You are on page 1of 9

Pola Pengasuhan Anak Suku Marind-Anim

Kabupaten Merauke, Propinsi Papua


Oleh
Afif Futaqi
0606096585

I. 1 Pendahluan
Indonesia adalah suatu Negara yang majemuk dimana penduduknya terdiri dari berbagai
suku bangsa yang berbeda kebudayaannya. Selain itu sebagaian besar penduduk Indonesia masih
bertempat tinggal di daerah pedesaan. Misalnya daerah mohenjere marouke. Dengan demikian
pola pengasuhan khususnya pola kehidupan masyarakat umumnya atara berbeda antara di daerah
perkotaan dengan daerah pedesaan sesuai dengan kebudayaannya. Pengasuhan anak tidak sama
bentuknya pada setiap keluarga ataupun setiap suku bangsa. Hal tersebut sangat dipengaruhui
oleh factor-faktor kebudayaan yang mendukungnya, seperti factor pendidikan, factor stratifikasi
social, factor mata pencaharian, dan factor kebiasaan dalam tiap keluarga ataupun suku bangsa.
Selain itu factor lingkungan seperti tempat tinggal, siapa-siapa yang tinggal dirumah akan tempat
tinggal juga turut mempengaruhui pola pengasuhan anak.
Berbicara mengenai pola pengasuhan anak pada suku marind-anim kabupaten marauke,
propinsi Papua sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan taraf hidup yang jauh berbeda dengan
daerah pedesaan pada masyarakat jwa ataupu daerah perkotaan. Pengahusan anak “child
rearing” adalah bagaian dari proses sosialisasi yang paling penting dan mendasar. Pengasuhan
anak tidak hanya meliputi mendidik, menjaga, merawat, serta membimbing anak-anak dalam
keluarga, tetapi juga mendidik kesopanan, saling menghormati, disiplin, serta kebersihan dan
kesehatan. Dalam hal ini sosialisasi adalah proses seorang individu berinteraksi dengan
sesemanya(Hartati, 1991).
Dalam suatu masyarakat menurut system nilai, norma, dan adatistiadat yang mengatur
masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain sosialisasi merupakan proses belajar
kebudayaan di dalam suatu sistem social tertentu. System sosial berisikan berbagai kedudukan
dan peranan yang terkait dengan suatu masyarakat dengan kebudayaannya. Dalam tingkat system
social sosialisasi merupakan proses belajar mengenai nilai dan aturan untuk bertindak interaksi
dengan seorang individu dengan berbagai individu di sekitarnya dari masa kanak-kanak hingga
masa tuanya(Sutarno, 1989).
Sosialisasi bisa dilihat juga sebgai proses pewarisan pengetahuan kebudayaan yang berisi
nilai-nilai, norma-norma dan aturan untuk berinteraksi antar satu individu dengan individu lain,
antara satu invidu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok. Pengetahuan
kebudayaan itu di wariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan yang menyebabkan
tidak tertutup kemungkinan adanya pergeseran, perubahan nilai, norma, dan aturan sehingga
membentuk norma atau aturan baru. Proses pewarisan ini akan terus berjalan sepanjang hidup
manusia. Nilai-nilai, norma-norma, dan aturan tidak akan pernah berhenti. Sepanjang manusia
itu ada(Delly, 1989).
Peranan keluarga juga turut mempengaruhi terhadap pendewasaan seorang anggotanya.
Hal ini sesuai dengan fungsi keluarga batih dalam didalam masyarakat. Keluarga batih
merupakan kelompok dimana individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta
keamanan dalam hidup. Dan keluarga batih juga merupakan kelompok dimana tempat individu
masih kanak-kanak yang masih belum berdaya, mendapat pengasuhan dan permulaan dari
pendidikannya (koentjaraningrat, 1977;106). Disisi lain, keluarga merupakan jembatan antara
individu dengan kebudayaannya. Melalui keluarga, anak belajar mengenal nilai-nilai, peran
social, norma-norma serta adat istiadat yang ditanamkan oleh orang tua (Geertz, 1983;153)
Orang tua dan individu-individu dewasa di lingkungan anak merupakan kelompok
perantara yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada anak, dan disiniah dialami anatara
aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan social (Mayor Polak,
1974;66). Praktik-praktik pengasuhan anak ini akan erat hubungannnya dengan kepribadian anak
setelah menjadi dewasa. Hal ini karena cirri-ciri dan unsur watak seorang individu dewasa
sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa individu sejak awal, dari masih
kanak-kanak. Watak juga ditentukan oeh caracara dia sewaktu kecil diajarkan makan,
kebersihan, disiplin, main, dan bergaul dengan anak-anak lainnya (Koentjaraningrat, 1979;133).
Pembentukan watak dan kepribadian ini juga dipengaruhi oleh factor-faktor yang lain, misalnya
keadaan ekonomi masyarakat setempat dan lingkungan budaya yang berupa aturan-aturan,
norma-norma, serta adat istiadat yang diwariskan secara turun menurun. Sehingga warisan ini
memegang peranan yang sangat penting didalama membentuk tingkah laku (Ralp Linton,
1984;94-97)
I. 2 Masalah Penelitian
Dalam Masyarakat Tradisional, pendidikan dikembangkan melalui lembaga adat dan
dalam lingkungan keluarga, dan nilai-nilai yang menjadi acuan sikap dan tingkah laku bagi
masyarakat sudah baku. Tapi sekarang ini dengan semakin majunya tekhnologi dan adanya
interaksi dengan masyarakat lainnya tentu mengalami perubahan-perubahan dalam sistem nilai,
aturan-aturan, tingkah laku dalam pengasuhan anak. Hal ini juga terkait dengan perubahan
lingkungan geografis yang juga mempengaruhi kebudayaan nya yang berdampak pada pola
pengasuhan anak.
Untuk itu saya ingin melihat bagaimana pola pengasuhan anak melalui pola tingkah laku
yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Disisilain pola pengasuhan anak pada setiap suku
bangsa, suku bangsa, atau masyarakat berbeda-beda. Bahkan dalam tiap keluarga bentuk pola
pengasuhan anaknya tidak sama. Hal ini selain di pengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar
juga oleh faktor kehdupan latar belakang. Misalnya latar belakang pendidikan, mata pencaharian,
keadaan sosial dan ekonomi. Hal ini lah yang membuat pola pengasuhan anak berbeda-beda.
Pola pengasuhan anak dalam keluarga pedagang berbeda dengan pola pengasuhan anak petani.
Begitu pula dengan pola pengasuhan anak perkotaan dengan pola pengasuhan anak suku marind-
anim yang akan saya teliti.
Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan
mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman
nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat
materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti
daripada sangsi moral. Orang tua dan individu-individu dewasa di lingkungan anak merupakan
kelompok perantara yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada anak, dan disiniah dialami
anatara aksi dan disiplin pertama yang dikenakan kepadanya dalam kehidupan social (polak,
1974;66).
Praktik-praktik pengasuhan anak ini akan erat hubungannnya dengan kepribadian anak
setelah menjadi dewasa. Hal ini karena cirri-ciri dan unsur watak seorang individu dewasa
sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya ke dalam jiwa individu sejak awal, dari masih
kanak-kanak. Watak juga ditentukan oeh caracara dia sewaktu kecil diajarkan makan,
kebersihan, disiplin, main, dan bergaul dengan anak-anak lainnya (koentjaraningrat, 1979;133).
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis
individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang
sama di dalam masyarakat. Untuk melihat praktik-praktik pola pengasuhan anak pada suku
marind-anim dan siapa tokoh yang sangat berperan dalam pengasuhan anak dalam suatu
keluarga.
I. 3 Kerangka Teori
Pengasuhan anak merupakan bagian yang sangat penting dari proses sosialisasi yang
dapat berakibta besar terhadapa kelakuan si anak jika dia sudah emnjadi dewasa. Hal ini terkait
dengan kelakuan manusia yang bervariasi tergantung pada masyarakat yang dibicarakannya atau
pendukung kebudayaan tersebut. Variasi-variasi itu diteruskan dari satu generasi ke generasi
yang berikutnya melalui “sosial learning” (linton, 1962;127-129). Pengaruh kebudayaan pada
keprbadian anak sangat besar dengan cirri-ciri kepribadian anak yang berkebudayaaan berlainan
tidaklah sama. Hal ini disebabkan oleh sistem nilai kebudayaan masing-masing yang berbeda
sehingga cara mengasuh dan mendidiknypun berbeda (linton, 1962 :119-121)
Proses sosialisasi bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungan
dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa kanak-kanak hingga masa
tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam perananan sosial yang
mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari (koentjaraningrat, 1980;243). Sedangkan dalam
konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis
individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang
sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead dalam james danandjaja, 2005)
Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat dilandasi oleh pikiran untuk
menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan obyektif tersebut
membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh
orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak
tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi
perubahan masyarakat.
Adanya perbedaan sifat-sifat kepribadian atau tempramen antara anak laki-laki dan anak
perempuan tidak bersifat universal. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan kebudayaan
struktur sosial, dan sejarah seperti yang dimiliki kaum wanita pada umumnya dimasayarkat ero-
Amerika. Hal ini juga terkait dalam pergaulan adat mengenai seks, yang cukup berperan aktif
dalam kebudayaan wanita. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila yang berias diri adalah
kaum laki-lakinya pada masyarakat tchambuli berbeda dengan yang dimiliki kaum wanita pada
masyarakat ero-amerika (Mead, 1935). Misalnya pada wanita jawa dari kalangan atas, apabila
berada di depan umum akan mempertunjukan kepribadian yang lembut, namun jika berada di
rumah sendiri kepribadian seperti itu tidak akan dipertahankan, melainkan tergantung
kepribadian perorangannya, situasi dan kondisi. Kepribadian yang lemah lembut itu adalah
kepribadian yang ditentukan oleh kebudayaan Jawa bagi kaum wanitanya sebagai kepribadian
formal, namun tidak formal lain lagi tergantung watak pribadinya serta situasi dan kondisi (Mead
dalam Danandjaja, 2005 )
Pada orang jepang berkelebihan terhadap upacara kerapihan, dan ketertiban ada
keinginan tersembunyi untuk berbuat agresif. Sifat seperti ini timbul sebagai akibat kebencian
sewaktu bayi, yang di paksakan untuk melakukan sesuatu yang tidak ia mengerti, karena harus
mengendalikan otot lubang duburnya, sebelum ia dapat menguasainya. Kebencian ini akan tetap
merupakan sebagaian kepribadiannya setelah dewasa nanti.(Gorer, 1943) Disisi lain seoarang
bayi rusia akan dibedong dengan erat dengan sehelai kain panjang yang mengikat tungkai
bawahnya maupun tungkai atanya lurus dikedua samping tubuhnya. Alasan yang diberikan untuk
membedong ini adalah seoarang bayi mempunyai potensi kekuatan yang sangat besar, jika tidak
dibedong akan menyakiti tubuhnya sendiri. Pembedongan ini akan dilepas dari ikatan bedongnya
sewaktu disusui saja dan dilakukan sampai usui Sembilan bulan. Pembedongan ini sangat
menghambatbukan saja gerak fisik anak, melainkan juga ekspres emosial mlalui seluruh
tubunya. Oleh karena itu dengan pembedongan ini jiwanya akan terkekang sehingga
menimbulkan frustasi. Akibatnya timbulah manic depressive masal pada orang rusia dewasa
pada umunya. Itulah sebabnya setelah dewasa orang rusia senang akan berpesta gila-gilaan
dengan minuman keras. Tetapi dengan kondisi lain mereka merasa sedih dan dosa (Gorer, 1949).
Disisilain pola pengasuhan anak pada setiap suku bangsa, suku bangsa, atau masyarakat
berbeda-beda. Bahkan dalam tiap keluarga bentuk pola pengasuhan anaknya tidak sama. Hal ini
selain di pengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar juga oleh faktor kehdupan latar belakang.
Misalnya latar belakang pendidikan, mata pencaharian, keadaan sosial dan ekonomi. Hal ini lah
yang membuat pola pengasuhan anak berbeda-beda. Pola pengasuhan anak dalam keluarga
pedagang berbeda dengan pola pengasuhan anak petani. Begitu pula dengan pola pengasuhan
anak perkotaan dengan pola pengasuhan anak suku marind-anim yang akan saya teliti. Tingkah
laku pada saat dewasa dilihat melalui lembaga adat dan dalam lingkungan keluarga, dan nilai-
nilai yang menjadi acuan sikap dan tingkah laku bagi masyarakat sudah baku.

