Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan
tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi. Penyakit alergi yang bermanifestasi
pada kulit termasuk masalah yang paling sering dijumpai dalam praktik seharihari khususnya di bagian spesialis kulit dan kelamin.1
Di antara berbagai bentuk kelainannya dermatitis kontak alergi, dermatitis
atopik dan urtikatria merupakan penyakit alergi kulit yang terbanyak dijumpai di
dalam praktek sehari-hari. Reaksi alergi terhadap substansi asing terjadi
mengikuti 4 bentuk reaksi klasik tipe Gell dan Coombs (1963), yaitu 1,2 :
1. Tipe I : Reaksi anafilaktik atau hipersensitifitas tipe cepat, dengan
dengan contoh klinis urtikaria dan angioudema.
2. Tipe II : Reaksi sitotoksik, antara lain bermanifestasi sebagai purpura
trombositopenik alergi.
3. Tipe III : Pembentukan kompleks imun dan reaksi Arthrus, dengan
contoh klinis vaskulitis alergik.
4. Tipe IV : Reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan contoh klasik
dermatitis kontak alergi , sedangkan komponen selular sistem
imun kulit meliputi : sel dendrit epidermal, limfosit,
keratinosit, dan sel mast. 2,3
Untuk penatalaksanaaannya sendiri, pada kasus alergi kulit sering kali
memperoleh hasil yang kurang memuaskan oleh karena perjalanan penyakit ini
sering menjadi kronik residif, dengan rekurensi tinggi.
Pada referat ini penulis dengan mengambil dari berbagai sumber ingin
menjelaskan penyakit kulit yang disebabkan oleh karena reaksi alergi yang
banyak ditemui dalam praktek sehari-hari.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai tugas referat pada kepaniteraan
klinik departemen kulit dan kelamin RSU Kota Banjar, tentang kelainan atau
penyakit kulit yang disebabkan oleh karena alergi, pada penyakit atau kelainan
kulit yang disebut dengan.
C. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diambil ialah penulis dan pembaca dapat
mengetahui tentang jenis penyakit kulit yang disebabkan oleh karena eraksi alergi
sehingga dapat mengobati penyakit kulit baik secara topikal, sistemik dan
tindakan operatif dengan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI KULIT
Kulit merupakan pembungkus elastis yang dapat melindungi tubuh dari
pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas
ukurannya, yaitu 1,5% dari berat tubuh dan luasnya 1,5-1,75 m2, rata-rat tebal
kulit 1-2 mm. paling tebal (16mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki, sedangkan
paling tipis (1,5 mm) terdapat di penis12.
Berikut akan dijelaskan pembagian dan lapisan kulit manusia :
Gambar-1
Anatomi Kulit Manusia , ( Sterry, Wolfram. Thieme Clinical
Companions Dermatology New York : 2006. Hal : 3 )
Selain itu kulit memiliki sistem pertahanan terhadap suatu benda asing atau
patogen baik humoral maupun selular, namun pada beberapa orang ada yang
memiliki reaksi hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi
berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan
IV. Kemudian Janeway dan Travers merevisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi
tipe IVa dan IVb. 1
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi
alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I,
alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi
IgE dan penyakit alergi , yang pada penyakit kulit seperti dermatitis atopik dan
yang lain seperti asma dan rinitis alergika. 5
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk
antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel
pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan
mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH
(Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell
Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+. 2
Jenis
Hipersensitivitas
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
Tipe II
Reaksi melalui
antibodi
Mekanisme Imun
Patologik
IgE
IgM, IgG terhadap
(amin
antigen ekstraseluler
Tipe III
Kompleks imun
Tipe IV
atau IgG)
1. CD4+ : DTH
(melalui sel T)
2. CD8+ : CTL
Tipe IVa
Tipe IVb
sel
sasaran
direk,
Jika dilihat berdasarkan tabel diatas penyakit pada kulit ada yang disebabkan
dari reaksi alergi ada yang terjadi oleh karena reaksi hipersensitivitas tipe cepat
dan tipe lambat. Respons imun baik spesifik maupun nonspesifik pada umumnya
menguntungkan
pertumbuhan
bagi
tubuh,
kanker, tetapi
berfungsi
dapat pula
protektif
terhadap
menimbulkan
infeksi
hal yang
atau
tidak
Gambar-2
Mekanisme Antigen dikenali oleh APC, (Julius M. Cruse, Atlas of Immunology ,
Second edition , Taylor and Francis, 2004 . Hal : 240)
Jika dihubungkan dengan penyakit kulit yang disebabkan oleh karena reaksi
alergi , bahwa letak dan distribusi IgE pada tubuh banyak tedapat di mukosa dan
kulit pada tubuh manusia. berikut pada gambar dibawah distribusi IgE &
mekanisme terjadinya reaksi alergi 2,3 :
Kontak dengan
Alergen
IgE pada
permukaan kulit
dan mukosa
Gambar-3
Distribusi IgE , (Julius M. Cruse, Atlas of Immunology , Second edition , Taylor
and Francis, 2004 . Hal : 245) & contoh reaksi alergi
Gambar-4
Mekanisme reaksi alergi , (Julius M. Cruse, Atlas of Immunology , Second
edition , Taylor and Francis, 2004 . Hal : 257)
Dari gambar di atas terlihat bahwa penyakit kulit oleh karena alergi banyak
terjadi kasusnya dalam praktek dan kehidupan sehari-hari karena banyak sekali
sumber alergi atau alergen yang mampu memprovokasi terjadinya reaksi alergi
pada kulit manusia, dimana terjadi ketika seorang individu yang telah
menghasilkan antibodi IgE sebagai hasil dari kontak sebelumnya dengan alergen,
kemudian bertemu alergen yang sama. Dan beberapa orang ada yang memiliki
riwayat atopik atau keturunan alergi dalam keluarganya.
Jenis Hipersensitivitas
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
Dermatitis atopik
Urtikaria & Angioudem
Dan kelainan kulit akibat alergi makanan,
yang gambaran klinisnya seperti urtikaria atau
angioudema, dan bisa dalam bentuk kelainan
kulit lainnya.
Bermanifestasi sebagai purpura
Tipe II
Reaksi melalui antibodi
trombositopenik alergi
Eritema Multiform :
Tipe III
Kompleks imun
alergika
(adanya
kompleks
Leukositoklastivaskulitis
imun
yaitu
biasanya
oleh
Tipe IVa
Tipe IVb
Tabel 2. Klasifikasi tabel yang dibuat oleh penulis
Sumber : Djuanda, Adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta : FK
UI 2009. Hal : 129 - 179
Pada penjelasan diatas telah diuraikan bagaimana sistem imun tubuh mampu
menyebabkan reaksi alergi atau reaksi hipersensitivitas sehingga menimbulkan
penyakit kulit, berikut adalah beberapa penyakit alergi kulit yang akan dijelaskan
di dalam referat ini :
1. Dermatitis karena reaksi Alergi atau hipersensitivitas
2. Urtikaria & Angioudema
3. Kelainan Kulit Akibat Alergi Makanan
4. Erupsi Obat Alergi
5. Eritema Multiform
6. Sindroma Stevens-Johnson
7. Nekrolisis Eritema Toksik
Untuk mengetahui bagaimana definisi, pembagian masing-masing penyakit
berdasarkan epidemiologi, etiologi, patomekanisme masing-masing penyakit
hingga penatalaksanaan dan prognosis penyakit kulit akibat alergi, penulis akan
mencoba menampilkan beberapa penyakit alergi pada referat ini :
1. DERMATITIS KARENA REAKSI ALERGI
Sebelum membahas dermatitis akibat reaksi alergi , penulis mencoba
mendeskripsikan terlebih dahulu mengenai definisi dari dermatitis dan penulis
ingin menampilkan kerangka konsep penyakit dermatitis yang dimediasi oleh
bahan iritan atau reaksi alergi berdasarkan dari literatur.
