You are on page 1of 18

D

I
S
U
S
U
N

OLEH :

KELOMPOK 1

M. YUSUF
GINANJAR
MAHDI

JURUSAN DAKWAH
SEMESTER II (DUA)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN) ZAWIYAH COT KALA LANGSA
2009 / 2010
BAB I
PENDAHULUAN

Islam dalam praktek jual beli menganut mekanisme kebebasan pasar


yang diatur bahwa harga itu berdasarkan permintaan dan penawaran. Hal itu untuk
melindungi pihak-pihak yang terkait dalam jual beli agar tidak ada yang dizalimi,
seperti adanya pemaksaan untuk menjual dengan harga yang tidak diinginkan.
Dalam buku-buku kajian fikih, mengenai jual beli telah dibahas aturan-aturannya
secara global seperti larangan menipu, menimbun, menyembunyikan cacat,
mengurangi timbangan dan lain sebagainya untuk keselamatan dunia
perdagangan. Akan tetapi pembahasan mengenai laba atau keuntungan yang boleh
diambil dalam jual beli masih sedikit, meskipun hal ini memiliki kedudukan yang
sangat penting. Keuntungan merupakan buah dari kegiatan bisnis yang dapat
digunakan untuk menjaga kelangsungan usaha juga sebagai pendorong untuk
bekerja lebih efisien.
Menurut hukum dagang Islam, berdagang atau berniaga adalah suatu
usaha yang bermanfaat yang menghasilkan laba, yaitu sisa lebih setelah adanya
kompensasi secara wajar setelah adanya faktor-faktor produksi. Jadi, laba menurut
ajaran Islam adalah keuntungan yang wajar dalam berdagang dan bukan riba.
Untuk mendapatkan keuntungan yang diinginkan, ada banyak cara yang dilakukan
penjual sebagai upaya mempengaruhi konsumen agar membeli barang yang
dijualnya dan hal ini sangat wajar dilakukan. Akan tetapi sering terjadi
ketidakstabilan harga di pasar dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana
menentukan keuntungan, menjadikan kondisi seperti ini sering dimanfaatkan oleh
pihak penjual yang hanya memikirkan keuntungan materi dan menonjolkan
keegoisannya tanpa melihat lingkungan sekitar sehingga ujung-ujungnya
konsumen yang dirugikan. Sehingga banyak terjadi adalah harga yang ditentukan
sesuai dengan kemauan masing-masing individu tanpa melihat apakah keuntungan
yang diambil dari barang yang dijual tersebut sesuai atau tidak menurut Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli


Jual beli menurut bahasa, ialah menukarkan sesuatu dengan sesuatu.
Menukarkan barang dengan barang dinamai jual beli menurut bahasa
sebagaimana menukarkan barang dengan uang. Salah satu dari dua hal yang
ditukar tadi dinamai mabi’ (barang yang dijual) dan yang lain disebut tsaman
(harga). Dilihat dari segi bahasa tiada bedanya antara barang yang dijual dan
harga, apakah kedua-duanya itu suci ataupun najis.1

B. Dasar Hukum Jual Beli


Pada dasarnya hukum jual beli adalah boleh. Sebagai dasar tersebut,
dapat dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 275
sebagai berikut:

‫حّرَم الّرَبا‬
َ ‫ل اْلَبْيَع َو‬
ُّ ‫ل ا‬
ّ‫ح‬َ ‫َوَأ‬
Terjemahnya:
“ … Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”.2

Pada ayat lain Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 29.

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan

1
Lihat Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala Al-Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar al-Fikr,
1974), h. 290.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995), h. 29.

3
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Ayat-ayat tersebut dengan jelas menerangkan halalnya jual beli,


meskipun ayat tersebut disusun untuk beberapa tujuan selain pernyataan halalnya
jual beli.
Dalam pada itu, Al-Jaziriy telah mengemukakan bahwa hukum jual beli
yang boleh itu terkadang menjadi wajib, yaitu ketika dalam keadaan terpaksa
membutuhkan makanan atau minuman, maka wajib seseorang membeli sesuatu
untuk sekedar menyelamatkan jiwa dari kebinasaan dan kehancuran.
Dan tidak membeli sesuatu yang dapat menyelamatkan jiwa di saat
darurat tersebut.3
Dan terkadang jual beli hukumnya bisa atau mandub, seperti seseorang
bersumpah akan menjual barang yang tidak membahayakan bila dijual. Maka
dalam keadaan demikian dia disunnahkan melaksanakan sumpahnya. Kadang-
kadang jual beli hukumnya makruh, seperti menjual barang yang dimakruhkan
menjualnya. Juga terkadang jual beli hukumnya haram seperti menjual barang
yang haram dijual. 4
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jual beli dalam hukum Islam
adalah boleh, bahkan terkadang diwajibkan atau disunnahkan, yakni tergantung
dari keadaan seseorang dan barang yang menjadi objek jual beli.

