You are on page 1of 19

OTONOMI DAERAH DAN REFORMASI

Modul 1 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH:


KAJIAN SINGKAT

Proses Otonomi Daerah di Indonesia


Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang (UU) Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 2005 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis efektif
dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut UU ini adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia.
Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan
negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan
tersebut adalah UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan berbagai
kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah
dengan melakukan amandemen UU Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di Indonesia. UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 masing-masing digantikan oleh UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi
Daerah menurut UU ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
1. eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara
demokratis
2. setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan
kesejahteraan dan demokrasi
3. kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4. pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada yang
bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
5. core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
tenaga kerja dan pemanfaatan lahan

1
Konsep Kebijakan Fiskal Daerah
Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga menyangkut
paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi mencakup
aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada level daerah. Upaya
desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses
desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang pelayanan publik
b. Peningkatan PAD
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan daerah
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiskal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran,
yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu mengidentifikasi
pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran. Sebaliknya, berdasarkan
soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu kemudian daerah mengusahakan
pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam pendekatan yang pertama,
potensi merupakan pertimbangan utama, sementara pada pendekatan kedua, kebutuhanlah
yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk menciptakan kesinambungan fiskal
daerah, maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa pendekatan hard budget constraint
lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005). Elemen
tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan,
pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi daerah adalah
melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), reformasi
sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Otonomi Daerah dan Good Governance


Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan, pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses ini membutuhkan
penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan terpadu. Adapun prinsip-
prinsip good governance adalah:1
1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil
mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang
ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat
mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu
wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk
merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif untuk

1
http://www.goodgovernance.or.id

2
menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara
partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak
tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
Berdasarkan kewenangannya, Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya
supremasi hukum dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundang-
undangan dan menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu mengupayakan adanya peraturan
daerah yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat.
Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun masyarakat
perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN).
3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat
melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi
yang akurat dan memadai.
Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif
memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya
kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur
komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi
lokal. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara
mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat
diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara
mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan
apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat.
4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang kurang
beruntung, seperti mereka yang miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses
pengambilan keputusan. Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum minoritas agar
mereka tidak tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin
adanya kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif
dan legislatif.
5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap
aspirasi masyarakat, tanpa kecuali.
Pemerintah Daerah perlu membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi
masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk
show, layanan hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat,
Pemerintah Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara
periodik mengumpulkan pendapat masyarakat.
6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas dan
mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa
memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan
secara umun sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih
efektif. Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun
secara terbuka dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat,
kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah
Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi masyarakat, serta
membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat.

3
7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala
bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka
harus mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk mengukur
kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan
perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan
harus diberi sanksi.
8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas.
Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu memberi peluang bagi
masyarakat dan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan
adanya auditor independen dari luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada
masyarakat.
9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat
dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.
Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung
mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan. Lembaga-
lembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus menginformasikan
tentang biaya dan jenis pelayananya. Untuk menciptakan efisiensi harus digunakan
teknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi
kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa.
10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan
agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang
terjangkau.
Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional yang dapat efektif memenuhi
kebutuhan masyarakat. Ini perlu didukung dengan mekanisme penerimaan staf yang
efektif, sistem pengembangan karir dan pengembangan staf yang efektif, penilaian,
promosi, dan penggajian staf yang wajar.
Penerapan Otonomi Daerah dengan mengacu pada prinsip-prinsip good governance
tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan alokasi Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke daerah.
Secara umum, sumber pendapatan daerah terutama berasal dari:
1. Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus (DAK)
dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan retribusi daerah.
Dari kedua sumber pendapatan daerah tersebut masih didominasi oleh Dana Perimbangan.
Dana Perimbangan tersebut jumlahnya cenderung selalu meningkat sejak digulirkan pada
tahun 2001 baik dilihat dari nilai nominal maupun dari persentasenya terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan domestik neto (PDN). Tabel 1 menunjukkan
pekembangan Dana Perimbangan tahun 2003-2006.
DAU adalah komponen Dana Perimbangan yang paling besar. DAU merupakan transfer dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berbentuk block grant. DAU dihitung
berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal
daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula
DAU untuk tahun 2006 disusun berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 1.
DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata,
persentase DAU terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.

4
Tabel 1
Perkembangan Dana Perimbangan 2003-2006
Dana Perimbangan Persentase
Tahun
(Trilliun) terhadap PDB
2003 111,1 5,4
2004 122,9 5,3
2005 140,6 5,3
2006 215,3 6,9
RAPBN 2007 243,9 6,9
Sumber:Data Pokok RAPBN 2007

Gambar 1
Perhitungan Formula DAU 2006
Amanat UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah

Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal


ƒ Jumlah Penduduk ƒ Potensi Ekonomi Daerah
ƒ Luas Wilayah ƒ Potensi SDA dan SDM
ƒ Pembangunan SDM

Variabel Kebutuhan Fiskal Variabel Kapasitas Fiskal


ƒ Index Jumlah Penduduk ƒ PAD
ƒ Index Luas Wilayah ƒ Bagi Hasil, SDA, PBB
ƒ Index Pembangunan Manusia BPHTB, dan PPh Pribadi
ƒ Index PDRB per Kapita
ƒ Index Kemahalan Konstruksi

Formula DAU 2006


Sumber: DJPKPD, Departemen Keuangan

Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu daerah dalam membiayai:
1. Kebutuhan khusus (UU No. 25 Tahun 2000 dan PP No. 104 Tahun 2000)
2. Kegiatan khusus (UU No. 33 Tahun 2004, PP No. 55 Tahun 2005, dan Nota Keuangan
dan RAPBN 2006)
DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari dana
tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-hal yang
termasuk kebutuhan khusus yaitu:
1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi umum dan/atau
2. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
3. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil.

