Professional Documents
Culture Documents
Alih Bahasa:
M. Ramdhan Adhi, dkk.
THE WEST’S WEAPONS OF MASS
DESTRUCTION AND COLONIALIST
FOREIGN POLICY
Khilafah Publications
www.mindspring.eu.com
Alih Bahasa:
M. Ramdhan Adhi
Mahardhika Zifana
R. Dian Dia-an Muniroh
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis; Penerjemah, M. Ramdhan Adhi,
dkk.; Penyunting ……………………; Cetakan I Bogor, 2003.
… hlm. ; 14,8 x 21 cm
ISBN …………………………
Statesmen will invent cheap list, putting blame upon the nation that is attacked, and
every man will be glad of those conscience falsities, and will dilligently study them,
and refuse to examine any refutations of them; and thus he will by-and-by convince
himself that the war is just, and will thank God for the better sleep he enjoys after
this process of grotesque self-deception
(Para negarawan akan membuat daftar murahan, menyalahkan bangsa yang
diserang, dan setiap orang akan merasa senang dengan kesalahan secara sadar
itu, dan ia akan rajin mempelajarinya, serta menolak mengkaji setiap penolakan
atasnya; lantas ia akan terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa perang itu adil,
dan akan bersyukur kepada Tuhan atas tidurnya yang lebih nyenyak begitu
selesainya proses penipuan diri sendiri yang demikian fantastis)
[Mark Twain]
Buku ini terbit ketika genderang perang telah ditabuh. Mesin perang AS dan
Inggris bersiap-siap membombardir rakyat Irak yang tak berdosa dalam rangka
perang kolonial dan mengganti rezim bentukan Barat berupa ‘Hamid Karzai versi
Irak’ yang setia.
Pada tanggal 24 September 2002, pemerintah Inggris menerbitkan sebuah
dokumen busuk yang berjudul Iraq’s Weapons of Mass Destruction, yang penuh
propaganda akan tetapi kering dengan fakta. Minimnya fakta itu bukanlah sesuatu
yang mengherankan apabila kita menyimak ucapan Tony Blair pada bulan Agustus
2002, ‘Kami tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi selama 4 tahun
belakangan ini’. Pengakuan atas kebodohannya itu ternyata tidak menyurutkan
langkah untuk menerbitkan ‘dossier of evidence’ (dokumen penuh bukti) tersebut.
Hal ini menunjukkan betapa proses penerbitan dokumen itu tidak lebih dari upaya
untuk menggalang opini publik atas aksi militer terhadap Irak.
Tidaklah mengherankan jika kemudian dokumen yang diterbitkan pemerintah
Inggris tersebut ditanggapi dengan penuh skeptisme dan keraguan, terutama bagi
kalangan Muslim. Mereka sudah sampai pada kesimpulan bahwa ‘perang terhadap
teror’ pada hakikatnya adalah kampanye untuk memperkokoh dan memperkuat
hegemoni dan pengaruh Barat atas negeri-negeri Islam, kaum Muslim, dan sumber
daya alamnya, sebagai upaya represif terhadap setiap bentuk kebangkitan Islam
politik.
Buku kecil ini secara jeli memuat motif-motif sejati di balik serangan AS
terhadap Irak, dengan mengkaji kepentingan strategis, ekonomi, dan politik Barat.
Juga memuat sejarah dunia kontemporer di bawah dominasi ideologi Kapitalisme,
dengan memaparkan penggunaan senjata pemusnah massal oleh Barat, dukungan
Barat terhadap sejumlah penguasa diktator dan tiran yang memiliki reputasi buruk
di sejumlah negara di seluruh penjuru dunia, dengan tanpa mengindahkan
eksistensi PBB dan hukum internasional. Buku ini juga menyajikan sejumlah
dakwaan dan sejarah yang memalukan bagi pemerintahan Barat, ideologi
Kapitalisme dan pandangan kolonialisnya.
Mengumpulkan informasi dan data-data intelijen tentang hal ihwal kebijakan
luar negeri Barat adalah perkara mudah. Rezim Barat-Kapitalis sangat terbuka
dalam menyatakan tujuan riil kebijakan luar negeri mereka. Oleh karena itu, buku
ini mampu menyingkap ‘data-data intelijen secara rinci’. Meskipun seringkali
bersembunyi di balik klaim altruisme, nation building, penegakan HAM dan
demokrasi, akan tetapi tujuan riil kebijakan luar negeri Barat teramat jelas dan
gamblang bagi siapapun.
Selama beberapa dekade, AS berupaya memainkan peranan yang lebih
permanen dalam keamanan kawasan Teluk. Selagi konflik berkepanjangan dengan
Irak memberikan pembenaran, kebutuhan akan hadirnya pasukan AS di Teluk
melebihi isu rezim Saddam Husein. [Rebuilding America’s Defences: Strategies,
Forces and Resources for a New Century].
Eksistensi akan ‘tatanan dunia’ atau hukum internasional, yang mengontrol
hubungan antar negara di dunia, telah berubah menjadi kontrol oleh satu negara,
atau sejumlah kecil negara terhadap negara-negara lain di dunia. Hal ini
mengancam stabilitas internasional dan kedaulatan negara-negara lemah.
Hasilnya, peperangan terjadi dimana-mana hanya karena masalah yang sepele.
Terlebih lagi, tatanan dunia seperti itu memberi kesempatan negara-negara kuat
untuk tanpa sungkan (dan tidak tahu malu) mencampuri masalah dalam negeri dan
tata nilai yang dianut negara lain. Hal ini makin mengokohkan kolonialisme,
arogansi dan tirani, serta perluasan pengaruh dengan memperbudak bangsa-bangsa
lain. Semuanya dilakukan dengan mengatasnamakan hukum internasional dan
tatanan dunia. Jurang antara negara-negara kaya dan miskin, Utara dan Selatan,
Dunia Kesatu dan Dunia Ketiga, menjadi semakin dalam dan lebar.
Walhasil, orang-orang di hampir seluruh dunia, Muslim maupun non-Muslim,
kini menyaksikan sendiri bahwa negara-negara Barat bukanlah sebagai penjaga
kebebasan dan kesempatan (peluang), melainkan penjaga keserakahan dan
kepentingannya sendiri; dengan pengerahan kekuatan militer dan ekonomi yang
menghancurluluhkan kultur negara-negara lain; sebuah bangsa pembajak di darat
maupun di laut, yang semakin kaya di atas penderitaan bangsa-bangsa lain.
Karena itu, ancaman dari negara-negara kolonialis Barat sangat serius dan
nyata di hadapan kita. Upaya mereka mengejar ambisi materialistis di seluruh dunia
harus dihentikan. Setiap orang yang telah memiliki kesadaran wajib untuk melawan
barbarisme Barat.
Buku ini ditutup dengan sebuah pesan yang jelas dan gamblang, yang kini
diemban oleh mayoritas Muslim di seluruh dunia. Sebuah pesan perubahan, bukan
hanya ‘perubahan rezim’, melainkan ‘perubahan ideologi’. Perubahan dalam
tatanan dunia. Sudah saatnya dunia membuang jauh-jauh ideologi Kapitalisme dan
setiap penyakit yang diakibatkan olehnya; untuk kemudian diganti dengan ideologi
yang adil, yang bisa dipahami dan diemban oleh setiap orang di seluruh dunia,
setelah mereka menyaksikan (dan merasakan sendiri) penerapan praktis ideologi
tersebut. Yaitu ideologi Islam.
Komunitas Muslim (Inggris) mengajak Anda mengkaji, memikirkan dan
memperjuangkan perubahan, karena hanya orang-orang yang memiliki kesadaran
saja yang mampu menghentikan Kapitalisme.
Dr. Imran Wahid
3 November 2002 M
28 Sya’ban 1423 H
IKHTISAR
(Executive Summary)
Kesimpulan
Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa Barat tidak dapat dipercaya dalam
hal kepemilikan senjata pemusnah massal. Senjata tersebut telah digunakan secara
sistematis oleh Barat terhadap jutaan orang tak berdosa dalam PD I, PD II, Perang
Vietnam dan bahkan terhadap warga mereka sendiri. Hal ini menunjukkan betapa
anak-anak masa kini dan masa depan tidak boleh lagi dijadikan objek pembantaian
Barat, atau dengan meminjam kata-kata Truman, ‘eksperimen’ berikutnya yang
akan mereka hadapi. Kita pun perlu mengingatkan diri kita sendiri akan nilai-nilai
yang muncul dari pemerintahan Kapitalis-Barat dengan menyimak kembali ucapan
Major Foulkes, salah satu arsitek senjata kimia Inggris, tatkala ia dikirim ke India
pada tahun 1919. Sebagai upaya menekan militer Inggris agar menggunakan
senjata kimia dalam perang melawan Afghanistan, ia berargumentasi bahwa
‘‘Kelengahan, kurangnya instruksi dan disiplin, dan tiadanya perlindungan
terhadap sebagian wilayah Afghanistan dan suku-suku di sana akan meningkatkan
korban akibat penggunaan gas mustard di garis depan’.
BAB 2
Barat dan Hukum Internasional
Salah satu poin penting yang dijadikan alasan pembenaran serangan ke Irak
adalah klaim bahwa Irak telah melanggar berbagai hukum internasional dan tidak
menghormati sejumlah resolusi PBB. Bab ini mencoba mengupas kontradiksi Barat
sendiri tehadap hukum internasional, dan fakta bahwa lima negara anggota tetap
DK PBB mempunyai hak veto, sebuah pilihan yang tidak dimiliki negara-negara
lain seperti Irak.
Kesimpulan
Veto: 1972-1982
Perwakilan
Tanggal
Masalah AS yang Hasil Voting
Pertemuan
Memveto
Palestina: Masalah 10-9-1972 Bush 13-1,1
Syria-Libanon. Tiga draft
resolusi 2/10784
Palestina: Pemeriksaan 2-7-1973 Scali 13-1,0 (Cina
situasi Timur Tengah. tidak
Berkekuatan 8 draft resolusi berpartisipasi
(S/10974) )
Palestina: Masalah Mesir 8-12-1975 Moynihan 13-1,1
lawan Libanon.
Berkekuatan 5 draft resolusi
(S/11898)
Palestina: Masalah Timur 26-1-1976 Moynihan 9-1,3 (Cina &
Tengah, termasuk Libya tidak
pertanyaan di seputar warga berpartrisipas
Palestina. Berkekuatan 6 i)
draft resolusi (S/11940)
Palestina: situasi di daerah 25-3-1976 Scranton 14-1,0
Pendudukan Arab.
