You are on page 1of 136

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi. Penyakit alergi yang bermanifestasi
pada kulit termasuk masalah yang paling sering dijumpai dalam praktik seharihari khususnya di bagian spesialis kulit dan kelamin.1
Di antara berbagai bentuk kelainannya dermatitis kontak alergi, dermatitis
atopik dan urtikatria merupakan penyakit alergi kulit yang terbanyak dijumpai di
dalam praktek sehari-hari. Reaksi alergi terhadap substansi asing terjadi
mengikuti 4 bentuk reaksi klasik tipe Gell dan Coombs (1963), yaitu 1,2 :
1. Tipe I : Reaksi anafilaktik atau hipersensitifitas tipe cepat, dengan
dengan contoh klinis urtikaria dan angioudema.
2. Tipe II : Reaksi sitotoksik, antara lain bermanifestasi sebagai purpura
trombositopenik alergi.
3. Tipe III : Pembentukan kompleks imun dan reaksi Arthrus, dengan
contoh klinis vaskulitis alergik.
4. Tipe IV : Reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan contoh klasik
dermatitis kontak alergi , sedangkan komponen selular sistem
imun kulit meliputi : sel dendrit epidermal, limfosit,
keratinosit, dan sel mast. 2,3
Untuk penatalaksanaaannya sendiri, pada kasus alergi kulit sering kali
memperoleh hasil yang kurang memuaskan oleh karena perjalanan penyakit ini
sering menjadi kronik residif, dengan rekurensi tinggi.
Pada referat ini penulis dengan mengambil dari berbagai sumber ingin
menjelaskan penyakit kulit yang disebabkan oleh karena reaksi alergi yang
banyak ditemui dalam praktek sehari-hari.
B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai tugas referat pada kepaniteraan
klinik departemen kulit dan kelamin RSU Kota Banjar, tentang kelainan atau
penyakit kulit yang disebabkan oleh karena alergi, pada penyakit atau kelainan
kulit yang disebut dengan.
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diambil ialah penulis dan pembaca dapat
mengetahui tentang jenis penyakit kulit yang disebabkan oleh karena eraksi alergi
sehingga dapat mengobati penyakit kulit baik secara topikal, sistemik dan
tindakan operatif dengan benar.

BAB II
PEMBAHASAN

A. ANATOMI KULIT
Kulit merupakan pembungkus elastis yang dapat melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu 1,5% dari berat tubuh dan luasnya 1,5-1,75 m2, rata-rat tebal
kulit 1-2 mm. paling tebal (16mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki, sedangkan
paling tipis (1,5 mm) terdapat di penis12.
Berikut akan dijelaskan pembagian dan lapisan kulit manusia :

Gambar-1
Anatomi Kulit Manusia , ( Sterry, Wolfram. Thieme Clinical
Companions Dermatology New York : 2006. Hal : 3 )

Selain itu kulit memiliki sistem pertahanan terhadap suatu benda asing atau
patogen baik humoral maupun selular, namun pada beberapa orang ada yang
memiliki reaksi hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan
IV. Kemudian Janeway dan Travers merevisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi
tipe IVa dan IVb. 1
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi
alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I,
alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi
IgE dan penyakit alergi , yang pada penyakit kulit seperti dermatitis atopik dan
yang lain seperti asma dan rinitis alergika. 5
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel
pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell
Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+. 2

Jenis
Hipersensitivitas
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
Tipe II
Reaksi melalui
antibodi

Mekanisme Imun
Patologik
IgE
IgM, IgG terhadap

Mekanisme Kerusakan Jaringan dan


Penyakit
Sel mast dan mediatornya

(amin

vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)


Opsonisasi & fagositosis sel

permukaan sel atau matriks

Pengerahan leukosit (neutrofil,

antigen ekstraseluler

makrofag) atas pengaruh komplemen


dan FcR Kelainan fungsi seluler (misal

Tipe III

Kompleks imun (antigen

Kompleks imun

dalam sirkulasi dan IgM

Tipe IV

atau IgG)
1. CD4+ : DTH

(melalui sel T)

2. CD8+ : CTL

Tipe IVa

dalam sinyal reseptor hormone)


Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
pengaruh komplemen dan Fc-R
1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas
pengaruh sitokin
2. Membunuh

Tipe IVb

sel

sasaran

direk,

inflamasi atas pengaruh sitokin


Tabel 1. Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh.
Jakarta, Hal : 285

Jika dilihat berdasarkan tabel diatas penyakit pada kulit ada yang disebabkan
dari reaksi alergi ada yang terjadi oleh karena reaksi hipersensitivitas tipe cepat
dan tipe lambat. Respons imun baik spesifik maupun nonspesifik pada umumnya
menguntungkan
pertumbuhan

bagi

tubuh,

kanker, tetapi

berfungsi
dapat pula

protektif

terhadap

menimbulkan

infeksi

hal yang

atau
tidak

menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas


seperti yang telah di jelaskan di atas. Komponen-komponen sistem imun yang
bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi
hipersensitivitas, yaitu peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. 1,2,3
Pada paparan awal, alergen akan dikenali oleh sel penyaji antigen (APC)
untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel limfosit T secara langsung atau
melalui sitokin. pada fase akut set T helper (Th2) akan memproduksi bermacam
sitokin seperti IL-4 dan IL-1. Sitokin ini menginduksi antibodi switching
pembentuk IgE dan ekspresi molekul adhesi endotel sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe cepat, berikut gambaran antigen dikenali oleh APC :

Gambar-2
Mekanisme Antigen dikenali oleh APC, (Julius M. Cruse, Atlas of Immunology ,
Second edition , Taylor and Francis, 2004 . Hal : 240)

Jika dihubungkan dengan penyakit kulit yang disebabkan oleh karena reaksi
alergi , bahwa letak dan distribusi IgE pada tubuh banyak tedapat di mukosa dan
kulit pada tubuh manusia. berikut pada gambar dibawah distribusi IgE &
mekanisme terjadinya reaksi alergi 2,3 :

Kontak dengan
Alergen

IgE pada
permukaan kulit
dan mukosa

Gambar-3
Distribusi IgE , (Julius M. Cruse, Atlas of Immunology , Second edition , Taylor
and Francis, 2004 . Hal : 245) & contoh reaksi alergi

Gambar-4
Mekanisme reaksi alergi , (Julius M. Cruse, Atlas of Immunology , Second
edition , Taylor and Francis, 2004 . Hal : 257)
Dari gambar di atas terlihat bahwa penyakit kulit oleh karena alergi banyak
terjadi kasusnya dalam praktek dan kehidupan sehari-hari karena banyak sekali
sumber alergi atau alergen yang mampu memprovokasi terjadinya reaksi alergi
pada kulit manusia, dimana terjadi ketika seorang individu yang telah
menghasilkan antibodi IgE sebagai hasil dari kontak sebelumnya dengan alergen,
kemudian bertemu alergen yang sama. Dan beberapa orang ada yang memiliki
riwayat atopik atau keturunan alergi dalam keluarganya.

Jenis Hipersensitivitas
Tipe I

Manifestasi Pada Penyakit Kulit


Erupsi obat alergik

Hipersensitivitas cepat

Dermatitis atopik
Urtikaria & Angioudem
Dan kelainan kulit akibat alergi makanan,
yang gambaran klinisnya seperti urtikaria atau
angioudema, dan bisa dalam bentuk kelainan
kulit lainnya.
Bermanifestasi sebagai purpura

Tipe II
Reaksi melalui antibodi

trombositopenik alergi
Eritema Multiform :

Tipe III

Mayor : Sindrom Stevens-Johnson

Minor : Nekrolisis Epidermal Toksik


Vaskulitis Hipersensitifitas atau Vaskulitis

Kompleks imun

alergika

(adanya

kompleks

Leukositoklastivaskulitis

imun

yaitu

biasanya

oleh

karena reaksi alergi ekstrim karena obat atau


benda asing yang menyebabkan peradangan &
kerusakan pembuluh darah.
Tipe IV
(melalui sel T)

Dermatitis kontak alergi

Tipe IVa
Tipe IVb
Tabel 2. Klasifikasi tabel yang dibuat oleh penulis
Sumber : Djuanda, Adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FK
UI 2009. Hal : 129 - 179

B. PENYAKIT KULIT ALERGI

Pada penjelasan diatas telah diuraikan bagaimana sistem imun tubuh mampu
menyebabkan reaksi alergi atau reaksi hipersensitivitas sehingga menimbulkan
penyakit kulit, berikut adalah beberapa penyakit alergi kulit yang akan dijelaskan
di dalam referat ini :
1. Dermatitis karena reaksi Alergi atau hipersensitivitas
2. Urtikaria & Angioudema
3. Kelainan Kulit Akibat Alergi Makanan
4. Erupsi Obat Alergi
5. Eritema Multiform
6. Sindroma Stevens-Johnson
7. Nekrolisis Eritema Toksik
Untuk mengetahui bagaimana definisi, pembagian masing-masing penyakit
berdasarkan epidemiologi, etiologi, patomekanisme masing-masing penyakit
hingga penatalaksanaan dan prognosis penyakit kulit akibat alergi, penulis akan
mencoba menampilkan beberapa penyakit alergi pada referat ini :
1. DERMATITIS KARENA REAKSI ALERGI
Sebelum membahas dermatitis akibat reaksi alergi , penulis mencoba
mendeskripsikan terlebih dahulu mengenai definisi dari dermatitis dan penulis
ingin menampilkan kerangka konsep penyakit dermatitis yang dimediasi oleh
bahan iritan atau reaksi alergi berdasarkan dari literatur.
a. Definisi Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,
vesika, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak

selalu

timbul

bersamaan,

bahkan

mungkin

hanya

beberapa

(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. 13


b. Epidemiologi Dermatitis
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen) misalnya bahan
kimia (detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (sinar matahari, suhu),
mikroorganisme (bakteri, jamur) dan dapat pula dari dalam (endogen)
misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya
yang pasti.11
c. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kejadian Dermatitis
1). Faktor Endogen
a) Sawar kulit
Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal,
terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang
menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi
alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah . 6
b) Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti,
yaitu terdapat dermatitis dalam keluarga. Jumlah penderita
dermatitis di keluarga meningkat 50% apabila salah satu
orangtuanya dermatitis, 75% bila kedua orangtuanya menderita
Dermatitis

c) Hipersensitivitas

10

1. Pasien Dermatitis bereaksi positif terhadap berbagai alergen,


misalnya terhadap alergen makanan 40-96% dermatitis
bereaksi positif (pada food challenge test)16.
2. Faktor Psikis
Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita
dermatitis menyatakan lesi dermatitis bertambah buruk akibat
stress emosi6.
2). Faktor Eksogen
a) Kontak Iritan
Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan
iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung
pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari,
dan pakaian wol6.
b) Alergen
Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah.
Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST
(IgE spesifik)6.
c) Infeksi Mikroorganisme
Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi
dermatitis dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut
mempengaruhi derajat keparahan dermatitis6.
d) Lingkungan

11

Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada


kekambuhan dermatitis, misalnya asap rokok, polusi udara
(nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum
terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang
banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan dermatitis6.

d. Jenis-jenis Dermatitis
Sebagian peradangan kulit secara konvensional dikelompokkan
bersama di bawah diagnosis kerja eksim atau dermatitis 6. Klasifikasi
Dermatitis:
a. Eksogen :
1. Dermatitis Iritan Primer
2. Dermatitis Kontak Alergi (reaksi hipersensitivitas tipe-IV)
3. Dermatitis Akibat Patogen (infeksi)
b. Endogen :
1. Dermatitis Atopik (reaksi hipersensitivitas tipe-I)
2. Dermatitis Seboroik
3. Dermatitis Diskoid
4. Dermatitis Tangan dan Kaki : hiperkeratotik/berfisura /
vesikular (pomfoliks)
5. Dermatitis Statis Varikosa
6. Dermatitis Asteatotik
7. Dermatitis berskuama superfisial (xantoeritodermia perstans)
8. Dermatitis dipicu sinar
9. Neurodermatitis (termasuk liken simpleks dan prurigo
nodularis)

12

Namun, sejak awal perlu ditekankan bahwa pembedaan yang


terlalu berlebihan tidaklah diperlukan bahkan dapat menyulitkan.

Anamnesa :
Setelah terpapar
bahan kimi a
iritan

Gambar 5 Skema berdasarkan Teori yang dibuat oleh penulis (Djuanda,


Adhi. 2009) . Sumber : Djuanda, Adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin

edisi kelima. Jakarta : FK UI 2009. Hal : 129-145


Pada tabel diatas, terlihat bahwa penyakit dermatitis yang disebabkan oleh
reaksi alergi atau hipersensitifitas yaitu karena faktor endogen terjadi pada
dermatitis atopik dan dermatitis kontak alergika.dimana reaksi hipersensitivitas
tipe 1 atau tipe cepat pada dermatitis atopik dan reaksi hipersensitivitas tipe
IV atau tipe lambat pada dermatitis kontak alergi.

e. Perbedaan antara DKA dan DKI

13

Berikut ini adalah pembagian untuk membedakan antara dermatitis


kontak alergi dengan dermatitis kontak iritan, dikarenakan penyebabnya
yang berbeda diantara keduanya , sehingga supaya memudahkan
penulis dan pembaca untuk membedakan antara ke dua dermatitis
ini oleh karena yang dibahas pada referat ini ialah Dermatitis yang
disebabkan oleh karena Alergi :
1) DEFINISI
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Suatu dermatitis (peradangan kulit) yang timbul setelah
kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.2
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
DKI adalah penyakit lokal terbatas pada daerah yang terkena
iritasi. Hal ini disebabkan oleh paparan kulit untuk bahan kimia
atau agen fisik lainnya yang mampu mengiritasi kulit, akut atau
kronis. Iritasi yang parah menyebabkan reaksi beracun bahkan
setelah eksposur singkat. Kebanyakan kasus disebabkan oleh satu
paparan kumulatif kronis atau lebih iritasi. Tangan adalah daerah
yang paling sering terkena.1
Bentuk efloresensi dermatitis kontak iritan meliputi:
folikular dan pecahan dari vesikel, miliaria, perubahan pigmen
(hypo-dan hiperpigmentasi), reaksi granulomatous , dan alopesia.1
Dermatitis kontak iritan (DKI) berkembang sebagai akibat
dari kerusakan langsung ke stratum korneum yang menyebabkan
perubahan pH atau seluler, lipid yang menyebabkan terlihat
aktivasi sel dan respon inflamasi.3

14

2) ETIOLOGI
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Alergen = kontaktan = sensitizer. Biasanya berupa bahan
logam berat, kosmetik (lipstik, deodoran, cat rambut), bahan
perhiasan (kacamata, jam tangan, anting-anting), obat-obatan
(obat kumur, sulfa, penisilin), karet (sepatu, BH).2
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali,
dan serbuk kayu.4 Iritasi sebagian besar bahan kimia, dalam
bentuk padat, cair, atau fase gas, tetapi juga termasuk partikel
mineral atau vegetal yang mengelupas atau bisa tertanam di kulit.
Iritasi segera adalah zat korosif yang menghasilkan bahan kimia
luka bakar dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
satu eksposur.5
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum,
juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu
lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula
gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
ikut berperan.4
3) PATOGENESIS
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan Anti gen
Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa
mempersoalkan keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga

15

meskipun stratum korneum intak, tidak dapat mencegah terjadinya


dermatitis kontak alergi pada individu yang sensitif. Di sini yang
berperan adalah reaksi tipe IV (Gell dan Coombs). Reaksi yang
menimbulkan dermatitis kontak alergi ini di bagi dalam dua fase:
fase sensitisasi dan fase elisitasi.4
a. Fase sensitisasi
Bahan kimia yang dapat bersifat sebagai allergen biasanya
mempunyai berat molekul kecil, larut dalam lemak dan ini
disebut sebagai hapten. Hapten akan berpenetrasi menembus
lapisan korneum sampai mencapai lapisan bawah epidermis.
Hapten ini akan difagosit oleh sel Langerhans, kemudian hapten
akan diubah oleh enzim lisosom dan sitosolik yang kemudian
berikatan dengan HLA-DR membentuk anti gen. HLA-DR dan
anti gen ini akan di perkenalkan kepada sel limfosit T melalui
CD4 (cluster of differentiation-4) yang akan mengenal HLA-DR
dan CD3 (cluster of differentiation-3) yang akan mengenal anti
gen tersebut. Perkenalan ini terjadi di kulit atau di kelenjar limfe
regional.4
Sel Langerhans kemudian mengeluarkan IL-1 yang akan
merangsang sel limfosit T mengeluarkan IL-2 dan akan
menyajikan reseptor IL-2 pada permukaan sel limfosit tersebut
dan sitokin. Hal ini akan menyebabkan proliferasi dari sel
limfosit T yang sudah di kenal dan siap menerima anti gen yang
serupa. Sel limfosit T yang demikian disebut sel memori dan
bisa didapatkan di kulit ataupun kelenjar limfe regional.4
b. Fase elisitasi
Fase elisitasi ini dimulai ketika anti gen yang serupa,
setelah difagosit oleh sel Langerhans dengan cepat akan dikenal
oleh sel memori sehingga sel memori akan mengeluarkan IFN-g
(interferon gamma) yang akan merangsang keratinosit yang akan

16

menampakkan

ICAM-1

dan

HLA-DR

pada

permukaan

keratinosit. ICAM-1 akan memungkinkan keratinosit berikatan


dengan sel lekosit yang pada permukaannya terdapat LFA-1
(lymphocyte associated-1).4
Seperti telah kita ketahui HLA-DR akan memungkinkan
keratinosit berikatan dengan sel T limfosit dan sel T sitotoksik.
Di samping itu keratinosit akan memproduksi IL-1, IL-6 dan
GM-CSF yang semua ini akan mengaktivasi sel limfosit T. IL-1
memproduksi eicosanoid, dimana kombinasi antara eicosanoid
dan sitokin-sitokin yang dibentuknya akan mengaktifkan sel
mast dan makrofag, sehingga akan terbentuklah histamin yang
menimbulkan

vasodilatasi

dan

peningkatan

permeabilitas

pembuluh darah. Semua proses yang telah di sebut di atas


menimbulkan reaksi radang yang kita kenal sebagai dermatitis
kontak alergik.4
2.

Dermatitis Kontak Iritan (DKI)


a. Mekanisme seluler DKI masih belum diketahui. Kelainan kulit
timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan
tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak pada lapisan
tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.4
b. Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid
membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran
sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti.
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan
asam arakidonat, diasilgliserida, platelet activating factor (PAF),
dan inositida. Asam arakidonat dirubah menjadi prostaglandin dan
leukotrien. Prostaglandin dan leukotrien menginduksi vasodilatasi,
dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah

17

transudasi komplemen dan kinin. Prostaglandin dan leukotrien juga


bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil,
serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, leukotrien dan
prostaglandin lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan
vaskular. 5
c. Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi
gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan
granulocyte macrophage colony stimulant factor (GMCSF). IL-1
mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi
reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi
sel tersebut.6
d. Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi
intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga
melepaskan

TNF,

suatu

sitokin

proinflamasi

yang

dapat

mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi


molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin.4,5,6
e. Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas,
nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan
kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan

stratum

korneum

oleh

karena

delipidasi

yang

menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga


mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.7

4) GAMBARAN KLINIS
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada
yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas,

18

kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bulla. Vesikel


atau bulla dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah).
DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis,
skrotum, eritema dan edema lebih menonjol.7,8,9
Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan
ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya juga campuran.4
DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara
autosensitisasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten
terhadap DKA.6

gambar 6. Kontak alergi akut dermatitis pada bibir karena lipstik11

19

gambar 7. Dermatitis kontak alergi tangan: kroma5

gambar 8. Dermatitis kontak alergi karena nikel, subakut4

2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)


Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada
sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah
memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak faktor yang
mempengaruhi sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu faktor
individu, (mislanya, ras, usia, lokasi, atopi, penyakit kulit lain), faktor
lingkungan (misalnya suhu, dan klembaban udara, oklusi).4,5,6
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada
yang mengklasifikasikan DKI menjadi sepuluh macam, yaitu DKI
akut, lambat akut, (acut delayed ICD), reaksi iritan, kumulatif,
traumateratif,

eksikasi

ekzematik,

pustular

dan

akneformis,

noneritematosa, dan subyektif. Ada pula yang membaginya menjadi


dua kategori yaitu kategori mayor terdiri atas DKI akut termasuk luka
bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori lain terdiri atas: DKI
lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI eritematosa, dan DKI
subyektif.7,8

20

gambar 9. Awal dermatitis kontak iritan kronis pada ibu rumah tangga8

gambar 10. Obat penghilang rambut yang terbuat dari alkali7

gambar 11. Dermatitis kontak iritan akut di tangan karena pelarut industri11

5) PEMERIKSAAN
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
a. Biopsi

21

Biopsi adalah bantuan terbatas dalam dermatitis kontak.


Sebagian besar jenis eksim menunjukkan perubahan patologis yang
identik, dan alergi dan dermatitis kontak iritan primer tidak dapat
dibedakan dengan kepastian.6
b. Pemeriksaan Fisik
Respon eksematosa (dermatitis)
Tingkat keparahan dermatitis ditentukan oleh intensitas
eksposur dan tingkat sensitivitas . Gambaran klinis ini juga untuk
batas tertentu tergantung pada lokasi dan dermatitis pada agen
penyebab. Distribusi dermatitis mungkin karena bahan yang
menyebabkan alergi, misalnya bahwa karena nikel atau tekstil.6,5
Tanda-tanda utama dalam dermatitis kontak alergi akut
eritema, bengkak, papula dan papulovesikel, yang mencerminkan
urutan perubahan inflamasi pada dermis dan intraseluler dan edema
interseluler pada epidermis . Secara lebih akut dan parah kasus ini
dapat berkembang menjadi gangguan antar sel dan pengembangan
vesikel yang lebih besar atau lecet. Gejala yang dominan adalah
gatal. Jika dermatitis kontak terus berlanjut, hal itu mungkin karena
dilanjutkan atau berulang paparan alergen atau iritan atau alergen
sekunder. Kulit menjadi kering, bersisik dan tebal sebagai hasil dari
akantosis, hiperkeratosis, edema, dan infiltrasi seluler di dermis.
Likenifikasi dan fisura dapat berkembang kemudian. Fitur-fitur
klinis dermatitis kontak alergi kronis tidak bisa selalu dibedakan
dari konstitusi atau iritasi dermatitis kontak, dan etiologi tersebut
memang sering dicampur.7,8
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas
terhadap zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat

22

ditentukan dan tindakan korektif dapat diambil. Uji tempel


merupakan pemeriksaan untuk konfirmasi dan diagnostik tetapi
hanya dalam kerangka anamnesis dan pemeriksaan fisik, uji tempel
ini jarang membantu jika tanpa anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Uji tempel dapat diadministrasikan dengan thin-layer rapid-use
epicutaneous (TRUE) atau dengan ruang aluminium yang
disiapkan tersendiri (Finn) dimana dipasang pada tape Scanpor.
Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas, meskipun jika
hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat
digunakan. 13 Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat
jika gatal parah atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit
yang ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5,
karena reaksi positif mungkin tidak muncul sebelumnya.7

gambar 12. Tes Patch pada DKA7

2. Provocative Use Test


Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang
mendekati positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik.

23

Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menguji produk-produk


untuk kulit. Bahan digosok ke kulit normal pada bagian dalam
lengan atas beberapa kali sehari selama lima hari.8
3. Uji Photopatch
Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi
kontak terhadap zat seperti sulfonamid, fenotiazin, p-aminobenzoic
acid, oxybenzone, 6-metil kumarin, musk ambrette, atau
tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar diterapkan
selama 24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari
ultraviolet-A dan dibaca setelah 48 jam.7
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
a. Patologi
Reaksi alergi dermatitis kontak secara histologis hampir
selalu eczematous dan agak monomorfik, yang menimbulkan oleh
karena iritasi menunjukkan pleomorfik jauh lebih besar. Histologik
perubahan bervariasi sesuai dengan sifat kimia dan konsentrasi
iritasi, jenis dan durasi paparan, tingkat keparahan respon dan
waktu sampling. Beberapa reaksi iritasi mungkin secara histologis
dapat dibedakan dari dermatitis kontak alergi, sedangkan yang lain
mungkin memiliki ciri-ciri morfologi karakteristik jenis tertentu
kimia. Lebih dari satu pola respon dapat disebabkan oleh iritasi
yang sama.6,7
b. Pemeriksaan Fisik
Ketika memeriksa daerah yang terkena, memperhatikan
keparahan dermatitis, distribusi, dan yang penting derajat
gangguan fungsi. Memeriksa seluruh daerah kulit sebagai tempat
yang jauh keterlibatan mungkin ada tanda-tanda dermatitis atopik,
psoriasis, liken planus, atau lain non-kerja, kondisi pribadi.4,5

24

6) DIAGNOSIS
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti.5
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan. Data yang berasal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat
atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.5,6,7
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan,; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan
kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.5
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui
karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya
masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI
kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis
yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak alergik.4
7)

DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)

25

DKA sering tidak menunjukan gambaran morfologi yang khas


sehingga terkadang dapat menyerupai :
a. Dermatitis Kontak Iritan
b. Dermatitis Numularis
Adanya gejala klinis gatal dan kemerahan. Dimana
terdapat lesi vesikel dan papulovesikel, membentuk seperti
uang logam, eritematosa, sedikit edema dan berbatas tegas.
Tempat predileksi di tungkai bawah, badan, lengan termasuk
punggung tangan.4,5

gambar 12. Dermatitis Numular1

c. Dermatitis Seboroik
Adanya eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan batasnya agak kurang jelas. Tempat predileksi kulit
kepala, liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sternal,
areola mammae, lipatan dibawah mammae, umbilikus, dan
lipat paha.4

26

Gambar 13. Dermatitis Seboroik7

c. Dermatitis Atopi
Adanya kulit yang kering, pucat, dan gejala utamanya
adanya pruritus. Apabila penderita menggaruk, akan timbul
papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan
krusta.5,6

gambar 14. Dermatitis Atopi7

27

8) TERAPI
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
a. Menghentikan Gejala
Mengidentifikasi

dan

menghapus

agen

penyebab

dari

dermatitis kontak alergi.1


b. Topikal
Terapi topikal glukokortikoid salep/gel (kelas I hingga III)
efektif untuk lesi yang tidak terdapat bulla dari awal. Vesikel yang
lebih besar dapat dikeringkan, tetapi bagian atas dari vesikel tidak
harus dibersihkan. Kompres basah dengan kain yang direndam
dalam larutan Burow diganti setiap 2-3 jam. Karena pengobatan
dengan glukokortikoid biasanya jangka pendek pada penyakit
dermatitis kontak alergi, biasanya tidak ada bahaya efek samping
dari glukokortikoid. Tetapi ada yang

memerlukan pengobatan

sistemik. Topikal inhibitor kalsineurin pimecrolimus dan tacrolimus


efektif dalam dermatitis kontak alergi tetapi untuk tingkat yang lebih
rendah dibandingkan glukokortikoid.7
c. Sistemik
Terapi sistemik Glukokortikoid diindikasikan jika berat (yaitu,
jika pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa,
tidak bisa tidur). Prednisone dimulai pada 70 mg (dewasa), lanjut
dengan 5-10 mg/selama 1-2 minggu.4
f. Dermatitis Atopik
1) Definisi
Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa
bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE

28

dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis
alergi, dan atau asma bronchial).10
2) Bentuk DA
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan
bentuk utama (70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap
alergen lingkungan disertai dengan peningkatan kadar IgE serum.
Bentuk lain adalah bentuk intrinsik atau non alergik, terdapat pada
20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan tanpa sensitisasi
terhadap

alergen

peningkatan

lingkungan.

kadar

IgE

bukan

Dapat

disimpulkan

merupakan

prasyarat

bahwa
pada

patogenesis dermatitis atopik. Terdapat pula konsep bentuk murni


(Pure Type), tanpa berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan
bentuk campuran (Mixed Type) yang terkait dengan sensitisasi
terhadap alergen hirup atau alergen makanan disertai dengan
peningkatan kadar IgE.24
3) Etiologi
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti,
diduga disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan
(multifaktorial).

Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik,

kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis,


interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem
saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang
bersifat

iritan

dan

kontaktan,

alergen

hirup,

makanan,

mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma. Faktor


psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (faktor
pencetus lain diantaranya)20 :

Makanan

29

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food


Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA
sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan.
Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit
(skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai
macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap
suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut
alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih
diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan
tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W., 2009).
Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan
dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan
alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai
dan makanan laut.11

Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak,
yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50%
penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat
pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah
tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim. 13

Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor
ekstrinsik yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus
kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah
Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan
perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus
dibandingkan

orang

tanpa

atopik.

Adanya

kolonisasi

Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi

30

pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor


pencetus

yang

penting

pada

terjadinya

eksaserbasi,

dan

merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya


penyakit.

Faktor

lain

dari

mikroorganisme

yang

dapat

menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang


dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang
dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi
sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi.
Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara
kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag yang
selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus
aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan
memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari
Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi antara jumlah
kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus.15
4) Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara
lain faktor genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit,
kelainan imunologik, dan faktor lingkungan14
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran
kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta kromosom 1q21
and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari
mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan
HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi
lainnya, seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar

31

monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah


86% . 13
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang
menderita atopi keluarga akan mengalami DA pada masa 3
bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita
atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala
alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila
kedua orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih
tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan dengan ayah.
Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa
maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu
kira-kira 50%.16
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai
molekul utama pengikat air diruang ekstraseluler stratum
korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar
kulit.

Variasi

metabolisme

ph

kulit

lipid

di

dapat
kulit.

menyebabkan
Kelainan

fungsi

kelainan
sawar

mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss, kulit


akan semakin kering dan merupakan port dentry untuk
terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri
pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan
kulit makin kering.

17

Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun


subset CD8+ yang diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T
cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah
besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan dari
eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE.
Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan

32

lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan


IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinophil. 19
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke
kulit adalah CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun
reseptor

lainnya

untuk

mengenali

dan

menyeberangi

endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien


DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan
petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+,
CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan
Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel
itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka
diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM).
Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan
upregulation Fas pada keratinocytes dan menjadikannya peka
terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit
diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel
T atau yang berada di microenvironment.18
c. Lingkungan
Sebagai

tambahan

selain

alergen

hirup,

alergen

makanan, eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh berbagai


macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga
pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal
tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis.19,20
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya
stimulasi sistem imun oleh pajanan antigen mikroba dinegara
barat mengakibatkan meningkatnya

kerentanan terhadap

penyakit atopik.
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti
DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada

33

DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di


taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak
bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan
ke talamus

kontralateral

dan korteks

untuk diartikan.

Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah


menyebabkan

rasa

berintensitas

tinggi

gatal,

sedangkan

menyebabkan

rasa

yang

dalam

nyeri.

dan

Sebagian

patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan


nonimunologik.21
d. Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi
reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin menghambat
kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast meningkat
pada lesi dermatitis

atopik kronis. Sel ini mempunyai

kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat


menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut
menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan
karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien
dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara
berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi
sel T penekan (suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan
produksi berlebih igE.16
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun.
Interleukin spesifik alergen yang diproduksi sel T pada darah
perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga
terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE (Judarwanto W.,

2009).23,24
Reaksi imunologis DA

34

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam


keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis
atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat
peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak
dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut
dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic
march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA
adalah suatu penyakit atopi. 25
Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat
berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik
(DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan
Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar
Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF
(granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan
INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.12,13,14
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi
terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan
menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I.
Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas
tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA,
akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+),
sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap
infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.15
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang
berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin,
kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya,
sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA,

35

walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak


terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak
silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada
DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan) akan
melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya
diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas
DA dan bertambah beratnya eksema.15,16
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC)
yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing
(Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan
beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2,
mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan
mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.26
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal
pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA
yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan menyebabkan
nilai

ambang

rasa

gatal

menurun,

sehingga

dengan

rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan


mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.20
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik
mengandung antibody IgE terhadap protein
manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein
intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan
keratinosit akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau
sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut dapat

36

dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga


dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait
dengan alergi dan autoimunitas.21

Gambar 15 . Mekanisme Alergi (Endaryanto E., &


Harsono A., 2010).
Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi
alergi, paparan pertama alergen menimbulkan aktivasi sel-sel
allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal
sebagai sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan
menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi serta
pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early
(acute) allergic responses (EARs) dan late allergic responses
(LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan
alergen, sel mast yang tersensitisasi IgE mengalami degranulasi,
melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly synthesized
pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi
histamin, leukotrien dan sitokin yang meningkatkan permeabilitas

37

vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang


dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang
menyebabkan LAR, yang ditandai dengan influks eosinofil dan
sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator
pro-inflamasi, termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein
basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major basic
protein

and

eosinophil-derived

neurotoxin),

dan

mereka

merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-3), IL-5, IL-13 dan


granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides
juga berkonstribusi pada patofisiologi simptom alergi.10,11,12

Gambar 16 : Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

5) Manifestasi klinis

38

Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase


perkembangan kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada
setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi
secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa
11,12

Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid


diepidermis berkurang dan kehilangan air lewat epidermis
meningkat.

Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan

intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois, frustasi,


agresif, atau merasa tertekan. 20,21
Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).
Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama
kelahiran, biasanya bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris
dikedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya didaerah
pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut eksema
susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papulpapul dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif,
eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi dikedua pipi,
ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor.11
Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga
anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada
umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi,
krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas
generalisata

bahkan

walaupun

jarang,

dapat

terjadi

eritroderma. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.


15

39

Gambar 17 : Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin


J.M., 2005).
2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)
Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian
merupakan kelanjutan fase bayi. Pada kondisi kronis tampak
lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat
adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear
yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor
kubital, dan fleksor popliteal. Sangat jarang diwajah lesi DA
pada anak juga bisa terjadi dipaha dan bokong.
Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah
ekstensor(luar) daerah persendian, (sendi pergelangan tangan,
siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi. 10

40

GGambar 18.a

Gambar 18.b.

41

Gambar 18.c.
Gambar 18 a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak
(Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)


Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi
kulit fase akhir anak-anak. Lesi selalu kering dan dapat
disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi
tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.24
Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar
berkeringat, gatal-gatal terutama jika berkeringat. Berbagai
kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis,
hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba,
keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, ditengahnya
terdapat lekukan), dll.10

42

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya


kambuh apabila mengalami stress, mungkin karena stress
menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung
berlangsung lama kemudian menurun dan membaik (sembuh)
satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya
sebagian kecil berlangsung sampai tua.26

Gambar 19 .a.

Gambar 20 .b.
Gambar .a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M.,
2005).

43

Gambar21 : tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

44

Gambar 22: tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W.,


2009).

6) Stigmata pada dermatitis atopik


Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada
DA, yaitu:

11,12,13

White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan
kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan
vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam

waktu 10-15 menit berikutnya.


Reaksi vaskular paradoksal
Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita
DA. Apabila ekstremitas penderita DA mendapat pajanan
hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan
perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal .
hal ini diduga karena adanya pelebaran kapiler dan
peningkatan

permeabilitas

pembuluh

darah

yang

mengakibatkan terjadinya edema dan warna pucat dijaringan


sekelilinnya.10

45

Lipatan telapak tangan (palmar hiperlinearlity of Palms or


soles) 14

Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok


lipatan pada telapak tangan meskipun hal tersebut

bukan merupakan tanda khas untuk DA.


Pada umumnya pasien DA sejak lahir memiliki
banyak garis palmar yang lebih dalam dan lebih

nyata, menetap sepanjang hidup.


Garis Morgan atau Dennie
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris,
namun dapat ditemukan satu atau dua cekungan dibawah
kelopak mata bagian bawah.keadaan ini pada saat lahir atau
segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup, Nampak
seperti edema dari kelopak mata bawah namun bukan

merupakan atonogmomik DA. 15


Sindrom buffed-nail
Kuku terlihat mengkilat karena selalu menggaruk akibat rasa

sangat gatal.23
Allergic shiner
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena
gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata
dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan

timbunan melanin.11
Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus

menerus.22
Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah,
dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis
pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi
pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan

xerosis, terutama pada musim panas.


Delayed blanch

46

Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan


keluarnya keringat dan eritema. Pada penderita atopi akan
terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini
disebabkan

oleh

vasokonstriksi

atau

peningkatan

permeabilitas kapiler.19
Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus

bertambah.20
Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang
normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan

pada penderita DA gatal dapat bertahan selama 45 menit. 18


Variasi musim
Mekanisme terjadinya eksaserbasi sesuai dengan perubahan
musim belum difahami secara menyeluruh. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kelembaban nisbi tinggi
musim baik pada kekeringan kulit penderita DA. Pada daerah
dengan kelembaban nisbi tinggi musim panas berpengaruh
buruk, sedangkan lingkungan sejuk dan kering akan
berpengaruh baik pada kulit penderita DA. 24
hertoges Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral
alis mata. 25

7) DIAGNOSA
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat.
Penentuan gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan
kriteria Rajka dan Rajka sebagaimana tabel berikut : 11,12,13,14
I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh

=1

9-36% luas tubuh

=2

47

> 36 % luas tubuh

=3

fase infantile
< 18% luas tubuh

=1

18-54% luas tubuh

=2

> 54% luas tubuh

=3

II. Perjalanan penyakit


remisi > 3 bulan/ tahun
=1
remisi < 3 bulan/ tahun
=2
Kambuhan /terus mkenerus = 3
III. Intensitas penyakit
gatal ringan, kadang mengganggu tidur malam hari = + 1
gatal sedang, sering mengganggu tidur ( tidak terus-menerus) = + 2
gatal hebat, gangguan tidur sepanjang malam(terus-menerus) = + 3

Penilaian skor :
3-4
: ringan
4.5-7.5 : sedang
8-9

: berat

48

Gambar 23 : Panel atas menunjukkan DA dengan intensitas eritem


dan vesikel. Panel bawah menunjukkan DA kronik dengan
likenifikasi dan scaling didepan mata kaki (William H.C., 2005).

8) Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik,
pada bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis. 20,21,22
Diagnosis Banding lainnya:

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatophytosis atau dermatophytids

Sindrom defisiensi imun

Sindrom Wiskott-Aldrich

Sindrom Hyper-IgE

Penyakit Neoplastik

Langerhans cell histiocytosis

49

Penyakit Hodgkin

Dermatitis Numularis

Dermatitis Seborrheic

Skabies

Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak
mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai
dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas),
vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus
pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah
ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik
terhadap pengobatan dengan -benzen heksaklorida. 10

Dermatitis seboroik infantil


Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan,
(2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik,
batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap pada
pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering
berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu penelitian,
37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi DA 5-13
tahun kemudian. 15

Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik
pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis
kontak karena sepatu.16

50

9) Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara
individual dan didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya
penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama
(Long-Term

Control)

bukan

hanya

untuk

mengatasi

kekambuhan.Protab pelayanan profesi untuk pengobatan DA di


SMF kulit & kelamin RSUD dr.Moewardi Surakarta bertujuan
untuk menghilangkan ujud kelainan kulit dan rasa gatal, mengobati
lesi

kulit,

mencari

factor

pencetus

dan

mengurangi

kekambuhan.secara konvensional pengobatan DA kronik pada


prinsipnya adalah sebagai berikut: 11,12,13
Menghindari bahan iritan
Mengeliminasi allergen yang telah terbukti
Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Pemberian pelembab kulit ( Moisturizing)
Kortikostreroid topikal
Pemberian antibiotik
Pemberian antihistamin
Mengurangi stress
Dan memberikan edukasi pada penderita maupun keluarga.
a. Edukasi:
Menjelaskan

bahwa

DA

merupakan

penyakit

yang

penyebabnya multifaktorial, cara perawatan kulit yang benar untuk


mencegah bertambahnya kerusakan sawar kulit dan memperbaiki
sawar kulit serta penting juga untuk mencari faktor pencetus serta
menghindari atau menghilangkannya.23
1. Mandi dan emolien
Jangan mandi dengan air terlalu panas, karena dapat
menambah rasa gatal, jangan memakai handuk dengan

51

menggosok pada kulit melainkan menepuk-nepuknya, hindari


sabun/ pembersih kulit yang mengandung antiseptik, karena
dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder.12
Penggunaan emolien/ pelembab yang adekuat secara teratur
sangat

penting

untuk

mengatasi

kekeringan

kulit

dan

memperbaiki integritas sawar kulit. Bentuk salap dan krim


memberi sawar lebih baik dari pada lotion.22
2. Mengatasi gatal
Gatal dapat diatasi dengan pemberian emolien, kompres
basah,

anti

inflamasi

topikal

(kortikosteroid,

inhibitor

kalsineurin), dan antihistamin oral. 25


Kompres basah bermanfaat dalam menangani eksema yang
berat, sedangkan pembalut yang mengandung obat misalnya
pasta zinc dn iktamol atau zinc oksida dan ter batubara, yang
dipakai diatas steroid topical bermanfaat untuk mengobati
eksema pada ekstremitas. 26
Kortikosteroid topikal dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan efek samping lokal (atrofi, striae, hipertrikosis,
hipopigmentasi, teleangiektasis, dsb). Maupun sistemik (supresi
aksis hipothalamus- pituitasi- adrenal, gangguan pertumbuhan,
sindrom Chusing).22
Beberapa faktor perlu dipertimbangkan yakni vehikulum,
potensi kortikosteroid, usia pasien, letak lesi, derajad dan luas
lesi serta cara pemakaian.22,23,24
Prinsip penggunaan:
Gunakan potensi terendah yang dapat mengatasi radang,
dapat dinaikkan bila perlu. Hindari pemakaian dalam
jangka waktu lama

52

Hindari potensi kuat untuk daerah kulit dengan


permeabilitas tinggi (muka, interginosa, bayi).
Potensi kuat diginakan bila gatal sangat berat dan atau
peradangan/ likenifikasi berat.
Gunakan potensi kuat hanya dalam jangka waktu pendek
( 2 minggu untuk potensi kelas 1). Bila lesi awal sudah
teratasi ganti dengan potensi lebih rendah/ dengan
antiinflamasi nonsteroid untuk terapi pemeliharaan
Inhibitor kalsineurin topikal
Obat ini dapat mengatasi kekurangan/ kerugian
menggunakan kortikosteroid topikal, bekerja dengan
menghambat transkripsi sistem inflamasi dalam sel T
yang teraktifasi dan sel radang lainnya sehingga
mencegah pelepasan sitokin oleh sel T helper, serta
meghambat proliferasi sel T. Terdapat dua macam yaitu
salap takrolimus 0.03% (untuk usia 2-12 tahun) dan 0.1%
(untuk usia 3 tahun keatas). 10,11,12
a. Untuk DA yang refrakter
kortikosteroid sistemik,
Prednisolon lebih dianjurkan karena lebih cepat diekskresi
oleh tubuh.13
Fototerapi
Kombinasi UVA dan UVB atau bersama psoralen
(fotokemoterapi)
menyebabkan

dapat
remisi

memperbaiki
panjang,

DA

namun

dan

berisiko

menimbulkan penuaan dini dan keganasan kulit pada


pengobatan jangka panjang. 17

Obat lainnya
Siklosporin,
metotreksat,

Azatioprin,

interferon

gamma,

mofetil
lain-lain

mikofenolat,
(antagonis

53

leukotrien,

timopentin,

imunoterapi

alergen

dan

probiotik).21
b. Pengobatan sistemik
Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam
jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselangseling atau diturunkan perlahan (tapering), segera ganti

dengan kortikostreroid topikal).16


Antihistamin
Digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang
hebat, terutama malam hari, karena itu antihistamin yang
dipakai mempunyai efek sedatif misanyal hidroksisin atau

difenhidramin.17
Anti infeksi
Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten
dapat diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin,
sedangkan

untuk

yang

sudah

resisten

diberikan

dikloksasilin atau generasi pertama sefalosporin.16


Interferon
IFN- diketahui menekan respon IgE dan menurunkan
fungsi dan proliferasi sel Th2. Pengobatan dengan IFN-
rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat

menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.


c. Mengindari faktor pencetus / presdiposisi

25

Bila eksudasi berat atau stadium akut beri kompres


terbuka. Bila dingin dapat diberikan krim kortikosteroid ringan
sedang. Pada lesi kronis dan likenifikasi dapat diberikan salep
kortikosteroid kuat.

54

Penderita DA yang disertai infeksi harus diberikan


kombinasi antibiotika terhadap kuman stafilokokus dan steroid
topical. 19
d. Probiotik dan DA
Untuk
penggunaan

probiotik,beberapa

randomized

controlled trials dengan jumlah sampel kecil menunjukkan


penurunan derajad keparahan DA dan dapat mencegah DA sampai
derajat

tertentui

dkk

.menurut

penelitian

Isaular

CFU

Lactobacillus GG yang diberikan selama 2-4 minggu sebelum


lahir sampai 6 bulan sesudah lahir menurunkan kejadian DA
sampai 50% pada bayi-bayi dengan risiko tinggi DA. 10
Alergi merupakan bentuk Th2-disease yang upaya
perbaikannya memerlukan pengembalian penderita pada kondisi
Th1-Th2 yang seimbang. Perkembangan ilmu dan teknologi
memungkinkan perubahan paradigma pencegahan alergi dari
paradigma penghindaran factor resiko menjadi paradigma induksi
aktif toleransi imunologik. Konsep probiotik pada pencegahan
alergi didasari pada induksi aktif respon imunologik menuju
keseimbangan Th1-Th2. Pada uji klinik, probiotik dibuktikan
dapat menurunkan gejala alergi yang berhubungan dengan
dermatitis. 11
atopik dan alergi makanan. Kelemahan uji klinik adalah
ketidakmampuannya dalam menghasilkan informasi mengenai
mekanisme dan hubungan sebab akibat. Ekstrapolasi dan sintesis
atas fakta-fakta ilmiah yang telah dihasilkan oleh uji klinik dan
penelitian mekanisme probiotik pada hewan coba menunjukkan
bahwa probiotik dapat menurunkan reaksi alergi melalui aktivasi
TLR2

dan

TLR4.