a. Definisi Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,
vesika, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu
timbul
bersamaan,
bahkan
mungkin
hanya
beberapa
c) Hipersensitivitas
10
11
d. Jenis-jenis Dermatitis
Sebagian peradangan kulit secara konvensional dikelompokkan
bersama di bawah diagnosis kerja eksim atau dermatitis 6. Klasifikasi
Dermatitis:
a. Eksogen :
1. Dermatitis Iritan Primer
2. Dermatitis Kontak Alergi (reaksi hipersensitivitas tipe-IV)
3. Dermatitis Akibat Patogen (infeksi)
b. Endogen :
1. Dermatitis Atopik (reaksi hipersensitivitas tipe-I)
2. Dermatitis Seboroik
3. Dermatitis Diskoid
4. Dermatitis Tangan dan Kaki : hiperkeratotik/berfisura /
vesikular (pomfoliks)
5. Dermatitis Statis Varikosa
6. Dermatitis Asteatotik
7. Dermatitis berskuama superfisial (xantoeritodermia perstans)
8. Dermatitis dipicu sinar
9. Neurodermatitis (termasuk liken simpleks dan prurigo
nodularis)
12
Anamnesa :
Setelah terpapar
bahan kimi a
iritan
13
14
2) ETIOLOGI
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Alergen = kontaktan = sensitizer. Biasanya berupa bahan
logam berat, kosmetik (lipstik, deodoran, cat rambut), bahan
perhiasan (kacamata, jam tangan, anting-anting), obat-obatan
(obat kumur, sulfa, penisilin), karet (sepatu, BH).2
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali,
dan serbuk kayu.4 Iritasi sebagian besar bahan kimia, dalam
bentuk padat, cair, atau fase gas, tetapi juga termasuk partikel
mineral atau vegetal yang mengelupas atau bisa tertanam di kulit.
Iritasi segera adalah zat korosif yang menghasilkan bahan kimia
luka bakar dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
satu eksposur.5
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum,
juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu
lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula
gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
ikut berperan.4
3) PATOGENESIS
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Suatu fenomenan imunologi yang membutuhkan Anti gen
Presenting Cells (APC) dan Anti gen Processing Cells tanpa
mempersoalkan keadaan pertahanan stratum korneum, sehingga
15
16
menampakkan
ICAM-1
dan
HLA-DR
pada
permukaan
vasodilatasi
dan
peningkatan
permeabilitas
17
TNF,
suatu
sitokin
proinflamasi
yang
dapat
stratum
korneum
oleh
karena
delipidasi
yang
4) GAMBARAN KLINIS
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada
yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas,
18
19
eksikasi
ekzematik,
pustular
dan
akneformis,
20
gambar 9. Awal dermatitis kontak iritan kronis pada ibu rumah tangga8
gambar 11. Dermatitis kontak iritan akut di tangan karena pelarut industri11
5) PEMERIKSAAN
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
a. Biopsi
21
22
23
24
6) DIAGNOSIS
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti.5
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit yang ditemukan. Data yang berasal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat
atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.5,6,7
Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat
lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan,; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan
kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.5
2. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui
karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya
masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI
kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis
yang luas, sehingga adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak alergik.4
7)
DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
25
c. Dermatitis Seboroik
Adanya eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan batasnya agak kurang jelas. Tempat predileksi kulit
kepala, liang telinga luar, lipatan nasolabial, daerah sternal,
areola mammae, lipatan dibawah mammae, umbilikus, dan
lipat paha.4
26
c. Dermatitis Atopi
Adanya kulit yang kering, pucat, dan gejala utamanya
adanya pruritus. Apabila penderita menggaruk, akan timbul
papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan
krusta.5,6
27
8) TERAPI
1. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
a. Menghentikan Gejala
Mengidentifikasi
dan
menghapus
agen
penyebab
dari
memerlukan pengobatan
28
dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis
alergi, dan atau asma bronchial).10
2) Bentuk DA
Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan
bentuk utama (70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap
alergen lingkungan disertai dengan peningkatan kadar IgE serum.
Bentuk lain adalah bentuk intrinsik atau non alergik, terdapat pada
20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan tanpa sensitisasi
terhadap
alergen
peningkatan
lingkungan.
kadar
IgE
bukan
Dapat
disimpulkan
merupakan
prasyarat
bahwa
pada
iritan
dan
kontaktan,
alergen
hirup,
makanan,
Makanan
29
Alergen hirup
Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak,
yang dapat dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50%
penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat
pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu binatang rumah
tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim. 13
Infeksi kulit
Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor
ekstrinsik yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus
kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah
Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan
perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus
dibandingkan
orang
tanpa
atopik.
Adanya
kolonisasi
30
yang
penting
pada
terjadinya
eksaserbasi,
dan
Faktor
lain
dari
mikroorganisme
yang
dapat
31
Variasi
metabolisme
ph
kulit
lipid
di
dapat
kulit.
menyebabkan
Kelainan
fungsi
kelainan
sawar
17
32
lainnya
untuk
mengenali
dan
menyeberangi
tambahan
selain
alergen
hirup,
alergen
kerentanan terhadap
penyakit atopik.
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti
DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada
33
kontralateral
dan korteks
untuk diartikan.
rasa
berintensitas
tinggi
gatal,
sedangkan
menyebabkan
rasa
yang
dalam
nyeri.
dan
Sebagian
2009).23,24
Reaksi imunologis DA
34
35
ambang
rasa
gatal
menurun,
sehingga
dengan
36
37
and
eosinophil-derived
neurotoxin),
dan
mereka
5) Manifestasi klinis
38
bahkan
walaupun
jarang,
dapat
terjadi
39
40
GGambar 18.a
Gambar 18.b.
41
Gambar 18.c.
Gambar 18 a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak
(Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).
42
Gambar 19 .a.
Gambar 20 .b.
Gambar .a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M.,
2005).
43
44
11,12,13
White dermatographism
Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan
kemerahan dalam waktu 10-15 detik diikuti dengan
vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam
permeabilitas
pembuluh
darah
yang
45
sangat gatal.23
Allergic shiner
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena
gosokan dan garukan berulang jaringan di bawah mata
dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan
timbunan melanin.11
Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi akibat garukan terus
menerus.22
Kulit kering
Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah,
dan berpapul folikular hiperkeratotik yang disebut keratosis
pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga terjadi
pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan
46
oleh
vasokonstriksi
atau
peningkatan
permeabilitas kapiler.19
Keringat berlebihan
Penderita DA cenderung berkeringat banyak sehingga pruritus
bertambah.20
Gatal dan garukan berlebihan
Penyuntikan bahan pemacu rasa gatal (tripsin) pada orang
normal menimbulkan gatal selama 5-10 menit, sedangkan
7) DIAGNOSA
Perlakuan khusus diperlukan untuk penderita DA Berat.