5
Seperti halnya Dana Perimbangan yang selalu meningkat, besarnya DAU dan DAK juga
selalu mengalami peningkatan selama tahun 2003-2006. Selama tahun tersebut,
peningkatan DAU tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 42,1 persen dari tahun
sebelumnya.
Tabel 2
Perkembangan Nilai DAU dan DAK 2003-2006

DAU (Trilliun) DAK (Trilliun)


Tahun
Nilai Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan
2003 77,0 - 2,7 -
2004 82,1 6,6 4,1 51,9
2005 88,8 8,2 4,8 17,1
2006 145,6 63,9 11,6 141,7
RAPBN 2007 163,1 12,01 14,4 24,1
Sumber: Data Pokok RAPBN 2007

Sebagai konsekuensi dari penyaluran dana yang semakin besar, Pemerintah Daerah dituntut
untuk memiliki kemampuan manajemen keuangan daerah secara profesional. Oleh karena
itu Pemerintah Pusat melakukan reformasi di bidang keuangan negara. Reformasi di bidang
keuangan tersebut mencakup semua aspek manajemen keuangan, termasuk perencanaan,
implementasi dan pertanggungjawaban. Kondisi tersebut mensyaratkan manajemen
keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Reformasi di tingkat pusat dan
daerah ini diharapkan dapat memperkuat fundamental desentralisasi di Indonesia.

Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah


Pemerintah Daerah sekarang memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar
dalam menyediakan pelayanan publik demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat. Implementasi kebijakan Otonomi Daerah meliputi berbagai aspek, yaitu
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, bentuk dan struktur pemerintahan daerah,
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah, serta hubungan antara
Pemerintah Daerah dengan masyarakat dan pihak ketiga.
Transfer kewenangan tersebut diikuti pula oleh transfer sumber-sumber pendapatan bagi
daerah (money follow function). Istilah money follow function memiliki tiga komponen utama,
yaitu dana, tugas, dan tanggung jawab. Ketiga komponen tersebut harus ditujukan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Adapun sumber-sumber pendapatan tersebut antara
lain Dana Perimbangan, Dana Bagi Hasil, Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
1. Acuan Pengelolaan Keuangan Daerah
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, timbul
hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang sehingga perlu dikelola dalam
suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah
sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara
dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan pengelolaan
keuangan daerah, selain kedua UU Otonomi Daerah di atas, sebagai berikut.
a. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
b. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
c. UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
d. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
6
e. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja
f. PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
g. PP Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah
h. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
i. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
j. Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun
Anggaran 2007.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
merupakan peraturan yang ditetapkan sebagai aturan teknis pelaksanaan UU Nomor 32
Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Sementara itu, Permendagri Nomor 13
Tahun 2006 ditetapkan sebagai pelaksanaan dari Pasal 155 Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 58 Tahun 2005. Permendagri ini sekaligus merupakan peraturan pengganti
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta
Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD.
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah kemudian adalah
seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Pemerintah Daerah berkewajiban untuk menyampaikan laporan daerah, termasuk
lapotran pengelolaan keuangan daerah kepada Pemerintah Pusat. Hal ini membutuhkan
sistem informasi keuangan daerah (SIKD) yang tertata dengan baik. SIKD merupakan
sebuah sistem pencatatan, administrasi, dan pengelolaan data manajemen keuangan
daerah dan data terkait lainnya. Hasilnya perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan
merupakan input yang berguna dalam mendesain kebijakan daerah dalam hal
perencanaan, implementasi, dan pelaporan.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 mulai efektif dilaksanakan pada penyusunan APBD
2007. Sistem pengelolaan keuangan daerah mengalami perubahan yang mendasar
setelah diterbitkannya Permendagri tersebut. Perubahan ini, menurut stakeholder, baik
pemerintah, LSM dan anggota legislatif serta masyarakat, dapat memberikan dorongan
positif ke arah pengembangan yang lebih baik. Untuk mengimplementasikan aturan ini,
diharapkan dapat menciptakan kondisi pengelolaan keuangan lebih transparan,
akuntabel dan partisipatif.
Perubahan mendasar tersebut antara lain menyangkut penganggung jawab pengelola
keuangan, struktur APBD, proses penyusunan, dan sistem akuntansi. Dari sisi
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, terdapat desentralisasi dari kepala
daerah kepada kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD), kepala satuan
kerja perangkat daerah (SKPD), dan sekretaris daerah. Sementara dari sisi struktur
APBD, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 hanya menggolongkan belanja menjadi dua
kelompok, yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Berdasarkan peraturan tersebut, proses penyusunan dokumen rencana anggaran satuan
kerja (RASK) dipersingkat menjadi lima tahap pada SKPD dan tujuh tahap pada SKPKD.
Sebelumnya, diperlukan 11 tahap untuk penyusunan anggaran SKPD dan 14 tahap
untuk penyusunan anggaran SKPKD.