Penelitian

probiotik

pada

ibu

hamil

55

menunjukkan bahwa efek dini probiotik pada sistem imun ibu


bukanlah pada supresi Th1 tetapi pada aktivasi Tregulator yang
berfungsi menjaga homeostasis Th1-Th2, sehingga kelangsungan
kehamilan tidak terganggu.12
10) Komplikasi

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain
di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan
untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo,
folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
13

Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau


vaksinia

dan

disebut

eksema

herpetikum

atau

eksema

vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai,


biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada
keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat
tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel
pada daerah dermatitis, mudah pecah dan membentuk krusta,
kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. 19

Penderita DA, mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah


koloni Staphylococcus aureus.20

11) Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI
yang diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan
memberikan keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari
penyakit alergi. ASI eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk
menghindarkan bayi dari pemberian makanan yang dapat
menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi alergi. ASI kaya akan

56

immunoglobulin A (IgA)

yang dapat membantu melindungi

saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi


sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI
akan menstimulasi pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih
siap untuk menerima antigen, mengatur flora normal saluran cerna
dan faktor imunomodulator. Bayi dengan risiko tinggi atopik yang
tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk
menderita dermatitis atopik

12,13

12) Prognosis
Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis
lebih buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan
perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh
pada masa remaja, sebagian kasus menetap pada usia diatas 30
tahun. 12
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik
DA, yaitu:

DA luas pada anak


Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial.
Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung
Awitan (onset) DA pada usia muda
Anak tunggal
Kadar IgE serum sangat tinggi.

2. Urtikaria & Angioudema


Urtikaria merupakan salah satu bentuk kelainan kulit yang sering terjadi.
Dapat terjadi secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk
penderita, maupun untuk dokter. Walaupun patogenesis dan penyebabnya yang

57

dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang


tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.27
Sekitar 20% individu pernah mengalami urtikaria atau angioedema pada
suatu waktu di masa hidupnya. Urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu
disebut urtikaria akut dan yang berlangsung (baik secara terus menerus maupun
berulang) lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik. Pada anak, kasus urtikaria
akut lebih banyak terjadi.28
Penyebab urtikaria terbanyak adalah degranulasi sel mast dengan akibat
munculnya urtika dan kemerahan (flushing) karena lepasnya performed mediator,
histamin, juga newly formed mediator pada late phase cutaneous response. Pada
anak, hal ini terutama terjadi akibat paparan terhadap alergen. Sumber utama
alergen yang mencetuskan urtikaria dengan perantara IgE adalah makanan dan
obat. Hal lain yang dapat mencetuskan urtikaria/angioedema akut, dan juga
sebagian urtikaria/angioedema kronik adalah mekanisme non imunologik dan
tidak melibatkan IgE. Dalam hal ini terjadi pelepasan histamin, baik secara
langsung, maupun akibat infeksi virus, anafilatoksin, berbagai peptida, dan
protein serta stimulus fisik. Pada urtikaria kronis penyebab tersering adalah proses
autoimun29
Definisi
Urtikaria (kaligata, gidu, nettle rash, hives) adalah erupsi kulit yang menonjol,
berbatas tegas, berwarna merah, umumnya berbentuk bulat, gatal, dan berwarna putih
di bagian tengah bila ditekan. Angioedema (giant urticaria, angioneurotic edema,
quinkes edema) adalah sebuah lesi yang sama dengan urtikaria tetapi pada
angioedema meliputi jaringan subkutan yang lebih dalam , tidak gatal, namun
biasanya disertai dengan rasa nyeri dan terbakar.

58

Gambar 24. Urtikaria

Gambar 25 . Angioedema
Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa
lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. Ditemukan 40%
bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan angioedema dan 11%
angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang lebih dari satu
tahun bahkan lebih dari 20 tahun.40
Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang
normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun

59

perempuan. Umur, ras, aktivitas, letak geografis dan perubahan musim dapat
mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai
obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria. 29

Klasifikasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi atau etiologi dan
mekanisme patofisiologi. 30
A. Durasi
1. Akut
Urtikaria akut biasanya terjadi beberapa jam sampai beberapa hari (kurang
dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui.31
2. Kronis
Urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu dan urtikaria biasanya
berulang dan tidak diketahui pencetusnya, serta dapat berlangsung sampai
beberapa tahun. Urtikaria kronik umumya ditemukan pada orang dewasa.33
B. Etiologi dan Mekanisme Imun 31,32,33
1. Mekanisme imun 27
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I,
II, dan III.
2. Mekanisme nonimun (anafilaktoid) 35
a. Angioedema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang menyebabkan pelepasan histamin
seperti opiat, pelemas otot, obat vasoaktif, dan makanan (putih telur,
tomat, dan lobster).
3. Fisik

60

a. Dermatografia (Writting on skin)


b. Urtikaria dingin
c. Urtikaria kolinergik
d. Urtikaria solar
e. Urtikaria panas
f. Urtikaria dan angioedema tekanan
g. Angioedema getar
h. Angioedema akuagenik
4. Miscellaneous 34
a. Urtikaria papular e.c gigitan serangga (nyamuk/lebah)
b. Urtikaria pigmentosa
c. Mastositosit sistemik
d. Infeksi disertai urtikaria
e. Urtikaria dengan penyakit sistemik yang mendasarinya:
- Penyakit vaskular kolagen
- Keganasan
- Ketidakseimbangan sistem endokrin
f. Faktor psikogenik
g. Urtikaria dan angioedema idiopatik
Etiologi
Pada penelitian, ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga
penyebab urtikaria bermacam-macam, di antaranya: obat, makanan, gigitan/sengatan
serangga, bahkan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan infestasi
parasit, psikis, genetik, dan penyakit sistemik. 28,29,30
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik
maupun non-imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria

61

secara imunologik (Tipe I atau II). Contohnya ialah obat-obatan golongan


penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik. Ada pula
obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk
melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin
menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam
arakidonat. 38

2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan
pengawet sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang
sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, cokelat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka serta bahan yang dicampurkan
ke dalam makanan seperti asam nitrat, asam benzoat, dan ragi.32
3. Gigitan/sengatan Serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat. Hal ini
sering diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom
dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria berbentuk papular di
sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa
hari, minggu, atau bulan.39,40
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria. 26
5. Inhalan

62

Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang,
dan aerosol umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik. Reaksi ini
sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan pernapasan.27
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia seperti
insect repelent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini
disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.26
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat disebabkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau
memegang benda dingin; faktor panas misalnya sinar matahari, sinar UV,
radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat,
ikat pinggang, atau semprotan air; faktor vibrasi dan tekanan yang berulangulang contohnya pijatan dapat menyebabkan urtikaria fisik baik secara
imunologik maupun non-imunologik.28
8. Infeksi dan Infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri contohnya
infeksi pada tonsil, gigi, dan sinus paranasal. Masih merupakan pertanyaan
apakah urtikaria muncul karena toksin bakteri atau oleh sensitisasi. Infeksi
virus hepatitis, mononukleosis, dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan
sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu
dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan
dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita,
cacing tambang, cacing gelang, Schistosoma atau Echinococcus dapat
menyebabkan urtikaria.29
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11.5%

63

penderita

urtikaria

menunjukkan

gangguan

psikis.

Penyelidikan

memperlihatkan bahwa hipnosis dapat menghambat eritema dan urtikaria.


Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang
eritema meningkat. 30
10. Genetik
Faktor genetik ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan. Diantaranya
ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria, familial localized
heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial syndrome of urticaria
deafness and amyloidosis, dan erythropoietic protoporphyria. 29,30
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria dan
lebih sering disebabkan oleh reaksi komplek antigen-antibodi. Penyakit
vesikobulosa seperti pemfigus dan dermatitis herpetiformis Duhring sering
menimbulkan urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai
urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, artritis reumatoid, urtikaria
pigmentosa, demam reumatik dan lupus eritematosus sistemik. 29
Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan terjadinya
pengumpulan cairan setempat, sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai
kemerahan.27
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.
Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim proteolitik misalnya kalikrin,
tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast. 28

64

FAKTOR NONIMUNOLOGIK

FAKTOR
IMUNOLOGIK

Bahan kimia pelepas


mediator (morfin,
kodein)

Reaksi Tipe I (IgE)


inhalan, obat,
makanan, infeksi

Faktor fisik (panas,


dingin, trauma, sinar X,
cahaya

Sel
Mas
Basofil

Efek Kolinergik

Reaksi Tipe IV
(kontaktan)
Pengaruh komplemen

Aktivasi komplemen
(Ag-Ab, venom,
toksin)
Pelepasan
Mediator:

Reaksi Tipe II

H1, SRSA,

Reaksi Tipe III

serotonin, kinin,
PEG, PAF

Alkohol, Emosi,
Demam

Vasodilatasi,
Peningkatan
Permeabilitas Kapiler

Faktor Genetik:
Defisiensi C1 esterase
inhibitor
Familial cold urticaria
Familial heat
urticaria

Idiopatik

Urtikaria

Gambar 26. Diagram Faktor Imunologik dan Non-imunologik


yang Menimbulkan Urtikaria

Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat
secara langsung merangsang sel mas. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.28

65

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria akut daripada kronik,


biasanya IgE terikat pada permukaan sel mas dan atau sel basofil karena adanya
reseptor Fc. Bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE, maka terjadi
degranulasi sel, sehingga terjadi pelepasan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada
reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut
berperan. Aktivasi komplemen secara klasik maupun alternatif menyebabkan
pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mas dan basofil. Hal
ini terjadi pada urtikaria akibat venom atau toksin bakteri.30
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik
dan kompleks imun. Pada keadaan ini, juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria
akibat kontak juga terjadi, misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga
(insect repelent), bahan kosmetik, dan penggunaan obat-obatan golongan
sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.27
Gejala Klinis
Keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar atau tertusuk. Klinis tampak
edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya
dapat lentikular, numular sampai plakat. Bila mengenai jaringan yang lebih dalam
sampai dermis dan jaringan submukosa atau subkutan, juga beberapa organ dalam
misalnya saluran cerna dan saluran napas disebut dengan angioedema. Pada keadaan
ini jaringan yang sering terkena adalah wajah, biasanya disertai sesak napas, suara
serak, dan rinitis. 28,29,30
Dermografisme, berupa edema dan eritema yang linear di kulit yang terkena
goresan benda tumpul, timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria
akibat tekanan, urtikaria timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar
pinggang. Pada penderita ini dermografisme jelas terlihat. Urtikaria akibat penyinaran
biasanya pada gelombang 285-320 nm dan 400-500 nm, timbul setelah 18-72 jam

66

penyinaran, dan klinisnya berbentuk urtikaria papular. Hal ini harus dibuktikan
dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria disebabkan oleh faktor fisik, antara
lain akibat panas, dingin, tekanan dan penyinaran. Umumnya pada dewasa muda,
terjadi pada episode singkat dan umumnya kortikosteroid sistemik kurang
bermanfaat.39
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi,
makanan yang merangsang dan pekerjaan yang berat. Biasanya sangat gatal,
ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter sampai numular dan konfluen
membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri
perut, diare, muntah, dan nyeri kepala. Biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun.
Urtikaria

akibat

obat

atau

makanan

umumnya

timbul

secara

akut

dan

generalisata.31,32,33
Diagnosis 34,34,35
Anamnesis

Adanya bentol kemerahan pada kulit yang mudah dikenali bahkan oleh orang

tua pasien.
Awitan dan riwayat penyakit serupa sebelumnya: untuk membedakan akut
atau kronik dan mengidentifikasi faktor pencetus yang mungkin sama dengan

pencetus sebelumnya.
Faktor pencetus ditanyakan faktor yang ada di lingkungan, seperti: alergen
berupa debu, tungau (terdapat pada karpet, kasur, sofa, tirai, boneka berbulu),
hewan peliharaan, tumbuhan, sengatan binatang, serta faktor makanan seperti
zat warna, zat pengawet, zat penambah/modifikasi rasa, obat-obatan
(misalnya: aspirin atau OAINS lainnya), dan faktor fisik (dingin, panas, dan

sebagainya)
Riwayat penyakit dahulu: demam, keganasan, infestasi cacing
Riwayat pengobatan untuk episode yang sedang berlangsung
Riwayat atopi dan riwayat sakit lainnya pada keluarga

67

Pemeriksaan Fisik 34,35,36

Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi kulit berupa bentol kemerahan yang
memutih di bagian tengah bila ditekan. Lesi disertai rasa gatal. Yang perlu
diperhatikan adalah distribusi lesi, pada daerah yang kontak dengan pencetus,
pada badan saja, dan jauh dari ekstremitas atau seluruh tubuh. Hal lain yang
perlu diperhatikan lagi adalah bentuk lesi yang mirip satu sama lain, bintik

kecil-kecil di atas daerah kemerahan yang luas pada urtikaria kolinergik.


Yang perlu diwaspadai: adanya angioedema, adanya distres napas, adanya
kolik abdomen, suhu tubuh meningkat bila lesi luas, dan tanda infeksi lokal

yang mencetuskan urtikaria.


Pada urtikaria kronik: hal terpenting adalah mencari bukti dan pola yang
menunjukkan penyait lain yang mendasari, lesi yang menghilang apabila
dilakukan eliminasi diet tertentu, seperti pada penyakit seliak, yaitu, urtikaria
menghilang setelah diberi diet bebas gluten.

Pemeriksaan Penunjang 37,38,39


I. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Untuk reaksi hipersensitivitas alergi dan non alergi dapat dilakukan:
-

Hitung eosinofil darah perifer/nasal


Pemeriksaan konsentrasi tryptase serum, jika konsentrasinya >10
mg/ml menunjukkan adanya aktivasi dari sel mast.

Untuk alergi yang diperantarai IgE dilakukan pemeriksaan:


-

IgE total serum

Untuk alergen protein (inhalan/makanan) perlu dilakukan:


-

Uji tusuk kulit


Radio-Allergo-Sorbent Test (RAST): IgE spesifik serum

Untuk alergen obat perlu dilakukan:


-

Uji tusuk kulit


Satu tetes larutan obat 1:100 dalam larutan garam fisiologis tanpa
pengawet, harus disertai kontrol positif dan negatif

68

Uji intradermal
0,02 ml larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologis, harus
disertai kontrol positif dan negatif.

II. Urtikaria Fisik 28


- Gores kulit normal pada daerah volar lengan bawah dengan alat tumpul (stik
yang keras atau tounge blade/penekan lidah atau dengan kuku).
- Suatu reaksi wheal dan kemerahanberbentuk garis akan timbul dalam 2-3 menit
setelah digores. Intensitas puncak terjadi 6-7 menit dan hilang spontan dalam 20
menit. Tipe lambat terjadi dalam 6-9 jam pada sisi yang sama dan menetap
selama 24-48 jam.
III. Urtikaria Yang Tergantung Pada Temperatur 29
o Urtikaria dingin
- Tempelkan benda dingin pada kulit
- Pegang kubus es atau lebih baik benda dingin yang kering (baskom
tembaga yang diisi es, direndam dalam air dingin atau tabung kering berisi
dry ice.
o Urtikaria panas 30
Tempelkan botol yang telah diisi dengan air panas pada kulit. Urtikaria akan
muncul dalam waktu beberapa menit
o Urtikaria solar 27
Sejumlah anak memiliki protoporfiria eritropoietik:
- Kulit diberi paparan pancaran sinar dengan berbagai panjang gelombang
di laboratorium
- Eritem yang pruritik akan muncul pada kulit yang terpajan pancaran sinar,
biasanya hilang dalam 24 jam
o Urtikaria tekanan 28
- Beri tekanan dengan beban, atau

69

- Gantung suatu beban 7-14 kg di sekeliling lengan bawah atau bahu selama
10 menit
o Angioedema vibrator 28
Tempelkan vibrator/mixer pada lengan bawah selama 4 menit
o Urtikaria akuagenik 30
Tempelkan kompres air/tap water dicoba pada berbagai temperatur pada
kulit yang akan diuji. Papul multipel yang gatal seperti urtikaria kolinergik
akan timbul dalam beberapa menit hingga 30 menit.
o Urtikaria kolinergik
Mandi air hangat atau beraktivitas hingga berkeringat. Wheal yang gatal
dengan diameter 1-3 mm dikelilingi daerah eritema yang luas timbul dalam
2-20 menit. Episode ini akan menetap dalam 15-30 menit. 30,31

Gambar 27. Uji Tusuk Kulit (Skin Prick Test)

70

Gambar 28 . Uji Tempel (Patch Test)

Diagnosis Banding
a. Sengatan serangga multipel
Pada sengatan serangga akan terlihat titik di tengah bentol yang merupakan
bekas sengatan serangga.
b. Angioedema herediter
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang disertai urtikaria. Pada
kelainan ini terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai rasa
sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema biasanya mengenai
ekstremitas dan mukosa gastrointestinal yang sembuh setelah 1-4 hari.
Pada keluarga terdapat riwayat penyakit yang serupa. Diagnosis ditegakkan
dengan menemukan kadar komplemen C4 dan C2 yang menurun dan tidak
adanya inhibitor C1-esterase dalam serum. 30,31,32
Penatalaksanaan
Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang-kadang sembuh
dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan. Prinsip pengobatan urtikaria akut
adalah sebagai berikut.33

71

A. Penanganan Umum 27,28,29


1. Eliminasi/Penghindaran faktor penyebab
2. Antihistamin
Medikamentosa utama adalah antihistamin karena mediator utama pada
urtikaria adalah histamin. Preparat yang bisa digunakan:

Antihistamin H1 generasi I (sedatif), misal Chlorfeniramin


Maleat (CTM) dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari dibagi dalam
3 dosis, atau antihistamin H1 generasi II (nonsedatif), contoh
setirizin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/kali (usia < 2 tahun: 2
kali/hari; usia > 2 tahun: 1 kali/hari). Pada urtikaria akut

lokalisata cukup diberikan antihistamin H1.