Penentuan gradasi berat-ringannya DA dapat mempergunakan
kriteria Rajka dan Rajka sebagaimana tabel berikut : 11,12,13,14
I. Luasnya lesi kulit
fase anak / dewasa
< 9% luas tubuh
=1
=2
47
=3
fase infantile
< 18% luas tubuh
=1
=2
=3
Penilaian skor :
3-4
: ringan
4.5-7.5 : sedang
8-9
: berat
48
8) Diagnosis Banding
Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik,
pada bentuk anak dan dewasa ialah neurodermatitis. 20,21,22
Diagnosis Banding lainnya:
Sindrom Wiskott-Aldrich
Sindrom Hyper-IgE
Penyakit Neoplastik
49
Penyakit Hodgkin
Dermatitis Numularis
Dermatitis Seborrheic
Skabies
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak
mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai
dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas),
vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus
pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah
ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik
terhadap pengobatan dengan -benzen heksaklorida. 10
Dermatitis kontak
Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik
pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis
kontak karena sepatu.16
50
9) Terapi
Pengobatan pada bayi dan anak dengan DA harus secara
individual dan didasarkan pada keparahan penyakit. Sebaiknya
penatalaksanaan ditekankan pada kontrol jangka waktu lama
(Long-Term
Control)
bukan
hanya
untuk
mengatasi
kulit,
mencari
factor
pencetus
dan
mengurangi
bahwa
DA
merupakan
penyakit
yang
51
penting
untuk
mengatasi
kekeringan
kulit
dan
anti
inflamasi
topikal
(kortikosteroid,
inhibitor
52
dapat
remisi
memperbaiki
panjang,
DA
namun
dan
berisiko
Obat lainnya
Siklosporin,
metotreksat,
Azatioprin,
interferon
gamma,
mofetil
lain-lain
mikofenolat,
(antagonis
53
leukotrien,
timopentin,
imunoterapi
alergen
dan
probiotik).21
b. Pengobatan sistemik
Kortikosteroid
Hanya digunakan untuk mengobati eksaserbasi akut, dalam
jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselangseling atau diturunkan perlahan (tapering), segera ganti
difenhidramin.17
Anti infeksi
Untuk pengobatan koloni S.aureus yang belum resisten
dapat diberikan eritromisin, asitromisin, atau klaritromisin,
sedangkan
untuk
yang
sudah
resisten
diberikan
25
54
probiotik,beberapa
randomized
tertentui
dkk
.menurut
penelitian
Isaular
CFU
dan
TLR4.
Penelitian
probiotik
pada
ibu
hamil
55
Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain
di kemudian hari. Penderita DA mempunyai kecenderungan
untuk mudah mendapat infeksi virus maupun bakteri (impetigo,
folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes).
13
dan
disebut
eksema
herpetikum
atau
eksema
11) Pencegahan
Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI
yang diberikan secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan
memberikan keuntungan nutrisional dan melindungi anak dari
penyakit alergi. ASI eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan untuk
menghindarkan bayi dari pemberian makanan yang dapat
menimbulkan dan sebagai faktor presipitasi alergi. ASI kaya akan
56
immunoglobulin A (IgA)
12,13
12) Prognosis
Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis
lebih buruk bila kedua orangtua menderita DA. Ada kecenderungan
perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh
pada masa remaja, sebagian kasus menetap pada usia diatas 30
tahun. 12
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik
DA, yaitu:
57
58
Gambar 25 . Angioedema
Epidemiologi
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa
lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. Ditemukan 40%
bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama-sama dengan angioedema dan 11%
angioedema saja. Lama serangan berlangsung bervariasi, ada yang lebih dari satu
tahun bahkan lebih dari 20 tahun.40
Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang
normal. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun
59
perempuan. Umur, ras, aktivitas, letak geografis dan perubahan musim dapat
mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE. Penisilin tercatat sebagai
obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria. 29
Klasifikasi
Urtikaria dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi atau etiologi dan
mekanisme patofisiologi. 30
A. Durasi
1. Akut
Urtikaria akut biasanya terjadi beberapa jam sampai beberapa hari (kurang
dari 6 minggu) dan umumnya penyebabnya dapat diketahui.31
2. Kronis
Urtikaria yang berlangsung lebih dari 6 minggu dan urtikaria biasanya
berulang dan tidak diketahui pencetusnya, serta dapat berlangsung sampai
beberapa tahun. Urtikaria kronik umumya ditemukan pada orang dewasa.33
B. Etiologi dan Mekanisme Imun 31,32,33
1. Mekanisme imun 27
Mekanisme imun dapat diperantarai melalui reaksi hipersensitivitas tipe I,
II, dan III.
2. Mekanisme nonimun (anafilaktoid) 35
a. Angioedema herediter
b. Aspirin
c. Liberator histamin, yaitu zat yang menyebabkan pelepasan histamin
seperti opiat, pelemas otot, obat vasoaktif, dan makanan (putih telur,
tomat, dan lobster).
3. Fisik
60
61
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat
reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan
pengawet sering menimbulkan urtikaria alergika. Contoh makanan yang
sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, cokelat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka serta bahan yang dicampurkan
ke dalam makanan seperti asam nitrat, asam benzoat, dan ragi.32
3. Gigitan/sengatan Serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat. Hal ini
sering diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe selular (tipe IV). Tetapi venom
dan toksin bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk,
kepinding, dan serangga lainnya menimbulkan urtikaria berbentuk papular di
sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh dengan sendirinya setelah beberapa
hari, minggu, atau bulan.39,40
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan
kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria. 26
5. Inhalan
62
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu binatang,
dan aerosol umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik. Reaksi ini
sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai gangguan pernapasan.27
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk
tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia seperti
insect repelent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini
disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan menimbulkan urtikaria.26
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat disebabkan oleh faktor dingin, yakni berenang atau
memegang benda dingin; faktor panas misalnya sinar matahari, sinar UV,
radiasi dan panas pembakaran; faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat,
ikat pinggang, atau semprotan air; faktor vibrasi dan tekanan yang berulangulang contohnya pijatan dapat menyebabkan urtikaria fisik baik secara
imunologik maupun non-imunologik.28
8. Infeksi dan Infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi oleh bakteri contohnya
infeksi pada tonsil, gigi, dan sinus paranasal. Masih merupakan pertanyaan
apakah urtikaria muncul karena toksin bakteri atau oleh sensitisasi. Infeksi
virus hepatitis, mononukleosis, dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan
sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu
dipikirkan kemungkinan infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan
dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita,
cacing tambang, cacing gelang, Schistosoma atau Echinococcus dapat
menyebabkan urtikaria.29
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11.5%
63
penderita
urtikaria
menunjukkan
gangguan
psikis.
Penyelidikan
64
FAKTOR NONIMUNOLOGIK
FAKTOR
IMUNOLOGIK
Sel
Mas
Basofil
Efek Kolinergik
Reaksi Tipe IV
(kontaktan)
Pengaruh komplemen
Aktivasi komplemen
(Ag-Ab, venom,
toksin)
Pelepasan
Mediator:
Reaksi Tipe II
H1, SRSA,
serotonin, kinin,
PEG, PAF
Alkohol, Emosi,
Demam
Vasodilatasi,
Peningkatan
Permeabilitas Kapiler
Faktor Genetik:
Defisiensi C1 esterase
inhibitor
Familial cold urticaria
Familial heat
urticaria
Idiopatik
Urtikaria
Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat
secara langsung merangsang sel mas. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas,
emosi, dan alkohol dapat merangsang langsung pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.28
65
66
penyinaran, dan klinisnya berbentuk urtikaria papular. Hal ini harus dibuktikan
dengan tes foto tempel. Sejumlah 7-17% urtikaria disebabkan oleh faktor fisik, antara
lain akibat panas, dingin, tekanan dan penyinaran. Umumnya pada dewasa muda,
terjadi pada episode singkat dan umumnya kortikosteroid sistemik kurang
bermanfaat.39
Urtikaria kolinergik dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi,
makanan yang merangsang dan pekerjaan yang berat. Biasanya sangat gatal,
ukurannya bervariasi dari beberapa milimeter sampai numular dan konfluen
membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri
perut, diare, muntah, dan nyeri kepala. Biasanya terjadi pada usia 15-25 tahun.