Berkekuatan 5 draft
resolusi. (S/12022)
Palestina: Laporan dari 29-6-1976 Sherer 10-1,4
Komisi Hak-hak Warga
Palestina. Berkekuatan 4
draft resolusi. (S/121119)
Palestina: Hak-hak warga 30-4-1980 McHenry 10-1,4
Palestina. Draft resolusi
Tunisia. (S/13911)
Palestina: Dataran tinggi 20-1-1982 Kirkpatrick 9-1,5
Golan. Draft resolusi
Yordania. (S/14832 Rev.2)
Palestina: Situasi di daerah 2-4-1982 Lichenstein 13-1,1
pendudukan. Draft resolusi
Yordania. (S/14943)
Palestina: Insiden Kubah 20-4-1982 Kirkpatrick 14-1,0
Batu di Yerusalem.
Berkekuatan 4 draft
resolusi.
Palestina: Konflik Libanon. 8-6-1982 Kirkpatrick 14-1,0
Draft resolusi Spanyol.
(S/15185)
Palestina: Konflik Libanon. 26-6-1982 Lichenstein 14-1
Draft resolusi Perancis.
(S/15255/Rev.2)
Palestina: Konflik Libanon. 8-6-1982 Lichenstein 11-1,3
Draft resolusi Uni Soviet.
(S/15347/Rev. 1, dilakukan
secara lisan)
Palestina: Situasi di daerah 8-2-1983 Lichenstein 13-1,1
Pendudukan. Berkekuatan
20 Draft resolusi. (S/15895)
Veto-veto dalam Dewan Keamanan PBB/Hasil Voting
Negatif sejak 1983 – sekarang
Subyek Tanggal Hasil Voting
Libanon Selatan: Memberi sanksi atas 6-9-1984 Diveto: 13-1 (AS),
aksi Israel di Libanon Selatan. S/16732. dengan 1 abstain
(Inggris)
Daerah Pendudukan: mengecam keras 13-9-1985 Diveto: 10-1 (AS),
‘Kekerasan Terencana’ oleh Israel dengan 4 abstain
terhadap warga Arab. S/19459. (Australia, Denmark,
Inggris, Prancis)
Libanon: Memberi sanksi atas kekerasan 12-3-1985 Diveto: 11-1 (AS),
Israel terhadap warga di Libanon Selatan. dengan 3 abstain
S/17000. (Australia, Denmark,
Inggris)
Daerah pendudukan: Menyeru Israel agar 30-1-1986 Diveto: 11-1 (AS),
menghargai tempat-tempat suci umat dengan 1 abstain
Islam. S/17769/Rev. 1 (Thailand)
Libanon: Memberi sanksi atas kekerasan 17-1-1986 Diveto: 11-1 (AS),
Israel terhadap warga di Libanon Selatan. dengan 3 abstain
S/17730/Rev.2. (Australia, Denmark,
Inggris)
Libya/Israel: Memberi sanksi kepada 6-2-1986 Diveto: 10-1 (AS),
Israel atas penangkapan pesawat Libya. dengan 4 abstain
S/17796/Rev.1 (Australia, Denmark,
Prancis, Inggris)
Libanon: Draft untuk mengecam keras 18-1-1988 Diveto: 13-1 (AS),
serangan berulang-kali Israel terhadap dengan 1 abstain
wilayah Libanon dan pelanggaran lain (Inggris)
serta praktek kekerasan terhadap
penduduk; (S/19434)
Libanon: Draft pemberian sanksi kepada 10-5-1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel atas invasi terhadap Libanon
Selatan dan kembali menyerukan
penarikan seluruh tentara Israel dari
wilayah Libanon secepatnya; (S/19868)
Libanon: Draft mengecam keras serangan 14-12-1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel terhadap wilayah Libanon pada 9
Desember 1988; (S/20322)
Daerah Pendudukan: Draft menyeru 1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel agar menerima ketetapan de jure
konvensi Jenewa ke-4; (S/19466)
Daerah Pendudukan: Draft menekan 1988 Diveto: 14-1 (AS)
Israel agar tetap mematuhi ketetapan
konvensi Jenewa ke-4, menarik
keputusan pendeportasian warga sipil
Palestina, serta memberi sanksi atas
kebijakan dan tindakan Israel yang
melanggar hak-hak Asasi manusia warga
Palestina di daerah pendudukan;
(S/19780)
Daerah pendudukan: Mengecam keras 17-2-1989 Diveto: 14-1 (AS)
tindakan dan kebijakan Israel di daerah
pendudukan, serta mengecam keras
ketidakpatuhan Israel terhadap berbagai
keputusan Dewan Keamanan PBB.
Daerah pendudukan: Memberi sanksi atas 9-6-1989 Diveto: 14-1 (AS)
kebijakan dan tindakan Israel di daerah
pendudukan
Daerah pendudukan: Memberi sanksi atas 7-11-1989 Diveto: 14-1 (AS)
kebijakan dan tindakan Israel di daerah
pendudukan
Daerah pendudukan: Draft resolusi NAM 31-5-1990 Diveto: 14-1 (AS)
untuk menciptakan sebuah komisi dan
mengirim tiga anggota Dewan Keamanan
ke Rishon Lezion, tempat di mana
seorang Israel yang bersenjata
menembaki tujuh orang pekerja Palestina.
Daerah pendudukan: Pernyataan bahwa 17-5-1995 Diveto: 14-1 (AS)
tindakan pengambilalihan tanah yang
dilakukan Israel di Yerusalem timur
adalah tidak sah dan melanggar berbagai
resolusi Dewan Keamanan serta
ketetapan konvensi Jenewa ke-4;
memberikan dukungan terhadap proses
perdamaian, termasuk Deklarasi Prinsip
13-9-1993
Timur Tengah: Menyeru Pemerintah 7-3-1997 Diveto: 14-1 (AS)
Israel agar menahan diri untuk tidak
melakukan tindakan atau rencana,
termasuk aktivitas pembangunan
pemukiman
Timur Tengah: Meminta Israel 21-3-1997 Diveto: 13-1,1 (AS)
menghentikan konstruksi pemukiman di
Yerusalem timur (tempat yang dinamai
Jabal Abu Ghneim oleh orang Palestina
atau Har Homa oleh orang Israel), beserta
seluruh aktivitas pembangunan
pemukiman di wilayah pendudukan
Menghadirkan pasukan pengamat PBB di 27-3-2001 Diveto: 9-1 (AS),
tepi Barat, Gaza dengan empat abstain
(Inggris, Prancis,
Irlandia dan
Norwegia)
Memberikan sanksi atas tindakan teror, 15-12-2001 Diveto: 12-1 (AS),
meminta untuk menghentikan kekerasan dengan dua abstain
dan meningkatkan mekanisme (Inggris dan
monitoring untuk menghadirkan para Norwegia)
pengamat.
Aliansi Utara
28. Di antara kelompok Afganistan yang bersekutu dengan Barat dalam perang
terhadap terorisme dan Taliban ada yang sangat anti-Amerika, ada para
pelanggar HAM, juga ada mantan sekutu Osama bin Laden dan mantan tentara
rezim komunis. Resminya, mereka bernama United Islamic Front for the
Salvation of Afghanistan (Front Islam Bersatu untuk Pembebasan Afganistan).
Tidak resminya, mereka menyebut diri sebagai Aliansi Utara. Para pejabat AS
menyediakan persenjataan untuk aliansi tersebut yang diperkirakan
berkekuatan 15.000 pasukan, di luar bantuan non-militer yang telah diberikan
Washington sejak 1998. News Media menjuluki aliansi tersebut sebagai para
pejuang kebebasan Afganistan yang baru. Mike Vickers, mantan pejabat CIA
yang kini menjadi direktur bidang kajian strategis Washington-based Centre for
Strategic and Budgeting Assessments mengatakan, ‘Aliansi Utara mungkin
tidak sempurna, tetapi mereka benar-benar memiliki anasir yang sangat
bagus’.
29. Sidney Jones, direktur eksekutif Human Rights Watch divisi Asia, berujar,
‘Amerika Serikat dan para sekutu seharusnya tidak bekerjasama dengan para
komandan yang catatan kebrutalannya memicu banyak pertanyaan tentang
legitimasi mereka di Afganistan’. Human Rights Watch secara khusus
menekankan tidak perlunya bekerjasama dengan Abdul Rashid Dostum,
pimpinan milisi Junbish; Haji Muhammad Muhaqqiq, komandan senior Hizb
al-Wahdat; Abdul Rasul Sayyaf, pemimpin jaringan Ittihad al-Islami; dan
Abdul Malik Pahlawan, mantan komandan senior Junbish. Gary Leupp, dalam
CounterPunch.org pada tanggal 16 Juli 2002 mengabarkan bahwa “Mereka
yang menjadi sekutu Amerika adalah para pemerkosa. Pada awal tahun 1996
dalam laporannya tentang HAM di Afganistan, Departemen Luar Negeri AS
menyimpulkan bahwa pasukan yang dipimpin Ahmed Shah Massod secara
sistematis telah memperkosa dan membunuh wanita-wanita suku Hazzara di
Kabul pada bulan Maret 1995. Pasukan ‘Massod’ mengamuk dan kemudian
secara sistematis merampok di jalan-jalan dan memperkosa para wanita.’
'Sejak mereka kembali berkuasa, pasukan Aliansi Utara telah kembali kepada
kebiasaan lama mereka…”
30. Di antara berbagai pelanggaran hukum kemanusiaan internasional yang
dilakukan oleh faksi Front Bersatu adalah sebagai berikut. Akhir 1999-awal
2000. Pengusiran orang-orang yang mengungsi dari pedesaan di daerah
Sangcharak dan sekitarnya dengan melakukan eksekusi kilat, pembakaran
rumah-rumah, dan perampokan besar-besaran sepanjang empat bulan mereka
menduduki wilayah tersebut. Menurut berita, beberapa eksekusi dilakukan di
depan anggota keluarga korban sendiri. Mereka yang menjadi korban serangan
pada umumnya adalah dari etnis Pashtun dan dalam beberapa kasus, ada pula
etnis Tajik. Tanggal 20-21 September 1998. Serangkaian roket ditembakkan
ke arah utara kota Kabul, salah satunya menghantam sebuah pasar malam yang
dipadati orang. Diperkirakan jumlah orang yang tewas dalam peristiwa tersebut
antara 76-180 orang. Serangan itu diyakini dilakukan oleh pasukan Massood
yang bermarkas sekitar duapuluh lima mil di Utara kota Kabul. Seorang juru
bicara komandan Front Bersatu Ahmad Shah Mashood menyangkal pihaknya
telah menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Dalam pernyataan pers tertanggal
23 September 1998, Palang Merah Internasional mengomentari serangan
tersebut sebagai sesuatu yang paling membabi-buta dan mematikan yang
pernah terjadi di kota Kabul dalam tiga tahun terakhir. Akhir Mei 1997.
