You are on page 1of 28

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Interaksi Sosial

1. Pengertian Interaksi Sosial

Sejak lahir manusia mempunyai naluri untuk hidup bergaul dengan

sesamanya. Naluri ini merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling

mendasar. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri tanpa bantuan

manusia lainnya. Keterkaitan tersebut menggambarkan bahwa manusia adalah

makhluk sosial.

Secara sosiologi proses ini merupakan proses sosial, yang mana proses sosial

membutuhkan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu dengan

lainnya. Proses sosial yang juga dapat dinamakan interaksi sosial adalah kunci dari

semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada

kehidupan bersama. Soekanto dengan mengutip Gillin dan Gillin mengatakan bahwa

interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, menyangkut

hubungan antara orang-perorangan, kelompok-kelompok manusia, maupun

sebaliknya orang-perorangan dengan kelompok.20 Dari sinilah mulai terbentuk

bermacam-macam kelompok sosial (sosial group) yang ada dimasyarakat. Mulai dari

yang terkecil yaitu keluarga sampai pada organisasi-organisasi massa dan

perkumpulan-perkumpulan paguyuban, patembeyan dan lain sebaginya.


20 Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (cetakan ke 13), Jakarta, PT Rajawali, 1990,
Hal. 69

19
Soekanto menganggap bahwa kehidupan masyarakat sebagai kesatuan psychis

yang lebih tinggi semula terbentuk dari kesatuan biologis, yaitu dorongan untuk

makan, dorongan untuk memepertahankan diri dan dorongan untuk melangsungkan

jenis.

Sekurang-kurangnya dari tiap proses tersebut mempunyai tiga aspek kejiwaan,

yaitu aspek naluriah atau perasaan, aspek kebisaaan dan aspek pikiran. Yang mana

ketiga aspek tersebut sangat mempengaruhi dalam proses individu berinteraksi sosial

dalam masyarakat.

Oleh karena itu, interaksi sosial antar umat beragama dalam menumbuhkan

kerukunan sangat diperlukan, terlebih lagi dua kekuatan agama yaitu Islam dan

Kristen. Disatu sisi agama ini mampu menciptakan stabilitas ditengah-tengah

masyarakat dan disisi lain menjadi ancaman disintegrasi dan sumber konflik yang tak

pernah usai bagi masyarakat.

2. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa proses sosial ataupun interaksi

sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Dengan kata lain

interakasi sosial menumbuhkan suatu pengaruh, stimulus dari individu kepada

individu lainnya yang menciptakan keterkaitan satu dengan yang lainnya dalam

kehidupan nyata sehari-hari.

Dimana interaksi sosial merupakan proses timbal balik, yang menyangkut

hubungan orang-perorang, antara kelompok manusia maupun antara perorang dengan

20
kelompok yang saling mempengaruhi tindakan sesorang atau prilaku sesorang.

Menurut max Weber, tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-

individu lainnya dalam masyarakat.21

Interaksi sosial dapat berlangsung jika memenuhi dua syarat, yaitu adanya

kontak sosial dan adanya komunikasi.22

a. Kontak Sosial

Kontak sosial adalah hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang

merupakan awal terjadinya interaksi sosial dimana masing-masing pihak saling

berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Kontak sosial dapat terjadi secara

langsung maupun tidak langsung, fisik maupun non-fisik. Dalam hal ini kontak sosial

tidak hanya terjadi di dunia nyata tetapi juga di dunia maya melalui teknologi

internet. Hal mendasar dari interaksi sosial adalah adanya reaksi dari pihak lain.

Dengan kata lain, interaksi sosial atau kontak sosial terjadi karena adanya aksi dan

reaksi dari dua belah pihak atau lebih.

Kontak sosial dapat dikatakan positif dan negatif tergantung pada tindakan

yang dilakukannya. Kontak sosial yang bersifat positif, apabila kontak sosial itu

mengarah pada bentuk kerjasama. Sedangkan kontak sosial bersifat negatif apabila

mengarah pada pertentangan. Biasanya kontak sosial positif akan mengarah kepada

interaksi sosial yang bersifat asosiatif, yang berbentuk kerjasama, akomodasi,

asimilasi dan akulttuasi. Sebalikma kontak sosial yang bersifat negatif akan mengarah

21 Doyle Paul Johnson, teori sosiologi klasik dan modern, jilid I (terj. M.Z Lawang), Jakarta,
Gramedia, 1986, Hal. 219
22 Soerjono Soekanto, Op. Cit, Hal. 71

21
kepada interaksi sosial disosiatif, pertentangan atau konflik.

b. Komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa latin communicare yang berarti berhubungan,

secara harfiah komunikasi berarti berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Orang

yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator, sedangkan orang yang

menerima komunikasi disebut komunikan. Dalam proses komunikasi faktor

terpenting adalah kemampuan memberikan tafsiran dan tanggapan terhadap perilaku

orang lain, meliputi perasaan-perasaan yang ingin disampaikan orang tersebut,

kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan orang tersebut.

Dalam komunikasi ini dapat terjadi banyak penafsiran terhadap perilaku

komunikator.23 Apabila hubungan antara kedua belah pihak tidak dapat saling

memahami maka tidak akan terjadi komunikasi yang harmonis. Suatu proses

komunikasi dapat dikatakan komunikatif apabila pesan yang disampaikan berdaya

guna (praktis, efisien, rasional, dan mudah dicerna) dan berhasil guna (jelas maksud

dan tujuannya). Dengan demikian apabila komunikasi dapat berjalan baik maka

interaksi sosial dapat berjalan dengan baik.

