You are on page 1of 11

Legenda Sangkuriang

Legenda Bandung di mulai dari sini...


(Menurut cerita rakyat Sunda)

Berasal dari hasrat, keinginan, cinta, dan kemarahan Sangkuriang, Meletusnya Gunung
Tangkuban Parahu, hingga sekarang menjadi sebuah kota...

Ini adalah cerita pendeknya...

Ada sebuah kerajaan di Tanah Priangan. Hiduplah sebuah keluarga bahagia, sang ayah dalam
wujud seekor anjing (bernama Tumang), seorang ibu (bernama Dayang Sumbi), dan seorang
anak bernama Sangkuriang. Tumang adalah jelmaan dewa yang memiliki kekuatan sihir.

Suatu hari, Dayang Sumbi meminta anaknya untuk pergi berburu di hutan terdekat dan mencari
hati rusa. Maka Sangkuriang pergi berburu dengan anjing kesayangannya, Tumang, untuk
menyenangkan hati ibunya. Setelah berburu seharian penuh tanpa hasil apapun, Sangkuriang
mulai putus asa dan khawatir. Tanpa pikir panjang, Sangkuriang mengambil panahnya dan
memanah anjingnya. Kemudian dia mengambil hati atau daging anjingnya dan dibawa pulang.

Dia memberikan hati atau daging anjingnya tersebut kepada ibunya. Tidak lama kemudian
Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang berbohong padanya. Dia mengetahui bahwa
Sangkuriang telah membunuh Tumang. Maka, dia menjadi sangat marah dan memukul kepala
Sangkuriang. Sangkuriang terluka dan memiliki sebuah tanda. Sangkuriang dibuang jauh dari
rumah mereka.

Tahun-tahun berlalu, Sangkuriang telah berkelana ke banyak tempat dan pada suatu hari, dia
sampai di sebuah desa yang dulu adalah rumahnya. Dia bertemu dengan seorang wanita cantik
yang sebenarnya adalah ibunya dan jatuh cinta padanya.

Cinta mereka tumbuh dan pada suatu hari, saat mereka membicarakan rencana perkawinan
mereka, Dayang Sumbi tiba-tiba menyadari bahwa ciri-ciri pada kepala Sangkuriang sama
dengan ciri anak satu-satunya yang telah menghilang dua puluh tahun lalu. Bagaimana mungkin
dia dapat menikahi anaknya sendiri? Tapi dia tidak mau mengecewakannya dengan
membatalkan perkawinan tersebut. Jadi, meskipun dia setuju untuk menikahi Sangkuriang, ada
syarat yang harus dipenuhi yaitu membuatkan sebuah danau dan perahu agar mereka dapat
berlayar saat matahari terbit pada hari pernikahan mereka.

Sangkuriang menerima syarat tersebut dan membuat sebuah danau dengan membendung sungai
citarum. Dengan waktu yang semakin singkat dan perahu yang hampir selesai, Dayang Sumbi
menyadari bahwa Sangkuriang akan memenuhi syarat yang dia minta. Dengan kekuatan
supernaturalnya, dia menerangi horison bagian timur dengan sinar. Tertipu oleh hal itu, ayam
jantan berkokok dan petani bersiap untuk sebuah hari baru.

