Professional Documents
Culture Documents
84
Gambar 1
Model Expected dan Perceived Service Quality
Boulding et al. (1993) menganalisis kualitas pelayanan dengan menggunakan gap analysis.
Kesenjangan kualitas pelayanan diartikan sebagai kesenjangan antara pelayanan yang
seharusnya diberikan dan persepsi konsumen atas pelayanan aktual yang diberikan. Semakin
kecil kesenjangan tersebut, semakin baik kualitas pelayanan.
Gambar 2
Pengukuran Kinerja
Level
Kinerja
Standar
gap
Kinerja Aktual
Waktu
Dari berbagai definisi mengenai gap analysis, dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum,
gap analysis dapat didefinisikan sebagai suatu metode atau alat yang digunakan untuk
mengetahui tingkat kinerja suatu lembaga atau institusi. Dengan kata lain, gap analysis
merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui kinerja dari suatu sistem yang
sedang berjalan dengan sistem standar. Dalam kondisi umum, kinerja suatu institusi dapat
tercermin dalam sistem operational maupun strategi yang digunakan oleh institusi tersebut.
85
Gap akan bernilai (+) positif bila nilai aktual lebih besar dari nilai target, sebaliknya bernilai (-)
negatif apabila nilai target lebih besar dari nilai aktual. Apabila nilai target semakin besar dan
nilai aktual semakin kecil maka akan diperoleh gap yang semakin melebar. Secara sederhana
pengukuran kinerja dengan menggunakan pendekatan ini digambarkan pada Gambar 2.
Secara singkat, gap analysis bermanfaat untuk:
1. menilai seberapa besar kesenjangan antara kinerja aktual dengan suatu standar kinerja
yang diharapkan.
2. mengetahui peningkatan kinerja yang diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut,
dan
3. menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait prioritas waktu dan biaya yang
dibutuhkan untuk memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan.
86
masyarakat tidak memeiliki responsibilitas, responsivitas dan tidak representatif sesuai dengan
keputusan masyarakat. Contoh yang nyata adalah kurang memuaskannya pelayanan rumah
sakit negeri di bandingkan pelayanan rumah sakit swasta. Flynn (1990) mengemukakan
bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis cenderung bercirikan over
bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing.1
Banyaknya penyimpangan yang terjadi tersebut diakibatkan karena paradigma aparatur
negara yang masih menempatkan dirinya pada posisi dilayani bukan melayani. Padahal
pemerintah seharusnya pada posisi melayani bukan dilayani. Untuk memperoleh pelayanan
publik yang berkualitas, sepatutnyalah aparat pemerintah merubah paradigma yang kurang
tepat tersebut. Perubahan pola paradigma tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
reformasi paradigma atau penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang
semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi
kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan menggunakan pola tersebut maka
perbaikan pelayan publik dapat dilakukan serta dapat menjamin partisipasi masyarakat dalam
peningkatan kualitas pelayanan publik.
Dalam era otonomi daerah saat ini,pelayanan publik harus menjadi lebih responsif terhadap
kepentingan publik, yaitu pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang
berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government). Pengelolaan customer-
driven government mempunyai beberapa ciri-ciri khusus, antara lain:
1. terfokus pada fungsi pengaturan dengan berbagai kebijakan yang memfasilitasi
berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat,
2. terfokus pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki
yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan publik,
3. Adanya sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas,
4. terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang mempunyai orientasi pada
hasil (outcomes) sesuai dengan masukan,
5. mengutamakan keinginan masyarakat,
6. adanya akses kepada masyarakat serta resposif terhadap pendapat masyarakat,
7. mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan yang diberikan,
8. mengutamakan desentralisasi pelayanan publik,
9. penerapan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Menurut hasil survai yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum terdapat
peningkatan kualitas pelayanan publik setelah diberlakukannya otonomi daerah namun, dilihat
dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih
jauh dari yang diharapkan.2 Selain itu, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan,
antara lain (Mohamad, 2003):
1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai
pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan
penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun
harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat,
lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat
kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan
kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
1
http://www.goodgovernance-bappenas.go.id/konsep_files/makalah%20pelayanan%20publik.htm
2
ibid.
87
5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan
melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian
pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan,
kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat
kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan
penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika
pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan
memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
6. Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat
pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari
masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada
perbaikan dari waktu ke waktu.
7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan)
seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama sistem pelayanan publik adalah
terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan pelayanan yang diberikan pehuh
dengan birokrasi yang berbelit-belit serta tidak terkoordinasi. Terdapat beberapa kelemahan
mendasar pelayan publik oleh pemerintah antara lain (Suprijadi, 2004):
1. Kesulitan pengukuran output maupun kualitas pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah.
2. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line”. Bottom line mengandung maksud
bahwa seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah
bangkrut.