7
Adapun substansi dari perubahan tersebut dimaksudkan untuk mempertegas dan
memperjelas lingkup pengelolaan keuangan daerah dengan desentralisasi pengelolaan
keuangan, hingga tingkat manajemen terendah satuan kerja perangkat daerah, yaitu
dinas, badan, kantor, bagian serta kecamatan. Selain itu, terdapat keterkaitan antara
kebijakan anggaran dan penganggaran yang ditetapkan Pemerintah Daerah untuk
menciptakan penetapan program dan kegiatan SKPD yang tidak tumpang tindih, namun
memiliki keterpaduan dan sinkron satu sama lain.
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 juga mempertegas posisi SKPD sebagai instansi
pengguna anggaran dan pelaksanaan program serta kegiatan. Implikasinya, SKPD
memiliki kewenangan lebih besar dalam pengelolaan keuangan daerah.

2. Penganggaran Berbasis Kinerja


Salah satu implikasi penetapan UU Nomor 17 Tahun 2003 adalah mulai diterapkannya
anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting). Pendekatan ini diterapkan
secara bertahap mulai tahun anggaran 2005. Penganggaran bebasis kinerja merupakan
sistem perencanaan, penganggaran, dan evaluasi yang dilakukan dengan
mempertimbangkan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang
diharapkan.
Pengukuran kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
kegiatan/program/kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan
dalam rangka mewujudkan visi dan misi Pemerintah Daerah. Salah satu aspek yang
diukur dalam penilaian kinerja keuangan pemerintah adalah aspek keuangan berupa
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).
Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance-Based Budgeting) merupakan bentuk
penganggaran yang mengaitkan kinerja dengan alokasi anggaran. Pendekatan ini
memiliki lima komponen penting (Depkeu, 2006), yaitu:
a. Satuan Kerja; sebagai pengelola anggaran dan sebagai penanggungjawab
pencapaian kinerja
b. Kegiatan; sebagai syarat utama dapat dibentuknya satuan kerja dan unsur dinamis
yang mengarahkan untuk mencapai kinerja
c. Keluaran/Output; sebagai syarat utama ditetapkannya kegiatan dan sebagai ukuran
keberhasilan suatu satuan kerja
d. Standar Biaya; sebagai upaya efisiensi dalam pemanfaatan anggaran untuk
membiayai kegiatan dalam mencapai keluaran
e. Jenis Belanja; sebagai biaya masukan/input
Penganggaran Berbasis Kinerja mencakup perubahan perspektif, yaitu (Benu, 2007):
a. dari kontrol input yang ketat menjadi kontrol manajemen output
b. dari kontrol kas yang ketat menjadi kontrol penggunaan sumber daya berdasarkan
perencanaan yang strategis
c. dari memperlakukan warga sebagai subyek penerima pelayanan publik yang tidak
memiliki hak memilih menjadi subyek pelayanan publik yang mempunyai hak memilih
d. dari aktivitas pelayanan publik yang hanya bersifat rutin dan tidak berkesudahan
menjadi aktivitas pelayanan yang harus selalu dinilai berdasarkan kinerjanya
e. dari kontrol anggaran yang cukup menjadi kontrol informasi yang ketat.

8
Penyusunan ABK dilakukan berdasarkan (Yani, 2007):
a. capaian kinerja; ukuran prestasi kerja yang akan dicapai dari keadaan semula
dengan mempertimbangkan faktor kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas
pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan
b. indikator kinerja; ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap program dan
kegiatan SKPD
c. analisis standar belanja; penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang
digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan
d. standar satuan harga; harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku di suatu
daerah
e. standar pelayanan minimal; tolak ukur kinerja dalam menentukan capaian jenis dan
mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah.
Penyusunan ABK tersebut merupakan tuntutan akan efisiensi penggunaan anggaran
untuk pelayanan publik. ABK tersebut mensyaratkan segenap elemen Pemerintah
Daerah untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan seluruh sumber daya dimana
yang menjadi fokus utama adalah pemberian pelayanan berupa barang dan jasa publik
tertentu (output) dan bukan hanya sebatas pengelolaan input.
Dalam perencanaan pembangunan, ABK berfungsi untuk (Benu, 2007):
a. meningkatkan efisiensi dan efektifitas layanan publik (cost improvement)
b. memposisikan sektor publik sebagai panutan dalam peningkatan produktivitas dan
penurunan biaya bagi sektor lainnya dan membuktikan pencapaian tujuan serta
prioritas pemerintah (competitive government)
c. membantu manajer sektor publik dalam mengelola dan mengoperasikan
organisasinya dengan lebih baik (empowerment)
d. memastikan tanggung jawab, akuntabilitas, dan transparansi dalam alokasi dan
utilisasi sumber daya ( improved management and control).

3. Pengukuran Kinerja
Dalam menentukan indikator kinerja, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan
untuk menentukan indikator kinerja. Pendekatan pertama adalah dengan berfokus pada
masukan input, output, dan outcome. Pendekatan kedua disebut “Pendekatan 5E”, yaitu
economy, efficiency, effectiveness, excellence, dan equity.
Selain itu, indikator kinerja harus memenuhi kriteria SMART (Specific, Measurable,
Attainable, Rational, dan Time-bound).
a. Specific; indikator kinerja harus unik, menggambarkan obyek/subyek tertentu, tidak
memiliki makna atau interpretasi ganda
b. Measurable; indikator kinerja secara objektif harus dapat diukur, baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
c. Attainable; indikator kinerja sesuai dengan usaha-usaha yang dilakukan pada kondisi
yang diharapkan akan dihadapi
d. Rational; indikator kinerja bersifat realistis dan dapat diterima
e. Time-bound; indikator kinerja memiliki kerangka waktu pencapaian yang jelas.
Secara sederhana, Pemerintah Daerah dapat melakukan pengukuran kinerja dengan
menggunakan beberapa metode sederhana seperti berikut:
a. membandingkan rencana program dengan realisasi program