3. Faktor-faktor yang mendasari interaksi sosial

Menurut Soerjono Soekanto ada empat faktor yang mendasari terjadinya

interkasi sosial, yaitu; imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.24

23 Abdulsyani, Sosiologi, Skematika, teori dan terapan, Jakarta, Bumi aksara, 2002, Hal. 150-155
24 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 69

22
a) Imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain

melalui sikap, penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa saja yang dimiliki oleh

orang lain. Misalnya, seorang anak sering meniru kebisaaan-kebisaaan orang

tuanya seperti cara bicara, cara berpakaian, dan lain sebagainya.25 Imitasi ini

dapat berlangsung dalam kehidupan sosial yang sangat luas. Agar proses

imitasi ini tidak mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif, maka diharapkan

adanya kondisi masyarakat yang mengembangkan sistem nilai dan norma

yang mampu menunjang sendi-sendi kehidupan masyarakat.

b) Sugesti adalah rangsangan. pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang

individu kepada individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberi

sugesti tersebut menuruti atau melaksanakan apa yang disugestikan tersebut

tanpa berpikir panjang dan kritis. Wujud sugesti bisa berbagai bentuk dan

sikap atau tindakan, seperti sikap prilaku, pendapat saran, pertanyaan, dan lain

sebagainya.26

c) Identifikasi adalah upaya yang dilakukan oleh seorang individu untuk menjadi

sama (identik) dengan individu lain yang ditirunya. oleh sebab itu, proses

identifikasi erat sekali kaitannya dengan imitasi. Pola peniruannya sudah

begitu rupa eratnya, sehingga si peniru sudah mengidentifikasikan dirinva

menjadi sama dengan orang yang ditirunya. Proses identifikasi juga dapat

melalui proses kejiwaan yang sangat dalam.27 Sebagai contoh seorang


25H.Booner, Sosial Psichology, American Book Company, 1953, dalam H. Abu Ahmadi,
Psikologi sosial, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, Hal. 57
26 H. Abu Ahmadi, Ibid, Hal. 58
27 Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung, PT Eresco, 1977, Hal. 72

23
pengagum berat bintang film sering mengidentifikasi gaya rambut, gaya

hidup, dan lainnya sesuai dengan si bintang, dan menganggap dirinya sama

dengan bintang pujaannya.

d) Simpati adalah suatu proses kejiwaan dimana seseorang individu merasa

tertarik kepada seseorang atau sekelompok orang karena sikapnya,

penampilannya, wibawanya atau perbuatannva yang sedemikian rupa.

Dikatakan sedemikan rupa, karena bagi sebagian orang, sikap, penampilan,

wibawa atau perbuatannya itu biasa-biasa saja. Proses simpati ini mempunyai

peranan penting dalam keberlangsungan interaksi sosial yang di bangun oleh

individu maupun kelompok masyarakat.

Selain keempat faktor diatas, ada dua faktor lain yang tak kurang

mendasarnya dalam proses interaksi, yaitu: motivasi dan empati. Pertama, Motivasi

adalah ialah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan dan daya yang sejenis yang

mengarahkan kepada prilaku.28 Selajutnya, Empati mirip perasaan simpati, tetapi

tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja. Empati dibarengi perasaan organisme

tubuh yang sangat dalam. Contohnya kalau kita melihat orang celaka sampai luka

berat. Apabila orang itu kerabat atau teman dekat kita, perasaan empati menempatkan

kita seolah-olah ikut celaka. Kita tidak hanva merasa kasihan terhadap yang terkena

musibah itu. Tetapi menempatkan diri kita seolah-olah yang terkena musibah tersebut.

4. Proses dan Pola Interaksi Sosial


28 Harold Koontz O Donnel, Heilz Weihrich, Management, Megraw Hill Kogaguska, 1980, Hal
115

24
Ada dua pola proses interaksi sosial, yaitu asosiatif dan disasosiatif. Interaksi

sosial yang bersifat asosiatif adalah interaksi yang mengarah kepada bentuk

kerjasama, sedangkan interaksi sosial yang bersifat disosiatif adalah interaksi yang

mengarah kepada bentuk-bentuk pertentangan atau konflik.29

Interaksi sosial yang bersifat asosiatif berpola kerjasama, akomodasi,

asimilasi dan akulturasi. Untuk lebih jelasnya, bentuk-bentuk interaksi sosial tersebut

akan penulis sarikan dari buku sosilogi Soekanto berikut ini.30

a). Kerja sama (co-operation)

Kerja sama merupakan bentuk utama dari proses interaksi sosial, karena pada

dasarnya orang atau kelompok melaksanakan interaksi sosial dalam rangka

memenuhi kepentingan bersama.

Pada masyarakat yang sederhana seperti masyarakat komunal (kesukuan) dan

pada masyarakat pedesaan pada umummya. Pola kerjasama sudah sedemikian

melembaga hampir dalam setiap pekerjaan yang sifatnya massal, seperti ketika akan

berburu, membuka ladang (huma) baru, mengerjakan sawah, memperbaiki bendungan

pengairan, membuat jembatan, menyelenggarakan upacara yang sakral seperti

upacara adat dan keagamaan dan lain sebagainya. Pada umumnya pola kerja sama

semacam ini di dorong oleh motivasi untuk:

1) Menghadapi tantangan alam yang masih ganas.

2) Menghadapi pekerjaan yang membutuhkan tenaga massal.

29 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 76


30 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 77-96

25
3) Melaksanakan upacara yang sifatnya sakral (suci), dan

4) Menghadapi serangan musuh dari luar.

