menghendaki
perdamaian’ dengan para sekutu. Mengetahui hal tersebut, Bushido, sebutan
militer Jepang, yang memang dituntut untuk selalu tunduk dan patuh secara
mutlak, segera menyerah ketika mengetahui Kaisar mereka telah menyerah.
Rusia mengabaikan manuver diplomatik ini karena alasan strategis.
Berdasarkan perjanjian Yalta, mereka akan berperang melawan Jepang tiga
bulan setelah Jerman menyerah, dan Rusia berhasrat mengambil harta
rampasan perang. Intelijen AS ternyata mengetahui pendekatan diplomatis
Jepang terhadap Moskow tersebut sehingga Proyek Manhattan dipercepat,
karena mereka kuatir Jepang menyerah sebelum dijatuhkan bom. Dua kota
yang dijadikan target bom itu sengaja dibiarkan semasa perang karena
keduanya sudah lebih dulu dipilih sebagai tempat ‘eksperimen’ –kata yang
digunakan oleh Truman dan Mayor Groves (saat itu sebagai Kepala Proyek
Manhattan). Pada bulan Agustus 1945, Presiden Truman berkata perihal
pemboman Hiroshima, ‘Dunia akan menyaksikan bahwa bom atom pertama
dijatuhkan ke Hiroshima, sebuah basis militer. Hal itu kami lakukan dengan
harapan serangan pertama ini sebisa mungkin menghindari korban sipil’. Ia
juga mengatakan, ‘Kami telah mengeluarkan US$ 2 milyar untuk perjudian
ilmiah terbesar dalam sejarah, dan kami menang’. Yang AS capai adalah
sebuah demonstrasi yang secara gamblang memperlihatkan kekuatan baru
mereka dengan mengorbankan 200 ribu nyawa; mayoritas adalah warga sipil;
sebagian tewas seketika dan yang lainnya mati setelah terbakar atau terkena
radiasi. Banyak tokoh militer sekutu menganggap pemboman atas Hiroshima
dan Nagasaki itu sebagai hal yang tidak perlu. Dalam History of Warfare, Field
Marshal Montgomery menulis, ‘Dijatuhkannya dua bom atom ke Jepang pada
bulan Agustus 1945 itu merupakan hal yang tidak perlu, dan saya tidak bisa
menganggap hal itu sebagai hal yang benar, menjatuhkan bom semacam itu
adalah sebuah blunder politik dan contoh nyata tentang turunnya standar
perang modern’. Jenderal Eisenhower, Komandan Tertinggi Sekutu yang di
kemudian hari menjadi presiden AS, mengatakan bahwasanya Jepang ketika itu
sedang berupaya mencari cara untuk menyerah tanpa harus kehilangan muka.
‘Menghantam mereka dengan benda mengerikan itu adalah hal yang tidak
perlu’. Kepala Staf Truman, Admiral Leahy menulis, ‘Saya berpendapat
penggunaan senjata barbar di Hiroshima dan Nagasaki tersebut sama sekali
tidak membantu kita dalam perang melawan Jepang. Jepang sudah lebih dulu
kalah dan siap menyerah karena blokade kita yang efektif dan keberhasilan
pemboman dengan senjata konvensional seperti itu hanya dengan alasan agar
kita menjadi yang pertama menggunakannya, berarti kita telah mengadopsi
standar etik yang hanya lazim di masa Abad Kegelapan (Dark Ages). Saya
tidak diajarkan untuk berperang dengan cara seperti itu, dan perang tidak
dapat dimenangkan dengan membantai wanita dan anak-anak’. Brigadir
Jenderal Carter Clarke (petugas intelijen militer yang bertanggung jawab untuk
menyadap komunikasi Jepang bagi Truman dan penasehatnya) menulis, ‘ketika
kita tidak perlu melakukannya, dan kita tahu kita tidak perlu melakukannya,
dan mereka tahu bahwa kita tahu kita tidak perlu melakukannya, berarti kita
memanfaatkan mereka sebagai eksperimen untuk dua bom atom itu’.
5. Pengembangan bom hidrogen. Tidak puas dengan keampuhan bom atom, AS
mengembangkan bom hidrogen atau bom super. Yaitu bom yang –dalam
bahasa para ilmuwan yang merekomendasikannya ke pemerintah AS– akan
‘memiliki daya ledak tidak terbatas kecuali dalam hal pengirimannya’. Komite
penasehat umum Atomic Energy Commission yang bertanggung jawab atas
pengembangan senjata atom di AS merekomendasikan agar AS tidak
menjalankan program percepatan untuk membuat bom-H (bom hidrogen)
karena, ‘itu bukan senjata, yang biasa digunakan hanya untuk tujuan
menghancurkan instalasi militer atau semi-militer. Penggunaan bom-H jauh
lebih parah ketimbang bom atom, suatu kebijakan yang akan memusnahkan
penduduk sipil’. Posisi militer AS sendiri dalam pengembangan bom hidrogen
dengan gamblang dinyatakan oleh Kepala Staf Gabungan, ‘Pihak AS akan
berada pada keadaan yang amat berat, jika pihak yang berpotensi menjadi
musuh memiliki bom itu sedangkan AS tidak’.
6. Dampak uji nuklir AS. Untuk mengetahui dampak ledakan nuklir terhadap
kapal perang, bangunan, peternakan dan objek lain, serta untuk memperbaiki
dan meningkatkan teknologi senjatanya, AS telah melakukan uji
pengembangan bom atom dan bom-H selama beberapa dekade setelah PD II.
Tempat uji pertama pasca perang yang AS pilih adalah pulau Bikini, di
Samudera Pasifik. Pulau yang merupakan bagian dari kepulauan Marshal
tersebut direbut dari kekuasaan Jepang. Dua tahun setelah mengklaim
kekuasaan atas pulau itu, Commodore Ben H. Wyatt, Gubernur Militer
kepulauan Marshal, melakuan misi perjalanan ke Bikini. Seusai misa gereja
Minggu di bulan Februari 1946, Wyatt mengumpulkan penduduk setempat dan
meminta mereka meninggalkan rumah mereka ‘untuk sementara’ agar AS dapat
menguji bom atom ‘demi kebaikan umat manusia dan mengakhiri setiap
peperangan di dunia’.
7. Raja Juda beserta penduduk Bikini bingung dan tertekan, seraya merundingkan
permintaan AS itu. Akhirnya, Raja Juda berkata pada Wyatt, ‘kami akan pergi
dengan mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan’. Selama beberapa
dekade penduduk Bikini menderita kekurangan gizi, dipindahkan dari satu
pulau ke pulau lain, terkena radiasi radioaktif –semua masalah yang
diakibatkan pengujian bom oleh AS. Lebih dari lima puluh tahun sejak
dimulainya uji coba bom di pulau Bikini, penduduk pulau masih mengajukan
petisi menuntut AS untuk membayar ganti rugi yang dijanjikan atas kerusakan
tanah dan kehidupan mereka. Tempat uji coba kedua yang AS gunakan adalah
Nevada Proving Ground, di Yucca Flat, kira-kira 65 mil sebelah utara Las
Vegas. Selama tahun 1950-an dan 1960-an, telah dilakuan 90 kali uji coba bom
nukir di gurun Nevada. Pada tahun 1990-an, sebuah lembaga pemerintah AS,
National Cancer Institute (NCI), memeriksa pengaruh uji coba bom itu. Mereka
menyatakan bahwa uji coba bom itu menimbulkan awan buangan radioaktif
hampir ke seluruh wilayah Amerika Serikat. Dan di antara zat berbahaya yang
turut tersebar akibat ledakan adalah isotop yang dikenal dengan iodine-131
(I-131). Partikel radioaktif ini, yang berakumulasi dalam kelenjar gondok
diduga kuat menjadi penyebab kanker. Baru-baru ini NCI memperkirakan
sekitar 10,000-75,000 kasus kanker tiroid di AS disebabkan oleh radioaktif
isotop iodine-131 dari buangan bom-A di Nevada. Selain personel militer yang
terkena radiasi tingkat tinggi di sekitar tempat pengujian, ribuan warga AS
–sesuai arah angin– harus membayar mahal akibat pengujian bom atom
tersebut. Ini menjadi contoh nyata bahwa warga AS telah menjadi korban
senjata pemusnah massal pemerintahnya sendiri.
8. Pengembangan nuklir selama era perang dingin. Pada masa perang dingin,
AS memelopori perlombaan senjata dengan Uni Soviet dan menimbun ribuan
senjata nuklir. Mereka juga mengembangkan berbagai cara untuk menghasilkan
sejumlah persenjataan termasuk: pesawat pembom B-52, beragam tipe rudal
balistik darat antar benua, juga rudal balistik laut. AS pun menempatkan ribuan
senjata nuklir taktis di setiap perbatasan Uni Soviet, di Eropa Barat, Turki,
Korea Selatan, Jepang, dan lain-lain., untuk mempersiapkan kemampuan
serangan pertama dan menghalangi agresi Uni Soviet. Namun, ketika Kuba
mengundang Uni Soviet untuk menempatkan rudal nuklirnya di Kuba dalam
rangka menghambat agresi AS –sejak 1960 AS telah menunjukkan upaya keras
menjatuhkan Fidel Castro dari tampuk kekuasaan– serta merta AS murka dan
mendorong Soviet untuk menarik mundur seluruh rudal dengan ancaman akan
melakukan perang secara habis-habisan.
9. Pengendalian senjata nuklir. Banyak perjanjian pengendalian senjata nuklir
yang telah AS tandatangani, termasuk ‘Strategic Arm Limitation Talks’ (SALT
1 dan SALT 2), ‘Strategic Arms Reduction Treaty’ (START 1 dan START 2),
‘Nuclear Non-Proliferation Treaty’, ‘Comprehensive Test Ban Treaty’,
‘Intermediate Range Nuclear Forces Treaty’ (INF) dan lain-lain. Tetapi,
dengan kemajuan teknologi, akurasi rudal, jangkauan jarak, dan keampuhan
rudal siluman, yang terjadi selama beberapa dekade terakhir, didukung dengan
data hasil uji coba yang begitu lengkap, tidak satupun perjanjian di atas yang
mampu menghambat kemampuan AS untuk melakukan atau mengancam
serangan nuklir terhadap bangsa lain. Beberapa perjanjian itu justru
diberlakukan secara diskriminatif terhadap bangsa-bangsa lain di dunia.
Misalnya, Non-Priliferation Treaty (NPT), yang diberlakukan pada tahun 1970
dan didukung penuh oleh AS, bertujuan membatasi penyebaran senjata nuklir.
Sejumlah 187 negara penandatangan NPT dibagi menjadi dua kategori:
kelompok negara-negara yang memiliki senjata nukir, termasuk AS, Rusia,
Cina, Perancis, Inggris; dan kelompok negara-negara yang tidak memiliki
senjata nuklir. Berdasarkan perjanjian NPT, lima negara pemilik senjata nuklir
berkomitmen untuk berupaya mencapai pelucutan senjata nuklir secara
menyeluruh, sedangkan negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir
bersepakat untuk tidak mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Dengan
keanggotaannya yang hampir mendunia, NPT menjadi perjanjian pengendalian
senjata dengan anggota terbanyak, mengingat hanya Kuba, India, Israel, dan
Pakistan saja yang tidak ikut serta. Jika keempat negara ini ingin berpartisipasi,
mereka akan berstatus sebagaimana negara yang tidak memiliki senjata nuklir,
karena perjanjian itu membatasi status negara pemilik senjata nuklir sebagai
negara yang ‘membuat dan meledakkan sebuah senjata nuklir atau perangkat
ledak nuklir lain sebelum 1 Januari 1967’. Bagi India, Israel, dan Pakistan
–ketiganya dikenal atau dicurigai memiliki senjata nuklir– berpartisipasi dalam
perjanjian tersebut dengan status sebagai negara yang tidak memiliki senjata
nuklir akan mengharuskan mereka untuk melucuti senjata nuklirnya dan
menyerahkan bahan-bahan pembuatan nuklir di bawah perlindungan
internasional. Dengan adanya NPT, setiap negara yang tidak memiliki senjata
nuklir namun berupaya memilikinya, dengan mudah akan dianggap sebagai
‘anak nakal’ dan akan dijadikan sasaran, seperti yang terjadi dengan Irak, Iran
dan Korea Utara baru-baru ini. Sedangkan AS, meski tetap menjadi negara
adidaya tunggal, tetap merasa berhak mengancam negara-negara lain dengan
menggunakan senjata nuklir untuk kali pertama, dalam rangka menghalangi
musuh-musuh potensialnya. Pada prakteknya, tidak satupun dari lima negara
pemilik senjata nuklir yang menunjukkan niat serius melucuti senjata mereka
sebagaimana yang ditetapkan oleh perjanjian. Justru mereka –dipimpin oleh
AS– berupaya mempertahankan kontrol monopoli atas senjata nuklir dengan
mengingkari peraturan yang memayungi seluruh negara anggota, sebuah
bentuk lain dari sikap standar ganda mereka. Sejauh ini, AS melihat NPT hanya
sebagai alat untuk menekan negara-negara berkemampuan nuklir seperti Iran,
Irak, dan Korea Utara, serta sebagai jalan untuk menjaga perkembangan nuklir
Rusia dan Cina, dengan tanpa melakukan langkah-langkah progresif dalam
perkara pelucutan senjatanya sendiri. Bahkan AS berencana mengembangkan
senjata nuklir model baru. Hal ini dilihat sebagai kemunafikan AS. AS baru saja
secara unilateral keluar dari Anti Ballistic Missile Treaty dengan Uni Soviet
untuk mengembangkan ‘sistem pertahanan rudal’, akan tetapi pada saat yang
sama mengutuk Irak dan Korea Utara dengan alasan melanggar perjanjian yang
menetapkan larangan bagi dua negara tersebut untuk membuat senjata nuklir
sendiri.
10. Perkembangan nuklir saat ini dan yang akan datang. Awal tahun 2002, AS
merampungkan suatu tinjauan terhadap strategi nuklir mereka dalam US
Nuclear Posture Review (NPR). Beberapa bagian dalam tinjauan ini
dikemukakan kepada pers AS. NPR meminta agar dibuatkan rencana darurat
(contingency plan) untuk membidik Korea Utara, Iran, Libya, Syria, Rusia, dan
Cina; serta agar AS lebih fleksibel dalam mengembangkan dan menyebarkan
kekuatan nuklir yang dibutuhkan. Salah satu bentuk kefleksibelan itu ialah
dengan melanjutkan kembali pengujian nuklir. Salah satu alasan mengenai
diperlukannya pengujian ini adalah untuk mengembangkan bom dan rudal tipe
baru yang dapat menghancurkan target yang terkubur dalam dan keras. Yaitu
bangunan dan fasilitas yang dapat digunakan sebagai pusat komando dan
kontrol operasi pihak musuh, markas pimpinan atau area penyimpanan senjata
pemusnah massal. Dokumen kebijakan AS lain seperti dari Paul Robinson,
Direktur Sandia National Laboratories, menyerukan pengembangan senjata
nuklir berukuran mini. Saat ini AS tercatat sebagai penandatangan
Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) meski Senat AS belum
meratifikasinya. Dari perkembangan ini terkandung pesan AS bagi seluruh
dunia bahwa AS beritikad mengembangkan senjata nuklir yang lebih canggih
dan akan mengabaikan CTBT demi kepentingannya sendiri. AS pun telah
menyatakan, dalam NPR dan presentasi lain, niat mereka untuk mengenalkan
pertahanan rudal strategis yang mampu menghalau serangan rudal jarak jauh
negara lain. Mereka yakin bahwa sistem pertahanan rudal global akan
menciptakan sebuah tameng yang akan memberi kekebalan bagi AS untuk
secara leluasa beroperasi ke seluruh dunia. Secara militer, hal ini akan membuat
AS dengan mudah menggasak setiap negara lain yang berupaya menyerang AS
dengan menggunakan senjata pemusnah massal dan rudal jarak jauh. Pada
tanggal 13 Desember 2001, AS mengumumkan akan menarik diri dari
Anti-Ballistic Missile Treaty 1972 (ABM), semata-mata karena traktat tersebut
melarang pengujian sistem pertahanan rudal penjelajah antirudal balistik
antarbenua. Untuk anggaran awal, pemerintahan baru AS meminta kenaikan
anggaran sebesar 57% untuk mendanai sistem pertahanan rudal itu, dari 5.3
milyar dolar ke 8.3 milyar dolar, 7.8 milyar di antaranya dari Kongres. Semua
ini mengindikasikan bahwa AS akan semakin ditakuti negara-negara lain,
mengingat AS tengah berupaya menjadikan dirinya kebal dari serangan rudal
nuklir sementara pada saat yang sama AS pun membuat senjata nuklir yang
lebih mumpuni. AS adalah negara yang, seperti telah kita bahas sebelumnya,
tidak mempunyai rasa sesal sedikitpun akan dampak penggunaan senjata
semacam itu terhadap warga sipil tak berdosa.
11. Senjata kimia dan biologi. Dalam era modern, senjata kimia untuk pertama
kalinya digunakan dalam Perang Dunia I oleh Perancis, Jerman, Inggris dan
AS; negara-negara yang kini ramai-ramai menghakimi Irak. Untuk membalas
serangan (gas) klorin yang dilakukan Jerman di sekitar Ypres, Belgia, yang
menewaskan lebih dari 5000 pasukan Sekutu, Inggris lantas membuat senjata
kimianya sendiri. Mayor Charles Foulkes dari Royal Engineers ditunjuk
sebagai ‘penasehat gas’ pertama mereka. Tugasnya adalah mengusahakan
senjata kimia bagi Inggris dalam tempo sesingkat mungkin dengan tanpa
menghiraukan masalah etik. Segera saja setiap ahli kimia Inggris mengerjakan
proyek senjata gas tersebut. Fasilitas Porton Down dibangun dan menjadi
markas proyek senjata kimia Inggris, dengan mempekerjakan lebih dari 1000
orang ilmuwan dan tentara.
12. Dinas Senjata Kimia AS. AS mendirikan Chemical Warfare Service – CWS
(Dinas Persenjataan Kimia) pada pertengahan tahun 1918, dengan Jenderal
Amos A. Fries sebagai direkturnya. Edgewood Arsenal, basis militer di dekat
Baltimore, Maryland, menjadi pusat riset senjata kimia AS yang
mempekerjakan lebih dari 1200 orang asisten teknisi dan 700 orang petugas
yang menguji lebih dari 4000 zat beracun. Dengan 218 bangunan pabrik dan 28
mil rel kereta, Edgewood mampu memproduksi 200.000 bom kimia dan
selongsong per hari. Pada tahun 1918, sekitar seperlima dan sepertiga dari
seluruh selongsong yang ditembakkan diisi zat kimia dari berbagai tipe.
Selama 18 bulan terakhir PD I, satu dari setiap enam korban tewas karena gas
mustard yang sangat ditakuti itu. Gas mustard membakar dan melepuhkan
kulit, lalu korban mati secara perlahan atau sangat lemah karena gas mustard
menguliti selaput lendir pada rongga tenggorokan dan menghambat pernafasan.
‘Secara resmi’, terdapat lebih dari 91.000 kasus kematian dan 1,3 juta korban
akibat senjata gas. Namun para ahli sejarah kini menganggap remeh
angka-angka tersebut.
13. Penggunaan kimia selama masa vakum perang. Penggunaan senjata kimia
tidak hanya terjadi pada PD I. Dalam rangka menunggangi pihak White Army
dalam Perang Sipil Rusia pada tahun 1919, Inggris mempersenjatai mereka
dengan selongsong berisi gas mustard, dan menggunakan ‘M’ Device untuk
memproduksi gumpalan asap arsenik yang disebarkan kepada sang lawan, Red
Army. Inggris memanfaatkan setiap kesempatan untuk menggunakan senjata
mereka. Mayor Foulkes, yang dikirim ke India pada 1919, menekan militer
Inggris agar menggunakan senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan,
‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan
terhadap sebagian wilayah Afghan dan suku-suku di sana akan meningkatkan
korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’. Departemen Perang
Inggris setuju untuk mengirimkan pasokan phosgene dan gas mustard, juga
setuju agar prajurit Inggris dilatih menggunakan seragam anti-gas di Khyber
Pass. Tetapi, hingga kini Tony Blair masih saja ingin menunjukkan bahwa
Pemerintah Inggris adalah salah satu bangsa ‘beradab’ dengan ‘catatan bersih’
dan nilai-nilai luhur ketimbang rezim Saddam di Baghdad.
14. Pembentukan Protokol Jenewa. Seusai Perang Dunia I, kekecewaan terhadap
senjata gas merebak di mana-mana. Pada bulan Mei 1925, dengan dukungan
Liga Bangsa-Bangsa (LBB), diselenggarakan konferensi internasional tentang
perlombaan senjata di Jenewa, Swiss. Konferensi tersebut menghasilkan
Protokol Jenewa, yang berisi larangan penggunaan senjata kimia maupun
biologi sampai kapanpun. Seorang pengamat berkomentar bahwa
‘Penandatanganan Protokol Jenewa 1925 merupakan cerminan prestasi
tertinggi opini publik melawan senjata kimia’. Akan tetapi, menandatangani
pakta tersebut tidak otomatis terikat, karena pemerintah setiap negara masih
harus meratifikasinya. Di AS, CWS menyerang Protokol Jenewa dan mendapat
dukungan dari berbagai organisasi sejenis seperti American Chemical Society
(Masyarakat Kimia Amerika), dan menyatakan bahwa ‘pelarangan senjata
kimia berarti pengabaian metoda manusiawi untuk mengatasi pertempuran
klasik yang mengerikan’. Dihadapkan pada oposisi yang begitu kuat,
Departemen Luar Negeri AS menarik ratifikasi atas Protokol Jenewa. Sebagian
besar negara Eropa meratifikasi Protokol Jenewa, dengan menambahkan
beberapa klausul yang membuat protokol menjadi macan ompong. Salah satu
klausul itu menyatakan bahwa suatu negara tidak terikat dengan protokol
tersebut kecuali negara yang dilawannya juga meratifikasi protokol yang sama.
Klausul lain memberikan hak kepada negara penandatangan untuk balas
menyerang setiap serangan kimia atau biologi dengan senjata yang sama.
Protokol Jenewa pun tidak bisa mencegah penelitian atau penimbunan senjata
biokimia; melainkan hanya melarang untuk lebih dulu menggunakannya.
Pengaruh Protokol Jenewa bukanlah untuk menghentikan pengembangan
senjata biokimia melainkan untuk lebih menjaga kerahasiaan penelitian dan
pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1925, Winston Churchill secara
tidak sengaja membeberkan semuanya ketika ia menulis tentang wabah yang
secara khusus dan disengaja disiapkan untuk manusia dan binatang. Ada Blight
untuk menghancurkan tanaman, Anthraks untuk membunuh kuda dan hewan
ternak, Plague untuk meracuni tidak saja tentara melainkan juga seluruh warga
satu distrik. Semua itu sejalan dengan pencapaian sains militer yang tak
mengenal belas kasihan. Rupanya perang penelitian semacam ini harus tetap
dirahasiakan untuk menghindari oposisi publik.
15. Pembangunan Porton Down di Inggris. Holland Committee yang didirikan
oleh pemerintah Inggris usai PD I untuk mengkaji senjata kimia dan bagaimana
kebijakan Inggris nantinya, telah merekomendasikan agar fasilitas Porton
Down dipertahankan di sebuah markas yang permanen. Agenda Holland
Committee ditambah dengan kajian dan pengembangan senjata kuman di
Porton Down. Holland Committee juga membuat sebuah pengakuan penting.
Dikatakan bahwa, ‘tidak mungkin memisahkan kajian tentang pertahanan dari
gas dengan penggunaan gas sebagai senjata ofensif, mengingat efisiensi sistem
pertahanan sangat bergantung kepada pengetahuan yang akurat tentang
perkembangan yang terjadi atau yang akan terjadi dalam hal penggunaan
senjata tersebut secara ofensif’. Pemerintah Inggris sedari awal mengetahui
bahwasanya tidak akan pernah ada yang namanya penelitian senjata kimia yang
murni defensif. Alhasil, pemerintah membantu para ilmuwan untuk merancang
senjata paling mematikan yang pernah mereka bayangkan, dengan asumsi dasar
pengetahuan akan keampuhan senjata tersebut harus lebih dulu diketahui agar
bisa menyiapkan sistem pertahanannya. Para ilmuwan di pangkalan senjata
rahasia Porton Down mengetahui bahwa mereka berisiko mengorbankan nyawa
para sukarelawan muda yang digunakan sebagai kelinci percobaan dalam
pengujian gas syaraf, demikian menurut para ahli toksikologi. Keluarga setiap
korban dalam eksperimen itu menuduh para ilmuwan sebagai pembunuh.
Menurut Alastair Hay dari Universitas Leeds, catatan taklimat yang dibuat para
ilmuwan di markas Wiltshire menunjukkan bahwa para ilmuwan sebenarnya
menyadari dosis yang diberikan kepada para sukarelawan itu akan berakibat
fatal. ‘Mereka bermain dengan api, mereka memberikan senyawa yang tidak
hanya dapat membunuh satu orang saja, tetapi juga sejumlah orang lain’.
Beberapa sukarelawan yang diberi bayaran dan liburan ekstra atas
partisipasinya dalam pengujian itu, diberitahu bahwa percobaan itu adalah
dalam rangka menemukan obat demam. Menteri Pertahanan berulangkali
menyangkal tuduhan telah menyesatkan para sukarelawan. Sebuah tayangan
dokumenter televisi pada tahun 1999 memperlihatkan salah seorang mantan
‘kelinci perbobaan’, Mike Cox, 68 tahun, dari Southampton, yang berada di
samping sukarelawan Ronald Maddison pada masa kematiannya di kamar gas
tempat pengujian. Program televisi itu juga memperlihatkan kerabat Mr.
Maddison yang berbicara tentang peristiwa yang berlangsung 46 tahun lalu
tersebut. Lilias Clark, saudara perempuan Maddison, berkata, ‘Jika ia tewas
dalam perang, saya bisa mengerti, tapi mati karena hal bodoh yang mereka
(para ilmuwan) tempelkan di lengannya, yang seharusnya tidak Anda lakukan
kepada siapapun, maaf saja, saya pikir mereka telah membunuhnya’.
16. Peran Senjata Kimia dan Biologi dalam PD II. Senjata gas tidak digunakan
selama PD II karena sulit membawa senjata itu tanpa membahayakan pasukan
dan untuk menjaga kemungkinan serangan balasan mengingat negara-negara
kuat waktu itu masing-masing menimbun ratusan ton senjata kimia, khususnya
gas mustard, untuk berjaga-jaga. Inggris membuat bom anthraks untuk kali
pertama pada tahun 1942. Sebuah bom sederhana diisi spora anthraks
diledakkan di Pulau Gruinard di lepas pantai Skotlandia. Domba-domba yang
ada di pulau tersebut pun mati. Sampai kini, Pulau Gruinard tidak dapat
didiami, dan pesawat terbang pun tidak diperkenankan mendarat di sana.
Inggris kemudian memproduksi 5 juta ‘kue anthraks (anthraks cakes)’ untuk
dijatuhkan di Jerman. Rencana Inggris untuk menjatuhkan bom anthraks ke
Jerman diperkirakan akan menewaskan 3 juta orang. Inggris juga
bereksperimen dengan racun mematikan B-IX, atau botulism. AS juga secara
besar-besaran mengembangkan program senjata kumannya selama PD II. Pada
tahun 1940, The US Health and Medical Committee of the Council for National
Defence (Komite Medis dan Kesehatan Dewan Pertahanan Nasional AS) mulai
mempertimbangkan ‘potensi defensif dan ofensif senjata biologi’. George
Merck dari Merck Pharmaceuticals, ditunjuk menjadi dierektur War Research
Service (Dinas Penelitian Perang), yang bertanggung jawab atas penelitian
senjata kuman. Pada tahun 1943, Camp Detrick didirikan di Maryland, dan
langsung menjadi pusat program senjata kuman AS. Antara tahun 1942-1945,
AS menginvestasikan lebih dari US$ 40 juta untuk membangun pabrik dan
peralatan serta mempekerjakan lebih dari 4.000 orang di Camp Detrick; di The
Field Testing Station di Horn Island, Pascagoula, Mississipi; pabrik produksi di
Vigo, Indiana; dan di Dugway Proving Grounds. Di Camp Detrick, anthraks,
tularaemia, plague, tipus, penyakit kuning (yellow fever), dan encephalitis
diujicoba untuk digunakan dalam perang. Juga berbagai jenis kutu beras,
kentang, dan sereal. AS mengkaji kemungkinan menghancurkan panen beras
Jepang dengan senjata kuman. Pada bulan Mei 1944, sebuah paket yang berisi
5000 bom anthraks selesai diproduksi di Camp Detrick. Di Vigo, Indiana, AS
membangun sebuah pabrik yang mampu memproduksi 500.000 bom anthraks
per bulan dan 250.000 bom yang diisi botulism. Untungnya, semua bom itu
tidak pernah digunakan. AS membangun pabrik produksi gas beracun terbesar
di dunia selama PD II, yang mampu menghasilkan 135.000 ton gas beracun.
Berarti 20.000 ton lebih banyak dari total gabungan gas beracun yang
digunakan berbagai negara selama PD I. AS pun mulai mengungguli Inggris
dalam hal senjata kuman.
17. Belajar dari pengalaman Jepang. Usai PD II, George Merck menghendaki
agar program senjata kuman dilanjutkan. Pada tahun 1956, Camp Detrick
berubah menjadi Fort Detrick, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan
militer yang bersifat permanen. Disini diproduksi virus dan gas paling
mematikan yang menambah persenjataan AS, termasuk gas syaraf seperti gas
GB dan VX, yang begitu mematikan, sehingga jika kulit kita terkena satu tetes
kecil saja, kita akan mati dalam waktu kurang dari satu menit. Perang Dingin
juga berarti para mantan musuh direhabilitasi dan mendapat biaya perbaikan
dari AS. Ini berarti para kriminal perang Jepang yang telah bereksperimen
mengorbankan jiwa manusia kini terhindar dari tuntutan. Selama pendudukan
Jepang atas Cina yang begitu lama dan brutal antara tahun 1930-an hingga
1940-an, sebuah unit khusus Tentara Jepang yang dikenal dengan Unit 371,
dipimpin oleh Jenderal Ishii Shiro, banyak melakukan tindak kejahatan perang.
Misalnya, mereka menguji efek bom anthraks terhadap manusia dan
menyuntikkan tetanus, cacar, dan plague kepada tentara dan warga sipil Cina.
Dari sejumlah orang yang dipelajari oleh AS pada tahun 1947, anthraks
menewaskan 31 orang, kolera 50 orang, gas mustard 16 orang, plague 106
orang, typhoid 22 orang, dan typhus 9 orang. Serta masih banyak lagi penyakit
yang juga diujicobakan. Rusia menghendaki agar anggota-anggota Unit 371,
termasuk Shiro, diadili. Tetapi AS menjamin kekebalan mereka. Sebagai
imbalan, AS mendapat hasil eksperimen mereka. Sebagaimana yang ditulis ahli
sejarah, Robert Harris dan Jeremy Paxman, ‘AS justru melindungi para
bakteriologis Jepang dari tuntutan kejahatan perang sebagai imbalan atas
data-data eksperimen manusia’. Informasi ini disembunyikan hingga selama 30
tahun setelah perang.
18. Penggunaan senjata kimia dalam Perang Vietnam. Sejak PD I, AS
meluncurkan perang biokimia untuk pertama kalinya dalam perang Vietnam.
AS menggunakan gas CS dan defoliant, seperti Agent Orange, untuk melawan
gerilyawan National Liberation Front. Pada tahun 1970, ‘Operation Ranch
Hand’ menumpahkan 12 juta galon Agent Orange ke Vietnam, menghancurkan
4,5 juta hektar tumbuh-tumbuhan di daerah luar kota dan meracuni tanahnya
selama beberapa tahun. Para pendukung Ranch Hand memiliki slogan khas,
‘only we can prevent forests’. Agent Orange mengandung dioksin, salah satu
bahan kimia penyebab kanker paling mematikan di muka bumi. Digunakannya
Agent Orange oleh AS menimbulkan penderitaan yang mendalam terhadap
rakyat Vietnam dan tentara AS beserta keluarga mereka.
19. Alasan di balik dukungan AS terhadap konvensi senjata biologi dan
kimia. Pada tahun 1972, Presiden Richard Nixon mengumumkan bahwa AS
menghentikan program senjata biologi dan kimia. Hal tersebut dilakukan bukan
karena tujuan kemanusiaan, melainkan karena pemerintahannya telah
menyadari bahwa teknologi yang dibutuhkan dalam memproduksi senjata
semacam itu terlihat akan tersebar demikian luasnya sampai-sampai
pengembangannya tidak akan dapat dihindari. Produksi senjata biokimia akan
jauh lebih murah dan mudah dibandingkan senjata nuklir. Dari sini akan
muncul kesulitan untuk mempertahankan posisi monopolistik terhadap senjata
biokimia tersebut. Segera setelah keputusan AS ini, Biological Weapons
Convention (BWC) ditandatangani pada tanggal 10 April 1972 dan mulai
berlaku terhitung 26 Maret 1975. Sedangkan Chemical Weapons Convention
(CWC) ditandatangani pada tanggal 13 Januari 1993 dan resmi berlaku sejak 29
April 1997. Senasib dengan perjanjian pengendalian senjata nuklir, AS
memperlakukan kedua perjanjian ini secara selektif dan diskriminatif. DK PBB
dapat menyelidiki setiap keluhan, akan tetapi kekuasaan untuk melakukan hal
itu tidak pernah diajukan. Dengan hak veto yang dimilikinya, AS, Inggris,
Perancis, Rusia, dan Cina, mampu memblok setiap keputusan untuk
menyelidiki senjata biologi. Pada bulan Juli lalu, AS menolak penerapan
protokol perjanjian BWC karena dipandang tidak sesuai dengan
kepentingannya.
20. Perkembangan senjata biokimia terkini. Pada tanggal 4 September 2001,
New York Times mengungkapkan bahwa para peneliti sistem pertahanan
biologi CIA, dengan dalih kepentingan defensif, mengujicoba sampel bom
biologi dan membangun fasilitas produksi senjata biologi di Nevada, aktivitas
yang tidak dapat dipisahkan dari penelitian senjata biologi ofensif. AS
merahasiakan aktivitas tersebut dan tidak pula mengungkapkannya dalam
confidence building report kepada BWC. Kajian defensif yang AS lakukan itu
dapat diartikan sebagai pengembangan senjata biologi. Misalnya, serangan
anthraks pada bulan Oktober 2001 di AS, sepertinya diawali oleh ilmuwan
domestik dari ahli laboratorium senjata biologi AS sendiri.
21. Hubungan AS dengan konvensi senjata biokimia. Menurut CWC,
Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons dapat melakukan
inspeksi terhadap laboratorium, pabrik dan mempelajari kerusakan yang
ditimbulkan senjata-senjata kimia. AS kemudian memaksa organisasi tersebut
untuk mengganti direkturnya, Jose Bustani. Kesalahan Jose Bustani adalah
keinginannya untuk memeriksa AS sama seperti negara-negara lain yang
diperiksa, dan mengajak Saddam Hussein menandatangani CWC. Amat kontras
dengan sikapnya yang giat memaksa dilakukannya inspeksi terhadap
persenjataan Irak, AS tidak perlu berpikir lama untuk menolak setiap inpeksi
senjata terhadap negaranya sendiri. Pada tahun 1997, Senat AS meluluskan
Chemical Weapons Convention Implementation Act, yang pada Pasal 307-nya
berbunyi: ‘Presiden berhak menolak permintaan dilakukannya inspeksi
terhadap setiap fasilitas di Amerika Serikat bilamana Presiden menganggap
bahwa inspeksi tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi kepentingan
keamanan nasional Amerika Serikat’.
22. Dukungan AS terhadap program senjata biokimia Irak. AS juga berperan
dalam pengembangan senjata biokimia. Pada tahun 1998, siaran berita Channel
4 di Inggris mengklaim penemuan dokumen intelijen AS, yang menunjukkan
bahwa sejumlah 14 pengiriman bahan-bahan biologi telah diekspor dari AS ke
Irak. Termasuk 19 paket bakteri anthraks dan 15 paket botulinum, organisme
yang menimbulkan botulisme. Siaran berita itu menunjukkan mereka memiliki
bukti bahwa Irak telah membeli sejumlah toksin setelah Irak menggunakan gas
untuk menyerang perkampungan Kurdi di Halajaba yang menewaskan 5000
orang.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa Barat tidak dapat dipercaya dalam
hal kepemilikan senjata pemusnah massal. Senjata tersebut telah digunakan secara
sistematis oleh Barat terhadap jutaan orang tak berdosa dalam PD I, PD II, Perang
Vietnam dan bahkan terhadap warga mereka sendiri. Hal ini menunjukkan betapa
anak-anak masa kini dan masa depan tidak boleh lagi dijadikan objek pembantaian
Barat, atau dengan meminjam kata-kata Truman, ‘eksperimen’ berikutnya yang
akan mereka hadapi. Kita pun perlu mengingatkan diri kita sendiri akan nilai-nilai
yang muncul dari pemerintahan Kapitalis-Barat dengan menyimak kembali ucapan
Major Foulkes, salah satu arsitek senjata kimia Inggris, tatkala ia dikirim ke India
pada tahun 1919. Sebagai upaya menekan militer Inggris agar menggunakan
senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ia berargumentasi bahwa
‘‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan
terhadap sebagian wilayah Afghanistan dan suku-suku di sana akan meningkatkan
korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’.
BAB 2
Barat dan Hukum Internasional