Sekitar 3000 orang pasukan Taliban yang ditawan telah dieksekusi dengan
cepat di Mazar-i Sharif dan sekitarnya oleh pasukan Junbish atas perintah
Jenderal Abdul Malik Pahlawan. Pembunuhan tersebut merupakan aksi
lanjutan pengunduran diri Malik dari sebuah aliansi singkat dengan Taliban dan
juga aksi penangkapan pasukan Taliban yang masih terperangkap di dalam
kota. Sebagian serdadu Taliban dibawa ke padang pasir dan kemudian
ditembak, sementara yang lain dilemparkan ke sumur yang lantas diledakkan
dengan granat. Tanggal 5 Januari 1997. Pesawat-pesawat tempur Junbish
menjatuhkan serangkaian bom di daerah pemukiman Kabul. Beberapa orang
warga sipil terbunuh sementara yang lain terluka parah dalam serangan udara
yang membabi-buta tersebut, yang juga menggunakan bom-bom konvensional.
Bulan Maret 1995. Pasukan faksi yang beraksi di bawah Komandan Mashood,
Jamiat al-Islami, bertanggung jawab atas perkosaan dan perampokan setelah
mereka merebut daerah Karte She, yang didominasi etnis Hazara, di kota
Kabul, dari faksi lain. Menurut Laporan Departemen Luar Negeri AS tahun
1996 tentang praktek HAM selama tahun 1995, ‘Pasukan Mashood mengamuk
dan secara sistematis melakukan perampokan di jalanan serta memperkosa
para wanita’. Pada malam tanggal 11 Februari 1993, pasukan Jamiat al-Islami
dan faksi lainnya, Ittihad al-Islami pimpinan Abdul Rasul Sayyaf, melakukan
penggerebekan di daerah Barat Kabul kemudian membunuhi dan
‘menghilangkan’ warga sipil etnis Hazara serta melakukan perkosaan di
mana-mana. Diperkirakan mereka yang terbunuh sekitar tujuhpuluh hingga
lebih dari seratus orang.
31. Selain itu, pihak-pihak yang tergabung dalam Front Bersatu telah melakukan
berbagai pelanggaran lain terhadap hak-hak yang diakui hukum internasional.
Sebelum Taliban menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan, faksi-faksi itu
sendiri telah membagi-bagi jatah wilayah negara, sementara mereka tetap
saling berebut penguasaan atas Kabul. Sepanjang tahun 1994 saja, sekitar 25
ribu orang terbunuh di Kabul; sebagian besar adalah warga sipil yang terbunuh
oleh serangan roket dan artileri. Sepertiga wilayah kota hancur menjadi
puing-puing sementara bangunan yang masih bertahan pun rusak berat. Secara
jelas terlihat bahwa tidak ada hukum yang berlaku di daerah-daerah yang
berada di bawah pengawasan faksi-faksi itu. Di Kabul, pasukan Jamiat
al-Islami, Ittihad, dan Hizb al-Wahdat, semuanya terlibat dalam perkosaan,
pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, dan ‘penghilangan’. Di Bamiyan, para
komandan Hizb al-Wahdat terus-menerus menyiksa tahanan dengan tujuan
pemerasan. Para anggota senior aliansi, termasuk mantan Presiden
Afghanistan, Burhanudin Rabbani dan penguasa Utara, Abdul Rashid Dostum,
para sekutu utama Uni Soviet selama negara tersebut berupaya menduduki
Afganistan, disebut oleh AS sebagai pelanggar HAM. Di lain waktu, faksi-faksi
itu saling membantai satu sama lain. Pada tahun 1993, berdasarkan informasi
dari organisasi non-pemerintah, Human Rights Watch, Society of Islam
pimpinan Rabbani telah membunuh sekitar 70 hingga 100 orang warga etnis
minoritas Hazara yang memiliki hubungan dengan rival Rabbani, yaitu Party of
Islamic Unity, yang juga anggota Aliansi Utara.
32. Dua tahun kemudian, berdasarkan laporan dari Departemen Luar Negeri AS,
pasukan Rabbani –di bawah komando Ahmad Shah Massood (jurnalis Barat
menjulukinya sebagai ‘Singa Panjshir’)– bertanggung jawab atas kekerasan
anti-Hazara yang lain, ‘perampokan di jalan-jalan dan perkosaan secara
sistematis’. Sementara itu, karir Jenderal Dostum benar-benar memuakkan.
Sejak tahun 1979 hingga 1992, dia beraliansi dengan pemerintahan komunis di
Kabul. Saat pemerintahan tersebut akan jatuh, Dostum berputar haluan dengan
bergabung bersama ‘Pejuang Kebebasan’ Mujahidin anti-komunis. Saat
berbagai faksi Mujahidin berjatuhan, mula-mula dia bergabung dengan
Rabbani untuk melawan Hekmatyar. Lantas ia bergabung dengan Hekmatyar
untuk melawan Rabbani. Tahun 1995, dia mendukung pasukan Taliban dalam
melawan pasukan Hekmatyar sekaligus Rabbani. Tahun 1996, dia kembali
beraliansi dengan Rabbani dan Hekmatyar untuk menghancurkan Taliban.
33. Aliansi Utara mendanai perangnya dari hasil perdagangan heroin. Menurut
Departemen Luar Negeri AS, seluruh ladang opium yang pada tahun ini panen
sekitar 77 ton tumbuh di daerah yang mereka kuasai. Media Rusia melaporkan
bahwa heroin yang diolah dari opium itu diselundupkan ke Eropa dan AS
melalui negara tetangga semisal Tajikistan. Vickers, mantan agen CIA,
mengakui tentang sulitnya membeking aliansi Utara yang bukan aliansi sejati
itu. Dengan agak pasrah ia mengatakan bahwa AS tidak punya pilihan lain.
‘Taliban adalah target utama. Serangan udara tidak akan berpengaruh bagi
mereka. Kita memerlukan pasukan darat. Namun ‘pertanyaannya adalah:
pasukan darat siapa? Itulah sebabnya mengapa pihak oposisi memiliki daya
tarik tersendiri… Bisa jadi mereka tidak sempurna. Namun pertanyaannya:
mana yang lebih baik, menggunakan pasukan darat mereka atau pasukan darat
Barat?’
Kesimpulan
Catatan di atas hanyalah sebuah contoh, bukti kemunafikan, korupsi dan
kejahatan yang dilakukan oleh Barat dalam hal persekutuan mereka dengan para
penguasa yang lalim, tiran dan diktator di masa lalu maupun sekarang. Hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang peran Barat dalam memimpin dan memelihara
dunia. Ketika mengamati rangkaian akumulasi senjata pemusnah massal Barat,
kepalsuan standar dan penerapan Hukum Internasional serta kemerosotan
masyarakat Barat, seorang pengamat yang netral tidak perlu lagi meragukan bahwa
Kapitalisme adalah sumber kejahatan masa kini. Nilai-nilai dan kepercayaan
Kapitalisme tentang kebebasan, demokrasi dan materialisme telah mendorong
fanatisme dan kejahatan dunia yang lebih luas.
BAB 4
Barat dan Sikap Represif terhadap
Rakyat
Kontrol Pemikiran
3. Kami bermaksud menegaskan bahwa keadaan sulit yang umumnya menimpa
warga Amerika benar-benar mengerikan. Tetapi sebelum membahas tentang
hal itu, penting untuk dibuat sketsa tentang bagaimana pemikiran kebanyakan
orang Amerika telah terbentuk melalui cara-cara tertentu yang membuat
mereka mampu menerima keadaan ini. Baik kaum Ba’ath maupun AS
bersikeras bahwa sistem mereka membuat iri negara-negara lain di dunia.
Mereka sama-sama bersikukuh bahwa warga Irak dan AS harus bersyukur
dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang Irak dan Amerika.
Teknik-teknik propaganda yang AS gunakan sama seperti yang digunakan oleh
rezim Ba’ath.
4. Hal itu terlihat dalam komentar yang dimuat media Amerika pada tahun lalu.
Misalnya kolomnis Richard Brookhiser dalam The New York Observer (17
September 2001) menggambarkan AS sebagai ‘… sebuah imperium
kapitalisme dan demokrasi. New York City juga dipersepsikan sebagai pusat
salah satu subsistem itu, mesin uang yang bergemuruh. Siapapun di dunia ini
yang mencari nasibnya dan tidak bahagia, lihatlah kami —negara dan kota—
carilah alternatif yang ada. Jika ia memiliki kerangka pemikiran yang
bercita-cita tinggi, ia akan datang ke sini atau meniru kita. Jika ia memiliki
kerangka pemikiran yang murung, ia akan meminta tanggung jawab kita. Jika
ia adalah negara yang bermusuhan, atau semacamnya, ia akan mencoba
membunuh kita … Para pecundang di dunia ini membenci kita karena kita kuat,
kaya dan baik (atau sekurang-kurangnya lebih baik dari mereka). Bila mereka
yang beraksi dalam kebencian itu telah dibalas, tujuh kali lipat, kita akan
membangun kembali Menara World Trade Centre, ditambah satu lantai, hanya
untuk mengulangnya kembali’.
5. Anggapan keliru tentang irinya dunia kepada AS adalah sesuatu yang
digembar-gemborkan media dan politisi AS secara terus-menerus. Sejarawan
militer, Victor Davis Hanson menulis dalam City Journal (25 Februari 2002),
‘mereka membenci kita karena kultur mereka terbelakang dan korup’ dan
karena ‘mereka iri dengan kekuatan dan prestise kita’. Pemeo tentang ‘dunia
cemburu pada kita’ ini jelas sekali hanya berlaku untuk tingkat domestik. Jenis
propaganda seperti ini membantu terciptanya iklim kepuasan yang statis.