Penambahan antihistamin H2, misal simetidin 5 mg/kgBB/kali,
3 kali/hari dapat membantu efektifitas antihistamin H1

Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit
setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan
lama kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Antihistamin dapat diberikan selama
7-10 hari. 29
3. Adrenergik
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distress pernapasan,
asma atau edema laring, mula-mula diberi adrenalin (1:1000) dengan dosis
0,01 ml/kgBB/kali subkutan (makasimal 0,3 ml) dilanjutkan dengan
pemberian antihistamin.30
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan bila tidak memberi respon yang baik dengan obat
lain dengan mewaspadai efek samping yang dapat terjadi. Kortikosteroid
jangka pendek digunakan pada urtikaria akut yang berat dengan atau tanpa

72

angioedema atau bila urtikaria diduga berlangsung akibat reaksi alergi fase
lambat. Obat yang digunakan adalah prednison dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 5 hari, tapering off biasanya tidak dibutuhkan pada
urtikaria akut. 28
5. Antileukotrien (Leukotriene pathway modifiers)
Antileukotrien dapat digunakan bersamaan dengan antihistamin H1 untuk
menangani urtikaria yang tidak terkontrol, tetapi penggunaannya sebagai
terapi tunggal masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Antileukotrien
pernah tercatat memiliki manfaat pada kasus alergi aspirin, namun efek
sesungguhnya masih belum dapat dipastikan. Salah satu antileukotrien
yang sering dipakai adalah montelukast dengan dosis yang dianjurkan
untuk anak-anak adalah 4-5 mg/hari. Tablet 4 mg digunakan pada anak 2-6
tahun dan 5 mg digunakan pada anak 6-15 tahun. Di Indonesia,
antileukotrien itu sendiri masih jarang digunakan dan preparatnya pun
masih sangat terbatas. Preparat antileukotrien yang telah beredar di
Indonesia adalah zafirlukast, sedangkan montelukast belum tersedia.
Zafirlukast dapat digunakan untuk mengobati asma akibat alergi. 33
Tabel 3. Antihistamin untuk Urtikaria dan Angioedema
Golongan
Dosis
Obat
Antihistamin H1 (generasi ke-1, sedatif)
Hydroxizine
0,5-2 mg/kg/kali
(dewasa 25-100 mg)
Diphenhydra
1-2 mg/kg/kali
min
(dewasa 50-100 mg)
Chlorphenir
0,25 mg/kg/hari
amin Maleat
(dibagi 3 dosis)
Antihistamin H1 (generasi ke-2, nonsedatif)
Setirizin
0,25 mg/kg/kali
Fexofenadin
Loratadin

6-11 tahun: 30 mg
> 12 tahun: 60 mg
Dewasa : 120 mg
2-5 tahun: 5 mg

Frekuensi
Setiap 6-8 jam
Setiap 6-8 jam
Setiap 8 jam
6-24 bulan: 2 kali/hari
>24 bulan: 1 kali/hari
2 kali/hari
1 kali/hari
1 kali/hari

73

> 6 tahun: 10 mg
6-11 bulan: 1 mg
1-5 tahun: 1,25 mg
6-11 tahun: 2,5 mg
>12 tahun: 5 mg

Desloratadin

1 kali/hari

Antihistamin H2
Cimetidine
Ranitidine

Bayi: 10-20 mg/kg/hari


Tiap 6-12 jam (terbagi 2-4
Anak: 20-40 mg/kg/hari dosis
1 bln-16 tahun: 5-10
Tiap 12 jam (terbagi dalam 2
mg/kg/hari
dosis)

B. Penanganan Khusus 27
Dilakukan sesuai dengan diagnosis jenis urtikaria
C. Penanganan Topikal 28
Untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamin atau bedak salisilat.
Urtikaria kronim biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah etap identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit dilakukan. Untuk ini, selain
antihistamin H1, juga dapat menambahkan obat antihistamin H2. Kombinasi lain
yang dapat diberikan adalah antihistamin H1 dan H2 pada malam hari atau
antihistamin H1 dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus berat dapat diberikan
antihistamin H1 dengan kortikosteroid jangka pendek. 31,32,33
Suportif

Lingkungan yang bersih dan nyaman (suhu ruangan tidak terlalu panas atau
pengap, dan ruangan tidak penuh sesak). Pakaian, handuk, sprei, dibilas bersih

dari sisa deterjen dan diganti lebih sering.


Pasien dan keluarga diedukasi untuk kecukupan hidrasi, dan menghindarkan
garukan untuk mencegah infeksi sekunder 28

Indikasi Rawat

74

Urtikaria yang meluas dengan cepat (hitungan menit-jam) disertai dengan


angioedema hebat, distres pernapasan, dan nyeri perut hebat.29
Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat ditemukan
dan diatasi, sedangkan urtikaria kronis lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit
dicari. Pada umumnya, prognosis urtikaria dapat dikatakan baik, tetapi karena
urtikaria merupakan bentuk kutan anafilaksis sistemik, dapat saja terjadi obstruksi
jalan napas karena adanya edema laring atau jaringan di sekitarnya, atau anafilaksis
sistemik yang dapat mengancam jiwa. 33

3. Kelainan Kulit Akibat Alergi Makanan


The American Academy of Allergy and Immunology dan The National
Institute of Allergy and Infectious Disease membuat batasan mengenai reaksi
simpang makanan, alergi makanan, dan intoleransi makanan :
1. Reaksi Simpang Makanan
Reaksi simpang makanan adlaah suatu istilah umum untuk reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan. Reaksi tersebut bisa merupakan reaksi
sekunder terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan. 41
2. Alergi Makanan
Alergi makanan adalah reakasi iunologik yang menyimpang, sebagian besar
reaksi ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe 1. 42
3. Intoleransi Makanan
Intoleransi makanan adalah reaksi nonimunologik dan merupakan sebagian
besar penyebab reaksi yang tidak diiginkan terhadap makanan. Reaksi ini
dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan seperti
kontaminan toksik (misalnya histamine pada keracunan ikan, toksin yang
disekresi oleh salmonella, shigela, dan kampilobakter), zat farmakologik
yang terkandung dalam makanan (misalnya kafein pada kopi, tiramin pada

75

keju), atau kelainan pada penjamu sendiri,misalnya gangguan metabolism


pada defisiensi lactase dan maltase. 43

Gambar 29. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and
immunology dan The National Institute of Allergy and infections disease
A. Etiologi
1. Faktor Genetik
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada
penderita . Bila ada orang tua menderita alergi kita harus mewaspadai tanda
alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita
gejala alergi maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 20 40%, ke
dua orang tua alergi resiko meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila
tidak ada riwayat alergi pada kedua orang tua maka resikonya adalah 5

76

15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi bila nenek, kakek atau saudara
dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja gejala alergi pada saat anak
timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak berkurang.43,44
2. Maturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia
dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak
mengalami alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu
terjadi karena belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik
integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya
alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim
pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada
permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal
allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur (tidak matang) system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga
memudahkan allergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel yang
mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui
di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan
maturasi (kematangan) sistem kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi
sampel serum yang mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar
pada bayi berumur kurang 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar
antigen setelah usia 3 bulan. Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti
secara prospektif dari lahir sampai usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi
makanan terjadi selama tahun pertama kehidupan.45
3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat
terjadi sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada
janin terhadap penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada
masa bayi. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang
hipersensitif terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Beberapa

77

jenis makanan yang dikonsumsi ibu akan sangat berpengaruh pada anak
yang mempunyai bakat alergi. Pemberian MPASI (makanan pendamping
ASI) meningkatkan angka kejadian alergi.45,46
4. Pencetus Alergi Makanan
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan
tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah
glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekulmolekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik
secara langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik
misalnya pemberian panas dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas
sampai derajat tertentu. Pada pemurnian ditemukan allergen yang disebut
sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton.
Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing
dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian
alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan walau jumlahnya
tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai allergen utama pada telur. Pada
susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG),
Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama
Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen
utama pada gandul. Diantaranya BLG adalah alergen yang paling kuat
sebagai penyabab alergi makanan. Protein kacang tanah alergen yang paling
utama adalah arachin dan conarachi.41
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi
yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan
kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa
papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul).
Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal
ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun

78

demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis
makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi
bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh
pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya
alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor
fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin,
udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa,
menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress
atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme yang
mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat.
Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita.
Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat.41
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi
menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor
pencetus tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab
alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang
timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab
alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini
yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan,
kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh.
Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi
seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi
makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya
keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi
dingin pada anak adalah tidak sepenuhnya benar.44
B. Patofisiologi
Alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya
mengekspresikan pada sel T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T
tersensitisasi dan akan merangsang sel B menghasilkan antibody dari berbagai

79

subtype. Allergen yang utuh akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak
dan mencapai sel-sel pembentuk antibody di dalam mukosa usus dan organ
limfoid usus, yang pada kebanyakan anak-anak membentuk antibody dari
subtype IgG, IgA dan IgM. Pada anak-anak atopi cenderung membentuk IgE
lebih banyakyang selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran
cerna, saluran nafas dan kulit. Bayi yang sangat atopi juga mendapatkan
sensitisasi melalui air susu ibu terhadap satu makanan yang dikonsumsi ibu.
Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap suatu makanan, misalnya susu, juga
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi terhadap
makanan lain. Pembuatan antibody IgE dimulai sejak paparan awal fdan
berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi.komplemen akan mulai mengalami
aktivasi oleh kompleks antigen antibody.44,45
Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel
radang misalnya neutrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi
peradangan. Aktivasi komplemen dan terjadinya kompleks imun akan menarik
neutrofil. Kombinasi allergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi ketka IgE
telah melekat pada sel mast, atau ketika IgE masih belum melekat pada sel mast,
atau IgE telah melekat pada sel mast kemudian diaktivasi oleh pasangan
nonspesifik. Kombinasi ini akan menimbulkan degranulasi mediator. Gejala
klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin dan kerusakan jaringan
yang ditimbulkannya.45

80

Gambar 30. Immunopatogenesis Alergi


C. Manifestasi Klinis
Gejala seringkali sudah dijumpai sejak masa bayi.makanan tertentu dapat
menimbulkan gejala tertentu pada seorang anak. Tetapi pada anak lain
menimbulkan gejala yang lain. Pada seseorang makanan yang satu dapat
mempunyai organ sasaran yang lain dengan makanan lain. Gejala alergi makanan
dapat terjadi pada berbagai organ sasaran seperti kulit, saluran nafas, saluran
cerna, mata dan telinga. Berikut ini gejala dan tanda alergi mankanan pada anak:

Tabel 4. Gejala dan Tanda pada Alergi Makanan pada kulit


No
1.

Organ dan Sistem Tubuh


Kulit

2.

Sistem Hormonal

3.

Sistem Pembuluh Darah dan


Jantung

Gejala dan Tanda


Bayi : sering timbul penebalan merah di
daerah pipi popok dan telinga, timbul
kerak di kulit kepala.
Anak : Sering gatal, dermatitis,
urticaria, bengkak di bibir, lebam biru
kehitaman, bekas hitam seperti digigit
nyamuk, berkeringat berlebihan.
Bayi : Rambut rontok, keputihan atau
perdarahan di vagina, eritema toksikum
(timbul jerawat kecil berwarna putih) di
wajah, kepala atau leher; payudara
membesar.
Anak : Tumbuh rambut yang
berlebihan, obesitas, gangguan
pertumbuhan (tinggi badan kurang), alat
kelamin kecil.
Palpitasi, flushing (muka ke merahan),
nyeri dada, colaps, pingsan, tekanan

81

darah rendah,

D. Diagnosis Klinis
Jenis alergi makanan di tiap negara berbeda-beda tergantung umur dan kebiasaan
memakan makanan tertentu. Hingga kini diagnosis alergi makanan adalah
diagnosis klinis yang dibuktikan dengan eliminasi, provokasi makanan, dan
pemeriksaan penunjang lain yang mendukung.41
1. Uji provokasi
Untuk melakukan uji provokasi makanan pasien atau orang tua pasien
harus

diberikan

penjelasan

rinci

mengenai

prosedur

pemeriksaan,

keuntungan, kegunaan pemeriksaan, serta koplikasi yang mungkin terjadi.