9
b. membandingkan efisiensi program saat ini dengan program tahun lalu
c. benchmarking dengan program Pemerintah Daeral lainnya
d. membandingkan realisasi program dengan standarnya.
Terdapat dua jenis indikator kinerja yang dapat digunakan, yaitu indikator makro dan
indikator mikro (Pamungkas, 2006). Indikator makro mencakup semua kinerja
Pemerintah Daerah, baik aspek ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat. Setiap
sektor memiliki kontribusi terhadap kinerja Pemerintah Daerah secara keseluruhan.
Salah satu contoh indikator makro adalah Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita dan
tingkat pertumbuhan ekonomi daerah.
Indikator mikro bersifat lebih spesifik. Indikator ini mengukur kinerja setiap unit kerja
Pemerintah Daerah dalam mengejar tujuan strategis daerah. Indikator ini juga mencakup
indikator kinerja yang digunakan oleh setiap unit kerja.
Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikator-indikator terlebih
dahulu antara lain indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan
metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran,
maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai kewajaran input
dengan keluaran (output) yang dihasilkan, peran Analisis Standar Biaya (ASB) sangat
diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan
untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Tabel 3
Model Matriks Kinerja

Upaya
Kuantitas (#) Kualitas (%)
Seberapa banyak sesuatu diberikan Seberapa baik layanan diberikan
Sumber Daya:
# Uang digunakan % Rasio masyarakat
# Tenaga Kerja % Masyarakat puas
# Fasilitas fisik % Layanan tepat waktu
% Tindakan sesuai standar
Aktivitas:
# Masyarakat yang dilayani
# Aktivitas dilakukan/Jasa diberikan

INPUT PROSES
Hasil
Kuantitas (#) Kualitas (%)
Seberapa banyak hasil didapat Seberapa baik hasil didapat

# Masyarakat/staf dengan peningkatan % Masyarakat dengan peningkatan


ƒ skil ƒ skil
ƒ sikap ƒ sikap
ƒ perilaku ƒ perilaku
ƒ status ƒ status

OUTPUT OUTCOME
Sumber: Akbar (2007).
Mengukur kinerja organisasi pemerintahan tidak mudah dilakukan. Hal ini disebabkan di
organisasi pemerintahan tidak terdapat pengukur kinerja yang sepadan dengan laba
untuk mengukur kinerja perusahaan secara menyeluruh. Selain itu, tujuan organisasi
pemerintah jauh lebih kompleks dan bersifat intangible. Pendapatan Pemerintah Daerah

10
bukanlan merupakan ukuran output entitas Pemerintah Daerah, sehingga perlu adanya
indikator kinerja yang tidak berorientasi pada laba (Akbar, 2007).
Model matriks kinerja juga dapat digunakan dalam penyusunan indikator kinerja. Matriks
tersebut berfungsi sebagai alat untuk memahami dan mengorganisasi berbagai jenis
kriteria, mulai dari input, proses, output, dan outcome. Indikator kinerja merupakan
ukuran numerik dapat dibandingkan dengan ukuran numerik lainnya untuk menunjukkan
status relatif dari berbagai aspek kinerja. Terdapat tiga komponen yang harus melekat
pada indikator kinerja tersebut (Akbar, 2007):
a. indikator kinerja harus numerik tapi tidak harus selalu berbentuk variabel finansial
b. indikator kinerja harus digunakan dalam situasi komparasi yang valid
c. indikator kinjerja harus cukup spesifik sehingga memungkinkan pengelola organisasi
melakukan perbaikan kinerja yang diperlukan.
Contoh model Matriks Kinerja dapat dilihat pada Tabel 3.

Standar Akuntansi Pemerintahan


Beberapa praktik akuntansi yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah saat ini masih
bervariasi. Beberapa menerapkan manual administrasi keuangan daerah tahun 1981,
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan sistem lainnya.
Penetapan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan
upaya untuk menyamakan sikap dan visi dalam melaksanakan aturan tersebut, dalam
paradigma pemerintahan daerah yang bertumpu pada nilai-nilai demokratisasi,
pemberdayaan, dan pelayanan. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih. Penetapan peraturan ini sekaligus merupakan terobosan baru dalam sejarah
pengelolaan keuangan nasional.
Menurut PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Standar
Akuntansi Pemerintahan (SAP) adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam
menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah. Serangkaian prosedur manual
maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan
pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah.
Dengan berlakunya Standar Akuntansi Pemerintahan ini, laporan dari Pemerintah Pusat dan
Daerah yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD akan meliputi
laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.
Dengan demikian, laporan keuangan dari pemerintah akan lebih mudah dipahami dan dapat
diukur tingkat kualitasnya berdasakan standar-standar akuntansi pemerintahan tersebut.