Dengan pekerjaan yang belum selesai, Sangkuriang menyadari bahwa harapannya telah sirna.
Dengan marahnya, dia menendang kapal yang telah dia buat sendiri. Perahu tersebut jatuh dan
terbalik, dengan demikian menjadi gunung TANGKUBAN PARAHU (dalam bahasa Sunda,
TANGKUBAN berarti terbalik, dan PARAHU berarti perahu). Dengan hancurnya bendungan, air
yang tertampung dalam danau mengering dan menjadi sebuah dataran yang luas sehingga
sekarang menjadi sebuah kota yang disebut BANDUNG (dari kata BENDUNG, yang artinya
Dam/bendungan/waduk).
Pada jaman dahulu kala, di tatar Parahyangan, berdiri sebuah
kerajaan yang gemah ripah lohjinawi kerta raharja. Tersebutlah
sang prabu yang gemar olah raga berburu binatang, yang
senantiasa ditemani anjingnya yang setia, yang bernama
"Tumang".
Pada suatu ketika sang Prabu berburu rusa, namun telah seharian
hasilnya kurang menggembirakan. Binatang buruan di hutan
seakan lenyap ditelan bumi. Ditengah kekecewaan tidak
mendapatkan binatang buruannya, sang Prabu dikagetkan dengan
nyalakan anjing setianya "Tumang" yang menemukan seorang
bayi perempuan tergeletak diantara rimbunan rerumputan.
Alangkah gembiranya sang Prabu, ketika ditemukannya bayi
perempuan yang berparas cantik tersebut, mengingat telah cukup
lama sang Prabu mendambakan seorang putri, namun belum juga
dikaruniai anak. Bayi perempuan itu diberi nama Putri
Dayangsumbi.
Alkisah putri Dayngsumbi nan cantik rupawan setelah dewasa
dipersunting seorang pria, yang kemudian dikarunia seorang anak
laki-laki yang diberi nama Sangkuriang yang juga kelak memiliki
kegemaran berburu seperti juga sang Prabu. Namun sayang suami
Dayangsumbi tidak berumur panjang.
Suatu saat, Sangkuriang yang masih sangat muda belia,
mengadakan perburuan ditemani anjing kesayangan sang Prabu
yang juga kesayangan ibunya, yaitu Tumang. Namun hari yang
kurang baik menyebabkan perburuan tidak memperoleh hasil
binatang buruan. Karena Sangkuriang telah berjanji untuk
mempersembahkan hati rusa untuk ibunya, sedangkan rusa
buruan tidak didapatkannya, maka Sangkuriang nekad membunuh
si Tumang anjing kesayangan ibunya dan juga sang Prabu untuk
diambil hatinya, yang kemudian dipersembahkan kepada ibunya.
Ketika Dayangsumbi akhirnya mengetahui bahwa hati rusa yang
dipersembahkan putranya tiada lain adalah hati "si Tumang"
anjing kesayangannya, maka murkalah Dayangsumbi. Terdorong
amarah, tanpa sengaja, dipukulnya kepala putranya dengan
centong nasi yang sedang dipegangnya, hingga menimbulkan luka
yang berbekas. Sangkuriang merasa usaha untuk
menggembirakan ibunya sia-sia, dan merasa perbuatannya tidak
bersalah. Pikirnya tiada hati rusa, hati anjingpun jadilah, dengan
tidak memikirkan kesetiaan si Tumang yang selama hidupnya
telah setia mengabdi pada majikannya. Sangkuriangpun minggat
meninggalkan kerajaan, lalu menghilang tanpa karana.
Setelah kejadian itu Dayangsumbi merasa sangat menyesal,
setiap hari ia selalu berdoa dan memohon kepada Hyang Tunggal,
agar ia dapat dipertemukan kembali dengan putranya. Kelak
permohonan ini terkabulkan, dan kemurahan sang Hyang Tunggal
jualah maka Dayangsumbi dikaruniai awet muda. Syahdan
Sangkuriang yang terus mengembara, ia tumbuh penjadi pemuda
yang gagah perkasa, sakti mandraguna apalgi setelah ia berhasil
menaklukan bangsa siluman yang sakti pula, yaitu Guriang Tujuh.
Dalam suatu saat pengembaraannya, Sangkuriang tanpa
disadarinya ia kembali ke kerajaan dimana ia berasal. Dan alur
cerita hidup mempertemukan ia dengan seorang putri yang
berparas jelita nan menawan, yang tiada lain ialah putri
Dayangsumbi. Sangkuriang jatuh hati kepada putri tersebut,
demikianpula Dayangsumbi terpesona akan kegagahan dan
ketampanan Sangkuriang, maka hubungan asmara keduanya
terjalinlah. Sangkuriang maupun Dayangsumbi saat itu tidak
mengetahui bahwa sebenarnya keduanya adalah ibu dan anak.
Sangkuriang akhirnya melamar Dayangsumbi untuk dipersunting
menjadi istrinya.
Pada mula, saya kurang 'peduli' thd budaya (spt cerita2 tradisi temurun) yg
berkembang di daerah yg i tinggali, Medan Sumatra Utara. Sepertinya,
i mrasa kurang memiliki waktu yg cukup utk mencerna apa saja crita yg
beredar di sekitarku. Tapi pada saat berikutnya, ternyata aku diberi
ksempatan utk merunut, paling tidak dari beberapa sumber yg bisa diakses
dengan mudah di internet. Kata kunci yg kupakai atas dasar ketertarikan dan
juga kedekatan lokasi, jatuhlah pilihan dari banyak pilihan yg diajukan oleh
istri tercintaku (krn memang berasal dari Medan ia) pada cerita 'Putri Hijau'!