Urtikaria
akibat
obat
atau
makanan
umumnya
timbul
secara
akut
dan
generalisata.31,32,33
Diagnosis 34,34,35
Anamnesis
Adanya bentol kemerahan pada kulit yang mudah dikenali bahkan oleh orang
tua pasien.
Awitan dan riwayat penyakit serupa sebelumnya: untuk membedakan akut
atau kronik dan mengidentifikasi faktor pencetus yang mungkin sama dengan
pencetus sebelumnya.
Faktor pencetus ditanyakan faktor yang ada di lingkungan, seperti: alergen
berupa debu, tungau (terdapat pada karpet, kasur, sofa, tirai, boneka berbulu),
hewan peliharaan, tumbuhan, sengatan binatang, serta faktor makanan seperti
zat warna, zat pengawet, zat penambah/modifikasi rasa, obat-obatan
(misalnya: aspirin atau OAINS lainnya), dan faktor fisik (dingin, panas, dan
sebagainya)
Riwayat penyakit dahulu: demam, keganasan, infestasi cacing
Riwayat pengobatan untuk episode yang sedang berlangsung
Riwayat atopi dan riwayat sakit lainnya pada keluarga
67
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi kulit berupa bentol kemerahan yang
memutih di bagian tengah bila ditekan. Lesi disertai rasa gatal. Yang perlu
diperhatikan adalah distribusi lesi, pada daerah yang kontak dengan pencetus,
pada badan saja, dan jauh dari ekstremitas atau seluruh tubuh. Hal lain yang
perlu diperhatikan lagi adalah bentuk lesi yang mirip satu sama lain, bintik
68
Uji intradermal
0,02 ml larutan obat 1:1000 dalam larutan garam fisiologis, harus
disertai kontrol positif dan negatif.
69
- Gantung suatu beban 7-14 kg di sekeliling lengan bawah atau bahu selama
10 menit
o Angioedema vibrator 28
Tempelkan vibrator/mixer pada lengan bawah selama 4 menit
o Urtikaria akuagenik 30
Tempelkan kompres air/tap water dicoba pada berbagai temperatur pada
kulit yang akan diuji. Papul multipel yang gatal seperti urtikaria kolinergik
akan timbul dalam beberapa menit hingga 30 menit.
o Urtikaria kolinergik
Mandi air hangat atau beraktivitas hingga berkeringat. Wheal yang gatal
dengan diameter 1-3 mm dikelilingi daerah eritema yang luas timbul dalam
2-20 menit. Episode ini akan menetap dalam 15-30 menit. 30,31
70
Diagnosis Banding
a. Sengatan serangga multipel
Pada sengatan serangga akan terlihat titik di tengah bentol yang merupakan
bekas sengatan serangga.
b. Angioedema herediter
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang disertai urtikaria. Pada
kelainan ini terdapat edema subkutan atau submukosa periodik disertai rasa
sakit dan terkadang disertai edema laring. Edema biasanya mengenai
ekstremitas dan mukosa gastrointestinal yang sembuh setelah 1-4 hari.
Pada keluarga terdapat riwayat penyakit yang serupa. Diagnosis ditegakkan
dengan menemukan kadar komplemen C4 dan C2 yang menurun dan tidak
adanya inhibitor C1-esterase dalam serum. 30,31,32
Penatalaksanaan
Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang-kadang sembuh
dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan. Prinsip pengobatan urtikaria akut
adalah sebagai berikut.33
71
Pada umumnya efek antihistamin telah terlihat dalam waktu 15-30 menit
setelah pemakaian oral, dan mencapai puncaknya pada 1-2 jam, sedangkan
lama kerjanya bervariasi dari 3-6 jam. Antihistamin dapat diberikan selama
7-10 hari. 29
3. Adrenergik
Pada urtikaria akut generalisata dan disertai gejala distress pernapasan,
asma atau edema laring, mula-mula diberi adrenalin (1:1000) dengan dosis
0,01 ml/kgBB/kali subkutan (makasimal 0,3 ml) dilanjutkan dengan
pemberian antihistamin.30
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan bila tidak memberi respon yang baik dengan obat
lain dengan mewaspadai efek samping yang dapat terjadi. Kortikosteroid
jangka pendek digunakan pada urtikaria akut yang berat dengan atau tanpa
72
angioedema atau bila urtikaria diduga berlangsung akibat reaksi alergi fase
lambat. Obat yang digunakan adalah prednison dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 5 hari, tapering off biasanya tidak dibutuhkan pada
urtikaria akut. 28
5. Antileukotrien (Leukotriene pathway modifiers)
Antileukotrien dapat digunakan bersamaan dengan antihistamin H1 untuk
menangani urtikaria yang tidak terkontrol, tetapi penggunaannya sebagai
terapi tunggal masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Antileukotrien
pernah tercatat memiliki manfaat pada kasus alergi aspirin, namun efek
sesungguhnya masih belum dapat dipastikan. Salah satu antileukotrien
yang sering dipakai adalah montelukast dengan dosis yang dianjurkan
untuk anak-anak adalah 4-5 mg/hari. Tablet 4 mg digunakan pada anak 2-6
tahun dan 5 mg digunakan pada anak 6-15 tahun. Di Indonesia,
antileukotrien itu sendiri masih jarang digunakan dan preparatnya pun
masih sangat terbatas. Preparat antileukotrien yang telah beredar di
Indonesia adalah zafirlukast, sedangkan montelukast belum tersedia.
Zafirlukast dapat digunakan untuk mengobati asma akibat alergi. 33
Tabel 3. Antihistamin untuk Urtikaria dan Angioedema
Golongan
Dosis
Obat
Antihistamin H1 (generasi ke-1, sedatif)
Hydroxizine
0,5-2 mg/kg/kali
(dewasa 25-100 mg)
Diphenhydra
1-2 mg/kg/kali
min
(dewasa 50-100 mg)
Chlorphenir
0,25 mg/kg/hari
amin Maleat
(dibagi 3 dosis)
Antihistamin H1 (generasi ke-2, nonsedatif)
Setirizin
0,25 mg/kg/kali
Fexofenadin
Loratadin
6-11 tahun: 30 mg
> 12 tahun: 60 mg
Dewasa : 120 mg
2-5 tahun: 5 mg
Frekuensi
Setiap 6-8 jam
Setiap 6-8 jam
Setiap 8 jam
6-24 bulan: 2 kali/hari
>24 bulan: 1 kali/hari
2 kali/hari
1 kali/hari
1 kali/hari
73
> 6 tahun: 10 mg
6-11 bulan: 1 mg
1-5 tahun: 1,25 mg
6-11 tahun: 2,5 mg
>12 tahun: 5 mg
Desloratadin
1 kali/hari
Antihistamin H2
Cimetidine
Ranitidine
B. Penanganan Khusus 27
Dilakukan sesuai dengan diagnosis jenis urtikaria
C. Penanganan Topikal 28
Untuk mengatasi pruritus, dapat diberikan lotion calamin atau bedak salisilat.
