You are on page 1of 13

1

Proposal penelitian

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN VITAMIN E (Alfatokoferol)


DALAM PENGENCER SUSU SKIM KUNING TELUR TERHADAP
KUALITAS SPERMATOZOA PERANAKAN KAMBING BOER
SETELAH PEMBEKUAN

TAUFIK AKBAR
0402101010027

FAKUTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2009
2

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Upaya perbaikan mutu genetik ternak kambing di propinsi NAD telah
dilakukan melalui perkawinan silang antara ternak kambing betina lokal dengan
ternak kambing pejantan unggul. Namun perkawinan silang dengan pejantan unggul
ternyata masih menghadapi kendala karena terbatasnya pejantan unggul dan
mahalnya harga pejantan, sehingga sulit terjangkau oleh para peternak dipedesaan.
Keterbatasan ini dapat diatasi melalui pemanfaatan teknologi reproduksi inseminasi
buatan (IB), karena dengan teknologi IB di samping mampu meningkatkan
produktivitas dan mempercepat penyebaran populasi dengan mutu genetik yang lebih
baik, juga diharapkan akan dapat mengoptimalkan fungsi seekor pejantan.
Untuk lebih meningkatkan efisiensi serta lebih mempercepat dan memperluas
penyebaran ternak unggul, penerapan IB dapat dilakukan dengan menggunakan
semen beku. Semen beku dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama dan dapat
dimanfaatkan kapan saja bilamana diperlukan. Akan tetapi proses pembekuan semen
pada ternak kambing masih banyak mengalami hambatan seperti rendahnya viabilitas
dan fertilitas spermatozoa. Hambatan-hambatan tersebut disebabkan oleh banyaknya
faktor yang berpengaruh dalam prose pembekuan semen seperti terjadinya cekaman
dingin (cold shock), cekaman osmotik (osmotic shock), kerusakan intraselluler akibat
terbentuknya kristal es dan perubahan permeabilitas membran yang menyebabkan
kematian sel saat pencairan kembali (Toelihere, 1997). Disamping itu tingginya rasio
antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh, komposisi fosfolipid membran
serta rendahnya kolesterol membuat membran spermatozoa kambing mudah
mengalami cekaman dingin dan menjadi lebih rentan terhadap kerusakan akibat
peroksidasi yang dapat merusak komponen struktural membran (White, 1993 dan
Dasrul 2006). Upaya untuk meminimalkan penurunan kualitas spermatozoa akibat
peroksidasi lipid selama proses pembekuan dapat dilakukan dengan cara
penambahan antioksidan pada bahan pengencer .
Vitamin E (alfa tocopherol) merupakan salah satu vitamin yang bersifat
sebagai anti oksidan yang larut dalam lemak. Vitamin E mampu menangkap radikal
bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai, sehingga dapat menghindari
kerusakan peroksidatif yang berpengaruh terhadap viabilitas dan fertilitas
spermatozoa (Halliwel dan Gutteridge, 1993). Vitamin E berfungsi sebagai anti
oksidan intra seluler yang paling kuat dalam mengurangi atau mencegah peroksidasi
asam lemak tak jenuh di dalam dan di dinding sel (Donelly et al., 1999).
Penambahan vitamin E 200-500 milligram dalam medium pengencer semen kerbau
dapat menghambat penurunan motilitas, viabilitas dan kerusakan DNA spermatozoa
(Hughes et al., 1998). Namun penambahan vitamin E dalam medium pengencer susu
skim kuning telur pada semen kambing peranakan Boer selama pembekuan
laporannya masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengamati efektivitas penambahan vitamin E di dalam medium
pengencer susu skim kuning telur terhadap motilitas dan viabilitas
spermatozoa dalam proses pembekuan semen kambing peranakan Boer
3

2. Untuk menentukan dosis optimal vitamin E yang dapat digunakan dalam


medium pengencer susu skim kuning telur terhadap kualitas spermatozoa
kambing peranakan Boer

Hipotesa penelitian
1. Penambahan vitamin E dalam medium pengencer susu skim kuning telur
dapat mempertahankan motilitas dan viabilitas spermatozoa dalam proses
pembekuan semen kambing peranakan Boer
2. Dosi vitamin E di ditambahkan dalam medium pengencer susu skim kuning
telur berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa kambing peranakan Boer

Manfaat Penlitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih lanjut
tentang bahan pengenceran yang tepat pada proses pembekuan semen kambing
peranakan Boer dengan kualitas fungsional sperma yang tetap tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Semen Kambing Boer.