Dari pencarianku tu, i lebih banyak dpt cerita ringkasnya ketimbang cerita
lengkap dan terinci dari legenda Sang Putri ni. Tak apalah, toh dari
ringkasannya pun i sdh dapat menambah satu lagi perbendaharaan
pengetahuanku, terutama di bidang budaya. Kalo boleh saya tuliskan kembali,
ringkas legenda kota Medan tsb adlh sbb.:

Di zaman dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Timur Besar kira-kira 10 Km


dari Kampung Medan (yakni sekarang di Deli Tua, Sumatra Utara), seorang
Putri yang sangat cantik dan karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau.
Kecantikan Putri ini tersohor kemana-mana mulai dari Aceh sampai ke ujung
Utara Pulau Jawa. Sultan Aceh jatuh cinta pada Putri itu dan melamarnya
untuk dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua
saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah karena penolakan itu
dianggapnya sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka Kesultanan Aceh pun
memerangi Kesultanan Deli, yg waktu itu dipimpin oleh saudara tua Putri,
Mambang Yazid.
fabel PERLOMBAAN ANTARA KELINCI
DAN KURA-KURA
Di sebuah hutan kecil di pinggir desa ada seekor kelinci yang sombong. Dia suka
mengejek hewan – hewan lain yang lebih lemah. Hewan – hewan lain seperti kura – kura,
siput, semut dan hewan – hewan kecil lain tidak ada yang suka pada kelinci yang
sombong itu.
Suatu hari, si kelinci berjalan dengan angkuhnya mencari lawan yang lemah untuk
diejeknya. Kebetulan dia bertemu dengan kura – kura.

Kelinci : “Hei, kura – kura, si lambat, kamu jangan jalan aja dong…..lari begitu, biar
cepat sampai.”
Kura – kura : “Biarlah kelinci, memang jalanku lambat. Yang penting aku sampai dengan
selamat ke tempat tujuanku, daripada cepat – cepat nanti jatuh dan terluka.”
Kelinci : “Hei kura – kura, bagaimana kalau kita adu lari. Kalau kau bisa menang, aku
akan beri hadiah apapun yang kau minta.”

Padahal di dalam hati kelinci berkata.

Kelinci : “Mana mungkin dia akan bisa mengalahkanku.”


Kura – kura : “Wah, kelinci mana mungkin aku bertanding adu cepat denganmu, kamu
bisa lari dan loncat dengan cepat, sedangkan aku berjalan selangkah demi selangkah
sambil membawa rumahku yang berat ini.”
Kelinci : “Nggak bisa, kamu nggak boleh menolak tantanganku ini. Pokoknya besok pagi
aku tunggu kau di bawah pohon beringin. Aku akan menghubungi pak serigala untuk
menjadi wasitnya.”

Kura – kura hanya bisa diam melongo. Di dalam hatinya berkata.

Kura – kura : “Mana mungkin aku bisa mengalahkan kelinci ?”

Keesokan harinya si kelinci menunggu dengan sombongnya di bawah pohon beringin.


Pak serigala juga sudah datang untuk menjadi wasit. Setelah kura – kura datang pak
serigala berkata.

Pak serigala : “Peraturannya begini, kalian mulai dari pohon garis di sebelah sana yang di
bawah pohon mangga itu. Kalian bisa lihat nggak ?”
Kelinci : “Bisa….”
Kura – kura : “Bisa….”
Pak serigala : “Nah siapa yang bisa datang duluan di bawah pohon beringin ini, itulah
yang menang.” Oke,……satu……dua……tiga……mulai !”
Kelinci segera meloncat mendahului kura – kura, yang mulai melangkah pelan karena dia
tidak bisa meninggalkan rumahnya.

Kelinci : “Ayo kura – kura, lari dong !” Baiklah aku tunggu disini ya….”

