Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui
hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua
macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang
perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan.
Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum
wadh’I adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai
contoh: hukum waris.
Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal
dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-
hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-
hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam Islam ada yang dikenal dengan istilah Syura atau musyawarah. Yang merupakan
derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’ mempunyai beberapa makna,
antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya;
menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan
mencari kebenaran. Meminta pendapat dan mencari kebenaran adalah salah satu prinsip dalam
demokrasi yang dianut sebagian besar bangsa di dunia. Didalam Islam bermusyawarah untuk
mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan.
BAB II
Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui
hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua
macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.
Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk
menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang
menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum wadh’I adalah hukum yang
menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik dengan sesama muslim maupun non muslim.
3. Sumber Hukum
1. Al Qur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
4. Fatwa sahabat
5. Qiyas
Berdasarkan jumhur ulama (pendapat mayoritas ulama), hukum terbagi menjadi lima
macam, yaitu:
1. Wajib yaitu suatu perintah yang apabila tidak dilaksanakan berdosa. Wajib terbagi menjadi
dua macam:
a. Wajib yang memiliki waktu yang luas disebut wajib muwassa. Keluasaan waktu itu
memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah yang lain.
b. Wajib memiliki waktu yang terbatas disebut wajib mudhayyaq. Ibadah itu hanya dapat
dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan dan tak dapat dilakukan diluar waktu
tersebut. sebagai contoh puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijah.
2. Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan berpahala dan bila tidak dilaksanakan ia
akan merugi walaupun tidak berdosa. Sunnah terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah Muakkad, yaitu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu,
contoh shalat dua rakaat setelah shubuh.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan tidak secara kontinyu, contoh: shalat
empat rakaat sebelum zhuhur.
Sunnah di bawah keduanya, yaitu kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW seperti
bersiwak (sikat gigi).
3. Mubah yaitu kebebasan bagi muslim untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau
meninggalkannya. Contoh makan, minum, dsb.
4. Makruh yaitu suatu larangan secara syara terhadap suatu perbuatan namun tidak bersifat
pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, meninggalkan
perbuatan tersebut terpuji dan mengerjakannya tercela.
5. Haram yaitu larangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik yang ditetapkan berdasarkan
dalil qath’i dan zhonni. Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan
perbuatan itu pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada
dua macam, yaitu:
a. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut
terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr, berzina,
dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya larangan
tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat
menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai riba, melihat aurat wanita,
dll.
5. Kesetaraan Hukum dalam Islam
Kita akan melihat sekelumit contoh-contoh nyata kesetaraan hukum dalam Islam yang telah
diterapkan dan akan senantiasa diterapkan di negeri-negeri muslim.
Adalah masalah obyek pembebanan syari’at Islam. Pembebanan syari’at berlaku untuk
semua kalangan yang tidak mempunyai udzur baik berupa shalat, puasa, zakat, haji, dan lain
sebagainya.
Adalah Shalat, yang merupakan rukun Islam kedua, menunjukkan sebuah kesetaraan yang
dapat terlihat jelas. Kaum muslimin berdiri berjajar dalam satu barisan tanpa membedakan status
sosial, usia, dan warna kulit. Demikian pula dalam hal pakaian ihram yang menyatukan muslimin
dari seluruh penjuru dunia.
BAB III
Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Menurut UU. No. 39 tahun
1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pada gilirannya, hak-hak dasar atau
hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana
hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Umumnya, kita, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari
pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan
di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal
dari Barat. Kita mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun
1215. Pada 1628, kaum bangsawan menuntut hak-hak mereka kepada raja. Mereka mencetuskan
Petition Of Right. Yang menuntut sebuah negara yang konstitusional, termasuk didalamnya fungsi
parlemen dan fungsi pengadilan di Inggeris. Lonceng kebebasan terus berdentang dan pada 16
desember 1689 Bill Of Rights lahir. Mereka tidak hanya berhasil membebaskan diri dari
kesewenangan raja. Dan mereka juga berhasil membentuk parlemen yang mempunyai kewenangan
untuk mengontrol kekuasaan raja. Menyusul kemudian The American Declaration of Indepencence
of 1776, dibarengi dengan Virginia Declaration of Right of 1776. Seterusnya Declaration des droits
de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusai dan warga negara, 1789) naskah yang
dicetuskan pada awal revolusi Perancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan raja
dengan kekuasaan absolut, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi
Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948.
Padahal, kalau kita mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnya semenjak
Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus
tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan
ditegakkannya HAM dalam Islam. Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya
konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan
secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM
universal.