Tradisi kerja sama yang umum dikenal pada masyarakat Indonesia adalah

gotong royong dengan berbagai variasi yang khas. Oleh sebab itu sebenarnya dalam

bentuk kerjasama di Indonesia sendiri sudah berlangsung dari nenek moyang. Akan

tetapi tidak lepas dari itu semua kemajemukan rakyat Indonesia menciptakan bentuk

kerjasama yang dikembangkan juga memiliki kekhasan tersendiri.

b). Akomodasi

Akomodasi mempunyai dua pengertian. Yang pertama, upaya untuk mencapai

penyelesaian dari suatu konflik atau pertikaian, jadi pengarah kepada prosesnya.31

Dan yang kedua, keadaan atau kondisi selesainya suatu konflik atau pertikaian

tesebut. Jadi, mengarah kepada suatu kondisi berakhirnya pertikaian.

Akomodasi didahului oleh adanya dua kelompok atau lebih yang saling

bertikai. Masing-masing kelompok dengan kemauannya sendiri berusaha untuk

berakomodasi menghilangkan gap yang menjadi pangkal pertentangan, sehingga

konfliknya mereda. Sebagai hasil akhir dan kondisi akomodasi ini, idealnya akan

terjadi asimilasi diantara kelompok-kelompok yang bertikai tadi. Dalam garis

besarnya akomodasi diupayakan untuk:

1). Mengurangi perbedaan paham, pertentangan politik, atau permusuhan antar

suku atau antar Negara.

31 Soerjono Soekanto, ibid, Hal. 82

26
2). Mencegah terjadinva ledakan konflik yang mengarah kepada benturan pola

pikir atau benturan fisik.

3). Mengupayakan terjadinya akomodasi diantara masyarakat yang dipisahkan

atau terjadinya kerja sama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah

sebagai akibat faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai

dalam sistem kelas atau kasta, dan yang terakhir;

4). Mengupayakan terjadinya proses pembaruan antara kelompok sosial yang

terpisah, misalnya lewat perkawinan campuran atau asimilasi diantara

kelompok kesukuan atau ras.

c). Asimilasi

Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat

dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam

jangka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan berubah sipat

dan wujudnya membentuk kebudayaan baru. Asimilasi terjadi dikarenakan

dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat proses

asimilasi.

Faktor pendukung terjadinya asimilasi adalah:

1). Adanya toleransi dan keterbukaan untuk saling menghargai dan menerima

unsur-unsur kebudayaan lain.

2). Adanya sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.

3). Adanya kesamaan harkat dan tingkat unsur kebudayaan.

27
4). Adanya upaya untuk saling menerima dan saling memberi dari unsur

kebudayaan atas kerjasama yang saling menguntungkan.

5). Adanya pembauran melalui kawin campur diantara kedua kelompok.

6). adanya musuh bersama dari luar 32

Berlawanan dengan faktor pendukung tadi, asmilasi dapat terhambat apabila:

1). Adanya kelompok masyarakat yang terisolir dari pergaulan masyarakat

umum, misalnya kelompok minoritas.

2). Adanya diskriminasi dan ketidakadilan.

3). Adanya kecurigaan dan kecemburuan sosial terhadap kelompok lain.

4). Kurangnya pemahaman dan pengetahuan terhadap kebudayaan lain.

5). Primordialisme, yakni perasaan bahwa kebudayaan sendiri lebih tinggi dan

mengagpap kebudayaan lain lebih rendah.

6). Adanya perbedaan yang sangat mencolok, seperti perbedaan ciri-ciri ras, suku

dan lain sebagainya.

d). Akulturasi

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok

masyarakat manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-

unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa, sehingga lambat laun unsur-

unsur dari kebudayaan asing itu diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri,

tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

32 Soerjono Soekanto, Ibid, Hal. 90

28
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat aktif melakukuan hubungan-

hubungan sosial seperti perdagangan, politik, kemanusiaan, bahkan diantaranya

diperkuat dengan tali perkawinan satu sama lain. Pada saat seperti itu unsur

kebudayaan mereka saling berdifusi dan saling menyerap.

Adapun unsur-unsur kebudayaan yang dengan mudah dapat diserap oleh

masyarakat antara lain:

1). Unsur kebudayaan material atau kebendaan.

2). Unsur teknologi ekonomi yang manfaatnya cepat dirasakan dan mudah

dioperasikan, misalnya alat pertanian.

3). Unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan dengan kondisi setempat,

misalnya unsur kesenian dan hiburan.

4). Unsur kebudayaan berdasarkan proses sosialisasi yang sangat meluas dalam

kehidupan masyarakat, misalnya sistem kekerabatan, mata pencaharian

pokok, makanan pokok, dan kebisaaan makan.

Secara tahap demi tahap proses akulturasi akan terus berjalan dalam

perkembangan kebudayaan secara umum. Dalam perkembangannya tidak lepas dari

peran sebagai aktor yaitu manusia. Pabila manusianya mampu merespon kebudayaan

yang dating dari luar secara positif, maka proses akulturasi ini akan berjalan secara

asosiatif.

Adapun interaksi sosial yang bersifat disasosiatif adalah proses-proses

interaksi yang mengarah kepada pertentangan dan konflik, dengan demikian proses-

proses disosiatif dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:

29
a). Persaingan

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu perjuangan yang

dilakukan perorangan atau kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan

atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik dipihak

lawannya. Konsepsi ini merupakan definisi persaingan dalam arti persaingan yang

“sehat”, dengan pola aturan main yang wajar.