Semen kambing Boer yang sehat umumnya berwarna keabu-abuan, putih
susu atau putih kekuningan dengan konsistensi agak kental (Yonghong, 2001).
Volume semen kambing Boer bervariasi menurut individu, umur, berat badan, pakan
dan frekuensi penampungan. Volume semen kambing Boer yang dewasa di
Indonesia berkisar antara 0,70 ml – 1,50 ml (Suyadi dkk. 2003). Konsentrasi
spermatozoa pada kambing Boer di Indonesia berkisar antara 500 – 800 juta/ml
dengan rata-rata 560 juta/ml (Gangyi dkk., 2001). Derajat keasaman (pH) semen
kambing Boer relatif agak asam yaitu berkisar antara 6,4 – 7,6 atau pH netral rata-
rata 6,8 (Suyadi, 2003). Derajad keasaman sangat menentukan status kehidupan
spermatozoa di dalam semen. Semakin rendah atau semakin tinggi pH semen dari pH
normal akan membuat spermatozoa lebih cepat mati (Suyadi dkk., 2002).
Secara umum semen terdiri dari dua bagian besar yang plasma seminalis dan
spermatozoa. Plasma seminalis merupakan cairan yang disekresikan terutama oleh
kelenjar vesikularis dan kelenjar aksesoris lainnya, berfungsi sebagai medium
transport spermatozoa dari lingkungan saluran reproduksi jantan ke traktus
reproduksi betina selama ejakulasi, sebagai medium aktivasi bagi spermatozoa non
motil dan menyediakan penyangga serta kaya akan makanan yang penting untuk
hidup spermatozoa setelah deposisi ke traktus reproduksi betina. Plasma seminalis
sebagian besar terdiri dari air merupakan cairan netral dengan tekanan isotonik serta
berisi substansi organik dan anorganik secagai cadangan makanan dan perlindungan
spermatozoa. Zat organik yang terdapat dalam plasma semen adalah fruktosa,
sarbitol, inositol, asam sitrat, gliserilfosforilkolin, fosfolipid, prostaglandin dan
protein. Fruktosa merupakan sumber energi terbesar untuk spermatozoa dalam
semen. Sedangkan zat anorganik utama plasma semen terdiri natrium, klorida,
fosfor, bikarbonat, kalsium, fosfor asam sitrat, asam askorbat, magnesium, nitrogen
dan kolesterol (Hafez, 2004).
4

Secara essensial struktur morfologi spermatozoa pada berbagai mammalia


relatif sama, tetapi bentuk dan ukurannya berbeda-beda antar spesies. Gangyi dkk.
(2001) melaporkan panjang keseluruhan spermatozoa kambing Boer berkisar antara
60 - 65 µm yang secara fungsional terdiri dari dua bagian utama yaitu kepala dan
ekor. Kepala spermatozoa kambing Boer pada umumnya berbentuk oval dan lonjong
dengan ujung depannya lebih lebar. Panjang kepala spermatozoa kambing berkisar
antara 8,0 – 10,0 µm, lebar antara 4,0 – 4,5 µm dan tebal antara 0,5 – 1,5 µm.
Kepala spermatozoa sebagian besar terisi padat dengan DNA yang berfungsi
sebagai pembawa informasi genetik termasuk penentuan jenis kelamin embrio. Ekor
merupakan bagian terpanjang dari spermatozoa, berfungsi untuk produksi energi dan
pergerakan serta pengendalian arah spermatozoa pada saat fertilisasi. Hafez (2004)
menyatakan rata-rata panjang ekor spermatozoa kambing adalah 70,0 ± 1,24 um
yang terbagi dalam 3 daerah utama yaitu middle piece (ekor bagian tengah),
principle piece (ekor bagian utama), dan end piece (ekor bagian ujung).

Komposisi dan fungsi Membran Spermatozoa


Spermatozoa dari kepala sampai ekor diselaputi oleh membran sel, yang
mempunyai struktur sangat kompleks dalam susunan mozaik yang teratur dan
memiliki peran biologik spesifik pada permukaannya (Jones, 1989). Membran sel
berfungsi sebagai pembatas sel kontineus, mempertahankan integritas sel dan
membentuk interfase dinamis antara sel dengan lingkungan sekitarnya (Curry and
Watson, 1995). Permukaan membran spermatozoa mempunyai polaritas yang tinggi
dengan struktur daerah yang secara geografis jelas pembagiannya. Membran
akrosom kepala berfungsi untuk kapasitasi, reaksi akrosom dan penembusan ovum
pada proses fertilisasi. Membran bagian belakang akrosom (post acrosomal region)
berfungsi untuk mengadakan kontak pertama dan menjadi satu dengan oolema ovum
pada proses fertilisasi, sedangkan membran pada bagian tengah (mid piece) ekor
berfungsi untuk mendapatkan substrat untuk energi spermatozoa dan menghantarkan
gelombang gerak, serta membran bagian utama (principle piece) berfungsi untuk
pergerakan spermatozoa.
Secara umum membran spermatozoa tersusun dari lipid, protein dan
karbohidrat serta zat lain yang bergabung bersama secara non kovalen dan sangat
sensitive terhadap faktor-faktor ekstrinsik seperti suhu, kekuatan ionik dan polaritas
pelarut ( Kelso dkk., 1997). Lipid merupakan komponen utama penyusun struktur
membran spermatozoa, yang berperan penting dalam menjaga stabilitas dan
kelangsungan hidup spermatozoa secara keseluruhan, termasuk kemampuan
spermatozoa untuk mengkapasitasi serta membuahi sel telur (Darnel, 1990).
Fosfolipid merupakan komponen lipid utama pembentuk struktur dasar
membran yang bersifat amfipatik. Sifat amfipatik dari molekul-molekul ini
memungkinkan pembentukan membran lapis ganda kepala fosfolipid hidrofilik dan
kepala fosfolipid hidropobik (Hammerstedt, 1992). Selanjutnya Kelso dkk. (1997)
menyatakan bahwa fosfolipid membran spermatozoa mammalia mengandung asam
lemak poli tak jenuh (poli unsaturated acide) dalam konsentrasi yang sangat tinggi.
Decoxahexanoyl acide (DHA) merupakan asam lemak poli tak jenuh terpenting pada
membran spermatozoa, mewakili 30 % total asam lemak dan 70 % asam lemak poli
tak jenuh terikat fosfolipid (Alvarez and Storey, 1995). DHA selain penting dalam
meregulasi fluiditas membran yang dibutuhkan untuk memelihara berbagai aktivitas
5

