You are on page 1of 25

INVENTARISASI dan SENSUS

Langkah pertama dalam pengelolaan satwa adalah inventarisasi satwa.


Untuk keperluan tersebut tentu harus mengetahui jenis-jenis satwa di lapangan
baik secara langsung maupun tidak langsung, pola dan musim perpindahan
satwa serta persiapan teknik untuk memonitornya. Selain itu sangat perlu
dilakukan inventarisasi habitat yang meliputi sensus flora, jenis tanah, suhu,
iklim, tata air, topografi dan tata guna lahan. Setelah data-data dianalisis
digunakan untuk penentuan pola pengelolaan satwa yang sesuai.
Inventarisasi dan sensus merupakan pekerjaan yang penting untuk
mengukur potensi kawasan yang mencakup aspek keanekaragaman,
penyebaran dan populasi flora fauna. Inventarisasi merupakan pekerjaan yang
lebih bersifat kualitatif, misalnya untuk mengetahui jenis-jenis flora (Analisa
Vegetasi) dan jenis-jenis fauna (Sensus Satwa) termasuk daerah
penyebarannya dan mempelajari lingkungan hidup secara umum.

ANALISA VEGETASI

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari


beberapa jenis (biasanya) hidup bersama-sama pada suatu tempat dan saling
berinteraksi antara satu dengan lainnya serta lingkungannya termasuk
margasatwa. Vegetasi hutan dibentuk oleh individu tumbuhan yang beragam
jenis dan memiliki variasi pada setiap kondisi tertentu. Setiap vegetasi dicirikan
oleh life form atau penampakan luar tumbuhan dominannya.
Analisa vegetasi adalah cara mempelajari komposisi jenis-jenis
penyusun hutan dan struktur horizontal dan vertikal vegetasi dan masyarakat
tumbuh-tumbuhan secara kualitatif dan kuantitatif.

Analisa Kualitatif

Analisia kualitatif menggambarkan sifat-sifat khusus spesies terhadap


vegetasi serta menggambarkan keberadaan suatu spesies pada waktu-waktu
yang akan datang. Bersifat kualitatif sehingga tidak memiliki nilai pasti (relatif),
sifat tergantung kepada pengamat (subyektifitas tinggi). Analisa ini meliputi :
sosiabilitas, vitabilitas, periodisitas dan stratifikasi.

1. Sosiabilitas
menggambarkan keberadaan suatu spesies pada ruang yang ditempatinya.
Kriteria sosiabilitas meliputi :
Sos. 1 : Individu spesies tumbuhan hidup soliter.
Sos. 2 : Individu hidup berkelompok kecil.
Sos. 3 : Individu hidup dalam kelompok besar/ berderet.
Sos. 4 : Individu hidup dalam koloni kecil menutup permukaan tanah.
Sos. 5 : Individu hidup berkelompok sangat besar (populasi murni).

2. Vitalitas
menggambarkan tingkat kesuburan suatu spesies dalam perkembangannya
sebagai respon terhadap lingkungan, diperlukan untuk mengetahui
keberhasilan hidup suatu spesies. Kriteria vitalitas meliputi:
Vit. 1: Berkembang baik, ada kecambah, sapihan, tiang, pohon dan siklus
hidup lengkap.
Vit. 2: Siklus hidup sering lengkap tetapi tidak teratur.
Vit. 3: Siklus hidup jarang lengkap.
Vit. 4: Kadang lengkap, kecambah sedikit dan jarang yang bertahan
(survive).

3. Periodesitas
menyatakan keadaan yang ritmis dalam kehidupan tumbuh-tumbuhan.
Keadaan ini dinyatakan dengan adanya daun, tunas, bunga, buah dan daun
yang melakukan fotosintesis (atau yang tidak berdaun).

4. Stratifikasi
akibat adanya persaingan, suatu spesies tertentu akan lebih dominan dari
lainya sehingga membentuk struktur vertikal disamping akibat perbedaan
umur dan jenis vegetasi yang ditentukan berdasarkan tinggi vegetasi.

Analisa Kuantitatif

Analisa kuantitatif mempunyai nilai absolut (misal cm, m, Ha),


menyatakan penentuan distribusi tumbuhan (frekwensi), kerapatan (density),
kelimpahan, kerimbunan dan luas bidang dasar serta indek nilai penting.

1. Frekuensi (F)

Merupakan perbandingan tempat pengambilan contoh yang ditumbuhi


suatu spesies dengan jumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi Relatif
(FR) dihitung berdasarkan perbandingan antara frekuensi suatu spesies
dengan seluruh spesies dikalikan 100 %.