Pada dasarnya persaingan atau kompetisi memiliki fungsi dinamis dalam

rangka menyalurkan daya kreativitas yang dinamis, menyalurkan daya juang yang

sifatnya kompetitif, memberikan stimulus atau rangsangan berprestasi secara optimal,

dan untuk menyeleksi penempatan atau kedudukan seseorang dalam hirarki

organisasi secara tepat sesuai dengan kemampuannya.

Akibat dari adanya persaingan ini dapat menyebabkan perubahan

keperibadian, meningkatnya daya juang dan progresifitas, tumbuhnya percaya diri,

dan memperkokoh solidaritas sosial.

Dengan kata lain bahwa setiap elemen-elemen yang mepengaruhi persaingan

harus selalu sehat dan berada dalam keseimbangan. ketika persaingan menjadi tidak

sehat dan aturan persaingan yang menghalalkan segala macam cara persaingan akan

menciptakan ketegangan-ketegangan yang tidak kompetitif.

b). Kontroversi

Kontroversi adalah bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dan

pertentangan. Wujudnya antara lain sikap tidak senang yang muncul melalui

penolakan, makian, penghasutan, intimidasi, provokasi, dan penyebaran rahasia.

30
Kontroversi ini dapat terjadi ditubuh internal sebuah kelompok, atau antara

satu kelompok dengan kelompok lain yang berbeda.

c). Konflik atau Pertentangan

Pertentangan atau konflik sosial adalah proses sosial antara perorangan atau

kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang

sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya gap atau jurang pemisah yang

mengganjal interaksi sosial diantara mereka yang bertikai tersebut.

Pertentangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya perbedaan

prinsif, menyinggung harga diri, benturan kepentingan, perbedaan sistem nilai dan

agama, serta perbedaan orientasi kepentingan politik Negara.

Pertentangan ini akan mengakibatkan tambahnya rasa solidaritas kelompok,

perubahan sosial, dan juga perubahan sikap--baik kearah yang lebih positif atau

negative. Selain akibat diatas, konflik juga akan melahirkan kelas pemenang dan

pecundang dan menimbulkan kerusakan.

Untuk meminimalisir dan menghilangkan dampak buruk dari pertentangan

dilakukan melalui proses negosiasi atau perundingan. Negosiasi ini ada beberapa

bentuk:

a) Kompromi, yakni kedua belah pihak yang bertikai saling mengalah. Mereka

saling memberi dan menerima kebijakan tertentu atas dasar suka sama suka.

b) Toleransi, yakni sikap saling menghargai dan menghormati pendirian masing-

masing pihak.

c) Konversi, yakni salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima

31
pendirian pihak lain.

d) Coersion, yakni penyelesaian suatu konflik melalui suatu proses secara

dipaksakan.

e) Mediasi, yakni penyelesaian suatu konflik dengan mengundang pihak ketiga

yang netral, dan berfungsi sebagai penasehat.

f) Arbitrase yakni penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang dipilih oleh

kedua belah pihak yang bertikai.

g) Konsiliasi, yakni usaha mempertemukan pihak-pihak yang bertikai dalam

suatu perundingan agar diperoleh persetujuan bersama.

Dalam pemaparan diatas, setidaknya mewakili dalam hal penyelesaian konflik

ataupun pertentangan yang sedang terjadi dalam situasi konflik. Dengan demikian

proses interaksi dalam bentuk yang sederhana bisa menciptakan ketegangan, bisa pula

menciptakan rasa persaudaraan, saling menghormat-menghormati satu dengan yang

lainnya dan menciptakan equilibrum sosial yang di setiap anggota masyarakat.

B. Kerukunan Umat Beragama

1. Pengertian kerukunan

Kerukunan berasal dari kata “rukun”, dalam kamus bahasa Indonesia kata

rukun diartikan: 1). Baik dan damai atau tidak bertengkar, 2). Bersatu hati atau

bersepakat.33

Kerukunan, ketertiban dan keamanan merupakan syarat mutlak untuk

mewujudkan kehidupan beragama yang diliputi oleh suasana kekeluargaan.

33 Lukman Ali et all, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1994) Hal. 850

32
Kehidupan beragama yang diharapkan adalah kehidupan yang diliputi oleh keimanan

dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian bisa kita lihat arti dari kerukunan yang menurut Mulder,

kata "rukun" adalah berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan

dan pertentangan, bersatu untuk saling membantu satu sama lainnya.

Kerukunan dalam konteks Mulder, bisa diartikan sebagai sikap toleransi

dimana sikap dasar yang memungkinkan sebuah agama berdampingan dengan agama

lain ataupun memberikan keleluasaan terhadap keberadaan kelompok lain.34

Sedangkan pengertian umat disini ialah masyarakat. Dalam bahasa Inggris

‘society’ dan ‘community’ diterjemahkan sebagai masyarakat. masyarakat

berhubungan dengan ‘community’ yaitu masyarakat yang menempati daerah yang

merupakan persekutuan hidup dan saling mempengaruhi prilakunya.