C. Rukun dan Syarat Jual Beli


1. Rukun Jual Beli
Jual beli berlangsung dengan ijab dan qabul, terkecuali untuk barang-
barang kecil, tidak perlu dengan ijab dan qabul; cukup dengan saling sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku. Dan dalam ijab dan qabul tidak ada
kemestian menggunakan kata-kata khusus, karena ketentuan hukumnya ada
pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata

3
Lihat Al-Jaziriy, op.cit., h. 293.
4
Lihat Ibid.

4
itu sendiri.5 Hal yang diperlukan adalah saling rela, direalisasikan dalam
bentuk mengambil dan memberi atau cara lain yang dapat menunjukkan
keridhaan dan berdasarkan makna pemilikan dan mempermilikkan.
Seiring dengan hal tersebut Abdurrahman Al-Jaziriy telah
mengemukakan bahwa rukun jual beli pada dasarnya terdiri atas tiga, yakni:

 Sighat
Sighat dalam jual beli ialah segala sesuatu yang menunjukkan adanya
kerelaan dari dua belah pihak; penjual dan pembeli, yang terdiri dari dua
perkara.
♦ Perkataan dan apa yang dapat menggantikannya, seperti
seorang utusan atau sebuah surat. Maka apabila seseorang kirim surat
kepada orang lain; dia berkata dalam suratnya: “Sesungguhnya saya jual
rumahku kepadamu dengan harga sekian”. Atau dia mengutus seorang
utusan kepada temannya, kemudian temannya menerima jual beli ini
dalam majelis, maka sahlah akad tersebut. Tidak diampuni baginya
terpisah kecuali sesuatu yang diampuni dalam ucapan ketika hadirnya
barang yang dijual.
♦ Serah terima, yaitu menerima dan menyerahkan dengan
tanpa disertai sesuatu perkataan pun. Misalnya seseorang membeli barang
yang harganya kepadanya, maka ia sudah dinyatakan memiliki barang
tersebut lantaran dia telah menerimanya. Sama juga barang yang dijual itu
sedikit (barang kecil) seperti roti, telur dan sejenis yang menurut adat
dibelinya dengan sendiri-sendiri, maupun berupa barang banyak (besar)
seperti baju yang berharga.6

 Aqid
Aqid yaitu orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli
ditetapkan padanya beberapa syarat, antara lain:

5
Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III (Kuwait : Dar al-Bayan, 1974), h. 127.
6
Lihat Abdurrahman Al-Jaziriy, op.cit., h. 310.

5
♦ Hendaknya penjual dan pembeli sudah tamyiz, maka tidak
sah jual belinya anak-anak yang belum mumayyiz, demikian pula jual
belinya orang gila. Adapun anak-anak yang sudah tamyiz dan orang idiot,
yaitu orang-orang yang sudah mengerti jual beli beserta akibatnya dan
dapat menangkap maksud dari pembicaraan orang-orang yang berakal
penuh serta mereka dapat menjawabnya dengan baik, maka akad jual
mereka dan akad beli mereka adalah sah. Tetapi tak dapat dilaksanakan
kecuali haru ada izin khusus dari walinya, dan tidak cukup dengan izin
umum. Apabila seorang anak yang sudah tamyiz membeli sesuatu barang
yang sudah mendapat izin dari walinya, maka sahlah dan harus
dilaksanakan jual beli tersebut dan bagi wali sudah tak punya hak untuk
menolaknya. Adapun jiwa wali tidak memberi izin dan si anak
membelanjakannya sendiri untuk kepentingan sendiri, maka jual belinya
sah tetapi tidak dapat dilaksanakan sehingga wali memberi izin atau dia
sendiri yang memberi izin sesudah ia dewasa.
♦ Hendaknya si aqid itu orang yang sudah pandai (rasyidan
: yaitu orang yang sudah mengerti tentang ketentuan hitung). Ini sebagai
syarat lulusannya jual beli. Maka tidak sah jual belinya anak kecil, baik
yang sudah tamyiz maupun yang belum, dan tidak sah pula jual belinya
orang gila, orang idiot (ma’tuh) dan pemboros yang luar biasa, hingga tak
dapat memegang uang dan tidak mengenal hitung (safih), kecuali apabila
si wali memberi izin kepada yang tamyiz dari mereka. Sedang jual belinya
orang yang belum tamyiz adalah batal. Adalah sama antara mumayyiz yang
normal penglihatannya dan yang tuna netra.
♦ Hendaknya si aqid dalam keadaan tidak dipaksa
(mukhtar). Maka tidak sah jual belinya orang yang dipaksa. Dalam hal
tersebut telah dirinci dalam masing-masing mazhab ada qarinah atau
tanda-tanda, maka pengakuannya tidak bisa diterima kecuali disertai bukti
(saksi).