Jumlah petak contoh ditemukannya suatu jenis


F=
Jumlah seluruh petak contoh yang dibuat
Frekuensi suatu jenis
F= x 100%
Frekuensi seluruh jenis

2. Kerapatan dan kelimpahan (K)

Diketahui dengan menghitung jumlah individu setiap spesies pada luas


tertentu dalam suatu vegetasi. Kerapatan relatif dihitung dengan membagi
kerapatan suatu spesies. Kelimpahan digunakan berdasar pada perhitungan
jumlah individu suatu spesies di seluruh petak contoh yang mengandung
spesies tersebut.
Apabila spesies tumbuhan terlalu banyak dan sulit rnenghitung jumlah
individu, maka sering digunakan kerapatan, terutama untuk menganalisa
vegetasi penutup tanah atau ground cover, menurut Broun - Blanguet (1976
dalam Surasana, 1980).
Jumlah individu suatu jenis Kerapatan suatu jenis
K= KR = x 100%
Luas Contoh (Ha) Kerapatan seluruh jenis

3. Kerimbunan dan Luas Basal (Dominasi) :

Menggambarkan penguasaan suatu daerah vegetasi oleh setiap spesies


tumbuhan, apabila dinyatakan penutupan tajuk pohon maka akan diperoleh
data kerimbunan, bila berdasarkan pengukuran diameter batang setinggi
dada (1,30 m) maka akan diperoleh pengukuran luas basal/LBPS (1/4 πd2).
Kerimbunan dan luas basal akhirnya menggambarkan dominasi suatu
spesies. Dominasi relatif merupakan perbandingan antara dominasi suatu
spesies dengan dominasi seluruh spesies dikalikan 100 %.

Jumlah LBDS suatu jenis Dominasi suatu jenis


D= DR= x 100%
Luas Contoh (Ha) Dominasi seluruh jenis

4. Indeks Nilai Pent ing (INF)

Dihitung berdasarkan penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi


relatif (FR) dan dominasi relatif (DR), menggambarkan besarnya pengaruh
suatu spesies tumbuhan terhadap komunitasnya. Spesies yang mempunyai
INF tertinggi mencirikan masyarakat tumbuhan dan menentukan bentuk
komunitas.

Teknik Analisa Vegetasi

Analisa vegetasi dilakukan dengan cara mengambil petak contoh


(sampel plot) sehingga tidak perlu mengukur pada seluruh areal hutan.
Beberapa metode sampling yang dikenal antara lain: metode petak tunggal,
metode petak ganda (kuadrat), metode jalur/transek, metode garis berpetak
maupun metode tanpa plot dan metode garis intersep.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1983), dalam analisa vegetasi
perlu adanya perbedaan stadium pohon dewasa, tiang atau pohon-pohon muda
(pole), pancang atau sapihan (sapling) dan semai (seedling).

Batasan-batasan tersebut adalah :

a. Pohon dewasa yaitu pohon yang mempunyai akar, batang dan tajuk
yang jelas dengan tinggi minimum 5 m serta mempunyai diameter batang >
35 cm atau keliling batang > 110 cm.
b. Tiang (pole) yaitu pohon muda, diameter batang 10-35 cm atau keliling
batang antara 31,4 - 110 cm.
c. Sapihan atau pancang (sapling) serta perdu lainnya yaitu permudaan
vegetasi dengan tinggi > 1,5 m sampai dengan pohon-pohon muda dengan
diameter batang < 10 cm.
d. Semai (seedling) serta tumbuhan bawah lainnya yaitu permudaan
vegetasi mulai dari kecambah sampai mempunyai tinggi < 1,5 m.

 Menggunakan Petak Contoh

1. Petak Tunggal
Menggunakan satu petak contoh yang diharapkan mewakili seluruh
vegetasi, ukuran minimum petak contoh tergantung kerapatan tegakan dan
jumlah jenis. Ukuran minimum petak contoh diperoleh dari "spesies area curve"
yang dibentuk dari hubungan antara jumlah komulatif jenis yang tercatat
dengan luas petak yang semakin besar. Cara sampling dengan menggunakan
petak tunggal disebut juga sebagai metode Releve (Baarbour et al., 1980).

Teknik Pelaksanaan

a. Pertama kali dibuat petak contoh kecil (untuk padang rumput digunakan
(0,5 x 0,5) m). Kemudian dicatat semua spesies yang ada di dalam petak
contoh kecil tersebut.
b. Petak contoh diperluas 2 kali, 4 kali, 8 kali dan seterusnya,
sehingga penambahan spesies yang dicatat setiap kali perluasan
menjadi sangat kecil (sedikit) atau penambahan luas petak contoh
tidak menyebabkan penambahan yang berarti pada banyaknya jenis.