Kata agama sendiri dalam konteks penelitian ini tidak dipandang sebagai

sesuatu yang transenden, tetapi agama sebagai hasil kebudayaan, yaitu sistem

pengetahuan yang menciptakan perasaan (moods) secara kuat pada diri manusia

dengan cara memformulasi konsepsi-konsepsi hukum yang berlaku umum berkenan

dengan eksistensi manusia untuk berkomunikasi dan menghadapi lingkungannya.35

Sahibi Naim dalam hal ini mengutarakan dalam buku Kerukunan Umat

beragama:

34 Miels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta, Gajahmada


University Press, 1986, Hal. 39
35 Parsudi Suparlan, Pengetahuan budaya; Ilmu-ilmu sosial dan pengkajian masalah-masalah
agama, Jakarta (Proyek penelitian keagamaan, Badan Penelitaian dan Pengembangan Agama), Depag
RI 1981/1982, Hal. 87

33
"Kerukunan umat beragama, bukan berarti merelatifkan agama-agama yang
melebur kepada suatu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan
agama-agama itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai
sarana untuk mempertemukan dan mengatur hubungan luar antara umat
beragama dalam proses sosial kemasyarakatan. Dengan kerukunan,
dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik dalam pergaulan
antar warga yang berlainan agama.36
Dengan demikian kerukunan hidup beragama pada dasarnya merupakan

pengakuan sadar terhadap adanya kebebasan masyarakat dalam memeluk dan

menyakini agama tertentu sepanjang tidak mengganggu aktivitas agama lain.

Kerukunan hidup umat beragama akan tercipta ketika kehidupan sosial antar umat

beragama harus memiliki sikap toleransi terhadap kelompok lain maupun agama lain.

Untuk mengembangkan kehidupan beragama, diperlukan suasana kehidupan

masyarakat yang tertib, aman, dan rukun. Kekhusuan tidak mungkin tercipta dalam

suasana tidak aman. Disinilah pentingnya kerukunan, ketertiban dan keamanan dalam

nenunjang kehidupan beragama.

Perlu kita sadari, tata cara pengamalan ajaran oleh masing-masing pemeluk

agama dengan penuh kesadaran bahwa tidak saling membenarkan agama yang

dianutnya. Karena setiap agama memiliki ajaran-ajaran yang khas, yang

mencirikannya dan sekaligus membedakannya dengan yang lain. Tidak mengaktifkan

simbol-simbol agama atau tidak menonjolkan identitas agama dalam interaksi secara

penuh merupakan pengakuan-pengakuan akan adanya perbedaan-perbedaan diantara

agama-agama tersebut dan sekaligus menghargai perbedaan-perbedaan itu. Dengan

begitu interaksi antar umat beragama menjadi bagian yang saling menguntungkan,

36 Sahibi Naim, Kerukunan umat beragama, Jakarta, Gunung Agung, 1983, Hal. 53

34
timbal-balik antar umat beragama pun terjadi dengan wujud kerukunan atau toleransi

antar umat beragama.37

Dalam mewujudkan kebaikan hampir setiap agama menggariskan dua pola

hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan yang bersifat

vertikal dan hubungan yang bersifat horizontal. Hubungan yang bersifat vertikal,

menciptakan satu hubungan manusia dengan penciptanya direalisasikan dengan

ibadah setiap harinya sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Pada

hubungan ini, berupa toleransi antar umat beragama yang merupakan unsur inti dari

kerukunan umat beragama yang terbatas dalam lingkungan intern agama.

2. Faktor Yang Mendasari Kerukunan Umat Beragama

Realitas sosial selalu memperlihatkan keragaman, baik pada level individu

dalam sebuah komunitas maupun pada level makro antar komunitas dalam sebuah

masyarakat bangsa. Perbedaan atau keragaman semacam itu merupakan sebuah

kewajaran atau bahkan keniscayaan yang dalam terminologi Islam disebut

Sunnatullah atau hukum alam. Sebab setiap individu apalagi setiap komunitas

masing-masing memiliki spesifikasi sejarah kehidupan, mempunyai karakter

kejiwaan, serta menyakini nilai-nilai sosio-kultural dan keagamaan tertentu pula.

Semua faktor kolektif tadi pada akhirnya pemikiran dan prilaku individu dan prilaku

dan atau komunitas bersangkutan. Status, agama, kekayaan, usia, peran sosial

menurut gender, keanggotaan individu dalam kelompok tertentu ikut juga menggali

37 Sudjangi, Kajian agama dan masyarakat III, kerukunan hidup antar umat beragama, Jakarta,
Depag RI, 1992/1993, Hal. 248

35
jurang perbedaan antara individu atau antar komunitas. Berbagai perbedaan tadi

acapkali menjadi faktor potensial bagi munculnya konflik antar individu atau antar

komunitas, terutama bila mereka memiliki kepentingan berbeda, bersaing, apalagi

bertentangan.

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan beragama dapat di

kelompokkan menjadi beberapa faktor pendukung. Misalkan di masyarakat Sumatra

Barat kerukunan umat beragama terwujud, antara lain karena:

1. Di Sumatra Barat, potensi kerukunan di daerah ini telah terbentuk lembaga

yang menangani pembinaan kerukunan seperti Forum Komunikasi Kerukunan

umat beragama (FKKUB). Pusat Studi Antar Komunitas agama (PUSAKA),

dan lembaga-lembaga lain yang yang berfungsi sebagai wadah komunikasi

dan konsultasi antar pemeluk agama dalam rangka meningkatkan terwujudnya

kerukunan umat beragama.

2. Selain itu hubungan kekeluargaan atau kekerabatan dikalangan masyarakat

Minang yang egaliter. Hubungan darah, perkawinan, daerah asal dan

hubungan kerja antar umat yang berbeda agama mencerminkan sikap saling

monghormati dan menghargai sesama pemeluk agama.

3. Adanya usaha pemerintah secara sungguh-sungguh dalam menyeleseikan

setiap problem yang ada dalam masyarakat. Terutama problematika yang

menyangkut masalah-masalah keagamaan..