Urtikaria kronim biasanya lebih sukar diatasi. Idealnya adalah etap identifikasi dan
menghilangkan faktor penyebab, namun hal ini juga sulit dilakukan. Untuk ini, selain
antihistamin H1, juga dapat menambahkan obat antihistamin H2. Kombinasi lain
yang dapat diberikan adalah antihistamin H1 dan H2 pada malam hari atau
antihistamin H1 dengan antidepresan trisiklik. Pada kasus berat dapat diberikan
antihistamin H1 dengan kortikosteroid jangka pendek. 31,32,33
Suportif
Lingkungan yang bersih dan nyaman (suhu ruangan tidak terlalu panas atau
pengap, dan ruangan tidak penuh sesak). Pakaian, handuk, sprei, dibilas bersih
Indikasi Rawat
74
75
Gambar 29. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and
immunology dan The National Institute of Allergy and infections disease
A. Etiologi
1. Faktor Genetik
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada
penderita . Bila ada orang tua menderita alergi kita harus mewaspadai tanda
alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang menderita
gejala alergi maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 20 40%, ke
dua orang tua alergi resiko meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila
tidak ada riwayat alergi pada kedua orang tua maka resikonya adalah 5
76
15%. Pada kasus terakhir ini bisa saja terjadi bila nenek, kakek atau saudara
dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja gejala alergi pada saat anak
timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak berkurang.43,44
2. Maturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia
dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak
mengalami alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu
terjadi karena belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik
integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya
alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim
pencernaan menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada
permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal
allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur (tidak matang) system
pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga
memudahkan allergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel yang
mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui
di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan
maturasi (kematangan) sistem kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi
sampel serum yang mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar
pada bayi berumur kurang 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar
antigen setelah usia 3 bulan. Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti
secara prospektif dari lahir sampai usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi
makanan terjadi selama tahun pertama kehidupan.45
3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat
terjadi sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada
janin terhadap penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada
masa bayi. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang
hipersensitif terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Beberapa
77
jenis makanan yang dikonsumsi ibu akan sangat berpengaruh pada anak
yang mempunyai bakat alergi. Pemberian MPASI (makanan pendamping
ASI) meningkatkan angka kejadian alergi.45,46
4. Pencetus Alergi Makanan
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan
tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah
glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekulmolekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik
secara langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik
misalnya pemberian panas dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas
sampai derajat tertentu. Pada pemurnian ditemukan allergen yang disebut
sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton.
Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing
dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian
alergen pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan walau jumlahnya
tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai allergen utama pada telur. Pada
susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG),
Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama
Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen
utama pada gandul. Diantaranya BLG adalah alergen yang paling kuat
sebagai penyabab alergi makanan. Protein kacang tanah alergen yang paling
utama adalah arachin dan conarachi.41
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi
yang berbeda pula, misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan
kulit berupa urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa
papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul).
Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal
ini juga tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun
78
demikian ada beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis
makanan tidak spesifik menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi
bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh
pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya
alergi disebut faktor pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor
fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus atau bakteri, minuman dingin,
udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas berlebihan tertawa,
menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress
atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme yang
mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat.
Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita.
Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat.41
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi
menyulut terjadinya serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor
pencetus tidak akan terjadi. Bila anak mengkonsumsi makanan penyebab
alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau gejala alergi yang
timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab
alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini
yang dapat menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan,
kelelahan atau aktifitas berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh.
Karena saat itu penderita tersebut sementara terhindar dari penyebab alergi
seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak mengkonsumsi
makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya
keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi
dingin pada anak adalah tidak sepenuhnya benar.44
B. Patofisiologi
Alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya
mengekspresikan pada sel T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T
tersensitisasi dan akan merangsang sel B menghasilkan antibody dari berbagai
79
subtype. Allergen yang utuh akan diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak
dan mencapai sel-sel pembentuk antibody di dalam mukosa usus dan organ
limfoid usus, yang pada kebanyakan anak-anak membentuk antibody dari
subtype IgG, IgA dan IgM. Pada anak-anak atopi cenderung membentuk IgE
lebih banyakyang selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran
cerna, saluran nafas dan kulit. Bayi yang sangat atopi juga mendapatkan
sensitisasi melalui air susu ibu terhadap satu makanan yang dikonsumsi ibu.
Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap suatu makanan, misalnya susu, juga
mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi terhadap
makanan lain. Pembuatan antibody IgE dimulai sejak paparan awal fdan
berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi.komplemen akan mulai mengalami
aktivasi oleh kompleks antigen antibody.44,45
Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel
radang misalnya neutrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi
peradangan. Aktivasi komplemen dan terjadinya kompleks imun akan menarik
neutrofil. Kombinasi allergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi ketka IgE
telah melekat pada sel mast, atau ketika IgE masih belum melekat pada sel mast,
atau IgE telah melekat pada sel mast kemudian diaktivasi oleh pasangan
nonspesifik. Kombinasi ini akan menimbulkan degranulasi mediator. Gejala
klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin dan kerusakan jaringan
yang ditimbulkannya.45
80
2.
Sistem Hormonal
3.
81
darah rendah,
D. Diagnosis Klinis
Jenis alergi makanan di tiap negara berbeda-beda tergantung umur dan kebiasaan
memakan makanan tertentu. Hingga kini diagnosis alergi makanan adalah
diagnosis klinis yang dibuktikan dengan eliminasi, provokasi makanan, dan
pemeriksaan penunjang lain yang mendukung.41
1. Uji provokasi
Untuk melakukan uji provokasi makanan pasien atau orang tua pasien
harus
diberikan
penjelasan
rinci
mengenai
prosedur
pemeriksaan,
82
Uji provokasi makanan buta ganda merupakan cara yang paling ideal
untuk menentukan adanya reaksi alergi pada makanan. Tidak ada
pemilihan makanan pada uji tersebut, semua bahan makanan dan cara
pemberian disembunyikan agar pasien tidak mengetahui jenis makanan
apa yang dimakan. Makanan dapat diubah dalam bentuk kapsul, atau
tepung sehingga, bau, rasa dan penampilan makanan tidak dapat
diketahui. Pemberian harus bertahap mulai dari jumlah yang
diperkirakan tidak menyebabkan serangan gejala alergi, kemudian
ditingkatkan 2 kali lipat setiap 15-60 menit sampai timbul gejala yang
nyata, atau dihentikan setelah mencapai 8-10 gram makanan kering atau
60-100 gram makanan basah dosis tunggal. Jika provokasi buta ganda
sampai 8 gram makanan kering hasilnya negative maka makanan
tersebut boleh dicoba secara terbuka yang dianjurkan dilakukan dengan
pengawasan. Selama provokasi catat skor gejala yang diamati, selama 2
jam.47
83
2. Uji kulit
Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch test), uji tusuk
(prick test), dan uji suntik intradermal. Dapat dilakukan sebagai pemeriksaan
penyaring dengan menggunakan ekstrak allergen yang lazinya ada di
lingkungan penderita, misalnya: allergen tungau, kapuk, debu rumah, bulu
kucing, tepung sari rumput, atau allergen makanan seperti susu, telur,
kacang, ikan).43
3. Darah tepi
Hitung jenis leukosit dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi, dan bila eosinofilia >5% atau >500/ml condong pada alergi. Hitung
leukosit <5000/ml disertai neutropenia <30% sering ditemukan pada alergi
makanan.46
4. IgE total dan spesifik
Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (paper radioimmunosorbent test) atau
yang sepadan, berguna untuk menentukan status alergi penderita. Harga
normal adalah 100 /ml sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 300
/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita mengalami atopi, atau
mengalami infeksi parasit, atau keadaan depresi imun selular. Pemeriksaan
IgE spesifik dilakukan dengan RAST (radio allergosorbent test). IgE
spesifik terhadap makanan tertentu dapat dipakai sebagai prediksi adanya
reaksi alergi tipe cepat dan tipe lambat terhadap makanan tersebut.46,47
5. Antibodi mononuclear dalam sirkulasi
Adanya antibody terhadap susu sapi pada anak usia kurang dari 3 tahun
dapat dipakai sebagai pertanda alergi terhadap susu sapi. Tetapi pada anak
besar dan usia dewasa kadar antibody nonreaginik terhadap susu sapi dapat
saja meningkat
walaupun ternyata
alergi terhadap
makanan
lain.