1 2 4

Keterangan:
1,2,3…5 adalah
5 petak contoh yang
tumpang tindih

Gambar 1. Pembuatan petak contoh untuk penetapan luas minimal.

Penentuan Luas Minimum Area Contoh

1. Costing (1958)
Kriteria yang dijadikan dasar penentuan luas area minimum,
adalah penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan ju mlah
jenis lebih dari 5 - 10 % (Oosting, 1958). Contoh penentuan luas pe tak
contoh minimum tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Penentuan luas petak contoh minimum


Ukuran Petak Jumlah Penambahan
Persentase (%)
Tetak(Ha)
Contoh Jenis Jenis
0,25 10 - -
0,5 14 4 (4/10) x 100 = 40
1,0 16 2 (2/14) x 100 = 14,29
2,0 19 3 18,75
4,0 21 2 10,50
8,0 23 2 9,10
10 24 1 4,35
32 25 1 4,17

Tabel 1. Menunjukkan bahwa berdasarkan teori Oosting (1958)


luas petak contoh minimum adalah 8,0 Ha karena persentase
penambahan jenis kurang dari 10%.

2. Midler -Dumbois (1925)


Luas area minimal ditetapkan pada bagian kurva yang pada
awalnya meningkat tajam lalu menyentuh garis kurva yang hampir
mendatar. Cara penentuan sebagaimana pada kurva dalam Gambar
2.

3. Mctode Rice -Kelting (1955)


Bila dikchendaki bahwa petak contoh mengandung 95% jumlah
spesies yang terjaring dalam petak contoh terluas, maka luas area
minimal ditentukan dengan proyeksi titik pada kurva spesies area
yang b ernilai 95% dari total spesies pada petak contoh terluas
(Gambar 2). Dari data pada Tabel 1 diperoleh perhitungan sebagai
berikut :
Jumlah spesies pada plot terluas = 25
Pengurangan 5% = 7,5
Titik kurva spesies area = 17,5
1 2 4

Luas pelak contoh (Ha)

Gambar 2. Penentuan minimum area Muller-Dumbois (1925) dan Rice-


Kelting (1938).

2. Metode Transek / Jalur

Metode ini paling baik digunakan untuk mempelajari kelompok hutan


yang luas dan belum diketahui keadaannya. Cara ini efektif untuk mempelajari
perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi dan elevasi.
Jalur-jalur contoh dibuat memotong garis topografi, misalnya dari tepi laut ke
pedalaman, memotong sungai dan naik atau menuruni lereng pegunungan.
Pada umumnya lebar jalur 10 atau 20 m, dengan jarak antar jalur (200 -
1.000) m tergantung "Intensitas Sampling" (IS) yang dikehendaki. Sebaiknya
untuk kelompok hutan seluas 10.000 Ha atau lebih dipakai IS 2%, sedangkan
hutan yang luasnya kurang dari 1.000 Ha digunakan IS 10%.
Dalam perisalahan tegakan dan pengukuran pohon, jalur yang lebarnya
20 m dibagi menjadi petak-petak kontinyu yang berukuran (20 x 20) m atau (20
x 50) m untuk pohon, sedangkan jalur yang lebarnya I0 m dibagi menjadi petak-
petak kontinyu yang lebarnya (10 x l0) m untuk tiang, (5 x 5) m untuk
sapihan/pancang, dan (2 x 5) m untuk semai (seedling) atau tumbuhan bawah
(Garnbar 3).
20 m

Gambar 3. Bentuk penerapan metode jalur di lapangan

Keterangan :
A = Lebar jalur 20 m dengan ukuran petak (20 x 20) m atau (20 x 50) m
B = Lebar jalur 10 m dengan ukuran petak-petak (10 x 10) m.
C = Lebar jalur 5 m dengan ukuran petak-petak (5 x 5) m.
D = Lebar jalur 2 m dengan ukuran petak-petak (2 x 2) m atau (2 x 5) m.

Teknis Pelaksanaan

1. Menentukan letak jalur rintis pada hutan yang akan dianalisis dengan
memotong garis kontour atau topografi.
2. Membuat petak-petak sepanjang jalur.
3. Mengisi data lapangan pada tabel kerja, contoh tabel kerja tersaji pada
Table 2.
4. Mengolah data lapangan contoh pada Tabel 3.
5. Menghitung Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominasi (D),
Dominasi Relatif (DR), Kerapatan (K), Kerapatan Relatif dan Indek Nilai
Penting (INP) serta menyusun hasil analisis vegetasi berdasarkan nilai INP
tertinggi ke yang rendah

Table 2. Contoh Tabel Kerja Metode Transek/jalur

TANGGAL : KEADAAN :
LOKASI : MUSIM :
ALTITUDE : LEBAR DAN PANJANG JALUR:
Jalur / Nama Diameter
No. Tinggi (m) Keliling (m) LBDS (m2)
Petak Spesies (m)
...../.... ..... .......... .......... .......... ..........
...../.... ..... .......... .......... .......... ..........
...../.... ..... .......... .......... .......... ..........
...../.... ..... .......... .......... .......... ..........
Jumlah .........