6
 Ma’qud alaih
Pada ma’qud alaih (yang diakadkan) baik benda yang dijual maupun alat
untuk membelinya (uang) ditetapkan beberapa syarat, antara lain:
♦ Suci
Maka tidak sah ma’qud alaih berupa barang najis, baik benda yang dijual
maupun alat untuk membeli (uang).

♦ Dapat diambil manfaat dan dibenarkan oleh syara’. Maka


tidak sah memperjual belikan binatang serangga yang tidak ada
manfaatnya.
♦ Pada saat akad jual beli benda yang dijual adalah milik si
penjual, tidak sah memperjual belikan barang yang bukan miliknya,
namun ia tidak dapat menyerahkan lantaran masih di tangan orang yang
dighasab itu bila dijual oleh si ghasib (orang yang ghasab), karena barang
itu bukan miliknya sendiri/

2. Syarat-syarat Jual Beli


Agar jual beli menjadi sah, diperlukan terpenuhinya syarat-syarat yakni:
 Berkaitan dengan orang yang berakad
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan: berakal dan dapat
membedakan (memilih). Akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang tidak
dapat membedakan tidak sah.7
Jika orang gila dapat sadar seketika dan gila seketika atau dengan kata
lain kadang-kadang sadar dan kadang gila, maka yang akan dilakukannya
pada waktu sadar dinyatakan sah, dan dilakukan karena gila tidak sah.8

 Berkaitan dengan barang yang diakadkan

7
Lihat Sayyid Sabiq, op.cit., h. 127.
8
Lihat Ibid.

7
Syarat-syarat jual beli yang berkaitan dengan barang yang diakadkan,
yakni: (1) bersihnya barang, (2) dapat dimanfaatkan, (3) milik orang yang
melakukan akad, (4) mampu menyerahkannya (5) Mengetahui, (6) barang
yang diakadkan ada di tangan.

D. Saksi Dalam Jual Beli


Dalam setiap mu’amalah keberadaan saksi dihukumkan sunnah oleh
syariat. Peristiwa jual-beli di atas dipakai sebagai contoh: Setelah melakukan akad
jual-beli dengan tempo pembayaran tiga hari, seorang pembeli dan penjual pun
berpisah. Tiga hari kemudian, ketika pembeli melakukan pembayaran, terjadilah
perselisihan soal harga barang. Seandainya saja ada saksi yang mengetahui akad
jual-beli tadi, tentu hal ini tak perlu terjadi.

Dalil Tentang Saksi Dalam Jual Beli


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali

8
jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al Baqarah : 282)

E. Pengertian Riba
Menurut bahasa riba berarti tambahan (ziyadah-Arab, addition-Inggris),
sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok
sebagai syarat terjadinya suatu taransaksi. Sedangkan menurut Al Jurjani
merumuskan riba sebagai kalebihan / tambahan pembayaran tanpa ada ganti /
imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad
(transaksi).

F. Dalil yang Melarang Riba


QS Al Baqarah ayat 275
Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.