3. Organisasi pelayanan publik oleh pemerintah cenderung mengadapi permasalahan
internalities. Hal ini beberbeda dengan permasalahan yang mendera organisasi yang
bergerak dengan mekanisme pasar yang cenderung mengalami permasalahan
eksternalities. Internalities. Mengandung arti bahwa organisasi pemerintah sangat sulit
mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat terhadap kepentingan
umum masyarakat yang seharusnya dilayani.
4. Sebab lain yang mendasari kelemahan pelayanan publik adalah karena sebagian besar
peleyanan yang diperikan oleh pemerintah bersifat monopoli yang tidak menghadapi
permasalahan persaingan pasar.
88
3. Dimensi keterlibatan (responsiveness) yang mengacu kepada peran serta, dapat
digunakan untuk mengukur tingkat keterlibatan petugas dalam proses pelayanan terhadap
masyarakat.
4. Dimensi keterjaminan (assurance) merupakan kualitas pelayanan dilihat dari sisi
kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Dimensi yang meliputi
kecakapan, keramahan dan kepercayaan dan keamanan ini dapat digunakan untuk
mengukur performa petugas dalam memberikan rasa percaya dan rasa aman serta
kepuasan kepada masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah dengan adanya
kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan.
5. Dimensi empati (empathy) yang meliputi kemampuan komunikasi dan ketanggapan dapat
digunakan untuk mengukur sikap dan motivasi petugas dalam memberikan pelayanan.
Dimensi ini merupakan kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh
perhatian terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya
sopan santun petugas dan bantuan khusus dari petugas selama proses pelayanan
berlangsung.
Cara-cara tersebut di atas harus ditunjang dengan dengan lima aspek utama, yaitu prosedur,
persyaratan pelayanan, sarana dan prasyarana yang dibutuhkan, waktu dan biaya, dan
pengaduan keluhan (Parasurarman et al., 1985). Hal-hal tersebut perlu diperhatikan oleh
penyedia pelayanan publik untuk memperoleh kualitas yang baik.
89
adalah standar pelayanan tidak tertulis dan diasumsikan telah dimengerti oleh seluruh staf
Pemerintah Daerah (Padmodimuljo, 2003a).
Dalam kaitannya dengan formalitas penyusunan standar pelayanan, terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan sulitnya menyusun standar pelayanan. Faktor-faktor
tersebut adalah komitmen Pemerintah Daerah terhadap kualitas pelayanan (commitment
to service quality), penentuan tujuan (goal setting), standarisasi tugas (task
standardization), dan persepsi terhadap kelayakan (perception of feasibility).
Hasil studi Padmodimuljo (2003a) menunjukkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi
formalitas penyusunan standar pelayanan adalah goal setting. Oleh karena itu, perlu
definisi tujuan pelayanan umum yang diberikan oleh Pemerintah Daerah secara terukur,
jelas, dan spesifik. Informasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk
mencegah adanya persepsi mengenai tujuan ini sehingga hasil gap analysis tidak
memberikan kesimpulan dan arah yang keliru (misleading).
3. Penyebaran kuesioner atau wawancara terfokus terhadap masyarakat dan Pemerintah
Daerah yang terkait dengan penyediaan pelayanan yang dimaksud.
Isi kuesioner dan wawancara disesuaikan dengan desain gap analysis yang akan
dilakukan. Pertanyaan kuesioner dan wawancara mencakup aspek dan dimensi yang akan
diukur. Dimensi pelayanan yang telah dijelaskan di atas adalah dimensi fisik, dimensi
keterlibatan, dimensi ketepatan, dimensi keterjaminan, dan dimensi empati.
Untuk memudahkan pengukuran secara kuantitatif, maka setiap dimensi yang dinilai diberi
skala atau skor.
4. Analisis Data dengan menggunakan statistik deskriptif
a. Perhitungan rata-rata skor untuk setiap pasangan faktor yang sedang dikalkulasi
kesenjangannya. Sebagai contoh, apabila sedang menghitung kesenjangan antara
tingkat pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat daerah dengan kinerja
pelayanan aktual yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka dilakukan
perhitungan rata-rata tingkat pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat (expected
service) dan perhitungan rata-rata untuk kinerja pelayanan aktual yang diberikan
Pemerintah Daerah atau yang dirasakan oleh masyarakat (perceived service).
Perhitungan rata-rata skor dilakukan dengan menggunakan formula berikut.
X 1 + X 2 + ..... + X n ∑ X
X= = (1)
n n
keterangan
X : Nilai rata-rata
X : Variabel yang diukur
n: Jumlah observasi
Perhitungan tersebut dilakukan untuk masing-masing dimensi yang telah disebut di
atas.
b. Perhitungan Kesenjangan untuk Masing-masing Dimensi
Untuk contoh kasus di atas, kesenjangan untuk setiap dimensi dihitung sebagai:
Kesenjangani (Gi) = Rata-rata expected servicei – Rata-rata perceived servicei (2)
c. Perhitungan Rata-rata Kesenjangan
Untuk mengetahui kesenjangan pelayanan secara umum, maka dilakukan
perhitungan rata-rata kesenjangan G sebagai berikut.