Table 3. Contoh Tabel Analisa Vegetasi Metode Transek/jalur

TANGGAL : KEADAAN :
LOKASI : MUSIM :
ALTITUDE : LEBAR DAN PANJANG JALUR:
No. Nama spesies F K D FR KR DR INP
..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....
..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....
Jumlah ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....

3. Metode Garis Berpetak

Metode garis berpetak merupakan modifikasi dari cara transek atau jalur.
Sebagai modifikasi metode transek atau jalur, pada cara ini dilakukan dengan
melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur. Jadi sepanjang jalur rintis
terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Bentuk metode garis
berpetak tersaji pada Gambar 4.

20 m 20 m 20 m
Petak contoh I Petak contoh II
A

10m Dilompati
20 m
5m 10 m B
5m C
2m D

Gambar 4. Bentuk Metode Garis Berpetak

Keterangan:
A = Lebar jalur 20 m dengan ukuran petak-petak (20 x 20) m atau (20 x 50) m.
B = Lebar jalur 10 m ukuran petak-petak (10 x 10) m.
C = Lebar jalur 5 m ukuran petak-petak (5 x 5) m.
D = Lebar jalur 2 m ukuran petak-petak (2 x 5) m.

Teknis Pelaksanaan

1. Menentukan letak jalur rintis pada hutan yang akan dianalisis dengan
memotong garis kontour atau topografi, sungai atau garis pantai.
2. Menentukan letak petak-petak sepanjang contoh sesuai dengan jarak
yang sama dalam jalur dan membuat petak-petak dengan ukuran seperti
dalam Gambar 4.
3. Mengisi data lapangan pada tabel kerja di lapangan, contoh tabel kerja
tersaji pada Table 1.
4. Mengolah data lapangan dan disajikan dalam tabel analisis vegetasi
contoh pada Tabel 2.
5. Menghitung Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominasi (D),
Dominasi Relatif (DR), Kerapatan (K), Kerapatan Relatif dan Indek Nilai
Penting (INP) serta menyusun hasil analisis vegetasi berdasarkan nilai INP
tertinggi ke yang rendah
 Menggunakan Titik (Point)

Beberapa metode berikut merupakan teknik analisis vegetasi tanpa


menggunakan petak contoh, akan tetapi menggunakan titik-titik yang kontinyu
dan sistematik. Sebelum dilakukan teknik-teknik tersebut terlebih dahulu
ditentukan arah kompas untuk pendataan vegetasi. Pada umumnya “metode
menggunakan titik” berlaku untuk stadium pohon dan tiang (poles).

1. Metode Kwadran

Cara ini menggunakan titik-titik pengamatan yang telah ditentukan di


lapangan, penyebaran titik dapat secara acak atau merupakan deretan titik
pada garis lurus yang searah dengan arah kompas. Metode ini juga digunakan
untuk mempelajari hutan yang belum diketahui keadaannya, akan tetapi
terbatas pada tingkat liang dan pohon. Dalam satu titik pengamatan dibagi
menjadi 4 bagian atau kuadran, Vegetasi yang diamati dari tiap kuadran adalah
satu pohon yang terdekat dengan titik pusat. Untuk lebih jelasnya, bentuk
metode kuadran tersaji pada Gambar 5. Parameter yang diamati adalah jarak
antara pohon yang terdekat dengan titik pusat, diameter batang atau LBDS,
sedangkan frekuensi dihitung selelah data dari lapangan dikompilasi.

Teknis Pelaksanaan

1. Menentukan arah kompas, yaitu arah dilakukannya penelitian atau


pengamatan pada titik-titik tertentu sepanjang arah yang ditentukan.
2. Menentukan titik pusat pengamatan, serta membagi daerah pengamatan
menjadi 4 kuadran.
3. Menentukan pohon atau tiang terdekat dengan titik pusat
pengamatan,pada masing-masing kuadran.
4. Mengukur jarak antara pohon dengan titik pusat pengamatan.
5. Mengisi data lapangan pada tabel kerja di lapangan, contoh tabel
lapangan kerja tersaji pada Tabel 6.
6. Menganalisis data lapangan ke dalam tabel ekstrak, mengolah data
lapangan (Tabel 7).
7. Menghitung F, FR, K, KR, D, DR dan INP.
8. Menyusun hasil analisis vegetasi berdasarkan nilai INP yang tertinggi ke
rendah.