Salah satu poin penting yang dijadikan alasan pembenaran serangan ke Irak
adalah klaim bahwa Irak telah melanggar berbagai hukum internasional dan tidak
menghormati sejumlah resolusi PBB. Bab ini mencoba mengupas kontradiksi Barat
sendiri tehadap hukum internasional, dan fakta bahwa lima negara anggota tetap
DK PBB mempunyai hak veto, sebuah pilihan yang tidak dimiliki negara-negara
lain seperti Irak.

Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa


1. Abad ke-20 mungkin dikenal sebagai Abad Perang. Setelah berlalunya dua
perang dunia yang telah merenggut nyawa sekitar sepuluh juta orang, beberapa
konflik lain menghasilkan kematian bagi jutaan orang lainnya. Entah karena
kehilangan sejumlah besar rakyatnya atau karena adanya tantangan untuk
perimbangan kekuasaan, meletusnya dua perang dunia ditindak lanjuti dengan
adanya upaya dari kekuatan baru dunia untuk bersekutu guna mencegah potensi
konflik selanjutnya. Maka, setelah Perang Dunia I, lahirlah Liga
Bangsa-Bangsa (LBB). Sementara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lahir
usai Perang Dunia II. Kedua organisasi ini bertujuan untuk menjaga dan
memelihara perdamaian melalui persatuan internasional. Akan tetapi keduanya
telah gagal mencapai tujuan mereka, yakni menciptakan perdamaian dan
keamanan dunia.
2. Liga Bangsa-Bangsa dibentuk segera setelah The Great War (1914-1918).
Presiden AS Woodrow Wilson, adalah salah seorang pemrakarsanya melalui 14
poinnya yang terkenal, termasuk di dalamnya penghapusan diplomasi rahasia
dengan keterbukaan, kebebasan perairan internasional dari peperangan,
penghapusan pembatasan perdagangan internasional bila memungkinkan dan
sebagainya. Sebagai hasil dari LBB, muncullah format baru peta Eropa dan peta
Timur Tengah; Polandia, Yugoslavia dan Cekoslowakia, menjadi batas Eropa
yang baru, dan tentu saja ada peta Timur Tengah yang baru. Irak modern
diciptakan oleh LBB sebagaimana halnya negara-negara baru seperti Palestina,
Syria, dan Libanon. Bagaimanapun, tidak seluruh kekuatan dunia berpartisipasi
dalam LBB; Kongres AS menolak bergabungnya Jerman ke dalam LBB, dan di
tahun 1933, Jerman pun keluar.
3. Di antara seluruh anggota LBB, negara-negara kuat saat itu cenderung lebih
mementingkan urusannya masing-masing; Perancis menduduki Rhineland
untuk menekan Jerman agar membayar kerugian yang mereka derita akibat
perang sebelumnya, dan Italia menduduki Corfu. Keduanya terjadi di tahun
1923. Invasi Italia atas Abbessinia pada tahun 1935, dan selanjutnya perang
saudara di Spanyol yang meletus sejak tahun 1936, lebih mempertegas betapa
impotennya LBB, terutama ketika sanksi yang dijatuhkan terhadap Spanyol
ternyata tidak mampu menghentikan perang saudara di sana.
4. Negara-negara kecil mencoba untuk menggoyang kekuatan para adidaya.
Ketika Eamon de Valera dari Irlandia menjadi Presiden Dewan LBB –cikal
bakal Dewan Keamanan PBB– ia mengusulkan agar LBB memiliki sebuah
pasukan multinasional untuk menghentikan agresi Italia tahun 1935. Ia bahkan
siap menyumbangkan pasukan Irlandia yang berjumlah kecil untuk proyek
tersebut, namun tawarannya tidak memperoleh dukungan dari negara-negara
besar. De Valera pun mengeluh, ‘Kita belum pernah mampu menahan
keinginan kita dengan mengorbankan kepentingan sendiri ketika kepentingan
itu bertentangan dengan keadilan’ [The Independent, 6 Oktober 2002]. Uni
Soviet, anggota sejak tahun 1934, dikeluarkan karena menyerang Finlandia di
tahun 1939. Akhirnya, LBB sama sekali tidak berdaya untuk mencegah
meletusnya Perang Dunia II. Pada tahun 1946, dilakukan voting untuk
membubarkan LBB. Setelah itu, beragam properti dan kelengkapan
organisasinya banyak yang ditransfer ke PBB.
5. Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh
kekuatan utama dunia, dengan tujuan –secara teoritis– menyelesaikan
persengketaan internasional yang berpotensi menimbulkan peperangan, yang
pada gilirannya dapat menyebabkan hilangnya nyawa manusia. PBB juga
mempromosikan nilai-nilai semacam hak asasi manusia, yang sejalan dengan
nilai-nilai kekuatan dunia Barat. Meskipun demikian, terlepas dari eksistensi
organisasinya yang besar dengan perwakilan lebih dari 180 negara anggota
guna memecahkan beragam sengketa internasional secara diplomatis, kekuatan
dunia tetap bermain dan menelikung organisasi ini untuk meraih tujuan mereka
masing-masing. AS, Inggris, Cina, Rusia dan Perancis telah menjadi anggota
tetap Dewan Keamanan PBB, tanpa pemilihan. Mereka memiliki kekuatan
untuk memveto setiap resolusi PBB yang tidak mereka sepakati, sehingga
resolusi itu tidak bisa menjadi hukum. Karena itulah, Anda tidak akan
menemukan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk invasi AS ke
Panama, penggunaan senjata kimia mereka di Vietnam ataupun pembunuhan
massal yang dilakukan Rusia di Chechnya.
Invasi Irak ke Kuwait tahun 1991 konon melanggar hukum internasional
dan resolusi PBB. Namun, seandainya Kuwait diinvasi oleh salah satu dari lima
anggota tetap Dewan Keamanan, niscaya DK PBB tidak akan mampu berbuat
apa-apa. Konsekuensi dari dimilikinya hak veto oleh lima negara tersebut
adalah mereka dapat membatalkan sebuah resolusi, sekalipun resolusi tersebut
mendapatkan dukungan internasional. AS dikenal paling sering
mempergunakan hak vetonya untuk mencegah resolusi yang bertentangan
dengan kepentingannya sendiri. Akan tetapi, PBB kerap dianggap sebagai
benteng demokrasi dan dasar objektivitas internasional, hingga kini.
6. Beragam resolusi yang ditujukan untuk isu-isu Timur Tengah pun banyak yang
dibatalkan oleh veto AS. Beberapa waktu yang lalu, sebuah majalah Inggris
Economist, mencoba mengilustrasikan tidak adanya standar ganda antara
penggunaan kekuatan terhadap Irak dan kurangnya opsi militer terhadap
negara-negara semacam Israel. Dalam majalah tersebut disebutkan, bahwa
resolusi-resolusi yang digunakan berbeda secara hukum [Economist, halaman
23-25, edisi 12-18 Oktober 2002]. Namun demikian, majalah tersebut luput
melihat fakta bahwa negara-negara semacam Amerika dan Inggris tidak akan
pernah meloloskan resolusi yang memungkinkan dilakukannya upaya militer
untuk menekan Israel, walaupun beberapa kasus pencaplokan tanah, kejahatan
perang dan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil terus terjadi. Beberapa
veto AS yang terbaru di antaranya mencakup: usul pengiriman pasukan
perdamaian PBB ke Tepi Barat, Gaza, 2001; tuntutan agar Israel menghentikan
pembangunan pemukiman di sebelah Timur Yerusalem serta pembangunan
berbagai pemukiman serupa di daerah-daerah pendudukan lainnya, 1997;
seruan agar pemerintahan Israel menahan diri untuk tidak melakukan segala
tindakan termasuk perencanaan pembangunan pemukiman, 1997; penegasan
bahwa pengambilalihan tanah yang dilakukan Israel di Yerusalem Timur
adalah tidak sah dan melanggar berbagai resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan
Keamanan PBB dan ketetapan yang diatur dalam poin 4 Konvensi Jenewa;
menunjukkan dukungan terhadap proses perdamaian, termasuk Declaration of
Principles 13 September 1993, 1995; rancangan resolusi NAM untuk
menciptakan sebuah komisi yang beranggotakan tiga anggota Dewan
Keamanan PBB ke Rishon Lezion, di mana seorang tentara Israel menembaki
tujuh orang warga Palestina, 1990; daftar ini masih lebih panjang lagi (Lihat
tabel ihwal sejumlah veto yang dikeluarkan AS dan menguntungkan Israel pada
bagian akhir bab ini).
7. Pada musim panas 2002, AS memveto perpanjangan misi di Bosnia karena
takut tentara mereka yang dikirimkan ke sana akan diseret ke International
Criminal Court (Mahkamah Kriminal Internasional) oleh musuh-musuh mereka
[BBC online, 3 Juli 2002]. Ini jelas menunjukkan bahwa manuver yang
dilakukan AS untuk PBB hanya terjadi bilamana hal itu menguntungkan AS.
Bagaimanapun, sikap pilih kasih terhadap hukum internasional merupakan
bagian dan menjadi paket dari kebijakan luar negeri AS. AS senantiasa
menuntut Irak untuk mematuhi hukum internasional, sedangkan AS sendiri
tidak mengindahkannya dan malah menginjak-injak aturan yang sama. Robin
Theurkauf, seorang Visiting Fellow pada Yale University dan istri dari salah
satu korban peristiwa 11 September 2001, mengatakan, ‘Kita yang berada di
AS menyukai hukum internasional dan kita pun ingin negara-negara lain
mematuhinya. Akan tetapi, adalah sebuah kemunafikan yang sangat kentara
ketika kita menuduh negara-negara lain melanggar aturan sementara kita
sendiri secara agresif menolak gagasan untuk tunduk kepada sistem hukum
internasional sebagai bagian dari masyarakat dunia’ [Milan Rai., ‘War Plan
Iraq’., hal. 205].
8. Hak asasi manusia –sebuah istilah yang digunakan secara sangat subjektif–
secara teori diakui sebagai hal yang fundamental oleh PBB dan seperti kita
ketahui, tercantum dalam Pembukaan Piagam PBB: ‘… untuk kembali
menegakkan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang fundamental,
dalam martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, dalam persamaan hak antara
pria dan wanita serta negara kecil dan besar…’. Tatkala mereka menjajakan
nilai-nilai yang diadopsi oleh PBB kepada seisi dunia, kekuatan dunia semacam
AS, Inggris, Rusia dan yang lain, justru secara terbuka mendukung rezim
penindas rakyat dan pelanggar hak-hak dasar rakyatnya sendiri. Meski kami
telah membuat bab tersendiri untuk membahas topik ini, sangat penting bagi
kita untuk melihat bagaimana PBB melanggar prinsip-prinsip mereka sendiri
dengan tetap bersikap pasif ketika negara-negara kuat melanggar setiap hak
dasar kemanusiaan. Di satu sisi, AS, Inggris dan yang lain menyerukan kepada
dunia agar menaati berbagai nilai ‘universal’. Sementara di sisi lain mereka pun
secara terbuka memberi dukungan moral dan finansial kepada berbagai rezim,
misalnya Mesir dan Uzbekistan yang secara terang-terangan melanggar
hak-hak rakyatnya.
9. Baru-baru ini dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Sekjen PBB di
Tashkent, Uzbekistan, Presiden Karimov dengan berang menanggapi
pertanyaan seputar pelanggaran HAM di Uzbekistan. Ia berkata, ‘Saya ingin
menjawab pertanyaan wartawan tadi dengan pertanyaan juga. Katakan pada
saya, adakah satu saja negara di dunia ini yang tidak melanggar HAM?
Mungkin Anda dapat menyebut satu negara yang tidak melanggar HAM atau
yang tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM?’ [Reuters, 18 Oktober
2002]. Meskipun rajin mengajarkan nilai-nilai HAM ke seluruh dunia dan
hingga tahun 2001 masih menjadi anggota Dewan HAM PBB, negara Barat
seperti AS tercatat sering melakukan pelanggaran HAM. Laporan sebuah
kelompok HAM menyoroti kasus pelanggaran HAM di penjara-penjara AS
yang melebihi kapasitasnya, termasuk rasisme [CNN, 6 Oktober 1998], juga
rasisme dalam pelaksanaan hukuman mati [Amnesti Internasional, 16
Oktober 2002], dan kebrutalan polisi dalam kasus terkenal, Amado Dialo dan
Rodney King, serta pembinasaan penduduk asli Indian dalam rangka perluasan
wilayah. Dengan fakta-fakta seperti ini, AS dan Inggris, yang masa lalunya
tidak perlu lagi dikomentari, masih berani menceramahi negara seperti Irak
supaya menghormati HAM. Australia pun dilaporkan melanggar hak-hak
pengungsi yang ingin sekadar mencari tempat berlabuh di wilayahnya. Selain
AS dan Inggris, negara besar lain seperti Rusia dan Cina juga memiliki catatan
suram berkenaan dengan HAM. Rusia dengan kasus Chechnya, sedangkan
Cina tersandung kasus di Xinjaing.
10. Berbagai kekerasan yang dilakukan negara-negara kuat, yang juga anggota
PBB, anggota Dewan Keamanan dan anggota Badan HAM PBB,
memperlihatkan pandangan mereka bahwa kepentingan bangsanya sendiri
adalah lebih penting daripada hak asasi manusia, kesejahteraan, pemukiman
atau masalah-masalah kemanusiaan secara umum.
11. Pada tahun 1994, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap jutaan orang di
Afrika Tengah. Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali menuduh suku Hutu yang
mendominasi angkatan bersenjata Rwanda telah melakukan pembantaian
terhadap suku Tutsi. Ketika peristiwa itu sedang mencapai puncaknya, pasukan
PBB yang memang tidak diperintahkan untuk melindungi warga sipil, tanpa
rasa malu meninggalkan Kigali dan untuk beberapa bulan kemudian, warga
Rwanda –umumnya suku Tutsi– dibantai. Pasukan Rwandan Patriotic Front
memasuki Kigali dan pembantaian pun tak terelakkan. PBB kemudian datang
ke wilayah tersebut. Namun, Boutros Boutros Ghali, Sekjen PBB saat itu,
mengeluhkan minimnya dukungan negara-negara kuat –khususnya AS– dalam
operasi perdamaian PBB. Pembantaian warga Rwanda sebenarnya dapat
dihindari, karena tiga negara anggota PBB (Belgia, Prancis dan AS), dua di
antaranya anggota tetap Dewan Keamanan, sebelumnya telah mengetahui
rencana pembantaian suku Tutsi itu.
Paparan berikut yang disarikan dari biografi Boutros Boutros Ghali
menunjukkan fakta bahwa negara-negara kuat sebelumnya telah mengetahui
pembantaian yang akan terjadi: ‘Jenderal Dalaire telah mengirim telegram
kepada Department of Peace-Keeping Operations (DPKO) (Departemen
Operasi Penjaga Perdamaian PBB), isinya tentang laporan seorang informan
perihal adanya penimbunan senjata yang dilakukan pasukan Hutu untuk
persiapan pembantaian suku Tutsi. Dalaire meminta izin untuk mencoba
menyita senjata tersebut, namun permohonannya ditolak oleh DPKO dengan
alasan bahwa mandat untuk operasi PBB di Rwanda tidak mencakup perkara
semacam itu. Keesokan harinya, 12 Januari 1994, Dalaire, dalam rangka
menjalankan perintah PBB, memberitahu Duta Besar Belgia, Perancis dan AS
tentang informasi tersebut. Dengan kata lain, PBB sebenarnya telah
menginformasikan kabar itu kepada negara-negara kuat yang sebenarnya
dapat bertindak untuk mencegah pembantaian tersebut’ [Boutros Boutros
Ghali., ‘Unvanquished’., 1998]. Sekali lagi, ketidakpedulian negara-negara
kuat yang menguasai PBB telah menimbulkan bencana kemanusiaan. Tidak
seperti Irak, Rwanda tidak memiliki minyak dan terletak di lokasi yang tidak
strategis.
Boutros Boutros Ghali dalam biografinya memaparkan masalah yang
terjadi di PBB tersebut. ‘Belum lama ini seluruh dunia mengira mampu
mengetahui dan mencegah pembunuhan massal. ‘Takkan lagi’ adalah kata
yang paling tepat. Namun pembantaian kembali terjadi; di Kamboja, saat lebih
dari satu juta korban jatuh di tangan Khmer Merah; di bekas wilayah
Yugoslavia, saat terjadi pembantaian yang termasyhur sebagai ‘pembersihan
etnis’; di Somalia, ketika terjadi genosida akibat perang saudara yang telah
membuat terhambatnya bantuan untuk rakyat yang kelaparan dan menderita
sakit, serta ketika 350.000 orang mati sebelum Dewan Keamanan memutuskan
untuk turun tangan. Di Rwanda, hampir satu juta orang terbunuh akibat
genosida, namun Dewan Keamanan PBB tidak melakukan apapun’
[Boutros-Boutros Ghali., ‘Unvanquished’., 1998].
12. Dalam Earth Summit terakhir di Johannesburg, masalah kesenjangan antara
dunia kesatu dan dunia ketiga menjadi sorotan. Juga terungkap upaya
negara-negara kuat menghindari masalah lingkungan hidup dan target bantuan
dunia ketiga. Keengganan negara-negara maju ini adalah sebuah cerita lama
mengingat dalam Earth Summit sebelumnya di Rio, Brazil, pada tahun 1992,
hal ini telah terlihat. Ketika itu negara-negara anggota PBB berikrar untuk
memperbaiki lingkungan dunia dengan mengurangi kebiasaan mengkonsumsi
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Beberapa negara anggota
yang menghadiri pertemuan tersebut telah mengkhianati ikrar mereka sendiri
dan gagal menerapkan atau meratifikasi undang-undang atau kebijakan yang
diperlukan.
13. Seorang juru bicara WWF mengatakan bahwa pemerintahan AS yang dipimpin
oleh Bush serta Kanada dan Australia berupaya keras agar proses itu tidak
menghasilkan sesuatu yang positif. ‘Mereka benar-benar menghalang-halangi
setiap kemajuan dalam hal rencana aksi konkrit dan ini menimbulkan sebuah
efek domino yang menakutkan’ [CNN, 7 Juni 2002]. Sepuluh tahun kemudian,
muncul banyak kritik atas nihilnya ketercapaian tujuan yang dicanangkan
dalam pertemuan Rio. Beberapa negara anggota telah mengkhianati janji
mereka sendiri, gagal mengimplementasikan atau meratifikasi undang-undang
atau kebijakan yang diperlukan. Subsidi yang diberikan oleh negara-negara
maju untuk para petani lokal merupakan isu lain yang berkembang. Menurut
Bank Dunia, subsidi untuk para petani di Eropa dan AS secara keseluruhan
mencapai US$ 1 milyar per hari, benar-benar tidak mempedulikan jatah para
produsen yang berasal dari negara-negara berkembang [AFP, 28 Agustus
2002].
14. Akibatnya, para ahli lingkungan mengkritik kebijakan negara-negara besar,
khususnya AS. Bahkan ada yang memprotes serta mencemooh pidato Menteri
Luar Negeri AS, Colin Powell, pada Earth Summit di Johannesburg. Vandana
Shiva, pendiri India’s Research Foundation for Science, Technology and
Ecology, menuding, ‘AS tidak memiliki strategi’. Berkenaan dengan masalah
privatisasi, ia katakan, ‘Mereka ingin agar kita menutup mata dan berkata:
‘serahkan semuanya kepada pasar’, dan itu tidak terjadi’ [Washington Post,
30 Agustus 2002]. Politisi dari Partai Republik, George Miller (distrik
California), yang menghadiri pertemuan Johannesburg, ikut mengkritik
kebijakan pemerintahan Bush. ‘Pemerintah AS telah menjadi penghambat
dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan’, ujarnya
[Washington Post, 30 Agustus 2002].
15. Pemerintah AS menolak disalahkan dan malah melimpahkan tanggung jawab
kepada negara-negara dunia ketiga. Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell,
mengkritik Zambia yang menolak bantuan pangan dari AS, termasuk di
dalamnya bijih padi hasil modifikasi genetik yang akan menguntungkan
perusahaan-perusahaan AS. Rezim AS yang sama telah menolak penambahan
bantuan untuk negara dunia ketiga, seraya menjajah mereka melalui berbagai
lembaga semacam IMF dan Bank Dunia. AS juga menolak sebuah resolusi
pertemuan dunia PBB di Monterrey awal tahun ini yang bertujuan untuk
meningkatkan target bantuan kepada negara-negara dunia ketiga menjadi
sebesar 0,7% dari pendapatan nasional negara maju. Washington telah menjadi
salah satu dari donor paling kikir –meski menjadi negara dengan perekonomian
terkuat– yaitu hanya mencurahkan 0,1% dari pengeluaran nasionalnya untuk
bantuan internasional [The Guardian, 23 Januari 2002]. Sebelum pertemuan
itu berlangsung, AS berupaya menghilangkan setiap penyebutan tujuan
pembangunan yang telah disepakati secara internasional dan menentang
pendapat bahwa negara maju harus memenuhi target PBB perihal alokasi 0,7%
dari pendapatan nasionalnya untuk bantuan internasional.
16. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sepanjang dekade 1990-an AS
menunggak iuran ke PBB. Pada saat AS mulai melunasi utangnya ke PBB, nilai
yang harus mereka bayar sudah sebesar US$ 1,5 milyar. Alasan AS untuk tidak
membayar secepatnya tidak berhubungan dengan kesulitan finansial,
mengingat sepanjang tahun 1990-an mereka mengalami ledakan ekonomi
berkat dot com mania. Dihadapkan pada resiko kehilangan hak suara mereka
dalam Majelis Tinggi PBB dan semakin melemahnya pengaruh mereka di PBB,
Washington segera menyetorkan sedikit uang pada tahun 1999. Namun
Washington memang gemar melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri
dan mereka menolak keras membayar tambahan biaya penjagaan perdamaian;
juga telah menahan uang untuk beberapa proyek yang AS anggap mubazir atau
tidak jelas, dan meributkan jumlah pajak yang dibayarkan PBB bagi para
pekerja Amerika dalam program penyetaraan pajak [New York Times, 28 Juni
1998].