84
menunjukkan
peningkatan
85
F. Prognosis
Pada prinsipnyanya alergi tidak bisa disembuhkan. Dermatitis atopik akan
berkurang pada usia 12 tahun akan tetapi ada kemungkinan organ sasaran
berpindah karena 50-80% anak ini akan mengalami rhinitis alergik dan asma.
Alergi makanan yang mulai pada usia 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih
baik karena ada kemungkinan kurang lebih 40% dari mereka akan mengalami
grow-out. Anak yang mengalami alergi pada usia 15 tahun ke atas cenderung
untuk menetap, tetapi toleransi terhadap susu, telur dan kedelai cukup sering
dijumpai.44
Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, tetapi alergi makanan biasanya
akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas
saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran
cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran
cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan
berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan
berkurang
secara
bertahap.
Perbaikan
gejala
alergi
makanan
dengan
86
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug
Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap
pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian
penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar 3% seluruh pasien yang dirawat
di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan.
Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal
setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat yang
sering timbul adalah: 49
eksantem makulopapuler sebanyak 91,2%,
urtikaria sebanyak 5,9%, dan
vaskulitis sebanyak 1,4%
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah:
1. Jenis kelamin48
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli
yang mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. Sistem imunitas43
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan sistem imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi eksantematosa
10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia50
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anakanak dan orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena
perkembangan sistim immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada
orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak
dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya
87
onset erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
4. Dosis49
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang
sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering
obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi alergi
pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan 47
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan
human herpes virus (HHV)- umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
6. Atopik42
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun
demikian, berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di
rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak
menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan umur, penyakit
penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan
perawatannya.50
2). Patogenesis
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah
mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.
Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang
menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme
non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi
antar obat dan perubahan dalam metabolisme. 51
88
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment
Options. In: American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access
on: June 3, 2007. Available at: www.aafp.org/afp
89
b. Mekanisme Imunologis
Tipe I (Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama
dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali
obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,
bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan
bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling
ditakutkan adalah timbulnya syok. 48
Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada
sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir
dengan lisis. 2,4
Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks
antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu
tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem
komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai
akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. 5,8
Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen. 49
90
Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibodydependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras
media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang
terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari
sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam
arachidonat sel.53
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi
anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah
kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti
hiperpigmentasi generalisata diffuse.48
d. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat
dijelaskan.3
e. Manifestasi Klinis
Morfologi dan Distribusi
Perlu diketahui bahwa erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai
kemiripan dengan gangguan kulit lain pada umumnya, gangguan itu diantaranya;
a. Urtikaria
Kelainan kulit terdiri atas urtika yang tampak eritem disertai edema akibat
tertimbunnya
serum dan disertai rasa gatal. Bila dermis bagian dalam dan jaringan subkutan
mengalami edema, maka timbul reaksi yang disebut angioedema. Angioedema
ini biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2
jam. Tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Pelepasan
mediator inflamasi dari suatu aktifasi yang bersifat non imunologis juga dapat
menimbulkan reaksi urtikaria. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan
91
dengan Ig-E sebagai suatu respon cepat terhadap penisilin maupun antibiotik
lainnya. Obat lain misalnya angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor
dalam jangka waktu satu jam juga dapat menimbulkan urtikaria. 27
Gambar 33. Urtikaria yang disebabkan oleh penggunaan penisilin
b. Eritema
Kemerahan pada kulit akibat melebarnya pembuluh darah. Warna merah akan
hilang pada penekanan. Ukuran eritema dapat bermacam-macam. Jika besarnya
92
lentikuler maka disebut eritema morbiliformis, dan bila besarnya numular disebut
eritema skarlatiniformis. 28
c. Dermatitis medikamentosa
Gambaran klinisnya memberikan gambaran serupa dermatitis akut, yaitu
efloresensi yang polimorf, membasah, berbatas tegas. Kelainan kulit menyeluruh dan
simetris. 47
d. Purpura
Purpura ialah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan pada kulit yang
tidak hilang bila ditekan. Purpura dapat timbul bersama-sama dengan eritem dan
biasanya disebabkan oleh permeabilitas kapiler yang meningkat.. 29
e. Erupsi eksantematosa
Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksantematosa.
Erupsi yang muncul dapat berbentuk morbiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa
didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ini ditandai dengan perubahan
warna kullit dari merah terang ke warna coklat kemerahan, yang disertai dengan
adanya deskuamasi kulit. 2,7 Erupsi eksantematosa dapat disebabkan oleh banyak obat
termasuk penisilin, sulfonamid, dan obat antiepiletikum. Dari hasil data laboratorium
diketahui bahwa T sel juga ikut terlibat dalam reaksi ini karena sel T dapat
menangkap jenis obat tanpa perlu memodifikasi protein dari hapten. 7 Jika kelainan ini
timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum. 22
Tabel 6 Beberapa obat yang dapat menimbulkan erupsi eksantematosa
93
Sumber: Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical
Press.
2006.
Access
on:
June
3,
2007.
Available
at:
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
Tempat predileksi disekitar mulut, terutama di daerah bibir dan daerah penis
pada laki-laki, sehingga sering disangka penyakit kelamin. Apabila adanya residif di
tempat yang sama maka disebut dengan eksantema fikstum.2
Gambar 34. Sejumlah papul berwarna pink pada daerah dada disebabkan
oleh penggunaan obat golongan sefalosporin.
94
95
terlihat adanya eritema tanpa skuama, skuama justru baru akan timbul pada stadium
penyembuhan.52
h. Erupsi pustuler
Ada jenis erupsi, pertama erupsi akneiformis dan kedua Pustulosis
Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA).
46,47,48
96
Gangguan ini dapat muncul kembali pada 35-50 persen kasus sebagai
pemphigus foliaceus. 47
Fixed Drug Eruption (FDE). Lesi baru akan timbul satu minggu sampai dua
minggu setelah paparan pertama kali dan akan diikuti timbul lesi berikutnya
dalam jangka waktu 24 jam. FDE ini akan terlihat sebagai makula yang
soliter, eritematosa dan berwarna merah terang dan dapat berakhir menjadi
suatu plak edematosa. Lesi biasanya akan muncul di daerah bibir, wajah,
tangan, kaki dan genitalia. Apabila penderita memakan obat yang sama, maka
FDE akan muncul kembali ditempat yang sama. Histologisnya, FDE serupa
dengan erythema multiformis yang ditandai dengan adanya limfosit di
dermal-epidermal junction dan perubahan degeneratif dari epitel yang disertai
diskeratosis. FDE kronis memberikan gambaran acanthosis, hiperkeratosis,
dan hipergranulosis dan dapat ditemukan eosinofil dan neutrofil. Terdapat
peningkatan jumlah sel T helper dan sel T supresor pada tempat lesi. 48
Gambar 35. Makula erimatosa yang berbatas tegas di daerah lengan
pada penderita FDE
97
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit kulit akut dan berat
dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan
98
pada selaput lendir di orifisium genitalia eksterna dan mata. Kelainan pada
kulit dimulai dengan eritema generalisata kemudian timbul banyak vesikel
dan disertai purpura di wajah, ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit
dapat disertai kelainan pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi dan
ekskoriasi. Lesi kulit dimulai dengan makula dan papul eritematosa kecil
(morbiliformis) disertai bula lunak (flaccid) yang dengan cepat meluas dan
bergabung. Pada NET yang penting ialah terjadinya epidermolisis, yaitu
epidermis terlepas dari dasarnya dengan gambaran klinisnya menyerupai luka
bakar.49 Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit
yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan
terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena
tekanan, yakni punggung, aksila, dan bokong. Pada sebagian pasien kelainan
kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura tanpa disertai erosi, vesikel, dan
bula. Pada NET, kuku dapat terlepas dan dapat terjadi bronkopneumonia.
Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal. Umumnya
NET terjadi pada orang dewasa. NET merupakan penyakit berat dan sering
menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau
sepsis. 49,50
3). Perjalanan Penyakit
Penggolongan alergi obat dapat didasarkan pada selang waktu timbulnya gejalagejala alergik sesudah pemberian obat sebagai berikut:
99
Sumber: Purwanto SL. Alergi Obat. In: Cermin Dunia Kedokteran. Volume 6. 1976.
Accessed on: June 3, 2007. Available from: www-portalkalbe-files-cdk-files07AlergiObat006_pdf-07AlergiObat006.mht
Reaksi alergik yang segera (immediate), terjadi dalam beberapa menit dan
ditandai dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa
maka disebut syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai
72 jam sesudah pernberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria.
Kadang-kadang berupa rash morbilliform atau edema laring. Reaksi yang lambat
(late) timbul lebih dari 3 hari. Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini
ditimbulkan oleh antibodi IgG, tetapi beberapa reaksi hemolitik dan exanthem
dihubungkan dengan antibodi IgM.46
4). Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab
erupsi obat alergi adalah: 9
1. Pemeriksaan in vivo
o Uji tempel (patch test)
o Uji tusuk (prick/scratch test)
o Uji provokasi (exposure test)
2. Pemeriksaan in vitro
100
1,4
101
Faktor kronologis
yang
timbul:
demam,
pruritus,
perbesaran limfonodus
Catat semua obat yang dipakai pasien dan waktu pertama
pemakaiannya
Waktu ketika timbulnya erupsi
Interval waktu saat pemberian obat dengan munculnya
erupsi kulit
102
Literatur
cairan
via
infus
bila
perlu.
Pengaturan
keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
103
berupa glukosa 5%
Pada
kelainan
urtikaria,
eritema,
dermatitis
104
2. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat
2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -1% untuk
mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan
kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.49
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan
topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% sampai 2
%.49,50
Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian-sebagian. 52
Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk
lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim sulfadiazin
perak. 49
7). Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya
eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindrom Steven Johnson,
prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila
kelainan meliputi 50-70% permukaan kulit. 51,52
Tabel 9. Algotritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi alergi obat.
105
Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
American Family Physician. Volume 68, Number 9. 2003. Access on: June 3, 2007.
Available at: www.aafp.org/afp
106
107
108
predisposisi genetic ini adalah HLA B*1502 pada orang Asia dan India yang
terpajan dengan karbamazepin dan HLA*B5801 pada populasi Han di Cina
yang terpajan dengan allopurinol. Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya
TEN meningkat 1000 kali lebih tinggi dari populasi umum48
Angka kematian bervariasi pada sebagian besar kasus dimana hanya
dilakukan terapi suportif, dan diketahui bahwa angka ini sangat bergantung
pada berbagai faktor seperti usia pasien dan luas lesi. Angka kematian pada
pasien dengan TEN 25-5-%, dan 5% pada SJS 51.
Penggunaan obat dilaporkan pada lebih dari 95% pasien denganTEN.
Hubungan erat antara konsumsi obat dengan munculnya erupsi kutaneus
dilaporkan pada 80% kasus. Penyebab lainnya yang jarang dapat berupa infeksi
dan
imunisasi.
Penelitian
melaporkan
hubungan
yang
kurang
jelas
(dibandingkan TEN) antara konsumsi obat dengan SJS, dimana hanya 50%
yang dinyatakan berhubungan dengan obat. Lebih dari 100 jenis obat yang telah
diidentifikasi berhubungan dengan SJS/TEN1. Menurut penelitian oleh Adhi
Djuandaa selama 5 tahun (1998-1002) pada pasien SJS, diduga alergi obat
tersering adalah analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu
(13.3%). Kausa lainnya berupa amoksisilin, kotrimoksasol, klorokuin,
seftriakson dan adiktif51.
Allopurinol
Amithiozone (Thioacetazonde)
109
Antiretroviral
Barbiturate
Carbamazepine
Chlormezanone
Phenytoin
Piroxicam
Sulfadiazine
Sulfasalazine
Trimethoprim-sulfametoxazol
Aminopenicillin
Pada umumnya risiko terjadinya SJS/TEN paling tinggi pada minggu-minggu awal dari
terapi. Lebih jauh lagi, obat-obatan dengan waktu paruh lama lebih sering mengakibatkan reaksi
obat dan akibat fatal dibandingkan obat dengan waktu paruh singkat. 52
110
4). Patogenesis
Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang
terjadi dalam SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa SJS/TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh
dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan
adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari
reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu 1. Patogenesis
utama diduga akibata adanya proses hipersensitivitas tipe II
(sitotoksik)4,5.
111
112
113
114
115
117
118
a.
b.
c.
SJS
SJS-TEN overlap
TEN
EM
harus
ada
typical
target
lesion,
sedangkan
SJS
pula terjadi dalam 2 hari dalam kasus re-exposure obat yang sebelumnya
pernah memicu SJS/TEN. Pada umumnya, pengobatan untuk pasien dengan
SJS atau TEN harus dibatasi hingga batas minimum, penggunaan obat
substitusi yang sesuai dan lebih dipilih obat-obatan dengan waktu paruh
singkat52 .
6). Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari SJS dan TEN yaitu EM, SSSS, AGEP dan
generalized fixed drug eruption. Pemfigus paraneoplastik, drug-induced
linear IgA bullous dermatosis (LABD), penyakit Kawasaki, lupus
eritematosus, dan eritema toksik akibat kemoterapi juga dapat dipikirkan
sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan klinisnya 43
Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion,
sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya
atipikal. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah
agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini
harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran
konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada
EM53
SSSS biasanya terjadi pada anak-anak dan neonates, namun dapat pula
terjadi
pada
dewasa
yang
menderita
gagal
ginjal
dan
pasien
bukan jaringan dermis yang basah dan berwarna merah terang seperti pada
TEN. Pada SSSS sering didapatkan adanya nasal discharge yang purulen51.
AGEP, yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak
sebagai area eritema yang luas dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di
atasnya. Adanya neutrofilia dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan
membedakan dengan diagnosis TEN. Nikolsky sign dapat positif sehingga
tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Keterlibatan membran
mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah satu pemeriksaan
yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang padat
dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness
epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption
dapat menyerupai SJS naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu
ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali52.
7). Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya tidak khas. Bila terdapat
leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bacterial. Bila
terdapat eosinofilia, kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya
karena infeksi dapat dilakukan kultur darah50.
8). Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis
secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan
suportif dan terapi spesifik51.
122
utama
kematian.
Komplikasi
meliputi
hipovolemia,
mulut. Penutup dari silicon dapat digunakan untuk menutup area yang erosi.
Silicone dressing tidak perlu diganti dan dapat dibiarkan meenutup sampai
terjadi reepitelisasi lesi, namun permukaannya tetap harus dibersihkan setiap
hari dengan NaCl steril. Pilihan lainnya adalah menempatkan penutup yang
tidak melekay (non-adherent dressing) misalnya Exu-Dry di atas kulit pasien
dan di atas tempat tidur48,49.