enzim dan penyempurnaan peristiwa fusi membran dengan oosit. juga merupakan
substrat utama dari peroksidasi lipid. Hampir 90% dari tingkat peroksidasi lipid
pada spermatozoa dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi DHA terikat fosfolipid.
Oksidasi DHA terikat fosfolipid juga ditunjukan sebagai faktor utama yang
menentukan lama hidup spermatozoa motil in vitro (Alvarez and Storey, 1984),
merosotnya akrosom dan oksidasi DNA (Fraga dkk., 1996).

Pengenceran dan Pembekuan Semen


Sebelum semen dibekukan, terlebih dahulu dilakukan penambahan pengencer
dengan tujuan untuk memperbanyak volume semen dan menunjang daya hidup
spermatozoa. Pengencer harus mengandung sumber energi untuk kelangsungan
hidup spermatozoa, unsur penyanggah bertekanan osmosa isotonik, tidak meracuni
spermatozoa, dapat melindungi spermatozoa dari pengaruh buruk pembekuan dan
mengandung antibiotik untuk melindungi semen dari kontaminasi (Toelihere, 1985).
Pengencer yang banyak digunakan untuk pembekuan semen dan telah berhasil
baik adalah pengencer yang menggunakan penyanggah tris yang dikombinasikan
dengan gula monosakarida. Situmorang dan Sitepu, (1991) menyatakan tris kuning
memberikan motilitas spermatozoa pasca thowing yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sitrat kuning telur. Tris selain mempunyai sistem penyangah yang baik juga
memiliki toksisitas yang rendah. Telah banyak dibuktikan bahwa penggunaan
pengencer tris untuk pengenceran semen kambingbaik untuk perlakuan cair maupun
beku. Penggunaan bahan pengencer tris juga sering ditambah dengan kuning telur
(Toelihere, 1981).
Kuning telur mengandung banyak bahan yang diperlukan oleh spermatozoa
(Sorensen, 1979). Selain itu kuning telur mengandung kolesterol dan karoten yang
menstimulasiaktivitas dehidrogenase suksinat, malat dan gliseral dehidrida -3- fosfat
spermatozoa. Kuning telur juga mengandung komponen yang bekerja sebagai
substrrak oksidasi, pelindung enzim sufhidril dan faktor aglutinat dalam plasma
semen mamalia sebagai sumber untuk mencegah aglutinasi spermatozoa (Salisbury
et.al., 1985). Pengencer semen cair atau semen beku secara praktis harus
mengandung kuning telur atau susu sebagai unsur dasar. Kuning telur sebagai
pengencer, mengandung lipoprotein dan lecitin yang mempertahankan dan
melindungi integritas selubung protein dari spermatozoa dan mencegah cold shock.
Kuning telur juga mengandung glukosa sebagai sumber energi bagi spermatozoa
disamping protein dan vitamin-vitamin yang larut dalam air atau minyak, serta
mampunyai viskositas yang mungkin menguntungkan spermatozoa (Toelihere,
1993).
Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembekuan semen adalah pengaruh
kejutan dingin (cold shock) terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan
intraselluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan kristal-kristal
es (Hafez, 2004). Untuk memperkecil resiko yang diakibatkan oleh kedua hal
tersebut, terutama pada waktu melalui suhu kritis dilakukan penambahan
krioprotektan. Salah satu bahan yang umum dipakai sebagai krioprotektan adalah
gliserol. Gliserol akan masuk ke dalam sel dan menggantikan air yang bebas dan
mendesak elektrolit keluar dari sel. Bahan krioprotektan lain yang dapat dipakai
dalam pembekuan sel spermatozoa adalah DMSO dan etilen glikol (Storey et al.,
1998). Untuk pembekuan semen penambahan 8 dan 12 % gliserol tidak menunjukan
6