Kesimpulan

Lembaga-lembaga internasional semacam PBB dan IMF merupakan


organ-organ imperialis yang dirancang untuk menjajah negara-negara berkembang,
termasuk negeri-negeri muslim. Syariat Islam melarang kaum Muslim untuk
menggantungkan nasibnya pada lembaga-lembaga seperti itu secara politis dan
pemerintahan, dalam bentuk apapun. Namun, seperti yang telah digambarkan
dalam bab ini, bangsa-bangsa semacam AS dan Inggris tidak meyakini bahwa
konsep hukum internasional harus ditegakkan di atas kepentingan negara manapun.
Karena itulah upaya pembenaran perang terhadap Irak dengan menggunakan
argumentasi pelanggaran Irak terhadap hukum internasional, menemui kegagalan.
Sangat jelas bahwa penyalahgunaan PBB oleh sekutu merupakan sebuah langkah
taktis, bukan strategis, yang menjadi alasan mengapa mereka selalu bergerak di
jalur unilateral sebagai sebuah opsi yang tetap ada. Karenanya, kecenderungan dan
determinasi untuk beraksi secara unilateral merupakan sebuah ujung final dalam
peti mati bagi mereka yang berpendapat bahwa perdebatan ini berkisar pada
kedudukan PBB dan hukum internasional.
Veto AS terhadap berbagai Resolusi Penting
tentang Israel – (1972-2002)

Veto: 1972-1982
Perwakilan
Tanggal
Masalah AS yang Hasil Voting
Pertemuan
Memveto
Palestina: Masalah 10-9-1972 Bush 13-1,1
Syria-Libanon. Tiga draft
resolusi 2/10784
Palestina: Pemeriksaan 2-7-1973 Scali 13-1,0 (Cina
situasi Timur Tengah. tidak
Berkekuatan 8 draft resolusi berpartisipasi
(S/10974) )
Palestina: Masalah Mesir 8-12-1975 Moynihan 13-1,1
lawan Libanon.
Berkekuatan 5 draft resolusi
(S/11898)
Palestina: Masalah Timur 26-1-1976 Moynihan 9-1,3 (Cina &
Tengah, termasuk Libya tidak
pertanyaan di seputar warga berpartrisipas
Palestina. Berkekuatan 6 i)
draft resolusi (S/11940)
Palestina: situasi di daerah 25-3-1976 Scranton 14-1,0
Pendudukan Arab.
Berkekuatan 5 draft
resolusi. (S/12022)
Palestina: Laporan dari 29-6-1976 Sherer 10-1,4
Komisi Hak-hak Warga
Palestina. Berkekuatan 4
draft resolusi. (S/121119)
Palestina: Hak-hak warga 30-4-1980 McHenry 10-1,4
Palestina. Draft resolusi
Tunisia. (S/13911)
Palestina: Dataran tinggi 20-1-1982 Kirkpatrick 9-1,5
Golan. Draft resolusi
Yordania. (S/14832 Rev.2)
Palestina: Situasi di daerah 2-4-1982 Lichenstein 13-1,1
pendudukan. Draft resolusi
Yordania. (S/14943)
Palestina: Insiden Kubah 20-4-1982 Kirkpatrick 14-1,0
Batu di Yerusalem.
Berkekuatan 4 draft
resolusi.
Palestina: Konflik Libanon. 8-6-1982 Kirkpatrick 14-1,0
Draft resolusi Spanyol.
(S/15185)
Palestina: Konflik Libanon. 26-6-1982 Lichenstein 14-1
Draft resolusi Perancis.
(S/15255/Rev.2)
Palestina: Konflik Libanon. 8-6-1982 Lichenstein 11-1,3
Draft resolusi Uni Soviet.
(S/15347/Rev. 1, dilakukan
secara lisan)
Palestina: Situasi di daerah 8-2-1983 Lichenstein 13-1,1
Pendudukan. Berkekuatan
20 Draft resolusi. (S/15895)
Veto-veto dalam Dewan Keamanan PBB/Hasil Voting
Negatif sejak 1983 – sekarang
Subyek Tanggal Hasil Voting
Libanon Selatan: Memberi sanksi atas 6-9-1984 Diveto: 13-1 (AS),
aksi Israel di Libanon Selatan. S/16732. dengan 1 abstain
(Inggris)
Daerah Pendudukan: mengecam keras 13-9-1985 Diveto: 10-1 (AS),
‘Kekerasan Terencana’ oleh Israel dengan 4 abstain
terhadap warga Arab. S/19459. (Australia, Denmark,
Inggris, Prancis)
Libanon: Memberi sanksi atas kekerasan 12-3-1985 Diveto: 11-1 (AS),
Israel terhadap warga di Libanon Selatan. dengan 3 abstain
S/17000. (Australia, Denmark,
Inggris)
Daerah pendudukan: Menyeru Israel agar 30-1-1986 Diveto: 11-1 (AS),
menghargai tempat-tempat suci umat dengan 1 abstain
Islam. S/17769/Rev. 1 (Thailand)
Libanon: Memberi sanksi atas kekerasan 17-1-1986 Diveto: 11-1 (AS),
Israel terhadap warga di Libanon Selatan. dengan 3 abstain
S/17730/Rev.2. (Australia, Denmark,
Inggris)
Libya/Israel: Memberi sanksi kepada 6-2-1986 Diveto: 10-1 (AS),
Israel atas penangkapan pesawat Libya. dengan 4 abstain
S/17796/Rev.1 (Australia, Denmark,
Prancis, Inggris)
Libanon: Draft untuk mengecam keras 18-1-1988 Diveto: 13-1 (AS),
serangan berulang-kali Israel terhadap dengan 1 abstain
wilayah Libanon dan pelanggaran lain (Inggris)
serta praktek kekerasan terhadap
penduduk; (S/19434)
Libanon: Draft pemberian sanksi kepada 10-5-1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel atas invasi terhadap Libanon
Selatan dan kembali menyerukan
penarikan seluruh tentara Israel dari
wilayah Libanon secepatnya; (S/19868)
Libanon: Draft mengecam keras serangan 14-12-1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel terhadap wilayah Libanon pada 9
Desember 1988; (S/20322)
Daerah Pendudukan: Draft menyeru 1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel agar menerima ketetapan de jure
konvensi Jenewa ke-4; (S/19466)
Daerah Pendudukan: Draft menekan 1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel agar tetap mematuhi ketetapan
konvensi Jenewa ke-4, menarik
keputusan pendeportasian warga sipil
Palestina, serta memberi sanksi atas
kebijakan dan tindakan Israel yang
melanggar hak-hak Asasi manusia warga
Palestina di daerah pendudukan;
(S/19780)
Daerah pendudukan: Mengecam keras 17-2-1989 Diveto: 14-1 (AS)
tindakan dan kebijakan Israel di daerah
pendudukan, serta mengecam keras
ketidakpatuhan Israel terhadap berbagai
keputusan Dewan Keamanan PBB.
Daerah pendudukan: Memberi sanksi atas 9-6-1989 Diveto: 14-1 (AS)
kebijakan dan tindakan Israel di daerah
pendudukan
Daerah pendudukan: Memberi sanksi atas 7-11-1989 Diveto: 14-1 (AS)
kebijakan dan tindakan Israel di daerah
pendudukan
Daerah pendudukan: Draft resolusi NAM 31-5-1990 Diveto: 14-1 (AS)
untuk menciptakan sebuah komisi dan
mengirim tiga anggota Dewan Keamanan
ke Rishon Lezion, tempat di mana
seorang Israel yang bersenjata
menembaki tujuh orang pekerja Palestina.
Daerah pendudukan: Pernyataan bahwa 17-5-1995 Diveto: 14-1 (AS)
tindakan pengambilalihan tanah yang
dilakukan Israel di Yerusalem timur
adalah tidak sah dan melanggar berbagai
resolusi Dewan Keamanan serta
ketetapan konvensi Jenewa ke-4;
memberikan dukungan terhadap proses
perdamaian, termasuk Deklarasi Prinsip
13-9-1993
Timur Tengah: Menyeru Pemerintah 7-3-1997 Diveto: 14-1 (AS)
Israel agar menahan diri untuk tidak
melakukan tindakan atau rencana,
termasuk aktivitas pembangunan
pemukiman
Timur Tengah: Meminta Israel 21-3-1997 Diveto: 13-1,1 (AS)
menghentikan konstruksi pemukiman di
Yerusalem timur (tempat yang dinamai
Jabal Abu Ghneim oleh orang Palestina
atau Har Homa oleh orang Israel), beserta
seluruh aktivitas pembangunan
pemukiman di wilayah pendudukan
Menghadirkan pasukan pengamat PBB di 27-3-2001 Diveto: 9-1 (AS),
tepi Barat, Gaza dengan empat abstain
(Inggris, Prancis,
Irlandia dan
Norwegia)
Memberikan sanksi atas tindakan teror, 15-12-2001 Diveto: 12-1 (AS),
meminta untuk menghentikan kekerasan dengan dua abstain
dan meningkatkan mekanisme (Inggris dan
monitoring untuk menghadirkan para Norwegia)
pengamat.

[Sumber: Departemen Luar Negeri AS]


BAB 3
Barat dan Rezim Diktator

Dokumen pemerintah Inggris berupaya keras menjustifikasi perang dengan


menjadikan rezim represif Saddam Hussein sebagai alasan. Walau demikian, sedari
dulu sudah ada asosiasi buruk antara negara-negara Barat yang ‘terpilih secara
demokratis’ dengan ‘rezim-rezim diktator’ di dunia. Ketika manfaat menjadi
aksioma dijalankannya politik Barat, maka segala macam hukum internasional,
prinsip-prinsip dan kebijakan ‘etis’ luar negeri dapat disingkirkan dengan mudah.
Sehingga, bukan merupakan suatu kejutan ketika Inggris dan AS berada di garis
terdepan dalam membangun aliansi dengan berbagai rezim diktator paling brutal
sepanjang abad yang lalu dan yang masih berlanjut hingga kini. Banyak contoh
yang memperlihatkan bagaimana mereka mendudukkan, mendukung dan
menjatuhkan pemimpin sebuah negara berdasarkan kepentingan nasional mereka.
Aliansi mereka dengan berbagai rezim tercipta di bawah eufimisme yang
berhubungan dengan strategi, geopolitik dan semacamnya. Bab ini mencoba
menapaktilasi keterkaitan Barat dengan rezim-rezim diktator dan selanjutnya
membuktikan bagaimana mereka berkolusi dan mendukung aktivitas despotisme
yang brutal. Anda, sidang pembaca, harus menyadari sepenuhnya bahwa AS dan
Inggris senantiasa memunculkan sejumlah premis kosong untuk memberlakukan
berbagai hukum dan standar terhadap seluruh negara di dunia.
Terrorists become any foreign people you don’t like
(Kini teroris adalah setiap orang asing yang tidak Anda sukai).
[Frank Furedi]
If the Nurenberg laws were applied today, then every Post-War American President
would have to be hanged
(Andaikata hukum Nurenberg diberlakukan sekarang, maka setiap Presiden AS
pasca perang harus digantung).
[Noam Chomsky]
1. Daftar para diktator, di mana Barat turut membantu dan bersekongkol dengan
mereka, sangatlah panjang dan terkenal. Bisa jadi kita perlu sebuah dokumen
tersendiri jika ingin mengkaji semuanya secara utuh. Sekadar informasi saja,
berikut ini daftar para dikatator yang kami buat.
Sani Abacha
Daniel Arap Moi
Jerry Rawlings
Yoweri Museveni
Muammar Khaddafi
Gamal Abdul Nasser
Anwar Sadat
Hosni Mubarak
Islam Karimov
Adeeb Shishkaly
Hosni As Zaim
Abdul Kareem Kassem
Hafez Al Asad
Jenderal Ayub Khan
Jenderal Yahya Khan
Jenderal Zia ul Haq
Jenderal Pervaiz Musharraf
Jenderal Suharto
Ferdinand Marcos
Pol Pot
Josef Stalin
Adolf Hitler
Jenderal Augustine Pinochet
Reza Pahlevi – Shah Iran
Mobuto Sese Seko
Laurent Kabila
Robert Mugabe
Saddam Hussein
2. Agaknya sejarah akan menempatkan Josef Stalin dan Adolf Hitler di antara
para pembunuh massal dan tirani pada zaman kita. Jumlah orang yang mereka
bunuh berada pada kisaran jutaan dan itu pun baru perkiraan. Bagaimanapun,
pihak Baratlah yang telah memberi mereka peluang untuk tampil ke pentas
dunia sekaligus membantu kejahatan yang mereka lakukan.
3. Pernyataan George W. Bush bahwa ‘Diktator Irak adalah murid Stalin,’
merupakan sesuatu yang ironis. Hal ini mengingat Baratlah, khususnya AS,
yang menjalin dan menciptakan persekutuan dengan diktator –yang secara
historis tidak diragukan lagi– paling brutal sepanjang Perang Dunia II itu.
Nama Josef Stalin akan selalu dikenang dalam sejarah sebagai diktator terbrutal
di zaman ini. Pada tahun 1932, ia memerintahkan untuk membuat bangsa
Ukraina kelaparan agar mau menjalankan program kolektivisasi dan
menanggalkan nasionalisme mereka. Setidaknya 8 juta orang Ukraina dibunuh,
sementara yang lain terpaksa menjalankan praktek kanibalisme. Sejak tahun
1917 hingga kematian Stalin di tahun 1953, Uni Soviet telah menembaki,
menyiksa, mengusir, membekukan dan semacamnya hingga menewaskan lebih
dari 40 juta orang rakyatnya. Beberapa sejarawan Rusia bahkan mengklaim
bahwa jumlah yang sebenarnya adalah lebih dari itu. Akan tetapi, hal itu tidak
menghentikan Barat untuk tetap menjalin persahabatan dan memberikan
bantuan sepanjang Perang Dunia II atas dasar ‘greater good’ (kemaslahatan
yang lebih besar).
4. Fenomena tentang hubungan Presiden AS Roosevelt dengan Stalin telah
dikenal luas. Dalam bukunya, ‘From Chronicles of Wasted Time: Number 2
The Infernal Grove’, penulis Inggris Malcolm Muggeridge di halaman 199
menulis: ‘Roosevelt… melakukan apapun yang dapat ia lakukan untuk
memastikan bahwa, ketika Jerman kalah, Stalin dengan mudahnya menduduki
dan menguasai berbagai negara bersama dengan sekutu-sekutunya…. Dan
ahli spionase muda kita (semacam Kim Philby dan lain-lain) telah
menunjukkan maksud yang sama dengan mengatur agar, di negara yang jauh,
dia (Stalin) diberi pasukan dengan persenjataan yang lengkap, keuangan yang
besar dan pasukan bawah tanah yang terorganisasi dengan baik’. AS melihat
bahwa partisipasi Rusia sangat krusial untuk membentuk tatanan dunia pasca
perang dan karenanya, menjalin perjanjian dengan Stalin dipandang sebagai
strategi imperatif yang sangat esensial. Harry Hopkins, ajudan terdekat
Roosevelt, merefleksikan pemikiran sang presiden itu dalam tulisan yang
dibuatnya: ‘Kita tidak dapat mengatur dunia antara Inggris dan kita begitu
saja tanpa menyertakan Rusia sebagai mitra sejajar. Untuk itu, jika urusan
dengan Chiang Kai Sek berjalan dengan baik, aku pun akan menyertakan
Cina’. Di antara para pembesar Inggris pun ada yang cenderung mengagumi
sang pembantai hampir 20 juta orang tersebut. ‘Bila aku harus menyusun
sebuah tim negosiasi, Stalin akan menjadi pilihan pertamaku,’ ucap Anthony
Eden, Menteri Luar Negeri Inggris. Dalam sebuah pertemuan di Teheran pada
tahun 1943, Churchil berkata, ‘Marshal Stalin berhak mengambil tempat di
antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah Rusia, dan layak disebut sebagai
‘Stalin yang Agung’’ [Edward Radzinsky, ‘Stalin’].
5. Alvin Finkel dan Clement Leibovitz mengupas keterlibatan Inggris dengan
Nazi dalam karya tentang Nazi yang baru terbit, ‘The Chamberlain-Hitler
Collusion’. Sang penulis menyodorkan berbagai bukti tertulis untuk
meyakinkan bahwa pada kenyataannya para penguasa Inggris tidak
menemukan sesuatu yang perlu dibenci dari Nazi. Ini bertentangan dengan
kepercayaan yang lazim bahwa Inggris boleh berbangga hati dengan perannya
saat Perang Dunia II di mana seluruh rakyat bersatu untuk mempertahankan
demokrasi dan hak-hak negara-negara kecil, dan untuk mengalahkan tirani
Fasisme. Penguasa Inggris justru menyambut baik rezim Hitler (seperti yang
mereka lakukan terhadap rezim Franco dan Mussolini), mendukung Jerman
untuk kembali mempersenjatai diri, dan sangat berharap untuk bersekutu
dengan Jerman hingga tahun 1939. Buku tersebut menghapus anggapan bahwa
Chamberlain mengharapkan sebuah kesepakatan dengan Hitler karena dia
sangat naif atau ingin menghindari pertumpahan darah. Sir Neville Henderson,
Duta Besar Inggris untuk Jerman periode 1937-1939, pada bulan Oktober 1939
menulis, ‘ada banyak hal di dalam organisasi dan institusi sosial Nazi … yang
harus kita pelajari dan terapkan terhadap bangsa kita dan demokrasi model
lama’. Adapun tentang Hitler, ‘andai saja dia tahu kapan dan di mana dia
harus berhenti: misalnya, setelah adanya dekrit Munich dan Nurenberg untuk
Yahudi, dia akan dikenang sebagai pemimpin besar di dunia’. Bagi
orang-orang Inggris, Nazi bebas melakukan apapun di Eropa Timur dan Eropa
Tengah. Pemerintah Inggris dapat menerima aksi Hitler di Austria,
Cekoslowakia, dan lain-lain. Dengan kata lain, Inggris dapat menerima semua
tindakan Nazi sepanjang tidak mengganggu koloni dan pasar Inggris.
6. Finkel dan Leibovitz menyoroti bagaimana pemerintah Inggris sangat
mendukung dipersenjatainya kembali Jerman karena mereka melihat Nazi
sebagai sekutu alami dan potensi kuat yang dapat digunakan untuk melawan
komunisme. Chamberlain menulis kepada Raja, mengemukakan gagasan
bahwa Jerman dan Inggris akan menjadi ‘dua pilar perdamaian Eropa dan
benteng perlawanan terhadap Komunisme’. Ketika pada tahun 1936 Rhineland
di-remiliterisasi, kabinet Inggris secara gencar menentang rencana Perancis
yang bermaksud menghentikan hal tersebut. Laporan kabinet memperlihatkan
bahwa mereka merasa apabila rencana Perancis berhasil, maka Hitler akan
terguling dan itu merupakan sebuah keuntungan bagi kaum komunis di Jerman.
Argumentasi ini selalu diandalkan oleh pemerintahan Chamberlain. Inggris
membenarkan invasi Jerman ke Austria di bulan Februari 1938 dengan alasan
bahwa kedua negara itu telah memutuskan untuk bersatu secara damai. Hitler
pun diberitahu bahwa mengingat banyaknya populasi suku Sudeten Jerman di
Cekoslowakia, maka Inggris tidak akan menghalangi invasi terhadap ‘tujuan
Jerman berikutnya (her next goal)’. Inggris bahkan menandatangani
Anglo-German Naval Accord di tahun 1935, yang memungkinkan Hitler untuk
mengembangkan mesin-mesin perang, sesuatu yang secara langsung
bertentangan dengan Perjanjian Versailles dan LBB. Rencana tersebut akan
membuat Hitler memiliki ‘kebebasan’ di Eropa Tengah dan Timur, sementara
Kerajaan Inggris tidak diusik sama sekali. Inilah makna sebenarnya dari
ungkapan Chamberlain tentang ‘peace in our time’ –yaitu stabilitas bagi
pemerintahan dan untuk mengusir orang-orang Yahudi, Slavia, Rumania, dan
bangsa atau kaum lain yang tidak dikehendaki, terutama Komunis. Keterlibatan
AS dengan apa yang disebut sebagai ancaman Nazi pun lebih tersembunyi
daripada yang mereka akui. Antara tahun 1929 dan 1939, investasi
perindustrian AS di Nazi-Jerman jauh lebih pesat ketimbang investasinya di
negara manapun.
7. Baru-baru ini, keterkaitan AS dengan para diktator dan kelompok teroris telah
melibatkan aktivitas pelatihan (training), pendanaan (funding) dan dukungan
politis terhadap rezim-rezim paling brutal. Hal ini paling jelas terlihat di
negara-negara Amerika Tengah dan Selatan. Sepanjang tahun 1981–1985,
sebuah pasukan teroris Amerika, Contra, yang dilatih, dipersenjatai dan didanai
di Nikaragua oleh CIA, telah membunuh 3.346 orang anak dan remaja
Nikaragua serta membunuh salah satu atau kedua orang tua dari 6.236 orang
anak [Dianna Melrose., ‘Nicaragua: The Threat of a Good Example’.,
Oxfam, Oxford, 1985, hal. 26]. Mantan analis CIA, David Mac Michael,
memberikan alasan untuk hal ini dalam bukti yang diajukan ke International
Court of Justice (Mahkamah Keadilan Internasional). Ia mengatakan bahwa
teror Amerika dirancang, ‘untuk memprovokasi serangan lintas perbatasan
oleh pasukan Nikaragua sehingga memperlihatkan sikap agresif Nikaragua’,
dalam rangka menekan pemerintah Nikaragua ‘agar mengawasi kebebasan
sipil di Nikaragua, menahan para penentang kebebasan sipil, menunjukkan
sifat totalitarian mereka sehingga meningkatkan pertentangan di negara
tersebut’. Adapun tujuan sebenarnya adalah untuk menghancurkan
perekonomian Nikaragua. Pada tahun 1986, World Court mengutuk AS atas
‘penggunaan pasukan tanpa landasan hukum’ dan tekanan ekonomi ilegal
terhadap Nikaragua. Menanggapi hal itu, AS memveto resolusi PBB yang
menyerukan seluruh pemerintah agar menghormati hukum internasional pada
tahun 1986 [Noam Chomsky., ‘Western State Terorism’., hal.19].
8. Menurut United States Commission on Human Rights (Komisi HAM AS),
dalam waktu lima belas bulan, lebih dari 20.000 warga sipil di El Salvador
tewas oleh pasukan tempur yang tergabung atau berhubungan dengan pasukan
keamanan yang dilatih AS dan didanai sebesar US$ 532 juta dalam bentuk
‘hibah’ [Memo Central for International Policy Aid, Washington, April
1981. Lihat New York Times, 1 April 1981]. Di Amerika Tengah, selama
tahun 1980-an, setelah Kongres AS menyangkal pendanaannya, AS terbukti
telah merestui pendanaan dari obat terlarang dalam ‘Perang Rahasia (Secret
War)’ CIA terhadap kaum Sandanista. Dalam acara dengar pendapat (hearing)
Kongres oleh subkomisi Terorisme, Narkotika, dan Hubungan Internasional
pimpinan Senator John Kerry, terungkap bahwa, ‘berdasarkan bukti yang
ditemukan, jelas diketahui bahwa Contra menerima bantuan finansial dan
material dari penyelundup obat bius… Apapun itu, salah satu badan
pemerintah AS memiliki informasi tentang keterlibatan itu… Meski demikian,
para pembuat kebijakan AS tidak mengharamkan uang dari narkotika sebagai
sebuah solusi bagi masalah keuangan Contra’ [Laporan dari Sub Committee
on Terrorism, Narcotics, and International Operations of the Committee
on Foreign Relations, US Senate, Drugs, Law Enforcement and Foreign
Policy, Desember 1986, hal.36].
9. ‘Saya tidak melihat alasan mengapa kita harus berpangku tangan dan
menyaksikan sebuah negara menjadi komunis karena rakyatnya sendiri yang
tidak bertanggungjawab’, ujar Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri dan
Penasehat Keamanan Nasional AS. Pada bulan September 1970, kandidat dari
sayap kiri, Salvadore Allende meraih tampuk kekuasaan dengan 36,2% suara
dalam pemilihan Presiden Chili. Banyak dokumen yang kemudian
membuktikan bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Augustine
Pinochet adalah berkat keterlibatan dan dukungan finansial AS. Jenderal
Pinochet yang muncul mewakili rezim militer dikenal sering menyingkirkan
lawan politiknya. Kudeta yang terjadi ketika Jenderal Augusto Pinochet
merebut kekuasaan pada tahun 1973 adalah kudeta paling berdarah selama abad
20 di Amerika Selatan. Lebih dari 3.000 orang tewas dalam serangan gencar
militer di bulan September, yang diawali dengan pemboman jet-jet tempur
terhadap Istana Kepresidenan, padahal Salvador Allende, Presiden yang terpilih
secara demokratis, masih di dalam istana. Itulah awal dari pemerintahan
Jenderal Pinochet yang berlangsung selama 17 tahun. Banyak bukti tertulis
yang mengarah pada keterlibatan AS dalam naiknya Jenderal Pinochet.
Beberapa dari dokumen itu dapat dilihat secara lebih rinci berikut ini.
10. CIA, Catatan Pertemuan dengan Presiden di Chili, 15 September 1970: di
dalam catatan yang dibuat oleh tulisan tangan direktur CIA, Richard Helms ini
terdapat perintah Presiden AS, Richard Nixon, untuk membantu kudeta di
Chili. Catatan Helms menggambarkan perintah Nixon: kesempatan mungkin
hanya satu per sepuluh, namun selamatkan Chile; pengeluaran yang sepadan;
tidak perlu diperhatikan; tanpa keterlibatan kedutaan; tersedia dana US$
10.000.000, bisa ditambah jika diperlukan; pekerjaan penuh (full time job)
–orang-orang terbaik yang kita miliki; rencana aksi; ciptakan kesulitan
ekonomi; 48 jam untuk waktu aksi. Perintah langsung dari sang presiden
mengawali covert operations untuk menghalangi Allende memasuki kantor
barunya dan menciptakan kudeta di Chili.
11. CIA, Laporan Aktivitas Satuan Tugas CIA di Chili, 15 September sampai
3 November 1970, 18 November 1970: CIA mempersiapkan ikhtisar rencana
mereka untuk mencegah pelantikan Allende sebagai presiden dan menciptakan
kudeta di Chili –track I and track II covert operations. Ikhtisar tersebut merinci
komposisi satuan tugas, dikepalai oleh David Atlee Phillips, tim operasi rahasia
‘yang disusupkan ke Chili secara perseorangan’, dan kontak mereka dengan
Kol. Paul Winert, atase militer AS yang diperbantukan kepada CIA untuk
operasi tersebut. Laporan itu mengulang operasi propaganda yang dirancang
untuk menekan Presiden Chili Eduardo Frei agar mendukung ‘kudeta militer
yang akan mencegah Allende memasuki kantornya tanggal 3 November’.
12. CIA, Memorandum Percakapan dari Pertemuan dengan Henry Kissinger,
Thomas Karamessines dan Alexander Haig, 15 Oktober 1970: Di dalam
memo ini terdapat catatan diskusi yang membahas upaya kudeta di Chili,
dikenal sebagai ‘track II of covert operations’ guna menghalangi Allende.
Ketiga pejabat itu membahas kemungkinan seandainya komplotan Roberto
Viaux, salah seorang pejabat militer Chili, mengalami ‘kegagalan yang tidak
diharapkan’ dalam upayanya mencapai tujuan AS.
13. Dewan Keamanan Nasional, Memorandum 93 Keputusan Keamanan
Nasional, Kebijakan Menyangkut Chili, 9 November 1970: Memorandum
ini merangkum keputusan presiden perihal perubahan kebijakan pemerintah AS
terhadap Chili sehubungan dengan kemenangan Allende dalam pemilihan.
Ditulis oleh Henry Kissinger dan dikirimkan kepada Menteri Luar Negeri,
Pertahanan, Direktur Kantor Siaga Darurat (The Office of Emergency
Preparedness) dan Direktur CIA. Dokumen ini memberi arahan kepada
agen-agen Amerika untuk mengambil sikap ‘dingin’ terhadap pemerintahan
Presiden Allende, untuk menghalangi upaya konsolidasi kekuatan oleh Allende
dan ‘membatasi kemampuannya dalam menerapkan kebijakan yang
bertentangan dengan kepentingan AS dan Barat’. Memo tersebut menyebutkan
bahwa bantuan dan investasi AS yang ada di Chili harus dikurangi dan
hendaknya tidak dibuat komitmen baru. Lebih jauh lagi, berdasarkan memo
Kissinger, ‘hubungan baik’ dengan para pemimpin militer se-Amerika Latin
harus dijalin dan dipelihara demi mengkoordinir tekanan dan upaya oposisi
yang lain.
14. Departemen Luar Negeri, Memorandum untuk Henry Kissinger di Chili,
4 Desember 1970: Untuk menindaklanjuti perintah Kissinger tertanggal 27
November, Kelompok Kerja Ad-Hoc antar-agensi di Chili mempersiapkan
rencana ini secara tertulis, meliputi sejumlah sanksi dan tekanan yang
memungkinkan untuk melawan pemerintahan Allende. Termasuk pula di
dalamnya sebuah upaya diplomatis untuk menekan Chili agar mengundurkan
diri atau dikeluarkan dari Organizaton of American States, serta sejumlah
konsultasi dengan negara Amerika Latin lain tentang bagaimana ‘meminta
saran mereka seputar kepedulian kita terhadap Chili’. Dokumen tersebut
menunjukkan bahwa pemerintahan Nixon pun terlibat dalam sebuah blokade
ekonomi terbuka terhadap Allende, mengintervensi Bank Dunia, IDB, dan
Bank Ekspor-Impor untuk membatasi atau menghapuskan kredit dan pinjaman
bagi Chili sebelum Allende bertugas selama satu bulan. Salah satu sekutunya
saat itu adalah mantan Perdana Menteri Margaret Thatcher yang menjadi kawan
baik bagi pemerintahan yang lalim itu. Dalam sebuah surat yang dikirim
sehubungan dengan ditahannya Pinochet pada tahun 1998 di Inggris, Thatcher
menulis, ‘banyak hal terjadi setelah itu –dan tidak ada yang mengarah pada
kebaikan. Hari ini saya menarik kembali kebijakan penyangkalan diri yang
saya buat dan untuk sebuah alasan yang bagus –untuk mengekspresikan
kebodohan saya menyangkut kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh
Senator Pinochet’.