Standar Biaya dan Standar Pelayanan Minimal (SPM)


Pasal 167 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
bahwa belanja daerah mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolok ukur
kinerja, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Dalam aturan yang tebih teknis, PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga mensyaratkan perlunya
standar biaya dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang
harus disusun oleh Menteri Keuangan maupun standar biaya khusus per program dan
kegiatan yang harus disusun oleh masing-masing kementerian/lembaga. Standar biaya
umum yang ada sekarang masih berorientasi kepada input.
Dalam praktik, masih banyak dijumpai kelemahan sejak perencanaan kinerja, proses
penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya dalam format-format
dokumen anggaran. Dalam mendukung proses penyusunan anggaran, Departemen

11
Keuangan perlu menyusun standar biaya umum yang lebih berorientasi ke output/outcome.
Oleh karena itu, untuk tahun anggaran 2007, Departemen Keuangan menetapkan aturan
baru terkait standar biaya yang digunakan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian dan Lembaga NonDepartemen. Standar biaya yang dimaksud adalah biaya
tertinggi dari barang dan jasa. Perubahan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2007.
Berdasarkan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan
SPM, SPM merupakan ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan
urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Dengan demikian,
SPM merupakan standar minimum pelayanan publik yang wajib disediakan oleh Pemerintah
Daerah kepada masyarakat. Diharapkan dengan adanya SPM, maka akan terjamin kualitas
minimum pelayanan publik kepada masyarakat, dapat memperkecil kesenjangan pelayanan
publik antardaerah (public service provision gap), dan tercipta pemerataan pelayanan publik.
Secara umum tujuan SPM adalah:
1. menjamin pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
2. menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan
publik
3. menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan
transparan
4. membantu menentukan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja
5. membantu penilaian kinerja atau Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kepala daerah
secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi terjadinya money politics dan
kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja Pemerintah Daerah
6. menjadi alat meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah terhadap masyarakat
7. merangsang transparansi dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan Pemerintah Daerah
8. menjadi argumen bagi peningkatan pajak dan retribusi daerah karena baik Pemerintah
Daerah dan masyarakat dapat melihat keterkaitan pembiayaan dengan pelayanan publik
yang disediakan Pemerintah Daerah
9. merangsang rasionalisasi kelembagaan Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Daerah
akan lebih berkonsentrasi pada pembentukan kelembagaan yang berkorelasi dengan
pelayanan masyarakat
10. membantu Pemerintah Daerah merasionalisasi jumlah dan kualifikasi pegawai yang
dibutuhkan. Kejelasan pelayanan akan membantu Pemerintah Daerah menentukan
jumlah dan kualifikasi pegawai untuk mengelola pelayanan publik tersebut
Penyusunan dan penetapan SPM oleh daerah dapat menjadi acuan bagi daerah dalam
menyusun perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Terkait
dengan hal tersebut, apabila pemerintah mampu mengetahui SPM aktual maka pemerintah
dapat menentukan kebutuhan anggaran sesuai dengan Tingkat Keberhasilan/Kinerja
Pelayanan (TKP) yang diharapkan. SPM yang diberikan harus mempertimbangkan kualitas
layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan
layanan. Pengembangan standar pelayanan perlu dilaksanakan secara bertahap dan harus
dilakukan secara berkesinambungan.

12
Kendala dalam Menciptakan Sistem Keuangan Nasional yang Efektif
Penetapan aturan baru dalam bidang pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu
tindakan pemerintah terhadap adanya berbagai kendala yang menyangkut penciptaan sistem
keuangan secara nasional. Kendala tersebut antara lain:
a. Kurangnya rasa saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Di
satu sisi, penetapan regulasi baru di bidang keuangan daerah sering dipersepsikan oleh
daerah sebagai sentralisasi keuangan. Di sisi lain, muncul persepsi di tingkat pusat
bahwa peraturan daerah cenderung digunakan oleh aparat Pemerintah Daerah untuk
memperkaya diri sendiri dan tidak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
b. Perubahan yang terlalu ekstrim dari top-down ke bottom-up. Penerapan sistem top-down
yang terlalu lama di Indonesia telah menyebabkan inersia dan mengurangi inisiatif untuk
berubah. Beberapa daerah belum siap untuk melaksanakan besarnya kewenangan dan
tanggung jawab yang dilimpahkan kepada daerah sebagai implikasi pelaksanaan
Otonomi Daerah.
c. Perubahan paradigma manajemen keuangan daerah memerlukan proses yang cukup
sulit. Paradigma berdasarkan kontrol masukan (input) misalnya anggaran, komitmen,
pembayaran, verifikasi dokumen, dan kontrol akuntansi. Sementara itu, paradigma baru
berdasar pada kinerja (performance-based budgeting) yang mensyaratkan Pemerintah
Daerah agar menjadi lebih transparan dalam melakukan sosialisasi informasi mengenai
manajemen keuangan daerah masing-masing. Tidak mudah bagi daerah untuk
meninggalkan paradigma lama dan segera mengadopsi paradigma baru.
d. Implementasi APBD masih kurang efisien dan efektif karena kurangnya sinergi antara
Kebijakan Umum APBD (KUA) dengan prioritas pembangunan daerah. Hal ini
dilatarbelakangi dua faktor utama. Pertama, adanya mispersepsi antara DPRD dan
Pemerintah Daerah. DPRD menganggap bahwa formulasi KUA merupakan tanggung
jawab Pemerintah Daerah, padahal DPRD juga memiliki peranan penting sebagai partner
Pemerintah Daerah dalam menentukan arah APBD karena hal tersebut menyangkut
kepentingan masyarakat di daerah. Kedua, strategi prioritas dan pengambilan keputusan
anggaran belum terintegrasi sehingga beberapa program dengan prioritas utama malah
tidak memperoleh pembiayaan yang memadai. Idealnya, KUA dan strategi prioritas
ditetapkan terlebih dahulu, kemudian alokasi dana akan mengikuti KUA dan strategi
prioritas.
e. Proses perencanaan anggaran yang membutuhkan waktu cukup panjang. Beberapa
daerah membutuhkan waktu hingga setengah tahun dan akibatnya dana yang ada
digunakan secara tergesa-gesa selama setengah tahun yang tersisa.

Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Tantangan di Tahun 2007


Beberapa kalangan menilai bahwa desentralisasi di Indonesia masih bersifat politik.
Desentralisasi ekonomi, di sisi lain, belum dilaksanakan secara efektif. Beberapa hambatan
yang muncul dalam pelaksaksanaan Otonomi Daerah antara lain:
1. Aturan Pemerintah Pusat yang tumpang tindih dan tidak konsisten. Hal ini disebabkan
semangat desentralisasi yang belum seragam antarorganisasi di tingkat pusat. Terdapat
beberapa kasus dimana undang-undang sektoral tidak selaras dengan UU Otonomi
Daerah yang diterbitkan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sehingga
menimbulkan kebingungan bagi daerah. Akibatnya, sejumlah Peraturan Daerah (Perda)
tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi. Beberapa kalangan menilai bahwa hal
ini merupakan salah satu stagnasi desentralisasi.
2. Kurangnya minat masyarakat untuk mengkritisi proses otonomi daerah, utamanya
penetapan Perda. Hal ini dilatarbelakangi dua faktor, yaitu tidak tersedianya informasi

13
yang memadai bagi masyarakat dan persepsi masyarakat bahwa mereka tidak akan
memperoleh insentif dengan ikut berproses dalam penetapan Perda tersebut.
3. Sebagian kalangan menilai bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia telah
melewati batas yang dikehendaki (dalam Bahasa Jawa disebut kebablasan). Premis ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa di daerah saat ini bermunculan ‘raja-raja kecil’
dengan kewenangan besar dalam mengarahkan daerah masing-masing. Keputusan di
daerah pun tidak lagi memerlukan keputusan dari provinsi atau pusat. Hanya dengan
bersahabat dengan legislatif maka keputusan dapat diambil dengan mudah. Hal ini
menjadi praktik umum di daerah saat ini.
4. Kecenderungan daerah untuk mengejar target jangka pendek dan mengabaikan
investasi dalam jangka panjang (short gain, long gain). Indikasinya adalah banyaknya
Perda yang bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebanyak-
banyaknya, yang tak jarang justru mendistorsi perekonomian daerah, menimbulkan
ekonomi biaya tinggi, dan menghambat investasi.
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia, yaitu “Productivity and Investment Climate
Survey” (PICS), menunjukkan bahwa banyak perusahaan (sekitar 70 persen sampel
survai) yang menganggap Otonomi Daerah telah menimbulkan dampak negatif dalam hal
memburuknya iklim investasi di daerah. Hal ini terutama berkenaan dengan peraturan
mengenai tenaga kerja, perijinan, ketidakpastian peraturan, dan korupsi (Campos dan
Hellman, 2005).
5. Pemekaran wilayah menjadi ajang untuk perebutan kekuasaan sehingga tak jarang
menjadi sumber konflik dan korupsi serta mengabaikan tujuan peningkatan
kesejahteraan rakyat da pelayanan masyarakat. Selain itu, tolak ukur pemekaran wilayah
saat ini masih terlalu umum dan parameternya kurang jelas. Beberapa pemekaran
wilayah bahkan dilatarbelakangi keinginan untuk memperoleh transfer dana yang lebih
besar dari Pemerintah Pusat.
6. Ketergantungan daerah terhadap pusat masih sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusi PAD terhadap total APBD yang masih relatif kecil (rata-rata sekitar tujuh
persen) dan sumber pembiayaan utama di daerah masih bersumber dari Dana
Perimbangan, khususnya yang berasal dari DAU (Santoso, 2006).
Secara khusus tahun 2007, permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan peraturan
perundangan, kelembagaan, dan keuangan daerah sebagaimana tercantum dalam Rencana
Kerja Pemerintah Tahun 2007, yaitu:
1. belum selesainya penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Desentralisasi sebagai
penjabaran dari Grand Strategy Penataan Otonomi Daerah yang meliputi urusan
pemerintahan, kelembagaan, personil, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik,
dan pengawasan
2. belum mantapnya pelaksanaan urusan dan peraturan perundangan sektoral agar sesuai
dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan
3. belum optimalnya pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang bersifat khusus dan
istimewa
4. belum mantapnya pelaksanaan SPM untuk masing-masing sektor
5. masih adanya peraturan daerah yang masih memberatkan dunia usaha
6. masih belum mantapnya kinerja lembaga dan koordinasi antar organisasi perangkat
pemerintahan daerah, baik di masing-masing pemerintah kabupaten/kota maupun
koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
7. belum optimalnya reformasi administrasi dan proses penganggaran di daerah
8. belum tersusunnya Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)

14
9. belum optimalnya pengelolaan pendapatan dan investasi kekayaan daerah.
Dari sisi aparatur pemda, kerjasama antar pemerintah daerah, dan penataan daerah otonom
baru, maka masalah utama tahun 2007 yang harus diselesaikan adalah:
1. belum adanya pemisahan yang jelas antara jabatan karir dan jabatan politik
2. belum dilakukannya penempatan aparatur pemda berdasarkan pada kompetensi, serta
masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam menjaga keberlanjutan
investasi dan kesempatan kerja, memberikan pelayanan publik serta mitigasi bencana
dan penanganan pasca bencana
3. belum optimalnya kualitas pelayanan umum yang disebabkan masih besarnya perangkat
organisasi daerah
4. belum optimalnya kerjasama antar pemerintah daerah khususnya dalam penanganan
kawasan perbatasan, pengurangan kesenjangan antar wilayah dan penyediaan
pelayanan publik
5. belum mantapnya peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) di dalam proses
pembentukan daerah-daerah otonom baru
6. belum pulihnya penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, Nias, Alor, dan Nabire.