perbedaan motilitas spermatozoa pasca thowing (Anhar et al., 2002). Ada tiga
metode pemberian gliserol pada proses pembekuan yaitu metode 1; 2 dan 3 tahap.
Dutta et al. (1999) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara ketiga
metode tersebut terhadap motilitas sesudah thowing. Sedangkan menurut Anhar et
al. (2002) metode pemberian 8 % gliserol dengan 3 tahap memberikan motilitas
pasca thowing yang lebih baik.
Salah satu tahap dalam proses pembekuan semen adalah equilibrasi. Proses ini
diperlukan agar spermatozoa dapat menyesuaikan diri dengan pengencer dan
gliserol. Waktu equilibrasi yang umum digunakan untuk semen Kambing
Boerminimal adalah 5 – 6 jam agar diperoleh motilitas maksimal pasca thowing
(Singh et al., 1992). Pendinginan selama 1 jam dari 10 oC ke 5 oC menghasilkan
motilitas yang sangat nyata lebih rendah dibandingkan dengan pendinginan selama 2
jam dari suhu 30 oC ke 5 oC (Dhami dan Sahni, 2003). Angka fertilitas yang
diperoleh lebih baik pada pendinginan 2 jam dibandingkan dengan pendinginan 1
jam (Dhami et al., 1995). Selain faktor-faktor di atas motilitas setelah thowing juga
dipengaruhi oleh metode thowing. Ahmad (194) melaporkan bahwa metode thowing
dengan menggunakan suhu 37 oC selama 9 detik lebih tinggi motilitas
spermatozoanya dibandingkan dengan metode 37 oC selama 15 detik.

Vitamin E atau α-tokoferol


Menurut Meyes (1995) ada beberapa jenis vitamin E atau α-tokoferol yang
terdapat dalam bentuk alami, semuanya merupakan 6-hidroksikromana atau tokol
yang terdistribusi isoprenoid dengan D-alfa-tokoferol (C29 H50 O2; BM = 430,7)
mempunyai distribusi alami yang paling luas dan aktivitas biologik yang paling
besar. Rumus bangun Vitamin E atau α-tokoferol dapat dilihat pada gambar 2.

Vitamin E atau α-tokoferol merupakan salah satu vitamin yang bersifat


sebagai anti oksidan larut dalam lemak yang mampu menghambat aktivitas
senyawa oksigen reaktif dan mencegah terjadinya reaksi berantai antara senyawa
oksigen reaktif dengan senyawa asam lemak tak jenuh majemuk yang terdapat pada
membran plasma sel (Suryohudoyo, 2000). Vitamin E merupakan antioksidan yang
berfungsi menangkap radikal bebas dan mencegah reaksi rantai.melalui proses non
enzimatis dan termasuk dalam kelompok antioksidan yang larut dalam lemak
(Mayes, 1995). Vitamin E juga dikelompokan sebagai anti oksidan intra seluler
yang paling kuat, mampu bekerja di dalam dan di luar dinding sel sehingga dapat
mengurangi atau mencegah peroksidasi lipid secara lebih luas (Mayes, 1995 dan).
Vitamin E sangat efesien dalam menghentikan proses peroksidasi lipid, satu molekul
vitamin E akan melindungi 1000 molekul lipid (Ukeda et al., 2000).
7