Tabel 4. Conloh Tabel Kerja Metode Kuadran


No.Titik No. Nama Jarak Keliling Diameter LBDS
Pengamatan Kuadran Species (m) (Cm) (m) (m2)
........ I .......... .......... .......... ..........
.......... .......... .......... ..........
II .......... .......... .......... ..........
III .......... .......... .......... ..........
Jumlah .......... ..........

Tabel 5. Tabel extrak Metode Kuadran

Nama Σ Pohon dalam Σ Rata-rata


No. Σ LBDS
Spesies Kuadran Pohon/Ha LBDS
..... .......... .......... ..........
..... .......... .......... ..........
..... .......... .......... ..........
Jumlah .......... .......... ..........

NO NAMA F K D FR (%) DR KR (%) INP


SPECIES (%)

JUMLAH
Gambar 5. Bentik Metode Kuadran

Keterangan ;
I ∼ IV = Kuadran
A ∼ D = Pohon yang diamati
dA ∼ dD = Jarak antara titik pusat dengan pohon yang diamati
o = Titik pusat

9. Metode Bitterlich

Cara ini dilakukan dengan menggunakan alat berupa tongkat


sepanjang 66 cm dengan plat seng bujur sangkar ukuran (2x2) cm. Disitu
ujungnya pohon-pohon dengan diameter ≥ sisi plat seng dicatat (nama,
diameter, tinggi) sedangkan pohon-pohon dengan diameter ≤ sisi plat sering
tidak dicatat (gambar 6), kemudian dilakukan perhitungan sebagai berikut:

Gambar 6. Cara Analisa Vegetasi Menggunakan Metode Biterlich


10. Cara berpasangan (Random pairs Method)

Pengukuran dan pendaftaran dilakukan pada titik-titik sepanjang garis


kompas. Pada titik terlebih dahulu dipilih pohon yang terdekat dengan titik,
kemudian ditarik garis tegak lurus dari titik ke pohon terdekat. Atau apabila
menggunakan busur derajat, arahkan garis 900 kepohon itu, pohon yang kedua
yang diambil sebagai pasangannya adalah pohon yang terdekat pada pohon
yang pertama tetapi letaknya di dalam sector lain (bersebrangan) yaitu yang
dibatas oleh garis kompas. Jarak antara pohon pertama dan kedua dicatat
(gambar 7).
Sensus satwa
Segala sesuatu di alam akan mengalami perubahan baik mengenai
flora maupun fauna tergantung kepada dinamika lingkungannya. Perubahan-
perubahan yang terjadi di alam juga tidak menutup kemungkinan terjadi
penurunan jumlah satwa.
Untuk mengetahui dinamika yang terjadi pada populasi satwa dapat
dilakukakan inventarisasi dan sensus satwa sebagai langkah awal dalam
pengelolaan satwa.
Sensus merupakan perhitungan satwa dalam suatu areal pada suatu
waktu tertentu atau pada interval waktu tertentu. Sampel sensus
merupakan perhitungan satwa dalam areal sampel pada waktu tertentu atau
interval waktu tertentu (Overton (1971).

Persiapan Pelaksanaan Kegiatan Sensus


Persiapan merupakan pekerjaan yang sangat penting untuk
menghindarkan adanya hambatan ataupun kesalahan-kesalahan dalam
analisa hasil pekerjaan. Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum sensus
antara lain studi literatur, persiapan bahan dan peralatan serta rnembuat
suatu desain pelaksanaan sensus.

a. Studi Literatur
Studi literatur merupakan salah satu pekerjaan sebelum sensus
dilaksanakan dengan mengumpulkan data-data hasil penelitian sebelumnya
ataupun teori-teori yang sudah ada. Studi literatur harus mencakup
pengenalan jenis, habitat, waktu aktif, tingkah laku satwa, maupun
kesensitifan satwa (tingkat sensitif).

 Jenis Satwa
Pengenalan jenis satwa seperti tanda-tanda morfologinya, dengan
mengetahui tanda-tanda tersebut akan dapat dikenali dan dibedakan jenis
dalam suatu kelompok atau golongan satwa. Untuk keperluan pengenalan
jenis satwa dipermudah oleh kamus satwa. Selain i t u juga perlu diketahui
jejak satwa seperti bekas tapak kaki di tanah, bagian-bagian satwa yang
ditinggalkan, suara, sarang, bau-bauan, bekas cakaran atau tanda-tanda
lainnya.