Konflik Antardaerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah diikuti dengan pelimpahan beberapa kewenangan yang
semula dimiliki oleh pusat kepada daerah, termasuk yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya alam. Hal ini dapat menimbulkan konflik baik secara vertikal antara pusat
daerah maupun horisontal antardaerah. Bagian ini akan menitikberatkan pada konflik
antardaerah.
Regulasi yang mengatur desentralisasi di Indonesia memungkinkan penciptaan kawasan
baru (pemekaran) atau penggabungan unit-unit administratif. Pemekaran-pemekaran
tersebut di antaranya dimotivasi oleh alasan ekonomi seperti ketersediaan sumber daya alam
maupun karena kesamaan etnis. Pembentukan kabupaten-kabupaten baru berpotensi
memicu konflik dalam hal pertanahan, perbatasan, dan sumberdaya. Namun di sisi lain,
regulasi tersebut juga mendorong terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik.
Pada beberapa daerah terjadi pemekaran timbul berbagai konflik dan kerusuhan. Salah satu
sebab pecahnya konflik yaitu pemekaran wilayah yang kurang memperhatikan faktor historis
dan budaya wilayah tersebut.
Dalam kerangka desentralisasi terdapat faktor-faktor potensial yang dapat menimbulkan
konflik antardaerah, yaitu:
1. kurangnya kejelasan hukum membatasi pemerintahan daerah untuk mengatasi konflik
secara efektif
2. kesuksesan kabupaten baru dalam mencegah dan mengatasi konflik tergantung dari
kapasitas masing-masing bupati
3. kurang berfungsinya aparat pengamanan dari pemerintah pusat seperti polisi.
Pertanahan atau ruang menjadi salah satu sumber konflik antardaerah. Penataan ruang yang
buruk dapat menimbulkan berbagai krisis serius seperti krisis pangan, kesehatan, energi, dan
berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan pencemaran yang meluas di
berbagai daerah. Permasalah tentang pertanahan ini telah diatur dalam Undang-Undang No.
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Saat ini undang-undang tersebut sedang dalam
proses perubahan karena banyak pihak menilai bahwa perundangan tersebut sudah tidak
relefan. Dengan demikian, perlu dilakukan penyesuaian sehingga dapat mencegah terjadinya
konflik dan kesenjangan antardaerah dan antara pusat dan daerah.

15
Salah satu upaya yang ditempuh untuk mengatasi masalah tata ruang antarwilayah adalah
dengan membentuk kawasan strategis (KS). Pembentukan KS dapat meminimalkan konflik
antarsektor dan antarwilayah. Provinsi Jawa Tengah telah melaksanakan strategi tersebut
dan wilayahnya terbagi atas delapan kawasan strategis. Salah satu isu utama selanjutnya
adalah mengoptimalkan sinergi antarsektor dan antarwilayah. Untuk KS Surakata Boyolali
dan Sukoharjo (SUBOSUKO) sektor-sektor yang potensial untuk dikembangkan adalah
Sektor Pertanian, Industri, Perdagangan, Jasa-jasa dan Pariwisata. Sinergi antarsektor ini
akan berhasil apabila didukung oleh sinergi politik.
Politik sinergis kepala daerah dimaksudkan sebagai upaya strategis yang memungkinkan
setiap unsur atau elemen penunjang kebijakan publik baik berupa sumber daya manusia,
organisasi, finansial, teknologi, informasi dan komunikasi, alam, daerah, bahkan antardaerah
sebaiknya dilibatkan, digabungkan, dan didayagunakan dalam setiap proses pembuatan
kebijakan politik untuk memperoleh output politik yang lebih besar, efektif, dan efisien. Konflik
antarwilayah juga berpotensi terjadi antarwilayah desa. Konflik ini antara lain dipicu oleh hak
pemanfaatan sumberdaya alam.
Terjadinya konflik antardaerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam ini
akan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan pengelolaan sumber daya alam di masa
mendatang. Dampak langsung dari konflik akan berpengaruh kepada investor yang
mengelola sumber daya alam tersebut. Konflik juga akan menghambat penerapan konsep
sustainable development dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Masalah manajemen sumber daya alam bukan hanya terkait dengan kewenangan investasi
yang dapat menimbulkan konflik vertikal pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
namun juga sering memicu konflik antardaerah. Salah satu penyebabnya adalah karena
batas ekosistem tidak sama dengan batas geografis wilayah administrasi suatu daerah.
Sebagai contoh, kawasan hutan atau sungai sebagai satu kesatuan ekosistem lingkungan
sangat mungkin melintasi batas-batas wilayah administratif beberapa daerah misalnya
beberapa kabupaten/kota atau provinsi. Permasalahan ini juga berlaku untuk wilayah
ekosistem budaya.
Banyak faktor dapat menjadi pemicu konflik yang terjadi, baik dari sisi ekonomi, politik,
maupun agama. Faktor-faktor tersebut meliputi kemiskinan, kesenjangan sosial,
ketidakpastian/guncangan pendapatan, pengangguran, ketidakadilan dalam pembangunan,
dampak industrialisasi, desentralisasi, ketidakjelasan hak atas tanah, kesenjangan ekonomi
dan pengaturan sumber daya alam regional, gesekan kelompok (agama atau etnis), faktor
kelembagaan (efektivitas peran institusi masyarakat), kebijakan pemerintah yang kurang
memperlihatkan kepentingan publik.