Kelinci duduk sambil bernyanyi. Angin waktu itu berhembus pelan dan sejuk, sehingga
membuat kelinci mengantuk dan tak lama kemudian kelinci pun tertidur.
Dengan pelan tapi pasti kura – kura melangkah sekuat tenaga. Dengan diam – diam dia
melewati kelinci yang tertidur pulas. Beberapa langkah lagi dia akan mencapai garis
finish. Ketika itulah kelinci bangun. Betapa terkejutnya dia melihat kura – kura sudah
hampir mencapai finish sekuat tenaga dia berlari dan meloncat untuk mengejar kura –
kura. Namun sudah terlambat, kaki kura – kura telah menyentuh garis finish dan pak
serigala telah memutuskan bahwa pemenangnya adalah kura – kura. Si kelinci sombong
terdiam terhenyak, seolah tak percaya bahwa dia bisa tertidur. Jadi siapa pemenangnya ya
kura – kura.

Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Para Hakim


Senin, 09/14/2009 - 22:10 — ombi

• Sastra Lama |
• Hikayat

Siapakah Abu Nawas ? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini-
sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan
pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M diBaghdad. Setelah dewasa ia
mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali
dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab
dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab, la juga pandai bersyair, berpanlun dan
menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama
ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan
Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu
sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah
bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir
tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan jenazah hingga
mengkafani, menyalati dan men-do’akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu
Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun..,demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu
tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang
pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu
sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat
menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk
pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak
bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu
Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui
Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan
Sultan.

“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas
dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”

“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai
supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang
yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas kau
mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir.

“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata

Abu Nawas.

“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.

“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari
menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan
Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadap-kan Abu Nawas
kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan
suka rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di
hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugal-
ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda. “Ya Baginda, tahukah Anda……?”

‘Apa Abu Nawas…?”

“Baginda…terasi itu asalnya dari udang !”

“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”

“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera member! perintah kepada para
pengawalnya.

“Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali.”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara
yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia
dicegat oleh penjaga.

“Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk kekota ini kita telah mengadakan
perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu?Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda
maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nan, sekarang
mana bagianku itu?”

“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadtah Baginda yang
diberikan kepadaku tadi?”

“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”

“Balk, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”


“Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering
menerima hadiah dari Baginda.”

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu
orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit
kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkan-nya begitu saja, ia
terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al
Rasyid.

“Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu
Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan.
Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu
Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah
memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh limakali pukulan?”

Berkata Abu Nawas, “Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu

“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan seb orang itu?” tanya Baginda.

“Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan p. mengadakan perjanjian bahwajika’hamba dit


hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagia saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadial
maka saya berikan pula hadiah dua puluh lii

“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kc seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Bagit

“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu g mengira jika Baginda memberikan hadiah pi

“Hahahahaha…….!Dasar tukang peras,

sahut Baginda.”Abu Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad a
suka memeras orang! Kalau kau tidak merubah aku akan memecat dan menghukum
kamu!”

“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu g<

Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba sue tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, pai
Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu karena panggilan Tuanku. Padahal besok r
untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut ate tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak,” Hahahah


Baginda kemudian memerintahkan bem sekantong uang perak kepada Abu Nawas. A hati
gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya Abu Naw bahkan semakin nyentrik seperti orang gila J

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid rm menterinya.

“Apa pendapat kalian mengenai Abu N. sebagai kadi?”3

Wazir atau perdana meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah
otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.”

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas
telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”

“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati.
Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid
mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama
berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk
menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi
Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur
kepada Tuhan. “Alhamdulillah….. aku telah terlepas dari balakyang
mengerikan.Tapi….sayang sekali kenapa hams Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak
yang lain saja.”

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari
ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk
menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan
dan telinga kiriku.”

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan
bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?” “Benar Bapak!”

“Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh
mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang
sebelah kiri kok baunya amat busuk?”
“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?” “Watiai bapakku,
cobalah ceritakan kepada anakmu ini.’;

Berkata Syeikh Maulana.Tada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya
kepadaku. Yang scorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagf karena aku
tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika
kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau
tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih
sebagai Kadi o!eh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun AI.Rasyid
pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan
diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu
kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Waiaupun Abu Nawas tidak
menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu
perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab
pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

You might also like