Menurut Ukeda et al. (2000) vitamin E merupakan baris pertama pertahanan


terhadap proses peroksidasi asam lemak tak jenuh dalam fosfolipid membran seluler
dan subseluler. Fosfolipid pada mitokondria, retikulum endoplasmik dan membran
plasma mempunyai afinitas terhadap vitamin E dan terlihat teroksidasi pada tempat-
tempat ini. Vitamin E bertindak sebagai pemutus reaksi rantai radikal bebas dengan
kemampuannya untuk memindahkan hidrogen fenolat pada radikal bebas peroksil
dari asam lemak tak jenuh ganda yang telah mengalami peroksidasi. Radikal bebas
peroksi yang terbentuk kemudian bereaksi dengan radikal bebas peroksil selanjutnya,
sehingga vitamin E tidak mudah terikat dalam reaksi oksidasi yang dapat mambalik;
cincin kromana dan rantai samping akan teroksidasi menjadi produk bukan radikal
bebas. Produk tersebut kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukoronat
melalaui gugus 2-hidroksil dan diekresikan kedalam getah empedu. Seperti yang
dilaporkan oleh Krinsky (1992) bahwa vitamin E mempunyai kemampuan
pencegahan sebagai inhibitor yang efektif terhadap tahap perkembangan lipid-
peroksidasi, dimana setiap mlekul tokoferol dapat bereaksi dengan dua radikal
peroksil.
Hasil pertama adalah radikal alfa tokoferoksil (alfa tokoferol yang dapat
bereaksi dengan radikal peroksil lainnya) menghasilkan bentuk yang stabil yang
dapat diisolasi. Vitamin E atau alfa tokoferol relatif efektif sebagai antioksidan pada
liposom dan diperlukan hanya sedikit dalam membran dan berkemampuan besar
menghambat perambatan rantai peroksidasi pada lingkungan dengan struktur
membran yang sangat kuat. Pada sapi antioksidan alami vitamin E pada konsentrasi
tinggi (1 mg/ml alfa tokoferol asetat) nyata memberi efek yang melindngi membran
spermatozoa berkualitas baik, menurunkan kerentanan terhadap peroksidasi pada
saat kriopreservasi dan pasca pencairan kembali, sedangkan pada spermatozoa
berkualitas rendah tidak menunjukan pengaruh yang nyata sebagai pelindung
membran terhadap peroksidasi lipid (Beconi et al., 1993). Pada domba, vitamin E
dalam dosis 10 mM relatif efektif untuk mempertahankan motilitas spermatozoa
selama kriopreservasi (Upreti et al., 1997).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan semen kambing yang dikoleksi dari satu ekor kambing
Boer berumur ± 2 tahun, satu betina dewasa pemancing, pengencer semen (tris amino
methan, citric acid, fruktosa, kuning telur, aquades, streptomisin, penisilin, gliserol),
pewarna eosin 2%, NaCl 0,9%, gliserol, a-tokoferol, nitrogen cair, vaselin, alkohol 70%, dan
air.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: satu set vagina buatan kambing,
kontainer, mikroskop, spektrofotometer, termometer, termos, gelas obyek dan penutup,
tabung Eppendorf, labu erlenmeyer, beker glass, counter number, gelas ukur, timbangan
Ohauss, lemari es, pengaduk, kertas saring, kertas lakmus, pipet hisap, pipet ukur, dan
tabung reaksi.

Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium menggunakan
sejumlah sampel semen segar kambing peranakan Boer yang diencerkan dalam
pengencer susu skim kuning telur dengan penambahan vitamin E. Rancangan yang
8

digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu arah dengan lima kelompok
penambahan vitamin E (0,00 g/100 ml; 0,10 g/100 ml; 0,20 g/100 ml; 0,30 g/100 ml
dan 0,40 g/100 ml) yang di ulangi sebanyak 5 kali.

Prosedur Penelitian

1. Pembuatan Bahan Pengenceran Semen


Larutan pengencer yang digunakan adalah susu skim – kuning telur, yang
terdiri dari susu skim; kuning telur; fruktosa; penicillin dan streptomisin. Susu skim
sebelum digunakan terlebih dahulu dilarutkan dengan aquades dengan perbandingan
1 : 9 dan dipanaskan hingga 92 oC selama 10 menit untuk menghilangkan biopotensi
laktenin. Selanjutnya susu skim tersebut didinginkan dan ditambahkan fruktosa 3
g/100ml; penicillin 1000 IU/ml, streptomisin 1000 ug/ml dan kuning telur 20 %.
Semua bahan pengencer yang dibuat volumenya 100 ml.

2. Penampungan Semen
Sampel semen yang akan digunakan diambil dari Kambing Perananan Boer
Jantan, sehat berumur 4 – 5 tahun dengan cara penampungan menggunakan vagina
buatan. Penampungan semen dilakukan pada pagi hari jam 8.00 – 9.00 WIB,
sebanyak 1 kali dalam seminggu. Prosedur penampungan semen dilakukan
berdasarkan metode yang biasa dilakukan pada balai inseminasi Buatan.
Segera setelah penampungan semen dilakukan pemeriksaan kualitas secara
makroskopis (volume, warna, konsistensi, bau, dan pH) dan mikroskopis
(konsentrasi spermatozoa, persentase motilitas spermatozoa, persentase spermatozoa
hidup, persentase membran plasma spermatozoa utuh dan persentase tudung akrosom
spermatozoa utuh). Semen yang mempunyai konsentrasi spermatozoa > 600 x 10 6/ml
dan motilitas progresif > 70 % , abnormalitas < 20 % digunakan sebagai sampel.