Sebelum dilakukan uji provokasi eliminasi makanan harus dilakukan terlebih
dahulu selama 3 minggu dengan bentuk diet yang disesuaikan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Jika eliminasi
tidak dapat menunjukkan gejala alergi makanan maka dapat dilakukan uji
provokasi.45
a) Uji provokasi makanan terbuka
Jika uji kulit negative dan riwayat reaksi terhadap makanan meragukan
maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan
eliminasi makanan selama 3 minggu. Pemilihan makanan untuk
provokasi dilakukan oleh pasien sendiri dan dianjurkan untuk memulai
makanan yang paling tidak dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi.
Setiap kali provokasi dipilih satu jenis bahan makanan dalam bentuk apa
saja yang diberikan selama seminggu dalam jumlah seperti biasa
dimakan oleh pasien. Provokasi dilakukan di rumah pasien, dan bila
terjadi reaksi alergi maka makanan tersebut dihentikan, semua gejala
yang muncul tersebut dicatat. 46,47
b) Uji provokasi makanan buta ganda (double blind placebo controlled
food challenge = DBPCFC)

82

Uji provokasi makanan buta ganda merupakan cara yang paling ideal
untuk menentukan adanya reaksi alergi pada makanan. Tidak ada
pemilihan makanan pada uji tersebut, semua bahan makanan dan cara
pemberian disembunyikan agar pasien tidak mengetahui jenis makanan
apa yang dimakan. Makanan dapat diubah dalam bentuk kapsul, atau
tepung sehingga, bau, rasa dan penampilan makanan tidak dapat
diketahui. Pemberian harus bertahap mulai dari jumlah yang
diperkirakan tidak menyebabkan serangan gejala alergi, kemudian
ditingkatkan 2 kali lipat setiap 15-60 menit sampai timbul gejala yang
nyata, atau dihentikan setelah mencapai 8-10 gram makanan kering atau
60-100 gram makanan basah dosis tunggal. Jika provokasi buta ganda
sampai 8 gram makanan kering hasilnya negative maka makanan
tersebut boleh dicoba secara terbuka yang dianjurkan dilakukan dengan
pengawasan. Selama provokasi catat skor gejala yang diamati, selama 2
jam.47

Gambar 31. Alogaritma Diagnosis Klinis Menggunakan Uji Provokasi

83

2. Uji kulit
Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch test), uji tusuk
(prick test), dan uji suntik intradermal. Dapat dilakukan sebagai pemeriksaan
penyaring dengan menggunakan ekstrak allergen yang lazinya ada di
lingkungan penderita, misalnya: allergen tungau, kapuk, debu rumah, bulu
kucing, tepung sari rumput, atau allergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).43
3. Darah tepi
Hitung jenis leukosit dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi, dan bila eosinofilia >5% atau >500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit <5000/ml disertai neutropenia <30% sering ditemukan pada alergi
makanan.46
4. IgE total dan spesifik
Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (paper radioimmunosorbent test) atau
yang sepadan, berguna untuk menentukan status alergi penderita. Harga
normal adalah 100 /ml sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 300
/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita mengalami atopi, atau
mengalami infeksi parasit, atau keadaan depresi imun selular. Pemeriksaan
IgE spesifik dilakukan dengan RAST (radio allergosorbent test). IgE
spesifik terhadap makanan tertentu dapat dipakai sebagai prediksi adanya
reaksi alergi tipe cepat dan tipe lambat terhadap makanan tersebut.46,47
5. Antibodi mononuclear dalam sirkulasi
Adanya antibody terhadap susu sapi pada anak usia kurang dari 3 tahun
dapat dipakai sebagai pertanda alergi terhadap susu sapi. Tetapi pada anak
besar dan usia dewasa kadar antibody nonreaginik terhadap susu sapi dapat
saja meningkat

walaupun ternyata

alergi terhadap

makanan

lain.

Pemeriksaan IgG subkelas 1, 2, 3, 4 dapat dilakukan engan menggunakan


antibody monoclonal. IgG4 pada alergi makanan ditemukan dalam kadar
cukup tinggi. Tidak diketahui apakah hal ini menunjukkan kapasitas
blockade terhadap alergi makanan ataukah karena akses allergen makanan

84

akan menyebabkan kapasitas IgE tidak memadai sehingga diperlukan respon


IgG4.46
6. Pelepasan histamine oleh basofil
Berapa
penderita
alergi
makanan

menunjukkan

peningkatan

pelepasanhistamin 20%-40% lebih tinggi daripada normal. Hal tersebut


mungkin sekali diakibatkan oleh reaksi kompleks imun sirkulasi yang

menyebabkan timbulnya anafilatoksin C3a dan C5a. 47,48


Gambar 32. Alogaritma Diagnosis Alergi Makanan Berdasarkan Gejala
Klinis
E. Penatalaksanaan
Allergen yang sudah ditemukan harus dihindari sebaik mungkin, perlu
diingat alergi tidak dapat disembuhkan, tetapi dikendalikan jumlah frekuensi
serangannya, dikurangi penggunaan obatnya, dikurangi jumlah tidak masuk
sekolah, dan ditingkatkan kualitas hidupnya. Farmakoterapi yang digunakan pada
alergi makanan diantaranya adalah : 48
1. Kromolin, Nedokromil
2. Glukokortikoid
3. Agonis beta adrenegik
4. Metil xantin
5. Antagonis kolinergik (muskarinik)
6. Antagonis leukotrin
7. Antagonis reseptor-H1

85

F. Prognosis
Pada prinsipnyanya alergi tidak bisa disembuhkan. Dermatitis atopik akan
berkurang pada usia 12 tahun akan tetapi ada kemungkinan organ sasaran
berpindah karena 50-80% anak ini akan mengalami rhinitis alergik dan asma.
Alergi makanan yang mulai pada usia 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih
baik karena ada kemungkinan kurang lebih 40% dari mereka akan mengalami
grow-out. Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun ke atas cenderung
untuk menetap, tetapi toleransi terhadap susu, telur dan kedelai cukup sering
dijumpai.44
Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, tetapi alergi makanan biasanya
akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas
saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran
cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran
cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan
berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan
berkurang

secara

bertahap.

Perbaikan

gejala

alergi

makanan

dengan

bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala autismepun


biasanya akan tampak mulai berkurang sejak periode usia tersebut. Meskipun
alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang,
kepiting atau kacang tanah.50
4. Erupsi Obat Alergi
1) Epidemiologi
Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat,
tetapi berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis
terapeutik obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2%
dari total pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping
pemakaian obat-obatan.48

86

Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug
Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian
penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat
di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan.
Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal
setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang
sering timbul adalah: 49
eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
urtikaria sebanyak 5,9%, dan
vaskulitis sebanyak 1,4%
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin48
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli
yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas43
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa
10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia50
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anakanak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada
orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak
dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya

87

onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
4. Dosis49
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang
sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering
obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi
pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan 47
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan
human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
6. Atopik42
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun
demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di
rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak
menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit
penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan
perawatannya.50
2). Patogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang
menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme
non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi
antar obat dan perubahan dalam metabolisme. 51

88

Tabel 5. Reaksi imunologis dan non imunologis

Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment
Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access
on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp

89

b. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama
dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali
obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,
bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling
ditakutkan adalah timbulnya syok. 48
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada
sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir
dengan lisis. 2,4
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks
antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu
tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem
komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai
akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. 5,8
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen. 49

c. Mekanisme Non Imunologis

90

Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang
terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari
sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam
arachidonat sel.53
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi
anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah
kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti
hiperpigmentasi generalisata diffuse.48
d. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat
dijelaskan.3
e. Manifestasi Klinis
Morfologi dan Distribusi
Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai
kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
a. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya
serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan
mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema
ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2
jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan
mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat
menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan

91

dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik
lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dalam jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. 27
Gambar 33. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.


Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of
America. 2003. p: 333-352

b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan
hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya

92

lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut
eritema skarlatiniformis. 28
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan
simetris. 47
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan
biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.. 29
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan
adanya deskuamasi kulit. 2,7 Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat
termasuk penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium
diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat
menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. 7 Jika kelainan ini
timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum. 22
Tabel 6 Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa

93

Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical

Press.

2006.

Access

on:

June

3,

2007.

Available

at:

http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di
tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.2
Gambar 34. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan
oleh penggunaan obat golongan sefalosporin.

94

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.


Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of
America. 2003. p: 333-352
f. Eritema nodosum
Kelainan kulit berupa eritema dan nodus-nodus yang nyeri disertai gejala
umum berupa demam, dan malaise. Tempat perdileksi ialah di regio ekstensor tungkai
bawah. 51
g. Eritroderma
Eritroderma pada penderita alergi obat berbeda dengan eritroderma pada
umumnya yang biasanya disertai eritem dan skuama. Pada penderita alergi obat

95

terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium
penyembuhan.52
h. Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).

46,47,48

1. Erupsi Akneiformis dihubungkan dengan penggunaan obat seperti iodida,


bromida, ACTH, glukokortikoid, isoniazid, androgen, litium dan
actinomisin. Erupsi timbul pada daerah-daerah yang atipikal seperti lengan
dan kaki berbentuk monomorf berbentuk akne tanpa disertai komedo.47
2. Penyakit Pustulosis Eksantema Generalisata Akut (PEGA) memberikan
gambaran pustul miliar non folikular yang eritematosa disertai purpura
dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul bila seseorang
mengalami demam tinggi (>380C). Pustul tersebut cepat menghilang
dalam jangka waktu kurang dari 7 hari kemudian diikuti oleh deskuamasi
kulit. Pada pemeriksaan histopatologis didapat pustul intraepidermal atau
subcorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat
polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel
keratinosit. Walaupun demikian, penyakit ini sangat jarang terjadi.52
i. Erupsi bulosa
Erupsi bulosa ini ditemukan pada; pemphigus foliaceus, fixed drug
eruption (FDE), erythema multiforme major (EM-major), SSJ dan TEN

Pemphigus. Obat yang dapat menyebabkannya adalah golongan penisilin dan


golongan thiol. Drug-induced bullous pemphigoid dapat terlihat dalam
beberapa bentuk. Dimulai dari urtikaria hingga terbentuk bulla yang luas
dengan melibatkan kavitas mukosa mulut, dapat juga berupa beberapa bulla
dalam ukuran sedang atau berupa plak dan nodul yang disertai skar dan bulla.

96

Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai
pemphigus foliaceus. 47

Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua
minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya
dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang
soliter, eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi
suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah,
tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka
FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa
dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di
dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai
diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis,
dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat
peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi. 48
Gambar 35. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan
pada penderita FDE

97

Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.


Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of
America. 2003. p: 333-352

Eritema multiformis merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit


dan/atau selaput lendir dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion).
Gambar 36. Eritema Multiformis

Sumber: Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi


Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133139

Sindrom Stevens-Johnson (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom


mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme
mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir
orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai
buruk.4,9

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan

98

pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada
kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit
dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan
ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan
bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka
bakar.49 Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit
yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan
terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena
tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan
kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan
bula. Pada NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia.
Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya
NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan penyakit berat dan sering
menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau
sepsis. 49,50
3). Perjalanan Penyakit
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya gejalagejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut:

Tabel 7. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu

99

Sumber: Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.
Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai
72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria.
Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat
(late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini
ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem
dihubungkan dengan antibodi IgM.46
4). Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab
erupsi obat alergi adalah: 9
1. Pemeriksaan in vivo
o Uji tempel (patch test)
o Uji tusuk (prick/scratch test)
o Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro

100

a. Yang diperantarai antibodi:


o Hemaglutinasi pasif
o Radio immunoassay
o Degranulasi basofil
o Tes fiksasi komplemen
b. Yang diperantarai sel:
o Tes transformasi limfosit
o Leucocyte migration inhibition test
Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang
mendasari erupsi obat.
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya.
Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang
dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi, risiko dari timbulnya
reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan
harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya.

1,4

Sejumlah tes yang

dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu membedakan apakah


reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliabel untuk
digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih dalam
tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali membantu
dalam penegakkan diagnosis klinis. 53
Biopsi kulit boleh dilakukan pada penderita yang ditakutkan dapat mengalami
reaksi obat yang serius seperti pada penderita yang memiliki gejala awal seperti
eritroderma, blister, purpura dan pustulasi karena kasus SSJ baru akan timbul
beberapa setelah penggunaan obat. Perlu diketahui pula bahwa lebih dari 50% kasus
SSJ dan hampir 90% penderita TEN terkait dengan penggunaan obat.50
5). Diagnosis

101

Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah: 49,50,51


1. Anamnesis yang teliti mengenai:
a. Obat-obatan yang dipakai
b. Kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat
c. Rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
2. Kelainan kulit yang ditemukan:
a. Distribusi : menyeluruh dan simetris
b. Bentuk kelainan yang timbul
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis
lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data
mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis
mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan
onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk
dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai
waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.1
Tabel 8. Rangkuman penilaian yang harus dilakukan
Karakteristik klinis

Tipe lesi primer


Distribusi dan jumlah lesi
Keterlibatan membran mukosa
Tanda dan gejala

Faktor kronologis

yang

timbul:

demam,

pruritus,

perbesaran limfonodus
Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama
pemakaiannya
Waktu ketika timbulnya erupsi
Interval waktu saat pemberian obat dengan munculnya
erupsi kulit

102

Respon terhadap penghentian agen yang dicurigai menjadi


penyebab
Respon saat dilakukan pemaparan kembali
Data yang dikumpulkan oleh perusahaan obat

Literatur

Daftar pemakaian obat dengan peringatan


Bibliografi obat
Sumber: Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume
One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America. 2003. p:
333-352
6). Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh., epinephrine
adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat
digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid.
Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat
mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan
antara risiko erupsi obat dengan manfaat dari obat tersebut. 46
Penatalaksanaan Umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
kulit harus
dihentikan segera.1,4
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps
setelah berada pada fase pemulihan. 44
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.
Berikan

cairan

via

infus

bila

perlu.

Pengaturan

keseimbangan

cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat

103

menelan akibat lesi di mulut dan

tenggorok serta kesadaran dapat

menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya

berupa glukosa 5%

dan larutan Darrow.49


Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000
mg intravena sehari dan hemostatik. 53
Penatalaksanaan Khusus
1. Sistemik
a. Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi
obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
prednison.

Pada

kelainan

urtikaria,

eritema,

dermatitis

medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum,


dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang
dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan
eryhema multiforme major, SSJ dan TEN pertama kali adalah
menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan perawatan gizi
penderita. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan
TEN masih kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian
intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan
progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk
selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari
pertama. 47
b. Antihistamin. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga
diberikan, jika terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya
kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid. 52

104

2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat
2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk
mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan
kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.49
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan
topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2
%.49,50
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian-sebagian. 52
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin
perak. 49
7). Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya
eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson,
prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila
kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit. 51,52
Tabel 9. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.

105

Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007.
Available at: www.aafp.org/afp

5. Sindroma Stevens-Johnson & Nekrolisi Epidermal Toksik


1). Definisi
Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN)
adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam

106

nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan


epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat.
Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas
yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction
memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula)48.
2). Sejarah
Pada tahun 1922, dua orang dokter berkebangsaan Amerika, Stevens
and Johnsons menjelaskan tentang sindrom mukokutaneus akut pada dua
orang anak laki-laki. Kondisi tersebut ditandai dengan adanya konjungtivitis
purulen yang berat, stomatitis berat, dan neksosis mukosa yang luas dan lesi
kutan yang menyerupai eritema multiforme (EM). Kelainan ini kemudian
dikenal sebagai Steven-Johnson Syndrome (SJS) dan diketahui sebagai
penyakit mukokutaneus berat yang dapat berakhir fatal. SJS kemudian
dimasukan sebagai EM mayor oleh Bernard Thomas pada tahun 1950.
Namun, penelitian yang dilakukan dewasa ini telah menemukan bahwa SJS
dan EM merupakan dua kelainan yang berbeda48,49.
Pada tahun 1956, Alan Lyell menjelaskan tentang empat orang pasien
dengan erupsi berupa bula pada kulit yang olehnya diberi istilah toxic
epidermal necrolysis. Lyell juga mengamati adanya serangan pada
membrane mukosa sebagai bagian dari sindroma dan mengamati bahwa
inflamasi yang terjadi pada dermis sangat minimal,yang kemudian disebut
sebagai dermal silence, salah satu ciri-ciri yang membedakan dengan
infiltrate inflamasi yang jelas dari penyakit vesikobulosa lainnya seperti EM,
dermatitis herpetiformis dan pemfigus bulosa. TEN pada waktu itu dianggap
sebagai reaksi kutaneus akibat stimulus multiple, termasuk obat (sulfonamid),
dan mikroba (Staphylococcus) 51,52

107

Penelitian yang dilakukan pada tikus neonatal yang mengalami


subgranular epidermal split setelah pajanan terhadap phage S. aureus grup II,
penemuan eksotoksin staphylococcal baru yang disebut epidermolytic toxic
berujung pada dibedakannya TEN dengan Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS). Dengan semakin banyaknya insidensi TEN pada tahuntahun mendatang setelah penelitian Lyell, menjadi jelas bahwa beberapa obat
tertentu seperti sulfonamide, pyrazolon, barbiturate, dan antikonvulsan sering
berkaitan dengan timbulnya TEN. Pada waktu yang sama, obat-obatan juga
semakin dikaitkan sebagai penyebab timbulnya EM mayor dengan stomatitis
berat. Karena itu, EM, SJS dan TEN dulu dianggap sebagai bagian dari
spectrum reaksi kutaneus. Sekarang telah ditemukan bahwa penyebab mayor
dari EM adalah HSV dan virus ini tidak berhubungan dengan penyebab TEN.
Penelitian oleh Jean-Claude Roujeaujuga membuktikan bahwa SJS dan EM
adalah dua penyakit yang memiliki penyebab dan prognosis yang berbeda.
SJS dan TEN sekarang dianggap sebagai satu kesatuan epidermolisis berat
karena reaksi kutaneus akibat obat, dimana perbedaan hanya meliputi luas
permukaan tubuh yang terkena48
3). Epidemiologi dan Faktor Risiko
SJS dan TEN merupakan penyakit langka yang mengenai perempuan
lebih sering dari laki-laki. Sindrom ini lebih sering terjadi pada orang dewasa
dan jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitasnya yang
belum begitu berkembang5. Pada anak-anak infeksi Mycoplasma merupakan
salah satu penyebab SJS dan dapat sangat mirip dengan SJS akibat obat . 52
Beberapa golongan pasien tertentu memiliki risiko meningkat untuk
terjadinya SJS/TEN, termasuk pasien yang memiliki genotip slow-acetylator,
immunocompromised (HIV),menjalani radioterapi, antikonvulsan, atau yang
memiliki alel spesifik HLA (Human Leukocyte Antigen). Contoh dari faktor

108

predisposisi genetic ini adalah HLA B*1502 pada orang Asia dan India yang
terpajan dengan karbamazepin dan HLA*B5801 pada populasi Han di Cina
yang terpajan dengan allopurinol. Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya
TEN meningkat 1000 kali lebih tinggi dari populasi umum48
Angka kematian bervariasi pada sebagian besar kasus dimana hanya
dilakukan terapi suportif, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung
pada berbagai faktor seperti usia pasien dan luas lesi. Angka kematian pada
pasien dengan TEN 25-5-%, dan 5% pada SJS 51.
Penggunaan obat dilaporkan pada lebih dari 95% pasien denganTEN.
Hubungan erat antara konsumsi obat dengan munculnya erupsi kutaneus
dilaporkan pada 80% kasus. Penyebab lainnya yang jarang dapat berupa infeksi
dan

imunisasi.