A. Sejarah Ham dalam Islam
Risalah Islam (sejak permulaannya di kota suci Mekah) sudah memasukkan hak-hak asasi
manusia dalam ajaran-ajaran dasarnya bersamaan dengan penekanan masalah kewajiban manusia
terhadap sesamanya.
Oleh karenanya, kita dapat menemukan di berbagai surat dalam Kitab Suci Al Qur`an yang
diturunkan pada awal-awal periode Mekah, yang berbicara tentang pengutukan terhadap berbagai
bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berlaku pada masa itu. Al Qur`an tidak hanya
mengutuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu, tetapi juga
memberikan motivasi secara positif kepada manusia untuk menghargai hak-hak tersebut.
"Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah
dia dibunuh" (Q.S. At-Takwir : 8-9)
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak
yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin" (Q.S. Al-Ma`un : 1-3)
"Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak
dari perbudakan" (Q.S. Al-Balad : 12-13)
Hak Asasi Manusia juga terkandung dalam Piagam Madinah. Hak asasi manusia yang
terkandung dalam Piagam Madinah dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu hak untuk hidup,
kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.
2. Kebebasan
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
Musyawarah merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan
perkara yang sekaligus merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan mengeluarkan
pendapat.
b. Kebebasan beragama
Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di
dalam pasal 25.
Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan
terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah
upaya kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandanagn Barat.
Larangan melakukan pembunuhan, ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup
bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal
di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
Dalam Piagam Madinah, meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna
kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus
berbarengan dengan ketenangan batin.
Selanjutnya, untuk menandai permulaan abad ke-15 Era Islam, bulan September 1981, di
Paris (Perancis), telah diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia. Deklarasi ini berdasarkan
Kitab Suci Al-Qur`an dan As-Sunnah serta telah dicanangkan oleh para sarjana muslim, ahli hukum,
dan para perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia.
Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-hak asasi
manusia yang harus ditegakkan, yakni mencakup :
1. Hak Hidup
2. Hak Kemerdekaan
3. Hak Persamaan dan Larangan terhadap Adanya Diskriminasi yang Tidak Terizinkan
11.Hak dan Kewajiban untuk Berpartisipasi dalam Pelaksanaan dan Manajemen Urusan-urusan
Publik
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara
meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya,
asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura
(musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid
Ahmad, Fathi Osman dan Shaikh Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain
yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling
pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena,
kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai
secara stereotipe oleh sejumlah kalangan.
Ada tiga hal yang membuat Islam adalah agama yang demokratis, yaitu:
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos(rakyat) dan kratos (kekuasaan).
Aristoteles dalam bukunya "Organon" bab Retorika ketika menyandingkan bentuk-bentuk
pemerintahan dalam: Demokrasi, Oligarki, Aristokrasi, dan Monarki mendefinisikan pemerintahan
demokrasi sebagai jika kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi-bagi menurut pemilihan atau
kesepakatan.
Ibn Rusyd (Averroes) seorang filosof muslim Andalusia termasyur sekaligus pensyarah
buku-buku Aristoletes menerjemahkan demokrasi dengan "politik kolektif" (as siyasah al
jama'iyah).
Sedang dalam ilmu sosiologi, demokrasi adalah sikap hidup yang berpijak pada sikap
egaliter (mengakui persamaan derajat) dan kebebasan berpikir.
Meski demokrasi merupakan kata kuno, namun demokrasi moderen merupakan istilah yang
mengacu pada eksperimen orang-orang Barat dalam bernegara sebelum abad XX.
Orang-orang Islam mengenal kata demokrasi sejak jaman transliterasi buku-buku Yunani
pada jaman Abbasiyah. Selanjutnya kata itu menjadi bahasan pokok para filosof muslim jaman
pertengahan seperti Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibn Rusyd ketika membahas karya-karya Aristoteles.
Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal
oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyah) yang
merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad (Saw.),
termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama
(syuro), kebebasan mengkritik penguasa, kebebasan berpendapat.
Sikap bebas dan demokratis merupakan ciri kehidupan yang hilang dari tengan-tengah
sebagian besar ummat Islam pada saat ini, baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Kebebasan dan sikap demokratis mulai hilang dalam Islam seiring dengan berakhirnya kekuasaan
khalifah keempat, Ali bin Abi Talib.