 Habitat
Pengenalan habitat yang disukai satwa akan memudahkan
pelaksanaan sensus. Habitat di sini dimaksudkan sebagai suatu tempat
yang digunakan satwa untuk melakukan kegiatannya.

 Tingkah Laku
Pengenalan terhadap kebiasaan satwa dalam aktifitas hidupnya seperti
sifat pengelompokan, waktu aktif, cara mencari makan, membuat sarang
dan sebagainya. Berdasarkan waktu aktif, satwa liar digolongkan
menjadi 3 yaitu (a) diurnal atau aktif pada siang hari; (b) nocturnal atau
aktif pada malam hari; dan (c) crespucular atau aktif pada senja dan
pagi hari.

 Kondisi Kawasan Sensus


Pengenalan kawasan diperlukan untuk mengetahi luas kawasan, iklim,
topografi, jaringan jalur/alur, sungai, pantai, tata guna lahan pengelola
kawasan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan.

b. Peralatan dan Bahan


Persiapan mencakup peralatan, bahan dan metode yang digunakan
peralalan dan bahan sangat tergantung terhadap metode sensus yang akan
digunakan meliputi kamera (bila ingin mengambil gambar), literatur, kalkulator,
alat tulis, binokuler, kaca pembesar, jaringan, kompas, pakaian lapangan dan
sebagainya.
Disamping peralatan tersebut juga perlu disiapkan peralatan untuk
petugas sensus seperti tenda, jas hujan, sepatu lars, lampu senter dan alat-alat
masak.
c. Desain Pelaksanaan Sensus
Analisa data sangat ditentukan oleh cara pengumpulan data tersebul.
Hal ini masih kurang mendapat perhatian dalam pekerjaan-pekerjaan penelitian
di Indonesia. Penelitian tidak dimulai dengan mengumpulkan data, tetapi
penentuan pola pengumpulan data agar analisa dan penafsiran hasilnya dapat
benar-benar terarah.
Pembuatan desain sensus merupakan pembuatan rencana penelitian
sehingga keterangan yang telah dikumpulkan mengarah pada masalah yang
akan diteliti.
Faktor utama dalam pembuatan desain sensus antara lain (a) behaviour
(tingkah laku) satwa; (b) biaya; (c) tenaga; dan (d) kondisi lokasi sensus.

Macam Sensus
Berdasarkan obyeknya, maka sensus dapat dibagi menjadi tiga macam,
yaitu : (1) sensus langsung; (2) sensus tidak langsung; dan (3) kombinasi
antara sensus langsung dan sensus tidak langsung. Dalam hal ini diperlukan
pengetahuan pengenalan jenis-jenis satwa dari tanda-tanda fisik, baik bentuk
ukuran, warna dan lain-lainnya. Sedangkan sensus tidak langsung, yaitu
perhitungan satwa berdasarkan tanda-tanda khas satwa yang ditinggalkan di
tempat tinggal (tempat mencari makan, tempat mencari minum, tempat
bersarang maupun jalan yang dilaluinya).

Sensus Langsung
1. Metode Penghalauan (Drive Count)
a. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan antara lain: kompas bidik, kamera (jika ingin
mengambil gambar satwa), alat tulis, alat hitung (Kalkulator), serta table
pengamatan.
Metode ini termasuk dalam sampel sensus dan bisa juga seluruh
kawasan populasi satwa di areal sampel dapat dihitung berdasarkan jumlah
satwa yang terlihat pencatat karena ada penghalauan.
b. Syarat-syarat sebelum melakukan sensus antara
lain :
• Areal yang digunakan sebagai tempat kegiatan biasanya
merupakan areal hutan yang luas dan terbuka, misalnya savana.
• Penyensus harus memahami medan penghalauan.
• Memperhatikan kondisi iklim.
• Memperhatikan waktu aktifitas satwa.
• Penyensus jangan memakai pakaian yang mencolok dan
memakai wangi-wangian.
• Memperhatikan juga mengenai arah angin.

Pelaksanaan sensus sebaiknya dilakukan pada waktu satwa memulai


aktifitasnya, cuaca tidak hujan, serta penggunaan waktu dioptimalkan
tergantung pada jumlah personel.

c. Teknis Pelaksanaan
Teknik pelaksanaan secara lengkap tersaji dalam Gambar dibawah ini.