QS Al Baqarah ayat 276

9
Artinya : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (Qs
Al Baqarah : 276)

QS Al Baqarah ayat 278


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Qs Al Baqarah : 278)

Sabda Rasulallah SAW

‫عن جابر قال لعن رسولل صلى ال عليه وسلم اكل الربا ومؤكله‬
‫﴾وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء ﴿رواه المسلم‬

Artinya : Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi


wa Sallam melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, penulisnya, dan dua orang
saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." (HR Muslim).

‫لعن ال اكل الربا ومؤكله وكاتبه وشاهده وهم يعلمون والواصلة‬


‫والمستوصلة والواشمة والمستوشمة والنامصة والمتنمصة ﴿رواه‬
‫﴾الطبرانى‬

Artinya : Allah mengutuk riba, orang yang memakannya, yang memberikan


makanan, penulisnya, yang menyaksikannya, mereka yang mengetahui, orang
yang memfasilitasi, orang yang menusuk tubuhnya dengan jarum sehingga hitam
bekasnya, yang meminta tusuk dengan jarum (tato), yang mencabut rambut dan
meminta dicabutkan rambutnya (HR. Tabrani)

G. Perbedaan Jual Beli dan Riba

10
Orang-orang kafir menganggap sama antara jual-beli dengan riba.
Mereka --sebagaimana Allah sebutkan di dalam Al-Qur'an-- mengatakan:
Sesungguhnya jual-beli adalah sama dengan riba. (Q.S. Al-Baqarah: 275).
Maksudnya mereka meyakini bahwa tambahan suku bunga untuk transaksi tidak
tunai, dan ini adalah riba nasi'ah, adalah sama dengan harga pokok pada saat aqad
awal. Ini adalah penjungkirbalikan fakta, sebab ada perbedaan yang sangat besar
antara jual-beli dengan riba, diantaranya:
 Jual-beli adalah dihalalkan oleh Allah ta'alaa, sedangkan riba
jelas telah diharamkan-Nya, dan wajib atas setiap hamba untuk menerimanaya
secara mutlak.
 Transaksi jual-beli pasti akan menghadapi hal-hal: untung-rugi;
perlu kesungguhan dan kepiawaian/keahlian, sedangkan jual-beli dengan cara
riba hanya akan mendapatkan keuntungan dan tidak akan pernah menemui
kerugian, bagaimanapun keadaannya, tidak perlu keseriusan dan kesungguhan,
tidak perlu kepandaian tertentu.
 Jual-beli pasti di dalamnya ada pertukaran barang dan
keuntungan diperoleh oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), namun
riba hanya memberi keuntungan kepada satu pihak saja yaitu penjual. Sayyid
Rasyid Ridha mengatakan dalam tafsir Al-Manar: Mayoritas ahli tafsir
menjadikan ayat ini (Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba) untuk membantah analogi ini (analogi: jual-beli adalah
sama dengan riba); janganlah kalian menyamakan hutang-piutang dengan jual-
beli, dan Allah telah melarang kalian dari melakukan analogi yang demikian.
 Allah menjadikan cara bermuamalah interpersonal dan mencari
harta adalah dengan cara setiap orang bisa saling mengambil keuntungan satu
sama lain dengan cara bekerja. Dan tidak boleh seseorang bisa memiliki hak
atas orang lain tanpa bekerja, sebab cara ini adalah bathil. Maka, dengan cara
inilah lalu Allah menghalalkan jual-beli, sebab dalam jual-beli ada pertukaran.
Dan Allah mengharamkan riba sebab didalamnya tidak ada esensi pertukaran
atau saling menguntungkan satu sama lain.

