Professional Documents
Culture Documents
MORBUS HANSEN
(KUSTA, LEPRA)
Disusun Oleh :
Annisa Amalia Fitriani
G1A2120073
Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke, Sp.KK
HALAMAN PENGESAHAN
MORBUS HANSEN (KUSTA, LEPRA)
Disusun oleh :
Annisa Amalia Fitriani
G1A210073
Telah dipresentasikan
Pada Tanggal :
Mei 2013
Menyetujui
I.
PENDAHULUAN
2
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 50 tahun
Pekerjaan
: Buruh
Alamat
II.
Agama
: Islam
No. CM
: 27-50-98
ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis pada tanggal 1 Mei 2013,pukul 10.50 WIB
Keluhan Utama
III.
STATUS GENERALIS
Keadaaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Keadaan gizi
: Baik
Vital Sign
: Nadi
: 80 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
Suhu
: afebris
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Tenggorokan
Thorax
Abdomen
hipopigmentasi.
) terdapat makula
IV.
STATUS DERMATOLOGIKUS
1. Lokasi
: Ekstremitas Superior
Effloresensi
V.
2. Lokasi
:Ekstremitas inferior
Effloresensi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil tes sensoris nyeri terdapat hipestesi pada bagian tengah lesi dan pada
palpasi terdapat perbesaran pada nervus Radialis.
VI.
RESUME
Pasien Tn S datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSMS dengan
keluhan sebagian kulit di tangan kanan menjadi tidak terasa. Awalnya
keluhan didahului dengan bercak putih seperti panu yang berukuran kecil
kemudian bercak dirasakan semakin meluas dengan bagian tengahnya
menjadi mati rasa. Bercak mulai muncul sejak 6 bulan yang lalu kemudian
keluhan mati rasa dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien mengaku
sudah diberi obat kalpanak namun tidak membaik dan bercak putih tetap
meluas. Pasien belum pernah berobat kemanapun dan hanya membeli obat
kalpanak saja. Pasien menyangkal dikeluarga maupun lingkungan kerjanya
ada
VII.
DIAGNOSA KERJA
Kusta tipe Plausibasiler.
PEMERIKSAAN ANJURAN
Swab kulit.
X.
PENATALAKSANAAN
1.
Non Medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
b. Mencegah iritasi pada daerah yang hipestesi.
c. Menjaga kebersihan kulit
d. Menjaga imunitas tubuh
e. Menjelaskan tentang pengobatan dan komplikasi pengobatan
dan penyakit.
2. Medikamentosa
MDT-PB
Sohobion 1x1
XI.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
II.
1.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen (Djuanda, 2007).
Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe
penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan
atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu
mudah, seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta (Djuanda, 2007).
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi,
kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan
sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu
inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan
pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda
seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih,
merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota
badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi.
Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya waspada jika ada
anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka
waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit (Djuanda,
2007).
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
8
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita (Djuanda,
2007).
Kusta tipe Pausi Bacillary atau disebut juga kusta kering adalah
bilamana ada bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa,
permukaan bercak kering dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh
rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5 tempat. Ada kerusakan saraf tepi
pada satu tempat, hasil pemeriksaan bakteriologis negatif (-), Tipe kusta ini
tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta
basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau
merata diseluruh kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada
bercak, bercak pada kulit lebih dari 5 tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan
hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe seperti ini sangat mudah
menular (Djuanda, 2007).
1.2.
Sinonim
Nama lain dari Morbus Hansen adalah Kusta dan Lepra.
1.3.
muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan
bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.,
Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat, yakni : 1. Mycobacterium leprae
merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media
buatan. 2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh
piridin. 3. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium
yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin). 4. Mycobacterium
leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.. Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium
leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas
imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid dan
negatif pada penderita lepromatous (Lewis, 2010).
1.4.
Epidemiologi
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja (Lewis, 2010).
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang
kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini
disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulaupulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia
diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat.
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga
dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan
agamanya dan berdagang (Lewis, 2010).
Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di
Indonesia sebanyak
membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai
eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation
yaitu tahun 2000.
10
1.5.
11
12
1.6.
Gejala Klinis
Penderita Adapun Gejala Klinisnya:
1. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi)
yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa. Gejala pada
kulit, penderita kusta adalah pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna
merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan
biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga
menyebabkan perdarahan (Lewis, 2010).
2. Penebalan syaraf tepi. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada
anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat
radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya.
Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa
demam akibat reaksi penyakit tersebut (Lewis, 2010).
Tiga tanda utama (Cardinal Sign):
1. Kelainan pada kulit pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
2.
3.
13
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan
pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan
otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe
TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat
saraf perifer yang menebal
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk
makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi
kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan
nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa
tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini
tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di
daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan
di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan,
14
dan
orkitis
yang
selanjutnya
dapat
menjadi
atrofi
tipe
Intermediate
(I)
.Lesi
biasanya
berupa
makula
terjadi
pada
kusta.
Pada
kusta
sesuai
tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot
drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah
anestesi telapak kaki, claw toes dan paralisis otot intrinsik kaki dan
kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan
zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular
serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah,
kornea dan konjungtiva mata. Kerusakan mata pada kusta dapat primer
dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu
mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder
disebabkan oleh rusaknya N. Facialis yang menyebabkan paralisis
orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan
menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit
yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut
dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang
titandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga
berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk
plak.
dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan
atas reaksi ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda,
bentuk tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih
eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri.
Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil
histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi
endotelial pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel
kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang
nyeri tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul
bertahan selama satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan
nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia (Lewis,
2010; Djuanda, 2007).
1.7.
Pemeriksaan Penunjang
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga
harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan
dengan menggunakan alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas
untuk rasa raba, tabung reaksi masing masing dengan air panas dan es,
pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi
di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang kadang dapat membantu,
tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk
menentukannya (Zulkifli, 2003).
a. Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri
atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis,
N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea
lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat
dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak,
pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir
dapat dicari adanya nyeri atau Pada tipe lepromatous biasanya kelainan
17
sarafnya
billateral
dan
menyeluruh
sedangkan
tipe
tuberkoloid
18
diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada
bagian tengahnya
Rasa Nyeri: Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk
kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya
yang tumpu dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam
dan mana yang tumpul
Rasa Suhu: Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi yang
satu berisi air panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin
(sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat
lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah
kulit yang dicurigai Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang
sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi
suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu
2) Tes Motoris
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking
pasien. Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien,
lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika
pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara
jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas
tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut
perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas
Minta pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari
apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus. Jika
pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari
pada bagian telapaknya.
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk
menggerakkna pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot
dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
Periksa fungsi saraf peroneus communis dengan meminta pasien
melakukan gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga
pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan
ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut (Djuanda,
2007; Zulkifli, 2003).
19
b. Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaaan bakterioskopik sediaan dari kerokan jaringan kulit
atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2-4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
telinga didapati banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP) (Djuanda, 2007; Zulkifli, 2003)..
c.
Pemeriksaan
Histopatologis
Pemeriksaan
histopatologi,
d. Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis merupakan alternative yang paling diharapkan Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibody pada tubuh seseorang yang
terinfeksi
oleh
M.leprae.
Pemeriksaan
serologic
adalah
MLPA
e. Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan system
imun penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah
48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu ( reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif
1.8.
Diagnosis
21
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan
gejala yang hamper mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta
didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk
menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak
hipopigmentasi atau eritematus mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba,
rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:Gangguan fungsi sensoris:
hipostesi atau anestesi, gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis,
gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan,
maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu
diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan (Djuanda, 2007; Zulkifli, 2003).
1.9.
Diagnosis Banding
Pada lesi makula differetial diagnosisnya: vitiligo, Pitiriasis Versikolor,
Ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul: Granuloma annulare, lichen
planus dll. Pada lesi plak: Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada
lesi nodul: Acne vulgaris neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf: Amyloidosis
diabetes, trachoma dll (Djuanda, 2007; Zulkifli, 2003).
1.10.
Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan yaitu memutuskan mata rantai
penularan
untuk
menurunkan
insiden
penyakit,
mengobati
dan
22
dengan
yang
regimen
pengobatan
Dewasa
Rifampicin
600 mg
Ofloxacin
400 mg
Minocyclin
100 mg
(50-70 kg)
Anak (5-14 th)
300 mg
200 mg
50 mg
Dewasa
Rifampicin
600 mg/bulan Diminum
Dapson
100 mg/hr diminum
Anak-anak
dirumah
50 mg/hari diminum di
rumah
(10-14 th)
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan FT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT
dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Rifampicin
Dewasa
600
Dapson
100 mg/hari
Lamprene
300
mg/bulandiminum di
depan petugas
depan petugas
kesehatan
kesehatan dilanjutkan
dgn 50 mg/hari
50 mg/hari
diminum di rumah
150
Anak-anak
450
(10-14 th)
mg/bulandiminum di
depan petugas
depan petugas
kesehatan dilanjutkan
dg 50 mg selang
24
sehari diminum di
rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan
tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen
seperticlaw hand , drop foot, claw toes dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut diatas dilakukan pengobatan prinsip pengobatan reaksi kusta yaitu
immobilisasi/ istirahat, pemberian analgesic dan sedatif, pemberian obat-obat anti
reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian
analgetik dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150
mg 31 selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang
tidak diubah. Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesic dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,
pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4
6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh
karena
toksik.
1.11. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan
kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis, oftalmologis,
physical
26
27
Penatalaksana
an
MDT-PB
St
dermatologis
RPK
RPD
Anamnesis
III.
PEMBAHASAN
Sesuai dengan menurut Adhi Juanda Pada Ilmu Penyakit Kulit FKUI bahwa:
Penderita mengeluh adanya bercak putih seperti panu pada tangan yang semula
hanya kecil dan semakin melebar. dengan bagian tengah yang menjadi mati rasa
St. Dermatologis:
Terdapat makula hipopigmentasi plakat pada bagian fleksor antebrachii dextra dengan
hipestesi pagian tengah lesi
28
:Penatalaksanaan:
M
D
T-PB
Sesuaidjuandaadhi,danpedom
anD
epkes2008
bahw
apasiendengankustatipePBm
endapatkanterapiM
D
T-PB
29
DAFTAR PUSTAKA
Masyarakat
Universitas
Sumatera
30
Utara,
Medan
dalam