Keterkaitan dengan Suharto


15. Saat Suharto mengunjungi Washington di tahun 1995, seorang pejabat
pemerintahan Clinton –dikutip dari New York Times– mengatakan bahwa
Suharto adalah ‘orang kita (our kind of guy)’. Pada tahun 1965, saat Suharto
menjatuhkan Sukarno, presiden RI ketika itu, diperkirakan lebih dari setengah
juta orang Indonesia terbunuh. Jumlah sebesar itu merupakan salah satu
pembantaian terhebat dalam sejarah modern. Di Timor Timur, diyakini bahwa
keputusan pemerintahan Jenderal Suharto memicu kematian sekitar 200.000
orang atau kira-kira sepertiga penduduk Timor Timur. Pada tahun 1990,
beberapa orang mantan diplomat AS dan pejabat CIA, termasuk juga mantan
Duta Besar untuk Indonesia, Marshall Green, memberikan pengakuan tentang
adanya bantuan bagi pembunuhan massal yang diatur oleh pihak militer
Indonesia. Berdasarkan sebuah laporan dari States News Service yang dimuat
di Washington Post tanggal 21 Mei 1991, pejabat Departemen Luar Negeri dan
CIA di kedutaan besar AS di Jakarta secara pribadi memberikan nama ribuan
pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk tingkat lokal, regional dan
nasional, kepada angkatan bersenjata Indonesia, yang lantas membunuh atau
menahan nama-nama tersebut.
16. Seorang mantan pejabat politik di kantor kedutaan besar AS di Jakarta, Robert
Martens, mengatakan, ‘mereka mungkin membunuh begitu banyak orang dan
saya mungkin memiliki lumuran darah di tangan saya, namun tidak semuanya
buruk. Ada saat di mana kita harus bertindak keras dalam waktu yang
mendesak’. Martens mengatakan bahwa ia memberikan daftar nama tersebut
kepada salah seorang ajudan Adam Malik, Menteri Luar Negeri Indonesia yang
memainkan peran sangat penting dalam rencana kudeta militer. Sang ajudan,
Tirta Kentjana Adhyatman, yang diwawancarai di Jakarta, membenarkan
bahwa dia menerima daftar ribuan nama dari Martens kemudian
menyerahkannya kepada Adam Malik yang lantas memberikan daftar tersebut
ke kantor Suharto. Beberapa orang mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS
dan CIA yang diwawancarai oleh States News Service pada tahun 1990, secara
terbuka mengakui bahwa tujuan dibuatnya daftar nama pemimpin PKI adalah
untuk rencana pembunuhan massal. ‘Takkan ada seorang pun yang peduli
mereka dibantai, selama mereka adalah komunis’, ujar Howard Federspeil,
seorang ahli Indonesia yang bekerja di Departemen Luar Negeri AS saat
Suharto menyusun rencana anti-komunis. ‘Tidak ada seorang pun yang
benar-benar serius mengurusi masalah ini’.
17. Jutaan orang sekaligus dibunuh atau dipenjarakan di kamp penahanan, di mana
mereka meninggal karena penyiksaan, ditelantarkan dan kerja paksa. Bahkan
menurut sebuah laporan internal CIA, yang bocor kepada pers pada tahun 1968,
pasukan keamanan Indonesia membunuh 250.000 orang dalam ‘salah satu
pembantaian terbesar di abad duapuluh’. Selain itu, AS pun telah mendukung
rezim Ferdinand Marcos di Filipina dan secara tidak langsung ikut membantu
naiknya Pol Pot sang penjagal di Kamboja.

Peran Barat di Irak Sepanjang Era Saddam Hussein


18. Lima tahun sebelum Saddam Hussein, yang kini amat terkenal, memerintahkan
serangan gas terhadap warga Kurdi, sebuah pertemuan penting telah
diselenggarakan di Baghdad. Pertemuan itu selanjutnya memainkan peran yang
sangat penting dalam upaya menutup-nutupi hubungan erat Saddam Hussein
dan Washington. Itu terjadi saat Saddam untuk kali pertama diduga
menggunakan senjata Kimia. Pertemuan yang diadakan akhir Desember 1993
itu mencoba merumuskan cara untuk memulihkan hubungan Irak dan AS yang
rusak sejak meletusnya perang Arab-Israel tahun 1967.
19. Saat konflik Iran-Irak memanas, Presiden Ronald Reagan mengirim Utusan
Timur Tengahnya, mantan Menteri Pertahanan di masa Presiden Ford, ke
Baghdad dengan membawa sebuah surat tulisan tangan untuk Presiden Irak,
Saddam Hussein, serta sebuah pesan bahwa Washington bersedia membuka
kembali hubungan diplomatiknya dengan Irak. Sang utusan itu tidak lain adalah
Donald Rumsfeld. Dengan kunjungannya ke Baghdad pada tanggal 19-20
Desember 1983 itu, Rumsfeld menjadi pejabat AS dengan jabatan tertinggi
yang mengunjungi Irak dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Ia bertemu dengan
Saddam Hussein dan, menurut Menteri Luar Negeri Irak, keduanya
mendiskusikan ‘topik-topik kepentingan bersama’. ‘(Saddam) memberikan
penjelasan bahwa Irak tidak tertarik untuk terlibat dalam perusakan dunia’,
tutur Ramsfeld kemudian kepada New York Times. Ia melanjutkan, ‘kami
menyadari pentingnya menjalin hubungan, karena kami benar-benar peduli
pada pemecahan masalah Timur Tengah’. Tepat dua belas hari setelah
pertemuan dimaksud, yaitu tanggal 1 Januari 1984, Washington Post
memberitakan bahwa AS, ‘sebagai bagian dari perubahan kebijakan, telah
memberitahu negara-negara sahabat di Teluk Persia bahwa kekalahan Irak
dalam perang tiga tahun melawan Iran merupakan sesuatu yang ‘berlawanan
dengan kepentingan AS’ dan karenanya AS telah membuat beberapa langkah
untuk mencegah hal tersebut’.
20. Pada bulan Maret 1984, saat perang Iran-Irak semakin bertambah brutal dari
hari ke hari, Rumsfeld kembali ke Baghdad untuk mengadakan pertemuan
dengan Menteri Luar Negeri Irak saat itu, Tariq Aziz. Pada tanggal 24 Maret,
hari saat Rumsfeld berkunjung, United Press International (UPI) melaporkan
dari PBB: ‘Gas mustard yang menyerang sistem syaraf digunakan oleh tentara
Iran sepanjang 43 bulan Perang Teluk Persia antara Iran dan Irak, demikian
kesimpulan tim ahli PBB… Sementara itu di ibukota Irak, Baghdad, utusan
presiden AS Donald Rumsfeld mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar
Negeri Irak, Tariq Aziz, menyangkut Perang Teluk sebelum meninggalkan
tempat tersebut menuju tempat yang tidak disebutkan secara pasti’. Sehari
sebelumnya, kantor berita Iran menduga bahwa Irak kembali menggunakan
senjata kimia lain di daerah Selatan medan pertempuran, melukai 600 orang
tentara Iran. ‘Senjata kimia dalam bentuk bom-bom udara telah digunakan di
beberapa wilayah Iran yang diamati oleh para ahli’, ungkap laporan PBB
tersebut. ‘Jenis senjata kimia yang digunakan Irak adalah
bis-(2-chlorothyl)-sulfide yang juga dikenal sebagai gas mustard dan ethyl N,
dimethyl phosphoroamido cyanidate, jenis racun syaraf yang juga dikenal
sebagai Tabun’.
21. Sebelum terbitnya laporan PBB, pada tanggal 5 Maret 1984 Departemen Luar
Negeri AS mengeluarkan pernyataan, ‘bukti-bukti yang ada memang mengarah
kepada penggunaan senjata kimia yang mematikan oleh Irak’. Mengomentari
laporan PBB, Duta Besar AS Jean Kirkpatrick –seperti dikutip New York
Times– mengatakan, ‘kami kira penggunaan senjata kimia adalah sesuatu yang
sangat serius. Kami telah menjelaskannya baik secara umum maupun khusus’.
Dibandingkan dengan pernyataan-pernyataan retoris yang muncul dari
pemerintahan saat ini, berdasarkan spekulasi tentang apa yang mungkin
Saddam miliki, reaksi yang diucapkan Kirkpatrick jelas merupakan sebuah
ajakan untuk melakukan aksi. Bukti yang lebih jelas lagi adalah bahwa Donald
Rumsfeld sedang berada di Irak ketika laporan PBB tahun 1984 itu dikeluarkan
dan Rumsfeld tidak menyinggung masalah kepemilikan senjata kimia,
meskipun Departemen Luar Negeri AS memiliki ‘bukti’ tentang hal itu. Pada
tanggal 29 Maret 1984, New York Times memberitakan dari Baghdad bahwa
‘para diplomat AS mengatakan mereka puas dengan hubungan antara Irak dan
AS dan mengungkapkan bahwa hubungan diplomatik secara keseluruhan telah
pulih’.
22. Satu setengah bulan kemudian, pada bulan Mei 1984, Donald Rumsfeld
mengundurkan diri. Di bulan November tahun yang sama, hubungan
diplomatik antara Irak dan AS telah kembali pulih. Dua tahun kemudian, dalam
sebuah artikel yang mengupas tentang aspirasi Rumsfeld untuk menjadi
nominasi Presiden 1998 dari Partai Republik, Chicago Tribune Magazine
membuat daftar prestasi Rumsfeld. Di antaranya adalah membantu ‘membuka
kembali hubungan AS dan Irak’. Namun, The Tribune tidak mengungkapkan
bahwa bantuan tersebut datang ketika Irak –menurut Deplu AS– menggunakan
senjata kimia. Selama periode Rumsfeld menjabat sebagai Utusan
pemerintahan Reagan untuk Timur Tengah, Irak secara gila-gilaan membeli
persenjataan berat dari perusahaan-perusahaan Amerika, mengingat transaksi
tersebut mendapat restu Gedung Putih. Pembelian besar-besaran dimulai saat
Irak dicoret dari daftar negara pendukung terorisme pada tahun 1982.
Berdasarkan sebuah artikel yang dimuat dalam Los Angeles Times tertanggal
13 Februari 1991, ‘urutan pertama dalam daftar belanja Saddam Hussein
adalah beberapa buah Helikopter –dia membeli sekitar 60 buah helikopter
Hughes dan para pelatih tanpa publikasi besar-besaran. Namun, pemesanan
kedua untuk Helikopter Bell ‘Huey’ bermesin ganda seperti yang digunakan
untuk membawa pasukan tempur di Vietnam, ditentang oleh kalangan oposisi
Kongres pada bulan Agustus 1983… Tetap saja, transaksi itu disetujui’.
23. Pada tahun 1984, menurut LA Times, Departemen Luar Negeri dengan
mengatasnamakan ‘peningkatan penetrasi AS dalam pasar pesawat sipil yang
kompetitif’, memaksakan penjualan sekitar 45 unit helikopter Bell 214 ST ke
Irak. Helikopter tersebut, yang nilai keseluruhannya mencapai US$ 200 juta,
aslinya dirancang untuk keperluan militer. New York Times kemudian
memberitakan bahwa Saddam ‘mentransfer hampir semua (helikopter itu)
kepada militer’. Pada tahun 1988, pasukan Saddam menyerang warga sipil etnis
Kurdi dengan gas beracun dari helikopter dan pesawat Irak. Sumber intelijen
AS kemudian mengatakan kepada LA Times pada tahun 1991, bahwa mereka
‘meyakini beberapa helikopter buatan AS ada di antara helikopter yang
menjatuhkan bom-bom mematikan itu’.
24. Dalam rangka merespon serangan gas tersebut, Senat AS menjatuhkan sanksi
sweeping dengan suara bulat sehingga tidak memungkinkan Irak untuk
mengakses sebagian besar teknologi AS. Namun Gedung Putih kemudian
mengabaikan hal tersebut. Para pejabat senior kemudian mengatakan kepada
para wartawan bahwa mereka tidak sepenuhnya mendukung sanksi tersebut
untuk saat itu, karena mereka ingin mempertahankan kemampuan Irak dalam
perang melawan Iran. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan tidak adanya
pernyataan publik oleh Donald Rumsfeld yang secara terbuka mengekspresikan
perhatian terhadap penggunaan dan penguasaan senjata kimia oleh Irak hingga
saat di mana Irak menginvasi Kuwait pada bulan Agustus 1990, saat Rumsfeld
muncul dalam acara berita khusus BBC. Delapan tahun kemudian, Donald
Rumsfeld menandatangani ‘surat terbuka’ yang ditujukan kepada Presiden
Clinton, menyerukan Clinton untuk menghentikan ‘ancaman yang dibuat oleh
Saddam’. Surat itu mendorong Clinton untuk, ‘menunjukkan wujud
kepemimpinan yang diperlukan untuk menyelamatkan diri kita dan dunia dari
bahaya yang diciptakan Saddam dan senjata pemusnah massal yang tidak ingin
dimusnahkannya’. Pada tahun 1984, Donald Rumsfeld berada dalam posisi
yang menguntungkan untuk menarik perhatian dunia terhadap ancaman senjata
kimia Saddam. Dia sedang berada di Baghdad saat PBB menyimpulkan bahwa
senjata kimia telah dipergunakan untuk memerangi Iran. Rumsfeld mendapat
informasi bahwa Departemen Luar Negeri memiliki ‘bukti kuat’ menyangkut
penggunaan senjata kimia oleh Irak., namun ketika itu, dia diam saja.
25. Kini Washington berceloteh tentang ancaman Saddam dan konsekuensi yang
terjadi jika gagal melakukan tindakan. Terlepas dari fakta bahwa pemerintah
AS gagal memberikan sedikitpun bukti keterkaitan Irak dengan Al Qaeda atau
bukti bahwa Irak telah memproduksi senjata kimia atau biologi, Rumsfeld
bersikeras, ‘tidak ada bukti bukan berarti terbukti tidak ada’. Namun, ucapan
Donald Rumsfeld tentang ‘terbukti tidak ada’ itu justru terbukti sejak Irak
dituduh telah menjadi ancaman bagi keamanan internasional –dan dalam hal
ini, ‘terbukti tidak ada’ itu memang menjadi bukti.
26. Peran Inggris dalam naiknya Saddam sebelum Perang Teluk pun
disembunyikan oleh pemerintah. Berlawanan dengan pedoman PBB,
pemerintahan Margareth Thatcher pada tahun 1980-an, dan kemudian John
Major di tahun 1990-an, terbukti melakukan penjualan senjata secara
diam-diam kepada rezim Saddam Hussein. Senjata-senjata tersebut Irak
gunakan dalam perang melawan Iran, dalam menumpas pemberontak etnis
Kurdi dan untuk membantu program nuklir Saddam Hussein. Laporan yang
dibuat oleh seorang hakim Pengadilan Tinggi, Sir Richard Scott, tersebut
mengungkapkan adanya jaringan konspirasi, intrik, dan penyelewengan yang
berlangsung di tubuh pemerintahan. Pemerintahan konservatif di bawah
Perdana Menteri John Major mampu mengungguli Scott dengan selisih satu
suara dalam perdebatan di House of Commons, 26 Februari; dalam beberapa
pemungutan suara Tories melawan oposisi Partai Buruh. Skandal yang
sebenarnya menunjukkan bahwa pada tahun 1980-an, berdasarkan laju ekspor
senjata yang disokong Perdana Menteri Margareth Thatcher, putra kandungnya,
Mark, berperan sebagai penjual keliling tidak resmi bagi perusahaan senjata
Inggris. Mark Thatcher diperkirakan meraup keuntungan sekitar US$ 160 juta
sebagai komisi selama proses tersebut, termasuk hampir US$ 40 juta dari hasil
transaksi dengan Arab Saudi.
27. Meskipun penjualan senjata kepada rezim-rezim diktator tidak menimbulkan
masalah diplomatik (protes hanya muncul dari politisi sayap kiri), penjualan ke
Iran dan Irak adalah perkara lain. Pasar yang potensinya besar itu terhambat
oleh larangan PBB untuk menjual senjata ke kedua negara tersebut, yang saat
itu berada di tengah-tengah peperangan yang menewaskan lebih dari satu juta
orang. Potensi kerugian dari pasar Irak sangat terasa, antara tahun 1970-1990
Inggris memasok beragam perlengkapan perang secara besar-besaran kepada
rezim Saddam, mulai dari mobil-mobil kelas VIP berlapis baja hingga
perlengkapan tank dan komunikasi tercanggih. Baru sekarang diketahui bahwa
perusahaan-perusahaan Inggris memasok persenjataan kepada kedua belah
pihak yang bertikai pada tahun 1980-an dengan cara yang sederhana, yaitu
mengirim senjata-senjata tersebut kepada negara-negara perantara yang
kemudian mengekspornya ke Iran atau Irak. Perusahaan Inggris BMARC,
direkturnya adalah mantan menteri Jonathan Aitken, menyuplai ratusan senjata
angkatan laut ringan ke Singapura, sebuah negara yang sebetulnya tidak
memiliki armada angkatan laut dalam jumlah besar. Dari sana, senjata-senjata
tersebut dialirkan ke Iran. Adapun negara-negara yang dikenal sebagai
perantara untuk penjualan senjata ke Irak adalah Oman dan Yordania. Pada
tahun 1986 pihak pabean Swedia mendapati sebuah kartel Eropa, termasuk
beberapa perusahaan Inggris, sedang berupaya menyuplai bahan-bahan peledak
melalui Yordania.
Sebagian orang berargumentasi, seperti juga Presiden Clinton dalam
pidatonya baru-baru ini dalam Konferensi Partai Buruh, bahwa negara-negara
Barat telah membuat kesalahan –yaitu dengan memanjakan para diktator.
Namun hal ini sebenarnya hanya sebuah katalis untuk menjernihkan situasi
dengan menggulingkan rezim Irak. Logika terbalik tersebut barangkali cukup
membuat delegasi Partai Buruh terkesan, akan tetapi tidak bisa membuat
terkesan para pengamat yang cermat mengkaji situasi politik internasional
terkini. Ketika terjadi serangan 11 September terhadap New York dan
Washington, alih-alih belajar dari ‘kesalahan’ masa lalu, Barat malah
menjadikan para diktator itu sebagai sekutu dalam ‘Perang terhadap
Terorisme’-nya.

Aliansi Utara
28. Di antara kelompok Afganistan yang bersekutu dengan Barat dalam perang
terhadap terorisme dan Taliban ada yang sangat anti-Amerika, ada para
pelanggar HAM, juga ada mantan sekutu Osama bin Laden dan mantan tentara
rezim komunis. Resminya, mereka bernama United Islamic Front for the
Salvation of Afghanistan (Front Islam Bersatu untuk Pembebasan Afganistan).
Tidak resminya, mereka menyebut diri sebagai Aliansi Utara. Para pejabat AS
menyediakan persenjataan untuk aliansi tersebut yang diperkirakan
berkekuatan 15.000 pasukan, di luar bantuan non-militer yang telah diberikan
Washington sejak 1998. News Media menjuluki aliansi tersebut sebagai para
pejuang kebebasan Afganistan yang baru. Mike Vickers, mantan pejabat CIA
yang kini menjadi direktur bidang kajian strategis Washington-based Centre for
Strategic and Budgeting Assessments mengatakan, ‘Aliansi Utara mungkin
tidak sempurna, tetapi mereka benar-benar memiliki anasir yang sangat
bagus’.
29. Sidney Jones, direktur eksekutif Human Rights Watch divisi Asia, berujar,
‘Amerika Serikat dan para sekutu seharusnya tidak bekerjasama dengan para
komandan yang catatan kebrutalannya memicu banyak pertanyaan tentang
legitimasi mereka di Afganistan’. Human Rights Watch secara khusus
menekankan tidak perlunya bekerjasama dengan Abdul Rashid Dostum,
pimpinan milisi Junbish; Haji Muhammad Muhaqqiq, komandan senior Hizb
al-Wahdat; Abdul Rasul Sayyaf, pemimpin jaringan Ittihad al-Islami; dan
Abdul Malik Pahlawan, mantan komandan senior Junbish. Gary Leupp, dalam
CounterPunch.org pada tanggal 16 Juli 2002 mengabarkan bahwa “Mereka
yang menjadi sekutu Amerika adalah para pemerkosa. Pada awal tahun 1996
dalam laporannya tentang HAM di Afganistan, Departemen Luar Negeri AS
menyimpulkan bahwa pasukan yang dipimpin Ahmed Shah Massod secara
sistematis telah memperkosa dan membunuh wanita-wanita suku Hazzara di
Kabul pada bulan Maret 1995. Pasukan ‘Massod’ mengamuk dan kemudian
secara sistematis merampok di jalan-jalan dan memperkosa para wanita.’
'Sejak mereka kembali berkuasa, pasukan Aliansi Utara telah kembali kepada
kebiasaan lama mereka…”
30. Di antara berbagai pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang
dilakukan oleh faksi Front Bersatu adalah sebagai berikut. Akhir 1999-awal
2000. Pengusiran orang-orang yang mengungsi dari pedesaan di daerah
Sangcharak dan sekitarnya dengan melakukan eksekusi kilat, pembakaran
rumah-rumah, dan perampokan besar-besaran sepanjang empat bulan mereka
menduduki wilayah tersebut. Menurut berita, beberapa eksekusi dilakukan di
depan anggota keluarga korban sendiri. Mereka yang menjadi korban serangan
pada umumnya adalah dari etnis Pashtun dan dalam beberapa kasus, ada pula
etnis Tajik. Tanggal 20-21 September 1998. Serangkaian roket ditembakkan
ke arah utara kota Kabul, salah satunya menghantam sebuah pasar malam yang
dipadati orang. Diperkirakan jumlah orang yang tewas dalam peristiwa tersebut
antara 76-180 orang. Serangan itu diyakini dilakukan oleh pasukan Massood
yang bermarkas sekitar duapuluh lima mil di Utara kota Kabul. Seorang juru
bicara komandan Front Bersatu Ahmad Shah Mashood menyangkal pihaknya
telah menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Dalam pernyataan pers tertanggal
23 September 1998, Palang Merah Internasional mengomentari serangan
tersebut sebagai sesuatu yang paling membabi-buta dan mematikan yang
pernah terjadi di kota Kabul dalam tiga tahun terakhir. Akhir Mei 1997.
Sekitar 3000 orang pasukan Taliban yang ditawan telah dieksekusi dengan
cepat di Mazar-i Sharif dan sekitarnya oleh pasukan Junbish atas perintah
Jenderal Abdul Malik Pahlawan. Pembunuhan tersebut merupakan aksi
lanjutan pengunduran diri Malik dari sebuah aliansi singkat dengan Taliban dan
juga aksi penangkapan pasukan Taliban yang masih terperangkap di dalam
kota. Sebagian serdadu Taliban dibawa ke padang pasir dan kemudian
ditembak, sementara yang lain dilemparkan ke sumur yang lantas diledakkan
dengan granat. Tanggal 5 Januari 1997. Pesawat-pesawat tempur Junbish
menjatuhkan serangkaian bom di daerah pemukiman Kabul. Beberapa orang
warga sipil terbunuh sementara yang lain terluka parah dalam serangan udara
yang membabi-buta tersebut, yang juga menggunakan bom-bom konvensional.
Bulan Maret 1995. Pasukan faksi yang beraksi di bawah Komandan Mashood,
Jamiat al-Islami, bertanggung jawab atas perkosaan dan perampokan setelah
mereka merebut daerah Karte She, yang didominasi etnis Hazara, di kota
Kabul, dari faksi lain. Menurut Laporan Departemen Luar Negeri AS tahun
1996 tentang praktek HAM selama tahun 1995, ‘Pasukan Mashood mengamuk
dan secara sistematis melakukan perampokan di jalanan serta memperkosa
para wanita’. Pada malam tanggal 11 Februari 1993, pasukan Jamiat al-Islami
dan faksi lainnya, Ittihad al-Islami pimpinan Abdul Rasul Sayyaf, melakukan
penggerebekan di daerah Barat Kabul kemudian membunuhi dan
‘menghilangkan’ warga sipil etnis Hazara serta melakukan perkosaan di
mana-mana. Diperkirakan mereka yang terbunuh sekitar tujuhpuluh hingga
lebih dari seratus orang.
31. Selain itu, pihak-pihak yang tergabung dalam Front Bersatu telah melakukan
berbagai pelanggaran lain terhadap hak-hak yang diakui hukum internasional.
Sebelum Taliban menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan, faksi-faksi itu
sendiri telah membagi-bagi jatah wilayah negara, sementara mereka tetap
saling berebut penguasaan atas Kabul. Sepanjang tahun 1994 saja, sekitar 25
ribu orang terbunuh di Kabul; sebagian besar adalah warga sipil yang terbunuh
oleh serangan roket dan artileri. Sepertiga wilayah kota hancur menjadi
puing-puing sementara bangunan yang masih bertahan pun rusak berat. Secara
jelas terlihat bahwa tidak ada hukum yang berlaku di daerah-daerah yang
berada di bawah pengawasan faksi-faksi itu. Di Kabul, pasukan Jamiat
al-Islami, Ittihad, dan Hizb al-Wahdat, semuanya terlibat dalam perkosaan,
pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, dan ‘penghilangan’. Di Bamiyan, para
komandan Hizb al-Wahdat terus-menerus menyiksa tahanan dengan tujuan
pemerasan. Para anggota senior aliansi, termasuk mantan Presiden
Afghanistan, Burhanudin Rabbani dan penguasa Utara, Abdul Rashid Dostum,
para sekutu utama Uni Soviet selama negara tersebut berupaya menduduki
Afganistan, disebut oleh AS sebagai pelanggar HAM. Di lain waktu, faksi-faksi
itu saling membantai satu sama lain. Pada tahun 1993, berdasarkan informasi
dari organisasi non-pemerintah, Human Rights Watch, Society of Islam
pimpinan Rabbani telah membunuh sekitar 70 hingga 100 orang warga etnis
minoritas Hazara yang memiliki hubungan dengan rival Rabbani, yaitu Party of
Islamic Unity, yang juga anggota Aliansi Utara.
32. Dua tahun kemudian, berdasarkan laporan dari Departemen Luar Negeri AS,
pasukan Rabbani –di bawah komando Ahmad Shah Massood (jurnalis Barat
menjulukinya sebagai ‘Singa Panjshir’)– bertanggung jawab atas kekerasan
anti-Hazara yang lain, ‘perampokan di jalan-jalan dan perkosaan secara
sistematis’. Sementara itu, karir Jenderal Dostum benar-benar memuakkan.
Sejak tahun 1979 hingga 1992, dia beraliansi dengan pemerintahan komunis di
Kabul. Saat pemerintahan tersebut akan jatuh, Dostum berputar haluan dengan
bergabung bersama ‘Pejuang Kebebasan’ Mujahidin anti-komunis. Saat
berbagai faksi Mujahidin berjatuhan, mula-mula dia bergabung dengan
Rabbani untuk melawan Hekmatyar. Lantas ia bergabung dengan Hekmatyar
untuk melawan Rabbani. Tahun 1995, dia mendukung pasukan Taliban dalam
melawan pasukan Hekmatyar sekaligus Rabbani. Tahun 1996, dia kembali
beraliansi dengan Rabbani dan Hekmatyar untuk menghancurkan Taliban.
33. Aliansi Utara mendanai perangnya dari hasil perdagangan heroin. Menurut
Departemen Luar Negeri AS, seluruh ladang opium yang pada tahun ini panen
sekitar 77 ton tumbuh di daerah yang mereka kuasai. Media Rusia melaporkan
bahwa heroin yang diolah dari opium itu diselundupkan ke Eropa dan AS
melalui negara tetangga semisal Tajikistan. Vickers, mantan agen CIA,
mengakui tentang sulitnya membeking aliansi Utara yang bukan aliansi sejati
itu. Dengan agak pasrah ia mengatakan bahwa AS tidak punya pilihan lain.
‘Taliban adalah target utama. Serangan udara tidak akan berpengaruh bagi
mereka. Kita memerlukan pasukan darat. Namun ‘pertanyaannya adalah:
pasukan darat siapa? Itulah sebabnya mengapa pihak oposisi memiliki daya
tarik tersendiri… Bisa jadi mereka tidak sempurna. Namun pertanyaannya:
mana yang lebih baik, menggunakan pasukan darat mereka atau pasukan darat
Barat?’