Lagipula, tidak ada satu orangpun di luar orang AS yang cukup bodoh untuk
mempercayai hal itu.
6. Setelah peristiwa 11 September 2001, hanya ada sedikit tulisan yang berbeda
melawan arus para pejabat Amerika. Siapapun yang tidak mengekspresikan
rasa hormat secara utuh terhadap sikap mereka, ia akan menjadi orang yang
terancam. The Guardian (17 Januari 2002) menyimpulkannya dengan tepat,
‘Dalam hari-hari berkabung di New York dan Washington, tampaknya,
siapapun yang pernah bersikap kritis secara terangan-terangan kepada
Amerika tiba-tiba mendapati diri mereka dituduh terlibat dengan Osama bin
Laden –atau lebih buruk lagi. Di kalangan pers Inggris, mereka digambarkan
sebagai ‘pecundang dan tidak patriotis’, ‘nihilis dan masokistis’, dan ‘Stalinis
dan fasis’; sebagai ‘gerombolan Baader Meinhof’, ‘tangan kanan Osama’, dan
‘pembantu para diktator’; sebagai ‘si pincang’, ‘mudah goyah’, ‘tidak punya
hati dan tolol’; dan ‘cacing yang termakan propaganda Soviet’; sebagai yang
penuh dengan ‘omong kosong’, ‘pengkhayal’ dan ‘dekadensi intelektual’;
sebagai kumpulan ‘idiot-idiot berguna’, ‘zombi yang buta’; dan ‘manusia yang
membenci manusia’.’
7. Kembali ke gaya pembedaan media AS, ada ribuan contoh yang bisa dikutip
untuk menggambarkan bagaimana AS menyamarkan dirinya sebagai kekuatan
demi kebaikan di dunia padahal ia sebenarnya adalah kekuatan jahat yang
mendatangkan kematian dan kehancuran. Ada satu contoh khusus dari omong
kosong jingoistis yang benar-benar menyuarakan tabiat pemerintah, rakyat dan
media AS. Rich Lowry menulis artikel di situs National Review Online —‘situs
utama kaum konservatif Amerika’— dengan judul ‘Lots of sentiment for nuking
Mecca’. Di dalamnya ia menulis: ‘Ini hal yang berat, saya tidak tahu betul apa
yang harus saya pikirkan. Mekah terlihat ekstrim, tentu saja, tetapi kemudian
beberapa orang akan mati dan akan menjadi suatu pertanda. Agama
sebelumnya telah mengalami kemerosotan yang merupakan bencana besar …
Dan, sebagai masalah umum, sekaranglah waktunya untuk serius, bukan
setelah jatuh korban orang Amerika yang jumlahnya ribuan lebih—termasuk
memikirkan apa yang akan kita lakukan untuk membalas dendam, jadi mungkin
sentimen memiliki efek yang kecil terhadap pencegahan’ [R. Lowry, ‘Lots of
sentiment for nuking Mecca’, National Review Online,
www.nationalreview.com/thecorner].
8. Apakah itu sebuah ancaman? Apakah itu sebuah janji? Ataukah hanya mulut
besar belaka? Apapun itu, kita harus diam sesaat dan merenungkan kesesuaian
pernyataan tersebut dengan pembahasan kita tentang senjata pemusnah massal.
Harus diingat bahwa AS memiliki senjata itu, dan suara sayap kanan AS telah
terdengar. Mulut besar atau bukan, bahasa emotif seperti itu seharusnya menjadi
seruan kebangkitan bagi penduduk dunia ini, Muslim dan non-Muslim.
Barangkali itu bukan sekadar pandangan orang jalanan. Rata-rata orang
Amerika lebih tertarik pada olahraga serta film dan tidak berminat membaca
halaman situs yang berisi bualan sayap kanan. Ketika Hollywood
mengeluarkan film berjudul Rules of Engagement, banyak kelompok
Arab-Amerika mengutuknya. Salah satu kelompok mengomentarinya sebagai
‘mungkin inilah film rasis anti-Arab paling keji yang pernah dibuat oleh studio
besar Hollywood’. Dalam ulasan yang muncul dalam film.com, Peter Brunette
mengatakan, ‘para penonton yang bersama saya menonton film ini terlihat
gembira ketika marinir membantai warga sipil’ [‘Down Right Offensive’,
film.com]. Robert Bowman, seorang veteran Vietnam dan sekarang menjabat
uskup United Catholic Churc di Melbourne Beach, Florida mengatakan, ‘Kita
tidak dibenci karena mempraktekkan demokrasi, menjunjung kebebasan, atau
menegakkan hak-hak asasi manusia. Kita dibenci karena pemerintah kita
menyangkal hal ini pada masyarakat negara–negara dunia ketiga yang
sumber-sumber alamnya diincar perusahaan-perusahaan multinasional kita.
Kebencian yang kita taburkan telah kembali membayangi kita dalam bentuk
terorisme dan di masa yang akan datang, akan menjadi terorisme nuklir’ [The
National Catholic Reporter, 2 Oktober 1998].
Paradigma Demokrasi
13. Pemilihan umum terakhir di Irak menjadi bahan cemoohan pers Barat dan dunia
internasional. Rezim Ba’ath memang konyol dan layak mendapatkan kecaman
apapun yang diarahkan terhadap tipu daya murahan yang mereka lakukan.
Akan tetapi, tipu daya murahan bukan monopoli Saddam semata. Salah satu
masalah penting yang masih menjadi misteri bagi orang Amerika adalah proses
demokrasi itu sendiri. Sangat sedikit orang di seluruh AS yang memahami
sistem Electoral College. Demikian halnya ketika sistem itu berjalan lancar, tak
ada yang mempertanyakannya dan ketika tidak berjalan lancar, tak satu orang
pun yang peduli. Pemilihan presiden tahun 2000 menggambarkan dengan tepat
betapa tidak demokratisnya sistem Amerika. Terlebih lagi pemilihan umum
tahun 2000 itu menunjukkan bagaimana orang Amerika ditipu serta bagaimana
raksasa media dan pemerintah memandang rendah masyarakat awam.
14. Di dunia ini terdapat berbagai bentuk demokrasi, yang setiap bentuk
diimplementasikan dengan coraknya masing-masing. Dalam sistem pemilihan
presiden AS, seorang kandidat yang mendapatkan jumlah suara pemilih
individual terbanyak di seluruh daerah pemilihan belum tentu menjadi presiden.
Karena suara individu tidak langsung untuk memilih presiden melainkan untuk
menentukan Electoral College yang diatur secara proporsional sesuai negara
bagian masing-masing. Jumlah Elector (orang yang tergabung dalam Electoral
College) untuk setiap negara bagian diproporsionalkan dengan jumlah
penduduk negara bagian bersangkutan. Tiap-tiap negara bagian memiliki
pengaturan yang berbeda-beda dalam hal menentukan para Elector mereka. Di
beberapa negara bagian para kandidat mendapati jumlah Elector sesuai jumlah
suara yang mereka peroleh, sedangkan di negara bagian lain, pemenang
mengambil seluruhnya. Maka untuk terpilih menjadi presiden, seorang
kandidat harus memiliki dukungan di beberapa negara bagian. Meraih
mayoritas suara popular vote di daerah tertentu, atau bahkan di beberapa negara
bagian, bisa jadi tidak berpengaruh terhadap hasil pemilu secara keseluruhan.
Manakala terjadi masalah, yang memilih presiden adalah perwakilan pemilih,
yakni para politisi profesional di Kongres. Pada tahun 2000, keputusan
Mahkamah Agung mengakhiri prosedur yang begitu rumit dan menetapkan
George W. Bush sebagai pemenang pemilu. Pada musim panas tahun 1999,
Katherine Harris, Ketua Bersama kampanye pemilihan presiden George W.
Bush dan sekretaris negara bagian Florida untuk pemilihan umum, membayar
US$ 4 juta kepada Database Technologies untuk memeriksa daftar pemilih di
Florida dan menghapus setiap orang yang ‘dicurigai’ sebagai mantan
narapidana. Hal itu dilakukan dengan persetujuan Gubernur Florida, Jeb Bush,
yang notabene adalah saudara dari George W. Bush. Hukum Florida
menyatakan bahwa mantan narapidana tidak punya hak pilih –sehingga 31%
dari semua penduduk pria berkulit hitam di Florida dilarang mengikuti pemilu
karena mereka memiliki catatan kriminal. Rupanya, kaum kulit hitam Florida
adalah golongan demokrat. Ini terlihat ketika Al Gore mendapat suara lebih dari
90% dari mereka pada tanggal 7 November 2000. Yaitu 90% dari mereka yang
memiliki hak pilih. Ini menunjukkan terjadinya kecurangan massal elektoral di
Florida. Tim kampanye Bush tidak hanya menghapus ribuan mantan
narapidana kulit hitam dari daftar nama pemilih, melainkan juga menghapus
ribuan warga kulit hitam yang sepanjang hidupnya tidak pernah terlibat tindak
kriminal –serta ribuan pemilih yang sah yang hanya pernah melakukan tindak
pidana ringan.
15. Walhasil, sejumlah 173.000 pemilih yang terdaftar di Florida dihapus secara
permanen dari daftar pemilih. Di Miami-Dade, wilayah terbesar Florida, 66%
dari pemilih yang dihapus namanya adalah mereka yang berkulit hitam. Di
daerah Tampas, 54% dari pemilih yang hak pilihnya ditolak juga berasal dari
kulit hitam. Tak perlu dikatakan lagi betapa banyaknya praktek-praktek tipu
muslihat yang terjadi di Florida, barangkali terlalu banyak untuk disebutkan.
Akan tetapi hasil akhirnya menunjukkan bahwa seseorang yang memenangkan
minoritas suara telah terpilih menjadi presiden. Surat kabar New York Times
merangkum olok-olok yang terjadi di Florida; sebanyak 344 kertas suara tidak
jelas diberikan kepada pemilih, apakah pada saat atau sebelum hari pemilihan,
183 kertas suara diberi stempel pos AS, 96 kertas suara tidak memiliki
keterangan saksi yang memadai, 169 kertas suara berasal dari pemilih yang tak
terdaftar, dengan amplop yang tidak ditandatangani sebagaimana mestinya,
atau berasal dari orang yang tidak meminta kertas suara, 5 kertas suara masuk
setelah tanggal batas akhir penyerahan yaitu 17 November, 19 pemilih dari luar
negeri memilih dalam 2 kertas suara –dan keduanya dihitung. Semua kertas
suara di atas melanggar hukum Florida, tetapi tetap dihitung. Singkatnya,
Amerika tidak memiliki paradigma demokrasi.