3. Pengenceran Semen
Segera setelah dilakukan evaluasi terhadap kualitas semen segar, dibagi
dalam 5 kelompok perlakuan pengencer susu skim kuning telur yang telah
ditambahkan vitamin E berbagai dosis perlakuan. Semen yang diencerkan pada
pengencer dasar susu skim kuning telur (SSKT) tanpa penambahan vitamin E (To);
pengencer Susu skim kuning telur dengan penambahan vitamin E dosis 0,1 g/100 ml
(T1); pengencer Susu skim kuning telur dengan penambahan vitamin E dosis 0,2
g/100 ml (T2); pengencer Susu skim kuning telur dengan penambahan vitamin E
dosis 0,3 g/100 ml (T3) dan pengencer Susu skim kuning telur dengan penambahan
vitamin E dosis 0,4 g/100 ml (T4).
No Perlakuan Volume Komposisi Vitamin E
1 To 100 0,0
2 T1 100 0,1
3 T2 100 0,2
4 T3 100 0,3
5 T4 100 0,4
9

Jumlah bahan pengencer yang akan ditambahkan ke masing-masing semen dihitung


dengan rumus:
Volume semen (ml ) x Konsentras i Semen x Motilitas
Jumlah Pengencer = Konsentras i semen yang diinginkan

Volume masing-masing pengenceran yang pertama kali ditambahkan pada


semen sesuai dengan volume semen yang diperoleh. Selanjutnya ditambahkan sedikit
demi sedikit sampai volume yang diinginkan terpenuhi. Konsentrasi semen yang
diinginkan adalah 10 juta spermatozoa/ml. Jarak waktu antara penampungan semen
sampai pengenceran tidak lebih dari 15 menit seperti yang dianjurkan oleh Balai
Inseminasi Buatan (BIB)

4. Penambahan Gliserol
Penambahan gliserol dilakukan pada saat semen sudah diencerkan, baik dengan
pengencer tris kuning telur; sitrat kuning telur atau susu skim (BIB Singosari, 2002).
Gliserol dicampur dulu dengan setengah volume larutan pengencer sampai mencapai
konsentrasi dua kali konsentrasi akhir, kemudian tuangkan ke dalam semen yang
sudah dilarutkan dalam setengah volume pengencer. Sebagai contoh setengah
volume yang kedua dalam pengencer kuning telur-sitrat harus mengandung 14%
gliserol, sehingga larutan akhir akan mengandung 7% gliserol. Kedua larutan
dicampurkan pada temperatur 4 ºC- 5 ºC, dimana larutan yang mengandung gliserol
dituangkan tetes demi tetes sambil dikocok secara hati-hati (Herliantin dkk., 2002).

5. Equilibrasi dan Pembekuan Semen


Semen yang sudah diencerkan dan penambahan gliserol, kemudian dimasukan
kedalam mini straw (0,25 ml) dan ditutup dengan serbuk polyvinylchloride (PVC).
Konsentrasi spermatozoa motil didalam ministraw dibuat sebanyak 15 – 20 juta ekor.
Ministraw-ministraw yang telah berisi semen disusun pada rak khusus dan kemudian
semen tersebut diequilibrasi pada suhu 5 ºC selama 2 – 4 jam didalam ruang
pendingin, kemudian diperiksa persentase motilitas dan persentase hidup
spermatozoa. Selanjutnya straw tersebut dibekukan dengan cara konvensional yaitu
menempatkan rak yang berisi ministraw pada uap nitrogen cair (6 cm di atas
permukaan nitrogen cair) selama 10 - 20 menit, kemudian dimasukkan ke dalam
nitrogen cair (-196 ºC). Selanjutnya ministraw tersebut disimpan dalam kontainer
yang berisi nitrogen. Evaluasi kualitas spermatozoa dilakukan setelah 1 atau 2
minggu penyimpanan dengan cara pencairan kembali ministraw semen beku ke
dalam air hangat dengan suhu 37 ºC selama 15 samapi 30 detik.

6. Pemeriksaan Kualitas Spermatozoa


a. Pemeriksaan Persentase Motilitas Spermatozoa
Pemeriksaan motilitas spermatozoa dilakukan menurut standart baku BIB
singosari (Zenichero dkk. 2002). Perhitungan motilitas spermatozoa dilakukan
menggunakan gelas obyek yang ditetesi 10-15 µl semen dan tutup dengan gelas
penutup. Siapan diperiksa dengan pembesaran 400 kali menggunakan mikroskop
cahaya biasa atau mikroskop fase kontras. Spermatozoa yang motil akan nampak
bergerak maju ke depan. Selanjutnya spermatozoa yang motil dihitung dan diberi
10

jumlah seluruh spermatozoa yang tampak dalam satu lapangan pandang, dan
dinyatakan dalam persen (%).

b. Persentase Hidup atau Mati Spermatozoa:


Pemeriksaan persentase hidup spermatozoa dilakukan menurut standart baku
BIB Singosari (Zenichero dkk. 2002). Perhitungan persentase hidup spermatozoa
dilakukan melalui teknik pewarnana dengan cara mencampurkan semen dengan
larutan eosin negrosin pada gelas obyek, kemudian dibuat preperat ulas dan
dikeringkan. Spermatozoa yang mati akan menyerap warna sedangkan spermatozoa
yang hidup tidak menyerap warna atau berwarna putih. Selanjutnya spermatozoa
yang hidup dihitung dan dibagi jumlah seluruh spermatozoa (spermatozoa hidup +
spermatozoa mati) yang tampak dalam satu lapangan pandang dan dinyatakan dalam
persen (%).