Kesimpulan
Catatan di atas hanyalah sebuah contoh, bukti kemunafikan, korupsi dan
kejahatan yang dilakukan oleh Barat dalam hal persekutuan mereka dengan para
penguasa yang lalim, tiran dan diktator di masa lalu maupun sekarang. Hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang peran Barat dalam memimpin dan memelihara
dunia. Ketika mengamati rangkaian akumulasi senjata pemusnah massal Barat,
kepalsuan standar dan penerapan Hukum Internasional serta kemerosotan
masyarakat Barat, seorang pengamat yang netral tidak perlu lagi meragukan bahwa
Kapitalisme adalah sumber kejahatan masa kini. Nilai-nilai dan kepercayaan
Kapitalisme tentang kebebasan, demokrasi dan materialisme telah mendorong
fanatisme dan kejahatan dunia yang lebih luas.
BAB 4
Barat dan Sikap Represif terhadap
Rakyat

Dalam propagandanya, Barat berupaya memberikan pembenaran akan


perang terhadap Irak dengan menjadikan tindakan represif Irak terhadap rakyatnya
sendiri sebagai alasan. Akan tetapi ketika kita menengok dunia Barat, kita pun akan
menyaksikan rakyat yang tertindas dalam beragam masalah kehidupan. Bab ini
menegaskan bahwa dunia tidak lagi terpikat oleh Amerika dan pandangan hidup
kapitalisnya. Selain itu, bab ini juga menyatakan bahwa seandainya warga Amerika
tidak termakan propaganda Goebbels-esq yang dijejalkan pada mereka, niscaya
mereka akan memiliki sikap yang sama terhadap pemerintahnya. Banyak
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia terjadi di Barat, terutama di Amerika.
Sayangnya masyarakat tidak menyadarinya. Rupanya mantra Washington DC dan
Trendy London telah membuat orang-orang buta akan aktivitas tak
berperikemanusiaan yang terjadi di depan pelupuk mata mereka. Lebih jauh lagi
dapat dikatakan bahwa jika saja orang Amerika terbangun dari impian Amerika
(American dream) mereka, George W. Bush tidak hanya akan bertanya mengapa
mereka (non-Amerika) membenci kita, tetapi ia akan bertanya mengapa warga
kami sendiri membenci kita (pemerintahan Bush)?
1. Robbie Burns menulis, ‘I would that God gift would give us, to see ourselves as
other see us’. Di sini, sang pujangga Skotlandia itu menyampaikan
pandangannya bahwa kemampuan untuk melihat kekurangan dan kelemahan
seseorang merupakan suatu anugerah. Kebanyakan dari kita menghargai
pentingnya evaluasi diri dalam proses peningkatan diri. Ketika evaluasi diri
yang jujur dan adil tidak ada maka yang muncul adalah arogansi. Bagi suatu
negara yang tidak memandang dirinya sebagaimana negara lain di dunia
memandangnya, hal ini akan membawa negara itu ke arah penguatan mitos dan
persepsi diri yang tidak tepat. Ketika ini terjadi pada suatu negara kuat, yang
terjadi adalah beragam kecaman terhadap negara lain sementara dirinya terlena
akan masalah yang dibuatnya sendiri. Ketika ini terjadi dalam suatu negara
adidaya, yang memiliki senjata pemusnah massal, maka hasilnya adalah dunia
yang penuh masalah, terendam dalam lautan darah manusia dan
ketidakseimbangan, serta berada di jurang kehancuran.
2. Ketidakmampuan AS untuk melihat dirinya sendiri sebagaimana negara lain di
dunia melihatnya, terilustrasikan ketika seorang wanita berlari menuju sebuah
mikrofon kru film, dari awan debu di kota Manhattan pada bulan September
2001 dan berkata, ‘Mengapa?’ Sejak itu frase ‘Mengapa mereka membenci
kita?’ sering diulang-ulang. Kita sampai bosan melihatnya di koran-koran,
siaran televisi, dan mendengarnya dalam komentar radio. Bagi kita yang berada
di luar lingkungan pergaulan Amerika, satu-satunya perkara yang membuat kita
terperangah dengan pertanyaan ‘mengapa’ itu adalah fakta betapa kagetnya AS
ketika mengetahui bahwa orang-orang membenci mereka. Kita mampu berkata
seperti ini karena kita melihat Amerika sebagai orang luar. Kebanyakan dari
kita, mungkin secara naïf, berpikir tentang adanya indikator yang luas tentang
sentimen dunia terhadap Amerika.

Kontrol Pemikiran
3. Kami bermaksud menegaskan bahwa keadaan sulit yang umumnya menimpa
warga Amerika benar-benar mengerikan. Tetapi sebelum membahas tentang
hal itu, penting untuk dibuat sketsa tentang bagaimana pemikiran kebanyakan
orang Amerika telah terbentuk melalui cara-cara tertentu yang membuat
mereka mampu menerima keadaan ini. Baik kaum Ba’ath maupun AS
bersikeras bahwa sistem mereka membuat iri negara-negara lain di dunia.
Mereka sama-sama bersikukuh bahwa warga Irak dan AS harus bersyukur
dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang Irak dan Amerika.
Teknik-teknik propaganda yang AS gunakan sama seperti yang digunakan oleh
rezim Ba’ath.
4. Hal itu terlihat dalam komentar yang dimuat media Amerika pada tahun lalu.
Misalnya kolomnis Richard Brookhiser dalam The New York Observer (17
September 2001) menggambarkan AS sebagai ‘… sebuah imperium
kapitalisme dan demokrasi. New York City juga dipersepsikan sebagai pusat
salah satu subsistem itu, mesin uang yang bergemuruh. Siapapun di dunia ini
yang mencari nasibnya dan tidak bahagia, lihatlah kami —negara dan kota—
carilah alternatif yang ada. Jika ia memiliki kerangka pemikiran yang
bercita-cita tinggi, ia akan datang ke sini atau meniru kita. Jika ia memiliki
kerangka pemikiran yang murung, ia akan meminta tanggung jawab kita. Jika
ia adalah negara yang bermusuhan, atau semacamnya, ia akan mencoba
membunuh kita … Para pecundang di dunia ini membenci kita karena kita kuat,
kaya dan baik (atau sekurang-kurangnya lebih baik dari mereka). Bila mereka
yang beraksi dalam kebencian itu telah dibalas, tujuh kali lipat, kita akan
membangun kembali Menara World Trade Centre, ditambah satu lantai, hanya
untuk mengulangnya kembali’.
5. Anggapan keliru tentang irinya dunia kepada AS adalah sesuatu yang
digembar-gemborkan media dan politisi AS secara terus-menerus. Sejarawan
militer, Victor Davis Hanson menulis dalam City Journal (25 Februari 2002),
‘mereka membenci kita karena kultur mereka terbelakang dan korup’ dan
karena ‘mereka iri dengan kekuatan dan prestise kita’. Pemeo tentang ‘dunia
cemburu pada kita’ ini jelas sekali hanya berlaku untuk tingkat domestik. Jenis
propaganda seperti ini membantu terciptanya iklim kepuasan yang statis.
Lagipula, tidak ada satu orangpun di luar orang AS yang cukup bodoh untuk
mempercayai hal itu.
6. Setelah peristiwa 11 September 2001, hanya ada sedikit tulisan yang berbeda
melawan arus para pejabat Amerika. Siapapun yang tidak mengekspresikan
rasa hormat secara utuh terhadap sikap mereka, ia akan menjadi orang yang
terancam. The Guardian (17 Januari 2002) menyimpulkannya dengan tepat,
‘Dalam hari-hari berkabung di New York dan Washington, tampaknya,
siapapun yang pernah bersikap kritis secara terangan-terangan kepada
Amerika tiba-tiba mendapati diri mereka dituduh terlibat dengan Osama bin
Laden –atau lebih buruk lagi. Di kalangan pers Inggris, mereka digambarkan
sebagai ‘pecundang dan tidak patriotis’, ‘nihilis dan masokistis’, dan ‘Stalinis
dan fasis’; sebagai ‘gerombolan Baader Meinhof’, ‘tangan kanan Osama’, dan
‘pembantu para diktator’; sebagai ‘si pincang’, ‘mudah goyah’, ‘tidak punya
hati dan tolol’; dan ‘cacing yang termakan propaganda Soviet’; sebagai yang
penuh dengan ‘omong kosong’, ‘pengkhayal’ dan ‘dekadensi intelektual’;
sebagai kumpulan ‘idiot-idiot berguna’, ‘zombi yang buta’; dan ‘manusia yang
membenci manusia’.’
7. Kembali ke gaya pembedaan media AS, ada ribuan contoh yang bisa dikutip
untuk menggambarkan bagaimana AS menyamarkan dirinya sebagai kekuatan
demi kebaikan di dunia padahal ia sebenarnya adalah kekuatan jahat yang
mendatangkan kematian dan kehancuran. Ada satu contoh khusus dari omong
kosong jingoistis yang benar-benar menyuarakan tabiat pemerintah, rakyat dan
media AS. Rich Lowry menulis artikel di situs National Review Online —‘situs
utama kaum konservatif Amerika’— dengan judul ‘Lots of sentiment for nuking
Mecca’. Di dalamnya ia menulis: ‘Ini hal yang berat, saya tidak tahu betul apa
yang harus saya pikirkan. Mekah terlihat ekstrim, tentu saja, tetapi kemudian
beberapa orang akan mati dan akan menjadi suatu pertanda. Agama
sebelumnya telah mengalami kemerosotan yang merupakan bencana besar …
Dan, sebagai masalah umum, sekaranglah waktunya untuk serius, bukan
setelah jatuh korban orang Amerika yang jumlahnya ribuan lebih—termasuk
memikirkan apa yang akan kita lakukan untuk membalas dendam, jadi mungkin
sentimen memiliki efek yang kecil terhadap pencegahan’ [R. Lowry, ‘Lots of
sentiment for nuking Mecca’, National Review Online,
www.nationalreview.com/thecorner].
8. Apakah itu sebuah ancaman? Apakah itu sebuah janji? Ataukah hanya mulut
besar belaka? Apapun itu, kita harus diam sesaat dan merenungkan kesesuaian
pernyataan tersebut dengan pembahasan kita tentang senjata pemusnah massal.
Harus diingat bahwa AS memiliki senjata itu, dan suara sayap kanan AS telah
terdengar. Mulut besar atau bukan, bahasa emotif seperti itu seharusnya menjadi
seruan kebangkitan bagi penduduk dunia ini, Muslim dan non-Muslim.
Barangkali itu bukan sekadar pandangan orang jalanan. Rata-rata orang
Amerika lebih tertarik pada olahraga serta film dan tidak berminat membaca
halaman situs yang berisi bualan sayap kanan. Ketika Hollywood
mengeluarkan film berjudul Rules of Engagement, banyak kelompok
Arab-Amerika mengutuknya. Salah satu kelompok mengomentarinya sebagai
‘mungkin inilah film rasis anti-Arab paling keji yang pernah dibuat oleh studio
besar Hollywood’. Dalam ulasan yang muncul dalam film.com, Peter Brunette
mengatakan, ‘para penonton yang bersama saya menonton film ini terlihat
gembira ketika marinir membantai warga sipil’ [‘Down Right Offensive’,
film.com]. Robert Bowman, seorang veteran Vietnam dan sekarang menjabat
uskup United Catholic Churc di Melbourne Beach, Florida mengatakan, ‘Kita
tidak dibenci karena mempraktekkan demokrasi, menjunjung kebebasan, atau
menegakkan hak-hak asasi manusia. Kita dibenci karena pemerintah kita
menyangkal hal ini pada masyarakat negara–negara dunia ketiga yang
sumber-sumber alamnya diincar perusahaan-perusahaan multinasional kita.
Kebencian yang kita taburkan telah kembali membayangi kita dalam bentuk
terorisme dan di masa yang akan datang, akan menjadi terorisme nuklir’ [The
National Catholic Reporter, 2 Oktober 1998].

‘Kita membutuhkan musuh bersama untuk mempersatukan kita’


–Condoleeza Rice, Maret 2000

9. AS membutuhkan cara untuk menangani permasalahan internal yang begitu


banyak. Ternyata cara yang dipilih untuk menyelesaikan setumpuk
permasalahan itu bukanlah dengan menghadapinya, melainkan dengan
mengalihkan perhatian dari masalah tersebut. Hal itu terlihat pada kasus-kasus
seperti kematian bayi, usia pengharapan hidup pria kulit hitam dan kondisi
pemukiman di wilayah tertentu masyarakat AS. Tiga puluh enam juta penduduk
AS mengalami kekurangan pangan dan jumlah itu kian bertambah. Hampir
setengah dari mereka harus antri di dapur umum memiliki satu atau lebih
anggota keluarga yang bekerja. Begitu miskinnya mereka sampai makanan pun
tak terbeli. Golongan kaya (the have’s) tidak mengakui golongan miskin (the
have-not’s) dengan mengatakan, ‘Why don’t you get a job’. Hanya sedikit yang
menyadari, bahwa hanya kurang dari 1,1% orang-orang yang dihapus dari
daftar nama sejahtera, menurut reformasi kesejahteraan tahun 1996, yang
mampu mendapatkan pekerjaan dengan upah yang mencukupi biaya hidup
mereka. Dengan upah minimum US$ 5,15/jam mereka tidak bisa memenuhi
biaya sewa rumah dan menghidupi keluarga yang tinggal di kota utama
manapun di AS, walaupun bekerja sampai 50 jam seminggu. Belum termasuk
masalah sandang dan kebutuhan yang lain. Ini baru masalah kemiskinan.
Masalah lain seperti kriminal, ketergantungan obat dan alkohol, hancurnya
tatanan keluarga serta semua masalah sosial lain semakin menjauhkan
masyarakat AS dari sistem Thomas Jefferson yang berdasarkan pursuit of
happiness (upaya mengejar kebahagiaan).
10. Instrumen utama yang digunakan untuk menyembunyikan permasalahan AS
adalah media massa. Memang terkesan klise, tetapi efektivitas propaganda
merupakan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Pada masa perang, seperti Perang
melawan Teror, realitas slogan ini menjadi sangat nyata. Seperti yang dikatakan
Jenderal Douglas Mac Arthur, ‘Seseorang tidak bisa berperang dalam kondisi
sekarang ini tanpa dukungan opini publik dan opini itu terbentuk dengan hebat
melalui pers dan bentuk-bentuk propaganda yang lain’. Selain sentimen yang
meluas ke seluruh AS ini, masih banyak efek-efek lain industri media terhadap
negara. Efek sampingnya seperti ketamakan dan konsumerisme massal adalah
masalah-masalah yang menimbulkan penindasan publik oleh korporasi AS
dengan restu sepenuh hati dari pemerintah.
11. Kita perlu mengulas secara singkat tentang industri media untuk
menggambarkan bagaimana industri ini mengabdi pada dirinya sendiri dan
pada pemerintah pusat yang korup. Pada tahun 1983, kepemilikan media
terkonsentrasi di tangan 50 konglomerat trans-nasional [Ben Bagdikian: The
Media Monopoly]. Sekarang berkurang menjadi 9 perusahaan yang
mendominasi media AS dan internasional. Mereka adalah AOL-Time-Warner,
Disney, Bertelsmann, Viacom, News Corporation, TCI, General Electric
(pemilik NBC), Sony (pemilik Columbia dan Tri Star Pictures dan perusahaan
rekaman besar lain), dan Seagram (pemilik Universal, perusahaan film dan
musik). Jadi, satu industri-super global sekarang menyediakan segala sesuatu
yang dapat dilihat dan didengar oleh orang-orang Amerika melalui layar kaca,
gelombang udara, dalam bentuk media cetak dan melalui internet.
Perusahaan-perusahaan itu berfungsi sebagai sebuah lobi politik yang kuat di
tingkat nasional, regional, maupun global. Di Washington, mereka
menghabiskan sekira US$ 125 juta per tahun untuk upaya lobi melawan
pembatasan kepemilikan. Mereka tidak hanya memiliki pengaruh yang besar
dalam membuat rancangan hukum dan peraturan nasional, melainkan juga
memegang peran penting dalam membentuk dan mengarahkan hukum dan
peraturan internasional. Pada tahun 2000, misalnya, raksasa media melobi
untuk menginisiasi perdagangan dengan Cina, dan mengabaikan mereka yang
mengangkat keprihatinan terhadap masalah kebebasan berbicara dan kebebasan
pers (di Cina). Mereka juga menggunakan AS untuk membuka pasar India
terhadap televisi satelit.
12. Yang diberikan oleh mafia media massa itu kepada AS hanya propaganda
semata. Termasuk di dalamnya berita, versi lain dari hiburan yang ditawarkan
kartel media. Program-program itu bukan untuk kebaikan manusia. Mereka pun
ada harganya, dan harganya tidak hanya berupa uang. ‘Kita perlu mengetahui
kebenaran tentang perusahaan-perusahaan seperti itu sedangkan mereka
seringkali berkepentingan untuk menutupinya (sebagaimana juga para
pengiklan). Selagi dibutuhkan waktu dan biaya yang banyak untuk
mengungkap kebenaran, perusahaan induk lebih memilh untuk memotong
anggaran jurnalisme yang diperlukan, mereka lebih memilih sesuatu yang bisa
mengarahkan obrolan agitasi yang tak berujung (sebelum peristiwa 11
September, ada kasus Monica, kemudian Survivor dan Chandra Levy,
sedangkan setelah hari naas itu, kita punya kasus anthraks ditambah langkah
heroik Pentagon). Pemirsa yang disukai kartel adalah yang kelas sosialnya
paling diminati para pengiklan – dengan demikian media telah mengabaikan
kaum pekerja dan orang-orang miskin. Dan ketika pers seharusnya membantu
melindungi kita melawan mereka yang akan menyalahgunakan kekuasaan
pemerintah, oligopoli media begitu intim dengan Gedung Putih dan Pentagon,
yang tentu tidak mau kesalahan dan kejahatannya diekspos. Para bos besar
media menginginkan bantuan dari negara, sedangkan para wartawan tidak
berani mengambil resiko mengecewakan sumber berita mereka. Media yang
mengabdikan diri pada kepentingan publik akan menyelidiki buruknya prestasi
CIA, FBI, FAA, dan CDC, sehingga kinerja keempat lembaga itu bisa
ditingkatkan untuk melindungi kita –tetapi tim berita (begitu pun Kongres)
belum pernah tergerak untuk meninjaunya. Begitu pula, demi kepentingan
publik, media seharusnya melaporkan semua yang dapat mengancam
keamanan kita –termasuk golongan kanan yang membidik masalah klinik
aborsi dan, tampaknya, melakukan terorisme biologis, tetapi wartawan televisi
tidak menaruh minat terhadap hal ini… Media pun seharusnya menyoroti,
bukannya membiarkan, serangan pemerintah terhadap kebebasan sipil
–penahanan massal, bukti rahasia, peningkatan pengawasan, peniadaan hak
klien-pengacara, dorongan untuk memata-matai, ancaman untuk tidak berbeda
pendapat, gambar-gambar yang disensor, tulisan-tulisan publik yang disita,
kunjungan tak terduga dari Secret Service dan sebagainya. Dan media
seharusnya tidak membeo terhadap apa yang dikatakan Pentagon tentang
perang sekarang ini, karena laporan yang diperhalus telah membuat kita
terlena dan melindungi kita dari kebodohan fatal tentang apa yang
sesungguhnya orang, dari negara lain, pikirkan tentang kita –dan mengapa.
Dan masih banyak lagi –tentang eksploitasi tragedi yang menghebohkan,
terutama oleh kubu Republik; tentang hubungan keluarga Osama bin Laden
dan Bush; tentang kegilaan yang sedang berlangsung di Florida –media
seharusnya memberitakan itu kepada masyarakat, jika mereka… peduli
terhadap kepentingan publik’ [Mark C. Miller., ‘The Nation’., 7 Januari
2001].

Paradigma Demokrasi
13. Pemilihan umum terakhir di Irak menjadi bahan cemoohan pers Barat dan dunia
internasional. Rezim Ba’ath memang konyol dan layak mendapatkan kecaman
apapun yang diarahkan terhadap tipu daya murahan yang mereka lakukan.
Akan tetapi, tipu daya murahan bukan monopoli Saddam semata. Salah satu
masalah penting yang masih menjadi misteri bagi orang Amerika adalah proses
demokrasi itu sendiri. Sangat sedikit orang di seluruh AS yang memahami
sistem Electoral College. Demikian halnya ketika sistem itu berjalan lancar, tak
ada yang mempertanyakannya dan ketika tidak berjalan lancar, tak satu orang
pun yang peduli. Pemilihan presiden tahun 2000 menggambarkan dengan tepat
betapa tidak demokratisnya sistem Amerika. Terlebih lagi pemilihan umum
tahun 2000 itu menunjukkan bagaimana orang Amerika ditipu serta bagaimana
raksasa media dan pemerintah memandang rendah masyarakat awam.
14. Di dunia ini terdapat berbagai bentuk demokrasi, yang setiap bentuk
diimplementasikan dengan coraknya masing-masing. Dalam sistem pemilihan
presiden AS, seorang kandidat yang mendapatkan jumlah suara pemilih
individual terbanyak di seluruh daerah pemilihan belum tentu menjadi presiden.
Karena suara individu tidak langsung untuk memilih presiden melainkan untuk
menentukan Electoral College yang diatur secara proporsional sesuai negara
bagian masing-masing. Jumlah Elector (orang yang tergabung dalam Electoral
College) untuk setiap negara bagian diproporsionalkan dengan jumlah
penduduk negara bagian bersangkutan. Tiap-tiap negara bagian memiliki
pengaturan yang berbeda-beda dalam hal menentukan para Elector mereka. Di
beberapa negara bagian para kandidat mendapati jumlah Elector sesuai jumlah
suara yang mereka peroleh, sedangkan di negara bagian lain, pemenang
mengambil seluruhnya. Maka untuk terpilih menjadi presiden, seorang
kandidat harus memiliki dukungan di beberapa negara bagian. Meraih
mayoritas suara popular vote di daerah tertentu, atau bahkan di beberapa negara
bagian, bisa jadi tidak berpengaruh terhadap hasil pemilu secara keseluruhan.
Manakala terjadi masalah, yang memilih presiden adalah perwakilan pemilih,
yakni para politisi profesional di Kongres. Pada tahun 2000, keputusan
Mahkamah Agung mengakhiri prosedur yang begitu rumit dan menetapkan
George W. Bush sebagai pemenang pemilu. Pada musim panas tahun 1999,
Katherine Harris, Ketua Bersama kampanye pemilihan presiden George W.
Bush dan sekretaris negara bagian Florida untuk pemilihan umum, membayar
US$ 4 juta kepada Database Technologies untuk memeriksa daftar pemilih di
Florida dan menghapus setiap orang yang ‘dicurigai’ sebagai mantan
narapidana. Hal itu dilakukan dengan persetujuan Gubernur Florida, Jeb Bush,
yang notabene adalah saudara dari George W. Bush. Hukum Florida
menyatakan bahwa mantan narapidana tidak punya hak pilih –sehingga 31%
dari semua penduduk pria berkulit hitam di Florida dilarang mengikuti pemilu
karena mereka memiliki catatan kriminal. Rupanya, kaum kulit hitam Florida
adalah golongan demokrat. Ini terlihat ketika Al Gore mendapat suara lebih dari
90% dari mereka pada tanggal 7 November 2000. Yaitu 90% dari mereka yang
memiliki hak pilih. Ini menunjukkan terjadinya kecurangan massal elektoral di
Florida. Tim kampanye Bush tidak hanya menghapus ribuan mantan
narapidana kulit hitam dari daftar nama pemilih, melainkan juga menghapus
ribuan warga kulit hitam yang sepanjang hidupnya tidak pernah terlibat tindak
kriminal –serta ribuan pemilih yang sah yang hanya pernah melakukan tindak
pidana ringan.
15. Walhasil, sejumlah 173.000 pemilih yang terdaftar di Florida dihapus secara
permanen dari daftar pemilih. Di Miami-Dade, wilayah terbesar Florida, 66%
dari pemilih yang dihapus namanya adalah mereka yang berkulit hitam. Di
daerah Tampas, 54% dari pemilih yang hak pilihnya ditolak juga berasal dari
kulit hitam. Tak perlu dikatakan lagi betapa banyaknya praktek-praktek tipu
muslihat yang terjadi di Florida, barangkali terlalu banyak untuk disebutkan.
Akan tetapi hasil akhirnya menunjukkan bahwa seseorang yang memenangkan
minoritas suara telah terpilih menjadi presiden. Surat kabar New York Times
merangkum olok-olok yang terjadi di Florida; sebanyak 344 kertas suara tidak
jelas diberikan kepada pemilih, apakah pada saat atau sebelum hari pemilihan,
183 kertas suara diberi stempel pos AS, 96 kertas suara tidak memiliki
keterangan saksi yang memadai, 169 kertas suara berasal dari pemilih yang tak
terdaftar, dengan amplop yang tidak ditandatangani sebagaimana mestinya,
atau berasal dari orang yang tidak meminta kertas suara, 5 kertas suara masuk
setelah tanggal batas akhir penyerahan yaitu 17 November, 19 pemilih dari luar
negeri memilih dalam 2 kertas suara –dan keduanya dihitung. Semua kertas
suara di atas melanggar hukum Florida, tetapi tetap dihitung. Singkatnya,
Amerika tidak memiliki paradigma demokrasi.