4. Saling menghadiri dan membantu dalam upacara-upacara keagamaan maupun

adat, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat adat maupun secara

36
institusional.38

Selain faktor-faktor pendukung diatas, masih ada faktor-faktor yang tidak

mendukung atau potensi konflik. Berbagai penyebab konflik dipenghujung abad 20

dan awal abad 21 sempat menguat di Indonesia, bahkan sampai meletus kekerasan

antar komunitas (etnik maupun keagamaan) dengan puncak kekerasan menjelma

dalam tragedi Poso, Ambon dan Maluku, serta Sambas yang memakan ratusan korban

nyawa. Pada kasus maluku dan Poso, misalnya, nyata sekali bahwa komposisi

etnisitas dikedua daerah itu sangat plural, bukan saja dari sisi penduduk asli versus

pendatang melainkan kaum pendatang pun sangat plural dengan segala kulturnya,

yang tentunya menyimpan sejumlah potensi konfik. Begitu juga realitas perbedaan

agama yang terpilih dengan etnisitas ikut menandai kian pluralnya masyarakat Poso

dan Ambon kala itu.39 Realitas segregasi pemukiman (berdasarkan agama dan etnis)

disamping kenyataan disparitas akses ekonomi akhirnya kian menyuburkan benih

konflik, yang ujungnya membawa dampak yang mengerikan.

Kekerasan berdimensi keagamaan ini umumnya terjadi karena faktor lain

(sosial ekonomi dan politik) namun dibungkus isu agama. Tragedi di Poso dan

Maluku persis memperlihatkan kasus seperti itu. Namun, konflik murni keagamaan

bisa saja terjadi, terutama akibat dibawanya apa yang disebut klaim kebenaran oleh

pemeluk agama yang pada gilirannya menjadi akar konflik baik intra maupun antar

38 Ahmad Sahid dan Zaenudin Daulay, ed, Riuh Di Beranda Satu: Peta kerukunan umat
beragama di Indonesia, Jakarta (Proyek Peningkatan dan Pengkajian Kehidupan Kerukunan Umat
Beragama), Depag RI 2002, Hal. 313-351
39Hamdan Basyar dkk, Konflik Poso, Pemetaan Dan Pencarian Pola-Pola Alternatif
Penyeleseiannya, Jakarta, P2P, LIPI, 2004, Khusus pada bab IV

37
umat beragama. Klaim kebenaran yang ditanam dan dijaga dalam hati sebagai

perwujudan kemurnian keimanan memang merupakan keharusan, tetapi hal itu

menjadi masalah ketika klaim kebenaran itu dipakai sebagai landasan ekspansi

kepada pemeluk lain, atau kultur yang berbeda.

Dari paparan diatas kita bisa melihat pelajaran bahwa, agama seharusnya tidak

dijadikan sangkar-sangkar abstrak yang sulit ditembus oleh para pemeluknya, yang

akan mengakibatkan mereka masuk dalam sangkar keagamaan yang sangat ekslusif
40
terhadap sangkar keagammaan lain. Namun patut ditiru upaya-upaya yang

dilakukan untuk mengurangi konflik umat beragama, seperti kesedian dialog terbuka

dengan umat Kristen. Islam dan Kristen saling menghormati ajaran-ajarannya satu

sama lain dan tidak menyinggung hal-hal yang berbau sara. Dengan demikian

keharmonisan yang tercipta antara umat beragama semakin stabil dan ketentraman

tetap terpelihara.41

3. Proses dan Pola Terjadi Kerukunan Umat Beragama

Kerukunan umat beragama tidak lepas dari proses dan pola kerukunan umat

beragama itu sendiri. Dengan kata lain pembentukan kerukunan umat beragama di

tengah-tengah masyarakat membutuhkan proses yang berkesinambungan,

membutuhkan pola-pola yang mampu menyatukan berbagai agama dalam kehidupan

sosial masyarakat.
40 Mun’im A Sirry, Membendung militansi agama; Iman dan politik dalam masyarakat modern,
Jakarta, Erlangga, 2003, Hal. 53-54
41 Abdul aziz dan Tamami, Kerukunan sebagai jalan hidup (Studi hubungan antar pemeluk
agama di kampung sawah Bekasi), dalam Nuhrison M. Nuh, Profil Kerukunan umat Beragama seri 3,
Jakarta (Badan Penelitian dan Pengembangan Agama), Depag RI, 1997-1998, Hal. 139-140

38
Salah satu titik picu munculnya konflik antar umat beragama terletak dalam

interaksi kemasyarakatan yang kurang paham atau sengaja tidak berusaha untuk

memahami orang lain. Konflik antar pemeluk beragama akan mengakibatkan

terjadinya instabilitas kehidupan sosial politik ditanah air. Dalam kaitannya dengan

hal ini, Alamsyah Ratu Prawiranegara (menteri agama tahun 1980-an), telah

menetapkan pembinaan dan pengembangan “Tiga kerukunan hidup beragama”.42

Dalam konteks inilah toleransi antar umat beragama dikembangkan. Toleransi

bukan diartikan dalam wujudkan penisbian keyakinan agama, pengrelatifan

kebenaran agama yang dinyakini, tetapi kemampuan dan kemauan menghargai

perasaan pemeluk agama lain, serta mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari

dengan bersikap saling menghormati setiap pemeluk agama lain.43

Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah, pola kerukunan hidup

umat beragama mencakup tiga kerukunan, yaitu: 1). Kerukunan intern umat

beragama, 2). Kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, 3). Kerukunan antar

umat beragama dengan pemerintah.44 Trilogi kerukunan umat beragama akan

memberikan kontribusi yang besar dan signifikan terhadap suksesnya pelaksanaan

pembangunan.