c. Pemeriksaan Integritas Membran Plasma Spermatozoa:


Pemeriksaan integritas membran plasma spermatozoa dilakukan berdasarkan
uji pembengkakan atau hypoosmotik swelling test (HOS-Test) sebagaimana yang
dikembangkan oleh Rasul et al. (2001). Sebanyak 0,1 ml suspensi sperma hasil
pencucian ditambahkan ke dalam 0,9 ml larutan hypoosmotik 0,032 m (yang dibuat
dari 7,35gr Na Citrat 2H2O, 13,52 gr fruktosa yang dilarutkan dalam 1 liter
aquadest) dan diinkubasikan selama 1 jam di dalam inkubator pada sushu 37o C,
selanjutnya dibuat preparat ulas tipis dengan mencampurkan 1 tetes larutan di atas
dengan 1 tetes eosin nigrosin, diamati dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran
400X. Spermatozoa dihitung dengan cara berurutan atau zig zag sampai 10 lapang
pandang atau jumlah spermatozoa 100 – 200. Spermatozoa yang memiliki integritas
membran plasma yang utuh ditandai dengan adanya pembengkakan kepala yang
diikuti dengan ekor berputar dengan pancaran warna terang, sedangkan spermatozoa
yang membran plasmanya sudah rusak ditandai dengan tidak ada pembengkakan
kepala dan ekor yang lurus.

Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah dengan 5
kelompok perlakuan dosis vitamin E (0,0 g/100ml; 0,1 g/100ml; 0,2 g/100ml; 0,3
g/100ml dan 0,4 g/100ml), tiap kelompok diulang sebanyak 10 kali. Data persentase
kualitas spermatozoa, angka konsepsi dan kebuntingan yang diperoleh dianalisa
dengan uji beda ANAVA, dan bila terdapat perbedaan, maka selanjutnya dilakukan
uji berganda Duncant (Steel dan Torrie, 1990).

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A., R. A. Saleh and M.A. Bedaiwy 2003. Role of reactive oxygen species
in the pathophysiology of human reproduction. Fertility and Sterility 79:
829 – 843
Alvarez, J.G., and B.T. Strorey, 1995. Differential incorporation of fatty acids into
and peroxidative loss of fatty acids from phospholipids of human
spermatozoa Mol. Reprod. Dev. 42 : 334 – 345
11

Anhar, M., E.F., Graham, and N. Iqbal. 1997. Post-thaw plasma membrane integrity
of bull spermatozoa separated with a sephadex ion – exchange column,
Theriogenology 10 (4) : 261 – 265
Anonimus, (2007). Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Dearah Istimewa
Aceh..
Curry, M.R and P.F. Watson, 1995. Sperm structure and function in Gametes the
Spermatozoon. Gambridge Reviews in Human Reproduction, Ed. J.G.
Grudzinskas & J.L. Yovich, Cambridge University Press
Dasrul, 2005. Peran Senyawa Oksigen Reaktif Dalam Mekanisme Kerusakan
Integritas Membran Spermatozoa Kerbau Lumpur Hasil Sentrifugasi
Gradient Densitas Percoll. Disertasi, Program Studi Ilmu Kedokteran Pasca
Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya
De Lamirande. E., H. Jiang, A. Zini, H. Kodana and C. Gagnon, 1997. Reactive
Oxgyen species and sperm physiology. Rev. Reprod. Januari; 2 (1) : 48-54

Donnelly ET. N. McClure and S.E Lewis, !999. The Effects of ascorbate and alpha –
tocoperol supplementation in vitro on DNA integrity and hydrogen peroxide –
induced DNA damage ion human spermatozoa. Mutagenesis, Sep. 14 (5): 505
– 12
Darnell J., H. Lodish, and D. Baltimore, 1990. Moleculer Cell Biology. 2nd edition.
Sci. Am. Books. Pp. 491 – 527
Fraga, C.G., P. A. Motchnik, A.J. Wyrobek and M.K. Shigenaga, 1996. Smoking
and low antioxydant levels increase oxidation demage to sperm DNA. Mutat.
Res., 351, 199 - 203

Gangyi, X., Z. Hongping, Z. Chanju, X. Xinghi dan Z. Ming, Z. Yi and Z. Li. 2001.
Reserch on Quality, Preservation Dilutor, and Frozen Tecnology of Boer
Goat Semen. Conference on Boer Goat in China.
Goyal, R.L., R.K. Tuli, G.C. Georgie and D. Chand. 1996. Comparison of quality
and freezability of water buffalo semen after washing or sephandex filtration.
Theriogenology, 46 : 679 – 686
Herrero M. B., E. de Lamirande and C. Gagnon, 1999. Nitrit oxide regulates human
sperm capacitation and protein tyrosine. Bio of Reprod. 61 hal; 575 - 58
Halliwell, B. 1993. Free radicals and vascular disease; how much do we know ? Brit
Med. J. 307; 885
Halliwell, B and J.M.C.Gutteridge, 1999. Free radicals in Biology and Medicine.
Third edition, Oxford : Oxford University Press, pp: 1 – 35, 246 – 350; 664
– 667.
Herliantien, K. Zenichiro dan Sarastina. 2002. Teknologi Prosesing Semen Beku
Pada Sapi. Balai Inseminasi Buatan. Singosari.
12