Setelah Ali terbunuh, pengikutnya membai'at anaknya Al Hasan bin Ali sebagai khalifah. Al
Hasan bukanlah seorang kuat disamping ia selalu menghindar dari konfrontasi politik. Dengan
alasan demi persatuan ummat Islam, maka ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muawiyah
bin Abi Sufyan, lawan politik Ali yang juga keluarga dekat Utsman.
Ketika Muawiyah berkuasa inilah kebebasan dan sikap demokratis yang diajarkan Nabi
Muhammad (Saw.) mulai terpasung. Dengan menggunakan jargon-jargon agama yang totalistik (al
jabariyah) dan ketajaman pedang, Muawiyah berusaha memperoleh legitimasi kekuasaan dari
rakyat dan mempertahankannya. Muawiyah selalu mengatakan bahwa kekuasaannya merupakan
kehendak Tuhan, karena itu tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya.
Pada masa Muawiyah pula terjadi pewarisan kekuasaan pertama dalam sejarah Islam.
Muawiyah telah mengubah sistem pemerintahan Islam dari demokrasi (pemerintahan yang dikelola
bersama-sama dengan sistem syuro/musyawarah) menjadi monarkhi. Kekuasaan Muawiyah ini
dikenal dengan "Dinasti Bani Umaiyah".
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab hilangnya kebebasan dan demokrasi dari
masyarakat Islam.
1. Kekejaman para penguasa muslim pada masa lalu. Sikap despotis ini telah membentuk
sebuah masyarakat yang miskin tata negara. Karena para ilmuwan muslim tidak banyak menulis
perihal sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan ideal, akibat kerasnya tekanan penguasa.
2. Hilangnya sistem konstitusi sebagai tempat berpijak bagi kehidupan bernegara. Tradisi
membangun konstitusi sebenarnya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad (Saw.) tatkala
membangun negara Madinah. Konstitusi negara Madinah bernama "Piagam Madinah" (Watsiqah Al
Madinah) hingga kini masih dapat dijumpai dalam literatur Islam. Namun entah mengapa tradisi
berkonstitusi pada praktek kenegaraan kaum muslimin selanjutnya hilang. Hilangnya tradisi
konstitusi ini berdampak pada hilangnya demokrasi dan timbulnya pertumpahan darah yang runyam
pada setiap kali peralihan kekuasaan.
3. Pengekangan kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi. Setiap penguasa Islam
pada masa lalu (hingga saat ini) memilih mazhab atau aliran agama tertentu sebagai aliran resmi
negara dengan menyingkirkan aliran-aliran lain. Sebagaimana pada beberapa kurun Dinasti
Abbasiyah yang bermazhab Mu'tazilah (rasionalis). Pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir
bermazhab Syi'ah. Begitu pula dengan kondisi negara-negara Islam moderen, seperti Kerajaan Arab
Saudi dan Iran.
4. Sikap beragama yang menyimpang di kalangan kaum muslimin. Sikap beragama yang
menyimpang ini pada akhirnya menimbulkan ekstrimitas; ekstrim dalam berinteraksi dengan
keduniaan dan esktrim tidak peduli dengan urusan keduniaan.
BAB V
PENUTUP
Inilah agama Islam yang senantiasa menyerukan kepada keadilan dan kesetaraan hukum
dalam berinteraksi dengan sesama. Dan demikian pula kaum muslimin yang dipelopori oleh
generasi terbaik mereka, dengan keikhlasan mereka menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan dengan
sebaik-baiknya. Karena memang dengan inilah kenikmatan akan dirasakan oleh manusia, dengan
kesetaraan hukum yang tanpa membedakan warna kulit, bahasa, dan negara.
Selain itu, jika kita mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnya HAM sudah
dikenalkan serta dilaksanakan dan ditegakkan dalam Islam. semenjak Nabi Muhammad S.A.W.
memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum
Magna Charta lahir). Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap
daripada konsepsi HAM universal.
Sistem politik Islam yang konstitusional, partisipatoris, dan akuntabilitas adalah sebuah
bukti bahwa Islam adalah agama yang demokratis, walau pun istilah demokrasi sendiri tidak pernah
dikenal dalam agama Islam. Tapi karena beberapa faktor, sikap itu mulai hilang dari masyarakat
Islam. Perlu adanya pengajaran kembali tentang pemahaman agama Islam yang benar sehingga
demokorasi dalam Islam dapat betul-betul dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Mediamuslim.info
Materitarbiyah.com
Artikelpendidikan.net
Ekomiharjahmarzoeki.blog.friendster.com
Hmibecak.wordpress.com
redaksi:
noor fithriyah
renaldy “mas rey” azwari delmi
ema dessy naediwati
laily elfa syahrini