a). Kerukunan Intern Umat beragama

42 Mursyid Ali, Problema Komunikasi Antar Umat Beragama, Jakarta (Badan Penelitan dan
Pngembangan Agama, Proyek Peningkatan Dan Pengkajian Kehidupan Kerukunan Umat Beragama),
Depag RI 2000, Hal. 96-97
43 Maarif Jamuin, Manual Advokasi Resolusi Konflik Antar Etnik Dan Agama, Jakarta: Juli, 1999,
Hal. 70-80
44 Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta (Proyek Peningkatan Dan Pengkajian
Kehidupan Kerukunan Umat Beragama), Depag RI, 1983-1984, Hal. 21

39
Maksud kerukunan intern umat beragama adalah terciptanya saling

pengertian, kehidupan intern umat beragama seringkali menunjukkan gejala-gejala

yang kurang mantap, bahkan acapkali menimbulkan pertentangan dan perpecahan

intern umat beragama. Lebih jauh Menteri Agama menghimbau kepada seluruh

pemuka agama, agar pertentangan yang mungkin timbul diantara pemuka/pimpinan

agama yang bersifat pribadi jangan sampai mengakibatkan perpecahan doktriner

diantara para pengikutnya dan hendaknya di selesaikan secara kekeluargaan sesuai

dengan ajaran agama dan Pancasila serta semangat kerukunan dan tenggang rasa.45

b). Kerukunan antar umat beragama

Kerukunan sendiri belum merupakan nilai terakhir, tetapi baru merupakan

suatu sarana yang harus ada sebagai “condition sine qua non” untuk mencapai tujuan

yang lebih jauh yaitu situasi aman dan damai.46 Situasi ini dibutuhkan oleh semua

pihak dalam masyarakat tanpa terkecuali. Dengan demikan kondisi yang kondusif

antara pemeluk agama terjalin dengan bentuk kerja sama yang baik.

Kerukunan antar pemeluk agama yang dimaksud disini adalah terbinanya satu

khidupan beragama yang selaras dan seimbang. Masalah kehidupan beragama dalam

masyarakat merupakan masalah yang paling sensitif diantara masalah-maslah yang

lainnya. Dengan banyaknya masalah yang timbul antara pemeluk agama, Pemerintah

khususnya Departemen Agama mengadakan musyawarah/dialog antar pemuka-

45 Ibid, Hal. 34-35


46 Hendropuspito, O.C. Sosilogi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998, Hal. 170

40
pemuka agama baik dalam tingkatan lokal, nasional maupun internasional.47

c). Kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah

Agar terciptanya satu keserasian yang berkesinambungan antar umat

beragama dengan pemerintah. Pemerintah harus berperan aktif dalam mewujudkan

kerukunan, ketertiban serta keamanan dalam menjalankan ibadah sesuai dengan

ajaran agama yang dianutnya serta sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila.

Pemerintahan dalam hal ini, mempunyai tugas dalam menciptakan

keberagamaaan, baik dari segi nilai dan keorganisasian agama-agama. Dengan

adanya kepedulian pemerintah terhadap intitusi agama-agama dan menjadi pasilitator

untuk membuat wadah musyawarah antar umat beragama, guna pelaksanaan GBHN

dan P4 ditubuh para penganut agama dengan pemerintah.48 Begitu juga sebaliknya

umat beragama bertugas dan bertanggung jawab untuk menunjang program

pemerintah. agar bahu membahu dalam memajukan kesejahteraan bangsa baik

material maupun spritual.49

4. Kerukunan Umat beragama Perspektif Ajaran Islam dan Kristen

Konsep kerukunan umat beragama, tentu sangat terkait dengan pemahaman

para pemeluk agama itu sendiri. Kaitannya dengan kerukunan penulis coba menelaah

konsep kerukunan menurut perspektif Islam dan Kristen yang mana dalam penelitian

47 Op. Cit Hal. 35-40


48 Op. Cit Hal. 43-45
49 R.H. Djumali Karta Raharjo dan H. Fakhruddin Ilyas, Kerjasama Sosial Kemasyaraktan Thun
1983-1984 di Cirebon dan Samarinda, Jakarta: Depag RI, 1984, Hal. 3-5

41
ini kedua agama memiliki peranan penting dalam menciptakan kerukunan. Selain itu,

kedua agama ini memiliki kekuatan basis yang kuat dalam masyarakat.

Dalam agama Islam, Allah menyerukan kepada umat Islam untuk berbuat baik

dan menghormati keberadaan umat lain selama mereka tidak mengganggu Islam.

Sebenarnya agama Islam pun secara spesifik memhahas pergaulan sesama umatnya

(muslim). Dalam surat AI-Hujurat ayat 10-13, Allah SWT menegaskan tentang etika

akhlak yang baik yang berhubungan dengan sikap orang mukmin terhadap Allah,

Nabi Muhammad SAW, sikap mereka terhadap sesama mukmin, sopan santun dalam

pergaulan, dan pergaulan antar bangsa.

Allah SWT menciptakan manusia secara beraneka ragam bangsa, suku

bangsa, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan warna kulit. Keanekaragaman dan

kemajemukan manusia seperti itu adalah bukan untuk berpecah belah, saling

membanggakan kedudukan, yang satu merasa lebih terhormat dari pada lainnya,

tetapi supaya saling mengenal, bersilaturahmi, berkomunkiasi atau berkonsultasi,

saling memberi dan menerima.