Hafez, E. S. E. (2000). Semen Evaluation. In: Reproduction in Farm Animals. Hafez,


E. S. E. (Ed.) 7th ed. Lea & Febiger, Philadelphia.
Hafez, E.S.E. 2004. X- and Y-Chromosome-Bearing Spermatzoa dalam
Reproduction in Farm Animal, 8th ed. Lea & Febiger Philadelphia, USA pp
440 – 446
Hughes CM., Lewis SE., McKelvey-Martin VJ. And Thompson W. 1998. The
Effects of Antioxidant Supplementation During Percoll Preparation on
Human Sperm DNA Integrity. Hum. Reprod. May. 13(5:1240-7)
Hammerstedt, H.R., 1993. Maintenance of bioenergetic balance in sperm and
prevention of lipid peroxidation : A review of the effect on design of storage
preservation systems. Reprod. Fertil. Dev. 5 : 675 – 690
Jones, R.T. Mann and R.J. Sherins, 1993. Demage to ram spermatozoa by
peroxidation of endogenous phospholipids, J. Reprod. Fertil. 50 : 261 – 268

Kelso, K.A. A. Redpath, R.C. Noble and B.K. Speake, 1997. Lipid and antioxidant
changes in spermatozoa and seminal plasma throughout the reproductive
period of bull. Journal or Reproduction and Fertility. 109 : 1 – 9
Krinsky, N. 1992. Mechanisme of Action of Biological Antioxidants, Proc Soc Exp
Biol and Med. 200.
Lu, C.D. 2001. Boer Goat Production: Progress and Perspective. www. Iga
goatworld. Org/publication/boer.htm

Mayes, P.A. 1995. Struktur dan Fungsi Vitamin yang larut dalam lemak. Dalam Edisi
20. Adji Dharma dan A.S. Kurniawan (Penterjemah). EGC Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.
Ollero, M., E. Guzman, M. C. Lopez, R. K. Sharma, A. Agarwal, K. Larson, D.
Evenson, A. J. Thomas and J. G. Alvarez. 2001. Characterization of subsets of
human spermatozoa at different stages of maturation: implications in the
diagnosis and treatment of male infertility. J. Human Reprod. Vol. 16; No.9
pp. 1912 -1921
Salisbury. G. W, Vandemark. N. L,. Djanuar. R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan Pada Sapi, Gajah Mada Universitas Press, Jogjakarta
Singh, P., D. Chand and G.C. Georgic. 1992. Lipid peroxydation influence on release
of glutamate oxaloacetate transaminase, free fatty acid and fructolytic index
of buffalo (Bubalus Bubalis) spermatozoa. Indian Vet. J. 69: 718 – 720
Singh, D. M.K. Sharma and R.S. Panday. 1998. Changes in superoxyde dismutase
activity and estradiol –17 β content in folliceles of different size from
ruminants. Indian J. Exp Biol. 36: 358 – 360

Steel, R.G.D and Torrie, 1990. Prinsip dan prosedur satistika suatu pendekatan
biometrik. Alih bahasa Bambang Sumantri, PT. Gramedia Pustaka Utama;
Jakarta
13

Suyadi, 2003. Pengenceran Semen Kambing Dengan Beberapa Pengencer Sederhana


dan Aplikasinya Untuk Insiminasi Buatan. Penerbit Simetrika22. Malang.
Suyadi, T. Susilawati dan N. Isnaini.2004. Uji Pembekuan Semen Kambing Boer.
Laporan Penelitian. Kerjasama Dotjen Pertenakan – Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Malang.

Suryohudoyo, P. 2000. Ilmu Kedokteran Molekuler. Cetakan Pertama, Jakarta; CV.


Sagung Seto. Hal 31 – 47
Sudjarwo, 2001. Peran Mitokondria pada fungsi Spermatozoa. Disertasi Pascasarjana
Unair Surabaya.
Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung Hal 92 –
120
Toelihere, M.R. 1981. Biological aspects of reproduction and insemination of swamp
buffalo. ASPAC. FFTC. Book Series. Taipei. 15 : 120 – 136

Zenichiro. K. Herlantien, Sarastina, 2002. Intruksi Praktis Teknologi Prosessing


Semen Beku Pada Sapi, Jica - BIB Singosari, Malang

Wijaya, A. 1996. Radikal bebas dan parameter statur antioksidan. Forum


Diagnostikum Prodia Diagnostics Education Services. Pp. 1 – 12

You might also like