Impian Amerika
16. Selain demokrasi, ada aspek lain dari cara hidup orang Amerika yang mereka
klaim telah membuat negara-negara lain iri kepada AS. Woodrow Wilson
(1919) mengatakan, ‘terkadang orang-orang menyebut saya seorang idealis,
memang begitulah adanya selaku orang Amerika. Karena Amerika adalah
satu-satunya negara yang idealis.’ Pasca 11 September, AS tidak juga sadar
bahwa selama ini mereka tidur sambil berjalan. Akan tetapi, kini AS telah
terbangun dari tidur pulas dan mimpinya. Enron, WorldCom dan realitas
pertumpahan darah di ibu pertiwinya telah membuat AS menjadi negara yang
mencemaskan aspirasinya menjadi rapuh. Mungkin untuk kali pertama sejak
Great Depression, para orangtua berbicara secara terbuka tentang anak-anak
mereka yang tumbuh di sebuah negeri yang keadaannya lebih buruk daripada
negara tempat orangtua mereka dilahirkan.
17. Impian Amerika telah berada jauh di luar jangkauan tujuh juta muslim yang
tinggal di antara Los Angeles dan New York. Hampir dua pertiganya
mengatakan mereka telah menjadi korban prasangka dan diskriminasi sejak
peristiwa 11 September. Ketika naik pesawat, mereka dipaksa keluar oleh para
penumpang yang menaruh curiga, sebagian yang lain bahkan tidak
diperbolehkan sama sekali untuk menaiki pesawat. Hak-hak sipil yang
termasyhur dibuat oleh pendiri AS sebagaimana diabadikan dalam Bill of
Rights ternyata tidak lebih dari slogan kosong. ‘Para pecinta kebebasan’ yang
menguasai tanah kebebasan telah mengorbankan ‘kebebasan’ dengan
mengatasnamakan keamanan nasional. Para tersangka ditahan tanpa diadili,
para pengacara dilarang menemui kliennya. Edward Said, seorang Profesor di
Columbia University– New York, menulis dalam Al Ahram (edisi mingguan)
‘Saya tidak melihat adanya seorang Arab atau Muslim Amerika yang sekarang
tidak merasa bahwa ia termasuk kubu musuh dan berada di Amerika saat ini
memberi kita pengalaman keterasingan yang tidak mengenakkan dan
khususnya menjadi sasaran permusuhan yang begitu meluas [‘Thought about
America’, 28 Februari – 6 Maret 2002].
18. Kita kembali lagi ke suara sentimen Amerika yang sesungguhnya, The National
Review. Kontributor Editor Ann Coulter menulis: ‘Sekarang bukan saatnya
lagi mencari individu yang secara langsung terlibat dalam serangan teroris
ini.. Tanggung jawab ini termasuk siapapun dan di manapun yang tersenyum
dengan peristiwa pembinasaan para patriot seperti Barbara Olsen.
Orang-orang yang menginginkan negara kita hancur tinggal di sini, bekerja
untuk perusahaan penerbangan kita, dan bekerja untuk bandara yang persis
sama sebagai seorang tukang kayu dari Idaho. Ini seperti meminta Wehrmacht
berimigrasi ke Amerika dan bekerja untuk perusahaan penerbangan kita
selama Perang Dunia II. Tetapi Wehrmacht tidak begitu haus darah. Kita
harus menyerbu negara mereka, membunuh pemimpin mereka, dan
memurtadkan mereka menjadi Kristen. Kita kurang cermat ketika hanya
menemukan dan menghukum Hitler dan para pejabat terasnya. Kita
membombardir kota-kota di Jerman, kita membunuhi warga sipil. Itulah
perang. Dan ini pun adalah perang’ [National Review, ‘This is War’ 13
September 2001].
19. Demikianlah yang tertulis. Bagaimana faktanya? Pada bulan Maret 2002
dilaporkan bahwa Adeel Akhtar, orang Inggris, terbang ke Amerika untuk
audisi peran. Ketika pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara JFK New
York, ia dan teman wanitanya diborgol. Dari gambarannya ia terlihat tidak
seperti seorang fundamentalis. Ia dibawa ke suatu ruangan dan diinterogasi
selama beberapa jam. Para petugas bertanya apakah ia memiliki teman di Timur
Tengah, atau mengetahui seseorang yang berada di balik serangan 11
September.
Pengalaman Adeel itu bukan hal yang asing bagi ratusan orang yang berasal
dari Asia atau Timur Tengah. Seperti contoh seorang wanita Inggris (berusia 50
tahun) yang terbang ke JFK untuk mengunjungi saudara perempuannya yang
menderita kanker. Di bandara, petugas imigrasi mendapati bahwa pada
kunjungan sebelumnya, ia melebihi masa kunjungan yang tertera dalam
visanya. Ia menjelaskan bahwa saat itu ia sedang menolong saudaranya yang
sedang sakit parah, dan ia telah mengajukan perpanjangan. Ketika petugas
memintanya untuk kembali ke Inggris, ia menerima keputusan itu tetapi
sebelumnya meminta untuk berbicara kepada konsul Inggris. Mereka menolak
permintaannya, malah mengatakan bahwa ia bisa menelepon konsulat Pakistan.
Sang wanita menjelaskan bahwa ia orang Inggris, bukan Pakistan. Paspornya
pun mengatakan ia adalah warga Inggris. Para petugas keamanan bandara mulai
menginterogasinya. Ia bisa bicara dalam berapa bahasa? Sudah berapa lama ia
tinggal di Inggris? Mereka membongkar-paksa tas kopornya dan mengambil
sidik jarinya. Kemudian ia diborgol dan dirantai serta digiring melewati tempat
duduk pemberangkatan. ‘Saya merasa seolah-olah petugas keamanan bandara
memamerkan saya di depan para penumpang lain layaknya tangkapan
berharga. Mengapa saya diborgol? Saya hanya seorang ibu rumah tangga
berusia 50 tahun dari daerah pinggiran London. Ancaman apa yang saya
lakukan yang membahayakan keselamatan penumpang lain?’
20. Juga pada bulan Maret 2001, seorang koresponden majalah Time menemukan
30 orang laki-laki dan seorang wanita bermalam di sebuah hotel kumuh di
Mogadishu, Somalia. Mereka semua orang Afrika-Amerika asal Somalia yang
sudah tiba di Amerika sejak bayi dan anak-anak. Kebanyakan dari mereka
adalah para profesional dengan pekerjaan yang terjamin dan kehidupan yang
mapan. Pada bulan Januari, tidak lama setelah dirilisnya film Black Hawk
Down (film tentang kegagalan misi militer Amerika di Somalia), mereka
ditangkapi. Mereka dipukuli, diancam dengan suntikan dan tidak boleh
menerima telepon dan pengacara. Kemudian dua minggu yang lalu, tanpa
adanya tuntutan atau alasan, tiba-tiba mereka dideportasi ke Somalia. Sekarang
mereka tanpa paspor, surat-surat, atau uang di negara yang asing (bagi mereka).
21. Semua orang yang kami sebut di atas merupakan korban rasialis. Dalam waktu
6 bulan setelah peristiwa 11 September, Jaksa Agung AS memanggil 5000
orang laki-laki asal Arab untuk ditanyai oleh penyelidik federal. Selama
periode itu lebih dari 1000 orang yang dilahirkan di Timur Tengah telah
ditawan untuk jangka waktu yang tak terbatas dengan alasan ‘pelanggaran
imigrasi’. Tidak terhitung lagi banyaknya contoh diskriminasi petugas terhadap
wanita muslimah AS yang digeledah di bandara, sementara yang laki-laki
diseret dari tempat tidur dengan todongan pistol di tengah malam. Ini
menunjukkan bahwa bukti, yang tidak diketahui para tersangka, yang diizinkan
oleh US Patriot Act, ‘telah digunakan hampir secara eksklusif terhadap Muslim
dan orang Arab-Amerika’. Di AS, saat ini, kaum Muslim dan orang-orang
keturunan atau berasal dari Timur Tengah semuanya menjadi tersangka teroris.
Mereka dianggap bersalah sampai mereka terbukti tidak bersalah.

Kriminalitas dan Hukuman


22. Amerika, tanah kebebasan, dikuasai oleh kriminalitas dan rasa takut terhadap
tindak kriminal yang mencengkeram masyarakatnya. Poling yang dilakukan
Associated Press menunjukkan 52% laki-laki dan 68% perempuan takut
menjadi korban kejahatan. Di AS, pembunuhan terjadi setiap 22 menit,
pemerkosaan setiap 5 menit, perampokan setiap 49 detik, dan pencurian setiap
10 detik. Kerugian akibat kejahatan diperkirakan mencapai US$ 675 milyar
setiap tahunnya. Menurut penelitian terbaru dari Texas A&M University,
Profesor Morgan Reynolds mendapati bahwa dari 500.000 kasus perampokan
yang terjadi setiap bulan, hanya 6000 orang perampok saja yang dipenjara.
Situasi ini diperparah oleh penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol.
Penembakan dalam rangka memerangi komplotan pengedar obat di dalam kota
menjadi perhatian pers. Namun, penembakan itu hanyalah titik kulminasi dari
kejahatan yang mempengaruhi semua warga kota. Di Inggris, obat-obatan
‘Kelas A; seperti heroin dan kokain (terutama jenis crack ‘jalanan’ yang lebih
digemari kaum miskin daripada jenis isap yang lebih digandrungi orang kaya)
mendorong timbulnya kejahatan lain seperti pencurian dan perampokan.
Penelitian UK Home Office menunjukkan bahwa mereka yang ditangkap
karena kasus serangan terhadap hak milik seringkali karena pengaruh
obat-obatan tadi. Hampir 70% dari mereka yang melakukan tes terbukti positif
menggunakan heroin dan atau kokain. Sekitar 30% dari mereka yang ditangkap
karena mencuri barang di toko terbukti sebagai pengguna kokain dan 47%-nya
adalah pemadat. Tampaknya kriminalitas paling sering dikaitkan dengan
kokain. Setengah dari tahanan karena kasus penyerangan terbukti positif,
melalui tes, mengkonsumsi crack (salah satu jenis kokain). Seperempat dari
para tahanan itu adalah pengguna kedua jenis obat-obatan terlarang tersebut.
Angka-angka itu belum termasuk alkohol yang lebih luas penyebarannya
karena secara hukum dianggap legal dan secara sosial lebih dapat diterima oleh
masyarakat. Dampak alkohol terhadap statistik kriminalitas hampir-hampir tak
terhitung lagi. Selain itu, alkohol juga menguras anggaran kesehatan –dilihat
dari penyakit-penyakit yang diakibatkan alkohol dan tindakan penyerangan
yang disebabkan alkohol serta pemakaian kamar di rumah sakit.
23. Orang Amerika mengalami penyerangan, perampokan dengan penodongan
senjata, pemerkosaan atau penculikan, dua kali lebih parah dibandingkan
cedera karena kecelakaan mobil. Asisten Jaksa Agung, dalam Simposium
Nasional tahun 1998 tentang Penyalahgunaan Alkohol dan Kriminalitas,
menunjukkan bahwa hampir 4 dari 10 kejahatan kekerasan melibatkan
penggunaan alkohol. Kira-kira 4 dari 10 kecelakaan kendaraan yang fatal juga
terkait dengan alkohol; dan sekitar 4 dari 10 orang pelanggar, terlepas apakah
mereka ada dalam masa percobaan, di penjara lokal, atau penjara negara bagian,
mengaku sendiri bahwa mereka menggunakan alkohol pada saat melakukan
tindak pelanggaran hukum. Kekerasan antara pasangan hidup sekarang dengan
mantan pasangan hidup, dan kekasih sekarang dengan mantan kekasih, juga
melibatkan penggunaan alkohol.
24. Yang paling banyak melakukan kejahatan dengan cara kekerasan adalah
remaja. Pembunuhan dan perampokan lebih banyak dilakukan oleh remaja
laki-laki berusia 18 tahun ketimbang oleh kelompok usia lain. Lebih dari
sepertiga kasus pembunuhan dilakukan oleh mereka yang masih berusia di
bawah 21 tahun. Pembunuhan sekarang menjadi penyebab utama kematian para
remaja Afrika-Amerika. Hal ini dapat dilihat dalam statistik kejahatan.
Bagaimana cara menguranginya? Solusi yang ditawarkan Clinton/Gore adalah
dengan memenjarakan mereka, sedangkan Bush/Cheney adalah dengan
membunuh para pelaku. Di awal tahun 1990-an terdapat 1 juta orang yang
dipenjara di AS. Di akhir periode kepemimpinan Clinton angka itu bertambah
menjadi 2 juta. Sejak tahun 1976, sudah lebih dari 700 kali eksekusi yang
dilakukan di AS. Sejak tahun 1973, 95 terpidana mati dibebaskan oleh
pengadilan. Sebuah studi terbaru terhadap 4.578 kasus dalam kurun waktu 23
tahun (1973-1995) menyimpulkan bahwa pengadilan menemukan kesalahan
yang serius dan dapat diperbaiki dalam 7 dari setiap 10 kasus hukuman mati
yang sepenuhnya ditinjau ulang selama periode tersebut. Dari 85% terpidana
mati, tingkat kesalahannya mencapai 60% atau bahkan lebih. Tiga perlima dari
hukuman itu memiliki tingkat kesalahan rata-rata sekurangnya 70%. Kesalahan
yang paling umum terjadi adalah (1) ketidakcakapan pengacara pembela yang
tidak berupaya, atau luput mencari bukti penting yang bisa membuktikan
tersangka tidak bersalah; (2) polisi atau jaksa penuntut yang menemukan bukti
penting itu malah menyembunyikannya, yang berarti menyelewengkan proses
peradilan.
25. AS merupakan satu dari beberapa negara di dunia yang menghukum mati para
pelaku kekerasan yang mengalami keterbelakangan mental dan masih belum
dewasa. AS juga merupakan satu-satunya negara selain Somalia yang tidak
menandatangani The United Nations Convention on the Rights of the Child
(Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak). Mahkamah Agung mengizinkan
eksekusi terhadap mereka yang berusia 16 tahun jika melakukan pelanggaran
berat. Ini terlepas dari fakta bahwa lembaga peradilan yang sama telah
menetapkan bahwa remaja usia 16 tahun tidak memiliki ‘kedewasaan atau
penilaian’ untuk menandatangani kontrak/perjanjian. Sehingga tidak adanya
kapasitas pada dirinya untuk menandatangani perjanjian dipandang sebagai
hambatan hukum untuk melaksanakan sebuah perjanjian, tetapi dalam hal hak
dieksekusi, kapasitas remaja usia 16 tahun dianggap sama dengan orang
dewasa. Amerika adalah sebuah masyarakat yang membiarkan korupsi di
perusahaan, bahkan Amerika memberikan penghargaan terhadap sistem
akuntansi yang kreatif. Pada saat yang bersamaan Amerika membunuh orang
yang terbelakang dan mereka yang menurut orang Amerika dianggap belum
dewasa.
George W. Bush dan Korporasi
26. Telah kita bahas sebelumnya bahwa George W. Bush menjadi presiden melalui
cara yang meragukan. Bush juga memiliki masa lalu yang meragukan perihal
kebiasaan minum, mengebut dan usaha-usaha untuk menutupi masa lalunya itu.
Dalam urusan bisnisnya pun, hingga awal 1990-an tidak menunjukkan
tanda-tanda kesuksesan meski tidak juga ilegal. Bush boleh saja mengantongi
gelar sarjana di bidang bisnis, akan tetapi prestasi akademiknya itu tidak diikuti
prestasinya dalam bidang bisnis yang sesungguhnya. Kisah tentang seorang
pecundang yang berubah menjadi orang kaya ini terjadi ketika sang ayah
menjabat sebagai presiden. Kejahatan yang dilakukannya terhadap rakyat AS
adalah ketika dia menjual saham sebuah perusahaan minyak, tempatnya
menjabat sebagai direktur, pada bulan Juni tahun 1990. Transaksi itulah yang
membuat dia menjadi kaya mendadak dan menjadi seorang tokoh politik di
Texas. Diperkirakan pada saat itu Bush Jr. sudah mengetahui bahwa nilai
saham perusahaannya, Harken Oil, hampir jatuh karena terus merugi. Ia
langsung menjual seluruh sahamnya pada waktu yang sangat tepat sehingga dia
memperoleh keuntungan sebesar US$ 835.807 (£ 553.514). Dengan
keuntungan yang diperolehnya Bush membeli sebuah tim baseball yang di
kemudian hari dijualnya kembali dan membuatnya menjadi seorang multi
milyuner. Penjualan saham Harken milik Bush diselidiki oleh Securities and
Exchange Commision yang bekerja atas perintah sang ayah, George Bush
senior, yang mendapati bahwa pemberitahuan atas transaksi tersebut ditunda
selama 9 bulan. Tetapi tidak ada tindakan apapun atas hal itu. Baru-baru ini
muncul berita bahwa Bush junior mendapat pinjaman dengan bunga rendah dari
Harken –seperti yang juga diterima oleh CEO WorldCom, Bernie Ebbers
(sekarang sedang dalam penyelidikan)– yang menurut Bush sendiri hal itu
harus dilarang. Bukan hanya sandiwara Bush saja yang sekarang ini ramai
dipertanyakan orang. Dalam minggu yang sama, nama wakil presiden Dick
Cheney disebut-sebut dalam aksi sipil menentang grup konstruksi energi,
Halliburton dan akuntannya, yaitu Andersen, yang telah bersekongkol
menggelembungkan nilai pendapatan perusahaan. Ada persaman mencolok
antara kasus Halliburton dan kehancuran Enron.
27. Pada tanggal 29 Januari, sebuah artikel di Washington Post menggambarkan
perbandingan kasus Halliburton dan Enron. Artikel tersebut menunjukkan
bahwa saham kedua perusahaan tersebut sama-sama mengalami penurunan
drastis pada musim gugur tahun lalu dan juga punya akuntan yang sama, yakni
Arthur Andersen (Halliburton sebelumnya pernah terlibat perkara hukum atas
penggunaan asbes, yang mengurangi kepercayaan para investor). Persamaan
lain adalah masing-masing CEO mereka menguangkan sahamnya pada saat
yang bersamaan. Dalam kasus Halliburton, Wakil Presiden Dick Cheney
menguangkan sahamnya senilai $20.6 juta sebelum mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai CEO. Dengan keadaan keuangan Halliburton yang
bermasalah, wajar jika Departemen Pertahanan, yang pada masa Bush senior
dipimpin Cheney, bersedia memberikan jaminan. Dalam situsnya, Pentagon
mengumumkan keseluruhan nilai kontrak melebihi $5 juta, tetapi dalam kasus
Halliburton menolak mengungkapkan perkiraan nilai pemberiannya. Juru
bicara Halliburton menyebut angka $2,5 milyar sebagai jumlah pendapatan
perusahaan yang diperoleh dari jasa-jasa utamanya pada tahun 1990-an, seraya
mengakui bahwa nilai kontrak bisa melebihi jumlah yang diperkirakan seiring
makin meluasnya jangkauan kekuatan militer AS dalam jangka waktu sepuluh
tahun mendatang.
28. Harvey Wasserman, penulis The Last Energy War, mengomentari tingkah
polah Bush dan Cheney dengan mengatakan, ‘Tim Bush dan Cheney telah
membuat Amerika menjadi sebuah bisnis keluarga. Karenanya kita belum
pernah melihat Cheney memutuskan kesepakatan dengan teman-teman
lamanya yang bernilai jutaan dolar,’ Wasserman melanjutkan, ’Apakah
mereka tidak memiliki kehormatan, rasa malu, akal sehat? Mengapa tidak kita
biarkan saja Enron menjalankan Amerika? Atau membiarkan Zapata
Petroleum (Bisnis eksplorasi minyak George W. Bush yang gagal) membangun
pipa saluran melalui Afghanistan’?’ Sepertinya, sang presiden membuat
dirinya dikelilingi orang-orang yang semuanya bisa ditangkap karena kasus
keuntungan fiktif yang dibuat George W. Bush melalui para pedagang
korporasi. Selain Dick Cheney, penasehat bayangan Bush adalah Kenneth L.
Lay yang merupakan mantan bos Enron. Menteri Luar Negeri, Colin Powell,
pernah duduk dalam dewan direktur AOL. Ketika ia masih di AOL, perusahaan
tersebut melakukan merger dengan Time-Warner dan nilai sahamnya naik
menjadi US$ 4 juta. Michael Powell, putra Collin, merupakan satu-satunya
anggota Federal Communications Commission (FCC) yang mengadvokasi agar
proses merger AOL dengan Time-Warner disetujui tanpa perlu dipertanyakan.
Sejak saat itu Michael Powell diangkat menjadi Ketua FCC; dan salah satu
tugasnya adalah mengawasi aktivitas AOL/Time-Warner.
29. Selain nama-nama tersebut di atas, ada Thomas White, Menteri Angkatan
Bersenjata yang mantan eksekutif Enron. Antara bulan Juni sampai November
2001, ia menjual $ 12 juta saham Enron. White adalah wakil pemimpin Enron
Energy Services, yang terlibat manipulasi biaya listrik dalam krisis energi di
California.
30. Kemudian ada Paul O’Neill, Menteri Keuangan, mantan CEO Alcoa,
perusahaan alumunium terbesar di dunia. O’Neill memperoleh uang pensiun
sebesar $ 926.000 per tahun. Ketika masih di Alcoa, ia menunda penjualan
sahamnya di Alcoa sampai nilai saham itu naik sebesar 30 persen. Terakhir, ada
Larry Lindsey, penasehat ekonomi Gedung Putih, mantan konsultan Enron. Ia
masih bekerja untuk Enron ketika menjadi perancang kebijakan ekonomi Bush
dalam kampanye pemilihan presiden. Lindsey meneliti dampak bangkrutnya
sebuah perusahaan energi yang besar terhadap perekonomian. Itu dilakukan
persis sebelum masalah Enron muncul ke permukaan.
31. Tidak hanya koneksi per individu saja yang patut diselidiki. Partai Republik
secara keseluruhan pun patut diselidiki. Pada pemilihan presiden tahun 2000
lalu, 70% dari US$ 1,9 juta sumbangan politik WorldCom mengalir ke Partai
Republik. Sementara Andersen menyumbang 71% dari US$ 1,4 juta alokasi
sumbangan politiknya ke partai yang sama. Dari tahun 1989 hingga 2001,
Enron telah memberi sumbangan sebesar US$ 113.800 ke Partai Republik,
sedangkan Al Gore memperoleh US$ 13.750. Enron menyumbang sebesar US$
300.000 untuk dana pelantikan Bush tahun 2001 dan menanggung biaya
penghitungan ulang suara pada tahun 2000.
32. Maraknya skandal telah memperburuk citra kapitalisme di mata dunia.
Sekarang ini, kapitalisme adalah satu-satunya ideologi yang terus bertahan
menyelesaikan problematika manusia sejak keruntuhan komunisme lebih dari
satu dekade lalu. Kini ia mendapat pukulan keras. Pukulan terhadap asas
kapitalisme itu datang dari dalam dirinya sendiri. Kepercayaan terhadap
kapitalisme sepertinya mulai memudar. Eropa cepat-cepat menyebut skandal
yang terjadi di AS sebagai masalah Amerika sendiri, yaitu ‘kapitalisme ala
Amerika’, seraya melupakan bahwa mereka sendiri menghadapi skandal yang
sama. Penamaan dan tuduhan tersebut merupakan alat untuk melindungi
seluruh sistem, dari kulit terluar hingga ke jantung terdalamnya. Orang-orang
tidak mempertanyakan penyebab skandal-skandal itu, karena mereka terlalu
sibuk mempermasalahkan isu-isu sekunder marginal yang lain atau mencari
perusahaan atau individu yang dapat dijadikan kambing hitam. Solusi terhadap
masalah itu bahkan semakin mengkhawatirkan, terutama ketika para politisi
menyerukan agar dunia usaha memiliki karakter dan hati nurani, seperti yang
Bush katakan, ’Semua investasi adalah kepercayaan, dan kepercayaan
diperoleh melalui integritas. Dalam pelaksanaannya, tidak ada kapitalisme
tanpa hati nurani. Tidak ada kemakmuran tanpa karakter’. Ini merupakan
bentuk kemunafikan George W. Bush dan kroni sang ayah yang ada di
sekililingnya. Upaya mengejar materi adalah satu-satunya minyak yang
melumasi mesin kapitalisme.