Gambar 11. Teknis Metode Penghalauan


Teknis
1. Melihat kondisi medan penghalauan di tempat yang
memu ngkinkan terlebih dahulu baik mengenai lokasi makan,
minum, ataupun istirahat.
2. Penentuan lokasi dan penyebaran jalur penghalauan, arah
penghalauan dan jarak antar penghalau.
3. Tenaga kerja ditempatkan/disiapkan pada tempat yang telah
ditetapkan.
4. Tenaga pencatat hendaknya menghadap ke arah penghalau
dan yang dicatat adalah jumlah satwa yang lewat pada salah
satu sisi (kiri/kanan) yang telah disepakati terlebih dahulu.
5. Penghalau berjalan sesuai dengan arah jalur dibantu dengan
kompas.
Jarak antar penghalau secara teoritis adalah antara 16,6 m sampai 33,3
m dan jarak antara pencatat disesuaikan dengan kondisi di lapangan dengan
catatan seluruh areal yang akan disensus tercover (Trippensee, 1948).

Analisis Data
Jumlah satwa/kerapatan satwa dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut: :

Ketelitian sensus satwa dengan menggunakan metode penghalauan


tergantung penempatan dan kecepatan penghalau, pencatat, ukuran, jumlah
dan penyebaran sampel.

2. Metode Persimpangan (Cruising Metode)


Metode persimpangan merupakan metode sensus yang dilakukan
berdasarkan unit contoh dengan luas minimal 6,4 Km2. Dalam unit contoh
dibuat jalur-jalur dengan jarak antar jalur 0,4 - 0,8 Km. Penyensus antara jalur
satu dengan berikutnya diatur saling bersimpangan, dan waktu
pemberangkatan penyensus secara serempak (bersamaan). Metode ini
memerlukan tenaga dan biaya yang jauh lebih sedikit jumlahnya jika dibanding
dengan metode penghalauan.

a. Alat Dan Bahan

Peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan metode cruising antara


lain: Kompas bidik, rollmeter, alat tulis, alat hitung, tustel dan tabel pengamatan

b. Pelaksanaan Metode Cruising

Gambar 12. Teknik Metode Persimpangan

Secara lengkap pekerjaaan metode ini adalah sebagai berikut :


a. Menentukan letak/penyebaran dan arah jalur sampel.
b. Tenaga kerja disiapkan sesuai dengan keperluan.
c. Titik permulaan jalur ditentukan terlebih dahulu.
d. Tenaga pencatat berjalan sepanjang jalur contoh dan mencatat jumlah
dan jarak antara satwa yang terlihat dengan pencatat.
e. Menghitung populasi satwa pada unit sampel. Populasi satwa pada unit
sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Contoh analisa data sensus satwa

Metode Cruising (Persimpangan)

Dari hasil pelaksanaan sensus satwa dengan menggunakan metode


persimpangan (Cruising methods) diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1. Data pengamatan


No. Jenis Satwa jumlah (ekor) Jarak (m)
1 Banteng 5 10
2 Rusa 6 5
3 Babi hutan 3 7
4 Kera 7 15
Total 21 37
Rata-rata 5,25 9,25

Hitunglah jumlah populasi total satwa bila diketahui luas petak contoh
kawasan 600 ha dan panjang jalur rintis 0,8 Km ?

Jawaban :

Jumlah Jarak
No. Jenis Satwa
(ekor) (m)
1 Banteng 5 10
2 Rusa 6 5
3 Babi hutan 3 7
4 Kera 7 15
Total 21 37
Rata-rata 5,25 9,25

Diketahui: Luas kawasan (A) = 600 ha/6Km 2


Panjang jalur (X) = 0,8 Km
Jumlah satwa (Z) = 21 ekor
Jarak rata-rata satwa (Y) = 9,25 m = 0.925 Km

Kepadatan populasi (P) = = 170,2 ekor/Km


3. Metode Konsentrasi (Concentration Method)
Metode ini termasuk sensus secara simultan pada semua tempat
berdasarkan perhitungan kelompok-kelompok satwa pada padang rumput
maupun pada tempat minum satwa atau pada areal konsentrasi satwa.
Perhitungan dilakukan pada saat satwa makan atau minum yang biasanya satu
kali dalam satu hari (jam 16.00 - 18.00).