Impian Amerika
16. Selain demokrasi, ada aspek lain dari cara hidup orang Amerika yang mereka
klaim telah membuat negara-negara lain iri kepada AS. Woodrow Wilson
(1919) mengatakan, ‘terkadang orang-orang menyebut saya seorang idealis,
memang begitulah adanya selaku orang Amerika. Karena Amerika adalah
satu-satunya negara yang idealis.’ Pasca 11 September, AS tidak juga sadar
bahwa selama ini mereka tidur sambil berjalan. Akan tetapi, kini AS telah
terbangun dari tidur pulas dan mimpinya. Enron, WorldCom dan realitas
pertumpahan darah di ibu pertiwinya telah membuat AS menjadi negara yang
mencemaskan aspirasinya menjadi rapuh. Mungkin untuk kali pertama sejak
Great Depression, para orangtua berbicara secara terbuka tentang anak-anak
mereka yang tumbuh di sebuah negeri yang keadaannya lebih buruk daripada
negara tempat orangtua mereka dilahirkan.
17. Impian Amerika telah berada jauh di luar jangkauan tujuh juta muslim yang
tinggal di antara Los Angeles dan New York. Hampir dua pertiganya
mengatakan mereka telah menjadi korban prasangka dan diskriminasi sejak
peristiwa 11 September. Ketika naik pesawat, mereka dipaksa keluar oleh para
penumpang yang menaruh curiga, sebagian yang lain bahkan tidak
diperbolehkan sama sekali untuk menaiki pesawat. Hak-hak sipil yang
termasyhur dibuat oleh pendiri AS sebagaimana diabadikan dalam Bill of
Rights ternyata tidak lebih dari slogan kosong. ‘Para pecinta kebebasan’ yang
menguasai tanah kebebasan telah mengorbankan ‘kebebasan’ dengan
mengatasnamakan keamanan nasional. Para tersangka ditahan tanpa diadili,
para pengacara dilarang menemui kliennya. Edward Said, seorang Profesor di
Columbia University– New York, menulis dalam Al Ahram (edisi mingguan)
‘Saya tidak melihat adanya seorang Arab atau Muslim Amerika yang sekarang
tidak merasa bahwa ia termasuk kubu musuh dan berada di Amerika saat ini
memberi kita pengalaman keterasingan yang tidak mengenakkan dan
khususnya menjadi sasaran permusuhan yang begitu meluas [‘Thought about
America’, 28 Februari – 6 Maret 2002].
18. Kita kembali lagi ke suara sentimen Amerika yang sesungguhnya, The National
Review. Kontributor Editor Ann Coulter menulis: ‘Sekarang bukan saatnya
lagi mencari individu yang secara langsung terlibat dalam serangan teroris
ini.. Tanggung jawab ini termasuk siapapun dan di manapun yang tersenyum
dengan peristiwa pembinasaan para patriot seperti Barbara Olsen.
Orang-orang yang menginginkan negara kita hancur tinggal di sini, bekerja
untuk perusahaan penerbangan kita, dan bekerja untuk bandara yang persis
sama sebagai seorang tukang kayu dari Idaho. Ini seperti meminta Wehrmacht
berimigrasi ke Amerika dan bekerja untuk perusahaan penerbangan kita
selama Perang Dunia II. Tetapi Wehrmacht tidak begitu haus darah. Kita
harus menyerbu negara mereka, membunuh pemimpin mereka, dan
memurtadkan mereka menjadi Kristen. Kita kurang cermat ketika hanya
menemukan dan menghukum Hitler dan para pejabat terasnya. Kita
membombardir kota-kota di Jerman, kita membunuhi warga sipil. Itulah
perang. Dan ini pun adalah perang’ [National Review, ‘This is War’ 13
September 2001].
19. Demikianlah yang tertulis. Bagaimana faktanya? Pada bulan Maret 2002
dilaporkan bahwa Adeel Akhtar, orang Inggris, terbang ke Amerika untuk
audisi peran. Ketika pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara JFK New
York, ia dan teman wanitanya diborgol. Dari gambarannya ia terlihat tidak
seperti seorang fundamentalis. Ia dibawa ke suatu ruangan dan diinterogasi
selama beberapa jam. Para petugas bertanya apakah ia memiliki teman di Timur
Tengah, atau mengetahui seseorang yang berada di balik serangan 11
September.
Pengalaman Adeel itu bukan hal yang asing bagi ratusan orang yang berasal
dari Asia atau Timur Tengah. Seperti contoh seorang wanita Inggris (berusia 50
tahun) yang terbang ke JFK untuk mengunjungi saudara perempuannya yang
menderita kanker. Di bandara, petugas imigrasi mendapati bahwa pada
kunjungan sebelumnya, ia melebihi masa kunjungan yang tertera dalam
visanya. Ia menjelaskan bahwa saat itu ia sedang menolong saudaranya yang
sedang sakit parah, dan ia telah mengajukan perpanjangan. Ketika petugas
memintanya untuk kembali ke Inggris, ia menerima keputusan itu tetapi
sebelumnya meminta untuk berbicara kepada konsul Inggris. Mereka menolak
permintaannya, malah mengatakan bahwa ia bisa menelepon konsulat Pakistan.
Sang wanita menjelaskan bahwa ia orang Inggris, bukan Pakistan. Paspornya
pun mengatakan ia adalah warga Inggris. Para petugas keamanan bandara mulai
menginterogasinya. Ia bisa bicara dalam berapa bahasa? Sudah berapa lama ia
tinggal di Inggris? Mereka membongkar-paksa tas kopornya dan mengambil
sidik jarinya. Kemudian ia diborgol dan dirantai serta digiring melewati tempat
duduk pemberangkatan. ‘Saya merasa seolah-olah petugas keamanan bandara
memamerkan saya di depan para penumpang lain layaknya tangkapan
berharga. Mengapa saya diborgol? Saya hanya seorang ibu rumah tangga
berusia 50 tahun dari daerah pinggiran London. Ancaman apa yang saya
lakukan yang membahayakan keselamatan penumpang lain?’
20. Juga pada bulan Maret 2001, seorang koresponden majalah Time menemukan
30 orang laki-laki dan seorang wanita bermalam di sebuah hotel kumuh di
Mogadishu, Somalia. Mereka semua orang Afrika-Amerika asal Somalia yang
sudah tiba di Amerika sejak bayi dan anak-anak. Kebanyakan dari mereka
adalah para profesional dengan pekerjaan yang terjamin dan kehidupan yang
mapan. Pada bulan Januari, tidak lama setelah dirilisnya film Black Hawk
Down (film tentang kegagalan misi militer Amerika di Somalia), mereka
ditangkapi. Mereka dipukuli, diancam dengan suntikan dan tidak boleh
menerima telepon dan pengacara. Kemudian dua minggu yang lalu, tanpa
adanya tuntutan atau alasan, tiba-tiba mereka dideportasi ke Somalia. Sekarang
mereka tanpa paspor, surat-surat, atau uang di negara yang asing (bagi mereka).
21. Semua orang yang kami sebut di atas merupakan korban rasialis. Dalam waktu
6 bulan setelah peristiwa 11 September, Jaksa Agung AS memanggil 5000
orang laki-laki asal Arab untuk ditanyai oleh penyelidik federal. Selama
periode itu lebih dari 1000 orang yang dilahirkan di Timur Tengah telah
ditawan untuk jangka waktu yang tak terbatas dengan alasan ‘pelanggaran
imigrasi’. Tidak terhitung lagi banyaknya contoh diskriminasi petugas terhadap
wanita muslimah AS yang digeledah di bandara, sementara yang laki-laki
diseret dari tempat tidur dengan todongan pistol di tengah malam. Ini
menunjukkan bahwa bukti, yang tidak diketahui para tersangka, yang diizinkan
oleh US Patriot Act, ‘telah digunakan hampir secara eksklusif terhadap Muslim
dan orang Arab-Amerika’. Di AS, saat ini, kaum Muslim dan orang-orang
keturunan atau berasal dari Timur Tengah semuanya menjadi tersangka teroris.
Mereka dianggap bersalah sampai mereka terbukti tidak bersalah.
Persaingan Imperialis
13. Dari paparan di atas, terlihat bahwa penjajahan dan kekejaman merupakan ciri
abadi peradaban Barat, dan masalah-masalah di Timur Tengah telah diperburuk
selama berabad-abad dengan persaingan Barat yang mencapai puncaknya pada
Perang Dunia I dan II. Apa yang kita lihat sekarang ini adalah sama dengan
ketika Napoleon mencoba melemahkan kekuatan Inggris dengan menyerang
Mesir pada tahun 1798. Doktrin sekular telah menggerakkan ‘dunia bebas’
untuk memaksakan fundamentalisme imperial mereka kepada rakyat Timur
Tengah, sebagai bagian upaya negara-negara Barat dalam mencari pengaruh
dan dominasi dunia. Serangan politis terhadap dunia Islam yang dimulai pada
abad ke-18 terus berlangsung hingga abad ke-21 ini. Joseph Chamberlain
mengatakan ambisi negara pada abad ke-9 sebagai upaya ‘membentuk sebuah
imperium’ [Ronald Hyam., ‘Britain’s Imperial Century 1815 to 1914’.,
1976, hal. 2]. Kata-kata inilah yang mengilhami ambisi Perdana Menteri Blair
‘untuk mengembalikan kekuatan kita agar bisa sejajar dengan kekuatan besar
lain’ dan ‘untuk meraih kepentingan Inggris dengan sungguh-sungguh,
terus-menerus, dan mantap’ [Mark Curtis, ‘The Great Deception
Anglo-American Power and World Order’].