Akibat/Konsekuensi Konflik
Secara umum dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang mengalami konflik bukan
masyarakat yang paling miskin, namun kerugian akibat konflik paling besar dirasakan oleh
masyarakat yang paling miskin dan rentan yang tidak dapat mempertahankan diri dari akibat
konflik.
Hal-hal yang diusulkan untuk mengatasi konflik:
- Forum dialog dan langkah aktif untuk menggalakkan rasa persaudaraan, kegiatan pasar
murah, dan lomba-lomba ringan yang melibatkan masyarakat. Meskipun masalah politik
tidak dapat diselesaikan dalam forum ini, namun cara ini dapat diterapakan untuk
memulai dialog selanjutnya.
- Menciptakan kegiatan-kegiatan yang menciptakan rasa kebersamaan.
- Menyambut munculnya arus bawah untuk resolusi konflik dengan pendekatan bottom up.
Solusi untuk menghadapi konflik-konflik antardaerah yang timbul akibat permasalahan
pengelolaan sumber daya alam adalah dengan membentuk kerjasama antardaerah.
16
Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, beberapa pihak mengusulkan konsep bio-
region yaitu pengelolaan sumber daya alam berdasarkan ekosistem, bukan hanya
memperhitungkan nilai administratif. Sebagai contoh daerah aliran sungai –merupakan satu
sistem- dapat meliputi beberapa wilayah administratif. Untuk mengelolanya, perlu
diperhatikan sungai sebagai satu sistem.

Isu Terkait Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


Salah satu isu terkini berkaitan dengan aspek regulasi adalah usulan untuk melakukan revisi
UU Nomor 32 Tahun 2004. Revisi tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan Otonomi Daerah
dapat berjalan efektif dan demokratis.
UU tersebut dianggap telah memicu pro dan kontra antara Pemerintah Daerah dan DPRD di
sejumlah daerah. Hal ini disebabkan UU Nomor 32 Tahun 2004 mereduksi peran dan
kewenangan DPRD. UU tersebut dianggap menempatkan kepala daerah lebih dominan dari
DPRD dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai contoh adalah aturan dalam
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah dapat
mengajukan RAPBD dalam bentuk rencana keputusan kepala daerah kepada menteri Dalam
Negeri untuk memperoleh pengesahan apabila RAPBD tersebut tidak disetujui oleh DPRD.
Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kekuasaan yang lebih tinggi kepada
Pemerintah Pusat. Hal ini terlihat dari kekuasaan yang diberikan kepada Pemerintah Pusat
untuk membatalkan Perda yang disusun oleh Pemerintah Daerah apabila dianggap tidak
sejalan dengan peraturan yang berlaku. Di banyak kasus, hal ini menyebabkan Pemerintah
Daerah menjadi lebih loyal kepada Pemerintah Pusat dibandingkan kepada DPRD. Namun,
di sisi lain, peran vital Pemerintah Pusat sebagai pembina Otonomi Daerah juga seakan
dihilangkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.
Terdapat pula isu adanya rencana pemecahan UU Nomor 32 Tahun 2004, yaitu menjadi UU
Pemerintahan Desa, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Pemilihan Kepala Daerah.
Perumusan UU Pemerintahan Desa dimaksudkan agar pelaksanaan Otonomi Daerah dapat
menjangkau lembaga yang paling dekat dengan masyarakat. UU Pemerintahan Daerah
bertujuan untuk meningkatkan kinerja keuangan darah, sementara UU Pemilihan Kepala
daerah dimaksudkan untuk mengurangi kecurangan dalam salah satu proses demokrasi di
daerah, yaitu pemilihan kepala daerah. Terkait hal ini, tak sedikit pihak yang pesimis
terhadap pemecahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut.

17
Referensi Utama
Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan dalam
Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FE-
UGM), dan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari.
Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in Indonesia”,
Technical Assistance Performance Evaluation Report.
Benu, Fredrik, 2006, “Anggaran Berbasis Kinerja”, dipresentasikan dalam Financial
Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt,
dan PPE-FE-UGM.
Campos, Jose Edgardo dan Joel S. Hellman, 2005, “Governance Gone Local: Does
Decentalization Improve Accountability?”, East Asia Decentralized, Bank Dunia,
Washington D.C.
Departemen Keuangan RI, 2006, Penjelasan Umum tentang Standar Biaya Tahun 2007,
Disampaikan dalam Sosialisasi Standar Biaya Tahun 2007 kepada Unit Eselon I
Kementerian/Lembaga, Jakarta, 2 November.
Kadjatmiko, 2006, “Local Fiscal Policy”, Budget Performance: Capacity Building for Effective
Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche
Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara
Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan APBD.
Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public
Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche
Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability,
eporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für
wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM,
8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening
Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2006, “District and
Provincial Economic Development Training”, Modul Pelatihan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK. 02/2006 tentang Standar Biaya Tahun
Anggaran 2007
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal

18
Santoso, Bagus, 2006,”Principles for Increasing Local Revenue”, Budget Performance:
Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ,
InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Suwandi, Made, 2005, “Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menurut
UU Nomor 32/2004”, Departemen Dalam Negeri.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah
World Development Report 2005 “A Better Investment Climate for Everyone”
Yani, Ahmad, 2007, “Performance Oriented Budgeting: A New Budgeting System Needed?”
Financial Management Training in Indonesia, Balikpapan, Departemen Keuangan RI,
Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt,
dan PPE-FE-UGM.
http://www.goodgovernance.or.id

19

You might also like