Kelinci percobaan dalam uji coba nuklir


33. Selama bertahun-tahun hak-hak tentara angkatan bersenjata AS dan Inggris
terus menerus telah dilanggar. Para tentara itu diberi obat halusinasi, dikirim ke
pertempuran tanpa diberi latihan atau mendapat perlindungan yang memadai,
juga semua tindakan tak berperikemanusiaan ditimpakan kepada mereka.
Sehubungan dengan isu terkini ihwal senjata pemusnah massal, ada dua cerita
yang muncul ke permukaan mengenai bagaimana perasaan pemerintahan AS
dan Inggris terhadap keadaan tentara dan warga sipil mereka. Baru-baru ini
Pentagon mengakui bahwa para tentara yang terlibat dalam uji coba senjata
kimia dan biologi pada tahun 1960-an, kemungkinan tidak diberi tahu sama
sekali mengenai percobaan rahasia yang dilakukan di laut. Beberapa ujicoba
menggunakan racun syaraf militer paling mematikan, yaitu VX. Pejabat tinggi
Departemen Pertahanan AS mengatakan ribuan rakyat sipil Hawaii dan Alaska
juga tidak menyadari bahwa di sekililing mereka terdapat banyak bakteri yang
merupakan senjata kuman, seperti anthraks. Menurut laporan Pentagon, dalam
uji coba yang dilakukan di Alaska, para tentara dengan menggunakan pakaian
pelindung didekatkan ke racun syaraf yang mematikan tersebut, termasuk VX.
Sedangkan uji coba di Hawaii menggunakan zat halusinasi yang dikembangkan
menjadi senjata kimia. VX merupakan racun syaraf yang canggih, bisa bertahan
di lingkungan lebih lama dibandingkan dengan yang sejenis. Uji coba itu
dilakukan untuk mengukur seberapa lama VX akan tetap mematikan dan sebaik
apa prosedur dekontaminasi yang dilakukan.
34. Baru-baru ini, sebuah klaim ganti rugi menjadi berita utama di Inggris.
Sejumlah mantan tentara berusaha memperoleh ganti rugi karena telah
dijadikan saksi peledakan nuklir di Pasifik Selatan. Tetapi apa yang sebenarnya
dialami oleh ribuan tentara muda di Christmas Island 40 tahun yang lalu itu?
Saat itu merupakan puncak perang dingin dan ribuan tentara Inggris dikirim ke
Pasifik Selatan untuk menyaksikan uji coba ledakan senjata nuklir. Kebanyakan
mereka baru berusia belasan tahun atau 20-an, dan sedang melaksanakan tugas
wajib militernya. Bagi mereka, iklim Christmas Island yang hangat dan eksotis
merupakan sebuah pelarian yang menyenangkan dari penderitaan yang mereka
alami pasca perang Inggris. Para tentara itu diperintahkan untuk merunduk
beberapa saat sebelum ledakan terjadi. Tak banyak upaya yang dilakukan untuk
melindungi kesehatan mereka dari radiasi radioaktif. Padahal mereka berada
dalam jarak hanya 30 mil dari tempat ledakan. Mereka diperintahkan untuk
membelakangi ledakan atau mengenakan celana panjang.
Kesimpulan
Seperti yang telah kita bahas, sistem kapitalisme sedang mengalami
keruntuhan dari dasarnya. Kapitalisme sekarang ini hanya ditopang oleh
sekelompok elit yang putus asa melihat keuntungan mereka terancam. Inilah
saatnya bagi kita untuk mengutip pernyataan pendahulu George W. Bush, William
Jefferson Clinton, sang Presiden AS ke-42, sebagai penutup bab ini. Tidak seperti
penerusnya, yakni Presiden Bush, Bill Clinton dikenal memiliki kecakapan
berorasi dan prestasi akademik yang bagus. Dia dikenal sebagai orang yang
mengetahui hakikat sistem yang ia terapkan. Apakah pernyataan berikut ini
merupakan refleksi dari apa yang buku-buku sejarah jadikan acuan atau hanya
sebuah ironi belaka? ‘Kita lahir dengan sebuah deklarasi kemerdekaan yang
menyatakan bahwa kita semua diciptakan sama dan oleh sebuah konstitusi yang
mengabadikan perbudakan. Kita berjuang dalam perang sipil yang berdarah untuk
menghapuskan perbudakan tetapi kita tetap tidak mempunyai kedudukan yang
sama di hadapan hukum dalam beberapa abad setelahnya. Atas nama kebebasan,
kita mengalami kemajuan sampai ke luar negeri tetapi kita telah mengusir
penduduk asli Amerika dari tanah airnya. Kita menyambut para imigran tetapi
setiap gelombang imigran yang datang itu telah merasakan pedihnya diskriminasi’
[Presiden Clinton dalam pidato di Universitas California, tahun1997].
BAB 5
Sejarah Kolonialisme Barat di
Timur Tengah

Amerika Serikat dan Inggris mengklaim bahwa perang yang mereka


lancarkan terhadap Irak merupakan tindakan yang adil lagi mulia. Mereka
menambahkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan upaya untuk
membebaskan dunia dari ancaman dan memulihkan tata pemerintahan yang baik
(good governance) kepada rakyat Irak. Bab ini akan memaparkan kebohongan
yang mereka lakukan dan membuktikan bahwa perang terhadap Irak erat kaitannya
dengan kolonialisme, dan memang kolonialisme-lah yang menjadi dalang semua
itu.
1. Gerakan Renaissance di Eropa telah memicu revolusi intelektual yang
berpuncak dengan industrialisasi dan menandai sebuah tata dunia baru.
Dihadapkan kepada tirani aristokratik dan dogma teokratik, para pemikir Barat
membangun dasar filosofis peradaban Barat. Terlepas dari perbedaan
intelektual di antara mereka sendiri, mereka bersepakat dalam pandangan dunia
yang khas oksidental mengenai pengaturan masyarakat yang memisahkan
gereja dan negara. Namun demikian, para pemuka filsafat itu hanya mengganti
tirani dan kemunduran intelektual dengan penindasan berbentuk ide. Sungguh
ironis bahwa ternyata berkembangnya prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi
liberal berasal dari doktrin yang sama dengan kolonialisme. Ajaran
Jean-Jacques Rousseau tentang demokrasi mengenai persamaan dan kebebasan
mengatakan bahwa, ‘Man was born free, and he is everywhere in chains’ [The
Social Contract, 1743], namun pada saat yang sama, negara yang dijadikan
teladan dalam urusan kebebasan justru memperbudak negara-negara di dunia.
Jules Harmand, salah satu tokoh utama imperialisme Perancis mengatakan,
“Kenyataan akan adanya hierarki ras dan peradaban harus kita terima dan
jadikan sebagai prinsip dan titik tolak, serta fakta bahwa kita termasuk ras dan
peradaban superior…Legitimasi mendasar ihwal penaklukan atas
orang-orang pribumi adalah (cerminan) keyakinan akan kesuperioran kita….”
[Edward Said., ’Culture & Imperialism’., 1993, hal.17]. Kontradiksi
filosofis seperti tersebut di atas merupakan ciri budaya Barat dan lebih jauhnya
lagi memperlihatkan ketidakmampuan akal untuk menentukan sistem hidup
yang akan benar-benar meningkatkan derajat manusia.
2. Dalam kenyataannya, kolonialisme berkembang melalui urat nadi peradaban
Barat; jika kapitalisme dianggap jiwa, maka kolonialisme adalah detak
jantungnya –kebebasan kepemilikan menjadi suatu hal yang dominan dalam
filosofi sekular, yang menentukan tujuan hidup masyarakat. Upaya negara
dalam mengejar kepentingan material diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip
pokok yang menjadi metode untuk menyebarkan ideologi kapitalis, seperti
yang ditegaskan oleh Robert Cooper dalam esainya, ‘Negara Postmodern’.
Seraya menyerukan imperialisme liberal baru dan perlunya kerajaan,
kata-katanya menyuarakan ambisi Inggris satu abad yang lalu ketika Duta
Besar Kolonial Inggris, Joseph Chamberlain mengatakan, ‘sekarang adalah
masanya kerajaan, bukan negara-negara kecil’ [John Norris., ‘Farewell to
the Trumpets; An Imperial Retreat’]. Oleh karena itu, apa yang dikatakan
Robert Cooper, Penasihat Kebijakan Luar Negeri Tony Blair, memang sesuai
dengan tradisi penjajahan mereka, ‘Tantangan bagi dunia postmodern adalah
untuk terbiasa dengan gagasan standar ganda. Di antara kita sendiri, kita
bertindak berdasarkan atas hukum dan keamanan kooperatif yang terbuka.
Namun ketika kita berurusan dengan negara-negara terbelakang di luar benua
postmodern Eropa, kita harus kembali ke metode-metode yang lebih kasar
seperti pada masa sebelum ini –kekuatan, preemptive attack ii , muslihat–
pokoknya apapun yang diperlukan dalam berurusan dengan negara-negara
yang masih hidup dalam dunia abad ke-19. Di antara kita sendiri, kita
mempertahankan hukum. Tetapi ketika berada di hutan maka kita harus
memakai hukum rimba…. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah
imperialisme jenis baru, yang bisa diterima oleh dunia yang menganut hak-hak
asasi manusia dan nilai-nilai kosmopolitan. Kita sudah dapat melihat
gambarannya: sebuah imperialisme yang, sama seperti semua imperialisme,
bertujuan membuat tatanan dan keteraturan tetapi kini berdasarkan prinsip
sukarela….’ [Robert Cooper., ‘The New Liberal Imperialism’., 2002].
3. Jadi, kolonialisme benar-benar hidup –bahkan kolonialisme dan peradaban
Barat adalah laksana kembar siam, karena kolonialisme pun lahir dari doktrin
sekular. Sikap standar ganda dalam kebijakan Barat, selama sejarahnya yang
memalukan, bukan sekadar kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi
melainkan juga merupakan suatu kebutuhan ideologis. Memahami filosofi yang
mendasari kolonialisme Barat sangatlah penting, sehingga kita tidak hanya
mampu membaca upaya penghasutan perang atas Irak melainkan juga
menyadari bahwa kolonialisme merupakan bagian integral dari peradaban
Barat, dan membuat kita sadar bahwa sekularisme tidak sesuai untuk dijadikan
kepemimpinan ideologis bagi umat manusia. Oleh karena, tindakan
memerdekakan negeri-negeri Islam berdasarkan prinsip sekular itu bisa
dikatakan tindakan bunuh diri secara politis. Pada hakikatnya para pemikir
Barat berupaya menghilangkan tirani tetapi mereka mengalami kegagalan yang
menyedihkan, karena mereka telah mengganti tirani feodalisme dengan sistem
aturan manusia yang lebih merusak, yang telah menimbulkan bencana yang
tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Bagaikan tsunami
yang mengerikan, bencana ideologis ini telah merusak kehidupan manusia
selama berabad-abad dan gelombangnya mengenai Irak, menenggelamkan
orang-orang yang kesulitan ekonomi.

Penjajahan dan Kekejaman


4. ‘Masyarakat yang bebas tidak mengintimidasi melalui penjajahan dan
kekejaman’ ujar Presiden Bush dalam usahanya yang gagal membujuk PBB
memberi legitimasi menyerang Irak. Gaung kata-kata itu sama arogannya
dengan kata-kata Lord Rosebarry satu abad silam, ketika menggambarkan
kerajaan Inggris sebagai ‘agen sekular terhebat yang pernah ada di muka bumi’
[J.A.Hobson., Imperialism’s Study]. Dalam sejarah, Presiden Bush akan
bergabung dengan Lord Roseberry dalam daftar orang-orang termasyhur yang
angkuh, juga bersama Adolf Hitler dan Joseph Stalin, atas kontribusi tindakan
tak bermoral mereka yang luar biasa. Sejarah Irak dibentuk bukan hanya oleh
kekejaman dan penjajahan melainkan juga oleh masalah-masalah di Timur
Tengah yang muncul selama masa imperialisme Eropa yang berabad lamanya,
dan diperparah oleh hegemoni AS. Sungguh sebuah ironi terbesar dalam
sejarah, ketika AS menjadi suatu kekuatan imperial pada saat ia berusaha
membebaskan dirinya dari kolonialisme Inggris dan Eropa. Hal-hal demikian
merupakan konsekuensi yang mengerikan bagi negara yang mendasarkan
dirinya pada ideologi sekular seperti AS, yang meniru Kerajaan Inggris di masa
lampau.
5. The East Indian Company, sebuah percontohan korporasi Barat, menginjakkan
kakinya untuk kali pertama di Mesopotamia pada tahun 1763, saat Inggris
mencari rute perdagangan ke India, koloninya sendiri. Hal itu merupakan
pertanda datangnya sesuatu, seperti saat Lord Palmerston memulai sebuah
pencarian untuk menemukan pasar-pasar baru di Timur Tengah bagi
kepentingan industri dan perdagangan Inggris di tahun 1830-an –sebuah
doktrin yang menjadi bagian integral peradaban Barat– sebagaimana yang
pernah juga dinyatakan oleh Anthony Lake, Penasihat Keamanan Nasional di
masa Presiden Clinton, ‘perusahaan-perusahaan swasta merupakan sekutu
alami dalam usaha kita memperkuat ekonomi pasar’ [Mark Curtis., The
Great Deception Anglo-American Power & World Order., 1998, hal.310].
Demikian pula mantan Menteri Luar Negeri AS, Cordell Hull, yang
mengatakan, ‘Tongkat kepemimpinan menuju sistem baru hubungan
internasional dalam perdagangan dan masalah ekonomi lain sebagian besar
akan berpindah ke Amerika Serikat… Kita harus memikul kepemimpinan ini,
beserta tanggung jawab yang menyertainya, terutama demi kepentingan
nasional kita semata’ [Gabriel Kolko., Politics of War., hal.251].
6. Kepentingan nasional, bahasa eufemisme untuk ketamakan, menjadi stimulus
penjajahan Eropa, ketika Inggris menduduki Aden pada tahun 1839. Di tahun
1882, Inggris menginvasi Mesir yang tengah membangun Terusan Suez dengan
Perancis sejak 1869, yang oleh Perdana Menteri Gladstone dianggap sebagai
‘pencarian kepentingan Inggris terbesar’ karena pada waktu itu 13% dari
seluruh perdagangan luar negeri Inggris berlangsung melalui Terusan Suez.
Earl Kimberley, Duta Besar untuk India pada tahun 1885 menyatakan, ‘Apakah
orang benar-benar mengira jika kita tidak menguasai Kerajaan India maka
kita harus mempengaruhi Mesir?’ [Ronald Hyam., ‘Britain’s Imperial
Century 1815 to 1914’., 1976, hal.180]. Ini merupakan sentimen yang kembali
mengemuka selama Perang Teluk tahun 1991 ketika Lawrence Korb, Asisten
Menteri Pertahanan di masa pemerintahan Reagan, menyatakan, ‘Kita tidak
akan ambil pusing sekalipun Kuwait menghasilkan wortel’ [Paul D’Amato.,
‘US Intervention in the Middle East; Blood for Oil’., International
Socialist Review, Issue 15, December 2000–January 2001]. Pada tahun
1856, Inggris berupaya membuka jalan ke Persia dalam rangka mencari akses
darat menuju koloninya di India dan memenuhi kewajiban-kewajiban
perjanjian untuk melindungi para syeikh penguasa Kuwait, Bahrain, Qatar, dan
Oman untuk menjamin bahwa keempat negeri itu hanya akan diberikan kepada
Inggris.
7. Kemenangan atas Khilafah Utsmaniyah pada PD I selanjutnya mengokohkan
Inggris sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Timur Tengah. Ia menguasai
Mesopotamia, Persia, Teluk dan Mesir sebagaimana ditetapkan dalam
perjanjian yang terkenal, Sykes-Picot, di tahun 1916. Maret 1917, Inggris
menduduki Baghdad dan dari sebuah telegram yang dikirimkan kepada
pasukan Inggris terdapat indikasi adanya strategi baru kolonialisme Barat pada
abad ke-20. War Office memberitakan, ‘Baghdad akan menjadi Negara Arab
dengan penguasa atau pemerintahan lokal di bawah perlindungan Inggris dalam
segala sesuatunya. Sehingga Baghdad tidak akan memiliki hubungan dengan
kekuatan asing…. Baghdad akan diatur di belakang tirai Arab sejauh mungkin
[P.W. Ireland, ‘Iraq; A Study in Political Development’, 1937]. Tidak
sekadar memelihara rezim boneka sebagai doktrin kolonial, Inggris juga telah
menemukan seni kolonisasi. Penjajahan gaya baru itu terurai dalam pernyataan
Departemen Luar Negeri pada tahun 1947, ‘Kepentingan keamanan dan
strategis kami di seluruh dunia akan terlindungi dengan baik dengan
didirikannya ‘kantor-kantor polisi’ di titik-titik yang tepat yang akan
diperlengkapi dengan kemampuan mengatasi keadaan darurat dalam radius
jarak jauh. Kuwait merupakan salah satu titik untuk mengontrol Irak, Persia
Selatan, Arab Saudi dan Teluk Persia’. Namun demikian, era pasca Perang
Teluk menunjukkan betapa AS telah menerapkan gaya baru itu sekaligus
menggantikan posisi Inggris sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah.
8. Dunia melihat AS memelopori doktrin baru kolonialisme Barat, menemukan
gaya baru dalam menjajah negara lain dengan menekankan pada aksi-aksi
rahasia, perbudakan ekonomi dan intrik-intrik politik. Model penjajahan yang
menindas masyarakat Timur Tengah melalui rezim boneka dan mendorong
terjadinya penindasan, penahanan dan pembunuhan. Jesse Leaf, Kepala Analis
Iran CIA, menjelaskan intimidasi AS di Timur Tengah ketika dia mengatakan,
‘Kami bentuk mereka (SAVAK), kami atur mereka, kami ajari mereka apapun
yang kami tahu… teknik interogasi yang ekstrim… termasuk penyiksaan…
ruang penyiksaaan dibuat dan semuanya itu dibiayai oleh Amerika Serikat’
[Salaam Al-Sahrqi, ‘Iran: Unholy Alliances, Holly Terror’, Covert Action
Information Bulletin, No.37, Summer 1991]. Pengendalian penduduk Timur
Tengah lebih jauh lagi diuraikan dalam memorandum pemerintah AS,
‘Kebijakan terbaru Amerika adalah membatasi penjualan senjata ke
negara-negara Timur Tengah demi memenuhi jumlah layak yang dibutuhkan
untuk menjaga keamanan internal’ [Statement by the United States &
United Kingdom Groups, FRUS, 1947, Vol. V hal. 613] dan Dewan
Keamanan Nasional AS mengatakan bahwa bantuan militer sangat penting
‘sebagai alat untuk mempertahankan keamanan internal’ [National Security
Council, Statement of U.S. Policy toward Iran, 15 November 1958, FRUS,
1958-1960, Vol.XII, hal. 611-613]. Senator AS, Hubert Humphrey
menjelaskan kebijakan tersebut dalam kaitannya dengan pertemuan antara
pejabat AS dengan pemimpin militer Iran, ‘Tahukah Anda apa yang dikatakan
pimpinan tentara Iran kepada salah satu orang kita? Dia mengatakan pasukan
berada dalam kondisi yang baik, berkat bantuan AS, sekarang tentara mampu
menjalin hubungan dengan penduduk sipil’ [Fred Halliday, ‘Arabia Without
Sultans’].
9. Kudeta dan kudeta balasan telah menjerat politik Timur Tengah ke dalam racun
persaingan Barat, segera setelah PD II. AS menempatkan Husni Zaim di Syria
pada tanggal 30 Maret 1949. Miles Copeland, yang sudah memimpin berbagai
operasi CIA di wilayah Teluk, menggambarkan, ‘Jika Anda tidak dapat
mengubah permainannya, ubahlah pemainnya’ [Miles Copeland, ‘The Game
of Nations’, 1969, hal. 28]. Tahun 1958, AS melakukan intervensi di Libanon
dengan mengirim angkatan laut dan pasukan marinir untuk mempertahankan
apa yang disebut sebagai ‘stabilitas’; sebuah eufemisme untuk menyebut
pengaruh AS di wilayah tersebut. AS kembali melakukan intervensi terhadap
masalah Libanon pada tahun 1983, dengan mengirim pasukan marinir ke
daerah konflik yang ditimbulkan oleh persaingan imperial. Perang Teluk tahun
1991 bisa dikatakan sebagai aksi militer terbesar yang dilakukan AS di Timur
Tengah. Hal itu bahkan memfasilitasi pendudukan militer dalam segala hal di
mana AS memperkokoh keberadaan basis militer sambil mengamankan
pendudukan baru di Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait. Anthony Cordesman,
Ketua Strategi di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (Chair for Strategy at
the Center for Strategic and International Studies), mengungkapkan
fundamentalisme kolonial AS, ‘Satu dekade silam, di bawah Presiden Bush
senior, kami mengangkat krisis kebijakan luar negeri yang utama di Timur
Tengah dengan posisi yang paling menguntungkan yang pernah kami dapatkan
sejak Perang Dunia II’ [Anthony H Cordesman, ‘Iraq and America’s
Foreign Policy Crisis in the Middle East’, 1 Maret 2001]. Suatu keuntungan
yang dinikmati oleh para pemimpin militer, seperti yang tanpa ragu-ragu
digambarkan oleh Brigadir Jenderal William Looney, ‘Mereka mengetahui
bahwa kita menguasai negara mereka… Kita mendikte cara bicara dan cara
hidup mereka. Dan itulah hal terhebat tentang AS sekarang ini. Itu hal yang
bagus, khususnya ketika di sana ada banyak sekali minyak yang kita butuhkan’
[Dr. Eric Herring, ‘Iraq: the Realities of Sanctions and the Prospects for
War’, October 2002].
10. Karena itu, kekuasaan AS dan Inggris terhadap Timur Tengah bukan hanya
dibentuk oleh penaklukkan, tetapi juga dicirikan oleh kekejian, sesuatu yang
sudah teramat familiar bagi rakyat Irak. Tahun 1919, rakyat Irak dicekam
ketakutan akan gas mustard dan sekarang ini pesawat tempur AS dan Inggris
melanjutkannya dari tempat yang ditinggalkan para pendahulu mereka,
menggunakan maksim Harris ‘Pembom’, menjatuhkan ‘sebuah bom di setiap
desa yang banyak omong’ [Martin Wrollacott, ‘Getting the Dosage Right’,
Guardian 19 Januari 1993]. Kebiadaban seperti itu merupakan hakikat
kolonialisme Barat dan tidakkah mengherankan ketika Presiden Bush
mengadopsi cara-cara Winston Churchill, yang baru-baru ini dianggapnya
sebagai negarawan panutan. ‘Dia adalah orang yang secara aktif mendorong
penggunaan gas mustard dan memberikan sanksi kepada pilot-pilot Inggris
yang menembaki secara brutal anak-anak dan wanita Irak ketika mereka
melarikan diri dari rumah karena belum membayar pajak’ [David Omissi.,
‘Baghdad and British Bombers’ Guardian, 19 Januari 1991]. Saat itu
Sunday Times menulis, ‘Kita membunuh sekitar 10 ribu orang Arab di awal
musim panas ini. Kita tidak bisa berharap mempertahankan jumlah sebanyak
itu’ [Elie Kedourie, ‘England & the Middle East, the Destruction of the
Ottoman Empire 1914-1921’].
11. Churchill sendiri mengakui kebiadaban nafsu kolonialisme Barat di Irak
dengan mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi bahwa kami adalah orang-orang
yang sangat kejam’ [Mark Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American
Power & World Order’., 1998, hal. 136]. Bahkan ketika mantan Menteri Luar
Negeri AS, Madeline Albright, ditanya apakah kematian setengah juta
anak-anak di Irak merupakan sanksi yang setimpal bagi Irak, dengan tenang dia
menjawab, ‘Saya pikir ini merupakan pilihan yang sangat sulit, tapi kami pikir
memang setimpal’ [Wawancara Lesley Stahl dengan Madeline Albright di
televisi CBS, 1996]. Kekejaman seperti itulah yang kemudian menyebabkan
Koordinator Kemanusiaan PBB di Irak, Denis Halliday, mengundurkan diri. Ia
mengatakan, ‘Saya mengundurkan diri karena kebijakan sanksi ekonomi itu
benar-benar menyengsarakan. Kita sedang berada dalam proses
penghancuran masyarakat secara keseluruhan…. Saya diberi mandat untuk
menjalankan kebijakan yang akan termasuk ke dalam pengertian genosida;
suatu kebijakan yang secara efektif telah membunuh lebih dari satu juta anak
dan orang dewasa’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq; the Realities of Sanctions and
the Prospects for War’, October 2002]. Bisa jadi pembenaran moral atas
kejahatan Barat terlihat dalam pandangan para pengambil kebijakan Inggris
yang menggambarkan orang Irak sebagai orang-orang yang ‘kejam, kasar, dan
suka berkuasa’ [Louis, ‘The British Empire in the Middle East’, hal. 159].
Atau mungkin pandangan mantan Duta Besar Inggris di Iran dapat memberikan
sedikit pencerahan, ia mengatakan, ‘orang yang berpikiran primitif lebih
mudah memeluk Islam dengan lima kewajibannya yang simpel itu’ [Ibid, hal.
60].
12. Terlihat adanya paradoks ketika para ideolog Barat mengaku dirinya sebagai
pembebas, padahal pemerintahan mereka, bukan hanya di Timur Tengah tetapi
juga di dunia, tidak memiliki apapun kecuali kebijakan keji yang dirancang
untuk orang-orang yang dijajah. Bagaimanapun juga harus diperhatikan bahwa
para politisi Barat menjadi sangat bersungguh-sungguh terhadap ideologi
mereka karena inilah realita kapitalisme. Bahkan mereka sangat bangga akan
peninggalan yang mereka wariskan, seperti yang tanpa malu-malu diungkapkan
Blair, ‘Inggris telah menjadi kekuatan utama di dunia selama beberapa abad’
dan ‘tak ada satupun patriotis Inggris yang rela melepaskan status itu’ [Mark
Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American Power & World Order’.,
1998, hal. 49]. Bahkan prinsip ‘membangun bangsa (nation building)’ tidak
mengalami perubahan sejak abad ke-19. Ketika Mesir mengembangkan industri
tekstilnya pada tahun 1830-an, pada saat yang sama Eropa sedang mengalami
revolusi industri. Eropa mencoba mencegah industrialisasi di dunia Islam. Pada
tahun 1817 konsul Perancis memperingatkan, ‘Pabrik-pabrik sutera yang
didirikan di Mesir akan menghantam sutera Italia, dan bahkan sutera kita’
[Noam Chomsky., ‘World Orders, Old and New’., 1998, hal. 117]. Inggris
pun ‘tidak menghendaki adanya sebuah negara merdeka baru di Mediterania,
negara yang secara ekonomi dan militer memiliki kekuatan yang membuatnya
mampu memantau kemajuannya di daerah itu dan Teluk Persia’ [ibid]. Oleh
karena itu Inggris berkonspirasi untuk mencegah kemajuan ekonomi dan
industrialisasi di Mesir dengan mengirimkan angkatan lautnya ‘untuk
menghancurkan usaha Mesir memperjuangkan kemerdekaan dan
perkembangan ekonomi’ [ibid], sesuatu yang terus-menerus dilakukan Barat
sebagaimana terbukti di Irak. Economist mengatakan, ‘Negara kesejahteraan
Irak sampai saat ini merupakan salah satu negara yang paling komprehensif
dan murah hati di dunia Arab’ [Dr. Eric Herring, ‘Iraq; the Realities of
Sanctions and the Prospect of War’, October 2002]. Namun sebagai bangsa
yang menyombongkan diri dengan konsep negara kesejahteraannya, Barat telah
membebankan utang kepada Irak sebesar US$ 200 juta dengan bunga berlipat
ganda, yang membuat Irak berada berdampingan dengan Rwanda dalam rasio
utang terhadap ekspor. Hal itu membuat orang-orang Irak akan memiliki utang
selama beberapa generasi ke depan. Konsep ‘masyarakat bebas’ telah
mengurangi status Irak atas apa yang disampaikan PBB dalam laporan tahun
1991 sebagai, ‘hasil yang terungkap dari infrastruktur ekonomi dari
masyarakat yang, hingga Januari 1991, terkena dampak urbanisasi dan
mekanisasi… Untuk beberapa lama peringkat Irak akan seperti negara masa
pra-industri’.