14. Pada abad ke-19, Inggris terobsesi dengan kemunduran Khilafah Utsmaniyah
dan bagaimana hal tersebut akan berdampak terhadap pengaruh Inggris dan
keseimbangan kekuatan internasional. Lord Palmerston mengatakan,
‘kepentingan Inggris meliputi seluruh dunia’ [Ronald Hyam, ‘Britain’s
Imperial Century 1825-1914; A Study of Empire and Expansion’, 1976,
hal. 3] dan kepentingan inilah yang coba dilindungi dari ambisi Perancis dan
Rusia, yang berada dalam keadaan terkepung setelah runtuhnya Khilafah
Utsmaniyah. Oleh karena itu, para negarawan imperialis memperdebatkan
apakah mereka harus mereformasi Khilafah di Eropa agar menjadi protektorat
Eropa atau membagi-bagi ke-Khilafahan secara damai di antara negara-negara
Barat. Sebelum menjadi Menteri Luar Negeri pada tahun 1878, Lord Salisbury
mengatakan, ‘… memelihara kepentingan Inggris dengan mempertahankan
Khilafah Utsmaniyah adalah hal yang tidak praktis dan saya pikir sekarang
adalah saatnya untuk mempertahankan kepentingan Inggris secara langsung
dengan beberapa pengaturan wilayah. Saya khawatir, ketika kita mencapai
kesepakatan beberapa tahun kemudian, maka satu dari dua hal akan terjadi.
Entah apakah Perancis akan memulihkan kembali posisinya dan merasa iri
akan perluasan kekuatan kita di Mediterania, atau Jerman akan menjadi
kekuatan di lautan. Kemungkinan-kemungkinan ini akan menyulitkan kita
dalam menyiapkan basis, kalau-kalau kita kehilangan Konstatinopel’ [Elie
Koudrie., ‘England and the Middle East; the Destruction of the Ottoman
Empire 1914-1921’., hal. 21].
15. Dalam perjalanan sejarahnya, Amerika Serikat juga menghadapi tantangan
yang sama dalam kepemimpinan globalnya mengingat AS pun menghadapi
masalah kevakuman politis yang disebabkan oleh runtuhnya kekuatan adidaya.
Abad 19 merupakan abad keruntuhan Khilafah Utsmaniyah yang sangat
berpengaruh terhadap perimbangan kekuatan internasional dan kepentingan
Inggris. Sedangkan akhir abad 20 merupakan keruntuhan negara Uni Soviet,
yang menciptakan rekonfigurasi konteks geopolitis, yang gelombangnya masih
terasa hingga abad 21. Hal itu telah menyita perhatian pemerintahan AS.
Mantan Menteri Luar Negeri, Warren Christopher, menyatakan, ‘sebagai
satu-satunya negara adidaya yang tersisa, kita memiliki kesempatan yang
belum pernah kami peroleh sebelumnya, yaitu membentuk dunia sesuai yang
kita inginkan’ [Mark Curtis., ‘The Great Deception Anglo-American
Power and World Order’., 1998, hal. 35], dan setelah peristiwa 11
September, Amerika mencoba mengeksploitasi kesempatan yang terbuka lebar
untuk menata ulang Timur Tengah. Sebuah laporan dari Presidential Study
Group memperlihatkan perdebatan di kalangan negarawan AS di abad 21.
Laporan yang diberi judul ‘Navigating through Turbulence; America and the
Middle East in a New Century’ itu menggambarkan tantangan strategis pasca
era perang dingin. ‘Pada tanggal 20 Januari 2001, presiden baru akan
menempati kantor selagi di Timur Tengah situasi makin membahayakan.
Selagi beberapa negara di wilayah Teluk masih mencari bentuk hubungan
politis dan militer dengan Amerika Serikat, hubungan Arab-Israel berada
dalam kondisi kritis, keradikalan wilayah Teluk muncul kembali, dan kondisi
rakyat di dunia Arab yang mengkritisi kebijakan AS. Secara keseluruhan,
situasi strategis Amerika di Teluk lebih banyak tantangannya ketimbang
peluangnya’ [Presidential Study Group, ‘Navigating Through Turbulence;
America & the Middle East in a New Century’, Washington Institute for
Near East Affairs, 12 Desember 2000, hal. 7].
16. Puncak pengkajian ulang kebijakan luar negeri AS tertera dalam Strategi
Keamanan Nasional (National Security Strategy-NSS) yang diterbitkan pada
bulan September 2002. Max Boot, seorang jurnalis dan penulis ‘the Savage
Wars of Peace; Small Wars & the Rise of American Power’,
menggambarkannya sebagai ‘pernyataan kebijakan luar negeri AS yang
signifikan sejak NSC 68, naskah tahun 1958 yang menyusun doktrin
penahanan’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post,
14 Oktober 2002] karena NSS menetapkanan prinsip-prinsip bagi pandangan
dunia baru di era pasca Perang Dingin. Dapat dikatakan bahwa Presiden Bush
menapaki jalan yang dulu pernah ditempuh para pendahulunya yang selalu
membuat perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dimulai dengan
doktrin Truman, diikuti doktrin Eisenhower, dan sekarang Presiden Bush
memiliki doktrinnya sendiri bagi kebijakan luar negeri AS. Dalam State of the
Union pada bulan Januari 2002, ia menyebutkan tiga prinsip kunci doktrin
Bush. Prinsip pertama menekankan pada upaya mempertahankan
kepemimpinan AS di dunia; strategi Bush menyatakan, ‘pasukan kami cukup
kuat untuk menghadapi lawan yang berpotensi mencapai pengembangan
militer dengan harapan bisa melebihi atau minimal menyamai kekuatan
Amerika Serikat’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington
Post, 14 Oktober 2002]. Kedua, AS akan melakukan pre-emptive attack
terhadap ancaman-ancaman potensial; Presiden Bush mengatakan bahwa
‘musuh Amerika memandang seluruh dunia sebagai medan pertempuran’ dan
bersumpah akan ‘memburu mereka di manapun mereka berada’ [Schimtt and
Donelly, ‘The Bush Doctrine’, 30 Januari 2002]. William Kristol, mantan
Kepala Staf Gedung Putih untuk Wakil Presiden menjelaskan, ‘Pada tahun
1947, Harry Truman membalikkan kebijakan pasca Perang Dunia II mengenai
penarikan diri dari Eropa, dan menggiring AS untuk menghambat dan
menantang Uni Soviet. Pada tahun 1981, Ronald Reagan membalikkan
kebijakan pengurangan tegangan antar negara (detenta) yang gagal dan
bertekad untuk menumbangkan komunisme. Pada Selasa malam, George W.
Bush mengakhiri dekade yang penuh sikap malu-malu serta saling menunggu
dan berkomitmen menghilangkan ancaman tirani musuh yang mengembangkan
senjata pemusnah massal. Ini sama dengan apa yang dilakukan Truman dan
Reagan. Ini tidak akan mudah sekaligus menyakitkan. Tapi inilah harga bagi
sebuah negara besar’ [William Kristol, Taking the War Beyond Terrorism,
Washington Post, 31 Januari 2002]. Akhirnya, sama seperti semua ideolog
terdahulu, perjuangan terkenal untuk mempromosikan prinsip demokrasi
liberal disebarluaskan. Para pemikir pada Project for the New American
Century mengatakan, ‘Doktrin Bush sangat terkenal dan berbeda. Ini bukan
multilateralismenya Clinton; sang presiden tidak memohon kepada PBB,
menyatakan kepercayaan terhadap (perjanjian) pengendalian senjata, atau
menumbuhkan harapan untuk ‘proses perdamaian’. Ini pun bukan realisme
perimbangan kekuatan yang diusung sang ayah, Bush senior. Ini lebih
merupakan penegasan kembali bahwa keberlangsungan keamanan dan
perdamaian hanya bisa dimenangkan dan dipertahankan dengan cara
memaksakan kekuatan militer AS dan prinsip politik Amerika’.
17. Oleh karena itu, AS sang imperialis itu mengulangi kepentingan strategis
saudara mereka, yakni Inggris, di abad ke-19, karena seperti halnya Inggris, AS
pun berusaha keras mempertahankan kepemimpinan mereka di dunia dan
kontrol atas wilayah Timur Tengah merupakan titik sentral yang amat vital
untuk mencapai tujuan tersebut. Sejak pemerintah Inggris menyadari
bahwasanya kontrol atas minyak merupakan ‘nilai yang vital bagi setiap
kekuatan yang ingin memiliki pengaruh atau dominasi atas dunia’
[‘Introductory Paper on the Middle East’, FRUS, 1947, Vol. V, hal. 569],
Menteri Luar Negeri Inggris, Selwyn Lloyd pada tahun 1956 menulis, ‘Kita
harus mempertahankan kontrol atas minyak ini apapun risikonya’ [Pesan dari
Menteri Luar Negeri Inggris Lloyd untuk Menteri Luar Negeri AS Dulles,
23 Januari 1956, FRUS, 1955-1957, Vol. XIII, hal. 323]. AS tidak terlalu
jauh tertinggal dalam menyadari pentingnya hal ini –pada tahun 1953 Dewan
Keamanan Nasional mengatakan, ‘Kebijakan Amerika Serikat adalah
mempertahankan sumber minyak di Timur Tengah agar tetap berada di tangan
Amerika’ [Mohammad Haekal., ‘Cutting the Lions Tail; Suez Through
Egyptian Eyes’., 1986, hal. 38] dan pada tahun 1945 Departemen Luar Negeri
AS menyatakan, ‘Sumber-sumber (minyak) itu menjadi sumber kekuatan
strategis yang sangat menakjubkan, dan merupakan salah satu materi paling
bernilai dalam sejarah dunia… barangkali nilai ekonomis tertinggi di dunia
dalam bidang investasi luar negeri’ [Sejarah Departemen Luar Negeri AS,
1945, Vol. 8, hal. 45]. Karena itulah, AS mencoba mempertahankan
kepemimpinannya di dunia dengan cara mengamankan kontrol atas kekayaan
minyak wilayah Teluk, dengan maksud ‘mencegah munculnya musuh dalam
wujud hegemoni atau koalisi regional’ [Conetta dan Knight, ‘Military
Strategy Under Review, Foreign Policy in Focus’, Vol. IV No. 3, Januari
1999], sebagaimana digambarkan dalam Quadrennial Defence Review yang
diserahkan oleh mantan Menteri Pertahanan, William Cohen, kepada Kongres
AS pada bulan Mei 1997. Paul Wolfowitz juga merefleksikan ambisi AS
mendominasi dunia dalam dokumen rencana yang mengatakan bahwa AS harus
‘mempertahankan mekanisme untuk bahkan menghambat ambisi pesaing
potensial untuk mendapat peran regional atau global yang lebih besar’ [Max
Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post, 14 Oktober 2002].