Secara lengkap pekerjaan metode ini antara lain :


a. Menentukan lokasi padang penggembalaan atau tempat minum yang akan
disensus. Untuk membantu penglihatan biasanya dibantu teropong.
b. Setiap kelompok satwa yang memasuki areal konsentrasi dicatat jumlah,
komposisi umur, komposisi jenis kelamin, serta komposisi warna. Ciri-ciri ini
sangat berguna untuk menghindari duplikasi pencatatan populasi banteng
yang sebenarnya.
Metode ini dapat digunakan untuk menghitung populasi satwa
berdasarkan pengelompokan pada saat minum di sumber air. Sebaiknya
sensus dilakukan pada saat musim kemarau karena sumber air terbatas pada
tempat-tempat tertentu saja. Waktu pengamatan hendaknya cukup lama yaitu
20 sampai 30 hari, sehingga peneliti dapat mengetahui karakteristik satwa.
Metode King's
Metode ini berdasarkan pada panjang jalur pengamatan dan posisi
terlihatnya satwa terhadap pengamat, dengan panjang jalur minimal 1 Km
(Gambar). Data yang dicatat antara lain jenis dan jumlah satwa, jarak tegak
lurus dari pengamat ke satwa, jarak antara titik awal (start) dengan pengamat
saat ditemukan satwa serta data ciri-ciri fisik satwa. pengukuran jarak dapat
menggunakan meteran atau estimasi langkah dan pandang.

Gambar 13. cara penggunaan Metode king's di lapangan

Daerah sensus dibagi menjadi beberapa jalur dengan jarak antar jalur 1
km. Penyensus berjalan serentak menurut jalur sensus yang ditetapkan
sepanjang 10 Km. Data-data yang dikumpulkan antara lain jarak pengamat
dengan satwa, jenis dan jumlah satwa yang terlihat, umur, jenis kelamin dan
behaviour satwa.
Contoh analisa data sensus satwa
Metode King’s

A = 10 ekor C = 5 ekor
 
da = 5 m dc = 3 m
na = 100 m nc = 200 m
…….…………... …...….…….…......
< > < >
O P
<…….……………>
nb = 200 m
db = 6 m
B = 9 ekor

Apabila jarak dari titik O ke titik P adalah 600 m, hitunglah kepadatan populasi satwa
tersebut:
Jawaban:
Diketahui : Satwa A =10 ekor
Satwa B = 9 ekor
Satwa C = 5 ekor
na = 100 m da = 5 m
nb = 200 m db = 6 m
nc = 200 in dc = 3 m
Jarak titik O ke P = 600 m

Ditanya : Kepadatan Populasi ?

Jawab : Luas area pengamatan (LAP) =

Kepadatan populasi/10 Ha = x 24 = 142,85 ekor/Ha


Sensus Tidak Langsung
1. Penghitungan Liang (Burrow Count)
Metode ini dapat dilakukan dalam petak contoh, transek atau titik dengan
menghitung jenis satwa meliang, perkiraan jumlah satwa liang dan ciri-ciri liang.
Metode ini lebih baik jika untuk mengetahui satu jenis satwa saja dengan
pengertian bahwa pengamat terlebih dahulu memahami karakteristik satwa
tersebut.

2. Penghitungan Melalui Suara (Call Count)


Penghitungan satwa melalui suara panggilannya dengan membuat
transek yang memotong wilayah sensus. Transek bisa berupa jalan tetap, jalan
setapak, sungai dan lain-lain. pada transek tersebut ditentukan stasiun
pendengaran dengan jarak yang teratur (sistematik), misalnya setiap 1 atau 2
Km. waktu pengamatan suara satwa pada pada masing masing stasiun juga
harus sama , yaitu 5 atau 10 menit atau mungkin lebih sesuai dengan
karakteristik satwa yang disensus. setiap periode pendengaran suara pada
stasiun harus diperhatikan dan dicatat:
a. Jumlah dari kelompok suara panggilan
b. Arah suara panggilan
c. Perkiraan jarak dari pengamat ke sumber suara panggilan.
Penggunaan metode ini akan lebih baik jika penyensus mengetahui
suara panggilan jenis satwa yang akan disensus dengan baik

3. Penghitungan Kelompok Kotoran (Pellet Group Count)


Avery (1975), menyebutkan salah satu metode untuk mengetahui
densitas populasi rusa berdasarkan kondisi akumulasi kotorannya (adanya
hubungan antara densitas populasi dengan akumulasi kotoran). Pellet groups
dapat dihitung melalui sampel plot baik secara random maupun sistematis
berbentuk strip sample. syarat utama penggunaan metode ini yaitu pertama
harus mengetahui kecepatan rata-rata satwa membuang kotoran per hari,
kedua kotoran suatu jenis satwa harus diketahui dengan baik.
METODE:
Sejumlah petak ukur telah dipilih secara random atau sistematis dalam
suatu areal (a) dari habitat yang homogen secara keseluruhan luas areal (A).
Semua kotoran dari jenis tertentu dalam plot dipindahkan atau diberi tanda.
Setelah beberapa hari (t) diadakan pengamatan lagi dan kotoran yang
baru selama periode waktu tai dihitung (p). Gunakan rata-rata pembuangan
populasi (P) dengan rumus:

You might also like