Lebih jauh dalam melakukan pergaulan didalam masyarakat umat muslim

diperbolehkan bergaul dengan yang berbeda agama. Hal ini sesuai dengan firman

Allah SWT, yang disebutkan dalam al-Qur'an surat Al-Muntahanah ayat 8-9 yang

berbunyi:

42
Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu
orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim.”50

Dalam ayat 8 dan 9 Surat A1-Mumtahanah tersebut Allah SWT mengatur tata

hubungan sosial masyarakat antara orang-orang mukmin dengan non mukmin. Dalam

ketentuan Allah SWT dalam kedua ayat tersebut perlu menjadi pedoman Islam dalam

hubungan sosial kemasyarakatan dengan mereka. Sehingga kaum muslim dapat

menunjukkan sikap positif, mengembangkan potensi, tidak sulit atau kaku dalam

berbagaul dalam kehidupan sosial.

Dengan menunjukkan sikap yang positif, sesuai dengan ketentuan hukum dan

ajaran Allah dan Rasul-nya Muhammad SAW, kaum muslim dapat mengembangkan

potensinya. Potensi diri pribadi sebagai orang Islam, masyarakat muslim dan potensi

ajaran Islam kepada mereka yang bukan muslim. Dengan demikian orang-orang

Islam dapat melaksanakan da’wah bil hal, dengan hikmah kebijaksanaan dan contoh

tauladan yang baik.

Dalam ayat 8 Allah SWT menegaskan bahwa Allah tidak melarang orang-

orang Islam untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang tidak

memusuhi orang-orang Islam karena agama, dan terhadap orang-orang yang tidak

50 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Depag RI, 1992, Hal. 924

43
mengusir dari negrinya sendiri.

Sikap positif dan proporsional itu merupakan dasar pembinaan kerukunan

hidup antar umat beragama. Perbedaan agama ataupun kepercayan adalah bukan

menjadi penghalang untuk mewujudkan hidup rukun dikalangan warga rnasyarakat

yang berbeda agama. Berbuat baik dan berlaku adil adalah perbuatan terpuji. Dapat

dilakukan kepada siapa saja, termasuk kepada orang-orang non muslim. Orang Islam

diperintahkan Allah untuk berbuat baik dan berlaku adil. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Kemudian dalam ayat 9 Allah SWT menegaskan, bahwa yang dilarang Allah

dalam kaitan dengan hubungan kemasyarakatan antara orang-orang Islam dengan non

Islam ialah menjadikan mereka, orang-orang yang memerangi orang-orang Islam.

karena agama dan mengusir orang-orang Islam dari negrinya sendiri sebagai teman.

Dalam hal ini Allah SWT memperingatkan bahwa barang siapa yang menjadikan

mereka kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Begitu juga dengan ajaran-ajaran Kristen, yang memuat tentang kerukunan

umat beragama. Konsili vatikan II menyerukan ajakan damai kepada orang Islam

dengan melupakan sejarah perang masa lalu, dengan saling jujur, saling pengertian

dan melindungi serta memajukan keadilan sosial, nilai-nilai moral serta kedamaian

dan kebebasan semua orang.51

Kalangan Protestan beranggapan bahwa aspek kerukunan hidup beragama

51 J. Riberu, Tonggak sejarah pedoman arah; Dokumen konsili vatikan II, Dokpen MAWI,
Jakarta Hal. 289-292

44
dapat diwujudkan melalui hukum kasih yang merupakan norma dan pedoman hidup

yang terdapat dalam Al-Kitab. Hukum kasih tersebut ialah mengasihi Allah dan

mengasihi sesama manusia .52

Kerukunan hidup beragama menurut ajaran Kristen Katolik sebagaima

tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap Gereja bukan Kristen

didasarkan asal kisah rasul-rasul 17:26, yang bunyinya”

“Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat, dan asalnya pun satu
juga, karena Allah menjadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni
seluruh bumi”.53

Dalam bagian lain dari mukodimah Deklarasi tersebut disebutkan:

“Dalam zaman kita ini, dimana bangsa manusia makin hari makin erat
bersatu, hubungan antar bangsa menjadi kokoh, gereja lebih seksama
mempertimbangkan bagaimana hubungannya dengan agama-agama Kristen
lain. Karena tugasnya memelihara persatuan dan perdamaian diantara manusia
dan juga diantara para bangsa, maka dalam deklarasi ini gereja
mempertimbangkan secara istimewa apakah kesamaan manusia dan apa yang
menarik mereka untuk hidup berkawan”.54

Deklarasi itu berpegang teguh pada hukum yang paling utama “Kasihinilah

Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan

segenap hal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan kasihanilah sesama

manusia seperti dirimu sendiri.55

Dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan

52 Lihat dalam Alkitab Perjanjian Baru terbitan IKAPI 2005; Mat 22:37; Tentang perintah
mengasihi Allah dan Manusia; Dalam Roma 13:10 juga dijelaskan bahwa “Kasih adalah kegenapan
hukum Taurat”; dalam Kor 13:4-7 dijelaskan “Pengertian dari kasih yang meliputi murah hati, sabar,
tidak sombong, sopan, tidak bersuka cita pada ketidakadilan”.
53 Alkitab, Ibid, Hal. 166
54 J. Riberu, Op.cit Hal. 289
55 Alkitab, Mat 22:37, Hal. 29

45
sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari-hari,

sehingga tumbuh kerukunan beragama. Kerukuna hidup beragama itu dimungkinkan

karena agama-agama memiliki dasar ajaran hidup rukun. Dengan demikian semua

akan menganjurkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun dalam hidup

bermasyarakat.

46

You might also like