18. Dengan sendirinya, hal ini membuat AS terlibat konflik dengan negara-negara
kolonialis lain dan telah mencapai puncaknya di PBB. AS, dengan
unilateralismenya, telah mendesak Presiden Perancis, Chirac, untuk
memberikan peringatan dini akan bahaya yang akan timbul, ketika Chirac
mengatakan, ‘Hal ini juga mempertaruhkan masa depan hubungan
internasional’ [‘UN only legitimate framework for action on Iraq’,
Egyptian Gazette, 18 Oktober 2002]. Namun sejak PD II, secara diam-diam
AS berupaya melikuidasi pengaruh Eropa dan Inggris di Timur Tengah, dan
inilah hal yang paling ditakuti Chirac. Pada tahun 1947, AS mengumumkan
berakhirnya kekuasaan Inggris di Timur Tengah kepada Kedutaan Besar
Inggris di Washington. Miles Copeland menulis, ‘Dua pesan itu merupakan
pemberitahuan resmi bahwa masanya Pax Britannica, yang telah memegang
kekuasaan di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad, sudah
berakhir’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’., 1989, hal. 145]. Inilah
awal pertentangan sengit Anglo-Amerika di Timur Tengah yang memuncak
dengan adanya permainan kudeta dan kudeta balasan. Di Mesir, AS menggusur
rezim boneka Inggris Raja Farouk, dan dengan kalem Miles Copeland
menceritakan masalah tersebut, ‘CIA melihat adanya sebuah kesempatan. Kami
memutuskan kontak resmi dengan SIS Inggris’, selanjutnya ia kisahkan,
‘Sehingga pada tanggal 23 Juli 1952, kudeta terjadi secara mendadak tanpa
menemui rintangan, dengan dipimpin oleh Jenderal Mohammed Naguib.
Selama enam bulan berikutnya, kontak dengan Nasser, Revolutionary
Command Council (RCC=Dewan Komando Revolusioner)-nya Nasser, dan
para pejabat sipil dilakukan hanya ‘secara langsung’ di kedutaan kami,
termasuk sang duta besar Caffery sendiri’ [Miles Copeland., ‘The Game of
Nations’., 1989, hal. 145].
19. Dengan demikian krisis Irak yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan
pertentangan di antara kekuatan-kekuatan Barat. Di awal abad ke-20,
negara-negara Eropa meributkan masalah pembagian tanah Khilafah di antara
mereka, dan seabad kemudian mereka mempersoalkan pembagian
sumber-sumber kekayaan kawasan Teluk di antara mereka, sementara AS
senantiasa mencoba mendapat porsi terbesar. Pakar Rusia dari Carnegie
Endowment Institute, Michael McFaul, mengatakan, ‘Presiden Rusia, Putin,
dan pemerintahannya percaya bahwa AS akan terus maju dengan atau tanpa
Rusia, sehingga Rusia mencoba…mengambil apa yang mereka bisa ambil dari
Amerika’. Sementara Paul Sanders, Direktur Institut Nixon, mengatakan,
‘Minyak merupakan hal yang paling utama… ada ketakutan di Rusia bahwa
bilamana AS mengganti rezim di Irak, maka semua kontrak minyak akan
beralih ke AS sehingga Rusia akan ditinggalkan’ [Eric Boehlert, ‘At the UN
its all about the Money’, 14 Oktober 2002]. Dalam konteks ini kita bisa
melihat negara-negara Barat saling bersaing memperoleh kekuasaan, saling
berebut untuk mengamankan kepentingan minyak mereka di Irak, sebuah
perebutan yang mengingatkan kita terhadap kolonialisasi Eropa atas Afrika
pada abad 19. Kebijakan AS adalah mencoba melemahkan berbagai pengaruh
dan kontrol Eropa di Irak, sebagaimana dikatakan Michael O’Hanlon dari
Brookings Institute kepada The House Armed Services Committee, ‘Wilayah
yang ditempati Irak merupakan daerah yang sangat kritis bagi kepentingan AS
sehingga kita tidak bisa masuk begitu saja, menggulingkan Saddam, dan
membiarkan orang lain membersihkannya… Irak, tidak seperti Afghanistan,
terletak di jantung Arab, sebuah wilayah yang stabilitasnya sangat penting
bagi kepentingan AS’ [Michael O’Hanlon, Anggota Senior, Brooking,
Kesaksian di hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR AS, 2 Oktober
2002]. Karenanya, perubahan rezim di Irak merupakan upaya merealisasikan
cita-cita AS dalam ‘membentuk lingkungan’ Timur Tengah menurut sudut
pandangnya sendiri [Carl Conetta dan Charles Knight, ‘Military Strategy
Under Review’, Foreign Policy in Focus Vol. IV No. 3, Januari 1999].
Perubahan rezim bahkan akan memecah wilayah Irak menjadi beberapa bagian,
sesuatu yang telah AS upayakan sejak akhir Perang Teluk tahun 1991, namun
selalu gagal. Pada bulan September 1998, di hadapan The House National
Security Committee, Deputi Menteri Pertahanan, Paul Wolfowitz, menguraikan
tipu muslihat Amerika dalam melakukan kontrol atas Irak, ‘Membangun zona
aman yang terlindungi di bagian Selatan, di mana pihak oposisi Saddam bisa
berkumpul dan mengorganisir, akan memungkinkan… pemerintahan
sementara mengontrol ladang minyak terbesar di Irak dan membuka
ketersediaan minyak, di bawah pengawasan internasional, sumber-sumber
keuangan yang luar biasa besarnya untuk tujuan politis, kemanusiaan dan
akhirnya, tujuan militer’ [Pernyataan Paul Wolfowitz perihal Kebijakan AS
terhadap Irak, 18 September 1998]. Dukungan Donald Rumsfeld dan Paul
Wolfowitz terhadap sepucuk surat yang disponsori oleh The Project for a New
American Century lebih jauh lagi membuktikan kebijakan AS, ‘menyerukan
pendirian pemerintahan sementara dan berdaulat di wilayah Utara dan
Selatan Irak yang tidak berada di bawah kontrol Saddam… pasukan militer AS
dan sekutu harus dipersiapkan untuk mendukung pihak oposisi Irak dan
bersiap-siap… untuk membantu menggusur Saddam dari tampuk kekuasaan’
[‘Memorandum to Opinion Leaders’ from Tom Donnelly, Deputy
Executive Director of the Project for the New American Century, 6 Juli
2001].
20. Tidak diragukan lagi krisis Irak merupakan episode lanjutan dari rivalitas
kolonialis yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Pada awal abad
ke-20, Inggris dan Perancis membagi Khilafah Utsmaniyah ke dalam
negara-negara boneka, salah satunya adalah Irak, dan di awal abad ke-21, AS
berusaha menandingi imperialisme Eropa dengan, bahkan, memecah-belah
Irak. Mereka menundukkan rakyat dengan menyebarluaskan racun ideologis,
yang baik dahulu maupun sekarang selalu menjadi dorongan di balik
gerakan-gerakan nasionalis yang menimbulkan penderitaan berkepanjangan
bagi kaum Muslim. Bencana ideologis yang lahir pada zaman Renaissance
telah membuat dunia Barat tidak hanya menjajah Timur Tengah tetapi juga
Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Sejarahnya dipenuhi dengan janji-janji
hiprokrit, argumentasi palsu dan tipu muslihat. Sebelumnya, sejarah dunia tidak
pernah mengalami ketidakadilan, korupsi dan kesenjangan ekonomi yang
demikian parah. Dengan hancurnya Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret
1924 oleh negara-negara kolonialis, maka hilang jualah satu-satunya negara
yang mengemban kepemimpinan ideologis sejati dan yang menjadi alternatif
ideologis selain Kapitalisme Barat. Para kolonialis telah menghancurkan
negara tersebut dan memecah-belah penduduknya pada saat rasa persaudaraan,
cinta dan kasih sayang telah terjalin kuat di antara mereka. Selanjutnya mereka,
kolonialis itu, menabur benih perang di Palestina. Padahal selama
berabad-abad, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen telah hidup berdampingan di
sana dengan penuh martabat, kehormatan, dan keadilan, di bawah naungan
Islam. Bukan hanya itu saja, mereka pun memaksakan penerapan sistem aturan
mereka melalui para rezim diktator di atas puing-puing Khilafah. Rezim-rezim
yang akan melindungi kepentingan-kepentingan Barat dengan cara mencegah
berdirinya kembali Negara Khilafah melalui perjuangan damai. Untuk
membungkam perjuangan damai itu, rezim-rezim tersebut bahkan tega
melakukan pembunuhan, penahanan dan penyiksaan, karena Khilafah
merupakan satu-satunya negara yang akan benar-benar menjadi tandingan
ideologis bagi kapitalisme liberal Barat.
21. Oleh karena itu, kolonialisme terasa begitu hidup karena ia memang bagian
integral dari eksistensi peradaban Barat, dan doktrin Bush sebagaimana juga
doktrin imperialisme liberal baru yang diajukan oleh Robert Cooper,
merupakan produk kolonialisme masa kini. Masa yang oleh para pemikir Barat
disebut sebagai sebuah peralihan menuju ‘abad informasi’ atau ‘era pasca
industri’ yang digambarkan futuris Alvin Toffler sebagai lahirnya sebuah
peradaban baru. Namun, selagi Barat berupaya membangun infrastruktur baru
untuk menciptakan kemakmuran yang akan memajukan peradaban barat,
landasan bagi kemajuan ini tetap berakar pada doktrin sekular dan
masalah-masalah sosial yang terus bertambah sebagai hasil perubahan zaman
itu, bukan semata-mata hasil perubahan seperti yang dikemukakan oleh para
pemikir Barat, melainkan berasal dari kontradiksi filsafat Barat. Kemelut sosial
yang terjadi di Dunia Kesatu dan di Dunia Ketiga merupakan hasil ideologi
sekular dan globalisasi telah benar-benar menampakkan kejahatan kolonialisme
Barat. Tumbuhnya independensi bangsa-bangsa dan perkembangan informasi
telah membuka mata para pemikir Barat terhadap masalah-masalah kapitalisme
global dan karakter imperialisnya. Menciptakan tatanan internasional untuk
keamanan dan kesejahteraan tidak akan mengakhiri ketidakadilan, karena
tatanan tersebut dibentuk dalam konteks sekular, seperti halnya kolonialisme
yang juga lahir dari filsafat sekular.