Untuk mata, disarankan untuk dilakukan pemeriksaan berkala oleh
ophthalmolog. Kelopak mata hdibersihkan setiap hari dengan NaCl steril
serta pemakaian antibiotik topikal khusus untuk mata pada kelopak mata
pasien. Tetes mata antibiotic juga perlu diberikan untuk mencegah kolonisasi
bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya jaringan parut. Lubang hidung
juga harus diberihkan setiap hari dengan cotton bud steril yang dibasahi NaCl
steril dan setelahnya dibeikan antibiotik topikal. Mulut harus dibersihkan
juga beberapa kali sehari dengan spuit berisi NaCl steril. Pada regio
anogenital dan interdigital, perawatan kulit dilakukan setiap hari dengan
mengoleskan silver nitrate solution (0.5%) pada kasus dengan maserasi atau
hanya NaCl steril bila tidak ada maserasi1. Sumber lain menyatakan
pengobatan topikal untuk daerah erosi dan ekskoriasi dapat diperikan krim
sulfodiazin-perak (Dermazin, Silvadene) yang berfungsi sebagai astringen
dan mencegah infeksi bakteri47.
Hingga kini, belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif baik
untuk SJS maupun TEN. Pada umumnya, terapi untuk pasien SJS berat sama
dengan terapi untuk TEN, sementara untuk pasien SJS dengan gejala ringan
dan nonprogresif hanya dibutuhkan terapi suportif. Akibat prevalensi SJS dan
TEN yang rendah, penelitian sangat sulit untuk dilakukan. Karenanya,
literatur untuk penyakit ini terutama bersumber dari laporan kasus . Pada
beberapa penelitian, beberapa terapi, termasuk siklosporrin (3-4 mg/kg/hari),
124
dengan
antibiotik
pencetus.
Obat
pilihan
antara
lain
TEN) dapat dihambat dengan antibody monoclonal terhadap FasL atau Fas,
mengindikasikan bahwa antibody ini dapat berguna dalam pengobtan TEN.
Bila digunakan dalam dosis tinggi (0.75 g/kg/hari selama 4 hari) untuk
mengobati pasien dengan TEN, IVIg secara konsisten dan cepat dapat
menghambat progresivitas penyakit dan pelepasan epidermis (epidermal
detachment) pada 10 dari 10 pasien dalam studi1,2. Penelitian lainnya juga
menunjukkan efektivitas yang kurang lebih sama, bila digabungkan, 8 dari 11
studi menunjukkan bahwa IVIg (pada dosis total >2g/kg diberikan dalam 3-4
hari) dapat mengurangi angka kematian akibat TEN51.
9). Komplikasi
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses
reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3
minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan
migrasi dari keratinosit dari area reservoir seperti jaringan epidermis yang
masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan
kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan
TEN. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak sempurna,
dan pasien yang selamat dapat terjadi sekuele berupa simblefaron, sinekia
konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari
membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan
rambut difus. Pada TEN kelainan pada mata bervariasi mulai dari sindrom
sicca hingga kebutaan terjadi pada 35% pasien yang selamat48,49,50.
126
127
Points
percent
Serum urea level > 10 mmol/L
mmol/L
Serum glucose level > 14 mmol/L
SCORTEN
0-1
3.2
12.1
35.8
58.3
90
>5
Angka kematian terjadi pada 1 dari 3 pasien dengan TEN dan paling
sering disebabkan oleh infeksi (S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa).
Kehilangan
cairan
transepidermal
yang
berat
dikaitkan
dengan
namun
tidak
untuk
menetapkan
diagnosis.
Pemeriksaan
laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel,
serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.6
129
Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes
tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai
menjadi penyebab keluhan pasien.20
Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan
jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran
klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal
dan tes provokasi bronkial.5
130
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alergi merupakan reaksi imunitas tubuh yang menjadi reaksi pertahanan
tubuh terhadap benda atau zat yang dianggap asing oleh tubuh. Secara umum
penyakit alergi di golongkan dalam beberapa golongan, yaitu dermatitis kontak alergi,
alergi atopik, alergi obat. Pada referat ini dibahas dermatitis karena alergi dan
dibandingkan dengan kontak iritan dan kedua dermatitis ini disebabkan oleh karena
etiopatogenesis yang berbeda. Dan pada dermatitis atopik merupakan reaksi alergi
tipe cepat dan berbeda dengan dermatitis kontak alergi yang merupakan tipe lambat.
Dan beberapa sindroma yang disebabkan alergi terhadap obat-obatan dan disebut
dengan drug erupsi serta kelainan kulit yang disebabkan oleh karena alergi makanan,
semuanya harus ditangani dengan tepat dan sesuai karena jenis penyakit kulit ini
berbeda penangananya sesuai dengan penyakit pada kulit.
Penanganan terhadap penyakit alergi kulit lebih diutamakan kepada
menghindari penyebab atau alergen yang sudah diketahui dapat menimbulkan reaksi
alergi. Beberapa memiliki prognosis yang baik dan sembuh total dan juga ada yang
meninggalkan gejala sisa atau sequele seperti pada NET, penyakit ini jarang yang
dapat sembuh total tetapi hanya dapat dijaga untuk menjauhi pencetusnya dan sering
terjadi eksaserbasi.
Diharapkan pada referat ini dapat menjadi bahan bacaan untuk pembaca dan
penyakit allergi kulit merupakan kelompok penyakit kulit yang banyak terjadi di
Indonesia diharapkan ilmu dan penelitian dibidan alergi kulit ini terus berjalan dan
berkembang .
Penulis memohon maaf atas banyak kekurangan yang terdapat di laporan ini
131
DAFTAR PUSTAKA
Ilmu
Kesehatan
Anak
FK-Unair/RSU
Dr.
Soetomo
21. Kariossentono H. Dermatitis Atopik (Eksema). Cetakan I.LPP UNS dan UNS
Press. Surakarta. 2006. Hal.8-12.
22. Graham B.R., Dermatologi.Edisi VIII. Erlangga.Jakarta.2005.Hal.73-74.
23. Simpson E.L., & Hanifin J.M., Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am
Acad Dermatol. 53(1) tahun 2005 . Hal : 115-28.
24. Bhakta I.M., Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. dalam Ari W.S., Bambang
S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.s (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2006. Hal: 632-35
25. Robertison A. Asthma and other atopic disease in Australia Children. MJA.
1998; Hal 168: 434-38
26. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2009. Hal 33042.
27. Aisah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 169-75.
28. Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ Books;
2003. Hal 38-9.
29. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T, Breathnach
S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.
Oxford: Blackwell Science; 2004. Hal 47.12-47.27.
30. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis. Clinical
Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. Hal 94-9.
31. Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2008. Hal 471.
32. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical and
etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, Feb 4]. Hal: 111-121
33. Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibat alergi
makanan. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 159.
34. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. Dermatology: An Illustrated
Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003. Hal 72-8.
134
35. Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL, Jorizzo
JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier;
2008. Hal: 221-233
36. Hamzah M. Eritema multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 162.
37. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified
disorders.
Management. 1st ed. London: Taylor & Francis; 2005. Hal 179-80.
38. Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. Hal 337-8.
39. Brehmer
E,
Andersson.
Acute
allergic
urticaria/angioedema.
Dermatopathology: A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. Hal 195-7.
40. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah M,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI;
2005. Hal. 211.
41. Greaves MW. Drug therapy of urticaria.
135
136