Persaingan Imperialis
13. Dari paparan di atas, terlihat bahwa penjajahan dan kekejaman merupakan ciri
abadi peradaban Barat, dan masalah-masalah di Timur Tengah telah diperburuk
selama berabad-abad dengan persaingan Barat yang mencapai puncaknya pada
Perang Dunia I dan II. Apa yang kita lihat sekarang ini adalah sama dengan
ketika Napoleon mencoba melemahkan kekuatan Inggris dengan menyerang
Mesir pada tahun 1798. Doktrin sekular telah menggerakkan ‘dunia bebas’
untuk memaksakan fundamentalisme imperial mereka kepada rakyat Timur
Tengah, sebagai bagian upaya negara-negara Barat dalam mencari pengaruh
dan dominasi dunia. Serangan politis terhadap dunia Islam yang dimulai pada
abad ke-18 terus berlangsung hingga abad ke-21 ini. Joseph Chamberlain
mengatakan ambisi negara pada abad ke-9 sebagai upaya ‘membentuk sebuah
imperium’ [Ronald Hyam., ‘Britain’s Imperial Century 1815 to 1914’.,
1976, hal. 2]. Kata-kata inilah yang mengilhami ambisi Perdana Menteri Blair
‘untuk mengembalikan kekuatan kita agar bisa sejajar dengan kekuatan besar
lain’ dan ‘untuk meraih kepentingan Inggris dengan sungguh-sungguh,
terus-menerus, dan mantap’ [Mark Curtis, ‘The Great Deception
Anglo-American Power and World Order’].
14. Pada abad ke-19, Inggris terobsesi dengan kemunduran Khilafah Utsmaniyah
dan bagaimana hal tersebut akan berdampak terhadap pengaruh Inggris dan
keseimbangan kekuatan internasional. Lord Palmerston mengatakan,
‘kepentingan Inggris meliputi seluruh dunia’ [Ronald Hyam, ‘Britain’s
Imperial Century 1825-1914; A Study of Empire and Expansion’, 1976,
hal. 3] dan kepentingan inilah yang coba dilindungi dari ambisi Perancis dan
Rusia, yang berada dalam keadaan terkepung setelah runtuhnya Khilafah
Utsmaniyah. Oleh karena itu, para negarawan imperialis memperdebatkan
apakah mereka harus mereformasi Khilafah di Eropa agar menjadi protektorat
Eropa atau membagi-bagi ke-Khilafahan secara damai di antara negara-negara
Barat. Sebelum menjadi Menteri Luar Negeri pada tahun 1878, Lord Salisbury
mengatakan, ‘… memelihara kepentingan Inggris dengan mempertahankan
Khilafah Utsmaniyah adalah hal yang tidak praktis dan saya pikir sekarang
adalah saatnya untuk mempertahankan kepentingan Inggris secara langsung
dengan beberapa pengaturan wilayah. Saya khawatir, ketika kita mencapai
kesepakatan beberapa tahun kemudian, maka satu dari dua hal akan terjadi.
Entah apakah Perancis akan memulihkan kembali posisinya dan merasa iri
akan perluasan kekuatan kita di Mediterania, atau Jerman akan menjadi
kekuatan di lautan. Kemungkinan-kemungkinan ini akan menyulitkan kita
dalam menyiapkan basis, kalau-kalau kita kehilangan Konstatinopel’ [Elie
Koudrie., ‘England and the Middle East; the Destruction of the Ottoman
Empire 1914-1921’., hal. 21].
15. Dalam perjalanan sejarahnya, Amerika Serikat juga menghadapi tantangan
yang sama dalam kepemimpinan globalnya mengingat AS pun menghadapi
masalah kevakuman politis yang disebabkan oleh runtuhnya kekuatan adidaya.
Abad 19 merupakan abad keruntuhan Khilafah Utsmaniyah yang sangat
berpengaruh terhadap perimbangan kekuatan internasional dan kepentingan
Inggris. Sedangkan akhir abad 20 merupakan keruntuhan negara Uni Soviet,
yang menciptakan rekonfigurasi konteks geopolitis, yang gelombangnya masih
terasa hingga abad 21. Hal itu telah menyita perhatian pemerintahan AS.
Mantan Menteri Luar Negeri, Warren Christopher, menyatakan, ‘sebagai
satu-satunya negara adidaya yang tersisa, kita memiliki kesempatan yang
belum pernah kami peroleh sebelumnya, yaitu membentuk dunia sesuai yang
kita inginkan’ [Mark Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American
Power and World Order’., 1998, hal. 35], dan setelah peristiwa 11
September, Amerika mencoba mengeksploitasi kesempatan yang terbuka lebar
untuk menata ulang Timur Tengah. Sebuah laporan dari Presidential Study
Group memperlihatkan perdebatan di kalangan negarawan AS di abad 21.
Laporan yang diberi judul ‘Navigating through Turbulence; America and the
Middle East in a New Century’ itu menggambarkan tantangan strategis pasca
era perang dingin. ‘Pada tanggal 20 Januari 2001, presiden baru akan
menempati kantor selagi di Timur Tengah situasi makin membahayakan.
Selagi beberapa negara di wilayah Teluk masih mencari bentuk hubungan
politis dan militer dengan Amerika Serikat, hubungan Arab-Israel berada
dalam kondisi kritis, keradikalan wilayah Teluk muncul kembali, dan kondisi
rakyat di dunia Arab yang mengkritisi kebijakan AS. Secara keseluruhan,
situasi strategis Amerika di Teluk lebih banyak tantangannya ketimbang
peluangnya’ [Presidential Study Group, ‘Navigating Through Turbulence;
America & the Middle East in a New Century’, Washington Institute for
Near East Affairs, 12 Desember 2000, hal. 7].
16. Puncak pengkajian ulang kebijakan luar negeri AS tertera dalam Strategi
Keamanan Nasional (National Security Strategy-NSS) yang diterbitkan pada
bulan September 2002. Max Boot, seorang jurnalis dan penulis ‘the Savage
Wars of Peace; Small Wars & the Rise of American Power’,
menggambarkannya sebagai ‘pernyataan kebijakan luar negeri AS yang
signifikan sejak NSC 68, naskah tahun 1958 yang menyusun doktrin
penahanan’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post,
14 Oktober 2002] karena NSS menetapkanan prinsip-prinsip bagi pandangan
dunia baru di era pasca Perang Dingin. Dapat dikatakan bahwa Presiden Bush
menapaki jalan yang dulu pernah ditempuh para pendahulunya yang selalu
membuat perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dimulai dengan
doktrin Truman, diikuti doktrin Eisenhower, dan sekarang Presiden Bush
memiliki doktrinnya sendiri bagi kebijakan luar negeri AS. Dalam State of the
Union pada bulan Januari 2002, ia menyebutkan tiga prinsip kunci doktrin
Bush. Prinsip pertama menekankan pada upaya mempertahankan
kepemimpinan AS di dunia; strategi Bush menyatakan, ‘pasukan kami cukup
kuat untuk menghadapi lawan yang berpotensi mencapai pengembangan
militer dengan harapan bisa melebihi atau minimal menyamai kekuatan
Amerika Serikat’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington
Post, 14 Oktober 2002]. Kedua, AS akan melakukan pre-emptive attack
terhadap ancaman-ancaman potensial; Presiden Bush mengatakan bahwa
‘musuh Amerika memandang seluruh dunia sebagai medan pertempuran’ dan
bersumpah akan ‘memburu mereka di manapun mereka berada’ [Schimtt and
Donelly, ‘The Bush Doctrine’, 30 Januari 2002]. William Kristol, mantan
Kepala Staf Gedung Putih untuk Wakil Presiden menjelaskan, ‘Pada tahun
1947, Harry Truman membalikkan kebijakan pasca Perang Dunia II mengenai
penarikan diri dari Eropa, dan menggiring AS untuk menghambat dan
menantang Uni Soviet. Pada tahun 1981, Ronald Reagan membalikkan
kebijakan pengurangan tegangan antar negara (detenta) yang gagal dan
bertekad untuk menumbangkan komunisme. Pada Selasa malam, George W.
Bush mengakhiri dekade yang penuh sikap malu-malu serta saling menunggu
dan berkomitmen menghilangkan ancaman tirani musuh yang mengembangkan
senjata pemusnah massal. Ini sama dengan apa yang dilakukan Truman dan
Reagan. Ini tidak akan mudah sekaligus menyakitkan. Tapi inilah harga bagi
sebuah negara besar’ [William Kristol, Taking the War Beyond Terrorism,
Washington Post, 31 Januari 2002]. Akhirnya, sama seperti semua ideolog
terdahulu, perjuangan terkenal untuk mempromosikan prinsip demokrasi
liberal disebarluaskan. Para pemikir pada Project for the New American
Century mengatakan, ‘Doktrin Bush sangat terkenal dan berbeda. Ini bukan
multilateralismenya Clinton; sang presiden tidak memohon kepada PBB,
menyatakan kepercayaan terhadap (perjanjian) pengendalian senjata, atau
menumbuhkan harapan untuk ‘proses perdamaian’. Ini pun bukan realisme
perimbangan kekuatan yang diusung sang ayah, Bush senior. Ini lebih
merupakan penegasan kembali bahwa keberlangsungan keamanan dan
perdamaian hanya bisa dimenangkan dan dipertahankan dengan cara
memaksakan kekuatan militer AS dan prinsip politik Amerika’.
17. Oleh karena itu, AS sang imperialis itu mengulangi kepentingan strategis
saudara mereka, yakni Inggris, di abad ke-19, karena seperti halnya Inggris, AS
pun berusaha keras mempertahankan kepemimpinan mereka di dunia dan
kontrol atas wilayah Timur Tengah merupakan titik sentral yang amat vital
untuk mencapai tujuan tersebut. Sejak pemerintah Inggris menyadari
bahwasanya kontrol atas minyak merupakan ‘nilai yang vital bagi setiap
kekuatan yang ingin memiliki pengaruh atau dominasi atas dunia’
[‘Introductory Paper on the Middle East’, FRUS, 1947, Vol. V, hal. 569],
Menteri Luar Negeri Inggris, Selwyn Lloyd pada tahun 1956 menulis, ‘Kita
harus mempertahankan kontrol atas minyak ini apapun risikonya’ [Pesan dari
Menteri Luar Negeri Inggris Lloyd untuk Menteri Luar Negeri AS Dulles,
23 Januari 1956, FRUS, 1955-1957, Vol. XIII, hal. 323]. AS tidak terlalu
jauh tertinggal dalam menyadari pentingnya hal ini –pada tahun 1953 Dewan
Keamanan Nasional mengatakan, ‘Kebijakan Amerika Serikat adalah
mempertahankan sumber minyak di Timur Tengah agar tetap berada di tangan
Amerika’ [Mohammad Haekal., ‘Cutting the Lions Tail; Suez Through
Egyptian Eyes’., 1986, hal. 38] dan pada tahun 1945 Departemen Luar Negeri
AS menyatakan, ‘Sumber-sumber (minyak) itu menjadi sumber kekuatan
strategis yang sangat menakjubkan, dan merupakan salah satu materi paling
bernilai dalam sejarah dunia… barangkali nilai ekonomis tertinggi di dunia
dalam bidang investasi luar negeri’ [Sejarah Departemen Luar Negeri AS,
1945, Vol. 8, hal. 45]. Karena itulah, AS mencoba mempertahankan
kepemimpinannya di dunia dengan cara mengamankan kontrol atas kekayaan
minyak wilayah Teluk, dengan maksud ‘mencegah munculnya musuh dalam
wujud hegemoni atau koalisi regional’ [Conetta dan Knight, ‘Military
Strategy Under Review, Foreign Policy in Focus’, Vol. IV No. 3, Januari
1999], sebagaimana digambarkan dalam Quadrennial Defence Review yang
diserahkan oleh mantan Menteri Pertahanan, William Cohen, kepada Kongres
AS pada bulan Mei 1997. Paul Wolfowitz juga merefleksikan ambisi AS
mendominasi dunia dalam dokumen rencana yang mengatakan bahwa AS harus
‘mempertahankan mekanisme untuk bahkan menghambat ambisi pesaing
potensial untuk mendapat peran regional atau global yang lebih besar’ [Max
Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post, 14 Oktober 2002].
18. Dengan sendirinya, hal ini membuat AS terlibat konflik dengan negara-negara
kolonialis lain dan telah mencapai puncaknya di PBB. AS, dengan
unilateralismenya, telah mendesak Presiden Perancis, Chirac, untuk
memberikan peringatan dini akan bahaya yang akan timbul, ketika Chirac
mengatakan, ‘Hal ini juga mempertaruhkan masa depan hubungan
internasional’ [‘UN only legitimate framework for action on Iraq’,
Egyptian Gazette, 18 Oktober 2002]. Namun sejak PD II, secara diam-diam
AS berupaya melikuidasi pengaruh Eropa dan Inggris di Timur Tengah, dan
inilah hal yang paling ditakuti Chirac. Pada tahun 1947, AS mengumumkan
berakhirnya kekuasaan Inggris di Timur Tengah kepada Kedutaan Besar
Inggris di Washington. Miles Copeland menulis, ‘Dua pesan itu merupakan
pemberitahuan resmi bahwa masanya Pax Britannica, yang telah memegang
kekuasaan di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad, sudah
berakhir’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’., 1989, hal. 145]. Inilah
awal pertentangan sengit Anglo-Amerika di Timur Tengah yang memuncak
dengan adanya permainan kudeta dan kudeta balasan. Di Mesir, AS menggusur
rezim boneka Inggris Raja Farouk, dan dengan kalem Miles Copeland
menceritakan masalah tersebut, ‘CIA melihat adanya sebuah kesempatan. Kami
memutuskan kontak resmi dengan SIS Inggris’, selanjutnya ia kisahkan,
‘Sehingga pada tanggal 23 Juli 1952, kudeta terjadi secara mendadak tanpa
menemui rintangan, dengan dipimpin oleh Jenderal Mohammed Naguib.
Selama enam bulan berikutnya, kontak dengan Nasser, Revolutionary
Command Council (RCC=Dewan Komando Revolusioner)-nya Nasser, dan
para pejabat sipil dilakukan hanya ‘secara langsung’ di kedutaan kami,
termasuk sang duta besar Caffery sendiri’ [Miles Copeland., ‘The Game of
Nations’., 1989, hal. 145].
19. Dengan demikian krisis Irak yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan
pertentangan di antara kekuatan-kekuatan Barat. Di awal abad ke-20,
negara-negara Eropa meributkan masalah pembagian tanah Khilafah di antara
mereka, dan seabad kemudian mereka mempersoalkan pembagian
sumber-sumber kekayaan kawasan Teluk di antara mereka, sementara AS
senantiasa mencoba mendapat porsi terbesar. Pakar Rusia dari Carnegie
Endowment Institute, Michael McFaul, mengatakan, ‘Presiden Rusia, Putin,
dan pemerintahannya percaya bahwa AS akan terus maju dengan atau tanpa
Rusia, sehingga Rusia mencoba…mengambil apa yang mereka bisa ambil dari
Amerika’. Sementara Paul Sanders, Direktur Institut Nixon, mengatakan,
‘Minyak merupakan hal yang paling utama… ada ketakutan di Rusia bahwa
bilamana AS mengganti rezim di Irak, maka semua kontrak minyak akan
beralih ke AS sehingga Rusia akan ditinggalkan’ [Eric Boehlert, ‘At the UN
its all about the Money’, 14 Oktober 2002]. Dalam konteks ini kita bisa
melihat negara-negara Barat saling bersaing memperoleh kekuasaan, saling
berebut untuk mengamankan kepentingan minyak mereka di Irak, sebuah
perebutan yang mengingatkan kita terhadap kolonialisasi Eropa atas Afrika
pada abad 19. Kebijakan AS adalah mencoba melemahkan berbagai pengaruh
dan kontrol Eropa di Irak, sebagaimana dikatakan Michael O’Hanlon dari
Brookings Institute kepada The House Armed Services Committee, ‘Wilayah
yang ditempati Irak merupakan daerah yang sangat kritis bagi kepentingan AS
sehingga kita tidak bisa masuk begitu saja, menggulingkan Saddam, dan
membiarkan orang lain membersihkannya… Irak, tidak seperti Afghanistan,
terletak di jantung Arab, sebuah wilayah yang stabilitasnya sangat penting
bagi kepentingan AS’ [Michael O’Hanlon, Anggota Senior, Brooking,
Kesaksian di hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR AS, 2 Oktober
2002]. Karenanya, perubahan rezim di Irak merupakan upaya merealisasikan
cita-cita AS dalam ‘membentuk lingkungan’ Timur Tengah menurut sudut
pandangnya sendiri [Carl Conetta dan Charles Knight, ‘Military Strategy
Under Review’, Foreign Policy in Focus Vol. IV No. 3, Januari 1999].
Perubahan rezim bahkan akan memecah wilayah Irak menjadi beberapa bagian,
sesuatu yang telah AS upayakan sejak akhir Perang Teluk tahun 1991, namun
selalu gagal. Pada bulan September 1998, di hadapan The House National
Security Committee, Deputi Menteri Pertahanan, Paul Wolfowitz, menguraikan
tipu muslihat Amerika dalam melakukan kontrol atas Irak, ‘Membangun zona
aman yang terlindungi di bagian Selatan, di mana pihak oposisi Saddam bisa
berkumpul dan mengorganisir, akan memungkinkan… pemerintahan
sementara mengontrol ladang minyak terbesar di Irak dan membuka
ketersediaan minyak, di bawah pengawasan internasional, sumber-sumber
keuangan yang luar biasa besarnya untuk tujuan politis, kemanusiaan dan
akhirnya, tujuan militer’ [Pernyataan Paul Wolfowitz perihal Kebijakan AS
terhadap Irak, 18 September 1998]. Dukungan Donald Rumsfeld dan Paul
Wolfowitz terhadap sepucuk surat yang disponsori oleh The Project for a New
American Century lebih jauh lagi membuktikan kebijakan AS, ‘menyerukan
pendirian pemerintahan sementara dan berdaulat di wilayah Utara dan
Selatan Irak yang tidak berada di bawah kontrol Saddam… pasukan militer AS
dan sekutu harus dipersiapkan untuk mendukung pihak oposisi Irak dan
bersiap-siap… untuk membantu menggusur Saddam dari tampuk kekuasaan’
[‘Memorandum to Opinion Leaders’ from Tom Donnelly, Deputy
Executive Director of the Project for the New American Century, 6 Juli
2001].
20. Tidak diragukan lagi krisis Irak merupakan episode lanjutan dari rivalitas
kolonialis yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Pada awal abad
ke-20, Inggris dan Perancis membagi Khilafah Utsmaniyah ke dalam
negara-negara boneka, salah satunya adalah Irak, dan di awal abad ke-21, AS
berusaha menandingi imperialisme Eropa dengan, bahkan, memecah-belah
Irak. Mereka menundukkan rakyat dengan menyebarluaskan racun ideologis,
yang baik dahulu maupun sekarang selalu menjadi dorongan di balik
gerakan-gerakan nasionalis yang menimbulkan penderitaan berkepanjangan
bagi kaum Muslim. Bencana ideologis yang lahir pada zaman Renaissance
telah membuat dunia Barat tidak hanya menjajah Timur Tengah tetapi juga
Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Sejarahnya dipenuhi dengan janji-janji
hiprokrit, argumentasi palsu dan tipu muslihat. Sebelumnya, sejarah dunia tidak
pernah mengalami ketidakadilan, korupsi dan kesenjangan ekonomi yang
demikian parah. Dengan hancurnya Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret
1924 oleh negara-negara kolonialis, maka hilang jualah satu-satunya negara
yang mengemban kepemimpinan ideologis sejati dan yang menjadi alternatif
ideologis selain Kapitalisme Barat. Para kolonialis telah menghancurkan
negara tersebut dan memecah-belah penduduknya pada saat rasa persaudaraan,
cinta dan kasih sayang telah terjalin kuat di antara mereka. Selanjutnya mereka,
kolonialis itu, menabur benih perang di Palestina. Padahal selama
berabad-abad, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen telah hidup berdampingan di
sana dengan penuh martabat, kehormatan, dan keadilan, di bawah naungan
Islam. Bukan hanya itu saja, mereka pun memaksakan penerapan sistem aturan
mereka melalui para rezim diktator di atas puing-puing Khilafah. Rezim-rezim
yang akan melindungi kepentingan-kepentingan Barat dengan cara mencegah
berdirinya kembali Negara Khilafah melalui perjuangan damai. Untuk
membungkam perjuangan damai itu, rezim-rezim tersebut bahkan tega
melakukan pembunuhan, penahanan dan penyiksaan, karena Khilafah
merupakan satu-satunya negara yang akan benar-benar menjadi tandingan
ideologis bagi kapitalisme liberal Barat.
21. Oleh karena itu, kolonialisme terasa begitu hidup karena ia memang bagian
integral dari eksistensi peradaban Barat, dan doktrin Bush sebagaimana juga
doktrin imperialisme liberal baru yang diajukan oleh Robert Cooper,
merupakan produk kolonialisme masa kini. Masa yang oleh para pemikir Barat
disebut sebagai sebuah peralihan menuju ‘abad informasi’ atau ‘era pasca
industri’ yang digambarkan futuris Alvin Toffler sebagai lahirnya sebuah
peradaban baru. Namun, selagi Barat berupaya membangun infrastruktur baru
untuk menciptakan kemakmuran yang akan memajukan peradaban barat,
landasan bagi kemajuan ini tetap berakar pada doktrin sekular dan
masalah-masalah sosial yang terus bertambah sebagai hasil perubahan zaman
itu, bukan semata-mata hasil perubahan seperti yang dikemukakan oleh para
pemikir Barat, melainkan berasal dari kontradiksi filsafat Barat. Kemelut sosial
yang terjadi di Dunia Kesatu dan di Dunia Ketiga merupakan hasil ideologi
sekular dan globalisasi telah benar-benar menampakkan kejahatan kolonialisme
Barat. Tumbuhnya independensi bangsa-bangsa dan perkembangan informasi
telah membuka mata para pemikir Barat terhadap masalah-masalah kapitalisme
global dan karakter imperialisnya. Menciptakan tatanan internasional untuk
keamanan dan kesejahteraan tidak akan mengakhiri ketidakadilan, karena
tatanan tersebut dibentuk dalam konteks sekular, seperti halnya kolonialisme
yang juga lahir dari filsafat sekular.
Kesimpulan

Dokumen yang kami susun ini secara politis dan intelektual menyoroti dua
hal; motif sesungguhnya yang ada di balik perang terhadap Irak, dan kebijakan luar
negeri kolonial Barat. Dokumen ini dengan jelas memperlihatkan kepada para
pengamat yang memiliki kesadaran, bahwa dunia yang kita tempati sekarang sama
sekali tidak memiliki kepemimpinan sejati. Kapitalisme telah gagal
mempersatukan umat manusia, memajukan sarana-sarana material, mencerahkan
pemikiran mereka dan mengabaikan hasrat mereka akan peningkatan spiritual dan
intelektual. Nyatanya, kapitalisme malah membawa dunia menuju jurang
kehancuran. Mayoritas penduduk dunia berada dalam keadaan tertindas, sementara
yang minoritas mengeruk kekayaan dan sumber daya mereka. Ketidakseimbangan
ini dilegitimasi oleh kotak suara, di mana rakyat diberikan sejuta mimpi dan
harapan untuk sekadar melihat pemerintahan demi pemerintahan yang malah
semakin mempererat hubungan mereka dengan kekuasaan korporasi. Ideologi
seperti ini tidak dapat memimpin manusia keluar dari kegelapan menuju
kebangkitan yang hakiki.
Jadi, kami menyerukan perubahan kepada dunia. Bukan perubahan seperti
yang diramalkan Bush terhadap Irak, sekadar perubahan orang, perubahan rezim
–karena kita telah melihat rezim-rezim yang diganti oleh CIA, sehingga dunia
dikotori oleh Hamid Karzai-Hamid Karzai lain. Yang dibutuhkan dunia saat ini
adalah sebuah peninjauan ulang yang mendasar, tentang bagaimana hidup dan
sistem kehidupan itu dipandang. Perubahan yang kami ajukan adalah ideologi
Islam –solusi yang jelas dan satu-satunya terhadap penyakit yang kita derita.
Islam ideologis sudah lama ditindas oleh negara-negara Kapitalis. Kami,
sebagai Muslim, tetap berpendirian bahwa Islam telah memberi landasan yang
cerah yang melahirkan sistem hidup yang mumpuni; sebuah ideologi yang
memperlakukan semua permasalahan secara tepat, bertanggung jawab dan
seimbang. Islam tidak melarang kemajuan materi, namun Islam pun tidak
menjadikan materi sebagai kekuatan pendorong masyarakat, sehingga menafikan
nilai-nilai moral, spiritual dan kemanusiaan, seperti yang sekarang ini kita saksikan
terjadi di Barat. Politik Islam tidak berlandaskan atas prinsip-prinsip amoral Barat,
yang menjadikan ketercapaian kepentingan materi berada di atas segalanya,
sampai-sampai manusia kehilangan nilai-nilai kehidupan.
Satu-satunya proses penerapan Islam secara praktis ialah melalui pendirian
Negara Islam (Khilafah). Dengan absennya Khilafah dari percaturan politik dunia
sejak tahun 1924, dunia berada dalam genggaman kekuasaan tanpa belas kasih
yang berasal dari ideologi yang kini mengalami kemerosotan. Ideologi yang tidak
mengenal batas maupun rasa kemanusiaan. Saat ini, kaum Muslim di seluruh dunia
menyerukan berdirinya kembali Khilafah, karena memang itulah satu-satunya cara
yang dapat membebaskan kita dan bahkan dunia dari kapitalisme.
Kami mendorong Anda untuk memenuhi seruan perubahan ideologi
–sekaranglah saatnya bagi Anda untuk mempelajari Islam sebagai alternatif
ideologis.

Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8)
Lampiran 1

Berikut ini adalah beberapa ‘prestasi’ Bush selama 20 bulan pertama masa
kepresidenannya.
1. Memotong anggaran belanja negara untuk perpustakaan sebesar US$ 39 juta.
2. Memotong anggaran pelatihan ilmu kesehatan anak-anak lanjutan bagi dokter
sebesar US$ 35 juta.
3. Memotong anggaran penelitian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui
sekitar 50%.
4. Menunda pemberlakuan peraturan yang akan mengurangi kandungan arsenik
pada air minum.
5. Memotong anggaran penelitian kendaraan bermotor yang lebih bersih dan
efisien sebanyak 28%.
6. Mencabut aturan yang memperkuat kekuasaan pemerintah untuk membatalkan
kontrak dengan perusahaan yang melanggar undang-undang federal,
undang-undang lingkungan dan standar keselamatan kerja.
7. Melanggar janji kampanye untuk mengalokasikan dana sebesar US$ 100 juta
per tahun untuk konservasi hutan tropis.
8. Mengurangi Community Access Program (Program Akses Masyarakat)
sebanyak 86%, yaitu program yang mengkoordinir layanan kesehatan dari
rumah sakit umum, klinik, dan jasa pelayanan kesehatan lain, untuk
orang-orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
9. Menghilangkan proposal yang ditujukan untuk meningkatkan akses publik
terhadap informasi mengenai potensi ramifikasi kecelakaan pabrik bahan
kimia.
10. Menarik perjanjian Protokol Kyoto 1997 mengenai pemanasan global, yang
telah ditandatangani oleh 178 negara lain.
11. Menolak persetujuan internasional untuk menjalankan traktat tahun 1972
mengenai pelarangan senjata kuman.
12. Memangkas US$ 200 juta dari program pelatihan angkatan kerja bagi para
pekerja yang di-PHK.
13. Memangkas US$ 200 juta dari hibah Childcare and Development, sebuah
program yang memberi layanan perawatan bagi anak-anak yang berasal dari
keluarga berpenghasilan rendah yang membuat anak-anaknya harus bekerja.
14. Memangkas US$ 700 juta dana perbaikan perumahan umum.
15. Menggusur peraturan ergonomis tempat kerja yang dirancang untuk menjamin
kesehatan dan keselamatan pekerja.
16. Mengalokasikan hanya 3% dari jumlah yang diminta pengacara Departemen
Kehakiman dalam lanjutan proses litigasi pemerintah melawan perusahaan
tembakau.
17. Memaksakan potongan pajak, 43% di antaranya diperuntukkan bagi kalangan
terkaya di AS, yang hanya 1% dari total penduduk AS.
18. Memotong US$ 15,7 juta dari program yang mengurusi masalah penelantaran
dan penganiayaan anak.
19. Mengusulkan penghapusan program ‘Reading is Fundamental’, yang memberi
buku-buku gratis kepada anak-anak miskin.
20. Mendorong pengembangan ‘nuklir mini (mini-nukes)’, yang didisain untuk
menyerang sasaran yang terkubur sangat dalam –berarti pelanggaran terhadap
Comprehensive Test Ban Treaty.
21. Berupaya membalikkan regulasi yang melindungi 60 juta ha hutan nasional dari
penebangan dan pembangunan jalan.
22. Menunjuk Eksekutif Monsanto, Linda Fisher, menjadi deputi administrator
Environmental Protection Agency.
23. Menunjuk seorang ahli lobi minyak dan batubara, J. Steven Giles, menjadi
Deputi Menteri Dalam Negeri AS.
24. Mengusulkan penjualan minyak dan lahan di kawasan suaka alam Alaska.
Lampiran 2

Berikut ini adalah beberapa bidang di mana Amerika Serikat dapat berbangga hati
dengan menjadi negara nomor satu di dunia.
1. Dalam korban tewas akibat senjata api.
2. Dalam penggunaan energi per kapita.
3. Dalam emisi karbondioksida (lebih dari emisi gabungan Australia, Brazil,
Kanada, Perancis, India, Indonesia, Jerman, Itali, Meksiko, dan Inggris
sekalipun).
4. Dalam sampah kota total dan per kapita (720 kg per orang per tahun).
5. Dalam produksi sampah yang berbahaya (dengan sebuah faktor lebih dari dua
puluh kali pesaing terdekat Amerika, Jerman).
6. Dalam konsumsi minyak.
7. Dalam konsumsi gas alam.
8. Dalam jumlah pengeluaran pemerintah negara bagian dan federal terminim
(prosentase dari GDP).
9. Dalam konsumsi kalori per kapita per hari.
10. Dalam kehadiran pemilih pemilu terendah.
11. Dalam minimnya jumlah keterwakilan partai politik yang diwakili dalam lower
atau single house.
12. Dalam jumlah pemerkosaan yang tercatat (hampir tiga kali lebih besar dari
pesaing terdekat –yaitu Kanada).
13. Dalam jumlah korban cedera dan meninggal akibat kecelakaan di jalan raya
(hampir dua kali lipat dari peringkat kedua –yakni Kanada).
14. Nomor satu di antara negara-negara anggota PBB dengan pemerintah yang sah
yang tidak meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak.
15. Dalam jumlah eksekusi yang diketahui atas pelaku penyerangan terhadap
anak-anak.
16. Dalam hal kemungkinan anak-anak di bawah usia 15 tahun mati akibat senjata
api.
17. Dalam hal kemungkinan anak-anak di bawah usia 15 tahun melakukan bunuh
diri dengan senjata api.
18. Dalam nilai matematika terendah untuk siswa kelas 8 (setara kelas 2 SLTP).

i
Covert operations, menurut definisi US Department of Defense (DOD), Interpol
(I), dan Inter-American Defense Board (IADB), adalah operasi yang sangat
terencana dan dieksekusi dengan menyembunyikan identitas atau mengizinkan
penyangkalan yang masuk akal oleh pihak sponsor. Covert operations berbeda
dengan clandestine operations, meskipun sama-sama sering diartikan sebagai
operasi rahasia. Covert operations lebih menekankan masalah ketersembunyian
identitas sponsor dan bukan operasinya itu sendiri (Sumber: Joint Chiefs of Staff,
Department of Defense, JCS Pub 1, 1987, dalam Propaganda and Psychological
Warfare Studies, Glossary – Department of Defense – Military and Associated
Terms).
ii
Preemptive attack adalah serangan yang bersifat pencegahan terhadap pihak atau
pihak-pihak (bisa individu, kelompok, atau negara) yang dianggap akan melakukan
suatu aksi tertentu terhadap negara pelaku preemptive attack.

You might also like