Kesimpulan
Dokumen yang kami susun ini secara politis dan intelektual menyoroti dua
hal; motif sesungguhnya yang ada di balik perang terhadap Irak, dan kebijakan luar
negeri kolonial Barat. Dokumen ini dengan jelas memperlihatkan kepada para
pengamat yang memiliki kesadaran, bahwa dunia yang kita tempati sekarang sama
sekali tidak memiliki kepemimpinan sejati. Kapitalisme telah gagal
mempersatukan umat manusia, memajukan sarana-sarana material, mencerahkan
pemikiran mereka dan mengabaikan hasrat mereka akan peningkatan spiritual dan
intelektual. Nyatanya, kapitalisme malah membawa dunia menuju jurang
kehancuran. Mayoritas penduduk dunia berada dalam keadaan tertindas, sementara
yang minoritas mengeruk kekayaan dan sumber daya mereka. Ketidakseimbangan
ini dilegitimasi oleh kotak suara, di mana rakyat diberikan sejuta mimpi dan
harapan untuk sekadar melihat pemerintahan demi pemerintahan yang malah
semakin mempererat hubungan mereka dengan kekuasaan korporasi. Ideologi
seperti ini tidak dapat memimpin manusia keluar dari kegelapan menuju
kebangkitan yang hakiki.
Jadi, kami menyerukan perubahan kepada dunia. Bukan perubahan seperti
yang diramalkan Bush terhadap Irak, sekadar perubahan orang, perubahan rezim
–karena kita telah melihat rezim-rezim yang diganti oleh CIA, sehingga dunia
dikotori oleh Hamid Karzai-Hamid Karzai lain. Yang dibutuhkan dunia saat ini
adalah sebuah peninjauan ulang yang mendasar, tentang bagaimana hidup dan
sistem kehidupan itu dipandang. Perubahan yang kami ajukan adalah ideologi
Islam –solusi yang jelas dan satu-satunya terhadap penyakit yang kita derita.
Islam ideologis sudah lama ditindas oleh negara-negara Kapitalis. Kami,
sebagai Muslim, tetap berpendirian bahwa Islam telah memberi landasan yang
cerah yang melahirkan sistem hidup yang mumpuni; sebuah ideologi yang
memperlakukan semua permasalahan secara tepat, bertanggung jawab dan
seimbang. Islam tidak melarang kemajuan materi, namun Islam pun tidak
menjadikan materi sebagai kekuatan pendorong masyarakat, sehingga menafikan
nilai-nilai moral, spiritual dan kemanusiaan, seperti yang sekarang ini kita saksikan
terjadi di Barat. Politik Islam tidak berlandaskan atas prinsip-prinsip amoral Barat,
yang menjadikan ketercapaian kepentingan materi berada di atas segalanya,
sampai-sampai manusia kehilangan nilai-nilai kehidupan.
Satu-satunya proses penerapan Islam secara praktis ialah melalui pendirian
Negara Islam (Khilafah). Dengan absennya Khilafah dari percaturan politik dunia
sejak tahun 1924, dunia berada dalam genggaman kekuasaan tanpa belas kasih
yang berasal dari ideologi yang kini mengalami kemerosotan. Ideologi yang tidak
mengenal batas maupun rasa kemanusiaan. Saat ini, kaum Muslim di seluruh dunia
menyerukan berdirinya kembali Khilafah, karena memang itulah satu-satunya cara
yang dapat membebaskan kita dan bahkan dunia dari kapitalisme.
Kami mendorong Anda untuk memenuhi seruan perubahan ideologi
–sekaranglah saatnya bagi Anda untuk mempelajari Islam sebagai alternatif
ideologis.
Dan jangan sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8)
Lampiran 1
Berikut ini adalah beberapa ‘prestasi’ Bush selama 20 bulan pertama masa
kepresidenannya.
1. Memotong anggaran belanja negara untuk perpustakaan sebesar US$ 39 juta.
2. Memotong anggaran pelatihan ilmu kesehatan anak-anak lanjutan bagi dokter
sebesar US$ 35 juta.
3. Memotong anggaran penelitian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui
sekitar 50%.
4. Menunda pemberlakuan peraturan yang akan mengurangi kandungan arsenik
pada air minum.
5. Memotong anggaran penelitian kendaraan bermotor yang lebih bersih dan
efisien sebanyak 28%.
6. Mencabut aturan yang memperkuat kekuasaan pemerintah untuk membatalkan
kontrak dengan perusahaan yang melanggar undang-undang federal,
undang-undang lingkungan dan standar keselamatan kerja.
7. Melanggar janji kampanye untuk mengalokasikan dana sebesar US$ 100 juta
per tahun untuk konservasi hutan tropis.
8. Mengurangi Community Access Program (Program Akses Masyarakat)
sebanyak 86%, yaitu program yang mengkoordinir layanan kesehatan dari
rumah sakit umum, klinik, dan jasa pelayanan kesehatan lain, untuk
orang-orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
9. Menghilangkan proposal yang ditujukan untuk meningkatkan akses publik
terhadap informasi mengenai potensi ramifikasi kecelakaan pabrik bahan
kimia.
10. Menarik perjanjian Protokol Kyoto 1997 mengenai pemanasan global, yang
telah ditandatangani oleh 178 negara lain.
11. Menolak persetujuan internasional untuk menjalankan traktat tahun 1972
mengenai pelarangan senjata kuman.
12. Memangkas US$ 200 juta dari program pelatihan angkatan kerja bagi para
pekerja yang di-PHK.
13. Memangkas US$ 200 juta dari hibah Childcare and Development, sebuah
program yang memberi layanan perawatan bagi anak-anak yang berasal dari
keluarga berpenghasilan rendah yang membuat anak-anaknya harus bekerja.
14. Memangkas US$ 700 juta dana perbaikan perumahan umum.
15. Menggusur peraturan ergonomis tempat kerja yang dirancang untuk menjamin
kesehatan dan keselamatan pekerja.
16. Mengalokasikan hanya 3% dari jumlah yang diminta pengacara Departemen
Kehakiman dalam lanjutan proses litigasi pemerintah melawan perusahaan
tembakau.
17. Memaksakan potongan pajak, 43% di antaranya diperuntukkan bagi kalangan
terkaya di AS, yang hanya 1% dari total penduduk AS.
18. Memotong US$ 15,7 juta dari program yang mengurusi masalah penelantaran
dan penganiayaan anak.
19. Mengusulkan penghapusan program ‘Reading is Fundamental’, yang memberi
buku-buku gratis kepada anak-anak miskin.
20. Mendorong pengembangan ‘nuklir mini (mini-nukes)’, yang didisain untuk
menyerang sasaran yang terkubur sangat dalam –berarti pelanggaran terhadap
Comprehensive Test Ban Treaty.
21. Berupaya membalikkan regulasi yang melindungi 60 juta ha hutan nasional dari
penebangan dan pembangunan jalan.
22. Menunjuk Eksekutif Monsanto, Linda Fisher, menjadi deputi administrator
Environmental Protection Agency.
23. Menunjuk seorang ahli lobi minyak dan batubara, J. Steven Giles, menjadi
Deputi Menteri Dalam Negeri AS.
24. Mengusulkan penjualan minyak dan lahan di kawasan suaka alam Alaska.
Lampiran 2
Berikut ini adalah beberapa bidang di mana Amerika Serikat dapat berbangga hati
dengan menjadi negara nomor satu di dunia.
1. Dalam korban tewas akibat senjata api.
2. Dalam penggunaan energi per kapita.
3. Dalam emisi karbondioksida (lebih dari emisi gabungan Australia, Brazil,
Kanada, Perancis, India, Indonesia, Jerman, Itali, Meksiko, dan Inggris
sekalipun).
4. Dalam sampah kota total dan per kapita (720 kg per orang per tahun).
5. Dalam produksi sampah yang berbahaya (dengan sebuah faktor lebih dari dua
puluh kali pesaing terdekat Amerika, Jerman).
6. Dalam konsumsi minyak.
7. Dalam konsumsi gas alam.
8. Dalam jumlah pengeluaran pemerintah negara bagian dan federal terminim
(prosentase dari GDP).
9. Dalam konsumsi kalori per kapita per hari.
10. Dalam kehadiran pemilih pemilu terendah.
11. Dalam minimnya jumlah keterwakilan partai politik yang diwakili dalam lower
atau single house.
12. Dalam jumlah pemerkosaan yang tercatat (hampir tiga kali lebih besar dari
pesaing terdekat –yaitu Kanada).
13. Dalam jumlah korban cedera dan meninggal akibat kecelakaan di jalan raya
(hampir dua kali lipat dari peringkat kedua –yakni Kanada).
14. Nomor satu di antara negara-negara anggota PBB dengan pemerintah yang sah
yang tidak meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak.
15. Dalam jumlah eksekusi yang diketahui atas pelaku penyerangan terhadap
anak-anak.
16. Dalam hal kemungkinan anak-anak di bawah usia 15 tahun mati akibat senjata
api.
17. Dalam hal kemungkinan anak-anak di bawah usia 15 tahun melakukan bunuh
diri dengan senjata api.
18. Dalam nilai matematika terendah untuk siswa kelas 8 (setara kelas 2 SLTP).
i
Covert operations, menurut definisi US Department of Defense (DOD), Interpol
(I), dan Inter-American Defense Board (IADB), adalah operasi yang sangat
terencana dan dieksekusi dengan menyembunyikan identitas atau mengizinkan
penyangkalan yang masuk akal oleh pihak sponsor. Covert operations berbeda
dengan clandestine operations, meskipun sama-sama sering diartikan sebagai
operasi rahasia. Covert operations lebih menekankan masalah ketersembunyian
identitas sponsor dan bukan operasinya itu sendiri (Sumber: Joint Chiefs of Staff,
Department of Defense, JCS Pub 1, 1987, dalam Propaganda and Psychological
Warfare Studies, Glossary – Department of Defense – Military and Associated
Terms).
ii
Preemptive attack adalah serangan yang bersifat pencegahan terhadap pihak atau
pihak-pihak (bisa individu, kelompok, atau negara) yang dianggap akan melakukan
suatu aksi tertentu terhadap negara pelaku preemptive attack.