Penelitian

melaporkan

hubungan

yang

kurang

jelas

(dibandingkan TEN) antara konsumsi obat dengan SJS, dimana hanya 50%
yang dinyatakan berhubungan dengan obat. Lebih dari 100 jenis obat yang telah
diidentifikasi berhubungan dengan SJS/TEN1. Menurut penelitian oleh Adhi
Djuandaa selama 5 tahun (1998-1002) pada pasien SJS, diduga alergi obat
tersering adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu
(13.3%). Kausa lainnya berupa amoksisilin, kotrimoksasol, klorokuin,
seftriakson dan adiktif51.

Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan SJS dan TEN51

Allopurinol

Amithiozone (Thioacetazonde)

109

Antiretroviral

Barbiturate

Carbamazepine

Chlormezanone

Phenytoin

Piroxicam

Sulfadiazine

Sulfasalazine

Trimethoprim-sulfametoxazol

Aminopenicillin

Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada minggu-minggu awal dari
terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan waktu paruh lama lebih sering mengakibatkan reaksi
obat dan akibat fatal dibandingkan obat dengan waktu paruh singkat. 52

110

4). Patogenesis
Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang
terjadi dalam SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa SJS/TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh
dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan
adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari
reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu 1. Patogenesis
utama diduga akibata adanya proses hipersensitivitas tipe II
(sitotoksik)4,5.

Suseptibilitas genetic juga memainkan peran,

dibuktikan dengan identifikasi dari alel HLA spesifik terkait obat


(specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk
perkembangan SJS dan TEN. 51
Sel T sitotoksik mengekspresikan skin-homing receptor,
cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan
pada lesi kutaneus awal. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T
sitotoksik terkait obat (drug-spesiic cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin
penting seperti IL-6, TNF-, interferon , IL-18 dan Fas ligand (FasL)
juga terdapat pada epidermis yang mengalami kelainan dan/atau cairan
bula dari pasien dengan TEN, dan kerja dari sitokin-sitokin ini dapat
menjelaskan sebagian dari gejala TEN dan ketidaksesuaian antara luas
kerusakan pada epidermis dengan infiltrat inflamasi yang minimal.
Selain itu, interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan
timbulnya SJS/TEN adalah 1- 3 minggu, mengindikasikan adanya
periode sensitasi dan menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya.
Periode ini memendek secara signifikan pada pasien yang terpapar
kembali oleh obat yang sebelumnya mengakibatkan SJS/TEN. 41

111

Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang


dideskripsikan sebagai nekrolisis epidermal adalah akibat kematian
sel-sel keratinosit yang luas melalui proses apoptosis. Apoptosis dari
keratinosit merupakan suatu ciri khas pada stadium awal SJS dan TEN,
dan merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan
jaringan spesifik. Gambaran histologik klasik berupa nekrolisis
epidermal yang luas sesungguhnya merupakan gambaran akhir dari
apoptosis keratinosit. Keadaan apoptotik dari sel bersifat sementara,
dan akan diikuti dengan keadaan nekrosis bila sel-sel apoptotic
tersebut tidak segera difagositosis. Pada SJS dan TEN, dalam kurun
waktu singkat (hitungan jam), apoptosis keratinosit tertimbun sangat
banyak pada kulit yang terkena dan melebihi kapasitas fagositosisnya.
Dalam hitungan jam sampai hari, keratinosit yang apoptosis tersebut
menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan kohesinya pada
kehilangan viabilitasnya, mengakibatkan gambaran histologik khas
berupa full thickness epidermal necrolysis1.
Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan
menginduksi apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel
spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-1) death receptor. Death receptors
secara fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di permukaan sel yang
mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat
mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan
TEN, apoptosis keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan
signifikan ekspresi FasL dari keratinosit dengan ekspresi Fas receptor
yang tetap1,2.

112

Penelitian oleh Chung, et al, menunjukkan bahwa molekul


sitotoksik lainnya turut berperan dalam apoptosis keratinosit pada SJS
maupun TEN. Konsentrasi tinggi dari granulysin, protein sitolitik yang
diproduksi oleh limfosit T sitotoksik (CTLs), natural killer cell (NK),
dan natural killer T cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang
didapat dari pasien SJS/TEN. Injeksi dari granulysin rekombinan ke
dalam kulit tikus mmengakibatkan terjadinya nekrolisis epidermal dan
infiltrat sel inflamasi 52
Model patogenesis dari SJS/TEN kini dideskripsikan sebagai
berikut: setelah pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan
faktor predisposisi tertentu akan membentuk reaksi imun spesifik
terhadap obat atau metabolitnya. Dengan mekanisme yang masih
belum sepenuhnya diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL
diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi
granulysin dari CTLs, NK dn NKT. Proses ini berujung pada FasLdan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis
epidermal. 51

113

Gambar 37. Patogenesis Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic


Epidermal Necrolysi 51.

114

5). Gejala Klinik


Gejala awal dari TEN dan SJS dapat berupa demam, mata perih,
nyeri menelan, yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari pertama.
Lesi kulit biasanya muncul pertama kali pada batang tubuh yang
kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas proksimal. Bagian
distal dari tangan dan kaki biasanya jarang terkena, namun telapak
tangan dan kaki dapat pula menjadi lokasi lesi awal. Eritema dan erosi
mukosa buccal, okular dan genital ditemukan pada lebih dari 90%
pasien. Epitel dari saluran pernafasan juga turut terlibat pada 25%
pasien dengan TEN dan lesi gastrointestinal, esofagitis, dan diare dapat
juga terjadi. Lesi kulit biasanya lunak dan nyeri, dan erosi mukosa
terasa sangat nyeri. Manifestasi sistemik tambahan termasuk demam,
limfadenopati, hepatitis dan sitopenia1,2. Pada SJS terlihat trias
kelainan berupa kelainan pada kulit, kelainan pada mukosa orifisium
(mulut, genital, hidung dan anus), dan kelainan mata52.
Morfologi dari lesi kulit telah dipelajari secara mendetail. Mulamula, lesi tampak sebagai macula eritematous atau purpura dengan
bentuk dan ukuran yang irregular dan mempunyai kecenderungan
untuk bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada stadium ini, dengan
adanya keterlibatan mukosa dan rasa nyeri, risiko progresi ke arah
SJS/TEN harus dicurigai. Dalam keadaan dimana tidak terjadi
spontaneous epidermal detachment, harus diperiksa adanya Nikolsky
sign yaitu dengan memberikan tekanan mekanis ringan dengan jari
pada beberapa zona eritematous. Tanda Nikolsky dinyatkan positif bila
terjadi pemisahan epidermis-dermis. Pada beberapa pasien lesi macular
dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki
gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan

115

typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang


khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM 51.

Gambar 38. Lesi awal dari SJS dan TEN


Clinical Features That Distiguish Steven Johnson Syndrome (SJS), Toxic
Epidermal Necrolisis (TEN), and SJS-TEN Overlap1
Seiring dengan progresi menuju full thickness necrosis, lesi makula
eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini
dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari.
Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari lapisan dermis
dibawahnya dan cairan akan mengisi rongga di antara kedua lapisan tersebut,
mengakibatkan terbentuknya bula. Bula yang terjadi memiliki ciri khas:
mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh ibu jari
seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign).
Keadaan kulit menyerupai gambaran kertas rokok yang basah (wet cigarette
116

paper), yang dapat lepas dengan adanya trauma, memperlihatkan dermis


kemerahan dan berdarah, yang disebut sebagai scalding. Pasien-pasien
seperti ini harus ditangani dengan sangat hati-hati. Bula yang tegang
biasanya terlihat hanya pada permukaan palmoplantar dimana epidermis
lebih luas sehinggga lebih tahan terhadap trauma ringan 51.

Gambar 39. Pasien Toxic Epidermal Necrolysis dengan skin


detachment yang luas

117

Gambar 40. Lesi berupa bula pada pasien dengan TEN


Saat merawat pasien dengan kondisi seperti ini, luas dari nekrolisis
harus dievaluasi secara tepat dan hati-hati karena merupakan salah satu
faktor penentu prognosis. Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas
permukaan tubuh (Body Surface Area) yang digunakan dalam luka bakar
dapat dipakai. Pengalaman menunjukkan bahwa sangat sering terjadi
overestimasi dalam mengukur luas pelepasan kulit (skin detachment).
Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan
maupun tidak (Nikolsky sign +), dan tidak termasuk area yang hanya berupa
eritema saja (Nikolsky

sign -). Berdasarkan luas lesi skin detachment,

klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup 52 :

118

a.
b.
c.

SJS
SJS-TEN overlap
TEN

: < 10% body surface area (BSA)


: 10-30% BSA
: >30% BSA

Gambar 41. Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh yang


terkena1
119

Erosi mukosa didapatkan pada >90% pasien. Didapatkan pula keluhan


fotofobia dan nyeri berkemih. Penting juga untuk dapat membedakan antara
SJS dan EM dimana ciri histologik keduanya serupa sehingga tidak dapat
digunakan untuk membedakan keduanya. Perbedaan didasarkan pada ciri
klinis, terutama gambaran lesi target dan distribusinya. Untuk menegakkan
diagnosis

EM

harus

ada

typical

target

lesion,

sedangkan

SJS

dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal 3. Belum ada


kriteria khusus yang dapat memprediksi pasien dengan SJS yang mungkin
berkembang menjadi TEN 51.
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses
reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3
minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan
migrasi dari keratinosit dari area reservoir seperti jaringan epidermis yang
masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan
kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan
TEN 52.
Identifikasi dari obat pencetus adalah tugas yang penting dan sangat
sulit, namun harus menjadi salah satu prioritas utama. Belum ada
pemeriksaan in vitro yang dapat diandalkan untuk indentifikasi secara cepat
dari obat pencetus. Patch test menunjukkan sensitivitas yang lemah terhadap
SJS/TEN dan tidak cocok untuk tujuan identifikasi karena paparan kembali
terhadap obat pencetus sangat berbahaya dalam penanganan pasien dengan
reaksi akibat obat yang berat. Untuk itu, identifikasi sepenuhnya didasarkan
pada evident-based tentang obat yang berhubungan dengan SJS/TEN
sebelumnya sehingga dapat ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan
SJS/TEN. Faktor ekstrinsik seperti jarak dari onset pemberian obat dengan
onset timbulnya SJS/TEN juga harus ddiperhatikan. SJS dan TEN biasanya
terjadi dalam 7-21 hari setelah pemberian obat pertama kali, namun dapat
120

pula terjadi dalam 2 hari dalam kasus re-exposure obat yang sebelumnya
pernah memicu SJS/TEN. Pada umumnya, pengobatan untuk pasien dengan
SJS atau TEN harus dibatasi hingga batas minimum, penggunaan obat
substitusi yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu paruh
singkat52 .
6). Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari SJS dan TEN yaitu EM, SSSS, AGEP dan
generalized fixed drug eruption. Pemfigus paraneoplastik, drug-induced
linear IgA bullous dermatosis (LABD), penyakit Kawasaki, lupus
eritematosus, dan eritema toksik akibat kemoterapi juga dapat dipikirkan
sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan klinisnya 43
Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion,
sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya
atipikal. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah
agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini
harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran
konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada
EM53
SSSS biasanya terjadi pada anak-anak dan neonates, namun dapat pula
terjadi

pada

dewasa

yang

menderita

gagal

ginjal

dan

pasien

immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal.


Area eritem terasa nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada
membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky sign dapat (+) seperti
pada TEN, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial bukan
pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi berupa bula yang
mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi
lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan
121

bukan jaringan dermis yang basah dan berwarna merah terang seperti pada
TEN. Pada SSSS sering didapatkan adanya nasal discharge yang purulen51.
AGEP, yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak
sebagai area eritema yang luas dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di
atasnya. Adanya neutrofilia dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan
membedakan dengan diagnosis TEN. Nikolsky sign dapat positif sehingga
tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Keterlibatan membran
mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah satu pemeriksaan
yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang padat
dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness
epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption
dapat menyerupai SJS naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu
ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali52.
7). Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak khas. Bila terdapat
leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bacterial. Bila
terdapat eosinofilia, kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya
karena infeksi dapat dilakukan kultur darah50.
8). Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis
secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan
suportif dan terapi spesifik51.

122

Gambar 42. Algoritma penatalaksanaan pasien dengan SJS/TEN1


Perawatan suportif yang dilakukan serupa dengan perawatan suportif
pada luka bakar dan bertujuan untuk mencegah komplikasi, yang merupakan
sebab

utama

kematian.