Apabila masing-masing dimensi memiliki tingkat kepentingan yang sama (bobot
yang sama, maka rata-rata kesenjangan dihitung sesuai dengan Persamaan (1) di
atas.
90
Apabila masing-masing dimensi memiliki tingkat kepentingan yang bebeda (bobot
yang berbeda), maka rata-rata kesenjangan dihitung berdasarkan formula rata-
rata tertimbang (weighted average) sebagai berikut.3
G = Σ(wi ⋅ X i ) (3)
keterangan
wi : bobot dimensi i
Apabila G > 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat lebih tinggi daripada
kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah
Daerah perlu meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan publik.
Apabila G < 0, maka kualitas yang diharapkan masyarakat lebih rendah daripada
kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah
Daerah dianggap telah memberikan pelayanan yang baik.
91
reliability yaitu yang terkait dengan waktu pengiriman sampai di tujuan yang sulit diprediksi,
khususnya paket (Padmodimuljo, 2003a).
Sementara itu, kualitas pelayanan yang diberikan PT. TASPEN pada tahun 2003 tergolong
baik. Hal ini terlihat dari skor kualitas pelayanan yang dirasakan konsumen rata-rata 6,2 dari
skala 7,00. Sementara harapan konsumen akan kualitas pelayanan adalah 6,63 atau sedikit di
atas pelayanan yang telah mereka rasakan (Padmodimuljo, 2003b).
92
jumlah tenaga penyuluh, dan jumlah penderita demam berdarah. Pada tahun 2008,
Pemerintah Bekasi memiliki target untuk mengurangi jumlah penderita demam berdarah
sebanyak 50 persen dari jumlah penderita di tahun 2003. Dengan demikian, Pemerintah
Bekasi harus mampu menurunkan jumlah pasien 10 persen per tahun. Berdasarkan hasil
analisis yang dilakukan pada tahun 2004 ternyata Bekasi hanya mampu menurunkan jumlah
penderita sebanyak 5 persen dari total penderita di tahun 2003.
Informasi menunjukkan bahwa jumlah penderita demam berdarah pada tahun 2003 sebanyak
100 orang, sedangkan pada tahun 2004 berkurang menjadi 95 orang. Apabila Pemerintah
Bekasi ingin menurunkan penderita demam berdarah menjadi 50 orang pada tahun 2007,
maka gap antara realisasi kinerja puskesmas dengan target yang ditetapkan sebesar 45
persen untuk diselesaikan dalam jangka waktu empat tahun.
Berdasarkan perhitungan tersebut, Pemerintah Bekasi dapat melakukan persiapan mengenai
realisasi program kesehatan yang akan dilakukan dalam empat tahun ke depan. Gap analysis
ini akan mempermudah Pemerintah Bekasi dalam merencanakan tahapan program yang
realistis.
93
Referensi Utama
Boulding, W. et al., 1993, ”A Dynamic Process Model of Service Quality: From Expectations to
Behavioral Intentions,” Journal of Marketing Research, 30, 281-301.
Flynn, N. 1999, Public Sector Management, Harvester Wheatsheaf, London.
Mohamad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima Dalam Kapasitas PNS sebagai Abdi
Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah, disampaikan dalam Diskusi Panel
Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan
Abdi Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, pada
tanggal 23 Oktober 2003, Jakarta.
Padmodimuljo, 2003a, “Kualitas Pelayanan PT Pos Indonesia”, Laporan Penelitian.
Padmodimuljo, 2003a, “Kualitas Pelayanan PT TASPEN”, Laporan Penelitian.
Parasuraman, Zeithaml and Berry, 1985, "A Conceptual Model of Service Quality and Its
Implications for Future Research," Journal of Marketing, Fall 1985, pp. 41-50.
Purwanto, 2006, Performance-based Budgeting, Diskusi Intern DJAPK
Sudrajat, Agus, Membangun Model Pelayanan Publik Yang Dapat Memenuhi Keinginan
Masyarakat
Suprijadi, Anwar 2004. Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik,
Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal
19 Juli 2004. di Jakarta.
www.ded.missouri.gov/research andplanning/pdfs/wc_wia_na.pdf
www.doleta.gov/Programs/2004Reportsand2005Plans/pdf/APR04-M0.pdf
Zeithaml, Berry and Parasuraman, 1988, "Communication and Control Processes in the
Delivery of Service Quality," Journal of Marketing, April 1988, pp. 35-48.
http://msdisweb.missouri.edu/presentations/gap/GAP-Missouri.pdf
http://www.geocities.com/bert_tons/boros.html
http://www.goodgovernance-
bappenas.go.id/konsep_files/makalah%20pelayanan%20publik.htm
http://www.state.nd.us/ea/teams/dt/st/gap.html#gaa
http://www.ttuhsc.edu/sop/continuingEd/hipaa/Gen_GapAnalysis_Remediation.doc
94