I. 4 Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana pola pengasuhan anak pada suku marind-
anim sebagai penduduk asli Merauke, propinsi Papua. Nilai-nilai budaya yang masih
menjadi pedoman orang Marind-Anim berperilaku.

b. Tujuan penelitian ini juga untuk melihat seberapa jauh unsur-unsur kebudayaan
membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah
memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban
langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan masyarakat

I. 5 Signifikansi Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemahaman aplikatif terhadap
konsep dalam Antropologi psikogi. Secara khusus, dapat memberikan pengetahuan
baru pola pengasuhan anak yang berbeda dengan masyarakat perkotaan pada
umumnya. Yang mengacu pada pamahaman nilai-nilai kebudayaan yang menjadi
pendoman bertingkahlaku
b. Signifikansi praktisdari penlitian ini bertujuan memberikan pemahaman baru
mengenai nilai-nilai budaya Marind-Anim yang masih menjadi pedoman mereka
berperilaku yang diperoleh melalui pengasuhan anak. Nilai-nilai budaya tradisional
dapat terinternalisasi dalam proses pengasuhan di lingkungan keluarga.

I. 6 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Kegiatan
pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan terlibat (participant observation) dan
wawancara (interview). Dalam hal ni wawancara dilakukan dengan wawancara bebas dan
wawancara mendalam. Wawancara bebas dilakukan pada orang pendukung penelitian ini.
Misalnya kepala suku yang tahu mengenai suku marind-anim. Sedangkan wawancara mendalam
dilakukan kepada objek penelitian tersebut. Dalam hal ini wawancara mendalam merupakan
pertanyaan dengan jawaban yang tak terbatas.
Dengan participant observation saya tidak hanya mengobservasi masyarakat yang
dipelajari (dengan usaha untuk objektif). (Borofsky, 1994:15). Penelitian ini di lakukan dengan
penelitian langsung dilapangan. Dengan begitu dapat melakukan observasi langsung dengan
melakukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya natural dan menulis langsung apa yang dilihat
dan didengar. Dengan melakukan wawancara seseorang juga dapat membantu dalam penelitian
ini, tetapi harus adanya “cross-check” terhadapa informasi yang didapat untuk menghindarkan
dari informasi yang kurang dan mencocokan informasi yang telah didapat sebelumnya.(
Creswell, 1994)
Metode penelitian lsinnya yg dapat digunakan antropologi psikologi adalah pengumpulan
dan penganalisaan data pengalaman individu ”individual life hitory”. Data yang dikumpulkan
dalam penelitin dengan metode ini adalah semua keterangan mengenai apa yang pernah dialami
individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek
penelitian. Hal ini untuk mencapi suatu pengertian tentang suatu masyarakat, kebudayaan dan
tipe kepribadian tentang suatu bangsa atau suku bangsa, melalui pandangan mata individu-
individu yang merupakan warga masyarakat bersangkutan(Koentjaraningrat dalam Danandjaja,
2005)

I. 7 Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini akan di lakukan pada suku marind-anim di kabupaten marouke propinsi
paupua yang merupakan masyarakat asli maraoke, dimana saya mengkhususkan kepada pola
pengasuhan anak yang terbentuk dalam permasalahan ini. Hal terkait dengan pembentukan
kebudayaan marind-anim pada saat ini. disiniah maka saya cenderung untuk memlih pendekatan
antropologi psikologi dalam melihat permasalahan ini. Penelitian ini akan dilakukan pada 1 april
2010 sampai 31 mei 2010.
Dimulai dengan melakukan pengamatan terlibat dan wawancara. Dengan partisipant
observation saya tidak hanya mengobservasi masyarakat yang dipelajari. Dimulai dengan
melakukan pengamatan saya dapat melihat Proses sosialisasi bersangkutan dengan proses belajar
kebudayaan dalam hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa
kanak-kanak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala
macam perananan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari

DAFTAR PUSTAKA
Borofsky, Robert. “Assessing cultural anthropology.” New York. McGraw-Hill
Companies. 1994

Creswell, John W.‘Research Design Qualitative and Quantitative Approach’. London:


Sage Publications. Hlm. 148.1994

Danandjaja, James. “Antropologi Psikologi” Kepripadian Individu dan Kolektif. Jakarta.


Lemabaga Kajian Budaya. 2005

Delly, H. S. M., Wahyuningsih., Manan, Fajria Novart. “Pola pengasuhan anak secara
tradisional daerah Sumatera Barat.” Jakarta . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi
dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya . 1989

Geertz, Clifford,”Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa”, Pustaka Jaya,
Jakarta, 1983

Gorer Geoffrey. “Themes in Japanese Culture”, Transaction of academic of science. 1943

Gorer Geoffrey. “Sime Aspects of the Psychology of the People of Great Russia”. America
Slavic and East Eoropan Rewiew. 1949

Hartati.” Pola pengasuhan anak secara tradisional daerah Jawa Timur” . Jakarta .
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Diretorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. 1991
Koentjaraningrat.” Beberapa Pokok Antropologi Sosial”. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 1977

Koentjaraningrat.”Pengantar Ilmu Antropologi”. Jakarta: Aksara Baru. 1979

Koentjaraningrat.”Pengantar Antropologi”. Jakarta: UI Press. 1980.

Linton, Ralph. Terj. Fouad Hassan “Latar Belakang Kebudayaan daripada Kepribadian”.
Usaha Penerbit Daja Sakti. Djakarta. 1962.

Mead, Margaret. “sex and Temperament in three primitive socities. New York: Moorow.
1935

Polak, J.B.A.f. Mayor.” Sosiologi Pengantar Ringkas”. Jakarta: Ichtiar. 1974.

Sutarno, Adenan, Ita Novita.” Pola pengasuhan anak secara tradisional daerah Jawa
Tengah”. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya..1989

You might also like