Komplikasi

meliputi

hipovolemia,

ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi qrenal, dan sepsis. Perawatan luka


setiap hari, hidrasi dan nutritional support sangat penting dan sebaiknya
dilakukan dalam intensive care unit bila lesi meliputi 10-20% (atau lebih)
dari BSA. Penggunaan tempat tidur dengan pengatur suhu (thermoregulated
bed) dengan alas alumunium lebih disarankan daripada penggunaan tempat
tidur dan alas yang biasa. Semua tindakan atau manipulasi terhadap pasien
harus dilakukan secara steril dan kateter vena , bila memungkinkan, harus
dipasang pada regio yang tidak ada lesi50,51.
Perawatan luka paling baik dilakukan sekali sehari dengan bantuan
atau keberadaan seorang dermatologist. Pasien harus dirawat dengan
meminimalisisr pergerakan sesedikit mungkin karena setiap gerakan kecil
sekalipun dapat menimbulkan pelepasan epidermis. Perawatan kulit
dipusatkan terutama pada wajah, mata, hidung, mulut, telinga, regio
anorektal, axilla dan interdigitalis. Area yang tidak mengelupas harus dijaga
agar tetap kering dan tidak dimanipulasi. Area yang mengelupas terutama di
punggung dan area yang terkena tekanan kasur harus ditutup dengan Vaseline
gauze sampai terjadi reepitelisasi. Untuk wajah, krusta serosa dapat
dibersihkan tiap harinya dengan menggunakan NaCl steril. Antibiotik topikal
(co: mupirocin) diberikan di sekitar orificium seperti telinga, hidung dan
123

mulut. Penutup dari silicon dapat digunakan untuk menutup area yang erosi.
Silicone dressing tidak perlu diganti dan dapat dibiarkan meenutup sampai
terjadi reepitelisasi lesi, namun permukaannya tetap harus dibersihkan setiap
hari dengan NaCl steril. Pilihan lainnya adalah menempatkan penutup yang
tidak melekay (non-adherent dressing) misalnya Exu-Dry di atas kulit pasien
dan di atas tempat tidur48,49.
Untuk mata, disarankan untuk dilakukan pemeriksaan berkala oleh
ophthalmolog. Kelopak mata hdibersihkan setiap hari dengan NaCl steril
serta pemakaian antibiotik topikal khusus untuk mata pada kelopak mata
pasien. Tetes mata antibiotic juga perlu diberikan untuk mencegah kolonisasi
bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut. Lubang hidung
juga harus diberihkan setiap hari dengan cotton bud steril yang dibasahi NaCl
steril dan setelahnya dibeikan antibiotik topikal. Mulut harus dibersihkan
juga beberapa kali sehari dengan spuit berisi NaCl steril. Pada regio
anogenital dan interdigital, perawatan kulit dilakukan setiap hari dengan
mengoleskan silver nitrate solution (0.5%) pada kasus dengan maserasi atau
hanya NaCl steril bila tidak ada maserasi1. Sumber lain menyatakan
pengobatan topikal untuk daerah erosi dan ekskoriasi dapat diperikan krim
sulfodiazin-perak (Dermazin, Silvadene) yang berfungsi sebagai astringen
dan mencegah infeksi bakteri47.
Hingga kini, belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif baik
untuk SJS maupun TEN. Pada umumnya, terapi untuk pasien SJS berat sama
dengan terapi untuk TEN, sementara untuk pasien SJS dengan gejala ringan
dan nonprogresif hanya dibutuhkan terapi suportif. Akibat prevalensi SJS dan
TEN yang rendah, penelitian sangat sulit untuk dilakukan. Karenanya,
literatur untuk penyakit ini terutama bersumber dari laporan kasus . Pada
beberapa penelitian, beberapa terapi, termasuk siklosporrin (3-4 mg/kg/hari),

124

siklofosfamid (100-300 mg/hari), plasmapheresis, N-acetilsistein (2 g/6 jam)


dan TNF- antagonis (etanercept, infliximab) telah menunjukan hasil yang
menjanjikan. Kortikosteroid sistemik telah menjadi terapi tetap selama
beberapa decade, namun penggunaannya masih dianggap kontroversial,
meskipun suatu studi menyatakan efektivitas kortikosteroid bila diberikan
secara cepat dan dalam periode singkat sebagai dosis denyut (pulse therapy).
Kortikosteroid yang digunakan berupa dexamethasone IV 1.5 mg/kg selama
3 hari berturut-turut1. Sumber lain menyatakan pada SJS dengan lesi baik dan
tidak menyeluruh dapat digunakan prednisone 30-40 mg/hari, sedangkan
pada SJS berat atau TEN digunakan dexamethason IV 20-40 mg perhari
selama 2-3 hari kemudian dilakukan tapering off dengan menurunkan dosis
secara cepat (5 mg perhari) sampai mencapai dosis 5 mg sehari. Setelah itu
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone dengan dosis 20
mg/hari, kemudian diturunkan 10 mg/hari, baru obat dihentikan, sehingga
lama pengobatan kurang lebih 10 hari52,53.
Dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, maka imunitas pasien
akan menurun, karenanya perlu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Antibiotik yang dipilih sebaiknya yang jarang mencetuskan SJS/TEN,
spectrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak nefrotoksis. Antibiotik juga
hendaknya tidak menggunakan yang mempunyai rumus kimia sama atau
segolongan

dengan

antibiotik

pencetus.

Obat

pilihan

antara

lain

siprofloksasin 2 x 400 mg IV, klindamisin (tidak berspektrum luas namun


efektif untuk bakteri anaerob) 2 x 600 mg IV sehari, seftriakson 1x 2 g IV50.
Secara teori, terapi yang mampu memblok secara selektif dari
apoptosis keratinosit akan mempunyai potensial efek dalam mengobati SJS
maupun TEN. Suatu penelitian menunjukkan bahwa Fas-mediated cell death
(yang diinduksi secara in-vitro pada kulit yang berlesi pada pasien dengan
125

TEN) dapat dihambat dengan antibody monoclonal terhadap FasL atau Fas,
mengindikasikan bahwa antibody ini dapat berguna dalam pengobtan TEN.
Bila digunakan dalam dosis tinggi (0.75 g/kg/hari selama 4 hari) untuk
mengobati pasien dengan TEN, IVIg secara konsisten dan cepat dapat
menghambat progresivitas penyakit dan pelepasan epidermis (epidermal
detachment) pada 10 dari 10 pasien dalam studi1,2. Penelitian lainnya juga
menunjukkan efektivitas yang kurang lebih sama, bila digabungkan, 8 dari 11
studi menunjukkan bahwa IVIg (pada dosis total >2g/kg diberikan dalam 3-4
hari) dapat mengurangi angka kematian akibat TEN51.
9). Komplikasi
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses
reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3
minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan
migrasi dari keratinosit dari area reservoir seperti jaringan epidermis yang
masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan
kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan
TEN. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak sempurna,
dan pasien yang selamat dapat terjadi sekuele berupa simblefaron, sinekia
konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari
membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan
rambut difus. Pada TEN kelainan pada mata bervariasi mulai dari sindrom
sicca hingga kebutaan terjadi pada 35% pasien yang selamat48,49,50.

126

Gambar 43. Sekuele pasca TEN


Kompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia yaitu
bronkopneumonia (16% kasus), lainnya dapat berupa hipovolemia,
ketidakseimbangan elektrolit, insufisiensi renal, dan sepsis 53.
10). Prognosis
Pada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan
prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu,
jumlah obat, peningkatan serum urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia,
limfopenia dan trombositopenia secara statistic berhubungan dengan
prognosis buruk. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga
berhubungan menurunnya prognosis. Penghentian obat penyebab dengan
segera dapat menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat
penyakit untuk TEN telah dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter
signifikan dalam menentukan prognosis dari penyakit49.

127

SCORTEN: A Prognostic Scoring System For Patients with Epidermal


Necrolisis51
Prognostic Factors

Points

Age > 40 year

Heart rate > 120 beats/min

Cancer or hematologic malignancy

BSA involved (on day 1) > 10

percent
Serum urea level > 10 mmol/L

Serum bicarbonate level < 20

mmol/L
Serum glucose level > 14 mmol/L

SCORTEN

Mortality Rate (%)

0-1

3.2

12.1

35.8

58.3
90

>5

Angka kematian terjadi pada 1 dari 3 pasien dengan TEN dan paling
sering disebabkan oleh infeksi (S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa).
Kehilangan

cairan

transepidermal

yang

berat

dikaitkan

dengan

ketidakseimbangan elektrolit, inhibisi dari sekresi insulin, dan resistensi


128

insulin juga dapat menjadi faktor yang memperberat. Penatalaksanaan dari


semua komplikasi dari TEN ini (dapat pula terjadi pada SJS) paling baik
dilakukan dalam intensive care unit. Komplikasi tersebut di atas data
berujung pada adult respiratory distress syndrome dan multiple organ failure
meskipun dengan terapi suportif yang adekuat51.

C. PENEGAKAN DIAGNOSIS PADA PENYAKIT KULIT


Setelah membahas bebeapa penyakit alergi pada kulit , pada pasien datang
dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar
menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari
alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi
timbulnya gejala.5,6
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan
berikut.

Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal


adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.11

Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan


perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit,
konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada
manifestasi yang timbul.1

Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit


alergi,

namun

tidak

untuk

menetapkan

diagnosis.

Pemeriksaan

laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel,
serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.6

129

Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes
tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai
menjadi penyebab keluhan pasien.20

Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan
jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran
klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal
dan tes provokasi bronkial.5

130

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alergi merupakan reaksi imunitas tubuh yang menjadi reaksi pertahanan
tubuh terhadap benda atau zat yang dianggap asing oleh tubuh. Secara umum
penyakit alergi di golongkan dalam beberapa golongan, yaitu dermatitis kontak alergi,
alergi atopik, alergi obat. Pada referat ini dibahas dermatitis karena alergi dan
dibandingkan dengan kontak iritan dan kedua dermatitis ini disebabkan oleh karena
etiopatogenesis yang berbeda. Dan pada dermatitis atopik merupakan reaksi alergi
tipe cepat dan berbeda dengan dermatitis kontak alergi yang merupakan tipe lambat.
Dan beberapa sindroma yang disebabkan alergi terhadap obat-obatan dan disebut
dengan drug erupsi serta kelainan kulit yang disebabkan oleh karena alergi makanan,
semuanya harus ditangani dengan tepat dan sesuai karena jenis penyakit kulit ini
berbeda penangananya sesuai dengan penyakit pada kulit.
Penanganan terhadap penyakit alergi kulit lebih diutamakan kepada
menghindari penyebab atau alergen yang sudah diketahui dapat menimbulkan reaksi
alergi. Beberapa memiliki prognosis yang baik dan sembuh total dan juga ada yang
meninggalkan gejala sisa atau sequele seperti pada NET, penyakit ini jarang yang
dapat sembuh total tetapi hanya dapat dijaga untuk menjauhi pencetusnya dan sering
terjadi eksaserbasi.
Diharapkan pada referat ini dapat menjadi bahan bacaan untuk pembaca dan
penyakit allergi kulit merupakan kelompok penyakit kulit yang banyak terjadi di
Indonesia diharapkan ilmu dan penelitian dibidan alergi kulit ini terus berjalan dan
berkembang .
Penulis memohon maaf atas banyak kekurangan yang terdapat di laporan ini
131

DAFTAR PUSTAKA

1. Baratawidjaja, Karnen G. : Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI, 2006. Hal : 235-250.
2. Maddin S, Ho VC : Dermatologic Immunology In: Moschella, Harry J,
Hurley, eds. Dermatology. 3rd ed. Philadelphia: W.B Saunders Co, 1992.
2187-93.
3. Sterry, Wolfram. Thieme Clinical Companions Dermatology New York :
Thieme 2006. Hal : 583-650.
4. Adhi D, Mochtar H. Dermatitis Kontak. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI. Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Halaman 150-158
5. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatricks Alergy Contact Dermatitis , Dermatology in general medicine.
7th ed. New York: McGraw Hill; 2008.p.396-401.
6. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact
Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8
7. Buxton, Paul K. Alergy Contact Dermatitis, ABC Of Dermatology 4th ed.
London: BMJ Books; 2003.p.19-21
8. Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third Edit.
British: Crurchill Livingstone.2002.p.30-1
9. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5
10. Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus
Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada
132

Dermatitis Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK


UNAIR / RSU Dr. Soetomo. Surabaya, 2009. Hal : 111-120
11. William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med; 2004; 352: 2314-24.
12. Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and
risk of

atopic dermatitis in high risk infant.

Berkala Ilmu Kedokteran,

Volume 39, No. 4, 2007. Hal. 192-198.


13. Zulkarnain I. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam
Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.2009. Hal. 39-51
14. Tada J., 2002. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. JMAJ. Vol. 45, No.
11. Tahun 2008. Hal 460-65.
15. Sularsito S.A., & Djuanda A. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; 2005, Hal.129-47.
16. Soebaryo R.W. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,
Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit
FK UI. Jakarta. 2009. Hal. 39-51.
17. Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). Dermatitis
Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta.
Penerbit Media Aesculapius FKUI. 2001. Hal.80-93
18. Roesyanto I.D., & Mahadi., Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.
dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).
Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.2009. Hal.12-20.
19. Sugito T.L. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja
S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis
Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 2009. Hal. 39-55
20. Endaryanto E., & Harsono A. Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi
melalui induksi aktif toleransi imunologis. Divisi Alergi Imunologi
Bagian/SMF

Ilmu

Kesehatan

Anak

FK-Unair/RSU

Dr.

Soetomo

Surabaya.2009. Hal : 11-18


133

21. Kariossentono H. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan UNS
Press. Surakarta. 2006. Hal.8-12.
22. Graham B.R., Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.2005.Hal.73-74.
23. Simpson E.L., & Hanifin J.M., Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am
Acad Dermatol. 53(1) tahun 2005 . Hal : 115-28.
24. Bhakta I.M., Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S., Bambang
S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2006. Hal: 632-35
25. Robertison A. Asthma and other atopic disease in Australia Children. MJA.
1998; Hal 168: 434-38
26. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2009. Hal 33042.
27. Aisah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 169-75.
28. Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ Books;
2003. Hal 38-9.
29. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T, Breathnach
S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.
Oxford: Blackwell Science; 2004. Hal 47.12-47.27.
30. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis. Clinical
Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. Hal 94-9.
31. Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2008. Hal 471.
32. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical and
etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, Feb 4]. Hal: 111-121
33. Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibat alergi
makanan. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 159.
34. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. Dermatology: An Illustrated
Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003. Hal 72-8.
134

35. Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL, Jorizzo
JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier;
2008. Hal: 221-233
36. Hamzah M. Eritema multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 162.
37. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified
disorders.

Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis and

Management. 1st ed. London: Taylor & Francis; 2005. Hal 179-80.
38. Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 337-8.
39. Brehmer
E,
Andersson.
Acute
allergic
urticaria/angioedema.
Dermatopathology: A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. Hal 195-7.
40. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI;
2005. Hal. 211.
41. Greaves MW. Drug therapy of urticaria.

Drug Therapy in Dermatology.

London. 2008. Hal. 323-9.


42. Woodroff TJ, Axelrad DA, Kyle AD. Trends of disease in the childhood.
Pediatric 2004; Hal : 113; 1133-40
43. Helen E. Cox. Food Allergy as Seen by an Allergist. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. 2008; Hal 47:S45-S48
44. Udo Herz. Immunological Basis and Management of Food of Allergy. Journal
of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2008; Hal 47: S54-S57
45. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. Feb 2010;
Hal 125(2 Suppl 2):S116-25
46. Bodo Niggenann, Kirsten Beyer.Diagnosis of Food Allergy in Children:
Toward a Standardization of Food Chalange. Journal of Pediatric
Gastroenterology and Nutrition. 2007; Hal 45; 399-404
47. Mehl A, Rolinck-Werninghaus C, Staden U, et al. The atopy patch test in the
diagnostic work-up of suspected food related symptoms in children. J Allergy
Clin Immunol 2006; Hal 118:9239.

135

48. Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of Dermatology. Edisi Ketiga..


Elsevier. 2012. Hal : 324-332
49. James W, Berger T, Elston D. Andrews Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. Edisi Kesepuluh.. Elsevier. 2006. Hal : 129-131
50. Barnhill R, Crowson A. Textbook of Dermatopathology. Edisi Kedua.
McGraw-Hill. 2001. Hal : 178-179
51. Wolff K, Goldsmith L, Steven K, Barbara A. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. Edisi Ketujuh. McGraw Hill. 2008. Hal : 349-355.
52. Adhi D, Mochtar H. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI. Edisi Keenam, Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Hal : 163-165.
53. Adhi D, Mochtar H. Nekrolisis Epidermal Toksik. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI. Edisi Keenam, Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Hal : 166-168.

136

You might also like