11
 Dan makna analogi orang kafir yang menyamakan jual-beli
dengan riba, adalah analogi yang rusak/batal. Hal ini karena dalam jual-beli
ada keuntungan yang bisa diperoleh bersama-sama, dan cara ini adalah halal.
Sedangkan dalam riba banyak hal-hal yang merugikan pihak lainnya, dan ini
adalah haram/tidak boleh. Jika terjadi jual-beli, maka konsumen mendapatkan
manfaat, yaitu ia memiliki barang setelah ia membeli barang. Adapun riba,
maka sesungguhnya riba adalah sesungguhnya adalah memberikan uang
dalam jumlah tertentu lalu ia mengambilnya kembali secara berlipat-ganda
pada waktu-waktu berikutnya. Maka, kelebihan uang yang ia ambil dari
konsumen ini bukan didasarkan kepada manfaat yang diperoleh kedua belah
pihak ataupun karena ia bekerja.
 Uang adalah alat yang digunakan untuk menilai harga suatu
barang yang dibeli oleh konsumen. Jika prinsip ini diubah sehingga uang
menjadi maksud inti, maka hal ini akan membawa dampak tercabutnya
peredaran ekonomi dari mayoritas masyarakat dan peredaran tersebut hanya
ada pada sekelompok orang yang berharta; lalu merekapun mengembangkan
harta dengan cara demikian, mereka menyimpan uangnya di bank-bank.
Dengan cara inilah orang-orang fakir menjadi binasa.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Jual beli menurut bahasa, ialah menukarkan sesuatu dengan sesuatu.
Menukarkan barang dengan barang dinamai jual beli menurut bahasa
sebagaimana menukarkan barang dengan uang. Salah satu dari dua hal yang
ditukar tadi dinamai mabi’ (barang yang dijual) dan yang lain disebut tsaman
(harga)
Pada dasarnya hukum jual beli adalah boleh. Sebagai dasar tersebut,
dapat dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 275,
dalam QS. An-Nisa (4): 29 dan ayat Al Qur’an yang lainnya.
rukun jual beli pada dasarnya terdiri atas tiga, yakni:
 Sighat
 Aqid
 Ma’qud alaih
Agar jual beli menjadi sah, diperlukan terpenuhinya syarat-syarat yakni:
• Berkaitan dengan orang yang berakad
• Berkaitan dengan barang yang diakadkan
Syarat-syarat jual beli yang berkaitan dengan barang yang diakadkan,
yakni: (1) bersihnya barang, (2) dapat dimanfaatkan, (3) milik orang yang
melakukan akad, (4) mampu menyerahkannya (5) Mengetahui, (6) barang
yang diakadkan ada di tangan.

13
Menurut bahasa riba berarti tambahan (ziyadah-Arab, addition-Inggris),
sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok sebagai syarat terjadinya suatu taransaksi
perbedaan yang sangat besar antara jual-beli dengan riba, diantaranya:
 Jual-beli adalah dihalalkan oleh Allah ta'alaa, sedangkan riba
jelas telah diharamkan-Nya, dan wajib atas setiap hamba untuk menerimanaya
secara mutlak.
 Transaksi jual-beli pasti akan menghadapi hal-hal: untung-rugi;
perlu kesungguhan dan kepiawaian/keahlian, sedangkan jual-beli dengan cara
riba hanya akan mendapatkan keuntungan dan tidak akan pernah menemui
kerugian, bagaimanapun keadaannya, tidak perlu keseriusan dan kesungguhan,
tidak perlu kepandaian tertentu.
 Jual-beli pasti di dalamnya ada pertukaran barang dan
keuntungan diperoleh oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), namun
riba hanya memberi keuntungan kepada satu pihak saja yaitu penjual

14
DAFTAR PUSTAKA

http://thoriquljannah.blogspot.com/2009/10/perbedaan-antara-riba-dengan-
jual-beli.html
http://meetabied.wordpress.com/2009/10/30/tinjauan-tentang-hukum-jual-
beli-dalam-islam/
http://alislamu.com/index.php?
Itemid=22&id=263&option=com_content&task=view
http://cahayanabawiyonline.com/?p=193

15
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan baik. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa.
Tidak Lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada Dosen Pengasuh atas
bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan
mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari banyak kesalahan yangterdapat dalam makalah ini,
oleh sebab itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
makalah.
Penulis berharap, makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
khususnya bagi penulis sendiri.

Langsa, Maret 2010

Penulis

16
DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR.......................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A..................................................................Pengertian Jual Beli
..................................................................................................... 2
B.............................................................Dasar Hukum Jual Beli
..................................................................................................... 2
C.......................................................Rukun dan Syarat Jual Beli
..................................................................................................... 3
D................................................................Saksi Dalam Jual Beli
..................................................................................................... 7
E.........................................................................Pengertian Riba
..................................................................................................... 8
F..........................................................Dalil yang Melarang Riba
..................................................................................................... 8
G...................................................Perbedaan Jual Beli dan Riba
..................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP

17
Kesimpulan.......................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 14

ii

18

You might also like